Asmara Dibalik Dendam Membara 9
Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
"Wulan, mengapa berhenti?"
"Kakang, lihatlah di sana itu! Kenalkah engkau kepada mereka?"
Wijaya memandang dan melihat lima orang turun dari sebuah perahu hitam yang layarnya telah digulung dan kini mereka berlima menarik perahu itu ke daratan pulau.
"Tidak, aku tidak mengenal mereka. Nampaknya mereka bukan orang kita. Kata Wijaya sambil menggeleng kepala.
"Kalau begitu kita harus menegur mereka. Ada keperluan apa mereka datang ke pulau kita. Siapa tahu mereka mempunyai niat buruk."
"Baik, mari kita turun ke sana."
Keduanya menuruni lereng itu dan pada saat itu mereka melihat munculnya dua orang penjaga pantai. Agaknya terjadi pertengkaran antara dua orang penjaga itu dengn lima orang pendatang, yang dilanjutkan perkelahian. Wijaya dan Wukansari melihat betapa dalam beberapa gebrakan saja dua orang anak buah itu telah dipukul roboh oleh seorang di antara mereka dan kini lima orang itu menertawakan mereka.
"Mari kita cepat ke sana!"
Kata Wulansari marah dan mereka berdua segera berlari cepat menuruni lereng dan sebentar saja mereka sudah tiba di pantai itu.
"Ha-ha-ha-ha, kalian berdua belum mengenal siapa kami! Kami adalah Lima Jagoan Kali Serayu! Dan kalian berani mengusir kami? Hayo, majulah lagi kalau berani!"
Tantang seorang yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam yang tadi merobohkan dua orang penjaga pantai itu.
"Dari mana datangnya buaya muka hitam menjual lagak di tempat ini!"
Bentak Wulansari yang sudah tiba ditempat itu. Si Muka Hitam terkejut mendengar bentakan wanita dan dia segera memutar tubuh memandang, diikuti empat orang temannya. Melihat Wulansari membawa dua ekor kelinci dan seorang pemuda memanggul bangkai kijang, mereka terheran, akan tetapi lalu tertawa bergelak.
"Babo-babo, engkau perawan cilik berani bicara kasar kepadaku? He, bocah ayu. Kami adalah Lima Jagoan Kali Serayu, datang ke pulau ini untuk menyelidiki berita tentang sayembara perebutan Tilam Upih. Dan siapakah engkau, bocah ayu?"
"Manusia-manusia lancang! Sayembara baru diadakan seminggu lagi belum waktunya kalian datang. Dan tidak ada seorangpun dari luar pulau kami. Hayo kalian cepat pergi meninggalkan pulau, kalau tidak, akan kuusir dengan kekerasan!"
Kata wulansari galak. Lima orang itu saling pandang lalu tertawa tergelak.
"Ha-ha-ha-ha, bocah ayu manis tapi galak. Siapakah engkau berani bersikap seperti ini di depan kami?"
Bentak si muka hitam.
"Namaku Wulansari dan aku adalah Puteri Kanjeng Rama Adipati di Nusakambangan!"
Mendengar ini, Lima orang itu berhenti tertawa dan memandang penuh perhatian.
"Puteri Sang Adipati? Pantas, begini galak! Akan tetapi, kamipun buka orang-orang yang boleh sembarangan saja di usir. Bawalah kami menghadap Adipati Surodiro. Kami sudah mengenalnya dan tentu dia akan menerima kami dengan baik."
"Tidak!"
Bentak Wulansari.
"Kalian sudah melakukan pelanggaran bahkan memukul roboh dua orang penjaga kami. Pergilah atau aku akan menghajar kalian!"
Kembali lima orang itu tertawa.
"Menghajar kami? Ha-ha-ha, ingin sekali kami melihat bagaimana kau akan melakukan itu, bocah ayu!"
Wulansari menjadi marah sekali. Dia melemparkan duabangkai kelinci itu kepada Wijaya, kemudian melangkah maju menghampiri si muka hitam. Si muka hitam memandang sambil tersenyum dan kedua tangannya bertolak pinggang.
"Engkau mau apa, cah ayu? Mau memukulku? Boleh, boleh! Tentu enak seperti dipijiti. Boleh kau memukul sesuka hatimu, berapa kalipun boleh dan boleh kau pilih bagian yang paling lunak, ha-ha-ha!"
Si muka hitam memang memiliki aji kekebalan, maka dia berani menyombongkan diri. Apalagi yang akan memukul seorang perawan remaja yang ayu manis, tentu tangannya juga lunak halus, memukulpun tentu tidak akan sakit. Maka dia memasangdirinya untuk dipukul, mulutnya yang lebar menyeringai sombong.
"Buaya muka hitam, engkau sendiri yang minta dipukul. Nah, terimalah ini!"
Wulansari mengerahkan tenaganya pada tangannya yang kanan, kemudian diayunnya tangan itu menampar ke arah dada yang lebar dan berotot itu.
"Plakkk...!!"
Tamparan itu mengenai dada, dan empat orang kawan si muka hitam sudah tertawa-tawa melihat pukulan yang tidak keras itu. Tentu si muka hitam akan menerimanya dengan enak saja. Akan tetapi alangkah heran dan kagetnya hati mereka ketika melihat si muka hitam tiba-tiba menjadi pucat mukanya, mulutnya menyeringai, tangannya menekan dada dan diapun terkulai roboh sambil mengaduh-ngaduh! Tadinya empat orang kawannya mengira dai hanya main-main dan pura-pura kesakitan saja, akan tetapi ketika melihat si muka hitam memuntahkan darah merah mereka benar-benar kaget dan cepat berlari menghampiri. Ketika melihat keadaan kawan mereka yang terluka parah, di dadanya nampak warna kebiruan, mereka menjadi marah sekali.
"Berani eengkau melukai saudara kami!"
Bentak mereka dan empat orang itu sudah mencabut golok mereka dari pinggang untuk menyerang Wulansari. Akan tetapi Wijaya sudah melompat ke depan dan menggunakan bangkai kijang sebagai senjata, mengamuk dan melawan empat orang yang memegang golok.
Juga Wulansari tidak tinggal diam, ia menggunakan busurnya untuk mengamuk. Menghadapi amukan Wijaya dan Wulansari empat orang itu terkejut dan kewalahan. Akhirnya, dengan jerih mereka berempat menarik tangan si muka hitam dan lari ke perahu ke air dan ombak lautan menerima perahu itu dan menghanyutkannya ke tengah. Wulansari dan Wijaya tidak mengejar, hanya memandang sambil tersenyum gembira sudah dapat mengusir Lima orang kasar itu dari pulau mereka. Dua orang penjaga pantai itu lalu membawakan kelinci dan kijang mereka dan keduanya lalu kembali ke kadipaten, merasa gembira bahwa hari itu mereka telah memperoleh pengalaman yang amat menarik hati dan menegangkan. Ketika mereka berhadapan dengan Adipati Surodiro, sang adipati tertawa mendengar cerita mereka, biarpun dia sempat khawatir mendengar puterinya terbelit ular besar.
"Ha-ha-ha-, orang-orang tak tahu diri itu! Mereka menganggap kita ini apa? Berani benar mendatangi Nusa Kambangan sebelum hari sayembara yang ditentukan tiba."
Katanya, kemudian dia membicarakan urusan sayembara itu dengan puterinya dan muridnya, minta mereka siaga kalau dia minta untuk menandingi seorang peserta sayembara.
"Akan tetapi kami terlalu lemah, Kanjeng Rama. Bagaimana kalau kami kalah dalam pertandingan itu?"
Bantah Wulansari.
"Kalau kalian kalah, akulah yanga maju. Syarat memenangkan sayembara itu adalah kalau orang dapat mengalahkan aku. Akan tetapi tidak mungkin kalau aku sendiri yang mengahdapi mereka semua. Kalian menjadi semacam penguji atau penyaring. Yang benar-benar berkepandaian saja baru dapat berhadapan dengan aku."
Wulansari dan Wijaya mengerti dan merekapun menyanggupi dengan hati bangga karena mereka memperoleh kesempatan untuk memamerkan kepandaian mereka. Pada hari yang ditentukan, Nusa kambangan kedatangan banyak tamu. Bermacam-macam tamu yang berdatangan di kadipaten Nusa Kambanagan itu dan mereka semua diterima oleh para petugas sebagai tamu yang dihormati.
Di depan gedung Kadipaten, di alun-alun telah dibangun sebuah panggung yang besar. Hampir semua penduduk kadipaten Nusa Kambangan datang membanjiri alun-alun untuk menjadi penonton. Akan
(Lanjut ke Jilid 09)
Asmara Dibalik Dendam Membara (Judul Lepas)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 09
tetapi di antara para hadirin yang banyak itu, hanya sedikit yang berniat memasuki sayembara. Kebanyakan dari mkereka hanya ingin menjadi penonton, menyaksikan jalannya pertandingan sayembara dan ingin mengetahui siapa yang akhirnya akan memiliki Kayi Tilam Upih. Sebagian besar dari mereka sudah mengenal Adipati Surodiro dan tahu akan kedigdayaannya maka mereka sudah menjadi jerih dan tidak berani mengikuti sayembara harus mengalahkan sang adipati yang sakti mandraguna itu. Setelah para calon pengikut sayembara didaftar, maka pertandingan itupun dimulai. Dan ternyata Sang Adipati Surodiro sendiri tidak langsung maju.
"Untuk melayani banyak pengikut sayembara, sungguh amat melelahkan bagiku kalau aku harus melayani kalian semua. Karena itu, aku akan diwakili oleh murid dan puteriku. Siapa yang dapat mengalahkan mereka barulah akan bertanding melawanku."
Demikian sang adipati memberitahu dan semua orang dapat menerima peraturan ini.
Apa lagi mereka yang diharuskan bertandinga melawan Wulansari, mereka merasa gembira sekali. Dapat bertanding dan beradu tangan dengan dara cantik jelita itu sudah merupakan suatu keuntungan tersendiri. Kiranya tidak akan penasaran walaupun tidaka berhasil mendapatkan Tilam Upih. Akan tetapi, Adipati Surodiro mengadakan pilihan. Hanya pemuda yang namapak gagah perkasa saja yang dilayani bertanding oleh Wulansari, sedangkan yang lain ditandingi oleh wijaya. Pertandingan demi pertandingan berlangsung di atas panggung, dan para penonton yang sebagian besar terdiri dari penduduk kadipaten Nusa kambangan bersorak gembira karena melihat betapa Wijaya dan Wulansari masing-masing telah memenangkan tiga kali pertandingan!
Adipati Surodiro sendiri belum sempat maju. Baru bertanding melawan murid dan puterinya saja, satu demi satu para peserta sayembara telah dapat dikalahkan. Banyak di antara peserta menjadi jerih dan mundur sebelum bertanding! Pemuda dan dara itu sajasudah terlampau kuat bagi mereka. Apa lagi kalau sang adipati sendiri yang maju! Mereka menjadi gentar dan mundur teratur. Tiba-tiba sesosok bayangan melayang bagaikan seekor burung garuda hinggap di atas panggung. Ketika semua orang memandang, ternyata ia adalah seorang wanita, seorang gadis muda yang cantik dan gagah. Sebatang keris terselip di pinggangnya dan gadis ini mengahadap ke arah Adipati Surodiro sambil bertolak pinggang! Kemudian terdengar suaranya yang merdu namun lantang.
"Adipati Nusa Kambangan! Bangkitlah dan tandingi aku. Akulah yang akan mengalahkanmu dalam pertandingan dan aku yang berhak memperoleh keris pusaka Tilam Upih!"
Banyak di antara para penonton yang tertawa mendengar ini. Seolah mendengar ocehan mulut kanak-kanak. Bagaimana seorang gadis muda itu berani menantang sang adipati?
"Hemm, engkau masih terlalu muda untuk menadingi aku. Biarlah muridku saja yang menandingimu. Wijaya kau lawanlah gadis itu dan hati-hati, jangan lukai gadis itu!"
Kata Sang Adipati sambil tersenyum. Wijaya melangkah maju dengan genbira. Tentu saja hatinya gembira menghadapi lawan seorang gadis yang kecantikannya tidak kalah dibandingkan Wulansari.
"Nimas, marilah kita main-main sejenak!"
Katanya gembira. Akan tetapi gadis itu mengerutkan alisnya dan membentak sambil mendorongkan tangan kanannya ke arah Wijaya.
"Siapa mau main-main denganmu? Pergilah!"
Wijaya terkejut bukan main karena dari tangan kanan gadis itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat! Dia mencoba untuk menangkis, akan tetapi merasa ada hawa panas menghantam dirinya dan diapun terjengkang! Melihat ini, Wulansari terkejut dan marah. Ia sudah meloncat maju ke depan gadis itu.
"Engkau bocah setan yang kejam!"
Bantaknya sambil menyerang. Akan tetapi kembali gadis itu menggerakkan tangan mendorong dan Wulansari juga terjengkang dan terpaksa harus berjungkir balik agar tidak sampai terbanting. Semua orang yang melihat ini menjadi gempar! Jelaslah sudah bahwa gadis yang baru muncul ini seorang dara yang sakti sehingga Wijaya dan Wulansari dapat dikalahkannya dalam segebrakan saja. Juga Adipati Surodiro melihat ini. Sekali menggerakkan kaki, tubuhnya sudah melayang dan berdiri di depan gadis itu, dan memberi isyarat dengan tangan agar puteri dan muridnya mundur. Dua orang muda itu terpaksa meninggalkan panggung.
"Bagus sekali! Kiranya engkau ini gadis muda sudah memiliki ilmu yang tinggi. Katakan siapa andika dan dari mana andika datang!"
Kata Adipati Surodiro. Gadis itu berdiri tegak, menatap tajam wajah sang adipati lalu terdengar suaranya lantang karena semua orang menahan napas ikut mendengarkan.
"Aku bernama Niken, datang dari Anjasmoro!"
Adipati Surodiro tertawa.
"Ha-ha-ha, pantas! Melihat gerakan tanganmu tadi, aku menduga bahwa itu adalah Aji Hasta Bajra! Andika tentu murid Gagak Seto, bukan?"
"Aku tidak pernah menyembunyikan kenyataan. Aku memang murid Gagak Seto dan aku datang untuk mengikuti sayembara mendapatkan Tilam Upih."
Jawab Niken yang bersikap tenag dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri.
"Ha-ha-ha, tidaklah begitu mudah, nini! Andika memang terlalu kuat untuk murid dan puteriku, akan tetapi dengan ilmumu itu belum tentu andika akan mampu mengalahkan aku!"
"Tidak perlu banyak cakap, Sang Adipati! Mari kita mulai saja pertandingan ini!"
Kata Niken dan ia sudah memesang kuda-kuda dengan gagahnya. Tangan kanan diangkat ke atas, tangan kiri ke bawah, keduanya dengan jari terbuka dan kedua lututnya agak ditekuk.
"Ha-ha-ha, Ki Sudibyo benar-benar telah memiliki murid yang hebat mengagumkan. Ha-ha-ha! Nah, aku sudah siap, mulailah!"
Kata adipati itu dengan sikap tenang dan memandang rendah. Bagaimanapun juga, dia adalah seorang datuk persilatan yang terkenal dan sudah memiliki banyak pengalaman. Tantu saja dia tidak takut menghadapi lawan seorang wanita muda! Bahkan menghadapi Ki Sudibyo sendiri dia tidak takut, apalagi muridnya.
"Lihat seranganku! Haiiiiiiiittt...!"
Niken sudah menyerang dengan gerakan gesit sekali. Dara ini sudah mengerahkan aji Tapak sikatan yang membuata tubuhnya selincah burung sikatan, dan kedua tangannya sudah diisi dengan Aji Hasta Bajra. Serangan pertamanya demikian cepat dan kuatnya sehingga menimbulkan bunyi angin berciutan dan sempat mengejutkan hati sang adipati juga. Adipati Surodiro cepat mengelak, akan tetapi pukulan kedua dari Niken sudah menyusul demikian cepatnya sehingga lawan tidak lagi sempat mengelak dan terpaksa harus menangkis.
"Desss...!"
Dua lengan bertemu dan akibatnya membuat keduanya terdorong mundur. Niken diam-diam terkejut. Ternyata adipati ini memang sakti! Bukan hanya mampu menagkis aji Hasta Bajra, bahkan membuat ia terdorong ke belakang. Ia menjadi lebih berhati-hati dan tidak berani memandang rendah lawannya.
Keduanya sama menginsyafi akan kehebatan lawan, dan keduanya bertanding dengan hati-hati sehingga pertandingan itu amat menarik dan seru. Telah lima puluh jurus lewat akan tetapi belum nampak tanda-tanda siapa yang unggul dalam pertandingan itu. Berkali-kali terdengar tepuk tangan ketika masing-masing dapat menghindarkan diri dari serangan dahsyat lawan. Akan tetapi bagaimanapun juga, Niken kalah pengalaman. Adipati itu memiliki banyak ilmu yang aneh-aneh, dan gerakan silatnya juga berubah-ubah sehingga membingungkan Niken. Tiba-tiba sang adipati membuat gerakan silat yang aneh. Kaki tangannya bergerak-gerak membentuk setangkai bunga dan itulah Aji Wijayakusuma dalam bentuk gerakan silat! Dan anehnya, dari kedua tangan Kakek itu muncul hawa yang amat hebat wibawanya, sehingga Niken sendiri merasa tergetar.
"Hyaaaaatttt!"
Adipati Surodiro membentak dan tubuh Niken terdorong keras. Hampir saja dara ini terjengkang, akan tetapi ia dapt melempar tubuh ke belakang lalu berjungkir balik beberapa kali melompat ke bawah panggung dan lenyap di antara penonton. Karena merasa tidak mampu menandingi adipati yang sakti itu, Niken merasa malu dan iapun pergi tanpa pamit! Adipati Surodiro tertawa gembira.
"Wah, seorang dara yang sakti!"
Dia memuji lalu memandang kepada orang banyak.
"Apakah masih ada peserta sayembara yang merasa penasaran dan ingin menguji ilmu kanuragan?"
Budhidarma berada di antara penonton dan sejak tadi dia menonton pertandingan itu. Dia meliahat pula betapa Niken dikalahkan adipati yang banyak pengalaman itu. Dia melihat betapa aji yang dikeluarkan sang adipati yang mengalahkan Niken adalah aji yang hebat sekali, mengandung daya kekuatan yang menggetarkan, bahkan terasa olehnya yang berdiri dari jarak jauh. Melihat tidak ada lagi yang maju, diapun melompat ke atas panggung dan segera bersikap menghormat kepada sang adipati.
"Perkanankan saya yang muda mencoba-coba!"
Katanya sederhana. Budhi adalah seorang pemuda yang sikapnya sederhana. Biarpun dia tampan dan halus, namun penampilannya bukan seperti seorang jagoan maka tidak mengesankan. Melihat pemuda ini, diam-diam Surodiro merasa suka. Seorang pemuda yag tampan dan juga sopan sekali, dan melihat sinar matanya yang mencorong, dia dapat menduga bahwa pemuda ini tentu seorang yang "Berisi."
Maka dia cepat melangkah maju dan memandang penuh perhatian.
"Bagus, orang-orang muda sekarang sungguh bersemangat dan berani. Orang muda, siapakah nama andika dan dari mana andika datang?"
"Saya bernama Budhidarma dan seorang perantau yang kebetulan lewat di daerah ini lalu mendengar tentang sayembara. Karena ingin meluaskan pengalaman saya memberanikan diri mengikuti sayembara ini, harap paman adipati tidak mempergunakan tangan keras kepada saya."
Ucapan nyang merendah ini semakin menyenangkan hati sang adipati. Anak ini sopan, tahu diri, akan tetapi bukan penjilat sehingga menyebutnya paman, bukan gusti dan sebutan lain yang menjilat lagi.
"Ha-ha-, boleh sekali. Akan tetapi biarlah aku beristirahat sejenak. Wulansari, kau wakili aku!"
Dia berteriak dan Wulansari yang sejak tadi juga memperhatikan Budhi, menjadi tertarik dan cepat ia melompat ke atas panggung walaupun Wijaya memperingatkannya agar hati-hati karena baru saja tadi telah dikalahkan oleh Niken. Setelah berhadapan, Wulansari semakin kagum. Pemuda di depannya ini memang tampan dan gagah sekali, namun lembut bagaikan Sang Arjuna. Ia ingin sekali mengetahui apakah pemuda ini juga memiliki kepandaian yang tinggi. Maka iapun berseru,
"Kalau andika hendak mengikuti sayembara, bersiaplah, ki sanak. Aku mewakili Ayahku untuk mengujimu!"
Budhi tersenyum. Dia tadi sudah melihat betapa ilmu kepandaian gadis puteri sang adaipati ini biarpun cukup hebat dan lencah, akan tetapi belum seberapa kalau dibandingkan ilmu yang di kuasai Niken, maka tentu saja bukan merupakan lawan berat baginya. Dia menjadi serba salah. Dia harus mengalahkan gadis ini dan inilah merupakan hal yang amat tidak disukainya. Mengalahkan seorang gadis! Sungguh amat memalukan dan juga dia tidak ingin menyakiti gadis cantik ini baik jasmani maupun rohani, tidak mau menyakiti badannya maupun hatinya. Dia harus mengalah, akan tetapi tidak sampai kalah.
"Baiklah, saya sudah siap!"
Katanya dan dia memasang kuda-kuda yang menimbulkan tawa pada beberapa orang penonton. Budhi berdiri dengan kedua kaki ditekuk lututnya sehingga setengah berjongkok, tangan kiri di bawah dada seperti seorang yang sedang memgang sebuah bola yang tidak nampak. Kelihatan lucu dan bukan seperti orang yang sedang memasang kuda-kuda, akan tetapi sesungguhnya, kuda-kuda itu adalah pembukaan pasangan kuda-kuda yang disebut Sangga Bumi (Menyangga Bumi), sebuah kuda-kuda yang kuno dan langka dipergunakan orang. Surodiro yang banyak pengalaman mengenal kuda-kuda ini dan jantungnya berdebar tegang, Benarkah pemuda ini mengenal Aji Sangga Bumi? Murid siapakah pemuda bernama Budhidarma ini?
"Lihat serangan! Haiiiiiittt...!"
Wulansari sudah menerjang dengan cepatnya. Tangan kanannya menghantam ke arah dada budhi dan tangan kirinya menampar ke arah pelipis. Sungguh merupakan serangan yang amat cepat dan juga berbahaya bagi lawan. Namun Budhi sudah siap siaga dan dengan melangkah ke belakang dua kali, dia menggagalkan serangan kedua tangan itu. Kini dai maju lagi dari samping dan tangannya menampar ke arah pundak Wulansari. Gadis ini miringakan tubuh dan menangkis dengan putaran tangan kanannya.
"Plakk!"
Wulansari merasakan betapa tangan yang ditangkisnya itu lunak dan hangat, sama sekali tidak mengandung tenaga kasar sehingga tangannya yang menangkis tidak merasa nyeri sama sekali. Wulansari salah duga. Disangkanya pemuda ini tidak memiliki kepandaian tinggi, maka iapun berhati-hati agar jangan melukai pemuda yang menimbulkan rasa suka di hatinya itu.
Ia menyerang dengan cepat namun tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Hal ini diketahui oleh Budhi. Pemuda ini menjadi semakin serba salah. Gadis ini memiliki, watak yang baik, tidak kejam dan mau mengalah, pikirnya. Bagimana dia tega untuk mengalahkannya di depan orang banyak sehingga mau tidak mau berarti dia membuatnya malu? Dia main mundur dan nampaknya saj oleh para penonton bahwa pemuda itu terdesak terus, dihujani serangan tanpa mampu membalas. Akan tetapi sungguh terasa naeh bagi Wulansari karena semua serangannya sama sekali tidak mampu menyentuh pemuda itu! Ia menjadi penasaran dan makin lama makin memperhebat serangannya, mulai menyadari bahwa pemuda itu tidaklah selemah yanga ia duga. Dan benar saja, setelah semua ilmu ia keluarkan, semua tenaga ia kerahkan, belum juga ia mampu menyentuhnya! Ia mulai bingung dan juga penasaran.
"Balaslah, hayo balas!"
Katanya agak jengkel karena merasa dipermainkan.
"Maafkan aku!"
Kata Budhi yang merasa sudah terlalu lama melayani gadis itu. Tangannya menampar ke depan cepat sekali dan tangannya mengandung hawa dingin yang menyambar. Wulansari terkejut dan meloncat mundur, akan tetapi pada saat itu ia merasa perutnya seperti tersentuh. Ia memandang ke arah perutnya dan dengan kaget ia tidak lagi melihat kerisnya di pinggang. Ketika ia mengnagkat muka, ternyata keris itu sudah berada di tangan Budhi. Budhi membungkuk dan mengembalikan keris itu.
"Maafkan, ini kerismu..."
Semua penonton tidak melihat bagaimana caranya dan tahu-tahu keris yang tadinya berada di pinggang gadis itu sudah berpindah ke tangan Budhi. Bahkan ada yang tidak mengetahuinya. Akan tetapi Wulansari yang berwatak keras itu masih belum merasa puas. Ia tidak pernah terdesak oleh pemuda itu, bagaimana kerisnya tahu-tahu pindah ke tangan pemuda itu? Seperti main sulap saja.
"Aku belum kalah, mari kita main-main dengan senjata!"
Tantangnya.
"Wulansari, mundurlah engkau!"
Terdengar sang adipati berseru kepada puterinya. Dia tadi melihat dengan jelas cara Budhi merampas keris dan dia merasa kagum bukan main.
"Tidak, Ayah. Aku masih belum kalah!"
Kata Wulansari dan dia berseru.
"Lihatlah seranganku!"
Dan iapun sudah menerjang dengan dahsyat. Budhi mengelak dan berlompatan ke kanan kiri untuk menghindarkan diri dari tikaman keris yang dilakukan dengan cepat dan bertubi-tubi itu. Dia sengaja hanya mengelak dan kadang menangkis, membiarkan gadis itu memuaskan hati dengan serangan sampai tiga puluh jurus, barulah dia menggerakkan tangan kiri, menangkap pergelangan tangan gadis itu.
Wulansari menahan jeritnya ketika tangan kanan mendadak terasa lumpuh! Dan dengan sendirinya jari-jari tangan yang memegang keris tidak dapat mempertahankan lagi ketika keris itu diambil oleh tangan kanan Budhi yang segera melompat mundur. Kini gadis itu berdiri dengan muka kemerahan dan memandang kepada Budhi dengan bersinar-sinar penuh kagum! Budhi tersenyum dan mengangsurkan tangan untuk mengembalikan keris, akan tetapi Wulansari membalikkan tubuh dan melompat turun dari panggung dengan wajah tersipu. Kini penonton bertepuk tangan memuji atas kemenangan Budhi. Melihat Wulansari kalah, Wijaya sudah hendak melompat ke atas panggung, akan tetapi ia dibentak oleh Sang Adipati Surodiro. Adipati itu sendiri naik ke atas panggung dan manghampiri Budhi.
"Orang muda, engkau memiliki kepandaian yang hebat. Bolehkah kami mengetahui siapa gurumu yang terhormat?"
"Harap paman adipati memaafkan saya karena guru saya berpesan agar nama beliau jangan disebut-sebut, karena itulah saya terpaksa sekali tidak dapat menjawab pertanyaan paman adipati."
Adipati Surodiro menganguk-angguk.
"Hemm, engkau seorang murid yang baik dan patuh. Tidak mengapa, dengan menguji kepandaianmua, mudah-mudahan aku akan dapat mengetahui siapa adanya gurumu. Nah, bersiaplah, orang muda!"
"Lihat seranganku, hyaaaaaattt...!"
Serangan yang dilakukan Adipati Surodiro sekali ini sungguh dahsyat. Hal ini adalah karena adipati itu yakin akan ketangguhan pemuda itu dan ia ingin benar-benar mengujinya, bukan hanya untuk melihat apakah pemuda ini pantas menerima Tilam Upih, akan tetapi terutama sekali apakah pantas menjadi jodoh Wulansari! Menghadapi serangan yang dahsyat bukan main itu, Budhi menggerakkan tubuh ke samping untuk mengelak.
"Eiiiiiiiiiittt...!"
Elakannya demikian halus dan indah dan hantaman adipati itu luput. Angin pukulannya saja membuat pakaian Budhi berkibar, Adipati Surodiro sudah membalik dan kini kakinya mencuat dari samping mengirim tendangan yang mendatangkan angin bersiutan.
Namun, dengan lincah Budhi miringkan tubuhnya sehingga tendangan itu meluncur lewat dekat tubuhnya. Dia menggerakkan tangannya untuk menangkap kaki lawan, akan tetapi adipati itu sudah menarik kembali kakinya dan menyerang lagi dengan dahsyatnya. Kalau dibandingkan dengan tadi ketika melawan Niken, gerakan sang adipati sekarang jauh bedanya. Kini dia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan ilmu-ilmu yang ampuh, karena agaknya dia maklum benar bahwa kini lawannya adalah seorang pemuda yang benar-benar tangguh. Dan ternyata Budhi mampu menandinginya dalam segala gerakannya yang aneh itu. Ketika sang adipati menghantamnya dengan tangan kanan disertai tenaga sepenuhnya, Budhi tidak mendapat kesempatan lagi untuk menghindar dengan elakan. Terpaksa daipun mengerahkan tenaga untuk menagkis pukulan itu.
Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dessss...!!"
Bukan main hebatnya pertemuan tenaga raksasa itu. Akibatnya, sang adipati terhuyung ke belakang sampai dua meter sedangkan Budhi melangkah mundur tiga langkah. Dari keadaan ini saja dapat dibuktikan bahwa dalam hal tenaga sakti, pemuda itu masih lebih kuat dibandingkan lawannya. Tentu saja Adipati Surodiro terbelalak. Jarang selama ini ada lawan, apalagi seorang muda, yangamampu menandingi kekuatannya akan tetapi pemuda ini dapat membuat dia terhuyung.
Dia merasa penasaran sekali dan mulailah dai mengeluarkan ilmu ampuh, yaitu Aji Wijoyokusumo. Gerakan kaki tangannya mulai aneh, membentuk bunga dengan kelompoknya, akan tetapi dari kaki tangan itu menyambar hawa yang menggetarkan. Budhi menahan napas dan dipun mengerahkan aji kesaktiannya karena maklum bahwa aji yang dikeluarkan lawannya itu mengandung kekuatan sihir yang hebat. Kini mereka saling pukul dan saling serang dengan hebatnya, membuat semua orang yang menonton menjadi melongo takjub, dan beberapa orang tokoh tua, para datuk persilatan, diam-diam kagum sekali dan menduga-duga murid siapa gerangan pemuda ini. Dia tentu seorang tokoh baru, karena di antara mereka tidak ada seorangpun yang pernah mengenal pemuda itu.
Kini pertandingan sudah mencapi puncaknya. Bagi Budhi, sekali ini diapun sama sekali tidak main-main melainkan mengeluarkan semua kepandaian dan tenaganya. Dia tidak sungkan untuk membalas dengan dahsyat karena lawanpun menyerang dengan pukulan-pukulan mematikan dalam usahanya untuk keluar sebagai pemenang. Seratus jurus telah lewat dan belum ada yang nampak akan keluar sebagai pemenang. Budhi juga merasa penasaran dan pada saat dai mendapatkan kesempatan, dia menekuk kedua lututnya dan mendorongkan kedua tangan dengan jari-jari tangan terbuka, sambil mengeluarkan suara melengking yang dahsyat sekali. Itulah pekik Naga Kroda dan pukulan itu adalah Aji Tapak Sapujagad! Agaknya adipati itu mengenal pukulan ampuh, maka diapun memasang kuda-kuda dan mendorongkan kedua tangannya untuk menyambut, keras lawan keras.
"Desssssssss...!"
Tubuh sang adipati terjengkang dan dia roboh terduduk! Darah mengalir dari ujung mulutnya, sementara itu Budhi masih berdiri dengan muka berubah agak pucat.
"Kanjeng Rama...!"
Wulansari meloncat ke dekat Ayahnya. Akan tetapi Adipati Surodiro memejamkan matanya, bersila dan menggeleng kepala lalu mengatur pernapasannya untuk mengobati luka dalam yang dideritanya.
"Kau... kau... kau lukai Kanjeng Rama...!"
Wulansari bangkit dan menghunus kerisnya.
"Wulan...!"
Ayahnya menegur dan gadis itu kembali berlutut.
"Bantu aku berdiri...!"
Kata adipati itu dan diapun berdiri dipapah oleh Wulansari dan Wijaya yang sudah datang membantu. Setelah bangkit berdiri, adipati itu tersenyum kepada Budhi dan berkata.
"Budhidarma, aku mengaku kalah dan engkaulah yang berhak menerima Tilam Upih."
Kemudian dia menghadapi banyak orang dan berkata lantang.
"Andika semua telah menyaksikan bahwa sayembara dimenangkan oleh Budhidarma. Nah, sayembara ini dituup dan dibubarkan."
Semua orang bubaran dan Budhi dipersilakan masuk ke dalam gedung kadipaten oleh Adipati Surodiro, ditemani pula oleh Wulansari. Setelah memasuki ruangan dalam Budhi berkata dengan hati agak merasa tidak enak.
"Paman Adipati, kalau diperbolehkan, saya ingin membantu mengobati luka dalam yang paman derita itu."
"Ah, tentu saja boleh, anak mas Budhidarma."
Kata sang adipati. Budhi lalu mempersilakan adipati itu untuk duduk di atas pembaringan, bertelanjang baju dan dia lalu menggunakan jari-jari kedua tangannya untuk menggosok punggung dan dada adipati itu. Pada dada sebelah kanan nampak warna menghitam yang setelah diurut oleh Budhi lambat laun menjadi merah kembali. Setelah selesai dan mereka duduk berhadapan, Sang Adipati Surodiro menghela napas panjang dan berkata,
"sekarang aku dapat menduga siapa gurumu, anak mas. Aji Pekik Naga Kroda tadi mengingatkan aku kepada seorang pertapa suci yng berjuluk Bhagawan Tejolelono! Aku pernah bertemu dengan beliau di punck Mahameru. Benarkah dugaanku?"
Budhidarma terpaksa mengangguk.
"Memang tepat sekali dugaan paman."
"Hebat! Selama ini aku belum pernah mendengar pertapa itu mempunyai seorangpun murid, dan ternyata andika demikian beruntung menjadi muridnya. Dan seorang murid yang amat baik pula. Anak mas Budhidarna, aku merasa kagum sekali kepadamu. Keris pusaka Tilam Upih tentu kuserahkan kepadamu dan kuserahkan dengan segala senang hati karena memang andiak orang yang paling pantas memiliki pusaka itu. Wulan, ambilkan keris pusaka itu dan bawa ke sini!"
"Baik, Kanjeng Rama."
Gadis itu lalu pergi keluar dari ruangan itu. Ketika gadis itu keluar dari kamar, sang adipati berkata kepada Budhi.
"Anak mas Budhidarma. Ada sesuatu hal lagi yang ingin kubicarakan dengamu. Kalau andika tidak berkeberatan, aku ingin sekali menjodohkan puteriku yang tunggal Wulansari denganmu. Aku ingin andika menjadi keluargaku dan kelak mewarisi kadipaten Nusa Kambangan. Bagaimana pendapatmu, anak mas?"
Budhi terkejut bukan main. Sama sekali tidak pernah diduganya sang adipati akan menariknya sebagai mantu! Dia hanya bengong memandang Adipati Surodiro tanpa dapat menjawab.
"Bagimana pendapatmu, anak mas?"
"Ah, ini... ini... saya sama sekali belum mempunyai pikiran tentang perjodohan, paman. Harap maafkan, bukan saya berani menolak anugerah yang diberikan kepada saya, hanya saja saya masih mempunyai banyak tugas dan selama ini tidak pernah sedikitpun berpikir tentang perjodohan."
"Ha-ha-ha, aku dapat mengerti, anak mas. Akan tetapi perjodohan itu tidak perlu dilangsungkan sekarang juga. Kalau engkau tidak setuju, pernikahan dapat dilangsungkan kapan saja engkau sudah melaksanakan semua tugasmu."
"Maaf, paman. Saya terpaksa tidak dapat menerimanya. Saya tidak ingin terikat dengan pernikahan."
Adipati Surodiro mengerutkan alisnya yang tebal.
"Apakah ini berarti bahwa engkau menolak puteriku karena engkau merasa tidak suka kepadanya?"
"Ah, sama sekali tidak, paman! Puteri paman adalah seorang gadis bangsawan tinggi, cantik jelita dan sakti mandraguna, bahkan terlalu tinggi dan berharga dibandingkan diri saya... Akan tetapi saya menolak karena memang saya sama sekali tidak ingin mengikatkan diri dengan perjodohan."
Adipati Surodiro tidak berkata-kata lagi karena pada saat itu Wulansari sudah muncul membawa sebatang keris yang bersarung indah. Dia menerima keris itu dari tangan puterinya, lalu berkata kepada Budhi.
"Nah, terimalah, anak mas Budhidarma, sebagai hadiah kemenanganmu dalam sayembara."
Dengan hati berdebar karena girang Budhi menerima keris pusaka itu dari tanga sang Adipati, lalu menyelipkan keris itu diikat pinggangnya. Melihat ini, Adipati Surodiro bertanya,
"Apakah andika tidak memeriksanya lebih dulu keadaan keris pusaka itu, anak mas Budhidarma?"
"Tidak perlu, paman. Saya percaya sepenuhnya kepada paman yang pasti tidak akan melakukan penipuan. Sekarang saya mohon diri, paman dan sekali lagi harap maafkan kalau saya membuat hati paman merasa kecewa."
Adipati Surodiro menghela napas panjang.
"Baiklah, anak mas. Kalau andika begitu terburu-buru, kamipun tidak akan menahanmu, Selamat jalan."
Budhi melirik ke arah Wulansari dan merasa tidak enak kalau tidak berpamit, maka dia berkata lirih,
"Nimas Wulansari, saya mohon pamit."
Wulansari nampak tersipu dan menjawab lirih pula,
"Selamat jalan, Kakang Mas Budhidarma."
Setelah pemuda itu meninggalkan gedung kadipaten, di ruangan itu sunyi. Ayah dan puterinya itu tidak mengeluarkan kata-kata, akhirnya Wulansari yang berkata karena hatinya mendesak-desaknya.
"Ayah, mengapa Ayah tidak menahannya? Tenaga seperti dia itu amat kita butuhkan untuk memperkuat kedudukan kadipsten Nusa Kambangan."
Sang adipati sudah dapat menjenguk isi hati puterinya dan diapun menghela napas panjang.
"Sudah kulakukan itu Niken. Akan tetapi dia menolaknya, mengatakan bahwa masih banyak tugas yang harus dia laksanakan."
"Ahhh...!"
Gadis itu tertunduk.
"Wulan, katakan terus terang. Apakah hatimu tertarik kepada Budhidarma itu?"
Gadis itu makin menundukkan mukanya. Tanpa berani mengangkat muka ia bertanya,
"Mengapa Kanjeng Rama bertanya seperti itu?"
"Sebetulnya aku sendiripun suka kepadanya. Dialah merupakan satu-satunya pemuda yang kiranya sepadan untuk menjadi jodohmu."
Kini gadis itu mengangkat mukanya. Wajahnya berseri kemerahan dan matanya bersinar-sinar.
"Kalau begitu mengapa Kanjeng Rama tidak menahannya?"
"Sudah kulakukan itu, Wulan. Akan tetapi dia menolak karena dia masih mempunyai banyak tugas. Akan tetapi jangan khawatir, kalau memang engkau berjodoh dengannya, kelakpun tentu akan dapat bertemu kembali. Hanya ada satu hal yang membuatku merasa sangsi, Wulan. Aku melihat kakak seperguruanmu itu, Wijaya, amat mencintaimu. Dan sebelum muncul Budhidarma, aku sendiri juga setuju kalau Wijaya menjadi calon jodohmu."
Gadis itu mengerutkan alisnya.
"Akupun suka kepadanya, Kanjeng Rama. Akan tetapi cintaku kepadanya adalah cinta seorang adik kepada kakaknya. Saya tidak bisa menjadi isteri pria yang saya anggap sebagai kakak sendiri."
Adipati Surodiro yang merasa kecewa hanya menghela napas panjang. Bagaimanapun juga, dia blum tahu siapa sebetulnya Budhidarma, keturunan siapa. Dan dia mengharapkan, tak lama lagi akan dapat berjumpa kembali dengan pemuda itu. Budhi berjalan seorang diri mendaki bukit barisan yang menghadangnya dalam perjalanan meninggalkan Nusa Kambangan.
Bukit barisan itu seolah menjadi semacam tanggul untuk Laut Kidul, Berbaris memanjang dari barat ke timur. Ratusan bukit berjajar-jajar seperti barisan raksasa. Karena melakukan perjalanan jauh berhari-hari, Budhi merasa lelah juga. Terik panas matahari membakar di daerah gersang itu, daerah pegunungan kapur yang kebanyakan gundul. Dia berhenti di bawah sebatang pohon randu alas yang besar sekali. Randu alas ini merupakan pohon yang tahan panas dan tahan kekurangan air. Agaknya sebagai pengganti makanan yang sukar didapat melalui akar-akarnya di tanah, cabang-cabangnya malang melintang dan menadah embun di waktu pagi dan air hujan di musim penghujan. Budhi termenung mengenangkan semua pengalamannya dalam sayembara di kadipaten Nusa kambangan itu.
Sungguh heran dia mengapa orang-orang begitu mati-matian memperebutkan Tilam Upih bahkan gurunya sendiri memberi tugas kepadanya untuk mendapatkan keris pusaka itu. Tadi dia sudah memeriksa keris itu dan mendapatkan kenyataan bahwa keris itu tidak ada apa-apanya! Sebilah besi tua yang sudah karatan dan ketika dia menguji dengan tenaga saktinya, tidak mendapat getaran apapun pada keris pusaka itu! Apakah Adipati Nusa Kambangan memberikan keris yang palsu? Ah, agaknya tidak mungkin. Untuk apa dia bersusah payah mengadakan sayembara kalau hanya ingin menipu? Hanya akan menambah permusuhan saja. Mungkin karena kabarnya keris pusaka itu, sudah lama terendam dai dalam Lautan Kidul, terendam air yang mengandung garam, maka keris itu menjadi rusak dan berubah menjadi besi tua karatan yang tidak ada gunanya lagi.
Betapapun juga dia telah mendapatkan keris itu, dan akan dia perlihatkan kepada gurunya lebih dulu sebelum dihaturkan kepada pemiliknya yaitu Sang Prabu Jayabaya di Kediri. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara kaki kuda yang banyak sekali, barlari cepat menuju ke tempat itu. Tak lama kemudian dia melihat serombongan penunggang kuda yamh jumlahnya tidak kurang dari tiga puluh orang! Setelah agak dekat, terlihat oleh Budhi bahwa mereka itu adalah serombongan perajurit, dipimpin oleh dua orang yang pakaiannya jelas menunjukkan bahwa mereka adalah bangsawan tinggi. Seorang di antara dua pemimpin ini adalah seorang pemuda yang berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan nampak gagah, akan tetapisikap dan pandang matanya jelas membayangkan bahwa dia seorang pemuda bangsawan yang licik dan congkak.
Orang kedua adalah seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun, berpakaian Senopati dan dia ini gagah sekali seperti Raden Gatutkaca dengan kumisnya yang melintang tebal. Tadinya Budhi mengira bahwa pasukan itu adalah pasukan yang sedang lewat saja, maka dia tidak mengacuhkandan dia masih duduk bersandar dengan santai pada batang pohon randu alas itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat dua orang pemimpin pasukan itu mengangkat tangan ke atas dan pasukan itupun berhenti lalu mengurung pohon randu alas dan berlompatan turun dari atas punggung kuda meraka. Budhi yang tidak merasa mempunyai kesalahan apapun, masih tidak mengerti bahwa mereka itu mengepung dirinya, dan masih enak-enak bersandar pada pohon itu. Senopati yang seperti Raden Gatutkaca itu melangkah menghampirinya dan dengan suara yang parau lantang dia bertanya,
"Apakah andika yang bernama Budhidarma, orang muda?"
Karena dirinya ditanya, barulah Budhi bangkit dari duduknya, mengapus peluhnya dan memandang kepada Senopati itu, lalu membungkuk dengan sikap hormat.
"Benar, saya bernama Budhidarma. Ada keperluan apakah Paduka mencari saya?"
Dia terpaksa bersikap hormat karena dari pakaiannya tahulah dia bahwa dai berhubungan dengan seorang Senopati agung dari Kediri. Dugaannya memang benar, Senopati itu bukan lain adalah Lembudigdo, Senopati Kediri yang mengemban tugas dari Sang MahaPrabu Jayabaya untuk mencari keris pusaka Tilam Upih. Dia disertai Pangeran Panjiluwih, pemuda berusia tiga puluh tahun itu yang tidak seperti yang lain, masih duduk di atas kudanya dengan sikap pongah. Ketika mendengar akan adanya sayembara memperebutkan keris pusaka Tilam Upih di Nusa Kambangan. Senopati Lembudigdo langsung membawa pasukannya menuju ke Nusa Kambangan dan dia menghadapi sang adipati Surodiro. Adipati Surodiro tertawa bergelak menerima Senopati dari Kediri ini yang menanyakan tentang Tilam Upih.
"Ah, ha-ha-ha! Andika datang terlambat, Senopati! Kami baru saja mengadakan sayembra untuk memperebutkan keris pusaka Tilam Upih dan pemenangnya adalah seorang pemuda bernama Budhidarma. Dia sudah menerima keris pusaka itu dan membawanya pergi. Baru dua hari dia meninggalkan tempat ini."
Mendengar keterangan itu, Senopati Lembudigdo langsung memimpin pasukannya untuk melakukan pengejaran. Dan dua hari kemudaian dai dapat menyusul Budhi yang sedang ngaso dibawah randu alas. Karena gambaran pemuda itu cocok dengan keterangan yang didapatnya dari Adipati Surodiro, maka langsung dia bertanya apakah pemuda ini yang bernama Budhidarma. Dan ketika Budhi membenarkan, dia memberi isarat kepada pasukannya untuk mengepung lebih ketat.
"Bagus! Budhidarma, benarkah engkau telah mendapatkan keris pusaka Tilam Upih dari tangan Adipati Nusa Kambangan?"
Tanya pula Senopati Lembudigdo, matanya memandang tajam ke arah keris yang diselipkan di pinggang Budhi.
"Heh, Budhidarma, keris pusaka itu harus andika serahkan kepadaku!"
Bentak Pangeran Panjiluwih dengan mata memandang bengis. Budhi merasa mendongkol juga hatinya menghadapai sikap yang congkak itu. Dia masih duduk santai bersandarkan batang pohon randu ketika menjawab tenang,
"Kenapa harus kuserahkan kepada andika?"
"Keparat busuk!"
Bentak sang Pangeran.
"Tidak tahukah andika dengan siapa berhadapan? Aku adalah Pangeran Panjiluwih dari Kerajaan Kediri!"
Mendengar pengakuan ini, tentu saja Budhi menjadi terkejut bukan main. Dia bangkit berdiri dan memandang kepada Senopati dan para perajuritnya. Melihat kebingungan pemuda itu, Senopati Lembudigdo lalu berkata lembut.
"Ketahuilah orang muda, Pemuda ini benar adalah Pangeran Panjiluwih dari kerajaan Kediri, dan aku sendiri adalah Senopati Lembudigdo. Kami menjadi utusan Kanjeng Gusti Sang Prabu untuk mencari keris pusaka Tilam Upih dan membawanya kembali ke kerajaan. Karena keris itu sudah ada padamu, maka kami minta kepada kami untuk kami haturkan kepada Sang Prabu."
Budhidarma makin terkejut. Gurunya menghendaki dia mendapatkan keris pusaka Tilam Upih untuk dikembalikan kepada Sang Prabu Jayabaya dan kini utusan raja itu sudah berdiri di depannya. Mengapa susah-susah mengentarkan sendiri keris pusaka yang sudah menjadi besi tua itu kepada Sang Prabu? Lebih mudah diberikan kepada utusan ini!
"Ah, kiranya Paduka adalah Senopati dan Pangeran. Harp maafkan kalau hamba bersikap kurang hormat karena tidak mengetahuinya. Kalau paduak menghendaki keris pusaka Tilam Upih untuk dihaturkan kepada Kanjeng Gusti di Kediri, baiklah..."
Akan tetapi ketika Budhi hendak meloloskan keris itu, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ sudah berdiri Niken!
"Jangan bodoh, Budhi!"
Semudah itu hendak menyerahkan Tilam Upih kepada orang lain!"
Budhi terkejut melihat munculnya Niken yang mencegah dia menyerahkan keris pusaka itu kepada utusan raja.
"Akan tetapi... mereka ini adalah utusan Sang Parbu...!"
Budhi membantah.
"Siapa dapat menjamin mereka itu utusan Raja dan benar-benar akan menyerahkan kieris pusaka itu kepada Raja?"
Budhi terkejut dan memandang kepada Senopati Lembudigdo dan Pangeran Panjiluwih dengan sinar mata meregu. Apalagi melihat sikap Pangeran itu, yang demikian angkuh, timbul perasaan tidak percaya dan tidak senang dalam hatinya.
"Benar juga ucapanmu itu!"
Kata Budhi dan dia lalu membungkuk kepada Senopati yang nampak gagah perkasa itu.
"Harap Paduka memaafkan, akan tetapi saya tidak dapat menyerahkan pusaka ini kepada Paduka atau siapa saja. Saya akan menghaturkan sendiri kepada Gusti Prabi."
Tentu saja Budhi tidak mengetahui apa sebabnya Niken mencegah dia menyerahkan pusaka itu kepada pasukan yang menjadi utusan raja. Gadis ini masih ingat benar akan wajah Pangeran Panjiluwih! Dan ia paling tidak suka kepada Pangeran yang satu ini, karena Pangeran ini yang paling sering menghinanya sebagai anak keturunan rendah, menghina Ayah Ibunya! Tentu saja timbul perasaan tidak senang, bahkan benci dan tidak percaya kepada Pangeran ini. Itulah sebabnya ia mencegah Budhi menyerahkan keris pusaka yang dicari semua orang itu kepada rombongan ini. Andaikata Pangeran itu akan menghaturkan keris pusaka kepada Raja, iapun tidak rela kalau Pangeran Panjiluwih yang menerima pujian dam hadiah imbalan sebagai penemu keris pusaka. Mendengar ucapan Budhi, Pangeran Panjiluwih menjadi marah sekali. Tanpa turun dari kudanya, dia membentak,
"Keparat jahanam! Berani engkau menolak perintah kami? Engkau perlu dihajar!"
Dan dia sudah mengerakkan kudanya maju dan cambuknya diayun ke arah muka Budhi.
"Tar-tar-tar!"
Tiga kali cambuk itu melecut kearah kepala Budhi, akan tetapi dengan mudah Budhi mengelak dari sambaran cmbuk itu. Hal ini membuat Pangeran Panjiluwih menjadi semakin marah. Dia adalah putera Raja dan kini ada seorang pemuda dusun berani menentangnya! Melihat sang Pangeran turun tangan sendiri, Senopati Lembudigdo meloncat ke depan dan melerai.
"Sudahlah Pangeran, tidak perlu Paduka turun tangan sendiri. Masih ada hamba dan para perajurit."
Senopati itu lalu menghadapi Budhi dan berkata,
"Budhidarma, kuminta andika percaya kepada kami. Andika tidak boleh menolak, karena kami mewakili Raja yang menuntut kembalinya pusaka kerajaan. Berikan pusaka itu kepada kami!"
"Budhi, jangan berikan!"
Bentak Niken marah.
"Heii, engkau ini bocah perempuan dusun berani ikut campur. Engkau minta dihajar, ya?"
Pangeran Panjiluwih lalu melompat turun dari atas kudanya dan menyeranga Niken dengan cambuknya. Niken tidak mengelak seperti yang dilakukan Budhi tadi, melainkan cepat menangkap tangannya menyambar dan ia sudah menagkap pergelangan tangan yang memegang cambuk dan sekali renggut saja cambuk itu sudah berpindah tangan. Dan kini tanpa membuang waktu ia sudah mengamuk mencambuki Pangeran itu! Melihat ini, para perejurit sudah maju dan mengeroyoknya dan banyak perejurit menjadi lecet-lecet mukanya terkena sambaran cambuk yang digerakkan secara cepat luar biasa oleh Niken. Sementara itu, melihat gadis itu sudah mengamuk, Senopati Lembudigdo juga tidak tinggal diam. Dia menerjang dan hendak menagkap Budhi untuk merebut keris pusaka Tilam Upih yang terselip di pinggang pemuda itu. Akan tetapi Budhi mengelak dan balas menampar.
Ternyata Senopati itu tidaklah selemah Pangeran Pnjiluwih yang malas barlatih ilmu kanuragan dan lebih suka pelesir dan mengumpulkan wanita cantk itu. Senopati itu adalah seorang gemblengan dan sudah banyak pengalamannya dalam pertempuran. Maka dia dapat menandingi Budhi dengan gagahnya. Dan para perejurit terpecah dua, sebagian membantu Pangeran Panjiluwih mengeroyok Niken dan sebagian mengeroyok Budhi dan membantu Senopati Lembudigdo. Melihat pengeroyokan itu, Budhi berpikir bahwa selain pihak musuh terlalu banyak, juga dia tidak ingin bermusuhan dengan pasukan kerajaan Kediri. Apalagi sampai melukai seorang Senopati dan seorang Pangeran yang sedang bertugas! Menyerahkan keris pusaka juga tidak benar, maka satu-satunya jalan hanyalah melarikan diri meninggalkan pertempuran.
"Niken, kita lari!"
Katanya dan diapun melompat jauh melalui atas kepala para pengeroyoknya. Dia melihat Niken juaga berkelebat dan sudah melompat jauh, akan tetapi Senopati Lembudigdo mengejar dengan cepatnya pula.
Maklum bahwa Senopati itu tangguh sekali dan Niken dapat berbahaya kalau sampai melawan dia, Budhi lalu membalik dan menghadapi Senopati itu, satu lawan satu. Kini dia menyerang dengan kedua tangan didorongkan ke depan. Senopati Lembudigdo cepat menangkis, akan tetapi dia tidak kuat bertahan dan tubuhnya terpelanting. Budhi lalu meninggalkannya pergi. Senopati Lembudigdo terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa pemuda it ternyata jauh lebih sakti dari pada yang diduganya dan kalau tadi tidak nay merobohkan, agaknya karena memang pemuda itu banyak mengalah. Tahulah dia bahwa kalau pemuda itu menghendaki biar dikeroyok banyak orang tetap saja mereka takkan mampu mengalahkannya. Maka diapun tidak menyuruh pasukannya untuk melakukan pengejaran, bahkan mengajak pasukannya untuk kembali saja. Akan tetapi, Pangeran Panjiluwih merasa penasaran.
"Pangeran Senopati, kenapa kita harus pulang setelah mengetahui di mana adanya Tilam Upih? Bagimana kita dapat pulang tanpa membawa pusaka itu? Mari kita kejar bocah setan itu dan rampas Tilam Upih dari tangannya!"
Senopati menghela napas panjang. Diam-diam dia merasa menyesal terpaksa harus mengajak Pangeran ini pergi mencari Tilam Upih. Pangeran yang sombong ini sungguh tak athu diri.
"Pangeran, apa yang dapat kita lakukan terhadapnya? Dia itu sakti sekali. Kita sudah mengetahui siapa yang membawa Tilam Upih dan kita dapat melapor kepada Kanjeng Gusti Prabu."
"Apakah tidak malu melapor akan tetapi tidak mampu membawa pusaka itu, paman?"
Sindir sang Pangeran. Wajah Senopati itu menjadi merah.
"Kalau perlu kita akan membawa pasukan yang lebih besar dan kawan-kawan yang benar meiliki kesaktian untuk mengejarnya. Akan tetapi dalam keadaan kita sekarang, kita tidak mampu berbuat apa-apa."
Akhirnya Pangeran itu terpaksa mengeikuti rombongan yang menuju kembali ke Kediri akan tetapi wajahnya selalu cemberut dan sebelum tiba di Kota Raja, dia telah meninggalkan pasukan itu tanpa pamit. Kepada para perejurit yang dekat dengannya, dia hanya mengatakan bahwa kalau Senopati Lembudigdo menanyakan, agar dikatakan bahwa dia hendak berusaha sendiri mengejar Budhidarama, pemuda yang membawa Tilam Upih itu! Ketika mendengar keterangan dari para perejurit, Senopati Lembudigdo hanya menghela napas,
"Betapa bodoh dan lancangnya!"
Katanya.
"Kalian semua menjadi saksi bahwa sang Pangeran pergi sendiri meninggalkan kita tanpa pamit kepadaku agar Sang Prabu tidak menyalahkan aku."
Setelah memesan kepada para perajurit dia lalu melanjutkan perjalanannya kembali ke Kota Raja Kediri. Budhi berlari cepat, dibelakangnya berlari Niken. Setelah jauh meninggalkan tempat di mana mereka tadai dihadang pasukan dan dikeroyok, Budhi berhenti, Niken juga berhenti dan menghapus keringat yang membasahi lehernya, kemudia ia menghampiri Budhi yang sudah duduk di atas akar pohon yang menonjol kepermukaan tanah.
"Budhi, hendak engkau apakan Tilam Upih yang sudah berada di tanganmu itu?"
Budhi tersenyum dan memandang kepada wajah yang ayu dengan sinar mata yang bagaikan bintang kejora itu.
"Hendak kau apakan? Tentu saja hendak kuhaturkan kepada Sang Prabu Jayabaya di Kediri."
Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hemm, aku tidak percaya engkau akan mampu menjaga pusaka itu. Tadi saja kalau tidak ada aku yang memperingatkan, dengan mudahnya sudah kau serahkan kepada mereka itu!"
"Karena mereka itu adalah pasukan dari Kediri yang dipimpin oleh Senopati. Akan tetapi sekarang aku tidak akan percaya kepada mereka, akan kuserahkan sendiri kepada Sang Prabu."
"Aku tidak percaya engkau mampu menyerahkan kepada Sang Prabu, Budhi, kau serahkan saja pusaka pusaka itu kepadaku dan aku yang akan menghaturkan pusaka itu kepada beliau."
"Hemm, mengapa harus kuserahkan kepadamu?"
"Karena aku dapat menjaga lebih aman lagi, dan tidak perlu kujelaskan mengapa harus aku yang menghaturkan kepada Sang Prabu. Berikanlah kepadaku!"
"Ehm, kalau tidak kuberikan, lalu bagaimana?"
"Aku akan mencoba merampasnya darimu dengan kekerasan!"
Kata Niken, suaranya mulai terdengar mengancam.
"Niken, engkau seorang dara yang jelita dan gagah perkasa. Untuk apa engkau ikut-ikut memperebutkan Tilam Upih? Bahkan engkau ikut pula memasuki sayembara. Mengapa demikian?"
"Sudah kukatakan, tidak perlu kau tahu. Sekarang, engkau berikan atau tidak pusaka itu?"
Sikap gadis itu makin ketus. Budhidarma tertawa.
"Ha-ha-ha, sungguh lucu sekali. Semua orang memperebutkan pusaka Tilam Upih, pada hal keris pusaka ini hanyalah sepotong besi berkarat yang tidak ada gunanya. Nah, kalau engkau memang mengendaki besi berkarat ini, terimalah. Aku tidak mau lagi meperebutkannya!"
Budhi meloloskan pusaka yang bersarung itu dari ikat pinggangnya dan menyerahkannya kepada Niken. Kini Niken yang tertegun dan memandang dengan mata terbelalak. Keris pusaka Tilam Upih yang sudah berada di tangan pemuda itu, sekarang begitu saja diserahkan kepadanya! Kini ia yang menjadi terheran-heran dan ragu sehingga biarpun Budhi sudah lama menyodorkan pusaka itu, tetap saja belum diambilnya.
"Budhi, kenapa demikian mudah engkau hendak menyerahkan pusaka ini kepadaku?"
"Sudah kukatakan. Pusaka ini hanya sepotonga besi tua yang karatan, aku tidak mau memperebutkannya lagi, Nah, terimalah."
Niken menerima pusaka itu dan dengan jantung berdebar-debar ia menghunus pusaka itu. Dan terbelalak, matanya tak lepas memandang pusaka itu dan nampak wajahnya amat kecewa. Budhi merasa kasihan.
"Tentu pusaka itu sudah berubah banyak. Kabarnya pusaka itu berada di perut ikan hiu sampai puluhan tahun. Tentu saja menjadi rusak dan karatan."
"Tidak!"
Kata Niken setengah menjerit.
"Ini bukan pusaka Tilam Upih yang tulen. Ini keris pusaka palsu!"
Budhi terbelalak.
"Apa? Palsu?"
"Ya, ini bukan Tilam Upih? Ini keris palsu!"
Kembali Niken berseru marah.
"Hemm, Niken. Bagimana engkau bisa tahu bahwa keris pusaka ini palsu? Apakah engkau pernah melihat yang asli?"
"Aku belum pernah melihat yang asli, akan tetapi aku sudah mendapat penjelasan yang lengkap tentang Kayi Tilam Upih. Aku berani memastikan bahwa ini keris palsu. Budhi, apakah engkau..."
Gadis itu memandang dengan alis berkerut dan sinar mata penuh selidik.
"Eiiit-eiit, Niken. Jangan engkau menuduh aku yang memalsukan ketris pusaka Tilam Upih, engkau keterlaluan sekali! Kalau memang Tilam Upih itu palsu, berarti Sang Adipati di Nusa Kmabngan yang memalsukannya. Aku telah ditipunya dan diberi keris yang palsu."
"Aku percaya kepadamu, Budhi. Ini tentu ulah Adipati Surodiro dan aku akan menuntutnya!"
Setelah berkata demikian, Niken membawa keris itu pergi dari situ dengan berlari cepat, menuju kembali ke selatan!
"Niken, tunggu...!!"
Budhi meloncat dan tak lama kemudia dia dapat menyusul Niken. Gadis itu berhenti dan memandang dengan sinar mata menentang.
"Budhi, mau apa engkau mengejar aku?"
"Niken, bukan engkau yang harus menuntut ke Nusa Kambangan, melainkan aku karena akulah yang dibohongi adipati itu."
"Tidak, aku akan minta pusaka yang asli."
"Aku juga. Mari kita pergi berdua dan mendengar apa yang hendak dikatakan oleh adipati keparat itu!"
Kata Budhi dan akhirnya Niken tidak menolak lagi karena bagimanapun juga, pemuda itu yang lebih berhak. Dan Budhi sebetulnya ingin menemani gadis itu karena dai merasa khawatir. Gadis itu bukan tandingan Adipati Surodiro, dan kalau dibiarkan sendiri pergi ke Nusa Kambangan, bisa celaka. Budhi dan Niken melakukan perjalanan cepat dan setelah tiba di pantai laut selatan, mereka lalu menyewa perahu pada seorang nelayan. Mereka diantar ke pulau Nusa Kambangan. Ketika keduanya mendarat beberapa orang penjaga mengenal mereka dan segara melaporkan kepada Sang Adipati. Dua orang muda itu langsung saja pergi ke kadipaten dan mereka disambut oleh sepasukan penjaga keamanan yang menghadang mereka di depan gedung kadipaten.
Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo