Ceritasilat Novel Online

Asmara Dibalik Dendam Membara 12


Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Bagian 12



"Semua warga Gagak Seto, kuperintahkan maju menghajar para pengkhianat dan orang-orang Jambuka Sakti!"

   Anak buah Gagak Seto yang sebagian besar masih setia kepada sang ketua segera bersorak dan terjun ke dalam pertempuran, membantu tiga orang yang dikeroyok itu. Terjadilah pertempuran yang amat hebat, dan Ki Sudibyo tiba-tiba seperti memperoleh kembali tenaganya. Dia mengamuk hebat dan menjatuhkan banyak anak buah Jambuka Sakti. Pertandingan antara Pangeran Panjiluwih dengan Dewi Muntari terjadi berat sebalah. Biarpun Pangeran itu dibantu sepuluh orang pengawalnya, tetap saja dia sibuk sekali mengahadapi Dewi Muntari. Wanita ini mengamuk dan semua pengeroyok yang terdiri dari pengawal-pengawal jagoan itu telah terkena tamparan semua.

   Mereka itu bergelimpangan dan biarpun Dewi Muntari tidak membunuh mereka. Akan tetapi tamparan itu bagaikan api membakar tubuh mereka. Bekas tamparan menjadi gosong dan rasanya panas sekali. Pangeran Panjiluwih sendiri terus melawan, akan tetapi ketika Dewi Muntari dapat merempasa keris Kyai Gluyeng dari tangannya, diapun tanpa malu-malu lagi segera melarikan diri, diikuti oleh para pengawalnya yang semua telah menderitapukulan wanita sakti itu. Setelah tidak lagi melihat adanya lawan, Dewi Muntari lalu membantu puterinya yang dikeroyok benyak orang. Dia melihat Joko Kolomurti itu sudah terdesak hebat oleh puterinya yang memiliki pukulan ampuh dan yang menggunakan keris pusaka Megantoro. Banyak pengeroyok sudah roboh bergelimpangan.

   Ketika Dewi Muntari melompat dan mengamuk, para pengeroyok semakin kacau dan tiba-tiba keris di tangan Niken Sasi sudah bersarang di dada Joko Kolomurti sehingga pemuda itu roboh terjengkang dengan dada berlumuran darah dan tewas seketika. Melihat ini, para anak buah Jambuka Sakti menjadi gentar sekali. Mereka mundur dan tidak lagi berani mendekati kedua orang wanita yang tangguh itu. Niken Sasi melihat gurunya yang mengamuk dan tiba-tiba terhuyung. Ki Sudibyo bukan terkena senjata lawan, melainkan terlampau banyak mengeluarkan tenaga dalam amukannya sehingga dia tidak luat lagi. Untung Niken melihatnya dan sebelum tubuh gurunya terpelanting, gadis ini sudah merangkul gurunya dan memapahnya ke pinggir, keluar dari medan pertempuran. Sementara itu, Dewi Muntari melihat betapa Budhidarma juga mengamuk dengan hebatnya.

   Dia dikeroyok oleh Klabangkoro dan Mayangmurko, juga dikeroyok oleh banyak orang Jambuka Sakti, akan tetapi semua pengeroyoknya kocar-kacir. Hanya yang membuat Dewi Muntari heran adalah ketika ia melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak mau membunuh para pengeroyoknya. Inilah yang membuat para pengeroyoknya menjadi semakin nekat. Melihat ini, Dewi Muntari lalu memungut sebatang golok yang tercecer, kemudian meloncat maju dan sekali ia menyerang Klabangkoro yang memang sudah kewalahan itu, Klabangkoro tidak mampu mengelak dan lehernya nyaris putus terbabat golok di tangan Dewi Muntari! Melihat ini, Mayangmurko menjadi terkejut akan tetapi juga ketakutan. Dia membalikkan diri dan siap untuk lari, akan tetapi Dewi Muntari menyabitkan golok di tangannya yang masih berlumuran darah.

   "Singgg... auuughhh...!"

   Mayangmurko mengangkat kedua tangan ke atas ketika golok itu menusuk punggungnya dan tembus sampai ke dadanya, kemudian roboh melnelungkup. Tewaslah Klabangkoro dan Mayangmurko di tangan Dewi Muntari. Anak buah Jambuka Sakti yang sudah kocar-kacir kini banyak yang tewas di tangan anak buah Gagak Seto, sisanya melarikan diri cerai berai. Ketika Budhidarma melihat kedua orang lawannya tewas di tangan puteri raja itu, dia hanya memandang dengan alis berkerut. Dewi Muntari agaknya tahu bahwa pemuda itu tidak setuju dengan pembunuhan, maka ia berkata dengan tegas.

   "Membunuh memang tidak baik, akan tetapi membiarkan penjahat keji hidup lebih tidak baik lagi!"

   "Kalau begitu, mengapa Gusti Puteri membarkan lawannya tadi meloloskan diri?"

   Tanya Budhi.

   "Dia lain lagi. Dia adalah adikku sendiri. Putera Kanjeng Rama Prabu Jayabaya."

   Pada saat itu terdengarlah seruan Niken,

   "Budhi, ke sinilah!"

   Budhi menengok dan melihat Niken berlutut di dekat tubuh Ki Sudibyo yang rebah, Dia terkejut dan melompat mendekati.

   "Budhi, Ayahmu terluka parah karena terlalu banyak mengeluarkan tenaga!"

   Kata Niken dengan suara gemetar penuh kekhawatiran. Melihat Budhi, Ki Sudibyo menjulurkan tangannya.

   "Anakku..., maukah engkau menyebut Ayah kepadaku?"

   Budhi menjatuhkan diri berlutut. Dengan terharu dia memegang tangan Ayahnya dan berkata,

   "Bapak...!"

   Ki Sudibyo tersenyum girang.

   "Kumpulkan... anak buah Gagak Seto...!"

   Katanya kepada Niken. Niken bangkit berdiri, dengan lantang berteriak agar semua anak buah Gagak Seto datang berkumpul. Tidak kurang dari empat puluh orang anak buah Gagak Seto yang masih setia kepada Ki Sudibyo berlarian menghampiri dan mengepung Ki Sudibyo yang rebah di atas anah dengan napas terengah-engah.

   "Semua warga Gagak Seto, dengar baik-baik pesanku. Ini adalah anakku, Budhidarma! Mulai saat ini, dialah yang menjadi ketua kalian! Budhidharma menggantikan aku menjadi ketua perkumpulan Gagak Seto dan dalam pimpinannya aku yakin Gagak Seto akn menjadi besar..."

   Setelah bicara demikian, orang tua ini terengah-engah berat, napasnya tinggal satu-satu.

   "Bapak...!"

   Budhi berseru.

   "Bapa Guru...!"

   Niken menangis. Ki Sudibyo yang sudah memejamkan matanya, membuka lagi matanya memandang kepada Niken dan Dewi Muntari.

   "Ampunkan hamba yang berani mengajar Gusti Puteri Niken Sasi... mohonkan ampun kepada Gusti Prabu Jayabaya..."

   "Ah, tidak mengapa, paman. Kami bahkan berterima kasih!"

   Kata Dewi Muntari. Ki Sudibyo kini menoleh kepada puteranya.

   "Budhidharma, engkau... rela benar memaafkan bapakmu ini...?"

   "Tentu saja, Bapak. Semua peristiwa yang lalu sudah terlupakan olehku!"

   Ki Sudibyo tersenyum dan menghela napas panjang sekali.

   "Aahhhh puas hatiku... Sawitri, tinggal engkau... kuharap engkau suka memaafkan aku..."

   Kembali dia menghela napas panjang akan tetapi napasanya berhenti dan Ki Sudibyo mengehembuskan napas terakhir.

   "Bapa Guru...!"

   Niken menangis. Semua anggota Gagak Seto juga berlutut dan banyak yang menangis, akan tetapi Budhi tidak menangis. Dia memondong tubuh Ayahnya yang telah menjadi jenazah dan masih hangat itu dan dibawanya masuk ke dalam bangunan induk.

   Dewi Muntari dan Niken tinggal di Gagak Seto sampai pemakaman Ki Sudibyo selesai dilakukan. Mereka mendapat kesempatan untuk saling menceritakan pengalaman masing-masing dan keduanya merasa gembira dan juga kagum mendengar pengalaman masing-masing yang hebat. Mereka menemukan jenazah Jinten di bagian belakang bangunan induk dan ternyata Jinten terbunuh mati oleh Klabangkoro sendiri kertika terjadi keributan. Klabangkoro menganggap Jinten terlalu banyak mengetahui rahasianya dan juga wanita itu kini sudah tidak ada gunanya lagi baginya, maka dengan sekali pukul dia membunuh Jinten agar kalau Jinten terjatuh ke tangan musuh tidak akan membocorkan rahasianya. Dia tidak mengira bahwa dia sendiri juga tewas dalam pertempuran itu. Setelah mengurus pemakaman Ayahnya, Budhidharma berunding dengan Dewi Muntari dan Niken Sasi.

   "Melihat adanya orang-orang Jambuka Sakti yang membantu Gagak Seto, kurasa pimpinan Jambuka Sakti banyak tahu akan persekutuan ini. Aku harus mengetahui siapa yang memimpin persekutuan busuk ini dan apa sebetulnya niat mereka. Seingatku, yang dulu membunuh suamiku dan menyerangku juga orang-orang Jambuka Sakti, aku ingat akan senjata mereka, yaitu golok dengan gagang kepala Srigala."

   "Ibu, kalau begitu kita harus menyelidiki keadaan Jambuka Sakti!"

   Kata Niken.

   "Gusti Puteri Niken benar, kita harus menyelidiki ke sana. Akupun menduga bahwa kesengsaraan Ayah adalah karena ulah orang-orang Jambuka Sakti. Kalau tidak ada mereka yang membantu, kiranya Klabangkoro dan Mayangmurko tidak akan berani berkhianat."

   "Kakang Mas Budhidharma!"

   Kata Niken sehingga mengejutkan Budhi karena biasanya gadis itu memanggil namanya begitu saja.

   "Aku tidak suka kau sebut gusti puteri! Bukankah kita biasanya saling memanggil nama begitu saja? Kenapa engkau berubah?"

   "Paduka... Paduka adalah cucu Gusti Prabu, dan... Paduka juga berubah, memanggil saya dengan Kakang Mas."

   "Sudah sepatutnya aku menaggilmu kaangmas karena engkau engkau memang lebih tua dariku. Erngkau putera Bapa Guru, dan aku muridnya, bererti kita masih kakak beradik seperguruan. Jangan sebut aku gusti puteri, atau aku tidak akan menjawab!"

   "Habis bagaimana saya harus memanggil...?"

   Dewi Muntari tersenyum. Ia dapat mengerti akan isi hati puterinya. Kedua orang muda itu agaknya mempunyai hubungan akrab dan saling jatuh hati!

   "Kau lebih tua, sudah selayaknya kalau engkau menyebutnya diajeng, Budhi. Dan juga kepadaku jangan menyebut Gusti Puteri, akan tetapi sebut saja Kanjeng Bibi."

   Wajah Budhi berubah kemerahan akan tetapi hatinya meresa girang karena ucapan ini menunjukkan bahwa dia diterima sebagai anggota keluarga atau juga sahabat yang sudah akrab sekali.

   "Baiklah, diajeng Niken Sasi dan Kanjeng Bibi. Sebelum berngkat ke sarang Jambuka Sakti di Gunung Bromo, saya akan lebih dulu memesan kepada anggota Gagak Seto agar melakukan penjagaan dengan ketat, melarang orang luar memasuki daerah kami dan jangan melakukan gerakan apapun sebelum saya kembali."

   Budi lalu mengumpulkan para anggota Gagak Seto. Atas petunjuk Niken yang mengenal mereka dan tahu siapa yang paling dapat dipercaya di antara mereka, Budhi lalu mengangkat Waskita sebagai wakilnya untuk memimpin para anak buah Gagak Seto selama dia pergi. Setelah itu, berangkatlah Budhi bersama Niken dan Dewi Muntari menuju ke Gunung Bromo.

   Seperti yang mereka dengar dari para anak buah Gagak Seto, Jambuka Sakti bersarang di lereng Gunung Bromo. Ketika Niken bertanya di mana Gajahpuro, oleh para anak buah Gagak Seto dikatakan bahwa Gajahpuro yang berusaha menyelamatkan Ki Sudibyo yang terendam air bersama Niken dan Budhi telah dipukul pingsan oleh Klabangkoro dan kemudian dilempar ke dalam sumur tua, tentu sudah tewas pula. Niken yang mendengar ini hanya menghela napas panjang. Ia tahu bahwa Gajahpuro benar-benar mencintainya. Mari kita ikuti pengalaman Gajahpuro yang dilempar ke dalam sumur tua oleh Ayahnya sendiri! Benarkah dia sudah mati seperti dugaan para murid dan anggota Gagak Seto? Kehendak tuhan terjadilah, kapanpun dan di manapun, dalam keadaan bagaimanapun. Kalau tuhan menghendaki seseorang mati,

   Maka tidak ada kekuasaan di dunia ini yang mampu menentangnya, tidak ada kesaktian apapun yang mampu membantahnya dan orang itu pasti mati pada saat yang telah dikehendaki Tuhan. Akan tetapi sebaliknya, kalau Tuhan menghendaki seseorang hidup, biar orang itu diancam seribu satu bahaya maut, tetap saja dia akan dapat selamat dan hidup, sesuai dengan kehendak Tuhan! Ini merupakan kebenaran mutlak yang tidak dapat diperbantahkan atau diperdebatkan lagi. Banyak sudah contoh-contohnya dalam pengalaman di antara manusia. Dalam sebuah peristiwa kecelakaan besar, orang dewasa yang mampu berusaha mempertahankan dan melindungi dirinya, tetap saja tewas. Sebaliknya seorang bayi yang tidak berdaya, tidak mampu melindungi dirinya sendiri, malah hidup! Mengapa begini? Karena Tuhan menghendaki demikian! Demikian pula dengan Gajahpuro.

   Dia pingsan ketika dilempar ke dalam sumur karena secara "Kebetulan"

   Saja yang menimpa dasar sumur lebih dulu bukan kepalanya, melainkan pinggulnya dan itupun menimpa dasar yang berlumpur, luput dari batu-batu yang berserakan di situ. Kita sebut saja "Kebetulan" , akan tetapi sesungguhnya memang sudah "Diatur"

   Begitu. Sudah diatur sesuai dengan kehendak Tuhan bahwa belum tiba saatnya Gajahpuro tewas di dalam sumur. Begitu terjatuh, Gajahpuro siuman dari pingsannya. Dia agak nanar sedikit, akan tetapi segera menyadari keadaannya. Dia telah dilempar ke dalam sumur tua! Ketika dia menengadah, dia melihat lubang sumur itu tinggi sekali. Akan tetapi ketika dia menoleh ke kiri, dia melihat bahwa sumur itu merupakan sebuah terowongan yang cukup lebar. Dia segera memasuki terowongan itu dan tiba di sebuah ruangan bawah tanah yang lebar.

   Dan di situ duduk seorang Kakek berambut panjang dengan kuku-kuku tangan yang panjang pula. Dia terkejut sekali, mengira bahwa Kakek itu bukan manusia, melainkan setan penjaga sumur. Akan tetapi agaknya Kakek itu juga mendengar kedatangannya. Kakek itu membuka matanya dan kembali Gajahpuro terkejut. Mata itu seprti mata kucing dalam gelap. Keadaannya yang remang-remang itu membuat mata itu seperti bernyala. Tiba-tiba tubuh Kakek yang seperti duduk itu meloncat ke atas dan tiba-tiba saja Gajahpuro sudah diserang secara aneh. Gajahpuro menangkis, akan tetapi tetap saja dia terpental dan terpelanting keras. Dia bangkit lagi dan melihat Kakek itu kini "Berdiri"

   Dengan kedua kaki yang pendek sekali. Ketika dia perhatikan, ternyata kaki Kakek itu telah buntung keduanya, buntung di atas lutut sehingga dia berdiri di atas kedua pahanya!

   "Haaaaah, engkau sudah bosan hidup. Mampuslah!"

   Kakek itu berseru dengan suara aneh, lalu kembali tubuhnya mencelat ke depan dengan sigapnya, menyerang bagaikan sebutir peluru meriam! Gajahpuro lalu memasang kuda-kuda dan memainkan ilmu silat Gagak Seto seperti yang dipelajarinya dari Ayahnya. Akan tetapi kembali dia terdorong dan terjengkang keras.

   "Hah, kau mainkan ilmu Gagak Seto? Apakah engkau murid Gagak Seto?"

   Kakek itu yang kini tubuhnya menjadi cebol pendek sekali bertanya. Biarpun ketakutan, Gajahpuro menjawab,

   "Benar sekali, Kakek yang sakti. Saya adalah seorang murid Gagak Seto."

   "Hemmm, Bagus. Sudah lama aku tidak mendengar tentang Gagak Seto. Kesinilah, jangan takut. Duduk di sini dan ceritakan tentang Gagak Seto."

   Biarpun takut, Gajahpuro memberanikan diri. Dia tahu bahwa dia tidak akan mampu lari dari Kakek yang sakti ini, maka yang terbaik adalah menaati perintahnya. Dia lalu berjalan menghampiri dan ternyata tempat itu dasarnya kering, tidak lembab seperti dasar sumur di mana dia jatuh tadi.

   "Apa yang harus saya ceritakan, Eyang?"

   Gajahpuro yang cerdik itu segera menyebut eyang[kakek] untuk menghormati orang tua yang rambutnya panjang dan hampir semua sudah putih itu.

   "Siapa yang sekarang menjadi ketua Gagak Seto?"

   "Yang menjadi ketua adalah Ki Sudibyo."

   "Ah, dia? Hemm, Bagus. Sudibyo memang pantas menjadi ketua. Dia baik. Dan siapa engkau, orang muda?"

   "Nama saya Gajahpuro, Eyang. Saya putera dari Ayah Klabangkoro."

   "Hemm, Klabangkoro? Dia masih hidup? Dan kenapa engkau terjatuh ke dalam sumur ini?"

   Gajahpuro tidak berani berbohong.

   "Saya tidak jatuh Eyang. Saya memang dilempar ke dalam sumur..."

   "Ehh? kau juga dilempar ke dalam sumur? Siapa yang melemparmu ke dalam sumur?"

   "Bukan lain adalah Ayah saya sendiri, Eyang. Saya dipukul pingsan dan tahu-tahu saya berada di dalam sumur."

   "Dipukul pingsan dan dilempar ke dalam sumur oleh bapamu sendiri? Akan tetapi kenapa?"

   Gajahpuro mengambil keputusan untuk berterus terang saja. Tidak ada yang perlu disembunyikan dari Kakek sakti ini, karena kalau diketahui dia berbohong, tentu dia akan dibunuh.

   "Ayah dan Paman Mayangmurko berkhianat, Eyang. Mereka menagkap Ki Sudibyo bersamaseorang pemuda dan seorang gadis di dalam goa, lalu mengalirkan air ke dalam goa untuk membunuh mereka. Saya... saya mencintai gadis itu yang bernama Niken dan saya berusaha untuk membebaskan mereka dengan jalan membobol gunung untuk mengalirkan air itu keluar. Ayah mengetahui, saya lalu dipukul pungsan dan tahu-tahu dibuang ke dalam sumur ini."

   "Ah, heh-heh-heh, sampai sekarang Klabangkoro dan Mayangmurko masih saja menjadi orang yang curang dan jahat. Mereka tentu akan menebus kejahatannya dengan kesengsaraan, seperti yang telah kualami. Ah, aku sekarang tidak lagi mau berbuat kejahatan karena akibatnya sungguh tidak enak sekali!"

   Dan tiba-tiba saja Kakek itu menangis sesenggukan dengan sedih sekali, penuh penyesalan. Gajahpuro merasa bulu tengkuknya meremang. Kakek itu seperti bukan manusia lagi, atau kalau manusia tentu sudah miring otaknya. Dengan hati-hati sekali, untuk menghentikan tangis yang mengrikan hatinya itu, dia bertanya,

   "Eyang, mengapa Eyang berada di sini?"

   Benar saja, pertanyaan itu menghentikan tangisnya dan dengan kedua mata merah Kakek itu memandang kepadanya.

   "Engkau mau tahu? Aku telah melakukan dosa yang besar sekali. Aku menodai kakak iparku bahkan nyaris membunuh kakakku sendiri untuk merampas kedudukannya sebagi ketua. Kakakku itu adalah Ayah dari Ki Sudibyo. Sudibyo itu keponakanku. Aku dikalahkan oleh kakakku, kedua kakiku dibuntungi dan aku lalu dilempar kedalam sumur ini. Sudah lebih dari dua puluh tahun aku berada di sini."

   Gajahpuro bergidik. Dua puluh tahun? Dia membayangkan diri sendiri harus tinggal di situ sampai puluhan tahun!

   "Kenapa Eyang tidak berusaha untuk naik dan meloloskan diri? Eyang memiliki kesaktian hebat."

   "Hemm, Butakah matamu?"

   Tiba-tiba Kakek itu berkata marah.

   "Apa engkau tidak melihat bahwa kedua kakiku buntung? Kalau tidak buntung, tentu aku sudah keluar. Dengan kedua kaki buntung, betapapun pandainya aku, tidak mungkin aku keluar dari sumur yang dalam ini."

   "Lalu bagaimana Eyang dapat bertahan hidup selama itu di sini? Apa yang Eyang makan selama ini?"

   "Ada seorang keponakanku yang amat baik hati. Namanya Joyosentiko..."

   "Ahh...!"

   Gajahpuro berseru.

   "Kenapa?"

   "Paman Joyosentiko juga sudah dibunuh oleh Ayah dan dilempar masuk pula ke dalam goa!"

   "Keparat! Celaka sekali! Pantas dia tidak datang mengirim makanan. Biasanya, Joyosentiko yang menurunkan makanan ke dalam sumur ini. Selama dua puluh tahun, Joyosentiko mengirim makanan sehingga aku dapat makan dengan wajar. Kalau tidak, aku harus makan jamur dan kerokot setiap hari. Banyak jamur dan kerokot tumbuh di sini. Biarpun dengan itu aku dapat hidup, akan tetapi tentu membosankan sekali. Ah, Bagus, engkau sekarang telah berada di sini. Engkau dapat menggantikan Joyosentiko mengirim makanan kepadaku. Ah, tidak! Engkau bahkan dapat menggendongku keluar dari sumur ini!"

   "Akan tetapi, Eyang. Mana mungkin saya mendaki tebing yang begini curam dan licin? Tidak mungkin sama sekali!"

   "Tolol! Bodoh! Kaki tanganmu masih lengkap, mengapa tidak bisa? kau akan kuajari ilmu-ilmuku sehingga engkau akan dapat naik, menggendong aku dan kalau engkau sudah mempelajari ilmu-ilmuku, dengan mudah engkau akan mebunuh Klabangkoro dan Mayangmurko."

   Gajahpuro terkejut. Biarpun dia diperlakukan kejam oleh Klabangkoro sama sekali tidak pernah terpikirkan di benaknya untuk membunuh Ayahnya sendiri itu.

   "Eyang! Dia adalah Ayah kandung saya!"

   "Ayah kandung hidungmu itu! Siapa bilang dia Ayah kandungmu? Klabangkoro bukan Ayah kandungmu, Bukan apa-apamu!"

   "Eyang...!"

   Suara Gajahpuro gemetar.

   "Apa... apa maksud Eyang...?"

   "Tolol! Dengarlah. Ketika Klabangkoro masih muda, dia tergila-gila kepada Ibumu. Ketika itu engkau masih bayi, Klabangkoro membunuh Ayah kandungmu dan merampas Ibumu. Tentu saja engkau diakui sebagai puteranya. Akan tetapi kalau engkau benar anak kandungnya sendiri, mana mungkin dia memukulmu dan melemparmu ke dalam sumur ini? Dia bukan Ayahmu, bahkan membunuh Ayah kandungm, juga pembunuh Ibumu karena aku mendengar dari Joyosentiko bahwa Ibumu juga sudah tewas secara tidak wajar ketika engkau masih kecil."

   Gajahpuro meloncat bangun dan mengepal tinjunya, diacungkan ke atas sumur.

   "Klabangkoro keparat! Sekarang aku tahu! Awas kau. Akan kuhancurkan kepalamu!"

   "Heh-heh-heh, Bagus. Niatmu itu tentu akan tercapai. Nah, mendekatlah ke sini, duduk bersila di depanku membelakangi aku."

   Gajahpuro sudah pasrah. Kalau Kakek itu hendak membunuhnya, dipun tidak akan mampu melarikan diri. Dia lalu duduk bersila di depan Kakek itu, membelakanginya.

   "Brettt...!"

   Kakek itu merobek baju dipunggungnya sehingga punggungnya telanjang. Kakek itu lalu menempelkan kedua telapak tangannya di punggung yang telanjang itu.

   "Kendurkan semua uratmu, jangan mengang dan jangan melawan. Aku akan menyalurkan tenaga sakti kedalam tubuhmu!"

   Kakek itu lalu membaca mantera dan kedua tangannya tergetar, lalu Gajahpuro merasa betapa dari kedua telapak tangan itu keluar hawa yang panas sekali memasuki tubuhnya. Dia merasa tersiksa, seperti dibakar dari dalam akan tetapi dia mempertahankan sambil menggigit giginya erat-erat. Makin lama hawa panas itu menjadi hangat dan hahkan terasa nyaman sekali. Kurang lebih sejam kemudian Kakek itu melepaskan kedua tangannya dan terengah-engah.

   "Sekarang coba kerahkan tenagamu dari pusar kepada kedua lenganmu dan pergunakan tanganmu untuk memukul batu di sana itu."

   Sambil tetap duduk bersila, Gajahpuro menaati perintah itu. Dari pusarnya timbul hawa panas dan disalukannya kepada kedua lengannya, sampai keujung jari-jari tangannya, kemudian dia mendorongkan kedua tangannya yang terbuka ke arah sebongkah batu di depannya.

   "Wuuuuttt... darrrrrr...!"

   Batu itu pecah berantakan! Tentu saja Gajahpuro menjadi terkejut dan girang sekali. Dia lalu membalik, berlutut dan menyembah kepada Kakek itu.

   "Terima kasih, Eyang. Saya mohon petunjuk selanjutnya!"

   "Engkau baru menerima limpahan tenaga sakti saja dariku. Harus diimbangi dengan aji yang tangguh. Untuk mengimbangi tenagamu itu aku akan mengajarkan Aji Lahar Sewu sehingga tenaga sakti Ranu Geni di tubuhmu dapat tersalur dalam ilmu bela diri yang sukar dicari bandingannya!"

   Bukan main girangnya hati Gajahpuro. Mulai hari itu dia berlatih dengan tekun sekali. Karena memang dia sudah memiliki dasar ilmu silat dan berbakat baik, dalam beberapa hari saja dia sudah dapat menguasai Aji Lahar Sewu itu. Setiap hari dia hanya makan jamur dan kerokot, dimakan mentah begitu saja dan minum air sumber kecil di dasar sumur. Tentu saja dia tersiksa sekali, akan tetapi harus diakui bahwa makanan itu bahkan dapat memberi tambahan tenaga kepadanya. Setelah tamat mempelajari Aji Lahar Sewu yang membuat tubuhnya merasa ringan dan dia dapat menguasai tenaga sakti Ranu Geni itu sepenuhnya, Kakek itu memanggilnya menghadap. Gajahpuro maju berlutut di depan Kakek itu.

   "Gajahpuro, ketahuilah bahwa dahulu, ketika aku masih malang melintang di dunia Ramai, namaku Anjar Banu terkenal di seluruh Nusantara. Sekarang aku ingin mengajakmu keluar dan kita berdua akan menggegerkan dunia Ramai, ha-ha-ha-ha! Sekali lagi nama Anjar Banu akan menjadi buah bibir orang banyak. Gajahpuro, cobalah kau gendong aku."

   Di dalam hatinya Gajahpuro tidak setuju untuk hidup di dunia Ramai bersama Kakek ini. Akan tetapi dia tahu bahwa kakekitu kejam sekali dan kalau dia tidak menuruti perintahnya, sekali pukul saja dia akan tewas. Kakek ini sakti sekali dan agaknya dahulu merupakan seorang datuk sesat yang ditakuti orang. Akan tetapi biarpun hatinya tidak setuju, Bagaimana dia berani membantah.

   "Baiklah, Eyang."

   
Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Katanya dan diapun berlutut membelakangi Kakek itu Kakek Anjar Banu lalu meloncat ke atas punggungnya dan merangkulkan kedua lengannya ke pundak dan leher Gajahpuro.

   "Sekarang, naiklah dan keluar dari dalam sumur ini."

   Gajahpuro menengadah dan memandang ke arah mulutsumur yang tingga dan bundar itu dengan ngeri.

   "Ah, Bagaimana saya dapat, Eyang?"

   "Hushh, kau kira engkau masih tolol seperti tempo hari ketika terjatuh ke sini? Salurkan tenaga Ranu Geni ke dalam kedua telapak tanganmu dan kedua kakimu, lalu memanjatlah naik. Engkau akan mampu melakukanya! Awas, jangan macam-macam kau. Bawa aku keluar dari sini. Kalau engkau mebantah, akan kucekik mampus engkau sekarang juga. Aku Anjar Banu, harus keluar dan menggegerkan dunia Ramai lagi. Namaku akan menjulang tinggi lagi, dan engkau menjadi pembantuku yang setia, ha-ha-ha!"

   Suara tawa itu berbunyi di dekat telinga Gajahpuro, terdengar seperti suara setan dan mengancam dirinya, Gajahpuro semakin khawatir. Celaka, sekarang aku terjatuh ke tangan iblis, pikirnya! Aku harus dapat terbebas dari orang gila ini. Akan tetapi dipun tertarik mendengar bahwa dengan ilmunya yang baru dia akan mampu memanjat naik. Dia lalu mengerahkan Aji Ranu Geni ke arah kedua telapak tangan dan kakinya sampai kedua tangan kaki terasa panas.

   Lalu dicobanya untuk meraba dinding sumur. Dan... telapak tangannya mampu menempel dinding. Kakinya juga dapat menempel seperti kaki cecak. Dia lalu mulai merayap naik! Diam-diam hatinya merasa girang bukan main, akan tetapi berbareng juga khawatir. Kalau dia dapat membawa orang ini naik ke atas sana, lalu apa yang terjadi dengan dirinya? Dia akan dikuasainya dan harus mentaati semua perintahnya. Bagaimana kalau orang ini melakukan hal-hal yang amat jahat dan dia disuruh menurut saja? Tidak, dia harus mampu melepaskan dirinya dari tekanan dan pengaruh orang ini! Setelah merayap sampai kurang lebih tujuh meter, tiba-tiba kakinya terpeleset dan tubuh Gajahpuro meluncur kembali ke bawah! Dan karena dia menggendong Anjar Banu, dengan sendirinya, Anjar banu yang menimpa dasar sumur lebih dulu, ditimpa lagi oleh tubuh Gajahpuro!

   "Ngek...!"

   Rangkulan Anjar Banu terlepas dari leher Gajahpuro. Kakek yang buntung kedua kakinya itu menyumpah-nyumpah.

   "Tolol! Bodoh! Kenapa engkau bisa jatuh?"

   Akan tetapi Gajahpuro tidak segera bangkit melainkan mengerang kesakitan. Melihat ini, kemarahan Kakek itu mereda dan dia menghampiri, lalu menyentuh dan mengguncang pundak Gajahpuro.

   "Ada apakah dengan engkau? Engkau terluka...?"

   Pada saat itulah Gajahpuro melancarkan pukulan Lahar Sewu ke arah dada Kakek itu. Karena sama sekali tidak menyangka, Kakek itu tentu saja tidak sempat mengelak atau menangkis lagi.

   "Desssss...!!"

   Tubuh Kakek itu terlempar seperti bola dan menabrak dinding ruangan bawah tanah. Gajahpuro tidak melihat lagi bagaimana keadaannya. Dia segera melompat dan sekali lagi dia memanjat dinding sumur dengan cepat sekali. Dia mendengar suara bergaung dari bawah, akan tetapi dia tidak menengok lagi dan terus memanjat mengerahkan seluruh tenaganya. Dengan cepat dia berhasil keluar dari dalam sumur itu.

   Dia menengok ke bawah dan tidak melihat apa-apa saking dalamnya sumur itu. Begitu keluar dari dalam sumur, dia mendengar suara ribut-ribut di sebelah barat perkampungan Gagak Seto. Dia lalu berlari dan begitu kakinya meloncat, dia sendiri terkejut karena kini tubuhnya menjadi sedemikian ringan sehingga dia dapat meloncat jauh dan ketika laripun larinya cepat bukan main. Ketika tiba di tempat itu, dia melihat belasan orang nak buah Gagak Seto sedang mengeroyok seorang pria berpakaian seperti petani. Akan tetapi dia segera mengenal pria itu yang bukan lain adalah Pangeran Panjiluwih! Kiranya Pangeran itu yang tadinya melarikan diri, dapat bersembunyi di pedusunan dan kini menyamar sebagai seorang petani hendak melanjutkan larinya. Akan tetapi agaknya para anak buah Gagak Seto mengenalnya dan mengeroyoknya.

   Karena pada saat itu, Budhidharma sedang pergi bersama Niken Sasi dan Dewi Muntari, maka yang mengeroyok hanya anak buah Gagak Seto yang kini tunduk kepada Budhi dan menganggap Pangeran itu sebagai musuh. Gajahpuro merasa heran melihat betapa anak buah Gagak Seto memusuhi Pangeran itu yang dia tahu telah bersekutu dengan Klabangkoro. Akan tetapi karena sekarang dia membenci labangkoro, membenci Gagak Seto maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu menyerbu dan mengamuk, menyerang anak buah Gagak Seto membantu Pangeran Panjiluwih! Sepak terjang Gajahpuro luar biasa hebatnya. Tamparan dan tendangannya membuat para anak buah Gagak Seto terlempar seperti diamuk badai. Sebentar saja semua pengeroyok sudah jatuh bangun dan mereka melarikan diri. Pangeran Panjiluwih memandang kepada Gajahpuro, girang dan juga heran.

   "Gajahpuro, engkau membantuku? Bagus sekali, engkau ternyata seorang yang setia, tidak seperti orang-orang Gagak Seto tadi yang kini telah berubah!"

   "Tentu saja hamba membantu Paduka, Pangeran. Hamba hukan lagi anggota Gagak Seto, Bukan lagi putera Klabangkoro. Bahkan hamba akan membunuh Klabangkoro dan Mayangmurko!"

   Tentu saja Pangeran Panjiluwih semakin heran mendengar ini.

   "Akan tetapi, bukankah Klabangkoro itu bapakmu sendiri?"

   "Bukan! Dia malah hendak membunuh hamba. Permisi dulu, Pangeran. Hamba akan mencari dan membunuh mereka!"

   "Sabar dulu, Gajahpuro. Engkau tidak bisa membunuh mereka lagi."

   "Eh, apa maksud Paduka, Gusti Pangeran?"

   "Ke mana saja engkau selama ini? Apakah engkau tidak tahu bahwa Klabangkoro dan Mayangmurko sudah tewas? Mereka telah terbunuh oleh Budhidharma, bahkan kini Gagak Seto dikuasai oleh Budhidarma. Aku baru saja keluar dari tempat sembunyiku dan menyamar sebagai petani untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi anak buah Gagak Seto itu masih menganalku. Untung engkau datang membantu, Gajahpuro."

   "Ah, jahanam itu telah mati?"

   Gajahpuro berseru dengan kecewa karena tadinya dia ingin membalas dendam sendiri kepada Klabangkoro yang telah membunuh Ayah kandungnya, Ibu kandungnya, dan nyaris dia sendiri.

   "Yang lain-lain juga sudah tewas. Anak buah Jambuka Sakti juga sudah kocar-kacir dan lari pulang. Sebaiknya engkau ikut denganku, mengawal aku sampai kembali ke Kota Raja. Engkau akan kuhadapkan kepada Kanjeng Gusti dan engkau akan memperoleh kedudukan tinggi di Kota Raja, Gajahpuro."

   Pemuda itu tertarik. Musuh besarnya telah tewas dan dia sudah kehilangan segala-galanya. Tidak dapat mengharapkan Gagak Seto yang kini telah dikuasai Budhidarma. Lebih baik dia ikut Pangeran ini untuk mencari kedudukan dan kemulian di Kota Raja.

   "Baiklah, Gusti Pangeran. Hamba akan mengawal Paduka."

   Jawabnya dan mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu. lereng Bromo yang menjadi sarang perkumpulan Jambuka Sakti menjadi geger! Budhidharma, Niken Sasi, dan Dewi Muntari datang dan mereka disambut oleh puluhan orang anak buah Jambuko Sakti.

   Para anak buah Jambuko Sakti sudah mengenal tiga orang ini yang mengamuk di Gagak Seto tempo hari. Di antara mereka yang lari pulang ke Gunung Bromo sudah memberi laporan kepada Ki Brotokeling, ketua Jambuko Sakti. Ketika tiga orang ini muncul, para anak buah Jambuko Sakti itu seperti sekumpulan laron menyerang api. Begitu tiga orang itu menggerakkan kaki tangan, mereka berpelantingan jatuh bangun. Keadaan menjadi gempar dan Ki Brotokeling sendiri lalu maju. Melihat ketua mereka maju, para anak buahnya kini hanya mengepung dengan senjata terhunus. Ki Brotokeling adalah seorang Kakek berusia lima puluh delapan tahun yang bertubuh tinggi kurus dan mukanya kemerahan, penuh brewok. Jenggotnya sekepal sebelah dan wajahnya menyeramkan. Sebatang golok besar bergagang kepala srigala tergantung di pinggangnya.

   "Babo-babo...!"

   Serunya sambil memandang kepada tiga orang yang sudah berhadapan dengannya itu.

   "Andika bertiga ini siapakah, Berani datang membikin ribut di perkampungan kami?"

   Budhidarma melangkah maju dan menjawab.

   "Andika tentu Ki Brotokeling ketua Jambuko Sakti, bukan?"

   "Benar, akulah Ki Brotokeling. Siapa andika, orang muda?"

   "Namaku Budhidharma dan tentu sebagian dari anak buahmu sudah melapor siapa adanya aku. Mereka tadi begitu kami datang sudah mengeroyok kami. Aku adalah ketua Gagak Seto yang baru."

   "Hemm, bagus. Jadi andika pengacau itu? Lalu sekarang andika bertiga datang ke sini mau apa?"

   Tiba-tiba Dewi Muntari melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke muka brewokan itu.

   "Dengar, Brotokeling! Kurang lebih delapan tahun yang lalu anak buahmu menyerang dan membunuh Raden Mas Rangsang di pegunungan Anjasmoro! Siapakah yang menyuruhmu mengirim anak buahmu membunuh Raden Mas Rangsang?"

   Brotokeling terkejut. Memang pada waktu itu dia menyuruh anak buahnya menghadang dan membunuh Raden Mas Rangsang dan isterinya yang sedang bertamasya ke pegunungan Anjasmoro. Yang memberi perintah untuk itu adalah, Pangeran Panjiluwih yang bertindak atas nama Kanjeng Gusti!

   "Kalau aku tidak mau menjawab pertanyaan itu, andika mau apa?"

   Tantangnya.

   "Jahanam keparat! Apa engkau minta mati?"

   Bentak Dewi Muntari.

   "Babo-babo, kalahkan aku dulu, Baru aku akan menjawab!"

   Kata Brotokeling, merasa penasaran diancam oleh seorang wanita cantik.

   "Bagus, majulah kalau engkau ingin dihajar, Brotokeling!"

   Bentak Dewi Muntari.

   "Ibu, Biar aku yang menghajar lutung buruk ini!"

   Kata Niken Sasi, hendak mewakili Ibunya.

   "Jangan, Niken. Aku sendiri ingin menghajarnya untuk membalas kematian Ramamu."

   Dewi Muntari sudah maju mendekati Ki Brotokeling. Dari keadaan anak buahnya yang kocar-kacir ketika menyerang tadi saja Brotokeling suxdah dapat menduga bahwa lawan-lawannya tentu merupakan orang yang tangguh. Maka, begitu berhadapan dengan Dewi Muntari, tanpa malu-malu lagi dia sudah mencabut golok besarnya yang berkilauan saking tajamnya.

   "Wanita nekat, keluarkan senjatamu!"

   Bentaknya sambil mengelebatkan goloknya. Dewi Muntari tersenyum mengejek.

   "Untuk melawan golok tumpulmu itu tidak perlu aku menggunakan senjata, cukup dengan kaki tanganku saja, Brotokeling!"

   Ki Brotokeling menjadi semakin marah, merasa dipandang rendah sekali.

   "Beritahukan namamu, jangan mati tanpa nama!"

   Kembali dia membentak untuk menyembunyikan rasa gentarnya. Melihat sikap wanita itu hendak menghadapi goloknya dengan tangan kosong saja, di dalam hatinya telah menjadi gentar.

   "Mau tahu namaku? Akulah Dewi Muntari, isteri Raden Mas Rangsang yang dibunuh anak buahmu!"

   Bentak Dewi Muntari. Brotokeling terkejut dan terbelalak, teringat akan cerita anak buahnya betapa Ki Blendu, wakilnya, telah berhasil membunuh Raden Mas Rangsang. Akan tetapi wanita itu ditolong seorang Kakek yang buruk sekali, akan tetapi yang memiliki kesaktian hebat sehingga Ki Blendu dan hampir seluruh anak buahnya tewas oleh Kakek itu. Kiranya wanita ini isteri Raden Masa Rngsang yang ditolong oleh Kakek itu!

   "Kalau begitu, sekarang engkau mampus!"

   Bentaknya dan dia sudah mengayunkan goloknya membacok dengan tenaga yang besar. Akan tetapi dengan lincahnya Dewi Muntari mengelak dan meloncat ke samping ia mengirim tendangan yang cepat.

   Kaki kanannya mencuat dan meluncur ke arah perut Brotokeling. Akan tetapi, biarpun terkejut karena hampir saja kakinya tertendang, Brotokeling dapat menghindar sambil menarik kakinya ke belakang. Kemudian dia menyerang lagi dengan lebih ganas. Dewi Muntari menggunakan kegesitannya. Sebetulnya, dengan Aji Kekebalan Trenggiling Wesi ysng dimilikinya, ia tidak takut terbabat golok, akan tetapi ia khawatir kalau-kalau pakaiannya akan terobek, maka ia mengelak kesana-sini sambil mengirim temparan atau tendangan yang tidak kalah hebatnya dibandingkan sambaran golok. Niken yang menonton pertandingan itu terbelalak kagum. Ibunya memang hebat sekali, bahkan Budhidharma juga kagum dan sama sekali tidak merasa khawatir akan keselamatan puteri itu. Dia yakin bahwa Dewi Muntari pasti akan dapat mengalahkan Ki Brotokeling.

   "Yaaaaaaahhhh...!"

   Ki Brotokeling yang merasa penasaran karena perutnya kena serempet kaki Dewi Muntari sehingga merasa mulas, kini mengayunkan goloknya sambil menggerakkan seluruh tenaganya. Dia kaget dan girang sekali melihat wanita itu kini tidak mengelak bahkan menangkis sabetan golok itu dengan tangan kanannya! Buntung lenganmu, pikirnya dengan girang.

   "Takkk...!"

   Golok itu tertahan, seolah tertangkis tongkat baja yang amat kuat dan selagi Brotokeling terbelalak kaget, tangan kiri Dewi Muntari menyambar dengan tamparan Aji Jaladi Geni.

   "Plakkk...!"

   "Aduhhhh, tobaaat...!"

   Ki Brotokeling terpelanting dan goloknya terlepas dari tangannya. Dia roboh dan memegangi pipinya yang terkena tamparan tadi. Rasa panas yang menusuk sampai membuat kepalanya seperti dibakar.

   "Bagaimana, Brotokeling? Kita lanjutkan?"

   Tantang Dewi Muntari.

   "Ampun... saya mengaku kalah...!"

   Kata Brotokeling tanpa malu-malu lagi. Tamparan itu sedemikian hebatnya sehingga membuat dia merasa kepalanya dibakar dan setengah mati.

   "Kalau begitu cepat katakan, siapa yang menyuruh engkau membunuh suamiku?"

   "Kami... kami diperintah oleh Gusti Pangeran Panjiluwih..."

   Akhirnya dia mengaku. Pengakuan ini tidak mengejutkan hati Dewi Muntari. Memang ia sudah mengetahui akan hal itu. Ketika ia ditangkap oleh Ki Blendu dahulu, Ki Blendu juga mengaku bahwa Pangeran Panjiluwih yang menyuruhnya. Ia menghendaki keterangan yang lain.

   "Jambuka Sakti bersekutu dengan Gagak Seto yang dipimpin Klabangkoro dan dengan Pangeran Panjiluwih. Apa maksudnya dan siapakah pemimpinnya? Apakah Pangeran Panjiluwih pemimpinnya?"

   "Kami hanya disuruh bersiap-siap, dan menanti perintah. Pemimpinnya adalah Kanjeng Gusti, kami tidak mengenalnya, Bahkan tidak pernah bertemu. Akan tetapi kalau perintah beliau dilanggar hukumannya amat berat. Yang menjadi perantara adalah Pangeran Panjiluwih..."

   "Dimana Kanjeng Gusti itu tinggal?"

   "Kabarnya di Kota Raja, entah di mana. Kami belum boleh mengetahuinya. Yang tahu hanya Pangeran Panjiluwih seorang."

   "Hemm, kami percaya keteranganmu. Akan tetapi, mulai sekarang engkau harus memimpin Jambuko Sakti ke arah jalan yang baik. Awas kalau lain kali aku mendengar kelompokmu melakukan kejahatan, kami akan datang lagi untuk membasmi kalian!"

   Kata Dewi Muntari sambil menendang dan tubuh Ki Brotokeling terlempar dan terguling-guling sampai jauh. Kepala perkumpulan yang terkenal ganas ini sekarang menjadi ketakutan dan berlutut minta ampun. Dewi Muntari mengajak Niken dan Budhi meninggalkan sarang Jambuka Sakti dan menuruni Lereng Gunung Bromo. Di tengah perjalanan menuju ke Kota Raja itu, Budhi minta agar kedua orang wanita berhenti berjalan karena dia hendak bicara.

   "Ada apakah, Budhi?"

   Tanya Dewi Muntari yang sekarang sudah merasa akrab dengan pemuda ini.

   "Kanjeng Bibi, saya merasa tidak berhak untuk ikut pergi menghadap Gusti Prabu di istana. Oleh karena itu, sebaiknya saya tidak ikut saja pergi ke sana."

   "Eh, kenapa begitu, Budhi?"

   Tanya Dewi Muntari dengan heran.

   "Pertama, saya tidak mendapatkan Tilam Upih seperti yang dipesankan Bapa Guru, yang saya dapatkan Tilam Upih palsu. Tidak mungkin saya menghaturkan keris palsu ini kepada Gusti Prabu. Dan kedua, Kanjeng Bibi berdua Diajeng Niken akan mengadakan pertemuan keluarga besar di istana, Bagaimana saya dapat menghadirinya? Saya adalah orang biasa dan tidak mempunyai kepentingan apapun di istana..."

   Berkata demikian, Budhi mengerling kepada Niken dan merasa rendah diri.

   "Kakang Mas Budhi, apa yang kau katakan ini? Mengapa tiba-tiba saja sikapmu berubah seperti ini? Kita sudah mengalami banyak hal bersama, Bahkan sudah menghadapi maut bersama, kenapa sekarang andika bersikap seolah-olah seorang asing di antara kami?"

   "Diajeng Niken... aku... aku..."

   Budhi tidak melanjutkan ucapannya, melainkan memandang kepada Dewi Muntari merasa rikuh dan canggung sekali. Dewi Muntari tersenyum. Ia tahu bahwa ada urusan pribadi di antara mereka sebaiknya kalau ia menyingkir.

   "Ah, sudahlah. Urusan itu kalian bicarakan berdua saja. Aku sudah lapar. Aku akan mendahului kalian pergi ke dusun di depan itu, mencari makanan. Nanti kalian menyusul."

   Tanpa menanti jawaban, puteri ini segera pergi meninggalkan mereka. Mereka berdiri saling berhadapan saling pandang.

   "Nah, Kakang Mas Budhidharma. Sekarang kita hanya berdua. Sebetulnya apakah yang menyebabkan engkau bersikap seperti ini?"

   Budhi menghela napas panjang. Selama berdua dengan Niken, dia merasakan kehidupan ini demikian gemilang dan lengkap. Bahkan ketika mereka berdua menghadapi ancaman maut di goa dia tidak merasa nelangsa dan putus asa karena di sana ada Niken. Sekarang, dia seolah merasa ada ancaman yang akan merenggut gadis itu pergi darinya! Niken adalah cucu Sang Prabu Jayabaya, tentu setelah masuk istana keadaannya lain lagi, menjadi puteri istana dan bukan orang biasa. Bagaimana dia dapat menemuinya lagi, apa lagi bergaul seperti biasa dengannya? Tentu tidak mungkin. Membayangkan perpisahan yang dihalangi tembok istana ini, hatinya menjadi sedih dan inilah yang menyebabkandia bermaksud tidak ikut agar jangan menghadapi perpisahan yang akan menghancurkan hatinya itu. Lebih baik berpisah sekarang, selagi mereka masih bergaul sebagai sahabat!

   "Diajeng Niken Sasi, apa yang dapat kukatakan? Makin kubayangkan, makin meresahkan hatiku. Andika adalah cucu Sang Prabu Jayabaya, seorang puteri istana. Sedangkan aku... aku seorang pemuda biasa, miskin papa, yatim piatu pula. Aku seharusnya menyembah-nyembah kepadamu, bahkan bicara seperti sekarangpun sudah tidak pada tempatnya. Karena itu aku... aku sebaiknya mengundurkan diri dan tidak mengganggumu lagi..."

   "Kakang Mas Budhi! Apa yang kau ucapkan ini? Apakah selama ini aku pernah bersikap tinggi dan tidak wajar kepadamu? Bukankah kita telah bergaul sebagai sahabat yang baik, yang sama-sama menghadapi ancaman maut berulang kali? Kakang Mas Budhi. Bagiku, andika adalah seorang yang pantas kuhormati seorang budiman yang agung, dan aku merasa terhormat sekali menjadi sahabatmu. Kakang Mas Budhi, apakah engkau tidak senang bersahabat denganku maka sekarang hendak meninggalkan aku?"

   "Demi para dewata yang agung! Sama sekali tidak begitu, diajeng. Aku bahkan senang sekali, bangga dapat berdekatan denganmu. Akan tetapi justeru itulah yang membuat aku merasa ngeri. Kalau sudah sampai ke istana, engkau menjadi puteri istana dan sepantasnya engkau berdiam di istana. Sedangkan aku... bagaimana aku dapat bertemu denganmu lagi, dapat bergaul denganmu lagi? Aku... aku takut kehilangan engkau diajeng..."

   Suara Budhidharma menggetar penuh perasaan dan ini terasa sekali oleh Niken Sasi. Gadis ini menghampiri lebih dekat dan berkata dengan wajah kemerahan dan suara lirih gemetar,

   "Kakang Mas Budhi! Katakan sekali lagi..."

   Budhi tidak dapat lagi menahan gelora hatinya dan dia memegang kedua tangan gadis itu, digenggamnya erat-erat seolah dia tidak ingin melepaskannya lagi.

   "Aku takut kehilangan engkau diajeng!"

   Niken mengangkat mukanya dan menatap pemuda itu. Dua pasang mata bertemu, bertaut mewakili hati mereka dan dengan suara lirih Niken berkata.

   "Aku juga tidak ingin kehilangan engkau, Kakang Mas."

   Kata-kata itu terdengar begitu merdu bagi telinga Budhi sehingga dia memejamkan matanya dan merasa seperti mimpi. Dia merangkul gadis itu dan seolah hendak membenamkan kepala itu ke dalam dadanya.

   "Diajeng Niken, katakanlah apakah aku tidak sedang bermimpi?"

   "Tidak, Kakang Mas. Kita dalam keadaan sadar."

   "Akan tetapi betapa mungkin? Engkau, cucu Sang Prabu, dan aku, Joko Lola (yatim piatu) yang papa, mungkinkah kita saling mencinta?"

   "Kenapa tidak mungkin, Kakang Mas. Aku tidak pernah merasa menjadi seorang puteri istana. Sejak aku masih kecil orang-orang dalam istana mencemoohku sebagai keturunan biasa, keturunan orang dusun. Tidak, aku tidak ingin menjadi puteri istana, aku ingin menjadi orang dusun saja asalkan selalu berada di sampingmu."

   "Diajeng...!"

   "Kakang Mas...!"

   Keduanya berangkulan dan merasa hati mereka bersatu padu. Sampai lama mereka dalam keadaan mesra seperti itu. Akan tetapi Budhi segera menyadari keadaan dan dengan lembut dia melepaskan pelukannya dan menggandeng tangan Niken, diajak duduk di atas batu.

   "Diajeng Niken Sasi,"

   Kata Budhi setelah mereka duduk di atas batu.

   "Marilah kita kesampingkan dulu gelora perasaan hati dan mari kita sadar sepenuhnya melihat dan membicarakan kenyataan yang ada. Kita saling mencinta, dan aku berterima kasih sekali, merasa berbahagia sekali bahwa engkau juga mencintaiku seperti aku mencintaimu. Akan tetapi, diajeng. Bagaimana kasih sayang kita ini dapat diujudkan menjadi perjodohan? Perjodohan bukan hanya urusan dua orang manusia seperti engkau dan aku, melainkan menyangkut pula keluarga dan menjadi urusan yang yang harus disetujui pula oleh keluarga. Bagiku sendiri tidak ada masalah, diajeng, karena aku adalah yatim piatu, tidak ada orang lain yang akan memuuskan kecuali aku sendiri. Akan tetapi engkau..."

   "Ibuku pasti menyetujui, Kakang Mas. Ingat, biarpun kami ini tadinya tinggal di istana, akan tetapi sudah bertahun-tahun kami menjadi orang biasa. Aku menjadi anggota Gagak Seto, dan Ibu menjadi murid seorang sakti."

   "Aku percaya bahwa Ibumu bijaksana dan akan menyetujui. Akan tetapi keluargamu bukan hanya Ibumu saja. Seluruh penghuni istana adalah keluargamu. Bagaimana mereka dapat menerima seorang dusun biasa seperti aku menjadi anggota keluarga?"

   Budhi berkata dengan nada sedih.

   "Sudahlah, Kakang Mas, jangan pikirkan yang tidak-tidak. Bagaimana nanti sajalah. Pendeknya, aku akan tetap setia kepadamu walaupun apa yang akan terjadi. Kalau perlu, aku akan meninggalkan istana dan ikut denganmu."

   Sepasang mata Budhi bersinar-sinar. Saking bahagianya dia kembali mendekap gadis itu dan menciumnya. Niken pasrah dan mendah saja sambil memejamkan mata dan dengan hati yang berbunga-bunga. Akan tetapi tidak lama mereka terbuai suasana yang asyik-asyik itu karena mereka teringat akan Dewi Muntari.

   "Wah, kita harus cepat menyusul Kanjeng bibi ke dusun itu. Jangan sampai terlalu lama ia menunggu!"

   Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata Budhi dan sambil bergandengan tangan mereka lalu pergi ke dusun di depan. Ternyata Dewi Muntari telah dapat membeli ayam, telur, dan sayur-sayuran dan mereka lalu menumpang memasak semua itu di rumah seorang keluarga petani sederhana yang menerima mereka dengan senang hati. Dewi Muntari tersenyum gembira melihat perubahan sikap Budhidharma.

   "Anakmas Budhi, engkau tidak jadi pergi, Bukan?"

   Wajah Budhi kemerahan dan dia melirik kepada Niken.

   "Tidak, Kanjeng bibi. Saya ingin ikut, mengantarkan Kanjeng bibi berdua sampai ke Kota Raja."

   "Bukan hanya mengantarkan, Budhi. Engkau harus membantu kami membongkar rahasia ini. Suamiku dibunuh penjahat yang katanya disuruh oleh Pangeran Panjiluwih, akan tetapi ternyata di belakang Pangeran itu masih ada yang menjadi pemimpinnya, yang disebut Kanjeng Gusti. Kita harus dapat mengetahui siapa sebenarnya Kanjeng Gusti itu dan apa niat busuknya dengan persekutuan itu."

   "Saya juga penasaran tentang hilangnya Tilam Upih, Kanjeng bibi. Pencuri yang dengan mudah mampu mengalahkan Ki Surodiro adipati Nusa Kambangan tentu seorang yang sakti. Saya ingin mencari Tilam Upih sampai dapat untuk dihaturkan kembali kepada Gusti Prabu."

   "Bagus, tekadmu itu baik sekali. Mudah-mudahan kita semua akan berhasil."

   Mereka lalu makan minum dengan gembira, Budhidharma makan dengan lahapnya. Hatinya penuh kebahagian karena hubungannya dengan Niken Sasi. Gadis itu mencintainya bahkan menyatakan akan setia kepadanya, apapun yang akan terjadi dan akan meninggalkan istana ikut dengannya! Cinta memang amat berkuasa atas batin seseorang dan setiap orang manusia tidak akan pernah bebas dari godaan cinta. Cinta dapat membuat seseorang menjadi bahagia, akan tetapi sebaliknya dapat pula membuat seseorang menjadi sengsara.

   Demikianlah sifat cinta manusia. Cinta manusia berpamrih. Cinta manusia ingin selau mendapatkan, ingin menguasai, ingin memiliki, ingin disenangkan. Itulah pamrihnya. Seperti juga cinta Budhidharma terhadap Niken Sasi atau sebaliknya. Mereka saling mencinta karena saling membutuhkan, saling tertarik. Mereka ingin menikmati kesenangan dari masing-masing. Tentu saja cinta seperti ini dapat mendatangkan kesenangan dan juga kesengsaraan. Senang apabila keinginan hati terpenuhi, sebaliknya kecewa sengsara kalau keinginan hati tidak terpenuhi. Budhidharma merasa berbahagia karena cintanya terbalas. Dia tentu akan merasa sengsara andaikata cintanya tidak terbalas! Dan cinta seperti yang kita

   (Lanjut ke Jilid 13 - Tamat)

   Asmara Dibalik Dendam Membara (Judul Lepas)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13 (Tamat)

   kenal selama dalam kehidupan ini adalah cinta seperti itulah. Cinta berpamrih. Seperti jual beli. Baik cinta terhadap kekasih, terhadap sahabat, terhadap anak, atau terhadap siapapun.

   Masih adakah cinta kita terhadap kekasih kalau sang kekasih itu tidak membalas cinta kita, kalau kekasih itu berpaling kepada orang lain? Masih adakah cinta kita kepada sahabat kalau sahabat itu melakukan hal yang merugikan kita? Masih adakah cinta kita kepada anak kalau si anak itu tidak menurut dan bahkan durhaka terhadap kita? Dan masih banyak contohnya lagi. Kita mencintai seseorang karena kebaikannya, karena kepandaiannya, karena kecantikan atau ketampanannya, karena kedudukan atau hartanya. Kita bukan mencinta karena ORANGNYA. Kalau kita mencinta orangnya, mencinta dengan sepenuhnya, maka segala kekurangan dan cacat-celanya juga akan kita terima dengan hati terbuka. Cinta Tuhan adalah cinta suci yang tidak berpamrih. Melalui alam ciptaNya, Tuhan melimpahkan kasih sayangnya kepada kita semua.

   Tuhan itu memberi, memberi dan memberi. Tidak pernah minta, namun segala sesuatu, tanpa kecuali, akhirnya akan kembali juga kepadaNya. Seperti cinta Tuhan melalui bumi. Bumi itu hanya memberi dan memberi tidak pernah minta, akan tetapi akhirnya semua akan kembali kepada Bumi. Demikianlah Kasih Tuhan. Tidak memilih, tidak bersyarat. Setangkai bunga mawar sama harumnya dalm penciuman seorang pendeta atau seorang penjahat, dalam penciuman seorang raja atau seorang pengemis. Kicau burung sama merdunya dalam pendengaran seorang pandai maupun seorang bodoh, seorang bangsawan maupun seorang dusun. Kalau sudah merenungkan semua itu dan membuka mata melihat "Cinta"

   Kita terhadap siapa saja, akan nampak betapa dangkalnya cinta yang tadinya kita agung-agungkan.

   Dan berbahagialah orang yang setelah menyadari akan hal ini dapat berubah. Selama cinta kita tidak berubah, masih berpamrih, selama itupula cinta kita terumbang-ambingkan kebahagian akan tetapi dapat pula mendatangkan penderitaan. Sepasang mata Dewi Muntari kemerahan dan ia menahan tangisnya ketika mereka bertiga memasuki Kota Raja. Karena dandanannya, tidak ada orang yang mengenal puteri raja ini. Dewi Muntari merasa amat terharu melihat Kota Raja. Telah bertahun-tahun Kota Raja ditinggalkannya. Semenjak meninggalkan Kota Raja untuk bertamasya ke pegunungan Anjasmoro bersama suaminya, ia tidak pernah lagi kembali, sampai delapan tahun lebih. Dan kini ia kembali tanpa suaminya yang tewas dibunuh orang.

   "Kita langsung saja ke istana. Aku harus lebih dulu menghadap Kanjeng Rama Parbu untuk menceritakan tentang kepergianku selama ini."

   Kata Dewi Muntari kepada Niken Sasi dan Budhidarma. Mereka lalu menuju ke alun-alun di depan istana. Sementara itu, kedatangan mereka sejak di pintu gapuro sudah diketahui orang. Panjiluwih sudah memasang banyak mata-mata dan begitu dia mengetahiu akan kedatangan tiga orang ini, dia terkejut dan cepat memberitahu kepada Senopati Lembudigdo.

   "Pemuda yang merampas Tilam Upih berada di Kota Raja. Cepat tangkap. Dia datang bersama Kakang-mbok Dewi Muntari dan Niken Sasi yang sudah bertahun-tahun minggat dari istana!"

   Mendengar ini, Senopati Lembudigdo terkejut juga. Jangan-jangan mereka mempunyai niat jahat terhadap Sang Prabu. Maka, Senopati yang setia ini lalu mengerahkan perajurit dan menghadang di alun-alun. Begitu mereka bertiga muncul, Lembudigdo sudah memapakinya bersama pasukannya.

   "Kakang Senopati Lembudigdo!"

   Kata Dewi Muntari.

   "Tidak kenalkah andika dengan aku? Aku Dewi Muntari, ingin menghadap Kanjeng Rama Prabu. Harap memberi jalan."

   Lembudigdo memberi hormat.

   "Harap Paduka memaafkan saya. Akan tetapi karena sudah bertahun-tahun Paduka meninggalkan istana dan kini kembali bersama pemuda ini, terpaksa saya menahan Paduka. Bukankah pemuda ini yang bernama Budhidharma dan yang telah merampas Tilam Upih dari Adipati Nusa Kambangan?"

   Budhidharma menjawab,

   "Benar, sayalah Budhidharma."

   "Kalau begitu serahkan dulu Tilam Upih kepada kami kemudian andika sekalian akan saya hadapkan kepada Gusti Prabu."

   "Tidak dapat saya menghaturkan Tilam Upih, karena yang saya terima dari Adipati Nusa Kambangan hanyalah Tilam Upih palsu."

   Kata Budhidharma. Tentu saja Senopati Lembudigdo tidak mau menerima begitu saja keterangan Budhi.

   "Kalau begitu, terpaksa andika bertiga kami tawan dan kami hadapkan kepada Gusti Prabu!"

   Niken Sasi sudah bertolak pinggang dengan marah.

   "Coba tawan kami kalau dapat!"

   Serunya sambil memasang kuda-kuda untuk mengamuk. Akan tetapi Dewi Muntari membentak puterinya.

   "Niken, diam kau !"

   Lalu ia menghadapi Lembudigdo dan berkata dengan lembut.

   "Kakang Senopati Lembudigdo, kalau kami hendak dihadapkan kepada Kanjeng Rama Prabu, silakan!"

   Dengan sikap hormat namun waspada, Senopati Lembudigdo lalu mengirim laporan ke dalam untuk minta menghadap Sang Prabu Jayabaya karena keperluan yang amat penting mengenai keris pusaka Kyai Tilam Upih. Dia sudah melapor kepada Sang Prabu Jayabaya bahwa menurut keterangan Adipati Nusa Kambangan, Kyai Tilam Upih telah diserahkan kepada Budhidharma. Sang Prabu menerima permohonannya dan sudah siap menerima mereka di balai persidangan. Kebetulan pada saat itu dia sedang menerima Pangeran Sepuh Wijayanto menasihatkan Sang Prabu Jayabaya agar mengutus para Senopati mencari dan menangkap pemuda bernama Budhidharma itu yang telah memiliki keris pusaka Tilam Upih.

   Ketika menerima laporan dari pengawal bahwa Senopati Lembudigdo mohon menghadap sambil membawa tawanan tiga orang, yaitu seorang pemuda bernama Budhidarma bersama puterinya, Dewi Muntari dan cucunya, Niken Sasi, Sang Prabu Jayabaya mengerutkan alisnya dan cepat memerintahkan agar Senopati itu membawa para tawanan masuk. Begitu tawanan itu digiring masuk Dewi Muntari sudah maju berlutut di depan Ayahnya, demikian pula Niken Sasi sedangkan Budhidarma juga berlutut dan menyembah dari jarak agak jauh karena dia dilarang mendekat oleh Senopati Lembudigdo yang mencurigainya. Sang Prabu Jayabaya mengerutkan alisnya memandang kepada puterinya.

   

Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini