Ceritasilat Novel Online

Asmara Dibalik Dendam Membara 13


Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Bagian 13



"Hemm, nini Dewi Muntari. Engkau kah ini? Ke mana saja engkau selama bertahun-tahun ini, bersama puterimu? Dan di mana pula suamimu? Kenapa tidak ada berita sama sekali yang kau sampaikan kepada kami?"

   Teguran ini mengandung kemarahan.

   "Dan kini engkau datang bersama pemuda yang kabarnya telah menguasai Tilam Upih!"

   Tanpa menanti jawaban Sang Prabu sudah menegur Budhidharma.

   "Heh, pemuda, benarkah engkau yang bernama Budhidarma dan engkau sudah mendapatkan Tilam Upih? Kenapa tidak engkau haturkan kepada kami?"

   "Hamba hanya mendapatkan yang palsu, Kanjeng Gusti. Maka tidak dapat hamba haturkan kepada Paduka."

   Jawab Budhidharma. Pada saat itu, Pangeran Sepuh Wijayanto cepat berkata.

   "Adimas Prabu, demi nama baik keluarga, saya mohon agar Dewi Muntari jangan dulu diperiksa dan diadili di depan banyak ponggawa. Kalau Paduka berkenan, biarlah saya yang akan menanyai mereka, demikian pula dengan pemuda bernama Budhidharma ini. Perkenankan saya yang memeriksanya di rumah saya. Kalau memang mereka tidak bersalah, seyogianya diampuni. Akan tetapi kalau memang bersalah, tentu saja keputusan hukumannya berada di tangan Paduka. Dengan demikian, maka tidak ada orang lain menyaksikan pemeriksaan saya demi menjaga nama baik keluarga sendiri."

   Sang Prabu Jayabaya mengerutkan alisnya, sinar matanya yang tajam itu sejenak memandang kepada Dewi Muntari dan Niken Sasi, lalu kepada Budhidharma. Sesudah itu dia memandang kepada Pangeran Sepuh Wijayanto, mengangguk-angguk sambil tersenyum dan berkata.

   "Baik sekali, Kakang Mas Pangeran. Biarlah kuserahkan mereka kepada Kakang Mas untuk memeriksa mereka sampai tuntas."

   Wajah Pangeran Sepuh menjadi gembira dan cepat dia memerintahkan Senopati Lembudigdo untuk membawa tiga tawanan itu ke rumahnya. Gedung tempat tinggal Pangeran ini tidak jauh dari istana karena masih ternasuk daerah istana, dan tiga orang tawanan itu dibawa pergi dari depan Sang Prabu Jayabaya. Ketika hendak dibawa pergi, Dewi Muntari menyembah kaki Ramandanya dan memandang dengan penuh harapan seolah membayangkan kegelisahan dan Sang Prabu Jayabaya berkata lirih,

   "Pergilah, nini Dewi dan beri keterangan yang sebenarnya kepada paman tuamu."

   Akan tetapi tetap saja jantung Dewi Muntari berdebar penuh ketegangan ketika ia dan puterinya, juga Budhidharma di bawa pergi ke gedung tempat tinggal Pangeran Sepuh Wijayanto. Di gedung itu, mereka dibawa masuk ke ruangan yang paling dalam, kemudian Pangeran Sepuh menyuruh Lembudigdo mengundurkan diri bersama anak buahnya.

   "Ini pemeriksaan antara keluarga, tidak boleh ada orang luar ikut mendengarkan."

   Kilahnya dan tentu saja Lembudigdo tidak berani membantah dan dia pun segera keluar dari gedung itu. Ternyata ruangan pemeriksaan itu dijaga ketat, dikepung oleh perajurit-perajurit pengawal Sang Pangeran Sepuh sendiri, dan setelah tiga orang tawanan itu memasuki ruangan, mereka melihat bahwa Pangeran Panjiluwih dan juga Gajahpuro telah berada di ruangan itu. Pangeran Panjiluwih tersenyum menyambut mereka dan berkata kepada Dewi Muntari dengan suara mengejek,

   "Ah, Kakang Mbok Dewi, akhirnya andika menjadi tawanan juga. Sudah sepatutnya karena andika membantu para pemberontak Gagak Seto!"

   "Gagak Seto bukan pemberontak!"

   Niken Sasi membentak marah mendengar tuduhan itu.

   "Adimas Pangeran Panjiluwih, Paman Pangeran Sepuh akan mendengar penjelasan kami dan akan mengetahui siapa yang melakukan kejahatan dalam semua peristiwa ini!"

   Kata Dewi Muntari.

   "Diam semua!"

   Tiba-tiba Pangeran Sepuh membentak.

   "Ini merupakan persidangan dan pemeriksaan, yang tidak ditanya tidak boleh bicara!"

   Pangeran Sepuh Wijayanto duduk di atas kursi dan dia membiarkan Dewi Muntari, Niken Sasi, dan juga Budhidharma bersimpuh di bawah seperti tiga orang pesakitan. Padahal, Dewi Muntari adalah keponakanny, puteri Sang Prabu, yang derajatnya sebetulnya tidak di bawah tingkatnya!

   "Pertama kami akan memriksa Dewi Muntari. Andika adalah puteri raja, akan tetapi andika telah melakukan dosa besar, minggat dari istana bersama suami dan anak dan sampai bertahun-tahun tidak pulang, juga tidak ada beritanya. Kenapa? Jawab!"

   "Paman Pangeran, ketika itu kami sekeluarga sedang bertamasya ke pegunungan Anjasmoro, akan tetapi kami di serang perampok dan suami saya dibunuh. Saya sendiri akan dibunuh kalau tidak ditolong oleh seorang sakti dan menurut pimpinan perampok, yang mengutus mereka melakukan pembunuhan adalah..."

   "Cukup! Tidak ada artinya semua itu! Kalau memang kalian dirampok, dan andika masih hidup, kenapa selama delapan tahun tidak kembali ke istana dan melapor? Bahkan kini tahu-tahu pulang bersama pemuda yang telah menguasai Tilam Upih dan dan tidak mau menyerahkan pusaka itu! Tidak perlu banyak membantah karena ada saksinya di sini."

   "Saya menjadi saksinya betapa Kakang Mbok Dewi Muntari telah bersekongkol dengan kami dan pasukan pengawal."

   Kata Pangeran Pnjiluwih.

   "Nah, sudah jelas sekali itu."

   "Bukan iti saja, Kanjeng Paman. Kakang Mbok Dewi malah menuduh saya menyuruh orang-orang melakukan pembunuhan terhadap suaminya."

   "Hah, fitnah keji sekali. Apa yang dapat kau katakan sekarang untuk menyangkal semua itu, Dewi Muntari?"

   Dengan muka merah Dewi Muntari berkata,

   "Hemm, agaknya semua telah diatur! Saya tidak dapat berkata apa-apa lagi, hanya percaya akan kebijaksanaan Kanjeng Rama yang tentu akan memberi keputusan seadil-adilnya!"

   "Sekarang Niken Sasi. Benarkah apa yang diceritakan Ibumu tadi?"

   "Semuanya benar, Kanjeng Eyang. Kami diserang orang-orang jahat dan Kanjeng Rama terbunuh. Saya sendiri terpisah dari Kanjeng Ibu dan baru-baru ini saja kami saling bertemu kembali."

   "Hemm, aneh! Kalau andika selamat mengapa selama bertahun-tahun bersembunyi dan tidak pulang ke istana? Kemana saja selama ini andika bersembunyi?"

   "Saya tidak bersembunyi, Kanjeng Eyang, melainkan ditolong oleh Ki Sudibyo ketua Gagak Seto dan dijadikan muridnya."

   "Gajahpuro menjadi saksi tentang keberaaanmu di perkumpulan pemberontak Gagak Seto. Gajahpuro ceritakan kesaksianmu!"

   Gajahpuro menyembah.

   "Sesungguhnyalah, diajeng Niken menjdi murid Ki Sudibyo, murid terkasih bahkan dicalonkan menjadi ketua Gagak Seto!"

   "Nah, semua sudah jelas. Andika dan Ibu andika telah membantu Gagak Seto yang hendak memberontak, bukan?"

   "Gagak Seto adalah sebuah perkumpulan orang gagah, sama sekali bukan pemberontak biarpun pernah diselewengkan oleh mendiang Klabangkoro dan Mayangmurko!"

   Kata Niken dengan suara lantang.

   "Dosamu juga telah jelas, Niken Sasi. Andika bersama Ibumu minggat dari istana, bertahun-tahun tidak pulang dan hendak menyusun kekuatan di perkampungan Gagak Seto untuk memberontak. Sekarang giliran Budhidharma. Orang muda, andika yang bernama Budhidharma?"

   "Benar, Kanjeng Pangeran."

   Jawab Budhi dengan tenang.

   "Engkau sudah mendapatkan Tilam Upih, agaknya akan kau pergunakan sendiri, tidak ingin engkau menyerahkannya kepada Sang Prabu. Engkau bahkan menyeret Dewi Muntari dan Niken Sasi untuk bersekutu dengan pemberontak Gagak Seto. Hayo, mengakulah dan kembalikan Tilam Upih kepada kami!"

   "Pangeran, apa gunanya semua pemeriksaan ini? Kami semua sudah mengetahui dengan jelas siapa sebenarnya Paduka! Padukalah pemimpin persekutuan antara Jambuko Sakti dan Gagak Seto yang dipimpin Klabangkoro, andika yang mengutus orang-orang Jambuko Sakti untuk membunuh suami Dewi Muntari. Andika juga yang mencuri Tilam Upih yang asli dan menukarnya dengan yang palsu. Andikalah yang disebut-sebut Kanjeng Gusti. Kami bertiga telah dapat menduganya!"

   Kata Budidharma dengan lantang.

   "Benar semua itu!"

   Teriak Niken Sasi.

   "Kami mengerti mengapa Paduka melakukan semua ini, Kanjeng Eyang. Tentu untuk menyusun pemberontakan terhadap Kanjeng Eyang Prabu. Paduka menyingkirkan orang-orang yang dapat menjadi penghalang bagi Paduka!"

   Mendengar tuduhan ini, Pangeran Sepuh Wijayanto bahkan tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, tentu saja aku ini Kanjeng Gusti bagi semua bawahanku. Kalian mengada-ada saja. Dosa kalian sudah jelas dan kalian bertiga layak menerima hukuman mati!"

   Mendengar ini, tiga orang itu meloncat berdiri dan memasang kuda-kuda, bahkan Niken Sasi menghunus keris Megantoro pemberian gurunya.

   "Kanjeng Paman tidak berhak mengadili kami, yang berhak mengadili hanyalah Kanjeng Rama Prabu. Kanjeng Paman hanyalah bertugas memeriksa dan menanyai kami saja!"

   Kata Dewi Muntari marah.

   "Kalau hendak menjatuhi hukuman kami patuh menerima hukuman dari Kanjeng Rama Prabu, akan tetapi kalau Kanjeng Paman yang menghukum kami, kami akan melawan!"

   "Ha-ha-ha-ha!"

   Pangeran Sepuh yang usianya sudah enam puluh tahun itu tertawa bergelak.

   "Tempat ini sudah terkepung ketat! Kalian bertiga tidak akan mungkin dapat melarikan diri. Akan tetapi aku memberi kesempatan kepada kalian untuk melakukan perlawanan. Hayo, siapa yang berani maju?"

   "Paduka hendak mengandalkan pasukan untuk mengeroyok, sungguh licik dan curang!"

   Kata Dewi Muntari marah.

   "Ha-ha-ha, kalian ini kanak-kanak yang besar mulut. Untuk menghadapi kalian saja, perlu apa menggunakan pasukan? Hayo, siapa berani majulah!"

   "Aku yang akan maju!"

   Bentak Niken Sasi sambil melompat ke depan.

   "Baik satu lawan satu ataupun dikeroyok aku tidak akan mundur!"

   "Kanjeng Gusti Pangeran, perkenankan saya untuk menghadapi diajeng Niken."

   Kata Gajagpuro kepada Pangeran Sepuh. Sang Pangeran yang sudah tahu akan kesaktian pemuda itu tersenyum dan mengangguk-angguk.

   "Niken Sasi, bocah sombong. Gajahpuro itulah itulah lawanmu, engkau belum pantas untuk melawan aku, ha-ha-ha!"

   Gajahpuro sudah maju dan bersiap melawan Niken Sasi. Mereka berdiri saling berhadapan dan Gajahpuro berkata dengan sikap lembut,

   "Diajeng Niken, harap andika menyerah saja dan aku yang akan mintakan ampun untukmu kepada Kanjeng Gusti Pangeran Sepuh."

   Niken Sasi memandang pemuda itu dengan alis berkerut. Ia tidak mebenci pemuda ini, bahkan ia berterima kasih karena sudah berulang kali Gajahpuro menolongnya, tidak menaati kejahatan Ayahnya, Klabangkoro. Akan tetapi ia merasa heran sekali. Tiba-tiba Gajahpuro menyebut diajeng kepadanya dan akan melawannya, bahkan menganjurkan agar ia menyerah saja untuk dimintakan ampun.

   "Kakang Gajahpuro, aku heran, sekali mengapa tiba-tiba engkau dapat berada di sini dan agaknya menghambakan diri kepada Kanjeng Eyang Pangeran Sepuh. Kakang Gajahpuro, mengingat akan pertalian persaudaraan kita yang lalu kuharap engkau tidak menentangku, bahkan sudah selayaknya kalau engkau membantu aku."

   "Tidak, diajeng. Aku telah menjadi pembantu Kanjeng Gusti Pangeran Sepuh, dan kalau engkau hendak melawan, terpaksa aku akan menghadapimu. Dan ingatlah diajeng, pernah dahulu kau katakan bahwa engkau hanya akan berjodoh dengan seorang laki-laki yang mampu mengalahkanmu. Nah, sekarang aku akan berusaha untuk menandingi dan mengalahkanmu."

   "Kakang Gajahpuro, engkau tahu aku menguasai Hasta Bajra dan aku tidak ingin membunuhmu. Mundurlah!"

   Kata Niken Sasi sambil menyimpan keris Megantoro yang tadi telah dihunusnya.

   "Niken, jangan lemah!"

   Bentak Ibunya.

   "Siapa saja yang menjadi kaki tangan pengkhianat dan hendak melawanmu, lawanlah sekuat tenaga!"

   "Nah, kau dengar itu, Kakang Gajahpuro? Sekali lagi kuharap engkau suka mundur."

   Kata Niken Sasi yang bagaimanapun juga masih ingat akan kebaikan pemuda itu. Kalau Gajahpuro tidak baik kepadanya, dahulu ketika ditangkap oleh Klabangkoro, tentu ia telah diperkosa oleh pemuda ini seperti yang dikehendaki Klabangkoro. Akan tetapi Gajahpuro tidak melakukannya bahkan membebaskannya!

   "Marilah, diajeng Niken, kita bertanding dan kita melihat siapa di antara kita yang lebih unggul."

   Gajahpuro menantang dan terpaksa Niken Sasi melayaninya. Bahkan gadis itu yang membuka serangan lebih dulu.

   Akan tetapi Niken Sasi masih tidak tega untuk mengeluarkan Aji Hasta Bajra. Ia mengira bahwa Gajahpuro hanya memiliki ilmu silat Gagak Seto yang biasa saja, dan itupun tingkatnya masih jauh lebih rendah daripada tingkatnya. Maka iapun menyerang dengan ilmu silat yang biasa dipelajari oleh semua anak buah Gagak Seto. Ia memukul dengan kepalan kanannya mengarah dada pemuda itu. Ia merasa yakin bahwa dengan ilmu silat yang sama Gajahpuro dapat menandinginya, akan tetapi akhirnya ia akan dapat memenangkan pertandingan itu. Ia masih menang dalam hal kecepatan dan juga tenaga dalam. Gajahpuro juga memainkan ilmu silat Gagak Seto, dan dia memutar lengan kirinya menangkis pukulan itu. Niken mengira bahwa tangkisan yang berarti adu tenaga itu tentu akan membuat Gajahpuro terdorong mundur.

   "Dukkk...!"

   Dua lengan bertemu dan terkejutlah Niken. Dia dapat merasakan hawa panas keluar dari tangkisan itu dan merasa betapa kuatnya tangkisan itu sehingga kalau dia tidak cepat menggeser kakinya, tentu ia telah terhuyung! Mulailah Niken Sasi merasa penasaran dan ia menyerang lagi dengan lebih hebat. Menyerang dengan ilmu silat Gagak Seto, akan tetapi dengan cepat sekali dan dengan pengerahan tenaga dalam yang kuat. Dan kembali ia terkejut. Bukan saja pemuda itu mampu mengimbangi kecepatannya, bahkan dalam hal mengadu tenaga sakti, Gajahpuro tidak pernah terdesak olehnya dan setiap kali lengannya bergetar hebat. Sungguh tidak pernah disangkanya sama sekali bahwa pemuda itu dapat bergerak secepat dan sekuat itu.

   "Haiiiiiiittt...!"

   Ia memukul lagi kini dengan tangan kirinya mengarah leher lawan dan kaki kanannya menyusul meluncurkan tendangan kilat ke arah perut. Niken percaya bahwa sekali ini ia pasti akan berhasil karena jurus itu merupakan jurus terampuh dari ilmu silat Gagak Seto dan ia melakukannya dengan cepat dan kuat sekali.

   Gajahpuro agaknya maklum akan bahaya serangan ini. Akan tetapi dengan sigapnya dia sudah berhasil mengelak, bahkan membalas dengan tamparan yang tidak kalah beratnya ke arah pundak gadis itu. Niken Sasi terkejut dan cepat menangkis dan kembali ia merasa getaran hawa panas keluar dari tangan pemuda itu, yang membuat ia agak terhuyung. Niken mulai merasa penasaran dan ia sudah menggeser kakinya maju lagi sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Itulah pertanda bahwa ia telah mengerahkan Aji Hasta Bajra! Akan tetapi gadis itu masih ragu-ragu apakah perlu ia mengeluarkan aji yang hebat itu, yang mungkin akan membahayakan nyawa Gajahpuro. Melihat keraguan gadis itu, Gajahpuro berkata,

   "Kalau hendak menggunakan Aji Hasta Bajra, silakan, diajeng Niken. Aku siap menyambutnya!"

   Ucapan itu memang lembut, akan tetapi tetap saja merupakan tantangan. Niken tidak ragu lagi dan ia lalu membentak,

   "Awas, lihat serenganku!"

   Gajahpuro maklum sepenuhnya akan kedahsyatan aji Hasta Bajra itu, maka diam-diam dipun sudah mengerahkan tenaga sakti Ranu Geni yang panas dan menyambut dengan Aji Lahar Sewu. Dua pasang tangan yang mengandung hawa sakti meluncur ke depan dan bertemulah dua kekuatan dahsyat di udara.

   "Wuuuuuttt... dessss...!!"

   Hebat sekali pertemuan antara kedua tenaga itu. Akan tetapi Gajahpuro membatasi tenaganya sehingga dia terdorong ke belakang. Juga Niken terdorong kebelakang dan terhuyung. Melihat ini, Dewi Muntari cepat melompat dan menahan tubuh puterinya agar tidak sampai roboh. Wajah Niken pucat sekali dan tentu saja ia terheran-heran. Bagaimana mungkinGajahpuro mampu menahan pukulan Hasta Bajra, bahkan menandinginya dengan pukulan panas yang tidak kalah hebatnya?"

   "Bagus Gajahpuro!"

   Pangeran sepuh memuji jagonya dan tertawa memandang kepada Dewi Muntari.

   "Dewi Muntari, puterimu telah kalah!"

   "Puteriku mungkin kalah, akan tetapi aku belum, Kanjeng Paman!"

   Dewi Muntari meloncat ke depan. Akan tetapi Pangeran Sepuh masih menoleh kepada Gajahpuro sambil berkata.

   "Engkau majulah sekali lagi, Gajahpuro, mewakili aku. Aku agak segan kalau harus melawan seorang wanita, dan ia masih keponakanku sendiri lagi! Akan tetapi berhati-hatilah dan jangan pandang ringan."

   "Baik, Kanjeng Gusti Pangeran!"

   Kata Gajahpuro sambil maju mengahadi Dewi Muntari.

   "Kanjeng Ibu, dia itu putera Klabangkoro!"

   Kata Niken kepada Ibunya.

   "Ah, begitu? Kalau begitu aku akan membunuhnya. Puteranya tentu sama jahat seperti bapaknya!"

   Kata Dewi Muntari.

   "Tidak, Ibu. Dia tidak sejahat bapaknya. Dia telah berulang kali membela dan menolongku."

   Kata Niken Sasi yang tidak dapat melupakan budi pertolongan Gajahpuro.

   "Aku bukan putera Klabangkoro!"

   Gajahpuro berseru dengan penasaran sehingga mengherankan hati Niken Sasi karena tahu benar Niken bahwa pemuda itu memang putera Klabangkoro. Dewi Muntari sudah maju dan berkata,

   "Orang muda, bersiaplah untuk menyambut seranganku!"

   "Aku sudah siap sejak tadi."

   Jawab Gajahpuro dengan tenang dan diapun sudah memasang kuda-kuda dan mengarahkan kekuatannya karena dia maklum bahwa wanita ini tentu lebih tangguh daripada Niken.

   Dewi Muntari lalu bergerak dengan cepat sekali. Gerakanya seperti burung sikatan saja, cepat dan kuat menyerang dengan tamparan tangannya. Akan tetapi Gajahpuro mampu mengelak dan pemuda inipun membalas dengan tamparan tangannya. Terjadilah perkelahian yang seru. Gajahpuro harus mengerahkan seluruh tenaganya dan diapun menggerakkan kaki tangannya memainkan Aji Lahar Sewu yang ampuh. Akan tetapi sekali ini yang dihadapinya adalah Dewi Muntari yang memiliki aji kekebalan Trenggiling Wesi dan aji pukulan Jaladi Geni yang ampuh sekali. Setelah saling pukul dan saling tangkis selama belasan jurus, mulailah Gajahpuro terdesak oleh serangan Dewi Muntari. Sebetulnya, Gajahpuro telah mendapat gemblengan orang sakti dan telah mempelajari ilmu yang amat hebat. Akan tetapi dai kurang penagalaman dan ilmu-ilmunya itu belum dikuasai dengan baik.

   Seolah dia baru mendapatkan kulitnya saja belum benar-benar meresapi isinya. Mana mungkin dia menandingi Dewi Muntari yang telah digembleng orang sakti selama delapan tahun? Dewi Muntari terus mendesak dengan tamparan-tamparan yang amat kuat, didahului bentakan-bentakannya yang amat berwibawa karena wanita ini menggunakan aji Sardulo Kroda yang membuat bentakannya mengandung getaran kuat sekali yang dapat melumpuhkan lawan yang tidak memiliki tenaga sakti yang kuat. Akhirnya, sebuah tamparan mengenai pundak Gajahpuro dan pemuda ini terpelanting dan bergulingan. Masih untung bagi Gajahpuro bahwa Dewi Muntari teringat akan ucapan Niken Sasi bahwa Gajahpuro tidak jahat bahkan pernah menolong puterinya itu, maka pukulannya tadi ia selewengkan dan hanya melukai pundak saja yang tidak membahayakan nyawanya.

   "Bagus! Andika memang digdaya, Dewi Muntari. Akan tetapi yang kau hadapi hanyalah seorang bocah. Kalau andika mampu menandingiku, barulah andika benar-benar digdaya."

   Melihat Pangeran itu maju sendiri Budhidharma segera melangkah maju.

   "Kanjeng Bibi, biarlah saya yang maju menghadapi Pangeran Sepuh!"

   Dewi Muntari yang sudah maklum betapa saktinya Pangeran Sepuh yang seperguruan dengan Kanjeng Ramanya itu memang sudah merasa gentar menghadapinya. Dan iapun maklum akan ketangguhan Budhidarma seperti yang diceritakan puterinya kepadanya, maka iapun mengangguk dan mundur.

   "Pangeran, apakah masih akan Paduka lanjutkan menghukum mati kami bertiga? Masih belum terlabat bagi Paduka untuk mengubah keputusan itu dan membebaskan kami, dan biar Kanjeng Gusti Prabu sendiri yang akan mengadili kami."

   "Bocah sombong bermulut lancang. Sudah tentu keputusan kami tidak dapat diubah lagi. Kami memutuskan untuk menghukum mati andika bertiga, akan tetapi kami memberi kesempatan kepada kalian untuk membela diri. Sekarang, karena andika dengan lancang dan sombong berani melawan aku, maka engkaulah yang akan mati lebih dulu!"

   "Pangeran, kami tidak melawan. Akan tetapi kami tidak dapat menerima hukuman yang tidak dijatuhkan sendiri oleh Gusti Prabu. Pula, kami sama sekali tidak merasa bersalah dan sama sekali tidak bermaksud memberontak seperti yang Paduka tuduhkan. Karena itulah kami tidak menrima begitu saja dihukum mati!"

   Kembali Budhi membantah.

   
Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Babo-babo...! Engkau bocah kemarin sore berani menentang Pangeran Sepuh Wijayanto?"

   "Saya hanya berani menentang siapa yang bersalah, Pangeran!"

   "Keparat, terimalah aji-ajiku ini!"

   Pangeran Sepuh membentak dan tiba-tiba tubuhnya bergerak dan tangan kanannya menyambar ke arah kepala Budhidharma seperti sambaran kilat. Cepat dan kuat sekali pukulan itu menyambar, akan tetapi Budhi masih dapat mengelak dengan cepatnya.

   "Wuuuuuuttt... blarrr...!!"

   Sebuah pot bunga yang berada di sudut ruangan itu hancur berantakan terkena sambaran pukulan yang luput dari kepala Budhi itu. Pangeran Sepuh Wijayanto menjadi semakin marah karena penasaran. Dia adalah seorang yang sakti mandraguna, akan tetapi serangannya dapat dielakkan oleh pemuda ini. Dia menyerang lagi bertubi-tubi, akan tetapi dengan amat gesitnya Budhi mengelak beberapa kali, kemudian ketika tangan kiri Pangeran itu menyambar dengan dahsyatnya ke arah kepalanya, terpaksa dia menangkis dengan tangan kanan. Kerena maklum betapa dahsyatnyapukulan lawan, Budhi mengerahkan Aji Tapak Sapujagat, menangkis sambil mengerahkan tenaga.

   "Dessss...!!"

   Hebat sekali pertemuan antara kedua lengan itu, sampai terasa oleh semua orang yang berada di situ karena mereka semua tergetar. Dan akibat dari benturan dua tenaga sakti itu, tubuh Budhidharma terdorong mundur tiga langkah, akan tetapi sebaliknya, tubuh Pangeran Sepuh juga terdorong mundur sampai terhuyung ke balakang! Bukan main kagetnya Pangeran Sepuh melihat kenyataan ini. Pemuda itu memiliki tenaga sakti yang lebih kuat dari padanya! Dia merasa penasaran sekali dan belum mau percaya. Dengan geram dia lalu menekuk kedua lututnya, mengerahkan seluruh tenaganya dan kemampuannya, lalu memukulkan kedua tangannya yang terbuka, mendorong ke arah Budhi. Dia mengeluarkan teriakan melengking untuk menambah daya tolakan kedua tangannya.

   "Haiiiiiiiiiiiiitttt...!!"

   Maklum bahwa lawannya hendak mengadu kesaktian lewat tenaga, Budhi menyambut dengan kedua tangannya didorongkan ke depan sambil menggerahkan tenaga dan mulutnya mengeluarkan teriakan dahsayat.

   "Yaaaaaaattt...!!"

   "Desssss...!"

   Kembali tenaga mereka bertemu di udara dan kini akibanya leih hebat lagi. Kalau Budhi terhuyung ke belakang, Pangeran Sepuh itu terjengkang dan roboh terbanting! Akan tetapi Pangeran ini memang sakti dan kebal. Dia sudah meloncat bangun lagi dan ditangannya sudah tergenggam sebatang keris yang mengeluarkan wibawa menyeramkan.

   "Tilam Upih...!!"

   Dewi Muntari dan Niken Sasi berseru dengan berbareng melihat keris itu di tangan sang Pangeran tua. Budhi juga merasakan getaran hebat dari wibawa keris itu dan tahulah dia bahwa keris itu memang sangat ampuh.

   "Kepung mereka! Bunuh!!"

   Bentak Pangeran Sepuh Wijayanto dengan kemarahan meluap. Dia telah dikalahkan pemuda itu di depan banyak orang dan hal ini dianggap amat menghina dan merendahkan martabatnya.

   "Kanjeng Gusti Pangeran, saya mohon jangan bunuh diajeng Niken dan Ibunya seperti yang Paduka janjikan kepada saya!"

   Kata Gajahpuro.

   "Janga banyak cakap!"

   Bentak Pangeran Sepuh Wijayanto lalu dia mengulang perintahnya kepada pasukan pengawalnya yang sudah memenuhi ruangan itu mengepung Budhi, Niken Sasi, dan Dewi Muntari.

   "Serang dan bunuh mereka bertiga!"

   "Kalau begitu saya tidak sudi membantu Paduka lagi!"

   Teriak Gajahpuro.

   "Bagus, agaknya engkau juga sudah bosan hidup!"

   Bentak Pangeran Sepuh sambil mengamangkan keris pusaka Tilam Upih.

   "Bunuh jug bocah ini!"

   Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara gaduh di luar dan para perajurit pengawal Pangeran Sepuh yang berada di dekat pintu ruangan bergelimpangan roboh. Terdengar bentakan yang lembut namun penuh wibawa.

   "Semua perajurit mundur!"

   Para anak buah Pangeran Sepuh terkejut dan menengok. Ketika mereka melihat Sang Prabu Jayabaya yang diiringkan para pengawal yang dipimpin Senopati Lembudigdo dan para senopeti lainnya, mereka menjadi pucat ketakutan dan segera mundur meninggalkan ruangan itu. Di luar telah menanti pasukan pengawal kerajaan yang segera melucuti senjata mereka. Semua terjadi tanpa keributan, karena para anak buah Pangeran Sepuh maklum bahwa melawanpun tidak akan ada gunanya. Sementara itu, ketika melihat munculnya Sang Prabu Jayabaya, wajah Pangeran Sepuh berubah pucat pula dan dengan senyum dibuat-buat dia menegur.

   "Yayi Prabu..., Paduka datang...?"

   Dia sampai lupa bahwa dia masih memegang keris pusaka Tilam Upih di tangannya.

   "Kakang Mas Pangeran, andika membawa keris pusaka Tilam Upih terhunus, apakah untuk membunuh puteriku Dewi Muntari dan cucuku Niken Sasi?"

   "Ahh, tidak... tidak...! Pusaka ini... saya baru rampas dari tangan Budhidharma!"

   "Hemm, Kakang Mas Pangeran, tidak ada gunanya berbohong lagi. Kami telah mengetahui semuanya. Sudah lama kami mendengar laporan para penyelidik bahwa diam-diam Kakang Mas Pangeran menghimpun kekuatan di luar istana. Kakang Mas hendak mencalonkan Pangeran Panjiluwih dan menyingkirkan Pangeran mahkota. Juga menyingkirkan semua Pangeran dan anggota keluarga yang kiranya akan menentang rencana andika! Akan tetapi karena kami belum memperoleh bukti, kami masih belum bertindak. Dan tadi, Kakang Mas Pangeran, kami telah mendengar semuanya! Ternyata Kakang Mas yang menjadi pemimpin persekutuan dengan sebutan Kanjeng Gusti, dan Kakang Mas pula yang telah merampas Tilam Upih secara diam-diam saja dari adipati Nusa Kambangan. Jelas Kakang Mas hendak memberontak! Dan Kakang Mas memilih Pangeran Panjiluwih karena Ibunya adalah puteri Blambangan yang Kakang Mas jagokan untuk mendukung gerakan Kakang Mas. Kami telah mengetahui semua!"

   Ketika Sang Prabu Jayabaya bicara Pangeran Sepuh mendengarkan dengan mata liar dan muka semakin pucat. Lalu dia memandang kepada Tilam Upih di tangannya, lalu berkata lantang,

   "Yayi Prabu! Dahulu aku yang mendambakan kedudukan raja, akan tetapi mendiang Kanjeng Rama bersikap tidak adil, memilih andika yang lebih muda menjadi Pangeran mahkota. Sekarang, andika juga pilih kasih, memilih Pangeran Arya Iswara menjadi putera mahkota, padahal masih banyak Pangeran lain yang lebih tua. Benar! Memang aku tidak amau menerima ketidak-adilan ini, aku ingin mengangkat Pangeran Panjiluwih menjadi putera mahkota. Akan tetapi kami telah gagal, dan karena andika sendiri yang telah mengetahui semua rahasiaku, maka andika yang lebih dulu harus mati di tanganku!"

   Setelah berkata demikian, Pangeran Sepuh siap uantuk menyerang dengan keris pusaka Tilam Upih.

   "Kanjeng Rama Prabu, perkenankan hamba yang maju menghadapinya!"

   Seru Dewi Muntari yang merasa khawatir.

   "Perkenankan hamba yang maju, gusti."

   Kata Budhidharma pula. Juga Senopati Lembudigdo sudah siap bersama pasukannya untuk mengepung Pangeran Sepuh Wijayanto yang agaknya hendak mengamuk dengan keris pusakaTilam Upih di tangan. Akan tetapi sambil tersenyum Sang Prabu Jayabaya mengangkat kedua tangannya ke atas dan memberi isarat kepada semua orang untuk mundur. Kemudian dengan sikapnya yang tenang sekali, raja yang bijaksana dan sakti mandraguna itu melangkah maju menghadapi kakaknya.

   "Kakang Mas Pangeran Wijayanto, andika hendak menggunakan Kyai Tilam Upih untuk memberontak, mengamuk dan membunuhku? Andika tidak akan berhasil. Sebaiknya andika menyadari kesalahan, cepat menyerah dan mungkin kami masih akan memperingan hukumanmu."

   "Tidak perlu banyak cakap lagi. Engkau atau aku yang harus mati!"

   Bentak Pangeran Sepuh dan bagaikan seekor harimau marah, dia sudah menerjang ke depan, menubruk dan menyerang dengan keris pusaka Tilam Upih yang sakti itu. Sang Prabu Jayabaya tetap tenang saja. Ketika keris itu sudah meluncur dekat, dia melompat ke kiri menghindarkan diri, kemudian kakinya mencuat dan menendang dengan kecepatan kilat.

   "Wuuuuuuuttt... desss...!"

   Tubuh Pangeran Sepuh terlempar dan dia jatuh bergulingan oleh tendangan yang dahsyat itu. Akan tetapi dia dengan cepat sudah meloncat bangkit kembali dan menyerang untuk kedua kalinya, lebih cepat dan lebih dahsyat. Sang Prabu Jayabaya kembali mengelak dan untuk ke dua kalinya, kakinya menendang dan kembali tubuh Pangeran Sepuh terlempar dan terbanting keras. Sebetulnya, dengan dua kali terbanting itu saja, Pangeran Sepuh sudah menyadari bahwa dia tidak akan mampu menandingi kesaktian Sang Prabu Jayabaya. Akan tetapi dia sudah putus asa dan menjadi nekat. Biarpun tubuhnya sudah merasa sakit-sakit karena dua kali terlempar dan terbanting, dia bangkit lagi dan memasang kuda-kuda, mengerahkan seluruh tenaganya.

   "Engkau atau aku yang harus mati!"

   Bentaknya. Sang Prabu Jayabaya memandang dengan sinar mata mencorong seperti mengeluarkan api da suaranya terdengar tegas.

   "Jagat Dewa Batara, engkau menggapai taringnya Sang Batara Kala, Kakang Mas!"

   Pangeran Sepuh sudah berlari menerjang maju dengan keris siap menusuk. Akan tetapi sekali ini, Sang Prabu Jayabaya sudah mengerahkan aji kesaktian dan kekebalannya, berdiri tegak seperti sebuah arca yang kokoh. Keris pusaka Tilam Upih di tangan Pangeran Sepuh datang menyambar ke arah dada, diterima oleh dada itu tanpa mengelak sedikitpun.

   "Wuuuttt... Takk...!!"

   Tangan Pangeran Sepuh yang memegang keris tergetar hebat. Kerisnya seperti mengenai benteng baja yang kokoh kuat, sama sekali tidak mampu menembus kulit yang sudah dilindungi aji kekebalan yang disebut Aji Ontokusumo. Pangeran Sepuh Wijayanto seperti tidak percaya. Kerisnya adalah Tilam Upih! Tidak mungkin dapat ditolak aji kekebalan. Dia menusuk lagi.

   "Takkk...!"

   Dengan penuh kegeraman dan keputusasaan kembali dia menusukkan keris ke arah perut Sang Prabu Jayabaya.

   "Takk...!!"

   Kini Sang Prabu Jayabaya menggerakkan tangan kiriny, menampar ke arah kepala Pangeran Sepuh.

   "Wuuuuttt... desss...!"

   Tubuh Pangeran itu seperti daun kering tertiup angin, melayang dan jatuh berdebuk, terbanting keras! Akan tetapi memang Pangeran itupun seorang yang kebal, tamparan itu hanya membuat dai pusing sejenak. Lalu dia bangkit berdiri mengamati keris di tangannya seolah tidak percaya akan keaslian pusaka itu, kemudian dia mengayun keris itu ke ulu hatinya sendiri.

   "Cappp...!"

   Keris menembus kulit dada dengan mudah dan robohlah sang Pangeran, tewas seketika saking ampuhnya Tilam Upih. Semua orang lalu berlutut menyembah kepada Sang Prabu Jayabaya. Raja yang sakti mandraguna ini menghela napas panjang, menghampiri jenazah kakaknya, mencabut keris Tilam Upih dari dadanya lalu menyerahkannya kepada Senopati Lembudgdo.

   "Lembudigdo, suruh cuci dan gosok pusaka ini sampai bersih betul dari noda, baru haturkan kepadaku."

   "Sendiko, Gusti."

   Jawab Senopati Lembudigdo sambil menerima keris pusaka itu dan menyimpannya. Dalam peristiwa ini, Sang Prabu Jayabaya memperlihatkan kebijaksaannya. Dia mengampuni seluruh keluarga Pangeran Sepuh. Bahkan hanya menggur keras kepada Pangeran Panjiluwih yang dianggap terkena hasutan Pangeran Sepuh. Bekas pasukan Pangeran Sepuh dibubarkan dan tentu saja Gajahpuro juga dibebaskan karena Niken Sasi mintakan ampun untuk pemuda yang pada terakhirya kembali memperlihatkan sikap membelanya itu. Budhidharma, Dewi Muntari dan Niken Sasi dipanggil menghadap ke istana.

   "Budhidharma, kami sudah banyak mendengar akan sepak terjangmu dari para penyelidik, dan kami berterima kasih atas pembelaanmu sehingga puteri dan cucu kami dapat diselamatkan."

   Kata Sang Prabu memujinya. Gusti Prabu Jayabaya tersenyum.

   "Mendiang Kakang Mas Pangeran Wijayanto memang cerdik. Dia telah mendahuluimu mencuri keris pusaka itu. Akan tetapi, sudahlah, keris pusaka itu sudah kembali kepada kami. Sekarang kami ingin mendengar ceritamu, nini Dewi Muntari, dan andika, cucuku Niken Sasi. Apa yang telah kalian alami setelah kalian dirampok dan Rangsang dibunuh?"

   Dewi Muntari menceritakan pengalamannya. Ketika mendengar bahwa puterinya itu ditolong kemudian diambil murid oleh Ni Durgogini, Sang Prabu Jayabaya berseru,

   "Ah, jadi ia yang menolongmu dan kemudian menjadi gurumu?"

   "Kanjeng Rama, Ni Durgogini sudah minta kepada hamba agar Paduka sudi mengampuni kelancangannya, berani mengambil murid kepada hamba."

   Kata Dewi Muntari. Sang Prabu tersenyum,

   "Tentu saja. Ia tidak bersalah, bahkan berjasa besar. Pantas engkau berani menentang paman-tuamu, kiranya engkau sudah digembleng oleh Ni Durgogini! Dan bagaimana dengan pengalamanmu selama ini, cucuda Niken Sasi? Agaknya engkau telah menjadi seorang gadis yang trengginas dan digdaya. Apakah engkau juga memperoleh seorang guru yang sakti?"

   "Sesungguhnyalah, Kanjeng Eyang Prabu. Ketika Kanjeng Ibu menyuruh hamba melarikan diri, hamba terjatuh ke dalam telaga kecil. Hamba diselamatkan oleh Ki Sudibyo, ketua Gagak Seto dan hamba menjadi muridnya."

   Niken lalu menceritakan tentang gurunya, betapa gurunya itu dikhianati oleh Klabangkoro dan Mayangmurko yang kemudian telah terbunuh oleh Ibunya, Dewi Muntari. Juga diceritakan tentang Budhidharma yang menolongnya berulang kali sampai pengalaman mereka yang hebat di Gagak Seto ketika mereka dijebak oleh Klabangkoro. Gadis itu menonjolkan budi pertolongan yang dilakukan Budhidharma dan agaknya hal ini diketahui pula oleh kakeknya sehingga Sang Prabu Jayabaya hanya tersenyum mendengarkan. Setelah gadis itu selesai bercerita, Sang Prabu Jayabaya berkata kepada Budhidharma,

   "Budhidharma, jasamu amat besar. Oleh karena itu, kami mengangkatmu menjadi seorang Senopati muda di kerajaan Kediri!"

   Budhidharma terkejut dan demikian girangnya mendengar ini sehingga dia hanya memandang bengong. Melihat ini, Niken Sasi cepat menyentuh lengannya.

   "Cepat haturkan terima kasih kepada Kanjeng Eyang."

   Budhidharma menyembah dan menghaturkan terima kasihnya. Dewi Muntari kembali ke tempat tinggalnya yang dahulu, yang delapan tahun yang lalu ditinggali bersama suaminya dan yang sampai sekarang masih dipelihara baik-baik atas perintah Sang Prabu Jayabaya. Budhidharma juga mengikuti Ibu dan anak itu. Di rumah mereka, Dewi Muntari lalu membicarakan urusan perjodohan antara puterinya dan Budhidharma. Sebagai seorang Ibu yang waspada, tanpa bertanya sekalipun ia sudah lama tahu bahwa terdapat hubungan kasih sayang di antara kedua orang muda itu. Sepasang orang muda itu tersipu malu ketika Dewi Muntari terang-terangan mengajak mereka bicara tentang perjodohan mereka.

   "Bagaimanakah kalian ini? Urusan ini tentu selalu mendesak dihati kalian, akan tetapi setelah diajak bicara tentang hal ini, kalian malah diam saja. Apakah kalian tidak setuju?"

   "Ah, Ibu...!"

   Niken Sasi tersipu dan menundukkan mukanya.

   "Sebetulnya, Kanjeng Bibi, kami berdua selalu khawatir dan ragu kalau-kalau Kanjeng Gusti Prabu tidak menyetujui, karena saya hanyalah seorang pemuda dusun yang yatim piatu dan papa..."

   "Hemm, kau kira Kanjeng Rama itu bagaimana? Beliau seorang raja yang adil dan arif bijaksana. Bukankah aku sendiri juga dijodohkan dengan seorang Senopati yang berkedudukan rendah dan dari rakyat biasa? Aku tanggung bahwa Kanjeng Rama Prabu pasti akan menyetujui perjodohan kalian."

   "Terima kasih, Kanjeng Bibi..."

   "Hemm, sudah tiba waktunya engkau mengubah sebutan bibi itu dengan sebutan Ibu. Bukankah engkau calon mantuku?"

   Wajah Budhi menjadi kemerahan.

   "Terima kasih, Kanjeng Ibu..."

   Dia mengulang.

   "Akan tetapi saya dan diajeng Niken Sasi mohon ijin untuk pergi ke Anjasmoro dulu, karena kami harusmenyelesaikan urusan Gagak Seto"

   "Engkau tidak boleh lagi menjadi ketua Gagak Seto setelah menjadi Senopati!"

   "Memang saya tidak pernah ingin melanjutkan kedudukan mendiang Ayah saya. Oleh karena itu, tadi ketika berpisah dari Gajahpuro, saya memesan agar dia suka pergi ke Gagak Seto menemui saya. Gajahpuro adalah seorang pemuda yang baik dan gagah, sudah sepatutnya kalau dia yang menjadi ketua Gagak Seto."

   "Ah, pemuda itu? Kalian mengatakan bahwa dia putera Klabangkoro, akan tetapi di depan Pangeran Sepuh dia menyangkal bahwa dia bukan putera Klabangkoro. Siapa sebetulnya anak itu?"

   "Kami juga heran, Kanjeng Ibu. Kalau bertemu dengannya tentu akan kupertanyakan hal itu."

   Kata Niken Sasi. Demikianlah, setelah tinggal di rumah Dewi Muntari, di komplek istana, selama beberapa hari, pada suatu hari Budhidharma bersama Niken Sasi meninggalkan isana menuju ke pegunungan Anjasmoro. Kedatangan Budhi dan Niken disambut dengan hormat oleh Waskita yang oleh Budhi diserahi tugas mewakilinya memimpin Gagak Seto selagi dia pergi. Juga semua anak buah Gagak Seto yang masih setia, berjumlah kurang lebih empat puluh orang, ikut menyambut dengan gembira.

   "Paman Waskita, apakah Gajahpuro tidak datang ke sini?"

   Tanya Budhi kepada Waskita.

   "Ah, ada anak mas. Dia datang ke sini kemarin dulu, katanya hendak menemuimu, akan tetapi kami semua minta agar dia pergi dari sini."

   Jawab Waskita.

   "Eh, kenapa, paman?"

   "Kenapa? Bukankah dia putera Klabangkoro yang telah menyesatkan kami semua?"

   "Akan tetapi paman sendiri tentu tahu betapa Gajahpuro selalu menentang kejahatan Klabangkoro, bahkan samapi dilempar ke dalam sumur tua. Gajahpuro bukan seorang pemuda jahat, Sebaliknya dia seorang pemuda gagah perkasa dan baik sekali."

   Waskita nampak ragu.

   "Hal itu kami mengerti, akan tetapi karena dia putera Klabangkoro, kami merasa tidak enak kalau menerimanya, maka dia kami usir..."

   "Keliru sekali, paman. Baik dia putera Klabangkoro maupun bukan, pada kenyatannya dia seorang anggota Gagak Seto yang baik dan aku yakin bahwa tidak ada anggota lain yang memiliki ilmu kepandaian setinggi dia."

   "Tidak, anak mas. Kurasa kepandaiannya masih kalah jauh dibandingkan kepandaian Gusti Puteri Niken..."

   Karena sudah mendengar bahwa Niken Sasi adalah cucu Sang Prabu, maka kini Waskita menyebutnya gusti puteri!

   "Ah, andika tidak tahu, Paman Waskita. Sekarang Kakang Gajahpuro memiliki ilmu kepandaian yang jauh melampuiku. Dia telah menjadi pemuda sakti."

   Kata Niken dan bukan hanya Waskita yang merasa heran mendengar ini, bahkan para anggota lain juga memandang heran. Mereka semua sudah mendengar betapa Niken telah mewarisi Aji Hasta Bajra dari mendiang Ki Sudibyo. Akan tetapi gadis itu mengakui bahwa ia masih kalah dibandingkan kesaktian Gajahpuro.

   "Demikianlah sesungguhnya,"

   Kata pula Budhi.

   "Dan karena itu, kami hendak menemuinya, karena kami bermaksud mengangkatnya menjadi ketua Gagak Seto yang baru."

   Semua anggota terkejut mendengar ini, juga merasa heran.

   "Harap kalian semua dapat mengerti. Aku tidak cocok untuk menjadi ketua Gagak Seto. Pertama, biarpun aku putera Ki Sudibyo, akan tetapi aku bukan murid Gagak Seto. Kedua, aku telah diangkat menjadi seorang Senopati muda oleh Kanjeng Gusti Prabu sehingga tidak mungkin lagi aku tinggal di sini menjadi ketua. Itulah sebabnya kami melihat bahwa yang paling tepat menjadi ketua adalah Gajahpurodan kami yang bertanggung-jawab atas pengangkatan ini."

   Pada saat itu terdengar seruan orang,

   "Kakang Mas Budhi...!"

   Dan nampaklah Gajahpuro memasuki rumah induk itu.

   "Adimas Gajahpuro, kebetulan andika datang. Maafkan Paman Waskita dan para anggota yang tidak berani menerimamu berkunjung ke sini."

   Kata Budhi.

   "Ah, tidak mengapa, Kakang Mas. Akupun tahu diri dan menanti saja sampai andika datang."

   Gajahpuro dipersilakan duduk. Pemuda ini memandang kepada Niken dan kini pandang matanya berbeda dari biasanya. Biasanya, kalau dia memandang gadis itu, pasti terpancar sinar kasih sayang dari pandang matanya itu kepada gadis ini. Akan tetapi sekarang tidak lagi. Dia sudah mengetahui bahwa di antara Budhi dan Niken terjalin hubungan yang akrab dan mesra. Dia dapat menduga bahwa kedua orang muda itu saling mencinta dan dia sudah melepaskan harapannya atas diri Niken Sasi. Apalagi setelah dia mengetahui bahwa Niken Sasi adalah cucu Sang Prabu!

   "Maafkan kami, Gajahpuro. Karena kemarin dulu anakmas Budhi belum datang, terpaksa kami menolak kunjungan andika."

   "Tidak mengapa, Paman Waskita. Perbuatanmu itu bahkan menunjukkan bahwa andika seorang wakil yang baik sekali dan memenuhi kewajiban."

   Jawab Gajahpuro. Diam-diam Budhi merasa suka kepada pemuda ini. Niken Sasi yang sejak tadi mendengarkan saja, lalu berkata,

   "Kakang Gajahpuro, andika tentu haran mengapa Kakang Mas Budhidharma mengundangmu ke sini? Ada banyak hal perlu kita bicarakan, akan tetapi yang pertama membuat kami merasa heran sekali adalah penyangkalanmu bahwa andika bukan putera Klabangkoro. Benarkah itu Kakang Gajahpuro?"

   "Benar sekali, Gusti Puteri."

   "Ah, Kakang Gajahpuro, bagimu aku tetap Niken yang dulu."

   Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Paduka adalah cucu Kanjeng Gusti Prabu. Memang saya bukan putera Klabangkoro, bahkan dialah yang membunuh Ayah kandung saya dan kemudian Ibu saya. Ketika saya masih kecil, Klabangkoro membunuh Ayah saya dan memaksa Ibu saya menjadi istrinya."

   "Hemm, betapa jahatnya Klabangkoro!"

   Kata Budhi.

   "Akan tetapi, sudahlah. Adimas Gajahpuro. Bagaimanapun juga, dia pernah menjadi Ayahmu yang menyayang dan kini dia sudah mati. Sekarang yang lebih penting lagi. Aku mengundangmu ke sini untuk mengangkatmu, menjadi ketua Gagak Seto. Tentu engkau mau, bukan?"

   Gajahpuro nampak terkejut dan heran.

   "Aku? Menjadi ketua Gagak Seto? Akan tetapi Gusti Puteri Niken..."

   "Hemm, tidak mungkin aku menjadi ketua Gagak Seto, Kakang Gajahpuro!"

   Kata gadis itu.

   "Dan ada andika di sini, Kakang Mas Budhidarma."

   Bantah pula Gajahpuro.

   "Aku tidak mungkin menjadi ketua Gagak Seto, adimas. Pertama, aku diangkat menjadi Senopati muda oleh Kanjeng Gusti Prabu sehingga aku harus bertugas di Kota Raja. Dan kedua, aku sama sekali bukan murid Gagak Seto, tidak mengenal ilmu silat Gagak Seto. Engkaulah orangnya yang paling tepat menjadi ketua Gagak Seto, adimas Gajahpuro dan kuharap engkau tidak menolak lagi."

   Karena dibujuk oleh Budhi dan Niken, dan melihat semua anggota Gagak Seto juga sudah setuju, akhirnya Gajahpuro menerima kedudukan sebagai ketua Gagak Seto. Dengan gembira peristiwa itu lalu dirayakan oleh Budhidharma, dan setelah tinggal di Gagak Seto selama dua hari, Budhidharma lalu berangkat bersama Niken Sasi meninggalkan pegunungan Anjasmoro. Niken Sasi sengaja mengajak kekasihnya melewati Grojokan Kluwung dan ketika mereka lewat di situ, kebetulan sekali nampak pelangi melengkung indah di atas gerojokan.

   "Di sanalah aku ditolong mendiang Bapa Guru Sudibyo, Kakang Mas Budhi."

   Kata Niken Sasi sambil menuding ke arah gerojokan (air mancur).

   "Bukan main indahnya tempat itu, diajeng. Dan kalau kuingat betapa aku datang ke pegunungan Anjasmoro ini dengan demdam yang membara..."

   "Kasihan Bapa Guru. Dia seorang yang baik, Kakang Mas. Seorang yang gagah perkasa, namun gagal dalam asmara."

   "Semoga asmara yang kutemukan di balik dendam membara ini tidak akan gagal, diajeng."

   Kata Budhidharma. Niken mengangkat muka, saling pandang kemudian mereka berangkulan dengan mesra, di bawah lengkungan Kluwung indah itu.

   Sampai disini selesailah sudah kisah "ASMARA DI BALIK DENDAM MEMBARA"

   Ini dan harapan pengarang semoga kisah ini ada manfaatnya bagi kita semua. Sampai jumpa di kisah yang lain.

   TAMAT

   dino, http://indozone. net/literatures/literature/408

   21 September 2008 jam 10:43am

   


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini