Ceritasilat Novel Online

Seruling Gading 8


Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Bagian 8



"Ki-sanak, andika tentu Senopati Dibyasakti! Aku adalah Karyadi, putera Tumenggung Surobayu, bukan penjahat dan bukan musuh!"

   Akan tetapi Dibyasakti tidak perduli. Dia melompat ke depan dan dalam posisi setengah berjongkok dia siap menyerang. Melihat ini, Karyadi menjadi marah dan diapun maju dan menusukkan kerisnya. Pada saat itu, Dibyasakti membentak.

   "Aji Cantuka Sakti!"

   Dan kedua tangannya mendorong ke depan, dari perutnya terdengar bunyi kok-kok nyaring. Aji ini merupakan aji pamungkas andalan Ki Harya Baka Wulung yang telah diturunkan kepada puteranya itu. Dahsyat bukan main aji pukulan ini. Serangkum tenaga sakti yang menggiriskan menyambar dan menghantam Kariadi yang menusukkan kerisnya. Diterpa hawa pukulan ini, tubuh pemuda itu melayang seperti daun kering dihembus angin dan dia terbanting roboh dan tidak mampu bergerak lagi!

   Sriyatun berlari menghampiri kekasihnya lalu berlutut di dekat tubuh yang teentang itu.

   "Kakangmas Karyadi....! Kakangmas".!"

   Ia mengguncang-guncang tubuh pemuda itu dan matanya terbelalak memandang darah yang mengucur keluar dari mulut Karyad Akan tetapi yang dipanggil dan diguncang tidak bergerak dan tidak menjawab.

   "Kakangmas Karyadi.... kau""kau... mengapa, kakangmas?"

   "Dia sudah mati!"

   Tiba-tiba Dibyasak yang sudah berdiri di dekatnya berkata.

   "Mati....?? Kau.... kau.... membunuhnya.... oohhh....!"

   Sriyatun terkulai lemah dan roboh pingsan. Melihat gadis itu rebah miring dan kain yang dipakainya tersingkap ketika tadi berlari lalu menjatuhkan diri sehingga tampak sebagian pahanya, nafsu berahi yang memang sejak tadi menguasai hati akal pikiran Dibyasakti menjadi berkobar. Dia membungkuk dan memondong tubuh Sriyatun, lalu tanpa sangsi dan ragu, tanpa rasa takut atau rikuh, dia melangkah pergi membawa tubuh Sriyatun dalam pondok.

   Sesungguhnyalah bahwa segala macam gairah nafsu merupakan anugerah yang tak ternilai besarnya dari Tuhan Yang Maha Kasih. Gairah nafsu ini yang mendatangkan kenikmatan mata memandang sehingga nampak bentuk-bentuk dan warna-warna yang indah, membuat telinga menikmati pendengaran suara yang merdu, hidung menikmati penciuman yang sedap dan harum, mulut menikmati makanan yang lezat dan sebagainya. Termasuk nafsu berahi. Nafsu ini dianugerahkan kepada setiap makhluk hidup, terutama manusia dan gairah nafsu inilah yang membuat manusia dapat berkembang biak. Segala macam gairah nafsu merupakan anugerah yang mutlak diperlukan dalam kehidupan, merupakan peserta, merupakan abdi bagi manusia untuk mempertahankan hidup ini dan menikmati anugerah Tuhan. Akan tetapi, gairah nafsu dapat menjadi abdi yang baik selama kita mendekatkan rohani kita, batin kita, hati akal pikiran kita, dengan Tuhan sehingga Kekuasaan Tuhan akan selalu membimbing kita dan menguatkan batin kita sehingga kita akan mampu menjadi majikan dari nafsu-nafsu kita sendiri, mengendalikan gairah nafsu kita sendiri. Celakalah kita kalau kita lengah, jauh dari bimbingan Kekuasaan Tuhan, karena nafsu-nafsu itu akan selalu berusaha untuk menaklukkan kita. Kalau abdi-abdi nafsu itu telah berubah menjadi majikan kita, dan sebaliknya kita diperhamba olehnya, kita akan diseret ke dalam perbuatan-perbuatan sesat.

   Gairah nafsu berahi yang pada dasarnya merupakan anugerah terbesar dan mempunyai fungsi yang suci itu kalau sudah menjadi majikan dan memperhamba kita akan menyeret kita untuk melakukan perbuatan yang kotor dan jahat. Lahirlah perbuatan seperti perkosaan, perjinaan, pelacuran, dan sebagainya.

   Demikian pula halnya dengan Dibysakti yang sejak kecil terdidik secara salah oleh Ki Harya Baka Wulung. Sejak kecil dia menjadi hamba nafsu-nafsunya, selalu mengejar kesenangan. Dalam peristiwa malam itu, dia sudah menjadi hamba nafsunya. Bukan saja dia telah membunuh Karyadi yang tidak berdosa, hanya karena dia menganggap Karyadi merupakan penghalang untuk mendapatkan Sriyatun, akan tetapi dia melakukan perbuatan yang lebih keji lagi, yaitu dia menggagahi Sriyatun, memperkosa gadis yang sedang pingsan itu! Sungguh perbuatan biadab seorang manusia yang sudah dikuasai sepenuhnya oleh iblis. Semua pertimbangannya sebagai manusia telah hilang, yang ada hanyalah nafsu kebinatangan semata-mata.

   Setelah gairah nafsu tersalurkan, saat mana nafsu sudah tidak lagi menguasai hati akal pikiran karena sudah terpuaskan, barulah kesadaran kemanusiaannya kembali dan mengingatkan, membuat si pelaku menyadari akan perbuatannya. Demikian pula dengan Dibyasakti. Setelah kekejian yang dilakukannya selesai, barulah dia termenung, memikirkan akibat daripada semua perbuatannya itu! Dan muncullah penyesalan dalam hatinya. Dia maklum bahwa perbuatannya ini akan mendatangkan akibat yang hebat. Seluruh Kadipaten Pamekasan akan geger dan akibat perbuatannya ini, bukan saja dia akan dimusuhi seluruh kadipaten, bahkan bukan tidak mungkin Kadipaten Pamekasan akan menganggap Kadipaten Arisbaya sebagai musuh karena dia adalah senopati muda Arisbaya. Pada saat dia termenung itu tiba-tiba Sriyatun yang masih rebah telentang di atas bangku, bergerak, merintih dan ia bangkit duduk. Agaknya ia baru menyadari akan keadaannya. Ia terbelalak kemudian menjerit-jerit.

   Dalam keadaan bingung dan takut kalau jeritan itu akan menarik perhatian orang, Dibyasakti menggerakkan tangan kirinya dan sekali jari-jari tangannya menampar tengkuk Sriyatun, gadis itu terkulai roboh dan tewas seketika.

   Dibyasakti yang tadi sudah memutar otak mencari jalan keluar terbaik, cepat melompat keluar pondok. Dia mengangkat mayat Karyadi dan membawanya ke dalam pondok lalu merebahkannya di atas lantai pondok, dekat bangku di mana mayat Sriyatun menggeletak. Setelah itu dia berlari ke bagian pemeliharaan kuda dan melakukan pengintaian. Ketika dia melihat dua orang perawat kuda

   yang pernah dilihatnya tempo hari, dia cepat menghampiri mereka.

   "Kalian cepat bantu aku. Ada pencuri masuk ke dalam taman!"

   Katanya. Dua orang perawat kuda itu memandang dengan kaget. Mereka segera mengenal pemuda gagah perkasa ini.

   "Ah, andika, Raden? Di mana malingnya?"

   Tanya mereka.

   "Cepat ambil senjata kalian dan mari bantu aku menangkapnya!"

   Kata Dibyasakti. Dua orang itu menjadi berani untuk membantu karena mereka maklum bahwa pemuda yang menjadi tamu ini adalah seorang yang digdaya. Mereka cepat mengambil parang dan siap siaga dengan sikap gagah.

   "Mari, ikut aku!"

   Kata Dibyasakti dan mereka bertiga lalu berlari memasuki taman yang memang berdekatan dengan bagian pemeliharaan kuda itu. Setelah tampak pondok itu dari situ, Dibyasakti memberi isyarat agar mereka berhenti.

   "Kulihat tadi malingnya bersembunyi di pondok itu. Mari kita ke sana, hati-hati, perlahan saja jangan membuat gaduh."

   Mereka bertiga melangkah berindap-indap menghampiri pondok. Setelah tiba luar pondok, Dibyasakti yang sengaja berjalan di belakang, mengayun kedua tangannya. Dengan pengerahan tenaga sakti dia memukul ke arah kepala mereka dan dua orang perawat kuda itu roboh dan tewas tanpa sempat mengeluarkan suara lagi. Dengan sikap tenang, seolah membunuh empat orang itu baginya merupakan perbuatan biasa saja, Dibyasakti lalu mengambil dua buah parang yang terlepas dari tangan mereka, lalu memasuki pondo Kemudian, dengan mata tak berkedip sedikitpun dia menusukkan parang ke dada mayat Karyadi. Parang itu menancap situ sampai ke gagangnya.

   Kemudian dia menggunakan parang yang sebuah lagi untuk membacok punggung mayat Sriyatun yang rebah miring dan membiarkan parang itu menancap di punggung wanita itu. Setelah mengamati ke kanan kiri dan merasa yakin bahwa tidak ada orang lain yang melihat perbuatannya, Dibyasakti lari arah istana kadipaten. Di bagian belakang gedung itu dia melihat sebuah kentongan tergantung. Kentongan ini biasanya dipukul para peronda yang meronda mengelilingi gedung.

   Cepat dia mengambil pemukul dan memukuli kentongan itu dengan suara titir, yaitu dipukul bertalu-talu tiada hentinya. Tentu saja suara ini menimbulkan kegemparan. Para penjaga berlari menghampiti, bertanya-tanya. Akan tetapi Dibyasakti memukul terus kentongan itu dan baru berhenti setelah Adipati Pamekasan sendiri muncul.

   "Anak-mas Dibyasakti! Apa yang terjadi? Kenapa andika memukuli kentongan seperti ini?"

   "Aduh, paman Adipati, celaka, paman. Ada rajapati (pembunuhan) besar!"

   "Rajapati? Apa yang andika maksudkan? Rajapati? Di mana? Siapa?"

   Sang adipati Pamekasan

   bertanya, bingung.

   "Mari, silakan ikut dengan saya, paman!"

   Kata Dibyasakti dan dia lalu melangkah memasuki taman. Adipati itu mengikutinya dan di belakang mereka, para pengawal kadipaten berbondong-bondong mengikuti dengan rasa ingin tahu sekali.

   Setelah tiba di depan pondok, Sang adipati melihat mayat dua orang perawat kuda menggeletak di atas tanah.

   "Eh, kenapa mereka berada di sini dan siapa yang membunuh mereka?"

   "Saya yang membunuh mereka, paman."

   "Andika yang membunuh mereka, anak-mas Dibyasakti? Kenapa?"

   "Karena mereka berdua telah melakukan kejahatan yang amat besar, mereka telah melakukan pembunuhan. Silakan memeriksa ke dalam pondok, paman."

   Adipati Pamekasan cepat memasuki pondok. Cuaca kini terang sekali karena banyak perajurit pengawal yang membawa obor ketika mereka memasuki taman itu. Sang Adipati masuk dan dia terbelalak ketika melihat puterinya menggeletak miring di atas bangku panjang, sebatang parang masih menancap di punggungnya. Dan dia lebih terkejut lagi melihat mayat Karyadi menggeletak telentang di dekat bangku, di atas lantai dan dada pemuda ini pun ditembusi sebatang parang yang masih menancap di situ.

   "Nini Sriyatun".. ! Ahhh, apakah yang telah terjadi? Mengapa begini....?"

   Dia menubruk puterinya.

   "Nini""kenapa begini......? Siapa yang membunuhmu? Siapa...?"

   Sejenak lamanya Sang Adipati memeluk mayat puterinya dan menangis. Akan tetapi dia dapat menenangkan hatinya. Dia bangkit berdiri dan memutar tubuhnya menghadapi Dibyasakti yang masih berdiri di situ.

   "Anak-mas Dibyasakti, apa yang telah terjadi di sini? Kenapa anakku dibunuh?"

   "Begini, paman. Tadi saya tidak dapat tidur dan melihat dari jendela bahwa malam indah sekali, bulan bersinar gemilang, saya tertarik dan keluar dari kamar menikmati keindahan taman di malam terang bulan. Ketika tiba di dekat pondok, saya mendengar jeritan dan suara gaduh. Saya cepat berlari ke sini dan melihat dua orang tadi berloncatan keluar pondok. Karena saya menaruh curiga, saya tegur mereka. Akan tetapi kedua orang itu bahkan menyerang saya. Melihat serangan mereka terhadap diri saya itu nekat dan bermakud membunuh, maka saya lalu merobohkan mereka dengan pukulan dan mereka tewas. Saya lalu cepat masuk ke pondok ini dan menemukan diajeng Sriyatun dan pemuda ini telah menggeletak dan telah tewas. Saya menjadi terkejut sekali dan dalam kebingungan saya, ketika saya melihat kentongan itu, saya lalu memukul kentongan bertalu-talu. Demikianlah, paman. Saya merasa yakin bahwa yang membunuh puteri paman dan pemuda ini adalah dua orang itu. Silakan paman memeriksa dua buah parang itu. Milik siapa kedua buah senjata tajam itu."

   Sang adipati memberi isyarat kepada kepala pengawal untuk bantu memerik kedua buah parang itu. Kepala pengawal mengangguk-angguk.

   "Benar, gusti. Ini adalah parang-parang yang biasa mereka pakai di tempat pekerjaan mereka."

   "Jahanam keparat!"

   Sang Adipati marah sekali.

   "Gantung mayat kedua jahanam itu di alunalun agar semua orang melihat mereka!"

   Suasana berkabung meliputi seluruh kadipaten. Tumenggung Surobayu juga terkejut dan berduka sekali atas kematian puteranya. Puteranya, Raden Karyadi memang dipertunangkan dengan Sriyatun. Kedua orang muda itu saling mencinta, juga orang tua kedua pihak sudah merestui, mereka tinggal menanti perayaan pernikahan saja. Sungguh tidak disangka dua sejoli yang tampak berbahagia itu mengalami kematian yang demikian menyedihkan.

   Dibyasakti harus berkali-kali mengulang ceritanya. Akan tetapi hal ini dia lakukan dengan tenang dan semua orang percaya akan ceritanya. Siapa yang akan meragukan ceritanya? Dia adalah seorang senopati muda, utusan Adipati Arisbaya, bahkan putera Ki Harya Baka Wulung yang terkenal! Dan pula, bukti-buktinya sudah jelas bahwa pembunuh dua orang sejoli itu tidalah dua orang perawat kuda kadipaten. Buktinya amat kuat. Parang yang dipergunakan membunuh sepasang kekasih itu adalah parang mereka, dan mereka berdua kedapatan berada di taman, hal yang tidak semestinya. Ditambah pula kesaksian Dibyasakti, siapa yang akan meragukan kebenaran cerita pemuda dari Arisbaya tu?

   Memang ada yang merasa heran dan penasaran di dalam hatinya. Orang itu adalah Tumenggung Surobayu. Dalam kedukaannya kehilangan puteranya, tumenggung ini merasa heran dan penasaran bagaimana puteranya sedemikian mudahnya dibunuh oleh dua orang perawat kuda!

   Padahal puteranya itu memiliki kedigdayaan dan tidak sembarang orang akan mampu mengalahkan dan membunuhnya. Keheranan dan rasa penasaran ini dia katakan kepada Dibyasakti. Akan tetapi pemuda yang cerdik ini dengan tenangnya berkata.

   "Paman Tumenggung, saya tidak merasa heran. Ketika dua orang itu menyerang saya, saya mendapat kenyataan bahwa mereka berdua memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Mereka cukup tangguh sehingga hanya dengan aji pamungkas saya saja akhirnya saya dapat merobohkan mereka"

   "Akan tetapi, anak-mas, mereka itu hanya perawat kuda yang sudah bertahun-tahun bekerja di

   sini dan tidak pernah mereka memperlihatkan bahwa mereka itu orang-orang digdaya,"

   Bantah

   Tumenggung Surobayu penasaran.

   "Ah, paman. Siapa tahu kalau mereka itu menyimpan rahasia? Kita tahu bahwa Mataram memusuhi kita. Saya curiga bahwa mereka berdua itu adalah orang-orang yang sengaja diselundupkan oleh Mataram untuk bekerja di kadipaten ini, sebagai telik sandi (mata-mata)."

   Ki Tumenggung mengangguk-angguk, agaknya dapat menerima pendapat ini.

   "Akan tetapi andaikata benar dugaan andika itu, andaikata mereka itu memang telik sandi dari Mataram yang diselundupkan ke sini, mengapa mereka membunuh puteraku dan Sriyatun? Apa alasannya?"

   Dibyasakti mengerutkan alisnya.

   "Alasannya jelas, paman. Tentu untuk mendatangkan suasana kacau di Kadipaten Pamekasan. Yang dibunuh justeru putera paman dan puteri paman Adipati, berarti memberi pukulan kepada dua orang terpenting di Pamekasan dengan maksud agar mendatangkan kelemahan. Selain itu"."

   "Selain itu apa, anak-mas? Alasan apalagi yang membuat mereka melakukan pembunuhan itu?"

   "Anu, paman. Diajeng Sriyatun adalah seorang wanita yang amat cantik. Bukan mustahil kalau dua orang jahanam itu tertarik, mereka berniat keji, hendak menganggu diajeng Sriyatun. Mungkin karena ketahuan putera paman, mereka lalu melakukan pembunuhan untuk menghilangkan jejak."

   Akhirnya Tumenggung Surobayu dapat menerima pendapat ini dan dia menumpahkan semua rasa penasaran dan dendamnya kepada Mataram. Keterangan Dibyasakti membuat dia yakin bahwa dua orang pembunuh itu tentu orang-orang Mataram!

   "Awas kalian orang-orang Mataram! Kalau terjadi perang, aku akan membalas dendam dan membunuh sebanyak mungkin orang Mataram!"

   Dia mengancam dengan tangan dikepal.

   Dibyasakti tidak lama tinggal di Pamekasan. Setelah ikut melayat dia lalu berpamit dan kembali ke Arisbaya, membawa jawaban para adipati di seluruh Madura untuk Adipati Arisbaya bahwa mereka semua telah siap. untuk bekerja sama dalam menghadapi ancaman dari Kerajaan Mataram.

   Di dekat Pacitan terdapat sebuah perguan pencak silat Jatikusumo. Perkumpulan ini mempunyai murid-murid atau anggauta yang tidak kurang dari seratus orang jumlahnya dan mereka tinggal di sebuah perkampungan. Karena perkampungan ini merupakan perkampungan yang khusus menjadi tempat tinggal mereka, maka dikenal sebagai dusun Jatikusuman yang letaknya di pantai Laut Kidul. Perguruan Jatikusumo adalah sebuah guruan silat yang sudah tidak asing lagi. Namanya bukan hanya dikenal di daerah Pacitan dan Kadipaten Madiun, bahkan terkenal sampai ke Mataram. Bahkan, yang patut dicatat, Sang Puteri Wandansari, putri Sultan Agung Mataram, merupakan murid andalan perguruan Jatikusumo. Perguruan ini sudah berusia lebih dari setengah abad dan banyak melahirkan pendekar-pendekar yang juga menjadi pahlawan yang membela Mataram. Sejak dahulu, para pendekar Jatikusumo selalu membela Mataram dengan setia.

   Pada waktu itu, yang menjadi ketua Jatikusumo adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, yang dulu merupakan murid andalan perguruan ini. Setelah Bhagawan Sindusakti, ketua Jatikusumo meninggal dunia kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, yang menggantikannya menjadi ketua adalah Ki Cangak Awu, ketuanya yang sekarang. Ki Cangak Awu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih tigapuluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan berwatak jujur kasar seperti Harya Werkudara tokoh Pandawa dalam cerita wayang Mahabharata. Dia terkenal digdaya dengan senjatanya berupa tongkat. Wajahnya tidak sangat tampan, namun gagah dengan kumis dan jenggotnya yang membuat dia tampak jantan. Dia menjadi ketua Jatikusumo, dibantu isterinya.

   Isterinya ini juga seorang wanita yang gagah perkasa dan sakti bernama Pusposari. Orangnya hitam manis namun dalam hal kedigdayaan, ia tidak kalah jauh dibandingkan suaminya. Pusposari bukan murid Jatikusumo, akan tetapi ia juga menjadi anak angkat dari ketua perguruan Nogo Dento yang cukup terkenal. Perguruan Nogo Dento ini berpusat di daerah Ngawi, di Lembah Bengawan Solo. Pusposari yang berusia kurang lebih tigapuluh tahun itu, setelah menikah dengan Ki Cangak Awu selama hampir sepuluh tahun, belum juga dikurniai anak.

   Ketika Mataram melakukan serangan ke Tuban dan menundukkan Tuban, memang perguruan Jatikusumo tidak dimintai bantuan karena untuk menyerang Tuban tidak dibutuhkan bantuan banyak tenaga. Akan tetapi ketika Mataram berusaha meiyerang Surabaya, Ki Cangak Awu dan Pusposari sendiri pergi ke Mataram untuk membantu. Akan tetapi selama tiga tahun, semua usaha Mataram untuk menundukkan Surabaya mengalami kegagalan. Setelah Sultan Agung menghentikan usahanya menundukkan Surabaya dan mengalihkan perhatiannya kepada Madura, Ki Cangak Awu dan isterinya kembali ke Jatikusuman. Di perkampungan ini mereka melatih para murid dan mempersiapkan diri kalau sewaktu-waktu tenaga mereka dibutuhkan oleh Mataram.

   Kita kembali kepada peristiwa aneh yang terjadi kurang lebih lima tahun yang lalu, yaitu sebelum Mataram menyerang Surabaya, atau setelah Mataram berhasil menundukkan sebagian besar kadipaten d Jawa Timur.

   Pada waktu itu, mendengar betapa Mataram semakin memperkuat wilayahnya dan menundukkan para kadipaten di Jawa Timur, pihak Kumpeni Belanda merasa khawatir. Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen memerintahkan para perwira bawahannya untuk memperluas pula jaringan mata-mata mereka. Orang-orang yang dipercaya dan memiliki kesaktian dan kesetiaan kepada Kumpeni disebar di tempat-tempat penting untuk mengobarkan semangat anti Mataram.

   Di antara para telik sandi (mata-mata) itu terdapatlah seorang pemuda yang luar biasa. Dia seorang pemuda yang tampan sekali, berusia sekitar duapuluh satu tahun. Pemuda ini bertubuh tinggi tegap, tidak terlalu besar namun dadanya bidang. Gerak-geriknya lembut sesuai dengan wajahnya yang tampan. Rambutnya keriting berombak, manik matanya tidak hitam benar agak kecoklatan, mata yang tajam dan bentuknya indah dan lebar. Hidungnya mancung dan bentuk bibirnya juga manis. Kebanyakan wanita tidak akan mudah melupakan wajah ini karena memiliki daya tarik yang kuat sekali bagi wanita. Senyumnya memikat dan giginya putih berderet rapi. Ditambah kegantengannya dengan hiasan kumis tipis yang tumbuh rapi di bawah hidungnya. Ketampanannya memang agak berbau asing, terutama matanya yang agak coklat, hidungnya yang amat mancung dengan rambutnya yang berombak itu. Bukan ketampanan khas Jawa.

   Memang sesungguhnya pemuda ini bukan seorang Jawa aseli, melainkan seorang yang biasa disebut Indo. Ibunya memang seorang wanita Jawa, akan tetapi ayahnya seorang kulit putih totok berbangsa Portugis. Ketika itu bangsa Portugis sudah datang ke Nusa Jawa sebelum Kumpeni Belanda datang. Orang-orang Portugis itu datang sebagai pedagang. Akan tetapi kebanyakan dari mereka adalah pria-pria petualang yang kasar dan tidak pandai mengambil hati penduduk aseli sehingga banyak mendapat tentangan, tidak seperti Kumpeni Belanda yang pandai bersiasat mengambil hati rakyat. Bahkan ada orang-orang Portugis yang mempergunakan kekerasan menculik gadis-gadis yang cantik untuk diperisteri.

   Di antara mereka, terdapat seorang pemimpin atau jagoan orang Portugis bernama Henrik. Henrik inipun berhasil mempersunting seorang gadis pesisir utara yang cantik bernama Marsinah. Akan tetapi setelah Marsinah melahirkan seorang anak laki-laki, karena melihat anak itu tidak bule seperti dirinya, lebih mirip seorang bocah pribumi, Henrik lalu meninggalkan Marsinah dan anaknya begitu saja! Marsinah yang menjanda merawat anaknya ya diberi nama Satyabrata (setia akan janji) untuk mengingatkan dirinya bahwa ia setia akan janjinya, tidak seperti ayah anak itu yang ingkar janji dan meninggalkannya.

   Sebagai seorang anak laki-laki yang hanya dididik seorang ibu yang memanjakannya dan karena kurang terawasi sehingga dia berbaur dengan lingkungan yang tidak sehat, maka Satyabrata berangkat besar sebagai seorang anak yang manja dan nakal. Akan tetapi ketampanannya dan mata yang kecoklatan, hidung yang mancung itu membuat ketampanannya berbau orang barat, ketika dia berusia empatbelas tahun seorang pemimpin bangsa Belanda, orang Kumpeni, tertarik dan suka kepadanya. Belanda ini bernama Van Huisen dan dengan perkenan Marsinah, Van Huisen lalu rnengambil Satyabrata sebagai anak angkat. Mulai saat itu berobahlah kehidupan Satyabrata. Dia mendapatkan pakaian indah, juga menerima pendidikan dan ternyata dia cerdas sehingga memperoleh banyak kemajuan. Dia pandai bahasa Belanda, pandai membaca menulis, bahkan dia berbakat sekali mempelajari ilmu kanuragan. Dia mempelajari cara bertinju dan berkelahi orang kulit putih, bahkan mempelajari cara mempergunakan senjata api. Di samping itu, Satyabrata juga belajar ilmu pencak silat dari para guru yang banyak terdapat di daerah pesisir, tepatnya di daerah Cirebon di mana ibunya tinggal. Bahkan dia pernah menjadi murid perguruan Dadali Sakti yang berada di Galuh.

   Karena dimanjakan ayah angkatnya yaitu Van Huisen, dan hidup berkecukupan Satyabrata tumbuh menjadi seorang pemuda yang congkak. Akan tetapi harus diakui bahwa dia pandai menyimpan kecongkakannya, pandai membawa diri dengan sikapnya yang lembut. Ketampanan dan sikapnya yang lembut ini menjatuhkan hati banyak wanita dan Satyabrata menyambut wanita yang cantik dengan penuh gairah. Maka terkenallah pemuda ini sebagai seorang perayu yang menjatuhkan hati banyak wanita, bahkan dia tidak segan untuk merusak pagar-ayu, merayu wanitawanita yang sudah bersuami. Kelakuannya ini membuat dia banyak dimusuhi orang dan beberapa kali dia dikeroyok. Akan tetapi karena dia memiliki kedigdayaan dan selalu dilindungi Van Huisen, dia selalu dapat meloloskan diri.

   Tibalah saatnya Van Huisen mempergunakan dan memanfaatkan pemuda yang diangkat sebagai anak itu ketika Kumpeni Helanda membutuhkan banyak tenaga cakap untuk menjadi mata-mata. Satyabrata diangkat menjadi mata-mata dan dia ditugaskan untuk memata-matai perguruan Jatikusumo yang dianggap sebagai musuh Kumpeni. Tugasnya adalah memata-matai, melihat keadaan dan kekuatan Jatikusumo, kemudian berusaha agar perguruan itu dapat berbalik menentang Mataram dan suka bekerja sama dengan Kumpeni Belanda. Kalau usaha ini tidak berhasil, akan diusahakan mengacau dan memporak-porandakan Jatikusumo.

   Setelah menjelaskan tentang tugas penting dan berat yang harus dijalankan, Willem Van Huisen memberi nasihat kepada anak angkatnya dalam sebuah kamar di gedungnya.

   "Jan,"

   Opsir Kumpeni ini memang telah memberi nama baru kepada Satyabrata, yaitu Jan Van Huisen sebagai anak angkatnya.

   "engkau ingatlah selalu bahwa biarpun engkau seorang pemuda Jawa, akan tetapi engkau berdarah orang kulit putih, orang Eropa. Juga engkau harus ingat bahwa engkau telah kuangkat menjadi anakku, dan aku yang telah memberimu pendidikan dan segala macam kepandaian. Karena itu, sudah sepatutnya kalau engkau setia kepada Kumpeni Belanda. Ingat, bangsa Belanda ingin mendatangkan kemakmuran kepada rakyat Nusa Jawa, mendidik rakyat yang bodoh agar menjadi pintar Engkau sendiri sudah merasakan betapa engkau yang tadinya bodoh kini menjadi pintar setelah kami didik. Karena ingin melindungi rakyat, maka kami menentang Mataram yang murka dan yang menaklukkan dan menindas semua kadipaten. Engkau mengerti, bukan?"

   "Saya mengerti, vader (ayah)."

   Kata Jan Van Huisen atau Satyabrata sambil menganggukangguk.

   "Nah, kalau sudah mengerti benar, berangkatlah dan bawalah ini sebagai bekal."

   Dia menyerahkan sekantung uang emas dan juga sebuah pistol. Satyabrata menerima barang-barang itu.

   "Kalau tidak terpaksa sekali untuk melindungi diri dari ancaman bahaya yang tak dapat kauhindarkan, jangan pergunakan pistol itu. Dan kalau uang ini habis dan engkau kekurangan, engkau tahu kepada siapa dapat memintanya. Asal engkau perlihatkan uang dinar gambar sepasang singa itu, engkau pasti akan diterima dan dibantu oleh semua telik sandi yang telah kami sebar di mana-mana. Engkau sudah tahu siapa yang dapat kauhubungi di Pacitan dan Madiun."

   "Baik, vader. Saya berangkat sekarang,"

   Kata Satyabrata sambil bangkit dari kursinya. Willem Van Huisen menjabat tangannya dan pemuda itu lalu keluar dari ruangan itu. Dia memasuki kamarnya, menyimpan kantung uang emas dan pistol dalam buntalan pakaiannya. Karena dia akan melakukan perjalanan sebagai seorang pemuda Jawa biasa, maka dia membawa pakaian yang dibuntal sarung.

   Di ruangan depan seorang gadis Belanda menghadangnya. Gadis ini berusia sekitar tujuhbelas tahun, cantik jelita dengan rambut keemasan dan bermata biru.

   "Heii, Jan! Aku dengar engkau akan pergi, betulkah? Engkau akan pergi ke mana, Jan?"

   Gadis itu dengan akrabnya menggandeng tangan Satyabrata dan ditariknya pemuda itu, dibawanya duduk berhadapan dengannya di kursi yang berada di ruangan depan itu.

   "Elsye, aku akan pergi, melakukan tugas yang diberikan oleh ayah kita,"

   Kat: Satyabrata sambil mengamati wajah gadis cantik itu. Dia selalu terangsang gairahnya kalau berhadapan dengan Elsye yang demikian cantik manis dan manja, juga sikapnya yang demikian terbuka dan bebas berani merangkul dan menciumnya tanpa rikuh. Akan tetapi dia tahu diri, dia tidak berani melangkah terlalu jauh terhadap gadis yang menganggapnya seperti kakak ini. Dia dapat celaka kalau berani menodai gadis yang dimaksudkan untuk menjadi adik angkatnya ini dan membatasi sekedar menikmati pelukan dan ciuman saja.

   "Tapi, ke mana engkau akan pergi melakukan tugas, Jan?"

   Elsye bertanya manja sambil mengguncang-guncang tangan Satyabrata.

   Satyabrata adalah seorang pemuda yang sudah mendapat pendidikan sebagai mata-mata dan dia memang cerdik. Dia tahu bahwa dalam melaksanakan tugasnya ini, dia harus merahasiakannya dari siapapun, karena tugas ini adalah tugas rahasia. Membuka rahasia ini, terhadap Elsye sekalipun, merupakan bahaya besar.

   "Aku sendiri belum tahu ke mana aku harus pergi, Elsye."

   "Akan tetapi, berapa lama engkau akan pergi meninggalkan aku, Jan?"

   "Mudah-mudahan tidak terlalu lama, Elsye. Setelah selesai tugasku, aku tentu segera pulang."

   Elsye bangkit berdiri dan merangkul leher pemuda itu.

   "Jan, aku akan sangat kehilangan kau!"

   Satyabrata merasa senang sekali kalau dirangkul gadis manis itu. Jantungnya berdebar.

   "Akupun akan sangat rindu padamu, Elsye. Nah, sekarang selamat tinggal. Ayah kita akan marah kalau aku berlama-lama menunda kepergianku."

   Satyabrata menciumnya. Akan tetapi tidak seperti biasa kalau dia mencium gadis ini tentu mencium kedua pipinya, sekali ini dia mencium bibirnya. Hal ini dilakukan seolah tidak sengaja. Akan tetapi betapa kaget, heran dan juga senang hatinya ketika merasa betapa gadis itu membalas ciumannya dengan hangat dan penuh kemesraan! Sampai beberapa lama mereka berciuman dan ketika akhirnya mereka saling merenggangkan muka, keduanya bermerah muka. Akan tetapi mata mereka bersinar-sinar aneh seolah mereka telah menemukan sesuatu yang membahagiakan.

   "Jan, selamat jalan dan jangan lupakan aku, Jan!"

   Satyabrata keluar dari gedung diantar Elsye sampai keluar serambi depan. Dia, melanjutkan perjalanan setelah menoleh beberapa kali dan saling melambaikan tangan dengan Elsye. Di luar gedung telah menanti seorang pelayan yang sudah mempersiapkan seekor kuda yang besar. Dia melompat ke atas punggung kuda kemudian melarikan kuda itu keluar dari halaman. Berbekal banyak uang dan kepandaian yang cukup tangguh, akhirnya pada suatu hari Satyabrata muncul di perguruan Jatikusumo. Dia berhenti di depan gapura perkampungan Jatikusuman sebagai seorang pemuda dusun yang berpakaian sederhana, membawa buntalan sarung butut berisi pakaian. Tentu saja dia telah menitipkan kuda dan uang emasnya kepada kaki tangan Kumpeni yang berada di Pacitan, sedangkan pistolnya dia simpan di sebelah dalam bajunya, terikat kuat-kuat pada badannya.

   Perguruan Jatikusumo kini merupakan sebuah perkumpulan yang teratur dan anak buahnya dilatih seperti pasukan perajurit. Di pintu gapura perkampungan itu, siang malam dijaga oleh dua orang penjaga secara bergiliran. Melihat seorang pemuda yang tidak dikenal berdiri di depan pintu perkampungan, tentu saja dua orang penjaga itu menjadi curiga dan keduanya sudah keluar dari gardu penjagaan menghadapi Satyabrata.

   "Ki-sanak, engkau siapakah dan ada keperluan apa engkau berdiri di depan pintu perkampungan kami?"

   Tanya seorang di antara mereka.

   Satyabrata tersenyum dan seperti biasa, senyumnya yang manis dan ramah itu rnenghangatkan hati kedua orang murid Jatikusumo itu. Dia membungkuk dengan sopan dan menjawab.

   "Maafkan saya, akan tetapi apakah benar di sini perguruan Jatikusumo?"

   Dua orang murid Jatikusumo itu saling pandang dan mereka melirik ke arah papan yang tergantung di gapura itu. Papan itu tertulis dengan huruf besar dan jelas "Perguruan Jatikusumo"

   Dan orang ini masih bertanya. Ini membuktikan bahwa pendatang ini adalah seorang dusun bodoh yang buta huruf.

   "Benar sekali. Di sini perguruan Jatikusumo. Andika siapa dan ada keperluan apa?"

   "Nama saya Satya,"

   Satyabrata memperpendek namanya agar terdengar sederhana karena dia tahu bahwa nama lengkapnya terlalu gagah dan indah bagi seorang pemuda dusun.

   
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Dan kedatangan saya ini ingin menghadap ketua atau guru perguruan Jatikusumo. Saya harap andika berdua sudi membantu saya untuk menghadapkan saya kepada guru andika."

   "Kami sudah tidak mempunyai guru di sini. Guru tua kami sudah meninggal dunia kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Kini hanya ada ketua atau pemimpin kami."

   "Kalau begitu, saya ingin menghadap pemimpin andika."

   "Nanti dulu, ki-sanak. Hanya kalau ada urusan penting orang boleh menghadap ketua kami. Kalau urusan kecil cukup diselesaikan oleh kami para murid atau anggauta. Karena itu, beritahukan dulu apa kepentinganmu agar kami pertimbangkan apakah engkau pantas menghadap ketua atau cukup berurusan dengan kami saja."

   "Saya kira saya harus menghadap ketua sendiri karena saya bermaksud untuk minta agar diterima menjadi seorang murid Jatikusumo,"

   Kata Satyabrata.

   "Ah, begitukah? Kalau begitu, tentu saja engkau harus menghadap pimpinan kami karena hanya ketua yang dapat memutuskan apakah engkau dapat diterima atau tidak. Mari, ikut aku, Satya,"

   Kata orang pertama. Ia lalu mengajak Satya memasuki perkampungan sedangkan orang kedua tetap berjaga di situ.

   Sambil berjalan di sisi penjaga tadi, Satyabrata memperhatikan keadaan perkampungan itu. Rumah-rumah yang sederhana namun cukup bagus berada di perkampungan itu. Juga terdapat wanita dan kanak-kanak yang semuanya berpakaian cukup pantas. Agaknya keadaan para murid atau anggauta Jatikusumo cukup baik, Dia teringat akan ibunya yang pada malam keberangkatannya itu dia pamiti.

   Ibunya tinggal di rumah kecil sederhana bersama seorang wanita tua yang membantu ibunya. Ketika dia berpamit dan mengatakan bahwa dia hendak pergi melaksanakan tugas yang diberikan oleh ayah angkatnya, tanpa memberitahukan apa tugas itu dan ke mana dia akan pergi, ibunya memberi nasihat kepadanya.

   "Anakku Satyabrata, ingatlah selalu bahwa biarpun ayahmu adalah seorang kulit putih, namun ibumu ini seorang wanita Jawa dan engkau dilahirkan pula di Nusa Jawa. Karena itu, engkau harus selalu membela nusa dan bangsa Jawa."

   Dia tidak menentang nasihat ibunya itu. Bukankah dia kini sedang bekerja untuk Kumpeni yang sedang berusaha untuk memakmurkan bangsanya menentang Mataram yang angkara murka? Ketika akhirnya dia dihadapkan kepada suami isteri yang menjadi pimpinan perguruan Jatikusumo, dia merasa tegang juga. Suami isteri yang berpakaian sederhana iu begitu gagah dan berwibawa. Sebelumya dia sudah mendapatkan banyak keterangan tentang pimpinan Jatikusumo.

   Dia tahu bahwa ketua Jatikusumo bernama Ki Cangak Awu dan isterinya bernama Nyi Pusposari. Dan sekarang kedua orang itu telah berhadapan dengan dia. Dia memandang mereka dan merasa kagum. Ki Cangak Awu yang berusia kurang lebih tigapuluh lima tahun itu bertubuh tinggi besar, wajahnya penuh kejantanan, sepasang matanya bersinar tajam memandang penuh selidik. Di sampingnya duduk Pusposari yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun, hitam manis dan pandang matanya lembut.

   Penjaga itu membungkuk dan memberi hormat dengan sembah, lalu melapor.

   "Ki raka, inilah si Satya yang ingin menghadap."

   Ki Cangak Awu memberi isyarat kepada anggauta itu untuk mundur, kemudian kepada Satyabrata dia berkata, suaranya tenang dan besar seperti suara Sang Harya Sena.

   "Duduklah, orang muda!"

   "TERIMA KASIH, paman,"

   Kata Satyabrata sambil duduk bersila di atas lantal yang ditilami tikar pandan. Dia melirik dan melihat betapa wajah suami isteri itu tampak tenang dan biasa saja yang berarti bahwa sebutan paman darinya itu tidak menyinggung perasaan mereka. Sebutan yang dipergunakan murid Jatikusumo tadi, yang usianya sudah tiga puluh lebih, yaitu sebutan Ki-raka terhadap pemimpinnya menunjukkan bahwa ketua Jatikusumo ini memang seorang yang sederhana.

   "Menurut laporan penjaga, andika bernama Satya dan ingin menjadi murid Perguruan Jatikusumo. Dari manakah andika berasal?"

   Tanya Ki Cangak Awu.

   "Saya berasal dari Kabupaten Kendal, paman,"

   Kata Satyabrata, sengaja mengaku dari Kendal yang dia sudah pelajari logat bicaranya dan dia sudah mempelajari pula keadaan kabupaten itu.

   Cangak Awu mengangguk-angguk. Pada waktu itu, yang menjadi Bupati Kendal adalah Ki Baurekso yang juga menjadi seorang senopati Mataram yang setia.

   "Kenapa andika ingin menjadi murid Jatikusumno? Apa yang kauketahui tentang Jatikusumo?"

   "Saya hanya mengetahui bahwa Perguruan Jatikusumo dipimpin oleh paman Ki Cangak Awu dan bibi

   (Lanjut ke Jilid 08)

   Seruling Gading (Seri ke 02 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08

   Pusposari yang sakti mandraguna dan bahwa Jatikusumo mengaajarkan ilmu-ilmu pencak silat dan aji kanuragan yang ampuh kepada para muridnya. Karena itu jauh-jauh saya datang ke sini untuk mohon diterima menjadi murid, paman,"

   Kata Satyabrata dengan suara lembut dan sikap hormat dan manis budi.

   Cangak Awu saling pandang dengan Pusposari. Mereka berdua tertarik oleh gaya bicara dan sikap pemuda itu.

   "Akan tetapi tidak mudah untuk menjadi murid dan anggauta keluarga besar Jatikusumo, Satya. Berat syarat-syaratnya!"

   Kata Pusposari sambil menatap wajah tampan itu dengan tajam penuh selidik.

   "Saya siap menerima semua syarat dan sanggup melaksanakannya, bibi."

   "Satya, pernahkah engkau mempelajari aji kedigdayaan?"

   Tiba-tiba Cangak Awu bertanya.

   "Belum, paman."

   Tiba-tiba Cangak Awu mendorongkan telapak tangan kirinya ke arah pemuda itu. Serangkum angin pukulan menyambar ke arah Satyabrata. Pemuda ini diam-diam terkejut, akan tetapi dia amat cerdik. Dia merasa yakin bahwa seorang ketua perguruan seperti Cangak Awu tidak mungkin akan mencelakai orang yang tidak diketahui kesalahannya, maka diapun menerima saja ketika diserang angin pukulan itu. Tubuhnya terjengkang dan bergulingan ke belakang. Akan tetapi dia tidak terluka dan dia tahu bahwa ketua itu sengaja mengujinya untuk melihat apakah benar dia tidak pernah mempelajari ilmu bela diri. Diapun pura-pura terkejut dan ketakutan.

   Setelah bangkit dan bersila di tempat dia menyembah.

   "Paman, mengapa paman melakukan itu? Apa kesalahan saya?"

   Tanyanya dengar wajah heran dan penasaran, juga takut-takut.

   Cangak Awu tertawa lalu menggapai.

   "Majulah dan duduk di tempatmu tadi, Satya. Aku hanya ingin melihat apakah benar engkau tidak pernah mempelajari ilmu kanuragan. Nah, sekarang tentang syarat-syarat itu. Kalau engkau sanggup melaksanakan syarat-syarat itu, engkau dapat kami terima menjadi murid Jatikusumo."

   Satyabrata memperlihatkan muka girang.

   "Apakah syarat-syarat itu, paman?"

   "Ada dua syarat utama yang harus dilaksanakan setiap murid Jatikusumo. Pertama, dia harus selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, Dan kedua, dia harus selalu membela Kerajaan Mataram. Kalau sebagai murid Jatikusumo kelak engkau melanggar dua syarat ini, engkau akan menerima hukuman mati oleh pimpinan Jatukusumo. Nah, sanggupkah engkau menerima dan melaksanakan dua syarat itu?"

   Dengan suara tegas Satyabrata menjawab.

   "Saya terima dan saya sanggup melaksanakan, kanjeng paman!"

   Demikianlah, Satyabrata diterima menjadi murid Jatikusumo. Dia diperbolehkan mengikuti latihan pencak silat dari perguruan itu, tentu saja sebagai permulah hanya mempelajari dan melatih dasar-dasar gerakan ilmu pencak silat Jatikusumo. Semua berjalan dengan baik dan lancar karena Satyabrata pandai membawa diri, rajin berlatih, juga rajin bekerja di sawah ladang seperti para murid lain.

   Di belakang perkampungan Jatikusumo terdapat perbukitan dan di lereng sebuah bukit terdapat sebuah sumur tua. Bukit kecil dan sumur tua ini merupakan daerah yang dianggap keramat bahkan menjadi larangan bagi para murid Jatikusumo untuk mengunjunginya. Karena tidak ada orang berani datang ke situ, maka daerah bukit kecil dengan sumur tuanya itu terkenal angker dan menakutkan. Bahkan ada desas-desus di antara para murid Jatikueumo bahwa ada rohroh penasaran liaran di perbukitan itu, berasal dari sumur tua dan roh-roh penasaran ini suka mengganggu orang.

   Satyabrata tertarik sekali mendengar tentang sumur tua di bukit belakang perkampungan itu. Setelah tinggal di perkampungan Jatikusumo selama tiga bulan, dia dapat akrab dengan para murid lain karena dia pandai mengambil hati dan pandal membawa diri. Semua orang, termasuk Cangak Awu dan Pusposari, menganggap dia seorang pemuda yang rajin, ramah dan menyenangkan.

   Mulailah Satyabrata memancing-mancing percakapan dengan murid-murid tertua, mengarahkan percakapan kepada gerakan yang dilakukan Mataram untuk menundukkan semua kadipaten dl Jawa Timur, termasuk Madiun dan Pacitan sendiri. Dia memancing dengan halus dan tidak kentara untuk melihat apakah para murid yang menjadi kawula Kadipaten Madiun dan Pacitan itu rela melihat daerah mereka kini dikuasai Mataram. Dengan percakapan yang nadanya miring ini perlahan-lahan Satyabrata berhasil mengusik hati para murid yang sebagian besar berasal dari daerah-daerah di Jawa Timur dan yang daerahnya sudah dikuasai Mataram. Ia berhasil menimbulkan kesan bahwa Mataram bersikap angkara murka dengan menaklukkan semua daerah kadipaten itu.

   Melihat keadaan bukit kecil dengan sumur tua yang dianggap angker itu demikian sepi tak pernah dijenguk manusia, Satyabrata segera memanfaatkannya. Diam-diam dia seringkali mendaki bukit itu dan melakukan penyelidikan. Sumur tua itu tak tampak dasarnya dan memang menyeramkan, seolah ada hawa yang aneh keluar dari lubang sumur. Satyabrata menganggap tempat ini baik sekali sebagai tempat persembunyian atau sebagai pusat pertemuan. Ia sudah mengambil uang emas dan pistolnya dan menyimpan benda-benda ini di sebuah guha kecil yang terdapat di dinding batu gunung dekat sumur kecil tua itu. Kalau kelak dia berhasil menghasut para murid Jatikusumo, tempat itu baik sekali untuk dipergunakan sebagai tempat mengadakan pertemuan, pikirnya.

   Karena tertarik, pada suatu siang ketika dia mengaso dari bekerja di ladang membantu seorang murid lain yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, bernama Sakimun. Ada peraturan di perguruan Jatikusumo bagi para murid untuk saling menyebut "raka"

   Kepada yang lebih tua dan "rayi"

   Kepada yang lebih muda. Bahkan Cangak Awu sendiri juga mempergunakan aturan itu karena dia tidak mau dianggap sebagai guru. Satyabrata mempergunakan kesempatan mengaso itu untuk bertanya kepada murid yang sudah lama menjadi anggauta keluarga besar Jatikusumo tentang sumur tua yang dikeramatkan itu. Mereka duduk di bawah pohon yang teduh, yang melindungi mereka dari sinar matahari yang panas menyengat.

   "Ki-raka Sakimun, sebetulnya ada apakah dengan sumur tua di bukit belakang itu. Kata beberapa orang raka, di sana pernah terjadi hal-hal yang hebat dan mengerikan. Akan tetapi merekapun tidak tahu dengan jelas apa yang terjadi karena hal itu sudah berlalu selama bertahuntahun. Andika yang lama menjadi murid Jatikusumo, tentu mengetahui. Sudikah andika menceritakannya kepadaku?"

   Sakimun menghela napas panjang.

   "Sebetulnya kisah itu merupakan rahasia Jatikusumo yang tidak pantas terdengar orang lain karena hal itu menjadi noda hitam bagi Jatikusumo. Akan tetapi karena andika kini telah menjadi anggauta keluarga besar Jatikusumo, baiklah akan kuceritakan secara singkat saja."

   "Ceritakanlah, Ki-raka, dan aku sebelumnya mengucapkan banyak terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku,"

   Kata Satyabrata.

   "Rayi Satya, berpuluh tahun yang lalu, yang menjadi ketua Jatikusumo adalah Eyang Buyut Guru Resi Limut Manik. Pengangkatannya itu menimbulkan rasa iri dalam hati saudara seperguruannya yang bernama Resi Ekomolo. Resi Ekomolo yang jahat ini memperkosa isteri Eyang Buyut Guru Resi Limut Manik sehingga wanita itu membunuh diri. Lalu terjadi perkelahian antara kedua orang tokoh besar dan datuk Jatikusumo itu. Akhirnya Resi Ekomolo dapat dikalahkan, kedua kakinya lumpuh dan dia dibuang ke dalam sumur tua itu."

   "Ah, dia dibuang hidup-hidup ke dalam sumur itu, Ki-raka?"

   "Ya, akan tetapi dia tidak mati. Aku masih ingat dulu, seringkali di waktu malam hari terdengar teriakan melolong-lolong dari sumur itu. Mendiang Bapa Guru Bhagawan Sindusakti selalu mengirim makanan, memasukkannya ke dalam sumur itu. Kemudian, sekitar sepuluh tahun lebih yang lalu, terjadi kegemparan ketika seorang murid Jatikusumo, yaitu adik seperguruan Kiraka Cangak Awu yang bernama Priyadi, tahu-tahu telah dapat mengeluarkan Resi Ekomolo dari dalam sumur dan Priyadi ini menjadi muridnya."

   "Wah, tentu dia menjadi sakti mandra guna, Ki-raka!"

   Seru Satyabrata tertari sekali.

   "Demikianlah, rayi Satya. Resi Ekomolo memang sakti mandraguna dan semua aji kesaktiannya dia turunkan kepada Priyadi itulah. Setelah Priyadi menjadi sakti madraguna, dia berkhianat, membantu Kadipaten Wirosobo dan menentang Mataram. Tentu saja para satria yang membela Mataram menentangnya dan terjadi pertempuran hebat. Akan tetapi akhirnya Priyadi dapat dikalahkan. Sementara itu, Priyadi telah melemparkan kembali gurunya, yaitu Resi Ekomolo ke dalam sumur tua. Dan ketika dia bertanding dengan para satria ia melarikan diri ke bukit di belakang itu. Kemudian, dia terkena pukulan dan terjatuh ke dalam sumur tua. Hanya terdengar jerit mengerikan bercampur suara tawa menyeramkan seperti iblis, lalu sunyi. Agaknya Priyadi yang pengkhianat dan Resi Ekomolo yang jahat itu mati dalam sumur tua dan roh mereka menjadi roh penasaran yang menghantui sumur itu."

   Satyabrata terkesan sekali dengan cerita yang hebat itu.

   "Akan tetapi, Ki-raka, kenapa tempat itu menjadi tempat terlarang untuk dikunjungi?"

   "Tempat itu menyimpan rahasia yang menodai nama besar Jatikusumo, maka sebaiknya disimpan dan dijauhi. Nah, mari kita lanjutkan pekerjaan kita!"

   Mereka bekerja kembali, akan tetapi cerita itu selalu terbayang dalam benak Satyabrata. Pada suatu siang, ketika dia mendapatkan kesempatan, dia mendaki bukit yang sunyi itu dan menjenguk ke dalam sumur. Gelap, tidak tampak apa-apa dari atas. Akan tetapi harus diakuinya bahwa ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang, seolah ada hawa yang menyeramkan keluar dari lubang sumur itu.

   Satyabrata adalah seorang pemuda pemberani dan pendidikan dari ayah angkatnya, Willem Van Huisen membuat dia tidak gentar menghadapi segala macam ketahyulan. Dia memang sudah mempunyai niat yang teguh untuk menyelidiki sumur tua yang mengandung cerita yang luar biasa dan menyeramkan itu. Karena itu, dia sudah mempersiapkan diri ketika siang hari itu dia mendaki bukit dan mendatangi sumur itu. Dia sudah mempersiapkan segulung tali, bahkan sudah mempersiapkan sebatang obor. Karena yakin bahwa di tempat larangan itu tidak akan ada orang datang, dia lalu mengikatkan ujung tali ke sebatang pohon waru yang tumbuh di dekat sumur, kemudian tanpa ragu dia merayap turun melalui tali yang dijulurkan ke dalam sumur. Kakinya menginjak dasar sumur yang kering namun keadaan di situ remang-remang karena hanya menerima sinar matahari yang menyorot ke dalam sumur.

   Dia meraba-raba dan mendapat kenyataan bahwa dasar sumur itu menembus ke sebuah terowongan yang cukup besar, lebarnya tidak kurang dari satu meter dan tinggi dua meter. Akan tetapi di depan sana remang-remang, maka dia lalu menyalakan obor yang dibawanya turun untuk menerangi terowongan. Kemudian dengan tabah dia memasuki terowongan. Dia tiba di sebuah ruangan setelah berjalan agak jauh, sebuah ruangan yang luas seperti sehuah kamar. Cahaya obor menerangi ruangan itu dan dia melihat pemandangan yang membuatnya bergidik karena amat menyeramkan.

   Di atas batu yang rata dan lebar itu terdapat dua kerangka manusia. Kerangka yang berada di atas menggunakan kedua tangan mencekik leher kerangka yang berada di bawah, dan kerangka yang berada di bawah itu memegang sebatang keris yang menusuk masuk di antara tulang iga kerangka yang berada di atas. Mudah saja membayangkan keadaan dua kerangka itu. Tentu kedua orang itu dulu saling membunuh. Yang satu mencekik yang lain dan orang yang dicekik itu menusukkan sebatang keris ke dada orang pertama. Agaknya dengan cara ini, keduanya tewas.

   Satyabrata teringat akan kisah yang diceritakan Sakimun kepadanya, tentang Resi Ekomolo dan Priyadi. Dia dapat menduga bahwa orang yang mencekik itu tentu Resi Ekomolo dan yang menusukkan keris itu tentu Priyadi. Keris itu mencorong ketika tertimpa sinar obor dan Satyabrata tertarik sekali. Dia mendekati dua kerangka itu dan menjulurkan tangan untuk mengambil keris itu. Dia. memegang gagang keris dan mencabut. Akan tetapi ternyata keris itu terjepit di antara tulang iga dan sukar dicabut. Satyabrata mengerahkan tenaganya dan menarik kuat-kuat. Keris dapat tercabut akan tetapi dua kerangka itu runtuh menimbulkan suara berkelotakan! Satysabrata melompat ke belakang agar jangan tertimpa reruntuhan tulang. Dia mengamat keris di tangan kanannya. Gagang keris itu berbentuk sebuah kepala naga dan mata keris itu menjadi lidahnya. Keris itu seperti lidah naga, tidak berlekuk namun pamornya mencorong dan mudah diduga bahwa keris itu merupakan sebatang keris pusaka yang ampuh!

   Dia menemukan warangka (sarung) keris itu di antara reruntuhan tulang, dan diambilnya warangka yang masih baik itu kemudian dimasukkan keris ke dalam warangka. Setelah itu, dengan obor di tangannya, dia memeriksa dinding ruangan itu. Ternyata di sana terdapat banyak coretan gambar berbentuk manusia dan ada pula tulisan huruf-huruf yang jelas. Dia merasa girang sekali. Ternyata tulisan dan gambar-gambar itu merupakan pelajaran ilmu pencak silat! Gambar-gambar itu merupakan gerakan-gerakan dari jurus-jurus ilmu silat Aji Margopati! Dan tulisan-tulisan ilu mengajarkan berbagai aji kesaktian yang hebat, yang disebut Aji Jerit Nogo dan Aji Tunggang Maruto. Membaca sepintas naja Satyabrata maklum bahwa Aji Jerit Nogo adalah sebuah aji yang mempergunakan tenaga sakti iewat suara untuk melumpuhkan lawan, sedangkan Aji Tunggang Maruto adaiah sebuah aji untuk meringankan tubuh dan berlari cepat.

   Akan tetapi tiga ilmu ini cukup rumit, perlu penelitian mendalam untuk mempelajarinya dan melatihnya, dan di sudut kiri terdapat tulisan yang mengajarkan cara bersamadhi untuk menghimpun

   tenaga sakti yang aneh, karena dilakukan dengan jungkir balik, kepale di bawah kaki di atas! Satyabrata tertarik sekali dan timbul keinginannya untuk mempelajari semua ilmu itu. Dia menduga bahwa ilmu itu tentu sengaja dibuat oleh Resi Ekomolo dahulu. Tiba-tiba obor di tangannya padam. Gelap sekali di situ. Karena minyak obor itu agaknya sudah habis dan tidak dapat dinyalakan lagi, Satyabrata duduk bersila di lantai dan berpikir, bagaimana caranya untuk dapat mempelajari semua ilmu itu. Sampai lama dia duduk melamun dan dia merasa betapa keadaan tidak segelap tadi. Kini menjadi remang-remang dan bahkan setelah matanya biasa dengan keremangan itu, dia dapat melihat gambar dan tulisan di dinding dengan baik, dan dapat membaca semua tulisan itu. Kiranya ruangan itu mendapat penerangan dari atas. Ada retak-retak memanjang di langit-langit batu itu dan sinar matahari dapat masuk melalui celah-celah retakan.

   Pada waktu siang, tempat ini tidaklah begitu gelap, pikirnya. Tentu saja kalau mata sudah terbiasa

   dengan keremangan itu. Pemuda yang cerdik itu lalu membuat rencana. Dia harus dapat mempelajari semua ilmu itu dengan sembunyi. Tidak akan ada orang mengetahui kalau dia masuk ke sumur ini. Akan tetapi kalau dia masuk dengan tali, terdapat kemungkinan ada orang melihat tali itu kalau kebetulan ada yang mendaki bukit, walaupun kemungkinan itu sedikit sekali. Dia harus dapat masuk dan keluar dari sumur itu tanpa tali. Untuk masuk ke sumur, tidak sukar. Dia dapat melompat turun karena dasarnya dari tanah, tidak mengandung air. Akan tetapi untuk naik tanpa tali itulah yang sukar. Dia lalu mendapat gagasan yang baik. Dia bangkit berdiri, menghunus keris yang ditemukan tadi dan ketika dia menusukkan keris pada dinding sumur, tepat di dasar sumur, senjata runcing itu dapat menembus tanah padas yang keras dengan amat mudahnya! Ternyata benar dugaannya. Keris itu merupakan senjata yang ampuh sekali. Timbul kegembiraannya dan mulailah dia menusuk dan mencokel dinding padas dari bawah ke atas dengan bergantungan pada tali yang diikatkan pada batang pohon di atas. Dia membuat semacam anak tangga pada dinding padas itu, untuk dipergunakan sebagai panjatan

   .

   Dengan adanya anak tangga itu, tanpa talipun dia akan dapat naik turun sumur. Satyabrata lalu merayap naik melalui lubang-lubang yang dibuatnya pada dinding padas. Dengan mengaitkan jari tangannya dan menginjakkan kakinya pada lubang-lubang itu, dia merayap naik bagaikan seekor kera. Tentu saja untuk merayap seperti itu membutuhkan kekuatan dan kecekatan dan ini dimiliki oleh Satyabrata yang sejak kecil sudah melatih diri dengan olah kanuragan. Setelah tiba di luar sumur, hatinya merasa lega karena tidak ada orang di bukit itu, seperti biasanya. Tiba-tiba dia teringat bahwa keris itu masih ada padanya, di dalam warangka dan terselip di ikat pinggangnya.

   Dia teringat bahwa keris itu akan mendatangkan kecurigaan orang yang melihatnya. Tentu akan timbul pertanyaan dari mana dia memperolehnya dan lebih berbahaya lagi kalau ada orang di Jatikusumo yang mengenal keris itu. Dia menduga bahwa keris itu tentulah milik orang yang namanya Priyadi, murid Jatikusumo yang berkhianat itu. Dugaannya ini memang tidak keliru. Keris itu adalah keris pusaka Kyai Ilat Nogo (Lidah Naga) yang dulu diberikan oeh Adipati Wirosobo kepada Priyadi sebagai hadiah karena pemuda itu membantu gerakan Wirosobo yang menentang Mataram.

   Mengingat akan bahayanya kalau orang melihat keris itu ada padanya, Satyabrata lalu melempar keris itu kembali ke dalam umur. Biarlah keris itu berada di dasar umur karena sewaktu-waktu dia dapat saja mengambilnya, pikirnya. Dia lalu menarik tali yang tergantung ke dalam sumur, menggulungnya dan menyingkirkannya dari itu.

   

Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini