Ceritasilat Novel Online

Pecut Sakti Bajrakirana 20


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 20



"Akan tetapi dia telah berubah, diajeng. Entah iblis mana yang telah memasuki dirinya. Dia merampas kedudukan ketua Jatikusumo dan dia tega membunuh Bapa Guru,"

   "Maaf, kakang Cangak Awu. Bagaimana aku dapat mempercayai berita itu? Sepandai-pandainya Kakang Priyadi, tidak mungkin dia dapat mengalahkan Bapa Guru, apa lagi membunuhnya!"

   "Entah apa yang telah terjadi dengan dirinya. Dia telah berubah seperti iblis sendiri, selain jahat kejam juga amat sakti mandraguna."

   "Akan tetapi, bagaimana mungkin dia mengalahkan semua murid Jatikusumo? Bukankah di samping Bapa Guru ada pula Kakang Mahesa Seto, Mbakayu Rahmini dan engkau sendiri, kakang? Tak mungkin dia dapat mengalahkan pengeroyokan kalian semua!"

   "Dia tidak datang sendiri, diajeng Dia dibantu oleh Paman Bhagawan Jaladara dan kawan kawannya, para jagoan dari Wirosobo, bahkan di antara mereka terdapat Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo! Kami semua melawan mati-matian, akan tetapi pihak musuh lebih kuat sehingga akhirnya Bapa Guru. Kakang Maheso Seto, Mbakayu Rahmini dan banyak murid Jatikusumo tewas...."

   Tiba-tiba Puteri Wandansari menatap wajah Cangak Awu penuh selidik dan ia bertanya.

   "Akan tetapi mengapa engkau masih dapat terhindar dari maut. Kakang Cangak Awu?"

   "Itulah yang menyedihkan hatiku, diajeng. Seharusnya akupun melakukan pembelaan sampai titik darah terakhir. Akan tetapi ketika aku melihat betapa Bapa Guru dan kedua orang kakak seperguruan kita itu roboh, aku tahu bahwa kalau aku nekat, akupun akan mati. Pada saat itu kupikir, kalau aku juga mati, lalu siapa yang akan membalaskan semua sakit hati itu? Itulah sebabnya mengapa aku melarikan diri membawa luka tendangan yang amat parah."

   "Hemm, kiranya Priyadi itu bersekutu dengan Bhagawan Jaladara yang menjadi kaki tangan kadipaten Wirosobo! Lalu bagaimane kakang? Lanjutkan ceritamu."

   "Agaknya Priyadi hendak membawa Jatikusumo membantu gerakan kadipaten Wirosobo, diajeng. Aku telah terluka parah dan aku melarikan diri sekuat tenaga dan akhirnya aku jatuh pingsan di tepi sungai Aku ditolong oleh nimas Pusposari puteri Paman Harjodento ketua perkumpulan Nogo Dento. Kiranya Paman Harjodento itu adalah ayah kandung Adi Sutejo, diajeng."

   Wajah sang puteri itu berseri.

   "Ah, benarkah? Jadi Kakangmas sutejo telah menemukan orang tuanya? Sukurlah, kabar ini cukup menggembirakan walaupun tidak mengurangi kedukaan mendengar Jatikusumo terbasmi."

   "Paman Harjodento lalu menjodohkan aku dengan diajeng Pusposari"

   "Begitukah, Kakang Cangak Awu? Aku ikut bergembira dan mengucapkan selamat kepadamu."

   "Terima kasih, diajeng. Juga Adi Sutejo dijodohkan dengan Retno Susilo yang menjadi sahabat baik Sutejo dan yang telah banyak membantunya"

   "Kakang Sutejo adalah seorang pemuda yang baik dan gagah perkasa, yang telah dipercaya mendiang Eyang Resi Limut Manik untuk mewarisi Aji Bajrakirana, sudah sepantasnya dia memperoleh jodoh yang sepadan dan pantas. Aku percaya bahwa gadis yang bernama Retno Susilo itu tentu seorang gadis yang amat baik, bijaksana dan juga sakti mandraguna."

   "Dara itu adalah puteri Ki Mundingsosro ketua Sardula Cemeng dan ia memang memiliki kesaktian cocok sekali kalau menjadi jodoh Adi Sutejo,"

   Kata Cawak Awu dengan sejujurnya.

   "Kakang Cangak Awu, berita yang kau bawa ini penting sekali karena menyangkut keamanan di Mataram, Kalau Jatikusumo kini dipimpin Priyadi yang bersekutu dengan Wirosobo, maka hal ini tidak boleh kami diamkan saja, karena berarti daerah Mataram telah kemasukan pengaruh Wirosobo. Mari, mari ikut aku menghadap Kanjeng Rama, karena hal ini perlu beliau ketahui dan aku akan minta ijin Kanjeng Rama untuk memimpin pasukan menggempur Priyadi dan antek-anteknya."

   Cangak Awu berasa gentar untuk menghadap Sang Prabu, akan tetapi karena di situ ada Puteri Wandansari yang mengajaknya, maka biarpun jantungnya berdebar tegang, dia mengikuti sang puteri memasuki istana. Para pengawal tentu saja membiarkan sang puteri masuk, bahkan memberi hormat dan pengawal bagian dalam lalu melapor kepada Sultan Agung bahwa Puteri Wandansari mohon menghadap.

   Pada waktu itu, Sultan Agung sedang berbincang-bincang dengan para senopatinya. Di antaranya yang nadir adalah Ki Mertoloyo yang melaporkan tentang penyelidikannya terhadap para kadipaten di sebelah timur. Juga hadir Ki Suroantani, Kyai Sujonopuro dan Kyai Juru Kiting, keduanya merupakan senopati-senopati yang terkenal dari Mataram. Mendengar pelaporan pengawal dalam bahwa puterinya. Puteri Wandansari dan seorang pemuda mohon menghadap, Sultan Agung segera memerintahkan pengawal untuk mempersilakan kedua orang muda itu masuk dan menghadap.

   Ketika Puteri Wandansari dan Cangak Awu menghadap, dan menghaturkan sembah, Sultan Agung dan para senopati memandang kepada Cangak Awu dengan hati kagum. Cangak Awu memang merupakan seorang pemuda yang tinggi besar dan gagah perkasa seperti Sang Bimasena.

   "Nini Wandansari. Siapakah pemuda yang gagah perkasa ini?"

   Tanya Sang Prabu kepada puterinya sambil memandang dan mengamati wajah Cangak Awu yang membayangkan keterbukaan dan kejujuran.

   "Kakang Cangak Awu, Kanjeng Rama hendak mengetahui keadaanmu Perkenalkanlah dirimu sendiri kepada Kanjeng Rama."

   Cangak Awu lalu menghaturkan sembah dengan sikap hormat. Biarpun dia seorang yang jujur dan kasar, akan tetapi di bawah bimbingan mendiang Bhagawan Sindusakti, diapun tahu akan sopan santun atau tata-krama di depan Sang Prabu.

   "Mohon paduka sudi mengampuni hamba yang berani menghadap tanpa dipanggil, Gusti Sinuwun, Hamba bernama Cangak Awu. murid perguruan Jatikusumo. Kedatangan hamba adalah untuk memberi laporan kepada Gusti Puteri Wandansari. dan oleh beliau hamba diajak menghadap paduka"

   "Murid Jatikusumo? Kalau begitu masih saudara seperguruanmu nini Wandansari?"

   "Memang demikianlah, Kanjeng Rama. Kakang Cangak Awu ini masih terhitung kakak seperguruan hamba, dia adalah murid kepala ke empat sedangkan hamba murid kepala ke lima."

   "Lalu apa maksudmu mengajak Cangak Awu untuk menghadap kami?"

   Tanya Sang Prabu dengan ramah. Dia merasa bangga dan sayang kepada puterinya ini karena biarpun seorang wanita, namun amat berbakat dan tekun mempelajari ilmu kanuragan sehingga menjadi seorang gadis yang sakti mandraguna dan berwatak gagah perkasa.

   "Ampun, Kanjeng Rama, kalau hamba berdua telah lancang dan mengganggu kesibukan paduka. Akan tetapi karena kakang Cangak Awu datang membawa berita tentang malapetaka yang menimpa perguruan Jatikusumo dan juga tentang ancaman yang membahayakan keamanan di Mataram, maka hamba pikir berita ini penting sekali untuk paduka ketahui."

   Sang Prabu memandang Candak Awu dan bertanya.

   "Cangak Awu, berita apakah yang kau bawa? Malapetaka apakah yang telah menimpa perguruan Jatikusumo?"

   "Kanjeng Gusti, perguruan Jatikusumo telah dihancur binasakan oleh seorang murid kepala yang murtad bernama Priyadi. Dalam kerusuhan itu, Bapa Guru Bhagawan Sindusakti, Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini, juga para murid Jatikusumo, telah terbunuh."

   "Jagad Dewi Bathara......!"

   Sang Prabu berseru.

   "Paman Bhagawan Sindusakti terbunuh, dan oleh muridnya sendiri? Jahat sekali murid durhaka yang bernama Priyadi itu! Akan tetapi, Wandansari, apa hubungannya ini dengan terancamnya keamanan di Mataram?"

   "Kanjeng Rama, Priyadi yang murtad dan durhaka itu menguasai Jatikusumo untuk menjadi ketua di sana dan dia menyerbu Jatikusumo dengan bantuan para tokoh dari Kabupaten Wirosobo. Kini dia menyusun kekuatan di Jatikusumo untuk membantu Wirosobo yang berniat memberontak terhadap Mataram. Oleh karena itu. Kanjeng Rama, kalau paduka mengijinkan, hamba ingin memimpin pasukan untuk membantu Kakang Cangak Awu dan Kakang Sutejo yang dibantu oleh keluarga perkumpulan Nogo Dento untuk, menyerang dan menghancurkan persekutuan gerombolan pemberontak itu, dan untuk membalikan kematian Bapa Guru Bhagawan Sindusakti dan para saudara seperguruan hamba yang terbunuh oleh jahanam Priyadi itu."

   "Ampunkan hamba, Kanjeng Sinuwun. Kalau hanya menumpas gerombolan pemberontak, perkenankan hamba yang memimpin pasukan untuk menumpas mereka, tidak perlu menyusahkan Gusti Puteri,"

   Kata Tumenggung Wiroguno, seorang senopati.

   "Tidak, Paman Tumenggung Wiroguno. Penumpasan ini harus saya lakukan sendiri karena ini menyangkut kehancuran perguruanku. Kanjeng Rama, hamba mohon perkenan paduka."

   Sang Prabu mengangguk-angguk, tersenyum.

   "Nini Wandansari, kami percaya akan kemampuanmu untuk melakukan penumpasan terhadap gerombolan itu. Akan tetapi, engkau tadi mengatakan bahwa murid yaog murtad dari Jatikusumo itu dibautu oleh tokoh tokoh Wirosobo. Siapakah mereka itu?"

   "Kakang Cangak Awu lebih mengetahui akan hal itu, Kanjeng Rama."

   "Siapakah mereka, Cangak Awu?"

   Tanya Sang Prabu kepada pemuda itu.

   "Selain Priyadi sendiri yang rupanya telah memiliki kesaktian luar biasa yang entah d dapatkannya dari mana, juga dia dibantu oleh Paman Bhagawan Jaladara yang menjadi antek Kadipaten Wirosobo bersama dua orang pembantunya, Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda. Selain itu, dia dibantu pula oleh dua orang kakek sakti mandraguna dan jahat, yaitu Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo, juga seorang wanita iblis bernama Sekarsih. Karena para murid Jatikusumo melawan sampai tewas, tentu sekarang Priyadi membentuk pasukan baru di Jatikusumo yang terdiri dari orang-orang Wirosobo."

   "Ahhhh! Kami pernah mendengar akan nama Resi Wisangkolo dan kabarnya dia sakti mandraguna. Dan yang membantu demikian banyak, terdiri dari jagoan-jagoan Wirosobo, bahkan tentu masih adi senopati Wirosobo yang membantu. Bukankah begitu, Cangak Awu?"

   "Sepanjang pengetahuan hamba, senopati yang membantu adalah Tumenggung Janurmendo, Kanjeng Sinuwun."

   Jawab Cangak Awu.

   "Ampun, Kanjeng Sinuwun!"

   Tiba-tiba Senopati Ki Suroantani menyembah.

   "Apa yang hendak kau katakan, Suroantani?"

   Tanya Sang Prabu.

   "Tumenggung Janurmendo adalah seorang digdaya. Karena itu perkenankanlah hamba yang memimpin pasukan menghadapi dia!"

   "Bagaimana. Nini Wandansari? Keadaan pihak musuh demikian kuat. apakah engkau seorang diri akan mampu menandingi dan mengalahkan mereka?"

   Tanya Sang Prabu kepada puterinya.

   "Terutama sekali Resi Wisangkolo, aku khawatir kalau engkau tidak mampu menandinginya."

   "Harap paduka jangan khawatir. Kanjeng Rama. Di pihak hambapun banyak terdapat pembantu yang memiliki kesaktian. Terutama sekali Kakang Sutejo seperti pernah hamba ceritakan kepada paduka. Kakang Sutejo dan hamba merupakan dua orang yang menerima warisan aji kesaktian dari mendiang Eyang Resi Limut Manik. Biarlah hamba berdua Kakang Sutejo yang mewakili mendiang Eyang Resi Limut Manik untuk menyelamatkan Jatikusumo dari tangan pengkhianat. Selain hamba berdua, di pihak hamba masih ada Kakang Cangak Awu ini. Ada pula seorang gadis yang memiliki kesaktian bernama Retno Susilo dan juga pihak hamba dibantu oleh perkumpulan Nogo Dento dan ketuanya yang menurut Kakang Cangak Awu juga merupakan seorang pendekar yang gagah perkasa bernama Harjodento dan isterinya, Padmosari."

   "Harjodento? Hemm, kami pernah mendengar nama besar pendekar itu!"

   Kata Sang Prabu sambil mengangguk-angguk.

   "Juga menurut keterangan Kakang Cangak Awu, Retno Susilo akan minta bantuan perkumpulan Sardula Cemeng yang dipimpin ayahnya yang bernama Ki Mnndingsosro dan pamannya Ki Mundingloyo Hamba pikir kedudukan kami cukup kuat Kanjeng Rama, sehingga belum perlu para paman senopati turun tangan sendiri. Karena urusan ini menyangkut Jatikusumo dan belum menyangkut kerajaan, maka biarlah hamba yang turun tangan sendiri bersama Kakang Sutejo dan Kakang Cangak Awu."

   Tiba-tiba Ki Mertoloyo menyembah.

   "Ampun, Kanjeng Sinumun, Hamba juga mempunyai keterangan tentang diri pendekar muda bernama Sutejo itu."

   "Apa yang kau ketahui tentang Sutejo, Mertoloyo?"

   "Ketika hamba dan anak perempuan hamba mengadakan penyelidikan ke daerah Wirosobo, anak hamba tertawan oleh Bhagawan Jaladara dan para pembantunya, di antara mereka terdapat pula Tumenggung Janurmendo. Untuk menghadapi mereka dan menolong anak hamba, muncul Sutejo dan hamba menyaksikan sendiri betapa saktinya pendekar muda itu. Dia mampu mengalahkan Bhagawan Jaladara dan Tumenggung Janurmendo yang mengeroyoknya. Karena itu, hamba tidak khawatir akan keselamatan Gusti Puteri Wandansari kalau Sutejo membantu beliau."

   Sang Prabu mengangguk-angguk.

   "Kami telah mendengar dari puteri kami tentang pemuda itu. Dia dan puteri kami telah menerima warisan dua aji simpanan mendiang Resi Limut Manik dan kami sendiri telah menguji keampuhan aji yang dikuasai Nini Wandansari. Baiklah, Nini Wandansari. Kami memberi ijin kepadamu untuk memimpin seratus orang perajurit. Akan tetapi, Mertoloyo, agar engkau persiapkan pasukan pilihan yang kuat untuk dipimpin Nini Wandansari." "Sendiko, Gusti."

   Kata Ki Mertoloyo. Persidangan dibubarkan dan Wandansari lalu membuat persiapan. Sepasukan perajurit gemblengan yang dikenal dengan pasukan, Pasopati yang merupakan pasukan pengawal Sang Prabu yang rata-rata memiliki kedigdayaan, dipersiapkan dan pada keesokan harinya, berangkatlah Puteri Wandansari memimpin pasukan Pasopati itu. Pasukan itu berkuda dan melakukan perjalanan cepat. Cangak Awu juga ikut dalam pasukan ini.

   Pakaiannya compang camping, telapak kakinya yang halus itu pecah-pecah rambutnya kusut, namun semua itu tidak mengurangi kecantikan perempuan muda yang berjalan seorang, diri di atas jalan di tepi hutan itu Ia adalah Sumarni, gadis berusia delapan belas tahun yang telah melarikan diri dari Jatikusumo, setelah berhasil mencuri Pecut Bajrakirana dan menyerahkan pecut pusaka itu kepada Retno Susilo.

   Sumarni menangis di sepanjang jalan, meratapi nasibnya. Kalau ia mengenangkan semua pengalaman yang menimpa dirinya, hatinya penuh penyesalan dan kesedihan. Baru sekarang ia menyesal bukan

   (Lanjut ke Jilid 22)

   Pecut Sakti Bajrakirana (Seri ke 01 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 22

   main mengapa ia demikian mudah terkecoh, terbujuk cumbu rayu pemuda yang mengaku sebagai Dewa Sungai bernama Permadi itu. Demikian mudahnya ia menyerahkan dirinya kepada pemuda itu. Kemudian pemuda itu muncul dan baru ia ketahui bahwa Permadi itu sebenarnya bernama Priyadi dan monjadi ketua Jatikusumo Pada mulanya, ia merasa gembira karena bagaimanapun juga, harus ia akui bahwa ia telah tergila-gila kepada pemuda yang tampan, halus dan sakti itu. Akan tetapi kemudian terjadilah hal yang menghaturkan hatinya, menghancurkan kehidupannya.

   Priyadi menyuguhkan dirinya kepada Ki Klabangkolo. Malam itu, ketika Ki Klabangkolo mempermainkan dirinya, ia benar-benar hancur. Ingin rasanya mati saja. Kenyataan bahwa dirinya ternoda oleh Ki Klabangkolo sudah merupakan hal yang menghancurkan hatinya. Akan tetapi yang lebih parah lagi yang membuat ia ingin mengakhiri hidupnya adalah kenyataan betapa Priyadi telah tega menyuguhkan dirinya kepada Ki Klabangkolo. Berarti Priyadi tidak mencintainya dan menganggapnya sebagai barang permainan dan hiburan saja yang mudah dipinjamkan kepada laki-laki lain!

   Teringat akan itu semua, air mata bercucuran dari kedua mata Sumarni. Akan tetapi ketika ia teringat betapa ia telah mencuri pecut pusaka itu, menyerahkan kepada musuh Priyadi, hatinya agak terhibur seperti sebatang lilin dinyalakan di tengah kegelapan yang menyelimuti hatinya. Setidaknya ia telah dapat membalas dendam! Cintanya terhadap Priyadi yang tadinya menjulang setinggi langit penuh harapan dan cita cita, kini berubah menjadi kebencian yang sedalam lautan!

   Tanpa kita sadari, cinta yang begitu kita agung-agungkan, kita anggap sebagai perasaan yang murni, yang suci, ternyata bergelimang nafsu untuk menyenangkan diri-sendiri. Sesungguhnya bukan si dia yang kita cinta, melainkan diri kita sendiri, kita menginginkan kemenangan diri sendiri melalui orang yang katanya kita cinta! Oleh karena itu, kala orang yang kita cinta itu, yang kita inginkan agar selalu menyenangkan hati kita, melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan, maka cinta kita terbalik menjadi benci! Cinta yang kita dengung-dengungkan sebagai cinta suci itu, ternyata dasarnya demikian. Kita mencinta dia karena dia baik kepada kita dan menyenangkan hati kita dan kalau dia tidak lagi baik kepada kita dan menyusahkan hati kita, kita lalu membencinya!

   Dapatkah perasaan yang dapat berubah ini, yang berdasarkan kepentingan dan kesenangan diri sendiri ini, kita sebut cinta? Apalagi cinta murni dan suci? Bukankah cinta seperti itu tiada lain adalah cinta nafsu belaka? Kalau kita mau membuka mata dan mengamati "cinta"

   Yang berada dalam hati kita, maka akan terbukalah mata batin kita dan melihat betapa hal yang kita agungkan dan sucikan itu ternyata amatlah kotornya.

   Jelaslah bahwa yang kita sebut cinta itu tiada lain adalah merupakan jual-beli belaka. Kita beli dengan cinta kita dengan pamrih memperoleh imbalan atau balasan yang berlipat ganda. Mendapatkan cinta, perhatian, pelayanan, kesetiaan, pendeknya segala hal yang menyenangkan hati kita. Cinta yang kita tujukan kepada seseorang saja, Sudah pasti mengandung pamrih dan yang begitu jelaslah bukan cinta, melainkan nafsu ingin menyenangkan diri sendiri. Patut kita telusuri dan amati, adakah cinta yang lain? Cinta yang tidak ditujukan kepada seseorang tertentu saja, cinta yang tidak berpamrih, cinta yang benar-benar perasaan kasih sayang terhadap sesamanya?

   Adakah api itu masih bernyala dalam hati sanubari kita, walaupun hanya kecil? Ataukah api itu sudah padam sama sekali? Kalau demikian halnya, maka amat perlulah bagi kita untuk mohon kepada Tuhan Yang Maha Kasih, agar api cinta itu dapat dihidupkan kembali dalam hati sanubari kita. Kalau api kasih sayang itu sudah benar-benar bernyala dalam hati sanubari kita, maka cinta asmara antara pria dan wanita tidak merupakan persoalan lagi! Nafsu hanya sebagai peserta dan hamba, bukan lagi menjadi pemimpin dan majikan!

   Sumarni yang tenggelam ke dalam lamunannya, tidak tahu bahwa ada lima pasang mata mengikuti gerak geriknya, bahkan pemilik lima pasang mata itu lalu mengikutinya, membayanginya. Lima pasang mata yang liar dan yang memandang kepadanya penuh nafsu berahi, pakaian yang compang camping dari Sumarni itu tidak tampak oleh lima pasang mata itu. Yang tampak adalah kulit putih kuning mulus yang tampak di sana sini, di antara pakaian yang compang camping itu. Sumarni memang seorang gadis muda yang ayu dan memiliki kulit dan tubuh yang mudah membangkitkan gairah nafsu para pria.

   Sumarni baru terkejut setengah mati ketika tiba-tiba lima orang laki-laki tinggi besar dan kasar berlompatan menghadang di depannya. Muka mereka yang kasar dan bengis itu menyeringai bagaikan lima ekor srigala melihat seekor domba. Sumarni menoleh ke kanan kiri seperti hendak minta pertolongan, akan tetapi ia berada di atas jalan di tengah hutan. Sepi sekali di tempat itu, yang ada hanya ia dan lima orang laki-laki yang usianya antara Tiga puluh sampai empat puluh tahun itu.

   Seorang di antara lima orang laki-laki itu, yang berambut hitam bermata lebar dan kumisnya sekepal sebelah, agaknya merupakan pemimpin mereka melangkah maju dan sinar matanya seakan-akan hendak menelan bulat-bulat tubuh Sumarni.

   "Heh-heh heh, wong ayu, wong manis denok merak ati! Siapakah engkau dan mengapa engkau seorang diri di sini, hendak pergi ke manakah, Sayang?"

   Baru melihat sikap dan mendengar ucapan orang itu saja, seluruh bulu di tubuh Sumarni sudah bangkit meremang karena ia merasa ngeri dan takut. Jantungnya berdebar tegang sampai terdengar berdegup di dalam telinganya. Ia memandang laki-laki itu seperti mata seekor kelinci memandang harimau dan suaranya lirih gemetar ketika ia menjawab.

   "Saya........saya bernama Sumarni.......saya hendak pergi.......ke Ngawi."

   Hampir Sumarni tidak dapat mengeluarkan kata-kata saking takutnya, Orang di depannya itu mengingatkan ia kepada Ki Klabangkolo dan hatinya menjadi ngeri dan takut sekali.

   "Ha-ha ha, jangan takut, wong ayu! Aku Wiro Gembong tidak pernah galak terhadap wanita cantik seperti engkau! Engkau hendak pergi ke Ngawi? Mari kuantar, Sumarni cah ayu!"

   Berkata begini, laki laki bermuka hitam bermata lebar dan berkumis sekepal sebelah itu menjulurkan tangannya yang besar dan berbulu untuk memegang lengan tangan Sumarni.

   Sumarni terkejut, menarik lengannya dan mundur ketakutan.

   "Tidak......!"

   Katanya gemetar.

   "Saya.....saya hendak berjalan sendiri, tidak ingin menyusahkan andika sekalian. Biarlah saya lewat.........!"

   "Ha-ha ha, tentu saja, bahkan aku akan mengantarmu sampai ka Ngawi. Akan tetapi engkau harus menjadi isteriku lebih dulu. Kebetulan sekali aku masih belum beristeri. Sumarni, engkau akan hidup terhormat sebagai isteri Wiro Gembong!"

   Kata laki-laki itu dan kembali dia bergerak ke depan, Sekali ini Sumarni tidak dapat mengelak dan dia sudah dirangkul Wira Gembong. Sumarni meronta-ronta, akan tetapi ia seperti seekor tikus dalam cengkeraman kucing. Empat orang kawan atau anak buah Wiro Gembong tertawa bergelak melihat ini. Karena Sumarni meronta-ronta, mencakar menggigit. Wiro Gembong lalu mengangkat tubuh wanita muda itu dan memanggulnya!

   "Lepaskan aku.......! Lepaskan.......! Ahh, toloonggg.....!"

   Sumarni meronta dan menjerit-jerit.

   Pada saat itu terdengar derap kaki kuda dan seekor kuda datang dengan cepat sekali. Ketika tiba di tempat itu, penunggangnya, seorang laki-laki gagah berusia sekitar empat puluh tahun melompat dari atas punggung kuda dan menghadapi Wiro Gembong dan empat orang kawannya. Orang itu bertubuh sedang, akan tetapi sikap dan pandang matanya penuh wibawa dan kegagahan.

   "Lepaskan gadis itu keparat!"

   Bentaknya kepada Wiro Gembong, suaranya memerintah dan tegas.

   Wiro Gembong memandang dengan alis berkerut dan mata penuh selidik. Dia melihat laki-laki itu bertubuh sedang saja, pakaiannya seperti seorang pejabat dan di pinggangnya terselip sebatang keris. Melihat sikap orang itu, dia menjadi marah dan menoleh kepada empat orang anak buahnya.

   "Bunuh dia, rampas bawaannya dan kudanya!"

   Empat orang anak buah itu adalah orang-orang yang sudah biasa mempergunakan kekerasan dan memaksakan kehendak sendiri. Mereka sudah biasa membunuh orang. Entah sudah berapa banyaknya orang yang mereka bunuh. Kini mendengar perintah pimpinan mereka, empat orang itu sudah mencabut golok dari pinggang mereka dan sambil mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring, mereka seolah berlomba untuk membunuh orang yang berani menentang mereka.

   Akan tetapi ternyata orang itu cekatan bukan main menghadapi terjangan empat orang yang memegang golok itu sama sekali dia tidak gentar atau gugup. Dengan lincahnya tubuhnya bergerak cepat mengelak, kaki tangannya bergerak dan dua orang penyerang terkena tamparan tangan kirinya dan tendangan kaki kanannya. Dua orang itu terputar dan terpelanting, tak dapat bangun lagi! Dua orang yang lain menjadi terkejut akan tetapi kemarahan membuat mereka seperti buta, tidak menyadari bahwa mereka berhadapan dengan orang yang digdaya. Dua orang itu menyerang dari, kanan kiri, golok mereka membacok ke arah kepala dan perut.

   Laki-laki itu menghindar kan diri dengan melangkah ke belakang Ketika dua batang golok itu menyambar dan lewat, kakinya bergerak mencuat ke kiri dan menghantam dada lawan yang berdiri di kiri.

   "Dessss.....!!"

   Orang itu terjengkang dan terbanting keras. Orang yang berada di kanan kembali membacokkan goloknya ke arah kepala. Akan tetapi sekali ini, orang yang diserang itu tidak menjatuhkan diri, bahkan melangkah maju ke kanan, mendahului gerakan orang itu dan menangkap tangan yang membacokkan golok dari bawah. Sekali dia memutar dan memuntir lengan yang dipegangnya, penyerang itu berteriak dan tubuhnya terputar lalu terbanting ke bawah. Laki-laki yang gagah perkasa itu menyusulkan tendangan.

   "Desss......!"

   Orang terakhir dari empat anggauta gerombolan itu terpental dan tubuhnya terguling-guling, selelah berhenti tubuh itu terkapar tidak dapat bangun lagi!

   Wiro Gembong terbelalak dan dia marah sekali. Dia menurunkan tubuh Sumarni dari pondongannya, mendorong wanita itu sehingga terhuyung dan roboh ke atas tanah, kemudian dia melompat ke depan laki-laki yang telah merobohkan empat orang anak buahnya.

   "Babo babo, keparat jahanam! Siapakah engkau yang berani menjual lagak di depan Warok Wiro Gembong? Apakah engkau sudah bosan hidup?"

   Laki-laki itu memandang dengan sinar mata tajam, setelah dia melirik ke arah Sumarni dan melihat bahwa gadis itu tidak terluka dan kini sudah bangkit berdiri dan memandang dengan sepasang mata ketakutan seperti mata seekor kelinci yang tersudut.

   "Kiranya engkau yang bernama Warok Wiro Gembong! Kebetulan sekali karena sudah menjadi tugasku untuk membasmi gerombolan dan penjahat seperti engkau ini. Aku adalah Senopati Suroantani yang siap untuk menumpas dan mengakhiri kejahatanmu!"

   Warok Wiro Gembong terkejut juga mendengar bahwa dia berhadapan,dengan seorang senopati dari Mataram. Akan tetapi karena dia sudah tidak dapat menyingkir lagi, timbul kenekatannya. Dia mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang. Kemudian tanpa mengeluarkan kata-kata dia sudah menubruk ke depan, kedua lengannya dikembangkan dan kedua tangan menerkam ke arah leher senopati itu.

   Ki Suroantani bergerak cepat. Dia menghindarkan diri ke kanan sehingga tubrukan itu luput dan selagi tubuh Wiro Gembong condong ke depan, kakinya bergerak menendang lutut warok itu.

   "Dukkk......!"

   Tak dapat dicegah lagi tubuh warok itu roboh terlungkup! Akan tetapi dia sudah melompat bangun lagi dan kini mengamuk, menyerang bertubi-tubi ke arah tubuh Suroantani. Senopati itu mengandalkan kelincahan tubuhnya mengelak ke sana sini. Saking bernafsunya Wiro Gembong menyerang, dia menggunakan seluruh tenaganya dan sebentar saja, karena semua serangannya luput, napasnya terengah-engah. Akhirnya dia berhenti menyerang dan sambil terengah-engah dia berkata mengejek.

   "Engkau bukan laki-laki! Bisanya hanya mengelak dan melarikan diri. Kalau memang engkau senopati Mataram yang gagah dan jantan, mari kita mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang seperti yang biasa kami para warok lakukan!"

   "Hemm, apa yang kau maksudkan, Wiro Gembong?"

   "Kita saling serang tanpa dielakkan, menerima pukulan dengan kekebalan kulit. Beranikah engkau?"

   "Mengapa tidak berani? Bagaimana aturannya?"

   Tanya Suroantani.

   
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku akan memukulmu menggunakan kolor (ikat pinggang) yang kupakai ini sebanyak tiga kali dan engkau harus menerimanya tanpa mengelak. Setelah itu engkau boleh membalas dengan tiga kali pukulan atau serangan, boleh menggunakan senjata apapun dan akan kuterima dengan kekebalanku!"

   "Bagus! Aku setuju, akan tetapi dengan syarat, tidak boleh memukul kepala, hanya dari batas pinggang sampai ke leher!"

   Kata Suroantani.

   "Baik. Nah, bersiaplah menerima hantaman kolor pusakaku!"

   Kata Wiro Gembong sambil memutar-mutar kolornya yang panjang.

   Suroantani memasang kuda-kuda yang kokoh kuat.

   "Aku sudah siap. Lakukanlah pukulanmu, Wiro Gembong!"

   "Awas, terimalah pukulanku yang pertama. Pecah dadamu!"

   Kolor itu menyambar dengan amat cepat dan kuatnya, menimpa dada Suroantani yang sudah membuka bajunya sehingga menerima pukulan itu dengan dada telanjang.

   "Dessss......!!"

   Hebat sekali pukulan itu dan Suroantani mundur selangkah, akan tetapi tidak menderita luka. Dia bahkan tersenyum.

   "Pukulanmu kurang kuat, Wiro Gembong!"

   Katanya dan sudah memasang kuda-kuda lagi, membusungkan dadanya yang penuh Aji kekebalan.

   "Ini pukulan kedua! Ambrol wadukmu!!!"

   Kolor melecut lebih dahsyat lagi,

   "Darr......!!"

   Begitu hebatnya hantaman kolor itu mengenai perut sehingga tampak uap atau asap mengepul ketika kolor bertemu kulit perut. Suroantani terdorong mundur dua langkah, akan tetapi dia tetap tersenyum dan tidak terluka.

   "Hanya sebegitukah kekuatanmu, Wiro Gembong?"

   Dia mengejek.

   Wiro Gembong terbelalak. Mukanya merah dan dia merasa penasaran sekali. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan ajinya. Batu karang sekalipun akan pecah berantakan terkena pukulan kolornya tadi. Akan tetapi senopati ini sama sekali tidak roboh, terlukapun tidak!

   "Masih ada sekali lagi!"

   Katanya dan dia memutar kolornya, mulutnya berkemak kemik membaca mantera.

   "Sambutlah!"

   Teriaknya dan ujung kolor menyambar dahsyat mengarah ulu hati Suroantani, Senopati ini mengerahkan aji kekebalannya ke tempat yang dihantam.

   "Blarrr........!"

   Ujung kolor itu membalik dan Suroantani terdorong mundur dua langkah lagi, akan tetapi bibirnya masih tersenyum.

   Wiro Gembong terkejut, akan tetapi tentu saja dia merasa malu untuk mundur.

   "Bagus, engkau memang digdaya, Suroantani. Sekarang giliranmu, keluarkan senjatamu dan inilah dadaku, boleh kau serang sampai tiga kali!"

   "Aku tidak akan menggunakan senjata, Wiro Gembong. Cukup tanganku ini yang akan merobohkanmu dengan pukulanku "

   Hati Wiro Gembong menjadi senang dan besar. Dia memilki aji kekebalan cukup kuat untuk menyambut bacokan golok dan tusukan keris. Apa lagi kalau hanya kepalan tangan yang menyerangnya!

   "Baik, lakukanlah dan boleh engkau memilih bagian yang paling lunak!"

   Sumbarnya.

   "Wiro Gembong, dosamu sudah terlampau banyak. Kalau pukulanku menewaskanmu, itu merupakan hukuman yang setimpal bagimu dan jangan menjadi penasaran."

   "Pukullah, jangan banyak cerewet lagi!"

   Bentak Wiro Gembong.

   Suroantani mengerahkan tenaga saktinya, dikumpulkan di telapak tangan kanannya, kemudian dia menerjang ke depan, memukulkan tangan kanannya dengan miring ke arah dada yang bidang dan berotot itu.

   "Haaiiiiitt......blarrrr.....!!"

   tubuh yang tinggi besar itu terjengkang dan terbanting keras lalu rebah telentang, tidak bergerak lagi. Matanya terbelalak dan nyawanya putus karena isi dadanya terguncang dan remuk.

   Suroantani memeriksa keadaan lima orang itu. Yang tiga orang tewas dan dua orang masih hidup walaupun terluka.

   "Urus dan kuburkan tiga orang kawan kalian yang tewas ini. Aku mengampuni kalian dan tidak akan membunuh kalian. Akan tetapi kalau lain kali aku masih mendengar kalian melakukan kejahatan, maka tidak ada ampun lagi bagi kalian. Mulai sekarang bertaubatlah dan hiduplah sebagai orang baik-baik!"

   Demikian katanya kepada dua orang anak buah gerombolan itu. Setelah itu dia lalu menghampiri Sumarni yang masih berdiri ketakutan.

   "Nimas, mari kita pergi dari sini. Jangan takut, aku akan mengawalmu."

   Sumarni yang masih ketakutan hanya dapat mengangguk. Bagaimanapun juga, sikap pria ini menimbulkan kepercayaan dalam hatinya dan tidak dapat disangkal lagi bahwa pria ini telah menyelamatkannya dari ancaman yang akan menghancurkan diri dan kehormatannya. Ia masih bergidik ngeri kalau teringat akan perbuatan si muka hitam bernama Warok Wiro Gembong tadi kepadanya. Ketika pria itu menuntun kudanya, iapun mengikuti dari belakang meninggalkan tempat yang menyeramkan itu.

   Mereka melangkah terus sampai keluar dari daerah berhutan itu. Setelah mereka keluar dari dalam hutan. Suroantani berhenti melangkah dau otomatis Sumarni juga menghentikan langkahnya dan memandang kepada pria itu. Suroantani juga menoleh kepadanya dan keduanya saling bertemu pandang. Barulah teringat oleh Sumarni bahwa ia sama sekali belum mengucapkan terima kasih pada pria itu, pada hal pria itu baru saja membebaskannya dari cengkeraman bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut. Iapun teringat bahwa pria ini tadi mengaku kepada Wiro Gembong se bagai seorang senopati Mataram yang bernama Suroantani. Seorang senopati! Seorang panglima! Teringat ini, Sumarni lalu menjatuhkan diri bersimpuh dan menyembah.

   "Kanjeng Senopati, Saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan paduka kepada saya."

   Ia menyembah lagi.

   Suroantani tersenyum. Begitu berjumpa dan melihat Sumarni, senopati yang biarpun usianya sudah empat puluh tahun namun belum beristeri itu merasa tertarik dan iba sekali. Ada daya tarik luar biasa dalam diri wanita ini yang membuat hatinya bergetar.

   "Nimas, bangkitlah dan tidak perlu mengucapkan terima kasih. Kalau hendak berterima kasih, berterima kasihlah kepada Gusti Allah yang telah menuntun kudaku sehingga aku lewat di tempat ini pada saat engkau diganggu para gerombolan itu. Aku sendiri hanya melaksanakan kewajibanku untuk memberantas semua kejahatan yang dilaku"kan orang dan menolong mereka yang terancam bahaya."

   Sumarni memandang kagum dan iapun bangkit berdiri ketika Suroantani menyentuh pundaknya dan menyuruhnya berdiri.

   "Kanjeng Senopati, paduka sungguh seorang yang luhur budi."

   Suroantani tersenyum. Dia sendiri merasa heran mengapa hatinya merasa demikian senangnya mendengar pujian yang keluar dari mulut wanita ini.

   "Sudahlah, tidak perlu memuji, nimas. Sebenarnya, siapakah andika dan mengapa andika seorang wanita muda berada seorang diri di dalam hutan?"

   "Nama saya Sumarni dan saya......saya........"

   Sumarni tidak dapat melanjutkan. Ia teringat akan keadaan dirinya dan kesedihan membuat ia menangis. Ia menangis terisak-isak sambil menutupkan kedua tangannya ke depan mukanya. Air matanya mengalir melalui celah-celah jari tangannya.

   Suroantani membiarkan wanita itu menangis karena dia tahu bahwa bagi seorang wanita, tangis merupakan penyaluran rasa duka yang menekan batin. Setelah tangis itu agak mereda, barulah dia berkata dengan suaranya yang tenang penuh kesabaran.

   "Sudahlah, nimas Sumarni. Hentikan tangismu dan ceritakanlah kepadaku apa yang membuatmu bersedih. Siapa tahu, barangkali aku akan dapat menolongmu."

   Setelah menyusut air matanya dan menghentikan isak tangisnya, Sumarni lalu bercerita. Ia telah demikian percaya kepada pria ini sehingga ia menumpahkan semua isi hatinya

   "Saya adalah seorang yang bernasib malang sekali. Kanjeng Senopati."

   "Namaku Suroantani, Sumarni. Rasanya tidak enak engkau menyebutku seperti itu. Sebut saja aku....... eh, paman."

   Kata senopati itu walaupun di dalam hatinya dia ingin disebut kakangmas, bukan paman!

   "Terima kasih, Paman Suroantani. Akan tetapi saya hanya seorang gadis dusun..."

   "Akupun berasal dari desa, Sumarni Nah, ceritakan pengalamanmu sampai engkau terlunta-lunta seorang diri di sini."

   Mereka duduk di bawah sebatang pohon asem dan Suroantani membiarkan kudanya makan rumput yang tumbuh subur di tepi jalan. Setelah menghela napas beberapa kali, Sumarni melanjutkan ceritanya.

   "Ketika saya masih tinggal di dusun Jaten, saya dirayu dan ditipu seorang pemuda yang mengaku sebagai dewa sungai bernama Permadi. Kemudian dia datang dan membawa saya pergi. Baru kemudian saya ketahui bahwa dia bukanlah dewa sungai dan namanya bukan Permadi melainkan Priyadi ketua Jatikusumo........"

   "Ahhh! Priyadi ketua Jatikusumo?"

   Seru Suroantani. Dia sendiri melaksanakan perintah Sultan Agung untuk mengamati gerakan Puteri Wandansari yang memimpin pasukan membantu perkumpulan Nogo Dento untuk menumpas persekutuan pemberontak yang dipimpin oleh Priyadi ketua Jatikusumo!

   "Kenalkah paduka dengan dia, paman?"

   "Tidak mengenal, akan tetapi aku tahu siapa jahanam itu!"

   Lega rasa hati Sumarni mendengar Suroantani menyebut jahanam kepada Priyadi. Hal ini membuktikan bahwa senopati ini bukan sahabat Priyadi, melainkan musuhnya!

   "Memang dia itu manusia berwatak iblis paman. Saya dijadikan barang mainannya, bahkan dia begitu keji telah tega menyuguhkan saya kepada seorang pembantunya yang menyeramkan, bernama Ki Klabangkolo! Hati saya hancur, paman dan malam itu saya mengambil keputusan untuk membunuh diri di Laut Kidul."

   "Keparat jahanam, kejam benar manusia iblis itu!"

   Kata Suroantani dengan geram.

   "Lalu bagaimana, nimas Sumarni?"

   "Rupanya Gusti Yang Maha Kuasa belum menghendaki saya mati, paman. Saya ditolong oleh Denmas Sutejo dan Den Roro Retno Susilo. dua orang gagah perkasa yang memusuhi Priyadi."

   Suroantani mengangguk-angguk. Dua nama itupun tidak, asing baginya karena dia sudah mendengar ketika Cangak Awu dan Puteri Wandansari melapor kepada Sang Prabu.

   "Untung mereka dapat mencegahmu membunuh diri, Sumarni."

   "Sebetulnya saya tidak mau dihalangi niat saya membunuh diri. Akan tetapi Den Roro Retno Susilo memberi jalan kepada saya untuk dapat membalas dendam kepada Priyadi."

   "Bagaimana jalan itu? Bagaimana caranya engkau dapat membalas dendam kepada Priyadi? Aku mendengar kabar bahwa dia seorang yang sakti mandraguna."

   "Memang benar, paman. Den Roro Retno Susilo minta bantuanku agar saya dapat mencuri pecut pusaka yung bernama Bajrakirana karena hanya kalau kehilangan pecut saktinya itu Priyadi dapat dikalahkan dan dibinasakan."

   "Ah, begitukah? Lalu engkau sudah melakukan itu?"

   Sumarni mengangguk.

   "Saya sudah melakukannya, paman. Malam tadi kucuri pecut itu dan sudah kuserahkan kepada Den Roro Retno Susilo. Ia menasihati saya agar saya segera melarikan diri ke perkampungan Nogo Dento yang berada di daerah Ngawi, di tepi Bengawan Solo untuk berlindung kepada perkumpulan itu yang dipimpin ketuanya bernama Ki Harjodento. Karena saya merasa yakin bahwa Priyadi dan kaki tangannya tentu akan mencari saya, maka saya segera melarikan diri secepatnya, Sejak malam tadi, saya berjalan setengah berlari tanpa berhenti sampai pakaian saya compang camping dan telapak kaki saya luka-luka, sampai akhirnya saya tiba di sini dan dihadang oleh gerombolan tadi, paman. Untung bagi saya, paman datang dan menyelamatkan diri saya."

   Suroantani menghela napas panjang. Selama Sumarni bercerita, pandang matanya bergantung kepada sepasang bibir yang bergerak-gerak indah itu. Betapa ayu dan manisnya wanita yang bernasib malang ini!

   "Kasihan engkau, nimas Sumarni. Jadi sekarang engkau hendak pergi keperkampungan Nogo Dento? Kebetulan sekali akupun sedang menuju ke sana sehingga aku dapat mengantarmu ke sana."

   "Terima kasih, paman. Akan tetapi hati saya gelisah sekali. Saya khawatir kalau Priyadi dan kaki tangannya mencari saya, ke dusun Jaten dan karena tidak menemukan sayu di Sana, mereka lalu mencelakai orang tua saya.

   "Hemm, kekhawatiranmu beralasan juga, Sumarni. Kalau begitu, mati kuantar engkau pulang dan ke dusun Jaten yang tidak berapa jauhnya dari sini. Kita perlu mengajak orang tuamu untuk meninggalkan dusun itu sementara waktu agar terbebas dari ancaman Priyadi dan anak buahnya."

   Bukan main girangnya hati Sumarni mendengar ini. Ia memandang wajah senopati itu dengan perasaan girang dan bersyukur.

   "Ah, paman Suroantani, budimu bertumpuk-tumpuk kepadaku. Bagaimana saya akan mampu membalasnya?"

   Suroantani tersenyum.

   "Aku tidak mengharapkan bantuan apapun, nimas. Sudah kukatakan, aku membantumu karena hal itu merupakan kewajibanku, tidak mengandung pamrih apapun. Akan tetapi, aku hanya memiliki seekor kuda, dan akan amat melelahkanmu kalau kita melakukan perjalanan dengan jalan kaki. Bagaimana kalau engkau kubocengkan di atas kuda? Maukah engkau, Sumarni? Kalau engkau merasa rikuh, akupun tidak memaksa. Engkau boleh duduk di atas kudaku dan aku akan menuntun kuda itu."

   "Ah, tidak, paman. Saya percaya dan tidak rikuh kepadamu. Paman sudah begitu baik kepada saya. bagaimana saya dapat membiarkan paman berjalan kaki dan menuntun kuda, sedangkan saya menunggang kuda? Biarlah saya membonceng paman,"

   Kata Sumarni, akan tetapi wajahnya berubah kemerahan karena sesungguhnya, dalam hatinya ia merasa rikuh duduk berhimpitan di atas punggung seekor kuda bersama seorang pria yang baru saja dikenalnya. Akan tatapi, ia merasa kagum, suka dan percaya kepada Suroantani dan ia percaya sepenuhnya bahwa pria yang berwatak satria ini tidak akan, mempunyai pikiran yang tidak sopan terhadap dirinya.

   Setelah Sumarni menyatakan persetujuannya, karena wanita itu belum pernah menunggang kuda. Suroantani lalu membantunya naik ke atas punggung kuda, kemudian dia sendiri duduk di belakang Sumarni. Dengan cara berboncengan seperti itu, kuda lalu dibalapkan dan mereka menuju ke dusun Jaten. Biarpun mereka duduk berhimpitan, Suroantani selalu bersikap sopan sehingga Sumarni merasa semakin suka dan kagum kepada pria itu,

   Dasun Jaten merupakan sebuah dusun yang tanahnya subur sehingga para penduduk dusun itu hidup dalam keadaan cukup makmur dan tenang tenteram. Peristiwa perginya Sumarni yang dibawa "Dewa penjaga sungai!"

   Merupakan cerita yang tersebar luas di dusun itu dan semua orang mempercaya cerita yang keluar dari mulut Ki Karyotomo dan isterinya, orang tua Sumarni itu, Sumarni telah diperisteri oleh dewa penjaga sungai, demikianlah anggapan mereka. Para penduduk dusun itu masih amat terbelakang dan amat sederhana sehingga mereka percaya akan ketahyulan. Pula, bagaimana mereka tidak akan percaya kalau buktinya Ki Karyotomo kini menjadi kaya, dapat memperbaiki rumah dan membeli sawah, memiliki banyak uang yang didapatnya dari pemberian mantunya yang dewa itu?

   Ki Karyotomo sendiri dan isterinya juga tidak pernah meragukan bahwa anak perempuan mereka telah menjadi isteri dewa penjaga sungai. Demikian besar kepercayaan hati mereka sehingga setiap malam Jumat Kliwon, selapan (tiga puluh lima hari) sekali, mereka pasti mengirim sesaji dan membakar kemenyan di tepi sungai dan menghanyutkan sesaji itu! Rupanya Agama Islam belum memasuki dusun itu sehingga penduduknya masih dipengaruhi tahyul.

   Pada suatu senja, ketika Ki Karyotomo dan isterinya sedang duduk di beranda depan rumah mereka, menghadapi singkong rebus dan wedang kopi sambil bercakap-cakap membicarakan Sumarni, anak perempuan yang mereka rindukan, tiba-tiba muncul dua orang laki laki. Mereka itu adalah dua orang yang usianya sudah lima puluh tahun lebih. Yang seorang bertubuh tinggi besar berkumis tebal dan seorang lagi bertubuh pendek kecil. Akan tetapi wajah mereka berdua tampak seram dan bengis. Mereka memasuki pekarangan rumah itu dan menghampiri suami isteri yang sedang duduk bercakap-cakap itu.

   Tadinya Ki Karyotomo dan isterinya mengira bahwa yang datang adalah tetangga atau teman sedusun, akan tetapi setelah dua orang itu datang dekat dan suami isteri itu tidak mengenalnya mereka segera bangkit berdiri untuk menyambut dua orang tamu yang tidak mereka kenal itu. Seperti yang menjadi kebiasaan bagi para penduduk dusun, mereka selalu menerima datangnya tamu dengan hati dan tangan terbuka dan penuh rasa keluargaan. Demikian pula Ki Karyotomo dan isterinya. Dengan senyum di mulut mereka menuruni anak tangga menyambut dua orang tamu mereka.

   "Selamat datang. Ki Sanak!"

   Sambut Ki Karyotomo dengan ramah.

   "Silakan masuk ke dalam gubuk kami yang tua daa buruk."

   Akan tetapi dua orang pendatang itu sama sekali tidak memperlihatkan sikap sebagai tamu-tamu yang baik.

   "Apakah ini rumah Sumarni?"

   Tanya orang yang berkumis tebal, suaranya menghardik. Ki Karyotomo masih bersikap ramah dan lunak. Dia mengangguk-angguk dan tersenyum.

   "Benar sekali, ini adalah rumah Sumarni dan kami berdua adalah ayah dan ibu Sumarni."

   Diam-diam dia menduga apakah dua orang tamu aneh ini merupakan utusan dewa sungai, mantu mereka?

   Tiba-tiba orang yang bertubuh pendek kecil melangkah maju dau membentak dengan suara kasar.

   "Panggil ia keluar sekarang juga!"

   Mulai terkejutlah hati Ki Karyotomo dan isterinya. Mereka memandang kepada dua orang itu dengan heran dan bingung. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa dua orang itu adalah jagoan yang terkenal dari Wirosobo, orang-orang yang sudah biasa memaksakan kehendak dengan menggunakan kekuasaan dan kekerasan. Mereka adalah Ki Warok Petak yang tinggi besar berkumis tebal dan Ki Baka Kroda yang bertubuh pendek kecil.

   "Memanggilnya keluar? Akan tetapi ia.... ia tidak berada di sini......"

   Kata Ki Karyotomo dengan alis berkerut. Mulai tidak senang hatinya melihat sikap kedua orang tamunya yang kasar itu, sikap yang tidak biasa mereka lihat di dusun itu.

   Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda memang melaksanakan perintah Priyadi untuk mencari Sumarni di dusun tempat tinggal orang tuanya, yaitu di Jaten. Ki Warok Petak menjadi marah mendengar jawaban Ki Karyotomo Tiba-tiba dia menggerakkan tangan kanannya mencengkeram baju di dada tuan rumah itu, mengguncangnya dengan kuat sehingga tubuh Ki Karyotomo terguncang-guncang, lalu mendorong sehingga tubuh tuan rumah itu jatuh terjengkang.

   "Jangan main gila kamu! Hayo katakan di mana Sumarni berada, di mana ia bersembunyi!

   Kalau tidak mau mengaku, akan kuhancurkan kepalamu !"

   Bentak Ki Warok Petak.

   "Dan engkau perempuan dusun! Katakan di mana anakmu Sumarni itu atau kupatahkan lehermu!"

   Bentak Ki Baka Kroda sambil mendorong Mbok Karyotomo sehingga wanita itu terpelanting dan jatuh di dekat suaminya.

   Kedua orang suami isteri itu merangkak bangkit dan Ki Karyotomo masih mencoba untuk bersikap ramah dan sabar.

   "Ki Sanak, harap andika berdua bersabar hati dan silakan duduk. Mari kita bicara dengan baik-baik dan kami akan menceritakan di mana anak kami Sumarni berada."

   "Nah. begitu lebih baik!"

   Kata Ki Warok Petak sambil melangkah dan mendaki anak tangga menuju ke beranda, didahului oleh Karyotomo dan Isterinya, lalu bersama Ki Baka Kroda dia duduk di atas kursi menghadapi meja. Suami isteri itu tetap berdiri di depan mereka.

   "Hayo cepat katakan di mana Sumarni berada!"

   "Sumarni ikut dengan suaminya. Ki Sanak."

   Dua orang jagoan itu terbelalak dan saling pandang.

   "Ikut suaminya? Di mana?"

   Bentak Ki Baka Kroda tidak percaya.

   Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kami sendiri tidak tahu. Mungkin dibawa ke sungai"

   "Ke sungai? Mengapa ke sungai?"

   Tanya Ki Warok Petak.

   "Kami sungguh tidak tahu. Hanya karena suaminya adalah Dewa Penjaga Sungai yang bernama permadi, tentu saja ia dibawa ke sungai......"

   Kata Ki Karyotomo lalu segera menerangkan.

   "sudah hampir tiga bulan ini Sumarni dibawa suaminya pergi dari sini....."

   Dua orang jagoan itu bangkit berdiri, muka mereka marah dan mata mereka melotot saking marahnya karena mereka merasa dipermainkan.

   "Braakkk!!"

   Meja itu pecah berantakan dihantam tangan kiri Ki Warok Petak.

   "Kau lihat ini? Kepalamu akan pecah seperti ini kalau engkau berani mempermainkan kami!"

   "Bressss......!"

   Sebuah kursi ditendang Ki Baka Kroda dan kursi itu melayang dan menghantam tubuh suami isteri itu sehingga mereka roboh terjengkang.

   "Nyawa kalian berada di tangan kami dan kalian masih berani mempermainkan kami"

   "Aduh ki Sanak..... kami tidak main-main.... suamiku tidak main-main! memang benar anak kami Sumarni dibawa pergi suaminya Dewa Penjaga Sungai!"

   Mbok Karyotomo berkata dengan ketakutan.

   "Jahanam! Kalian berani membohongi kami? Kalian kira kami begitu bodoh untuk mempercayai omongan kalian? Hayo sekali lagi, katakan di mana Sumarni, atau kami akan menyembelih kalian!"

   Hardik Ki Warok Petak sambil mencabut goloknya yang besar dan mengkilap tajam.

   Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda me"masuki pekarangan. Suroantani membantu Sumarni turun dari atas punggung kuda dan gadis itu segera menjerit ketika melihat ayah ibunya rebah di tanah diancam oleh Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda yang ia kenal sebagai anak buah Priyadi,

   "Bapak...! Simbok.......!"

   Sumarni lari menghampiri ayah ibunya dan berlutut, merangkul ibunya sambil menangis.

   Melihat kemunculan Sumarni Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda tertawa senang.

   "Ha-ha-ha, ternyata engkau muncul juga, Sumarni! Hampir saja ayah ibumu kami bunuh karena kebandelan mereka!"

   "Sumarni, hayo engkau cepat ikut bersama kami. Denmas Priyadi sudah menunggu-nunggumu!"

   Kata Ki Baka Kroda.

   "Tentu engkau akan diberi hadiah, ha-ha-ha"

   Kata Ki Warok Petak.

   "Tidak! Aku tidak sudi ikut kalian!"

   Sumarni berteriak lantang dan berani.

   "Begitukah? Ha ha ha, mau atau tidak mau engkau harus ikut dengan kami! Aku akan senang memondongmu dan membawamu pulang!"

   Kata pula Ki Warok Petak.

   Pada saat itu, Suroantani sudah memasuki beranda.

   "Nimas Sumarni, ajaklah ayah ibumu masuk, biar aku yang menghadapi dua orang berandal ini!"

   Katanya dengan sikap tenang.

   Ki Warok Petak dan Ki Buka Kroda terbelalak memandang kepada Suroantani. Tentu saja mereka berdua marah bukan main melihat ada orang berani melindungi Sumarni dan menghadapi mereka dengan sikap yang demikian menantang.

   Sumarni membangunkan ayah ibunya dan mengajak mereka masuk, setelah lebih dulu menoleh kepada Suroantani dan berkata.

   "Paman, mereka ini adalah Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda, dua orang anak buah Priyadi. Harap paman berhati-hati menghadapi mereka ini yang kejam dan jahat."

   Seteluh berkata demikian, ia menggandeng ayah ibunya memasuki rumah, akan tetapi mereka mengintai dari dalam dengan hati tegang walaupun Sumarni sudah tahu bahwa penolongnya adalah seorang senopati yang digdaya dan gagah perkasa.

   "Babo babo. keparat! Siapakah engkau yang berani mencampuri urusan kami?"

   Bentak Ki Warok Petak.

   "Kakang Warok Petak, agaknya orang ini sudah bosan hidup!"

   Kata Ki Baka Kroda.

   "Hemm, kiranya andika berdua inilah yang bernama Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda, dua orang benggolan dari Wirosobo itu? Bagus! Hari ini andika berdua bertemu denganku, pasti tidak akan kuberi ampun, apa lagi karena kalian telah menjadi antek pemberontak. Ketahuilah, aku adalah Suroantani, senopati Mataram yang siap untuk menumpas gerombolan pemberontak macam kalian!"

   Terkejut Juga dua orang jagoan itu mendengar bahwa mereka berhadapan dengan Senopati Suroantani yang nama besarnya sejajar dengan Senopati Mertoloyo dan lain-lain senopati di Mataram yang terkenal digdaya. Akan tetapi karena mereka sudah berhadapan dengan Suroantani, mereka memberanikan diri dan menjadi nekat. Apa lagi mereka berdua, sedangkan senopati itu hanya seorang diri.

   "Bagus! Kiranya Senopati Suroantani yang berhadapan dengan kami. Sekaranglah saatnya engkau mampus di tangan kami!"

   Kata Ki Warok Petak dan langsung saja dia menggunakan golok yang sudah berada di tangan kanannya untuk menyerang dengan bacokan cepat dan kuat ke arah leher sang senopati. Suroantani maklum bahwa kedua orang lawannya ini adalah orang-orang yang digdaya, tidak dapat disamakan dengan mendiang Wiro gembong, maka diapun tidak berani sembarangan menerima serangan golok itu. melainkan menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dengan merendahkan tubuh dan bergeser ke kiri.

   Golok itu meluncur lewat di atas kepalanya, lalu dengan cepat tangan kanannya menampar ke atas untuk menyerang siku kanan lawan yang memegang golok. Akan tetapi Ki Warok Petak sudah menarik lengannya sehingga sambaran itu luput. Pada saat itu, terdengar suara bersiutan dan tampak tiga pucuk sinar berkilat menyambar ke arah tubuh Suroantani. Senopati yang sudah banyak pengalaman bertanding ini dapat menduga bahwa dia diserang dengan senjata rahasia. Memang benar dugaannya. Tiga sinar itu adalah tiga batang cundrik terbang yang meluncur ke arah leher, dada dan perutnya, dilepas oleh Ki Baka Kroda. Senopati Suroantani cepat melempar tubuh ke samping, terus bergulingan di atas lantai sehingga tiga batang cundrik itu luput. Ketika dia melompat bangun, Ki Baka Kroda yang merasa penasaran melihat serangan cundriknya tidak berhasil, telah menerkam maju sambil menusukkan kerisnya ke arah lambung Suroantani.

   "Tranggg....... !!". Tampak bunga api berpijar ketika dua batang keris itu beradu. Ternyata Sambil bergulingan tadi, Suroantani telah mencabut kerisnya karena dia maklum bahwa menghadapi dua orang lawan tangguh itu dia harus menggunakan kerisnya. Maka ketika Ki Baka Kroda menyerangnya dengan tusukan keris ke arah lambungnya, dia menangkis dengan kerisnya. Tangkisan itu membuat lengan tangan kanan Ki Baka Kroda tergetar hebat dan jagoan ini melompat ke belakang dengan terkejut. Tahulah dia bahwa senopati Mataram itu memang tangguh sekali, memiliki tenaga sakti yang bukan main besarnya.

   Terjadilah pertandingan yang amat seru di pendopo yang cukup luas itu. Suara keris Ki Baka Kroda dan golok Ki Warok Petak bertemu dengan keris Suroantani berdennngan, bunga api berpijar-pijar menerangi cuaca yang mulai gelap. Tiga sosok tubuh yang bertanding itu berkelebatan sehingga orang tidak dapat melihat dengan jelas jalannya pertandingan. Di pekarangan rumah Ki Karyotomo penuh dengan penduduk dusun yang berdatangan mendengar soal ribut-ribut, apalagi ketika ada yang melihat Sumarni. Segera tersiar berita bahwa Sumarni yang dipercaya telah menjadi isteri dewa penjaga sungai telan pulang, maka berbondong-bondong orang berdatangan untuk melihat Sumarni. Akan tetapi mereka tertahan di pekarangan dan tidak berani mendekat ketika melihat ada perkelahian yang amat dahsyat terjadi di pendopo rumah itu.

   Lurah dusun itupun hadir di pekarangan itu. Ki lurah yang tidak tahu mengapa dan siapa yang berkelahi, segera menyuruh orang-orang untuk menyalakan obor agar tempat itu menjadi terang. Akan tetapi lurah inipun seorang yang mengerti bahwa yang bertanding adalah orang-orang yang memiliki kedigdayaan, maka dia tidak berani mendekat dan hanya menonton dari pekarangan.

   

Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini