Ceritasilat Novel Online

Asmara Dibalik Dendam Membara 1


Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Bagian 1




   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 01

   "Budhi, engkau hendak kemanakah?"

   Wanita berusia tiga puluh tahun yang cantik jelita itu bertanya dengan suara lembut. Anak berusia sepuluh tahun bernama Budhi itu menahan langkahnya, lalu membalikkan tubuh memandang Ibunya.

   "Aku hendak memetik dawegan (kelapa muda) di tepi anak sungai itu, Ibu. Dan juga buah-buah sawo di dekat sawah itu sudah banyak yang tua dan masak. Kalau tidak diambil, tentu akan didahului kelelawar, Ibu."

   Ni Sawitri, Ibu muda yang cantik jelita itu tersenyum dan memandang kepada puteranya dengan sinar mata penuh kebanggaan dan kasih sayang. Puteranya itu rajin sekali dan baru berusia sepuluh tahun tubuhnya sudah nampak berisi, jelas memperlihatkan hasil penggemblengan Ayahnya dalam ilmu kanuragan.

   "Kalau begitu, kau sekalian bantu Ibumu, Budhi. Di dusun Gedangan di bawah itu terdapat beberapa orang anak yang sedang menderita penyakit murus. Aku harus mengobati mereka karena keadaan mereka gawat. kau carikan pupus daun jambu biji, adas pulosari, kunyit dan temulawak secukupnya."

   Budhi membelelekkan matanya yang bersinar tajam, lalu menggelengkan kepalanya dan tertawa.

   "Wah, Ibu. Aku khawatir tidak dapat mencarikan itu semua. Selain terlalu banyak dan aku lupa lagi namanya, juga aku tidak mengenal rempah-rempah itu. Sebaiknya Ibu ikut agar dapat memilih sendiri di ladang yang Ibu tanami penuh dengan rempa-rempa itu."

   Ni Sawitri tertawa.

   "Ih, engkau ini membikin malu Ibu saja. Ibumu seorang ahli jamu akan tetapi puteranya tidak mengenal adas pulosari! Baiklah, aku pergi bersamamu agar engkau dapat belajar mengenal rempa-rempa itu. Akan tetapi kita pamit dulu kepada Ayahmu."

   Budhidarma, anak itu, yang sudah berada di ambang pintu depan, masuk kembali mengikuti Ibunyamenuju ke sebuah ruangan di bagian belakang yang menjadi sanggar pamujan di mana Ayah- nya melakukan puja semadhi. Ni Sawitri mengetuk pintu kamar itu dan tak lama kemudian terdengar helaan napas panjang disambung suara seorang pria,

   "Engkau kah itu, Diajeng?"

   "Benar, Kakang Margono. Aku dan Budhi hendak pamit karena kami hendak pergi mencari rempa-rempa dan buah-buahan."

   "Masuklah dulu, diajeng. Dan engkau juga Budhi, aku ingin melihat kalian."

   Sepasang alis Sawitri agak berkerut karena ia merasa heran sekali mendengar ucapan itu. Ia segera menggandeng tangan puteranya dan didorongnya pintu kamar itu lalu keduanya masuk ke dalam. Mereka melihat Ki Margono sedang duduk bersila di atas tikar di lantai. Ada apakah, kangmas? Ni Sawitri juga duduk bersimpuh di depan suaminya dan Budhidarma juga duduk bersila di samping Ibunya dan memandang kepada Ayahnya. Ki Margono adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh lima tahun, akan tetapi wajahnya kelihatan lebih tua dari usianya. Pada wajah yang tampan itu terdapat goresan-goresan penderitaan bathin dan sinar matanya sayu. Melihat betapa isterinya memandang kepadanya dengan khawatir, dia mencoba tersenyum.

   "Tidak apa-apa, diajeng. Aku hanya ingin melihat kalian. Hatiku merasa tidak nyaman, karena itu jangan

   lama-lama kalian pergi."

   "Ah, kalau begitu aku tidak jadi pergi saja!"

   Kata Ni Sawitri.

   "Pergilah, diajeng. Engkau hendak mencari rempa-rempa untuk mengobati anak-anak di dusun Gedangan itu, bukan? Jangan sia-siakan tugasmu, diajeng."

   "Akan tetapi aku khawatir..."

   "Apa yang dikhawatirkan? Di atas semua kekusaan masih ada kekuasaan tunggal yang tertinggi, yang menentukan segala yang akan terjadi di dunia ini. Aku telah memasrahkan diriku kepada kekuasaan Hyang Widhi, maka apapun yang terjadi akan kuterima sebagai kehendaknya. Apapun yang terjadi menimpa diri kita, yang baik maupun yang buruk bukan lain hanyalah buah hasil perbuatan kita sendiri, karena itu aku sudah siap dan rela menerimanya, diajeng. Perasaan khawatir akan terjadinya sesuatu yang akan menimpa diri kita hanya menunjukkan bahwa kita masih ragu dan kurang teguh iman kita kepada kekuasaan Hyang Widhi. Nah, pergilah, diajeng, pergilah melaksanakan tugas suci itu."

   Ni Sawitri mengangguk, akan tetapi ketiak ia hendak meninggalkan kamaritu, ia berpesan.

   "Kakang Mas, aku pergi takkan lama. Tinggallah di dalam kamar saja, Kakang Mas, jangan pergi kemana-mana dan tunggu sampai kami kembali."

   Ki Margono tersenyum dan mengangguk. Tentu, aku takkan pergi ke manapun.

   Dan engkau tahu bahwa aku cukup mampu menjaga diriku sendiri andaikata ada marabahaya. Nah, pergilah isteriku dan anakku yang terkasih. Ibu dan anak itu meninggalkan pondok mereka yang sederhana. Keluarga ini tinggal di pondok yang berdiri di lereng bukit itu, tanpa tetangga karena mereka memang sengaja hidup menyendiri di lereng bukit dekat anak sungai. Dusun yang menjadi tetangga mereka adalah dusun Gedangan yang nampak dari lerang itu, sebuah dusun kecil dengan hanya sekitar tiga puluh rumah. Sudah lima tahun keluarga yang terdiri dari tiga orang ini tinggal di lereng bukit itu, di ujung timur daerah Kerajaan Daha. Para penduduk dusun di sekitar tempat itu tidak ada yang tahu dari mana keluarga ini berasal, akan tetapi tidak ada yang berani bertanya karena suami isteri dengan seorang itu jelas bukan orang dusun. Hal ini jelas nampak dari sikap dan cara mereka bicara yang halus.

   Juga keterbukaan tangan mereka untuk menolong penduduk dusun, terutama sekali mengobati mereka yang sedang menderita sakit, membuat mereka sungkan dan menaruh hormat. Setelah meninggalkan rumahnya, Ni Sawitri merasa gelisah. Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, akan tetapi jantungnya seringkali berdebar. Apakah sudah waktunya mereka harus berpindah tempat lagi? Selama sepuluh tahun ini, ia dan suaminya berpindah-pindah tempat. Baru sekarang ini mereka tinggal menetap di sebuah tempat sampai lima tahun lamanya. Biasanya mereka berpindah-pindah dan tidak pernah tinggal di suatu tempat lebih lama dari setahun. Mereka hanya pindah lagi! Ia mengambil keputusan. Ia akan mengajak suaminya pergi dari situ dan pindah ke lain tempat lagi. Siapa tahu para pengejar itu telah berhasil menemukan tempat tinggal mereka. Ia bergidik.

   "Budhi...!"

   Ia memanggil puteranya. Budhi yang sedang memanjat pohon sawo dan mencari buahnya yang sudah tua, menjawab dari atas pohon.

   "Ada apakah Ibu?"

   "Turunlah kita pulang sekarang!"

   "Tapi aku baru mendapatkan sedikit..."

   "Turunlah, nanti kita cari lagi. Kita harus pulang sekarang juga!"

   Suara Ibunya bergitu mendesak sehingga Budhidharma lalu turun dan mengumpulkan dawegan dan sawo yang telah dipetiknya. Kemudian dia memanggul keranjang berisi buah-buahan itu, dan bersama Ibunya yang membawa rempa-rempa dia pulang. Ni Sawitri melangkah dengan cepat sekali sehingga puteranya harus setengah berlari agar tidak tertinggal. Tak lama kemudian sampailah mereka di pondok mereka. Sunyi saja di sekitar pondok seolah tidak terjadi sesuatu. Ni Sawitri menghela napas lega. Akan tetapi ketika mereka tiba di halaman depan pondok mereka, Ni Sawitri melihat banyak jejak kaki di atas tanah. Wajahnya seketika menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan berbisik, penuh kakhawatiran dan bisikannya gemetar,

   "Kakang Margono...!"

   Kemudian berlarilah ia ke arah pintu depan pondoknya lalu menerjang daun pintu yang tertutup. Daun pintu terbuka dan ia melompat ke dalam. Budhidharma tercengang dan anak ini hanya berdiri memandang Ibunya, tidak mengerti mengapa Ibunya demikian gelisah.

   "Kakang Margono...!!"

   Teriakan melengking suara Ibunya itu membuat Budhi melonjak kaget dan dia melepaskan keranjanganya lalu berlari memasuki pondok. Begitu melangkahi ambang pintu, Budhi tertegun terbelalak memandang ke dalam. Dia melihat Ayahnya mandi darah, kepalanya di atas pangkuan Ibunya yang merangkulnya sambil menangis. Saking terkejut dan bingungnya, dia hanya berdiri seperti patung, tidak mampu mengeluarkan suara, juga tidak tahu harus berbuat apa. Akan tetapi dia memandang penuh perhatian. Dilihatnya Ayahnya menggerakkan tangan kanannya yang yang berlumuran darah, merangkul dan menarik leher Ibunya sehingga kepala Ibunya menunduk, lalu terdengar suara Ayahnya yang parau, seolah suara itu hanya sampai di lehernya

   "... Me... mereka... datang... Gagak Seto... ahhhh..."

   Tangan itu jatuh kembali, kepala itu terkulai diatas pangkuan.

   "Kakang Margono...! Kakang...!! Ni Sawitri memekik, suaranya melengking tinggi kemdian tubuhnya terkulai lemas, pingsan sambil merangkul suaminya! Melihat ini, Budhi berlari dan berlutut di dekat Ayah Ibunya, menangis.

   "Ibu... ayah...!"

   Dia mengguncang-guncang pundak Ibunya dan dengan hati ngeri dia melihat betapa darah membasahi seluruh tubuh Ayahnya.

   "Ibu... bangunlah, Ibu...! Ibuuu...!"

   Budhi berteriak-teriak sambil menangis. Ni Sawitri bergerak, membuka mata dan terbelalak memndang suaminya, akan tetapi ketika ia melihat puteranya, ia kelihatan ketakutan, memandang liar ke kanan kiri, kemudian ia memegang kedua pundak Budhi sehingga pundak yang tak berbaju itu belepotan darah pula.

   "Cepat, engkau harus cepat pergi dari sini! Budhi, engkau larilah, tinggalkan tempat ini!"

   Katanya dengan suara gemetar.

   "Akan tetapi, kenapa, Ibu...?"

   Budhi memandang bingung. Ni Sawitri mengambil seluruh benda dari balik kembennya dan menyerahkannya kepada Budhi,

   "Ini... bawa ini... kalau engkau tertangkap, perlihatkan ini dan mereka tidak akan berani membunuhmu."

   "Mereka siapakah Ibu yang telah membunuh Ayah dan membuat Ibu ketakutan?"

   "Orang-orang perkumpulan Gagak Seto dari Gua Tengkorak di Gunung Anjasmoro... sudahlah, pergi sekarang, tinggalkan rumah ini cepat!"

   Karena Budhi masih juga meragu, Ni Sawitri lalu menyambar lengannya dan menariknya keluar. Setelah tiba di halaman depan, wanita itu mendorang pundak Budhi.

   "Cepat lari...!"

   "Tapi, Ibu...!"

   Budhi menangis, kebingungan. Pada saat itu, terdengar bunyi burung gagak yang parau dan nyaring.

   "Goak, goak, goaaaak...!"

   Ni Sawitri terbelalak dan ia sudah mencabut sebatang keris dari ikat pinggangnya.

   "Budhi, cepat lari! Taatilah Ibumu!"

   Ia membentak dan sekali ini Budhi tidak berani membantah lagi.

   Dia meloncat dan melarikan diri, benda pemberian Ibunya itu masih di gengamnya. Akan tetapi belum jauh ia lari. terdengar suara tawa bergelak dan ketika dia menengok ke belakang, dia melihat belasan orang berpakaian serba hitam berloncatan ke halaman pondoknya. Melihat Ibunya dikepung belasan orang itu, Budhi tidak melanjutkan larinya. Dia mendekam di balik semak-semak yang rimbun dan mengintai dengan jantung berdebar. Ni Sawitri dengan keris di tangan menghadapi mereka dan memandang kepada seorang pria tinggi besar yang menjadi pimpinan gerombolan orang itu. Seperti juga anak buahnya, pria tinggi besar ini juga memakai pakaian serba hitam dan di bagian dadanya, baju itu terdapat gambar seekor burung gagak putih. Hanya bedanya, kalau semua anak buahnya memakai ikat pinggang berwarna putih, pria ini mengenakan ikat pinggang berwarna kuning gading.

   "Hemmm, kiranya andika yang datang bersama pasukan Gagak Seto, Kakang Klabangkoro!"

   Kata Ni Sawitri dan sepasang mata wanita ini berkilat penuh kemarahan.

   "Tidak perlu kutanyakan lagi, tentu andika yang pula yang telah membunuh Kakang Margono!"

   "Ha-ha-ha-ha! Selama sepuluh tahun lebih engkau dapt menyembunyikan diri bersama kekasihmu itu dan baru sekarang kami temukan tempat persembunyianmu. Benar, kami yang membunuh Margono si penghianat itu, atas perintah bapa Guru, pimpinan kami. Dan atas perintah beliau pula kami harus membunuhmu, Sawitri."

   Pria tinggi besar yang berusia empat puluh tahun itu tertawa bergelak dan memandang kepada Sawitri dengan matanya yang besar.

   "Berani andiaka bersikap begini terhadap aku, Klabangkoro!"

   Ni Sawitri membentak marah.

   "Ha-ha-ha-ha! Dahulu engkau menjadi adik seperguruanku, kemudian menjadi Ibu guruku. Akan tetapi sekarang tidak lagi, Sawitri. Engkau bukan apa-apa bahkan engkau seorang pengkhianat yang sudah sepantasnya dihukum berat. Bapa guru memerintahkan aku untuk membunuhmu pula. Akan tetapi... hemmm, setelah sepuluh tahun lamanya, engkau tidak kelihatan semakin tua bahkan menjadi semakin denok, semakin ayu manis. Sayang kalau dibunuh begitu saja, ha-ha-ha!"

   "Keparat Klabangkoro! Engkau telah membunuh Kakang Margono. Aku tidak dapat mengampunimu. Engkau atau aku yang akan mengeletak di sini tanpa nyawa. Heiiiiiiittt...!"

   Dengan tangkas sekali Ni Sawitri menerjang ke depan sambil menusukkan kerisnya ke arah dada yang bidang itu. Klabangkoro tidak berani menganggap rendah lawannya. Ni Sawitri pernah menjadi murid terkasih dari ketua perkumpulan Gagak Seto, dan biarpun dia pernah menjadi Kakang seperguruan wanita itu, belum pernah dia dapat menandingi ilmu kesaktiannya. Bahkan dibandingkan Margono, tingkat kepandaian Ni Sawitri masih lebih tinggi. Akan tetapi selama ini Klabangkoro juga telah diberi ilmu baru oleh gurunya, yaitu ilmu cambuk yang disebut Pecut Dahono(Cambuk api). Biasanya dia bersenjata golok, dan sekarang pun dia memegang golok dan menghadapi tusukan keris di tangan Ni Sawitri, dia mengelak sambil memutar goloknya melindungi dirinya.

   "Trang-trang-trang...!!"

   Tiga kali keris di tangan Ni Sawitri bertemu dengan tangkisan golok tergetar dan panas. Tahukah dia bahwa sampai sekarang dia masih kalah kuat, maka dia lalu berseru kepada anak buahnya.

   "Kepung dan tangkap! Akan tetapi jangan membunuhnya, tangkap hidup-hidup!"

   Tujuh belas orang anak buah gagak Seto itu lalu mengepung dengan senjata golok di tangan kanan. Mereka mengelilingi wanita itu dengan sikap mengancam. Akan tetapi Ni Sawitri tidak merasa takut, bahkan ia menjadi semakin marah dan bertekat untuk memmbunuh semua orang yang telah menewaskan suaminya itu.

   "Majulah kalian semua, keparat-keparat busuk, manusia-manusia kejam berhati binatang. Akan kubasmi kalian semua!"

   Ni Sawitri berdiri tegak dengan kaki terpentang, keris di depan dada dan tangan kirinya diankat ke atas dengan jari tangan terbuka, siap untuk melancarkan tamparan maut. Karena belasan orang itu masih meragu dan jerih untuk maju menangkap wanita yang mereka tahu amat perkasa itu, Ni Sawitri mendahului mereka, menerjang maju dan kerisnya berkelebatan menyambar-nyambar dan dalam beberapa gebrakan saja, dua orang roboh terkena tamparan dan seorang roboh berkelejotan dengan dada terluka tusukan keris!

   "Tar-tar-tar...!"

   Cambuk panjang di tangan Klabangkoro meledak-ledak dan mematuk ke arah Ni Sawitri yang sedang menghadapi pengeroyokan banyak anak buah Gagak Seto. Ia berusaha untuk mengelak, namun karena perhatiannya terbagi dan serangan cambuk itu cepat sekali, tetap saja tubuhnya dua kali disengat ujung cambuk dan kainnya terobek di dua tempat, juga kulitnya terasa panas seperti terbakar! Kain nya robek di bagian paha kiri dan pinggang kanan sehingga nampak kulit tubuhnya yang putih mulus.

   "Ha-ha-ha! Menyerahlah saja, Wong ayu, dari pada tubuhmu menderita nyeri!"

   Kata Klabagkoro sambil tertawa bergelak. Ni Sawitri marah sekali dan menerjang ke arah pria tinggi besar itu, akan tetapi kembali anak buah Gagak Seto mengepungnya sehingga terpaksa ia menyambut mereka dan kembali merobohkan dua orang di antara mereka. Akan tetapi selagi ia mengamuk kembali cambuk di tangan Klabangkoro meledak dan melecut-lecut sehingga kain yang menutupi tubuh Ni Sawitri menjadi compang-camping, robek di sana sini membuatnya hampir telanjang. Tiba-tiba cambuk itu menyambar ke bawah dan tanpa dapat terhindarkan lagi, cambuk yang panjang itu sudah melibat kedua kaki Ni Sawitri, dari mata kaki sampai ujung lutut. Wanita itu terkejut, mencoba untuk meloncat, akan tetapi karena kedua kakinya terlibat kuat, iapun terpelanting dan roboh!

   "Ha-ha-ha, cepat ringkus ia. Ikat kaki tangannya! Ha-ha-ha!"

   Melihat banyak tangan yang berotot kasar dijulurkan ke arahnya, tahulah Ni Sawitri bahwa perlawanannya telah berakhir. Tak mungkin ia mampu meloloskan diri dari tangan mereka dan ia tahu bahwa kalau sampai ia tertangkap hidup-hidup oleh Klabangkoro ia akan mengalami malapetaka yang lebih mengeriakn dari pada maut. Sejak lama Klabangkoro menaruh hati kepadanya, akan tetapi ia selalu menjauhkan diri. Tentu Klabangkoro mendendam sakit hati dan iri ketika ia melarikan diri bersama Margono dan kalau ia tertangkap hidup-hidup, tentu ia akan diperkosadan menderita penghinaan yang hebat.

   "Kakang Margono, Tunggu aku, Kakang...!"

   Wanita itu memekik lantang, kemudian cepat sekali kerisnya sudah menghujam dadanya sendiri! Peristiwa itu cepat sekali terjadi sehingga tidak keburu dicegah oleh Klabangkoro dan anak buahya. Tahu-tahu tubuh Ni Sawitri sudah terkulai miring dan keris itu menancap di dada sampai ke gagangnya.

   "Ibuuuu...!!"

   Budhidhama yang sejak tadi mengintai dengan jantung berdebar tegang, ketika melihat Ibunya roboh kemudian terkulai mandi darah, tak dapat menahan diri lagi, meloncat keluar dari balik semak belukar dan lari menghampiri Ibunya. Melihat Ibunya rebah miring dengan pakaian koyak-koyak dan tubuh bagian atas bersimbah darah, Budhi menubruk dan merangkul tubuh Ibunya.

   "Ibu... Ibu...!"

   Dia menangis sambil memanggil-manggil Ibunya. Ni Sawitri membuka matanya dan menggerakkan lengan kanan dengan lemah, merangkul anaknya. Suaranya terdengar lirih dan lemah ketika ia berkata, seperti berbisik saja.

   "... Anakku... Budhidharma... Larilah dan... jangan... jangan membalas dendam..."

   Mata itu terpejam kembali dan napasnyapun berhenti. Budhi menjerit dan merangkul jenazah Ibunya.

   "Heiii, ini anaknya! Bunuh saja! Terdengar bentakan di atasnya dan ketika mengangkat mukanya, dia melihat pria tinggi besar bernama Klabangkoro yang membunuh Ibunya. Diapun meloncat berdiri dan dengan air mata masih bercucuran, dia menudingkan telunjuk tangan kananya ke arah muka Klabngkoro.

   "Kau... kau... Jahanam! kau membunuh Ayah Ibuku!"

   Setelah berkata demikian, dengan nekat Budhidharma menerjang ke arah Klabangkoro dengan kedua tangan terkepal. Biarpun dia hanya seorang anak berusia sepuluh tahun, kalau hanya orang dewasa biasa saja belum tentu akan mampu menandinginya, Akan tetapi kini ia melawan Klabangkoro. Ibu dan Ayahnya sendiri saja roboh dan tewas oleh raksasa ini, apalagi dia. Menghadapi serangan pukulan anak itu, Klabangkoro tertawa tergelak dan dengan mudah saja dia menagkis semua pukulan Budhi. Tangkisan itu membuat tangan Budhi terpental dan nyeri, akan tetapi anak ini sudah nekat dan terus menerus menyerang dengan kedua tangannya.

   "Ha-ha-ha, setan cilik! Engkau sudah bosan hidup, ya?"

   Kaki yang besar itu mencuat dalam tendangan.

   "Dukkk!"

   Tubuh Budhidharma terlepar sampai tiga meter jauhnya dan terguling-guling. Akan tetapi anak itu meloncat bangun lagi, dan lari ke depan untuk menyerang lagi, sama sekali tidak memperdulikan dadanya yang tersa nyeri sehingga napasnya sesak. Ketika Budhi memukul perutnya, Klabangkoro tidak menangkis dan menerima pukulan-pukulan itu dengan kekebalannya. Kedu tangan anak itu terasa nyeri seperti memukul batu ketika bertemu dengan perut itu. Merasa betapa pukualannya tidak mempan, Bhudhi lalu menggigit kulit perut itu dan sekali ini Klabangkoro berteriak dengan kesakitan. Raksasa ini dengan marahnya lalu mengangkat lututnya kuat sekali.

   "Desss...!"

   Dada Budhi di hantam lutut seperti dihantam palu godam. Serasa pecah dada itu dan tubuhnya terjengkang dan terbanting keras. Saking nyeri rasa pada dadadnya, anak ini tidak mampu berdiri lagi, hanya bangkit dududk dan matanya saja yang melotot penuh kebencian memandang Klabangkoro. Melihat ketahanan dan kebandelan anak ini, Klabangkoro bergidik. Anak ini kelak akan berbahaya sekali kalau tidak dibunuh, pikirnya. Dia menyeringai buas lalu mencabut pecut Dahono yang terselip di ikat pinggangnya.

   "Bocah setan keparat! Akan kubikin lumat tubuhmu!"

   Dia lalu menggerakkan cambuk itu di udara. Kemudian sambil mengeluarkan suara ledakan, cambuk itu menyambar turun dan melucuti tubuh Budhidharma.

   "Tar-tar-tar-tar...!"

   Ujung cambuk itu bagaikan moncong ular mematuk dan mematuk lagi ke arah tubuh Budhi yang sudah tidak mampu mengelak. Setiap kali ujung cambuk mematuk, tubuh itu tersentak dan bagian yang terpantuk itu bercucuran darah. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan anak itu. Agaknya Klabangkoro membatasi tenaganya sehingga cambuknya tidak sampai membunuh, melainkan mendatangkan luka yang panasdan pedih. Kedua paha, lambung, dada dan pundak Budhi sudah terluka, kulit dan dagingnya pecah sehingga mengeluarkan banyak darah. Dia hanya menggeliat-geliat seperti cacing terkena abu di atas tanah itu. Akan tetapi, sedikitpun ia tidak mengeluh, bahkan menangispun tidak dan sianr matanya masih berapi-api di tujukan kepada penyiksanya. Melihat ini, Klabnagkoro merasa ngeri dan diapun membentak,

   "Bocah setan, sekarang akan kuhancurkan kepalamu. Mampuslah kau !"

   Dengan sekuat tenaga dia mengayun cambuknya yang akan dipukulkan ke arah kepala anak itu.

   "Siuuuuuuuuuttt... plakk!"

   Klabangkoro terkejut sekali ketika cambuknya tertahan di belakangnya. Dia cepat memutar tubuhnya dan melihat bahwa ujung cambuk itu dipegang oleh seorang Kakek tua berpakaian serba putih yang entah kapan telah berdiri di situ.

   "Sadhu-sadhu-sadhu... seorang gagah perkasa menyiksa seorang anak kecil sungguh tidak tahu malu!"

   Suara Kakek itu lirih, akan tetapi jelas terdengar oleh mereka semua dan di dalam suara yang lembut itu terkandung wibawa yang kuat.

   "Keparat, siapa andika, seorang tua bangka hendak mencampuri urusan kami!"

   Klabangkoro membentak dan tanpa menanti jawaban lagi dia sudah merenggut cambuknya dan dengan buas diapun mengayun cambuk itu menghantam ke arah kepala Kakek yang rambutnya sudah putih itu. Akan tetapi Kakek itu tidak membuat gerakan mengelak atau menangkis, melainkan tangan kirinya mendorong ke arah Klabangkoro dan tubuh yang tinggi besar itu terlempar bagaikan sehelai daun kering terbawa angin.

   Melihat ini, anak buah Gagak Seto menjadi marah dan belasan orang itu sudah menggerakkan golok masing-masing dan menerjang dari empat jurusan. Akan tetapi, Kakek itu menggerakkan kedua tangannya dan ujung bagian bajunya mengeluarkan angin yang kuat sekali dan belasan orang itupun berpelantingan terdorong oleh kebutan angin yang kuat itu. Tentu saja semua orang menjadi terkejut sekali. Akan tetapi Klabangkoro adalah seorang yang sudah terbiasa di taati dan ditakuti orang, maka setelah ia dapat meloncat bangun kembali, dia sudah menggenggam cambuknya dengan erat dan dia lalu menerjang maju, memukul dengan pengerahan tenaga sekuatnya. Cambuk itu menyambar dengan dahsyat, mengancam kepala Kakek itu.

   "Hemm, manusia budak nafsu yang berwatak kejam!"

   Dia berseru lirih dan tangan kirinya menyambut cambuk yang meluncur ke arah kepalanya itu.

   "Wuuuuttt... setttt...!"

   Cambuk itu telah ditangkap oleh tangan kiri dan dengan marah Klabangkoro berusaha untuk menarik senjatanya lepas dari pegangan tangan kiri lawan. Akan tetapi, betapapun dia berusaha sekuat tenaga, cambuk itu tidak dapat terlepas. Bahkan sekali renggut saja dengan perlahan, cambuk itu sudah terlepas dari pegangan Klabangkoro dan dapat dirampas Kakek baju putih.

   Masih tidak mau melihat kenyataan dan dia kini mencabut goloknya dan menerjang dengan ganas. Golok itu membacok ke arah ke arah leher Kakek itu. Akan tetapi Kakek itu menggerakkan cambuk rampasannya menangkis dan golok itupun terpental lepas dari tangan miliknya. Kini Kakek itu memutar-mutar tubuhnya sambil mengembangkan kedua lengannya. Klabangkoro dan belasan orang anak buahnya tak mampu bertahan lagi, mereka terdorong roboh bergelimpangan dan barulah Klabangkoro mengakui bahwa dia berhadapan dengan seorang Kakek yang sakti. Dia melarikan diri diikuti belasan orang itu, berlari cepat seperti dikejar setan. Kakek itu tidak mengejar, melainkan membuang cambuk rampasan dan memutar tubuhnya memandang ke arah Budhidharma yang masih tak mampu berdiri.

   Anak itu berhasil menggunakan sisa tenaga untuk dapat duduk dan dengan tubuh lemas dan nyeri, kepala pening, dia masih dapat mengikuti peristiwa pengeroyokan atas diri Kakek berbaju putih itu. Tubuh Budhi sudah berlepotan darahnya yang keluar dari luka-luka dari paha dan pundaknya. Akan tetapi anak itu tidak menagis, bahkan tidak mengeluh sedikitpun juga dan hal ini membuat Kakek itu memandang dengan sianr mata kagum bukan main. Selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang bocah berusia kurang lebih sepuluh tahun yang seberani dan sekuat itu menahan nyeri. Setelah semua penjahat pergi, Budhi teringat lagi kepada Ayah Ibunya. Dia menoleh dan melihat jenazah Ibunya masih menggeletak mandi darah, tiba-tiba dia seperti memperoleh tenaga baru. Dia bangkit berdiri, bahkan dapat berlari menghampiri jenazah Ibunya, menubruk dan menangis.

   "Ibuu...!"

   Setelah memanggil-manggil Ibunya sambil menangis, dia teringat Ayahnya dan kembali dia bangkit dan lari memasuki pondok, menubruk jenazah Ayahnya yang mengegletak di lantai pondok.

   "Bapa... ahh, bapaaaa...!"

   Diapun menangis mengangguk dan bingung apa yang harus dilakukannya. Ayah dan Ibunya mati dengan menyedihkan, dibunuh orang di depan matanya! Setelah dia menangis beberapa lamanya, terdengar suara yang lembut,

   "Kulup, sudah cukup engkau menangisi kematian Ayah dan Ibumu. Akan tetapi mereka telah kembali ke alam asal, di panggil pulang oleh Yang Maha Kuasa dan tak seorangpun dapat menghidupkan mereka kembali."

   Tangis dan kesedihan anak mereka hanya akan menjadi penghalang bagi perjalanan mereka. Karena itu, hentikanlah tangismu dan marialh kita menghadapi kenyataan. Mendengar ucapan itu, Budhi menengok dan ternyata Kakek yang menolongnya tadi telah berdiri di belakangnya. Karena dia sudah kehilangan segala-galanya, tidak adalagi manusia yang yang dapat menjadi teman hidupnya, maka kehadiran Kakek itu membuka saluran baginya untuk mencurahkan perasaan hatinya. Dia menubruk ke arah kaki orang tua itu dan menangis.

   Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aduh, Eyang...!"

   Bagaimana saya tidak akan berduka dan merasa hacur hati saya? Di dunia ini saya hanya mempunyai Ayah dan Ibu berdua dan sekarang tiba-tiba mereka dibunuh orang. Saya tidak mempunyai seorangpun keluarga lagi, tidak mempunyai siapa-siapa lagi..."

   "Tidak ada orang yang hidup sebatang kara di dunia ini. Bukankah jutaan manusia lain inipun menjadi saudaramu? Sudahlah, nanti kita bicara lagi tentang diri dan masa depanmu. Sekarang yang terpenting adalah menyempurnakan jenazah Ayah dan Ibumu."

   "Eyang katakanlah apa yang harus saya lakukan. Saya tidak tahu harus berbuat apa."

   "Hemm, jenazah Ayah dan Ibumu perlu mendapat perawatan sebagaimana mestinya ke- mudian diperbukan. Apakah engkau tidak mempunyai kenalan atau tetangga yang sekiranya dapat membantu kita?"

   "Tetangga kami hanyalah penduduk dusun di sebelah bawah lereng di sana itu, Eyang."

   "Bagus. Nah, pergilah engkau ke dusun itu dan beritahu mereka bahwa Ayah Ibumu terbunuh gerombolan penjahat dan mintalah bantuan mereka untuk mengurus jenazah Ayah Ibumu."

   "Baik, Eyang..."

   Budhi lalu bangkit berdiri dan hendak berlari pergi. Akan tetapi baru belasan langkah dia berlari, dia mengeluh dan terguling roboh.

   Melihat ini Kakek berbaju putih itu segera menghampiri. Melihat anak itu pingsan, dia lalu membawa anak itu ke bawah sebatang pohon di samping pondok. Dia memeriksa tubuh anak itu dan menggeleng-geleng kepalanya dengan kagum. Tubuh anak ini mengalami siksaan yang hebat. Matang biru dan bengkak-bengkak, kedua paha dan pundak terluka. Kakek itu lalu menggunakan kedua tanganya untuk memijit-mijit menekan dan mengurut tubuh Budhi. Tak lama kemudian, Budhi mengeluh dan dia siuman. Ajaib, setelah dipijit dan diurut oleh Kakek itu, Budhi merasa tubuhnya sehat kembali dan tidak terasa nyeri lagi. Bahkan luka-luka lecutan cambuk yang tadinya terasa pedih dan amat panas, kini tidak merasa nyeri lagi. Dia lalu bangkit duduk bersimpuh di depan Kakek itu.

   "Bagaimana rasanya sekarang, kulup? Apakah masih nyeri rasa tubuhmu?

   "Terima kasih, Eyang. Nyeri-nyeri pada tubuh saya tidak terasa nyeri."

   "Nah, kalau begitu, pergilah memberi tahu kkepada penduduk dusun di bawah. Akan tetapi, katakanlah dulu kepadaku siapakah namamu?"

   "Nama saya Budhidharma, Eyang."

   Kakek itu tersenyum mengangguk-angguk.

   "Bagus, bagus! Mudah-mudahan saja kelak sepak terjangmu akan sesuai dengan namamu. Nah, pergilah, kulup!"

   Budhi lalu berlari pergi dari situ, menuruni lereng menuju dusun Gedangan. Ingatannya penuh lagi dengan bayangan Ayah Ibunya yang menggeletak mandi darah, maka tak tertahankannya lagi air matanya bercucuran ketika dia berlari itu. Penduduk dusun Gedangan terheren-heren melihat Budhi datang dengan berlari-lari sambil bercucuran air mata. Biasanya anak ini selalu kelihatan cerah, bahkan suka berkelakar dan sifatnya periang. Segera mereka merubung Budhi dan bertanya-tanya. Ketua dusun yang sudah mengenal baik Ayah Ibu Budhi, bahkan pernah disembuhkan dari penyakit berat oleh Ni Sawitri, segera maju dan memegang pundak Budhi.

   "Anakmas Budhidharma, apakah yang telah terjadi? Kenapa andika menangis?"

   "Paman... ah, paman... tolonglah merawat... jenazah bapa dan Ibu... mereka terbunuh gerombolan penjahat."

   Terdengar seruan di sana sini dan semua terbelalak dengan muka pucat. Kemudian berbondong-bondong mereka mengikuti Budhidharma menuju rumah yang terpencil di lereng itu. Setelah tiba di tempat tinggal anak itu. Mereka semua merasa ngeri melihat jenazah Ni Sawitri dan Margono yang mandi darah. Dan merekapun bertanya-tanya siapa adanya Kakek yang berada di situ.

   "Eyang ini yang menyelamatkan aku dari tangan penjahat itu, kalau tidak ada Eyang ini, aku tentu tewas

   pula seperti kedua orang tuaku."

   Setelah mendapatkan keterangan dari Budhi, penduduk dusun bersikap hormat dan tidak lagi mencurigai Kakek berpakaian serba putih itu. Atas permintaan Budhi sendiri, jenazah kedua orang tuanya tidak diperabukan melainkan dikubur di dalam tanah, di halaman depan rumah itu.

   "Saya sudah tidak memiliki apa-apa lagi, Eyang. Biarlah kedua kuburan ini menjadi sisa peringatan bagi kedua orang tua saya."

   Katanya.

   "Hal ini boleh saja, Budhi. Jasmani ini memang terbentuk sebagian besar dari tiga zat itu, tanah, air, dan api. Oleh karena itu, setelah ditinggalkan rohnya, jasad dapat dikembalikan kepada salah satu di antaranya. Dibakar, dikubur, atau di larung ke samudera. Hanya saja, kalau dikubur dalam tanah, maka masih ada ikatan antara keluarganya dengan yang mati."

   Kata Kakek itu. Setelah Penguburan selesai dilakukan dan semua penduduk dusun sudah kembali ke Gedangan, Budhidharma masih saja berlutut di depan mamamayah Ibunya.

   Kesedihan membuat anak ini lemas lunglai seperti kehilangan semangat dan biarpun dia sudah tidak menangis lagi, namun matanya masih selalu basah. Kakek itu duduk di atas batu besar, di lereng Budhi yang bersimpuh di depan makam. Dia membiarkan anak itu menenggelamkan diri dalam lamunan kesediahn beberapa lamanya, kemudian tiba-tiba tubuhnya melayang ke arah pohon di tepi halaman. Dipegangnya batang pohon sebesar tubuh orang dewasa itu dengan kedua tangannya, lalu diguncangnya pohon itu. Pohon bergoyang dan tergoncang keras seperti ditiup badai mengeluarkan bunyi yang berisik dan daun-daun rontok berterbangan. Budhi terkejut mendengar ini dan ketika dia memandang, diapun terbelalak keheranan. Sampai beberapa lamanya Kakek itu menggoncang pohon. Budhi bangkit berdiri, menghampiri dan bertanya dengan suara mengandung keheranan.

   "Eyang, apa yang Eyang lakukan ini? Kenapa menggoncang pohon ini?"

   Kakek itu tertawa dan menghentikan perbuatannya, lalu menggandeng tangan Budhi diajaknya anak itu duduk di atas batu besar.

   "Budhi, lihatlah hati dan pikiranmu sekarang, saat ini. Apakah engkau masih berduka? Apakah engkau masih berduka? Apakah engkau masih ingin menangisi orang tuamu?"

   Budhi adalah seorang anak yang cerdik. Dia segera mendapat kenyataan bahwa kedukaan itu sama sekali tidak adalagi, atau sudah terlupa olehnya. Yang ada hanyalah keheranan.

   "Tidak, Eyang. Saya hanya merasa heran dan sudah melupakan kedukaan saya. Akan tetapi Eyang mengingatkan dan..."

   "Nah, kalau begitu engkau sudah mengerti sekarang bahwa kedukaan itu hanyalah per- mainan dari ingatan sendiri saja. Ingatan mengunyah-ngunyah keadaanmu yang kehilangan orang tua, seperti si rakus melahap makanan yang enak dan ahtimupun seperti ditusuk-tusuk rasanya. Hal itu menimbulkan duka. Begitu pikiran dikuasai oleh keadaan lain, duka yang tadinya membuat orang seperti kehilangan semangat hidup itupun akan lenyap tanpa bekas lagi. Kalau hati akal pikiran itu selalu ditujukan kepada apa yang terjadi saat demi saat, tidak mengingat-ingat hal yang telah lalu, maka orang tidak akan dicengkeram duka. Mengertilah engkau, kulup?"

   Biarpun masih belum jelas benar, namun Budhi dapat mengerti. Memang kedukaan hatinya timbul lagi kalau dia kembali kepada alam ingatan, mengingat-ingat hal yang telah berlalu. Dan semua itu sudah tidak berguan lagi. Biarpun dia menangis air mata darah, Ayah dan Ibunya taidak dapt hidup lagi. Yang terpenting ialah sekarang, saat ini, apa yang haryus dialakukan setelah ia hidup seorang diri. Dan dia meliaht betapa Kakek itu seorang yang sakti, seorang yang bijaksana dan baik budi, maka dia segera menghampiri dan berlutut menyembah ke arah kaki orang tua itu.

   "Eh, ada apakah, Budhi? Apa artinya penghormatan ini dan engkau hendak bicara apa?"

   Kakek itu menjulurkan tangannya, menarik lengan anak itu ke atas dan menyuruhnya duduk di dekatnya.

   "Eyang, saya hidup seorang diri di dunia ini, bahkan kalau Eyang tadi tidak meyelamatkan saya, sekarangpun saya tidak ada lagi di dunia ini. Karena itu, kalau Eyang sudi menerimanya, satya mohon agar Eyang mengijinkan saya ikut, menjadi murid eyang, saya akan melakukan pekerjaan apa saja untuk membantu Eyang."

   Kakek itu tersenyum mengelus jenggot putihnya yang tipis dengan tangan kiri dan menganguk-angguk.

   "Baiklah, Budhi. Agaknya memang sudah ditentuakn oleh Hyang Widhi bahwa engakau berjodoh untuk menjadi muridku. Akan tetapi jangan dikira enak menjadi murid seorang tua miskin seperti aku. Aku berjuluk Bhagawan Tejolelono, pekerjaanku hanya berkelana, tidak memiliki kekayaan apapun. Tempat tinggalku tidak menentu. Langit atapku, Bumi lantaiku dan pohon-pohon merupakan dindingku. Engkau akan menderita kelaparan kalau tidak mencari makan sendiri. Nah, kalau engakau ikut aku menjadi muridku, engkau harus rajin sekali, bukan saja untuk mempelajari ilmu dariku tetapi juga untuk bekerja mencari makan. Sanggupkah engkau, Budhi?"

   "Eyang, sejak kecil saya sudah biasa bekerja keras karena kami bukanlah keluarga kaya. Harap Eyang tidak khawatir, saya akan bekerja keras dan rajin. Dan saya berjanji akan mentaati semua perintah dan petunjuk Eyang."

   Tejoleleono mengangguk-angguk dan hatinya merasa gembira sekali. Sejak tadi dia merasa sudah mengambil keputusan untuk mengangkat bocah ini menjadi muridnya. Dia meliaht betapa Budhi memiliki keberanian, ketabahan dan kegagahan yang luar biasa. Selain hatinya yang teguh keras, anak inipun memiliki bakat yang maat baik untuk menjadi orang yang sakti mandraguna. Ketika jari-jari tangannyamemijit tubuh anak itu, dia mendapat kenyataan bahwa Budhi memiliki tulang yang baik.

   "Nah, kalau begitu berkemaslah, Budhi. Kumpulkan barang yang akan kau bawa karena kta akan pergi sekarang juga."

   Akhirnya Kakek itu berkata. Mendengar ini Budhidharma berpikir sejenak lalu berkata dengan hormat,

   "Eyang, saya merasa sayang kalau rumah dan semua isinya ini saya tinggalkan begitu saja tidak terawat dan digunakan. Oleh karena itu, kalau Eyang mengijinkan, saya hendak memasrahkan rumah ini dan semua isinya kepada seorang kenalan yang tinggal di dusun Gedangan. Dengan demikian, maka ruamh ini akan terpelihara, dan juga dapat bermanfaat baginya."

   Bhagawan Tejolelono mengangguk-angguk. Seorang bocah yang berpikir panjang.

   "Baik, pergilah engkau ke dusun Gedangan. Aku akan menantimu di sini, Budhi."

   Budhi lalu pergi ke dusun Gedangan dan menemui seorang kenalan dan sahabat Ayahnya bernama Karyosikun. Karyosiku hidup berdua dengan isterinya dan mereka tidak mempunyai ruamh, hanya tinggal mondok di ruamah seorang janda. Budhi sudah mengenal baik suami isteri yang miskin ini karena biasanya Ayah dan Ibunya kalau sedang repot membutuhkan tenaga bantuan, selalu menggunakan tenaga suami isteri ini. Tentu saja kunjungan Budhi disambut dengan heran oleh Kayosikun dan isterinya yang bernama Sawiji. Suami isteri inipun tadi ikut pula datang melayat. Ketiak meliaht mereka Budhi segera mengutaraka kehendaknya.

   "Paman Karyosikun dan bibi Sawiji. Hari ini aku akan pergi mengikuti Eyang Bhagawan Tejolelono dan

   menjadi muridnya. Karena itu, lebih dulu aku ingin menyerahkan rumah kami dan semua isinya, juga kebun dan ladang kepada paman berdua."

   "Eh, eh, apa maksudmu, Gus?"

   Tanya Karyosikun heran dan tidak mengerti.

   "Begini, paman. Aku tidak ingin rumah itu kosong dan tidak terpelihara. Oleh karena itu, selama aku pergi, paman berdua tinggallah di rumahku. Sawah dan ladang kerjakanlah dan hasilnya untuk paman berdua. Rumah dan semua isinya pergunakanlah untuk keperluan hidup paman. Aku hanya ingin agar rumah itu, terpelihara dan rumah itu, Beserta sawah ladangnya, baru paman kembaliakn kalau aku membutuhkannya."

   "Wah..., ini... bagaimana kami berani..."

   Karyosikun berseru gugup.

   "Siapa yang mau percaya kepada kami? Jangan-jangan kami akan dituduh merampas rumahmu, Bagus Budhi!"

   "Jangan khawatir, paman karyo, marilah kita pergi ke rumah kepala dusun. Saya akan menyerahkan rumah dan sawah ladang kepadamu, disaksikan oleh kepala dusun."

   Melihat Karyosikun dan isterinya masih meragu, Budhi lalu memegang tangan oarang itu dan diajaknya pergi ke rumah kepala dusun. Kepala dusun Gedangan mengerti dan bahkan memuji tindakan Budhidharma itu. Memang sebaiknya kalau anak itu hendak pergi mengikuti gurunya, rumah itu dan sawah ladangnya diserahkan kepada seorang yang dapat dipercaya untuk mengurusnya, menikmati hasil sawah ladang dan memelihara rumah agar tidak menjadi rusak. Dan Karyosikun adalah orang yang dapat dipercaya untuk hal itu.

   "Baiklah, kami yang menjadi saksinya dan engkau jangan khawatir kalau ada yang men- uduhmu yang bukan-bukan, Karyosikun."

   Kata kepala dusun itu. Suami isteri itu langsung saja diajak oleh Budhi untuk ikut dia ke rumahnya. Setelah menyerahkan segala harta milik peninggalan orang tuanya, Budhi lalu pergi bersama Bhagawan Tejolelono, diantar sampai ke luar halaman oleh Karyosikun dan Sawiji. Anak itu hanya membawa pakaian, dibuntal sehelai kain milik Ibunya. Dan diapun membawa keris milik Ibunya. Keris itulah yang oleh Ibunya dipakai melakukan perlawanan terhadap gerombolan Gagak Seto kemudian dipakai membunuh diri karena ia tidak mau tertangkap hidup-hidup oleh Klabangkoro.

   Sambil melangkah di belakang Bhagawan tejolelono yang berjalan tanpa menoleh dan tanpa ragu-ragu bermacam kenangan menyelinap dalam kepala Budhidharma. Bayangan rumahnya, lalu Ayah Ibunya, memenuhi benaknya. Membayangkan kedua orang tuanya terkapar dengan mandi darah, membuat dia mengatupkan kedua bibirnya dan menggigit gigi sendiri. Kemudian terbayanglah wajah yang amat dibencinya itu, wajah klabangkoro yang tinggi besar seperti raksasa bermuka hitam. Selama hidupnya dia tidak akan pernah dapat melupakan wajah raksasa pembunh Ibunya itu. Akan tetapi hatinya lebih sakit kalau dia mengingat bahwa Klabangkoro itu hanyalah seorang utusan saja dan pembunuh yang sebenarnya dari orang tuanya adalah yang mengutus Klabangkoro,

   Yaitu ketua perkumpulan Gagak Seto setelah dia dewasa dan kuat, dia pasti akan mencari perkumpulan di Gunung Anjasmoro itu, membunuh ketuanya dan membasmi perkumpulan itu sampai ke akar-akarnya. Akan tetapi, teringat akan pesan yang terakhir, dia mengerutkan alisnya. Sebelum Ibunya menghembuskan napas terakhir, dalam rangkulannya, Ibunya berpesan agar dia tidak membalas dendam. Tidak membalas dendam? Bagaimana mungkin itu? Dia teringat ketika Ibunya memberi sebuah benda kepadanya. Selama ini, benda itu disimpannya dan hampir dia melupakan benda itu. Kini teriangat akan semua itu, dia mengambil benda itui dari kantung bajunya dan mengamatinya, sebuah benda kecil, dari perak, berbentuk seekor burung Gagak Putih!

   "Perlihatkan ini kalau engkau tertangkap dan mereka tidak akan berani membunuhmu!"

   Benda apakah ini? Agaknya ada hubungannya dengan mereka yang menyerang dan membunuh Ayah bundanya. Akan tetapi mengapa Ibunya memiliki benda itu daqn mengapa Ibunya tidak mempergunakannya untuk meyelamatkan nyawanya? Dia menjadi bingung. Tidak mengerti. Kemudian dia menghela napas dan menyimpan kembali benda itu.

   "Biarlah aku harus bersabar. Kelak kalau akan mencari perkumpulan Gagak Putih di Gua Tengkorak gunung anjasmoro, tetu akan mengetahui semua rahasia ini."

   Budhidharma harus mengikuti Bhagawan Tejolelono, melakukan perjalan jauh menuju ke Gunung Kawi. Setelah mendaki gunung itu akhirnya mereka tiba di sebuah di antara puncak-puncak di gunung itu, terdapat sebuah rumah kediaman Bhagawan Tejolelono di mana dia hidup sebagai seorang pertapa. Mulai hari itu, tinggallah Budhidharma bersama Bhagawan Tejolelono di puncak Gunung Kawi Dengan tekun anak itu mulai mempelajari ilmu-ilmu dari pertapa yamh sakti itu,

   Dan seperti biasa ketiak masih tinggal dengan Ayah Ibunya, anak ini dengan rajin sekali bekerja di ladang untuk kebutuhan makan mereka berdua. Sang Bhagawan merasa suka sekali kepada anak yang tahu diri dan amat rajin itu. Makin berkembanglah perasaan sayang di hatinya terhadap anak itu dan diapun mencurahkan segala kemampuannya untuk mendidik Budhidharma dengan semua ilmu yang dikuasainya. Di Puncak GunungAnjasmoro terdapat sebuah perkumpulan orang gagah bernama Perkumpulan Gagak Seto. Perkumpulan ini merupakan perkumpulan orang gagah disegani orang-orang gagah senusantara, dan ditakuti orang-orang yang biasa melakukan kejahatan seperti para perampok, bajak sungai dan pencuri. Orang-orang gagah dari Gagak Seto tidak pernah memberi ampun kepada mereka yang melakukan kejahatan.

   Apa yang membuat perkumpulan Gagak Seto menjadi perkumpulan kuat yang disegani kawan ditakuti lawan? Yalah karena ketuanya orang yang gagah perkasa, berilmu tinggi dan berwatak keras, adil dan pembasmi kejahatan. Ketua itu seorang laki-laki tionggi besar yang sekarang telah berusia lima puluh tahun. Seorang pria yang tidak dapat disebut tampan, bahkan segala yang ada padanya serba kasar dan besar. Namun dia memiliki watak yang jantan dan ghagah perkasa. Mula-mula dia membuka sebuah perguruan silat yang diberi nama Gagak Seto, diambil dari julukannya sendiri karena sejak muda rambutnya yang panjang berwarna putih sehingga dia mendapat julukan Gagak Seto. Lama-kelamaan perkumpulan silat ini menjadi semakin besar dan menjadi perkumpulan orang gagah yang ternama, dengan anak buah atau murid tidak kurang dari 500 orang jumlahnya.

   Ketua ini bernama Sudibyo, akan tetapi orang lebih mengenal nama julukannya, yaitu Gagak Seto. Dia tinggal di sebuah bangunan besar dan dikelilingi banyak bangunan-bangunan kecil yang menjadi tempat tinggal para muridnya. Puncak Anjasmoro yang menjadi pusat perkumpulan Gagak Seto ini sudah menjadi perkampungan yang cukup besar. Pada suatu hari, Sudibyo meneriam kedatangan kembali Klabnagkoro, seorang di antara para muridnya yang paling tangguh. Karena pentingnya tugas yang dilaksanakan oleh Klabangkoro, maka kedatangannya merupakan peristiwa penting bagi ketua Gagak Seto. Dia menyuruh para murid lain menyingkkir sehingga tinggal dia sendiri yang berhadapan dengan muridnya itu. Kedua orang pria yang bertubuh sama tinggi besarnya ini saling pandang dan dengan penuh ketegangan Sudibyo menegur muridnya.

   "Bagaimana baritannya, Klabangkoro? Bagaimana hasil tugas yang kau laksanakan?"

   "Bapa guru, sukar bukan main mengikuti jejek mereka karena mereka itu selalu berpindah-pindah. Akan

   tetapi, akhirnya dapat juga saya menemukan tempat persembunyian mereka di Bukit Batok dekat dengan dusun Gedangan." Mendengar ini, Sudibyo terbelalak dan mencondongkan tubuhnya ke depan, memandang muridnya dengan sinar mata seolah hendak menelannya.

   "Sudah dapat? Bagus! Lalu bagaimana... bagaimana selanjutnya? Berhasilkah engkau membunuh si keparat Margono?"

   Dengan wajahnya yang hitam itu berseri gembira Klabangkoro berkata,

   "Berkat pengestu Paduka saya telah berhasil membikin mampus keparat Margono itu, Bapa guru."

   "Plakk...!"

   Tangan yang lebar itu menepuk pahanya sendiri sehingga terdengar suara nyaring.

   "Bagus! HA-ha-ha-ha, bagus sekali! Keparat Margono itu memang sudah layak mampus. Dia seoarang yang tidak mengenak budi, tidak mengenal susila dan merusak pagar ayu! Dan bagimana dengan ia? Bagaimana dengan Sawitri? Kenapa engkau tidak mengajak ia pulang bersamamu? Aku siap mengampuninya dan melupakan semua yang telah terjadi, di mana ia?"

   "Ampun, Bapa. Ia... Ni Sawitri... ia juga tewas..."

   Kata Klabangkoro dengan suara agak gugup. Sepasang mata yang besar itu terbelalak, sehingga sinarnya berapi, dan wajahnya yang gagah perkasa itu nampak pucat sekali.

   "Apa...? Andika... Andika telah membunuh Ni Sawitri?"

   "Tidak, Bapa, Mana saya berani membunuhnya? Seperti perintah Bapa, saya melaksanakan tugas, yaitu membunuh Margono dan membawa Ni Sawitri pulang. Saya, dibantu teman-teman, berhasil membunuh Margono. Ni Sawitri marah dan menyerang kami, akan tetapi kami berhasil meringkusnya. Saya telah merobohkannya dengan Pecut Dahono, akan tetapi ketika teman-teman hendak meringkusnya, Ni Sawitri menggunakan kerisnya sendiri untuk suduk sarira (bunuh diri dengan keris). Hamba tidak keburu mencegahnya dan iapun tewas di ujung kerisnya sendiri, Bapa Guru, Ampunkan saya karena saya sama sekali tidak menyangka ia akan melakukan suduk sarira sehingga tidak dapat mencegahnya."

   Kepala yang rambutnya sudah putih itu menunduk dalam-dalam, agaknya untuk menyembunyikan air mata yang mengalir menuruni pipinya, Klabangkoro melanjutkan ceritanya, merasa lega bahwa gurunya tidak melanjutkan kemarahnnya. Pada waktu itu, seorang bocah berusia sepuluh tahun menyerang kami. Bocah itu adalah putera Ni Sawitri. Karena kami tidak ingin kelak anak itu menimbulkan keributan, maka kami hendak membunuhnya pula. Akan tetapi, muncul seorang Kakek yang sakti dan kami tak mampu menandinginya. Terpaksalah kami meninggalkan mereka. Akan tetapi agaknya Sudibyo tidak mendengarkan lagi, bahkan tubuhnya terkulai dan dia tergelimpang, roboh dari kursinya! Tentu saja Klabangkoro terkejut bukan main. Dia meneriaki anak buah Gagak Seto yang berlarian masuk dan beramai-ramai mereka mengangkat tubuh sang guru ke dalam.

   Sejak saat itu Sudibyo jatuh sakit-sakitan dan dia selalu menyendiri dalam kamarnya. Dia mengusir semua orang yang mencoba mendekati dan menghiburnya. Sudibyo, ketua perkumpulan Gagak Seto dapat menguasai dirinya dan bangkit lagi dari tempat tidurnya. Akan tetapi semenjak hari ia mendengar bahwa Ni Sawitri telah tewas, dia menjadi sakit-sakitan. Tubuhnya yang tinggi besar itu menjadi kurus, mikanya semakin pucat dan tubuhnya lemah. Dia tidak lagi bersemangat mengurus perkumpulan dan mengangkat Klabangkoro dan seorang murid lain bernama Mayangmurko untuk mengurus segala hal yang ada hubungannya dengan perkumpulan Gagak Seto. Ki Sudibyo sendiri lebih sering duduk bersemadhi di dalam kamarnya atau duduk termenung mengenangkan semua peristiwa masa lalu ketika Ni Sawitri masih menjadi isterinya.

   Semua yang terjadi sepuluh tahun yang lalu itu terbayang seolah baru terjadi kemarin saja. Ketika itu, sudah lama dia mendirikan perkumpulan Gagak Seto dan sudah menerima banyak murid yang mempelajari ilmu kanuragan. Para muridnya bukan hanya kau m pria, karena ada pula beberapa orang murid wanita. Pada waktu itu Ki Sudibyo adalah seorang pria yang berusia empat puluh tahun yang gagah perkasa ini memang belum pernah jatuh cinta. Akan tetapi setelah dia menjadi guru dan juga ketua perkumpulan Gagak Seto. Dia jatuh hati setengah mati kepada seorang muridnya sendiri dan waktu itu bukan lain adalah Ni Sawitri yang ketika itu berusia delapan belas tahun. Bagaikan setangkai bunnga mawar, Ni Sawitri sedang mekar semerbak mengharum dan Ki Sudibyo menjadi seorang di antara para pria yang tergila-gila kepada Ni Sawitri.

   Ki Sudibyo tidak membuang banyak waktu dan dia lalu meminang Ni Sawitri kepada Ibu gadis itu yang sudah menjadi janda. Ibu janda itu tentu saja menjadi girang dan meneriama pinangan itu dengan tangan terbuka. Ki Sudibyo terkenal sebagai seorang pria yang gagah perkasa dan suak menolong orang, disegani dan dihormati. Tentu saja ia meneriam pinangan itu dengan bangga. Pernikahan dilangsungkan dengan meriah. Akan tetapi, kalau pengantin pria merasa berbahagia sekali dengan pernikahan itu, sebaliknya pengantin wanitanya merasa berduak walaupun ia tidak berani memperlihatkan kedukaan hatinya di depan gurunya yang kini menjadi suaminya itu. Hal ini bukan karena pengantin pria itu kurang gagah atau kurang baik, sama sekali tidak.

   Hanya karena Ni Sawitri telah menjalin hubungan dengan seorang saudara seperguruan yang bernama Margono, maka tentu saja pernikahannya itu menghancurkan hatinya. Akan tetapi Ni Sawitri tidak berdaya. Ibunya telah meneriama pinangan itu dan yang meminang adalah gurunya yang amat dihormatinya. Mulailah Ni Sawitri hidup dalam keadaan tersiksa hatinya. Ia menjadi isteri yang terhormat. Semua murid menganggap nya sebagai Ibu guru yang patut dihormati. Akan tetapi, setiap hari ia bertemu dengan Margono, bahkan berlatih ilmu kanuragan bersama pemuda yang dikasihinya itu. Dan terjadilah peristiwa itu. Setelah tiga bulan menjadi isteri Ki Sudibyo, pada suatu senja ketika secara kebetulan Ki Sudibyo berjalan-jalan memasuki taman, dia meliaht dari jauh betapa isteriny menangis terisak-isak bersandar di dada yang bidang dari Ki Margono yang merangkulnya!

   Dapat dibayangkan betapa marahnya Ki Sudibyo ketika melihat isterinya yang tercinta ber- pelukan dengan seorang muridnya. Serasa akan meledak dadanya, dan seperti dibakar rasa hatinya. Akan tetapi Ki Sudibyo adalah guru perkumpulan Gagak Seto dan dia menjaga kehormatannya. Dia menahan diri sekuat mungkin, lalu dengan terhuyung seperti menderita luka hebat dia kembali ke dalam ruamahnya. Dia merasa bingung sendiri. Apa yang akan dilakukannya. Sudah jelas bahwa Sawitri mengkhianatinya, menyeleweng. Dan tahulah dia bahwa tentu sejak dahulu Ni Sawitri menjalin cinta kasih dengan Margono dan itulah yang membuatnya menyesal dan marah sekali. Kalau saja Ni Sawitri menolak pinangannya karena sudah mempunyai seorang pilihan hati, tentu dia dapat memakluminya dan tidak akan memaksanya menjadi isterinya.

   Akan tetapi sekarang, Sawitri telah menjadi isterinya, kenapa masih melanjutkan hubungan dengan pria lain? Itu penyelewengan namanya, pengkhianatan dan merupakan dosa yang besar. Dan Margono? Si keparat itu telah berani menghina gurunya, menginjak-injak kehormatan gurunya! Padahal, Sawitri dan Margono adalah murid-murid kesayangannya, merupakan dua orang murid yang terpandai di antara semua muridnya. Hati Ki Sudibyo terbakar hangus! Kebahagiaan yang baru dia nikmati selama tiga bulan itu kini telah hancur, bukan saja kebahagiaan itu lenyap, bahkan berubah bentuk menjadi siksaan batin yang hampir membuatnya menjadi gial. Kalau menuruti panasnya hati, ingin dia seketiaka itu membunuh dua orang manusia yang dianggapnya tidak mengenal budi, rendah budi dan kotor itu.

   Akan tetapi dia menjaga namanya, dan pula dia masih menaruh harapan tipis, harap-harap cemas barangkali Ni Sawitri akan memyadari kesalahannya dan dapat mengubah jalan hidupnya. Tak lama kemudian dia melihat isterinya melangkah masuk. Demikian lemah gemulai langkahnya ketiak memasuki ambang pntu. Rambut yang hitam panjang itu yang dia tahu pasti harum semerbak dengan harum melati, keliahatan mengkilap dalam cuaca senja yang remang-remang itu. Kulitnya yang lembut dan hangat itu juga nampak berkilauan. Akan tetapi segera terbayang olehnya betapa rambut itu kusut karena bersandar di dalam rangkulan pria lain! Dia merasa seolah mukanya dicoreng-moreng, perasaannya diinjak-injak. Dadanya terasa panas sekali dan dia tidak mampu bertahan lagi.

   "Diajeng Sawitri...!"

   Dia memanggil dan suara panggilannya itu mengejutkan hati Sawitri. Biasanya, guru nya yang kini menjadi suaminya itu kalau memanggil namanya, halus lembut dan penuh kasih sayang. Akan tetapi mengapa panggilan itu sekarang terdengar demikian kaku dan nyaring?

   "Ya, Kakang mas...!"

   Ia menjawab dan dan memasuki kamar itu dengan jantung berdebar. Ia melihat suaminya duduk bersila, tak bergerak seperti patung di atas lantai, di depan kedua kakinya, nampak sebatang keris telanjang. Dalam keremangan di kamar itu, keris telanjang itu nampak mengeluarkan cahaya. Inilah keris pusaka milik suaminya yang disebut Sang Megantoro! Kenapa suaminya duduk bersama dengan keris pusaka itu telanjang di depannya? Rasa takut meayap ke dalam hati Ni Sawitri ketiak perlahan-lahan ia duduk bersimpuh di dekat ki Sudibyo, di atas tikar yang digelar di lantai itu.

   "Kakang mas memanggil aku...?"

   Tanyanya lirih. Sampai lama tidak terdengar jawaban. Suasana semakin menegangkan sehingga Ni Sawitri seolah dapat mendengar degup jantungnya sendiri yang menembus kembennya. Kemudian terdengar suara suaminya, suara yang dingin dan kaku sekali.

   

Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini