Pecut Sakti Bajrakirana 21
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 21
Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda yang tadinya merasa yakin bahwa mereka berdua pasti akan mampu mengalahkan lawannya yang hanya seorang, kini mulai terkejut dan khawatir. Lawannya itu ternyata tangguh bukan main. Mereka sama sekali tidak dapat menekan lawan, bahkan mereka berdua yang terdesak oleh ancaman keris di tangan Senopati Suroantani yang bergerak cepat bagaikan kilat yang menyambar nyambar. Apa lagi melihat berkumpulnya banyak sekali orang di pekarangan itu. Mereka berdua merasa berada di pihak penyerang, pihak yang bersalah sehingga mungkin saja para penduduk dusun akan mengeroyok mereka.
Dugaan ini membuat mereka mulai merasa ketakutan dan permainan silat mereka menjadi kacau. Suroantani mempergunakan kesempatan ini untuk mendesak mereka dengan permainan kerisnya. Ketika golok Ki Warok Petak menyambar dan raksasa itu mengerahkan seluruh tenaganya dalam bacokan, Suroantani mengelak dan Ki Warok Petak terbawa oleh tenaga bacokannya sendiri sehingga tubuhnya terhuyung ke depan. Kesempatan iui dipergunakan Suroanuni untuk mengirim sebuah tendangan yang mengenai pinggang Ki Warok Petak sehingga raksasa itu terhuyung-huyung ke depan.
"Mampuslah!"
Ki Baka Kroda membentak dan kerisnya meluncur ke arah perut lawan dari arah kanan. Ki Suroantani mundur selangkah, ketika keris meluncur lewat, dia cepat menangkap pergelangan tangan lawan yang memegang keris dengan tangan kirinya, memutar lengan itu sehingga tubuh Ki Baka Kroda terputar. Pada saat itu, dada Ki Baka Kroda yang sebelah kanan terbuka dan Suroantani menusukkan kerisnya.
"Cappp......!"
Cepat dia mencabut kembali keris yang sudah menancap sampai ke gagangnya itu dan mendorong tubuh Ki Baka Kroda dengan tangan kiri. Ki Baka Kroda mengeluh, keris di tangan kanannya terlepas, kedua tangan mendekap luka di dada kanan dan diapun terkulai roboh dau tak mampu bergerak lagi, Keris milik Suroantani adalah sebatang ketis pusaka yang ampuh, maka sekali keris itu memasuki dada sampai ke gagangnya, tewaslah ki Baka Kroda seketika.
Melihat kawannya roboh. Ki Warok Petak menjadi marah, dan juga gentar. Akan tetapi karena tidak melihat jalan keluar, tidak mampu melarikan diri, dia menjadi nekat. Sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau terluka dia menyerbu lagi dan menyerang dengan golok nya secara membabi buta. Akan tetapi dengan tenang dan penuh kewaspadaan, Suroantani yang melihat golok itu menyambar dan membabat ke arah lehernya, segera dia merendahkan tubuhnya dan golok itu lewat di atas kepalanya. Pada saat itu, kerisnya kembali menusuk ke depan, tepat memasuki ulu hati Ki Warok Petak. Dia mencabut lagi kerisnya dan menendang perut lawan yang sudah terluka. Ki Warok Petak terlempar dan terbanting ke belakang dan tewas seketika karena lukanya bahkan lebih parah dibandingkan kawannya.
Sumarni dan ayah ibunya yang mengintai dari dalam, merasa girang sekali melihat dua orang jahat itu roboh dan tewas. Sumarni lalu melangkah keluar, diikuti ayah ibunya dan dengan terharu saking gembira dan terima kasihnya, ia lari menghampiri Suroantani yang masih berdiri seperti sang Gatutkaca yang baru saja mengalahkan musuh-musuhnya.
"Paman.... terima kasih...... alangkah gagahnya paman.......!"
Ia memegang tangan senopati itu dan membawa tangan itu ke depan hidung dan mulutnya untuk dicium.
Suroantani terbelalak dan jantungnya berdebar kencang. Pada saat itu yakinlah dia bahwa dia telah jatuh cinta kepada wanita yang bernasib malang ini!
Karyotomo dan isterinya tergopoh-gopoh menghampiri Suroantani. Mereka tadi sudah mendengar dari Sumarni siapa adanya pria yang gagah perkasa itu. Pria itu telah menolong anak mereka dari tangan gerombolan Wiro Gembong, dan sekarang malah menyelamatkan mereka semua dari tangan dua orang jahat itu.
"Kanjeng Senopati, kami sekeluarga menghaturkan terima kasih atas pertolongan paduka."
Kata Karyotomo sambil menyembah.
"Sudahlah, paman. Jangan banyak sungkan. Semua ini sudah menjadi kewajibanku. Yang penting sekarang membicarakan bahaya yang mengancam keluarga paman."
Sementara itu, melihat perkelahian sudah usai. Ki Lurah datang bersama para pemuda dusun yang membawa obor sehingga pendopo itu menjadi terang benderang.
"Ki Lurah, silakan masuk."
Karyotomo menyalami lurahnya.
"Ah, inikah Ki Lurah Jaten?"
Suroantani menghadapi lurah itu, lalu memperkenalkan diri.
"Ki Lurah, ketahuilah bahwa aku adalah Senopati Mataram bernama Suroantani,"
"Ah, Kanjeng Senopati.......!"
Ki Lurah cepat memberi salam.
"Cukup, Ki Lurah. Sekarang aku minta kepadamu agar suka mengurus dan mengubur jenasah kedua orang ini secara baik-baik biarpun mereka ini adalah penjahat-penjahat dan antek pemberontak Wirosobo. Aku harus menyingkirkan keluarga Nimas Sumarni dari dusun ini karena aku khawatir kalau-kalau para kawan kedua orang itu hendak mencari ke sini untuk menangkap Nimas Sumarni. Tanpa pengawalan yang kuat, keselamatan mereka bertiga terancam bahaya maut. Karena itu, aku harus mengungsikan mereka ke tempat yang aman dan terjaga."
"Kalau demikian yang paduka kehendaki, kami akan melaksanakan dengan baik."
"Dan tolong sediakan seekor kuda yang baik untuk memboyong orang tua Nimas Sumarni dari dusun ini. Besok pagi-pagi kami berangkat."
"Baik, sendiko dawuh, kanjeng!"
Ki Lurah lalu memerintahkan para pemuda untuk menyingkirkan dua mayat itu dari pendopo rumah Karyotomo. Kemudian semua orang bubaran untuk memberi kebebasan kepada keluarga itu dan memberi kesempatan kepada mereka untuk membuat persiapan pergi besok dan untuk beristirahat.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ki Lurah sudah mengirimkan seekor kuda yang cukup besar dan kuat. Karena Ki Karyotomo dan isterinya tidak pernah menunggang kuda, maka disuruh berboncengan di atas punggung kuda pembelian Ki Lurah, sedangkan Suroantani dan Sumarni berboncengan di atas punggung kuda milik senopati itu. Banyak penduduk dusun mengantar keberangkatan mereka sampai ke pintu dusun.
Kuda yang ditunggangi Suroantani dan Sumarni berjalan di depan karena senopati itu menjadi petunjuk jalan, sedangkan orang tua Sumarni mengikuti dari belakang. Karena kedua ekor kuda itu terpisah beberapa meter jauhnya, Suroantani dan Sumarni dapat bercakap-cakap tanpa terdengar oleh dua orang suami isteri itu. Sumarni merasa semakin akrab dan dekat dengan Suroantani yang bukan saja telah menyelamatkan dirinya akan tetapi bahkan sudah menyelamatkan ia sekeluarga.
"Paman Suroantani......."
Katanya lirih karena yang diajak bicara berada dekat sekali di belakang nya sehingga ia merasa seolah bersandar di dada pria itu terutama kalau kuda itu membuat gerakan ke dspan sehingga tubuhnya agak tertarik ke belakang Merasa betapa dada yang bidang itu kokoh kuat menjadi sandaran kepala dan punggungnya.
"Hemmm......? Ada apakah, nimas?"
"Paman, tanpa adanya paman, kami sekeluarga tentu telah mengalami kecelakaan, dan mungkin sudah binasa. Sekarangpun, kami bertiga menyerahkan nasib kami sepenuhnya ke tangan paman, karena kami Juga tidak tahu harus pergi bersembunyi ke mana."
"Jangan khawatir, nimas. Aku telah mempunyai rencana. Kalian akan kubawa ke perkumpulan Nogo Dento dan sementara kutitipkan di sana agar terbebas dari ancaman para penjahat itu "Paman terlalu baik, budimu terlalu besar bagi kami, paman. Akan tetapi aku sungguh merupakan orang yang hanya membikin susah orang lain saja. Aku sudah menyeret kedua orang tuaku ke dalam bahaya maut bahkan hampir saja mereka tewas karena aku, dan aku sudah pula menyusahkan paman sehingga
(Lanjut ke Jilid 23)
Pecut Sakti Bajrakirana (Seri ke 01 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 23
paman harus menentang bahaya dan menjadi repot sekali. Nasibku yang begini buruk agaknya membuat setiap orang yang dekat denganku menjadi susah pula......"
"Hemm, jangan berkata demikian, nimas. Engkau adulah seorang gadis yang baik dan aku siap untuk membelamu dan orang tuamu dengan segenap kekuatanku. Di perkampungan Nogo Demo engkau akan aman dan terlindung. Setelah nanti gerombolan yang menguasai Jatikusumo dapat dihancurkan, engkau dan orang tuamu dapat kembali ke dusun Jaten "
"Akan tetapi, kami akan selalu merasa ketakutan dan merasa terancam, paman. Hidup kami tidak akan tenteram lagi. Siapa tahu di antara gerombolan itu ada yang dapat lolos lalu mencariku di Jaten......"
"Kalau begitu, aku usulkan agar engkau dan orang tuamu pindah saja ke kota raja. Mataram agar aku dapat selalu melindungi kalian."
"Akan tetapi, di mana kami akan tinggal paman?"
"Di rumahku tentu saja. Rumahku cukup luas untuk menampung kalian bertiga."
"Ah, kami tentu akan merepotkan dan menyusahkan keluarga paman saja"
"Tidak ada yang direpotkan, nimas. Aku tidak mempunyai keluarga, aku hidup seorang diri di rumahku."
"Apa? Paman belum......belum...... beristeri?"
Tanya Sumarni heran. Bagaimana mungkin seorang laki-laki berusia empat puluhan, sudah memiliki kedudukan tinggi pula, masih membujang?
"Belum, nimas. Karena itu, aku sarankan agar kalian bertiga tinggal di rumahku sehingga aku, dapat melindungi kalian."
"Ahh, paman begitu baik! Kenapa paman begini baik terhadap diriku? Kenapa, paman Suroantani?"
"Entah mengapa...... akan tetapi aku...... aku kasihan sekali kepadamu dan aku...... aku suka sekali padamu. Kalau engkau sudi, aku ingin melindungi dirimu selamanya, aku ingin engkau hidup bersamaku, menjadi isteriku....."
Kuda melompat ke depan dan punggung Sumarni menempel di dada Suroantani. Gadis itu dapat merasakan dengan punggungnya, betapa dada yang bidang itu berdenyut keras, sama kerasnya dengan debar jantungnya sendiri mendengar pengakuan dan lamaran itu. Pinangan yang aneh dilakukan di atas kuda selagi mereka berboncengan!
"Aku....... sudi menjadi..... isterimu paman? Ah, bukankah pertanyaan itu terbalik? sepantasnya aku yang bertanya apakah paman sudi kepadaku? Aku adalah seorang yang sudah kotor ternoda paman, menjadi permainan manusia iblis seperti Priyadi bahkan dinodai oleh jahanam Ki Klabangkolo. Aku sama sekali tidak patut sama sekali tidak berharga untuk menjadi pelayan paman sekalipun......."
Sumarni tidak dapat menahan kesedihan hatinya lagi dan terisak menangis.
Lengan kiri Suroantani merangkul pinggang yang ramping itu.
"Nimas, sudahlah lupakan semua pengalaman pahit itu. Aku tahu bahwa batinmu masih bersih tak ternoda. Aku cinta padamu, aku kasihan padamu, aku ingin engkau menjadi isteriku. Maaf, kalau aku membicarakan soal ini diatas kuda, karena kita tidak akan memiliki kesempatan bicara berdua saja seperti sekarang. Jawablah, Sumarni maukah engkau menjadi isteriku?"
"Aduh, paman! Setelah Gusti Allah sendiri yang mengulurkan tangan kepadaku. Tentu saja aku suka. Aku terima dengan sepenuh hatiku. Aku serahkan jiwa ragaku kepadamu, paman......."
"Bagus, Kalau begitu aku tinggal meminangmu kepada ayah ibumu. Akan tetapi, haruslah engkau menyebut paman seterusnya kepadaku, nimas?"
Kini Sumarni benar-benar menyandarkan kepalanya di dada yang bidang itu dan kedua tangannya menangkap lengan kiri yang merangkul pinggangnya. Ia merasa demikian berbahagia, demikian aman dan damai.
"Kakangmas Suroantani.... aku merasa...."
Ia berhenti, lehernya seperti tercekik rasanya karena keharuan.
"Ya? Merasa bagaimana, nimas?"
"Aku merasa..... seolah-olah baru terlepas dari cengkeraman cakar iblis dan terjatuh ke dalam tangan yang lembut penuh kasih seorang dewa.. Terima kasih, Gusti Allah... terima kasih......"
Dan ia terisak lagi.
Lengan kiri Suroantani merangkul semakin ketat dan dia merasa berbahagia sekali, Dia yakin benar bahwa dia menemukan seorang wanita yang luhur budinya dan dia tidak akan salah pilih.
Ketika di tengah perjalanan mereka berhenti beristirahat, Suroantani menyampaikan pinangannya kepada Ki Karyotomo dan isterinya. Suami isteri itu terkejut dan heran mendengar seorang senopati meminang anaknya! Akan tetapi setelah mereka mendengar bahwa anaknya telah menyetujui dan menerima pinangan itu, suami isteri itupun menerimanya dengan hati penuh sukur dan kegembiraan. Siapa yang tidak akan merasa gembira? Anak perempuan mereka bukan perawan lagi, sudah ternoda oleh orang jahat dan kini diambil Isteri secara terhormat oleh seorang senopati yang masih membujang! Mereka hanyalah orang-orang dusun sederhana dan tiba-tiba menjadi mertua seorang senopati Mataram! Tanpa halangan sesuatu mereka akhirnya tiba di perkampungan Nogo Dento, Setelah tiba di perkampungan itu, Suroantani disambut oleh tiga puluh orang murid Nogo Dento yang berjaga da perkampungan mereka.
Dia memperkenalkan diri dan disambut dengan hormat oleh para murid kepala. Suroantani mendengar bahwa pasukan yang dipimpin Puteri Wandansari telah tiba di situ dua hari yang lalu dan sekarang mereka semua telah berangkat menuju ke Jatikusumo. Pasukan dari Mataram sebanyak seratus orang perajurit pasukan Pasopati yang gagah perkasa itu diperkuat oleh para murid Nogo Dento sebanyak tiga puluh orang karena sebagian ditinggalkan untuk menjaga keamanan di Nogo Dento, ditambah lagi lima puluh orang anak buah perkumpulan Sardula Cemeng yang dipimpin oleh Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo. Juga Sang Puteri itu dibantu oleh Sutejo, Retno Susilo, Harjodento, Padmosari, Pusposari dan Csngak Awu. Mereka telah berangkat pagi tadi dengan jumlah pasukan hampir dua ratus orang dan dibantu pula oleh orang-orang yang memiliki kedigdayaan.
Suroantani lalu menitipkan Sumarni dan ayah ibunya kepada para murid Nogo Dento. Dia berpamit dari mereka karena dia harus pergi menyusul pasukan yang dipimpin oleh Puteri Wandansari itu untuk mengamati dan kalau perlu membantu seperti yang diperintahkan Sultan Agung kepadanya.
"Anakmas Priyadi, kukira sudah tiba saatnya bagi engkau dan seluruh anak buahmu untuk pindah ke Wirosobo, memperkuat pasukan Wirosobo. Ketahuilah bahwa Kadipaten Wirosobo sekarang sudah biap untuk melakukan penyerbuan kepada Mataram."
Kata Bhagawan Jaladara kepada Privadi. Mereka sedang mengadakan perbincangan.
Yang hadir adalah Bhagawan Jaladara, Priyadi, Ki Klabangkolo, Resi Wisangkolo, Sekarsih, Maheso Kroda yang juga sudah bergabung dengan Priyadi dan Tumenggung Janurmendo yang datang bersama Bhagawan Jaladara sebagai utusan Kadipaten Wirosobo (Mojoagung).
"Paman Bhagawan Jaladara, sudah cukup kuat benarkah Wirosobo maka berani menyerbu Mataram?"
Tanya Priyadi dengan suara mengandung keraguan.
"Biarpun Wirosobo telah memperkuat diri dengan bantuan banyak pihak, terutama dari pihakmu, anakmas Priyadi, namun untuk menyerbu Mataram sendiri saja tentu masih kurang kuat, Akan tetapi kami bekerja sama dengan banyak kadipaten dan kabupaten seperti Lasem, Tuban, Jepan, Pasuruan, juga dari Arisbaya dan Sumenep di Madura. Kami semua dipimpin pula oleh Adipati Surabaya dengan juru nasihat Sunan Giri. Dengan kerja sama banyak kabupaten itu, mustahil, Mataram tidak akan dapat kita jatuhkan "
"Kalau begitu halnya, memang sudah tiba saatnya kami harus pindah ke Wirosobo untuk mengadakan persiapan membantu Wirosobo menyerbu ke Mataram, paman."
"Akan tetapi sayang sekali engkau belum dapat merebut kembali Pecut Bajrakirana dari tangan setan Sutejo itu, anakmas. Bagaimana kabarnya dengan para utusanmu yang melakukan pengejaran terhadap si pengkhianat Sumarni? Apakah sudah dapat ditangkap?"
Wajah Priyadi muram dan alisnya berkerut, matanya menyinarkan api kemarahan dan ia mengepal tinju kanannya.
"Kalau wanita itu dapat kutangkap, tentu akan kusiksa ia sampai mampus! Dan kalau sekali lagi aku berhadapan dengan jahanam Sutejo, tentu akan kulumatkan kepalanya!"
"Kalau begitu engkau belum berhasil menangkap gadis itu, anakmas Priyadi?"
Priyadi menghela napas panjang.
"Aku sudah mengutus dua orang kepercayaan paman, yaitu Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda untuk melakukan pengejaran terhadap Sumarni di dusun Jaten. Akan tetapi mereka itu tidak pernah kembali dan tidak ada beritanya. Maka aku lalu mengirim utusan untuk menyusul mereka di dusun Jaten. Utusan itu mencari keterangan di Jaten dan mendapat kabar bahwa kedua orang kepercayaan paman itu telah tewas!"
"Apa?"
Bhagawan Jaladara terbelalak mendengar bahwa dua orang pembantunya yang amat dipercaya itu telah tewas.
"Bagaimana mereka dapat tewas dan siapa pembunuh mereka?"
"Menurut berita yang didapat, Sumarni dan orang tuanya dibela oleh Suroantani dan dua orang utusan itu dibunuh olehnya."
Kata Priyadi.
"Suroantani, senopati Mataram itu Keparat!"
Seru Bhagawan Jaladara marah.
Tumenggung Janurmendo segera berkata.
"Wah, kalau senopati Suroantani dan Mataram yang menolong Sumarni dan orang tuanya, tentu dia mendengar pula dari Sumarni tentang keadaan kita di sini! Senopati itu pasti tidak akan tinggal diam dan melaporkan keadaan di Jatikusumo ini kepada Sultan Agung!"
"Benar juga pendapat itu!"
Kata Bhagawan Jaladara khawatir.
"Anakmas Priyadi kita harus cepat mengungsi ke Wirosobo sebelum pasukan Mataram menyerbu ke sini!"
Priyadi mengerutkan alisnya.
"Mereka tidak akan menyerbu ke sini, paman. Andaikata mereka berani menyerbu sekalipun, aku tidak takut. Bukankah kedudukan kita kuat sekali? Anak buah kita ada dua ratusan orang, dan di sini ada aku dan paman sendiri, dibantu pula oleh Paman Resi Wisangkolo Paman Klabangkolo, Paman Tumenggung Janurmendo, Sekarsih dan Paman Maheso Kroda. Apa lagi yang kita takuti? Kalau mereka datang, kita akan menghancurkan mereka!"
Pada saat itu dari luar ruangan itu tampak dua orang anak buah memasuki ruangan sambil mendorong-dorong seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun dan dua orang gadis berusia kurang lebih delapan belas tahun dan enam belas tahun. Biarpun pakaian dua orang gadis itu seperti pakaian wanita petani, namun harus diakui bahwa keduanya memiliki tubuh yang denok dan wajah yang manis dengan kulit yang bersih. Adapun pria itu juga mengenakan pakaian seorang petani biasa. Tiga orang ini didorong oleh dua orang anak buah Jatikusumo, jatuh berlutut di depan sekumpulan pemimpin yang sedang bersidang itu.
Priyadi yang merasa terganggu, mengerutkan alisnya dan memandang marah kepada dua orang anak buah itu.
"Ada apa ini? Kenapa kalian berani mengganggu kami, menghadap tanpa dipanggil?"
Bentaknya.
"Ampunkan kami denmas. Kami melihat tiga orang ini berindap-indap mendekati pagar yang mengelilingi perkampungan kami. Sikap mereka mencurigakan, maka mereka kami tangkap dan kami bawa menghadap denmas!"
Anak buah itu melapor. Mendengar laporan itu. Priyadi mengamati tiga orang tawanan itu. Pria itu tampak seperti petani biasa, sederhana dan sama sekali tidak mencurigakan. Lalu dia mengamati dua orang gadis itu. Dua orang perawan dusun yang cantik manis kesederhanaan pakaian mereka tidak menyembunyikan lekuk lengkung tubuh yang sempurna dan kulit yang halus bersih. Kecantikan alami dua orang gadis yang sedang mekar itu sungguh menimbulkan gairah dalam hati Priyadi yang baru saja ditinggalkan Sumarni, gadis dusun yang pernah membuatnya tergila gila, Kini yang dekat dengannya hanya Sekarsih. seorang wanita yang memiliki kecantikan yang tidak alami, kecantikan buatan, tiruan, usianya juga sndah mulai tua. Maka tidak mengherankan kalau dua orang gadis dusun itu membangkitkan berahi dalam hati Priyadi yang sudah menjadi hamba nafsunya sendiri. Dia lalu bertanya kepada orang dusun itu dengan suara keren.
"Apa maksudmu berkeliaran di luar perkampungan, kami?"
Orang dusun yang sudah ketakutan itu menjawab dengan suara lirih.
"Ampunkan saya dan dua orang anak saya. denmas. Saya datang ke perkampungan Jatikusumo untuk minta perlindungan."
Ucapan ini tidak mengherankan hati Priyadi. Dia tahu bahwa sejak dahulu perguruan Jatikusumo memang menjadi semacam pelarian bagi para penduduk dusun di sekitar daerah itu yang mengharapkan pertolongan dari perguruan Itu yang dianggap sebagai perguruan para pendekar. Mendiang gurunya. Bhagawan Sindusakti memang selalu mengulurkan tangan memberi pertolongan kepada para penduduk dusun kalau mereka terancam malapetaka. Anak buahnya yang sekarang tentu saja tidak tahu akan kebiasaan ini maka mereka mencurigai ayah dan dua orang anaknya ini lalu menangkapnya. Tidak ada seorangpun murid lama yang masih tinggal di situ. Semua anak buah adalah orang-orang baru.
"Mengapa kalian datang minta perlindungan?"
Tanya Priyadi.
"Anakmas, beberapa hari yang lalu kami kedatangan dua orang laki-laki yang mengaku menjadi anggauta Jatikusumo dan mereka hendak memaksa dua orang anak perempuan saya ini untuk menjadi isteri mereka. Mereka memberi waktu sampai hari ini. Kalau kami tidak memenuhi permintaan mereka, kami serumah akan dibunuh. Karena itu, kami mohon perlindungan dan pertolongan denmas agar kami terbebas dari ancaman dua orang itu."
Priyadi dapat memaklumi peristiwa itu. Dua orang perawan dusun ini memang menarik hati sekali, maka tidaklah mengherankan kalau ada dua orang anak buahnya yang jatuh hati dan ingin mengambil mereka sebagai istri dengan paksa dan ancaman. Dia tahu bahwa anak buahnya yang baru adalah orang-orang yang biasa mempergunakan kekerssan untuk memaksakan kehendak mereka. Akan tetapi dua orang gads itu telah menghadapnya dan melihat mereka, dia sendiri tertarik dan merasa sayang kalau mereka terjatuh ketangan dua orang anggauta perkumpulannya. Dia lalu memberi isarat kepada dua orang anak buah yang melapor itu.
"Bawa pengacau ini keluar dan bereskan dia!"
Kemudian kepada Sekarsih dia berkata.
"Sekarsih, bawa dua orang gadis ini ke dalam kamarku. Aku sendiri yang akan memeriksa dan memberi keputusan terhadap mereka."
Dua orang anak buah itu lalu memegang kedua lengan petani itu dan menyeretnya keluar. Dua orang gadis itu berseru memanggil ayah mereka sambil menangis, akan tetapi Sekarsih lalu memegang pergelangan tangan mereka dan menarik mereka masuk ke dalam ruangan sebelah dalam. Wanita ini tersenyum dan maklum akan apa yang dikehendaki Priyadi. Ia tidak merasa cemburu karena hubungannya dengan Priyadi adalah bebas tanpa ikatan apapun. Ia sendiri boleh memilih pria manapun yang disukainya dan Priyadi juga boleh memilih gadis mana yang dikehendakinya. Dua perawan dusun itu menangis ketakutan, terutama sekali melihat ayah mereka diseret keluar dengan kasar oleh dua orang yang menangkap mereka tadi. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi dengan diri mereka dan ayah mereka. Mereka masih terkejut, heran dan juga takut melihat sikap pimpinan Jatikusumo dan keadaan di situ yang jauh berbeda dengan yang mereka bayangkan. Kiranya dalam bayangan mereka Jatikusumo merupakan tempat orang-orang gagah perkasa dan budiman yang siap setiap saat menolong mereka Akan tetapi kenyataannya sungguh berbeda dengan apa yang mereka pernah dengar dan bayangkan.
Seperti tidak pernah terjadi gangguan sesuatu, Priyadi melanjutkan perbincangannya dengan rekan dan sekutunya. Setelah mereka semua pada umumnya membujuk Priyadi untuk segera mengungsi ke Wirosobo dan membantu kadipaten itu untuk menyerbu ke Mataram, akhirnya Priyadi mengambil keputusan.
"Baiklah, Paman Bhagawan Jaladara, aku mau pergi mengungsi ke Wirosobo, akan tetapi setelah dua pekan lagi Selama dua pekan ini aku hendak menyebar orang-orang kita untuk mencari tahu di mana adanya Sutejo karena akn masih, belum puas dan merasa penasaran kalau belum dapat merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana"
"Kalau sudah demikian keputusanmu, kamipun hanya menurut, anakmas. Kami dari Wirosobo akan menanti di sini sampai dua pekan lagi. Mudah-mudahan dalam waktu itu engkau sudah akan dapat merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana kata Bhagawan Jaladara.
Mereka lalu bubaran. Pada malam hari itu, sesosok mayat terapung di sungai. Mayat petani tadi, ayah dari dua orang perawan dusun. Tak lama kemudian, beberapa ekor buaya berenang mendekati dan binatang-binatang buas itu lalu menyerang dan merobek-robek daging dan kulit mayat petani itu yang menjadi mangsa mereka.
Di dalam rumah induk perguruan Jatikusumo, di dalam kamar Priyadi, terdengar rintih tangis dua orang perawan dusun itu. Mereka hanya mampu merintih dan menangis, tidak berdaya melepaskan diri dari kebuasan Priyadi yang bagaikan telah berubah menjadi binatang buas karena dikuasai nafsunya. Dua orang perawan itn seperti dua ekor kelenci yang tidak berdaya dalam cengkeraman seekor harimau buas yang merobek-robek mereka. Nafsu telah membuat Priyadi menjadi seekor binatang buas yang haus darah!
Fajar menyingsing. Sesekali terdengar ayam jantan berkokok. Pagi itu masih terlalu gelap. Burung burung masih sepi. Orang-orangpun masih malas meninggalkan tempat tidur. Lapat-lapat masih terdengar isak tangis perlahan dari dalam kamar Priyadi. Laki-laki itu masih pulas kelelahan, Akan tetapi dua orang gadis dusun itu tidak berani melakukan hal yang bukan-bukan. Mereka ketakutan setengah mati Takut dan berduka. Mereka hanya dapat saling rangkul sambil menangis perlahan. Si adik telah dalam rangkulan mbakayunya yang mencoba menghibur akan tetapi ia sendiripun mencucurkan air mata.
Tiba tiba terdengar sorak sorai yang mengejutkan semua orang dalam perkampungan Jatikusumo. Semua orang terbangun dari tidurnya dengan kaget. Terutama sekali para anak buah yang melakukan penjagaan di gardu penjagaan dekat pintu gerbang perkampungan, belasan orang anak buah yang pagi hari itu berjaga dengan terkantuk-kantuk, menjadi kaget setengah mati ketika tiba-tiba terdengar sorak sorai dan mereka melihat bayangan ratusan orang muncul di kegelapan pagi membawa tombak, golok atau pedang di tangan! Ratusan orang itu sambil berteriak-teriak membuat gerakan mengepung sehingga perkampungan Jatikusumo itu telah terkepung rapat!
Dengan panik para penjaga itu lalu memukul kentongan yang tergantung di gardu penjagaan itu. Seluruh penghuni perkampungan menjadi semakin terkejut ketika mereka mendengar kentongan dipukul bertalu-talu menyambung sorak-sorai yang membangunkan mereka dari tidur tadi. Semua anak buah Jatikusumo cepat mengenakan pakaian dan berlari keluar membawa senjata.
Priyadi juga terbangun dengan kaget. Mendengar kentongan yang dipukul gencar itu, tahulah dia bahwa ada bahaya mengancam. Teringatlah dia akan ucapan Tumenggung Janurmendo kemarin tentang kemungkinan penyerangan dan pa"sukan Mataram. Dia segera mengenakan pakaian, memandang kepada dua orang gadis kakak beradik yang masih saling berangkulan di sudut pembaringan. Setelah semua gairah nafsunya terpuaskan, kini dua orang dara dusun itu tidak tampak begitu menarik lagi! Beginilah sifatnya nafsu yang selalu berupaya untuk menguasai manusia. Kalau belum terdapat sesuatu yang diinginkan, maka sesuatu itu tampak indah dan menarik sekali, Akan tetapi sekali yang diinginkan itu terdapat, maka kebosanan segera menyusul dan nafsu menginginkan yang lain lagi yang dianggapnya lebih menarik.
Setelah mengenakan pakaian dan menyelipkan keris pusaka Liat Nogo di pinggangnya, tanpa memperdulikan lagi kepada dua orang gadis dusun itu, Priyadi segera melompat keluar dari kamarnya.
Di ruangan tengah dia bertemu dengan semua rekannya yang sudah berkumpul di situ. Mereka semua tampaknya juga sudah siap siaga mambawa senjata masing-masing. Wajah mereka juga tegang dan ketika melihat Priyadi muncul, Bhagawan Jaladara segera menyambutnya.
"Apa yang terjadi, paman?"
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanya Priyadi.
"Seperti yang kami khawatirkan, anak mas. Pasukan Mataram telah datang menyerbu kita"
Jawab Bhagawan Jaladara.
"Kenapa tidak mengerahkan anak buah untuk menyerang mereka?"
"Mereka berjumlah lebih dari dua ratus orang dan mereka belum bergerak menyerang kita, anak mas. Mereka hanya baru mengepung saja dan agaknya pimpinan pasukan itu hendak bicara dulu dengan kita."
"Hemm, siapa yang memimpin pasukan itu, Siapa senopatinya?"
"Agaknya yang memimpin di depan sendiri adalah Sang Puteri Wandansari!"
"Hemm, diajeng Wandansari?"
"Benar, anakmas. Dan melibat bahwa pasukan itu tidak dipimpin seorang senopati Mataram, melainkan oleh sang putri, maka agaknya gerakan mereka itu adalah merupakan balas dendam sang puteri atas terbasminya perguruan Jatikusumo."
Kata Bhagawan Jaladara.
"Hemm, kalau hanya diajeng Wandarsari, jangan khawatir, paman. Aku dapat menundukkannya dengan mudah!"
Kata Priyadi dengan sikap tenang dan penuh kepercayaan kepada diriya sendiri. Bagaimanapun, Wandansari adalah, adik seperguruannya, murid ke lima, sedangkan dia adalah murid ketiga. Biarpun kabarnya Wandansari telah mendapatkan pedang Kartika Sakti dan ilmunya, dia sama sekali tidak merasa gentar. Yang ditakuti hanyalah Sutejo yang kini telah berhasil mendapatkan dan memiliki Pecut Sakti Bajrakirana.
"Akan tetapi kita harus berhati-hati, anakmas. Siapa tahu ada orang-orang lain yang membantunya."
Kata Bhagawan Jaladara.
"Ha-ha-ha, biarpun ada yang membantunya, kita tidak perlu takut, Bhagawan Jaladara. Kita telah berkumpul di sini menghimpun tenaga. Siapa yang akan mampu mengalahkan kita semua?"
Resi Wisangkolo tertawa dan membesarkan hati rekan-rekannya dengan ucapan yang sombong itu.
"Mari Kita segera keluar dan menghadapi mereka bersama!"
Kata Priyadi dan pada saat itu terdengar teriakan lantang yang datangnya dari luar pintu gerbang perkumpulan Jatikusumo.
"Priyadi Pengkhianat murtad yang jahat! Keluarlah untuk menebus dosa-dosamu!"
Suara itu melengking nyaring dan Priyadi segera mengenal suara itu sebagai suara Wandansari, adik seperguruannya. Akan tetapi betapa nyaring melengking suara itu, didorong oleh tenaga sakti yang amat kuat. Diapun dapat menduga bahwa puteri istana itu telan berhasil menghimpun tenaga sakti amat kuat. Diapun segera melangkah keluar diikuti rekan-rekannya.
Udara sudah tidak segelap tadi. Sinar matahari mulai menyapu kegelapan dan mengusir sisa embun pagi yang bermalas-malasan meninggalkan bumi. Setelah tiba di luar pintu gerbang perkampungan Jatikusumo, Priyadi melihat Puteri Wandansari dengan pakaian yang ringkas berdiri di depan pasukan yang dipimpinnya. Dara bangsawan itu tampak demikian gagah perkasa dan jelita. Dulu, ketika masih tinggal di perguruan Jatikusumo, Priyadi selalu memandang sang puteri itu sebagai seorang adik seperguruan, dengan perasaan sayang seorang kakak terhadap adiknya. Akan tetapi sekarang, ketika dia memandang gadis itu, penglihatannya sudah sama sekali berubah. Dia melihat Puteri Wandansari demikian cantik jelita menggairahkan, seolah baru sekarang dia melihat kecantikan itu dan hatinya dipenuhi rasa kagum dan berahi. Priyadi sengaja bersikap tenang dan memandang rendah walaupun dia sudah melihat bahwa sang puteri itu ditemani oleh banyak orang muda yang gagah, di antaranya dia melihat Sutejo dan Cangak Awu.
"Ah. kiranya diajeng Wandansari yang datang Diajeng, kenapa andika datang dengan sikap marah dan menantang-nantang? Lebih baik kalau andika menemani aku, hidup bahagia sebegai teman hidupku selamanya di sini!"
Wajah sang puteri menjadi merah padam dan sepasang matanya yang jeli dan indah itu mengeluarkan sinar berapi api "Jahanam busuk, tutup mulutmu yang kotor! Entah iblis mana yang telah memasuki jiwamu sehingga kini engkau berubah menjadi seorang yang hina dan biadab! Engkau telah membunuh Bapa Guru. Sindusakti, Kakang Maheso Seto. Mbakayu Rahmini dan banyak murid Jatikusumo! Engkau telah membasmi Jatikusumo, tempat di mana engkau dibesarkan dan dididik. Engkau bahkan telah bersekutu dan menjadi antek Kadipaten Wirosobo. Aku datang untuk membasmi persekutuanmu yang busuk itu!"
"Wandansari!"
Kata Priyadi dengan suara berwibawa.
"Apa yang kau andalkan untuk mengalahkan aku? Lihat, selain anak buahku cukup banyak dan kuat, aku juga dibantu oleh banyak orang gagah. Dan apakah engkau berani melawan dan menghadapi aku?"
Sutejo melangkah maju.
"Keparat Priyadi! Kalau andika memang jantan dan. berani bertanding satu lawan satu, akulah lawanmu!"
Melihat Sutejo. Priyadi marah sekali, teringat akan pecut yang telah dicuri oleh Sumarni dan diberikan kepada pemuda ini "Babo-babo. jahanam Sutejo! Kau kira aku takut kepadamu? Kebetulan sekali engkau ikut datang karena kalau tidak, akulah yang akan mencarimu untuk merampas kembali Pecut Bajrakirana yang secara licik telah engkau curi dariku!"
Sutejo melangkah maju mendekat dan berkata dengan lantang sehingga suaranya terdengar oleh semua orang.
"Priyadi, tidak malukah engkau mengeluarkan kata-kata seperti itu? Aku adalah pemilik yang sah dari Pecut Sakti Bajrakirana. Mendiang Eyang Guru Resi Limut Manik telah memberikannya kepadaku: Akan tetapi dengan curang sekali Bhagawan Jaladara telah merampasnya dari tanganku, kemudian dia memberikan pecut itu kepadamu untuk menarikmu menjadi antek Wirosobo! Sekarang engkau masih bermuka tebal untuk mengatakan bahwa aku yang mencuri pecut milikku sendiri ini dari tanganmu?"
Tiba-tiba terdengar suara tawa lantang dari rombongan Priyadi. Resi Wisangkolo melangkah maju di samping Priyadi sambil mengamangkan tongkat ularnya yang berwarna hitam sambil barseru dengan nada mengejek.
"Ha-ha-ha-ha! Setelah Sutejo maju bertanding dengan anakmas Priyadi, lalu siapa lagi yang akan mampu menandingiku? Hayo, orang-orang Mataram, kalau ada yang berani, boleh maju melawan aku Resi Wisangkolo!"
Wandansari yang dalam perjalanan tadi sudah berbincang-bincang dengan Sutejo dan telah mendengar keterangan pemuda itu tentang tingkat kepandaian semua orang yang membantunya melakukan penyerbuan ke perguruan Jatikusumo, maklum bahwa diantara para pembantu itu tidak ada yang akan mampu menandinggi kedigdayaan Resi Wisangkolo. Maka sebelum ada yang menjawab tantangan kakek resi yang sombong itu, Puteri Wandansari melangkah maju dan suaranya terdengar lantang.
"Resi Wisangkolo, sudah lama aku mendengar akan kesesatanmu! Sebagai seorang resi engkau telah menyeleweng dari pada kebenaran, mengandalkan kedigdayaan untuk bertindak sewenang-wenang. Jangan mengira bahwa tidak ada yang akan berani menandingimu. Akulah lawanmu!"
Semua orang terkejut, Mereka sudah tahu bahwa resi itu memiliki kesaktian yang hebat. Bagaimana puteri istana yang masih muda ini akan mampu menandinginya? Juga Cangak Awu merasa khawatir sekali. Akan tetapi Sutejo hanya tersenyum. Dialah yang cukup maklum bahwa sang puteri yang cantik jelita dan halus itu sebetulnya telah memiliki kesaktian yang tidak berapa jauh selisihnya dibandingkan dengan dia sendiri. Sang puteri itu telah menerima gemblengan dari mendiang Resi Limut Manik, bahkan telah menerima pedang pusaka ampuh Kartika Sakti berikut kitab ilmu pedang itu yang merupakan ilmu pamungkas dari Resi Limut Manik di samping ilmu Bajrakirana! Karena itu Sutejo tidak merasa khawatir melihat sang puteri itu maju hendak menandingi Resi Wisangkolo.
Ki Klabangkolo tidak mau kalah. Diapun melangkah maju dan menantang sambil memandang ke arah rombongan Puteri Wandansari.
"Dan siapa di antara kalian yang berani menandingiku?"
Teriaknya dengan suara parau. Biarpun dia tidak memegang senjata apapun karena datuk ini memang tidak pernah mempergunakan senjata, namun dia tampak menakutkan Tubuhnya tinggi besar dan mukanya yang brewok itu mirip muka singa.
Retno Susilo yang tahu akan kedigdayaan kakek ini hendak maju, akan tetapi ia didahului, ayah Sutejo. Ki Harjodento yang lebih dulu maju menghadapi Ki Klabangkolo.
"Akulah yang akan menandingimu!"
Katanya dengan tegas.
"Hua ha ha, manusia lancang dan bosan hidup. Siapa engkau, berani melawan Ki Klabangkolo baburekso Pegunungan Ijon?"
Bentak Ki Klabangkolo sambil tertawa mengejek.
"Ki Klabangkolo, perkenalkanlah calon lawanmu ini. Aku bersama Harjodento, ketua perguruan Nogo Dento dan aku tidak akan mundur selangkahpun untuk melawanmu!"
Diam-diam Ki Klabangkolo terkejut, tentu saja dia pernah mendengar nama besar ketua Nogo Dento ini.
Bhagawan Jaladara juga maju dan menantang.
"Siapa berani melawan aku?"
Terdengar jawabnya nyaring.
"Akulah lawanmu, manusia iblis. Aku akan membalaskan kematian orang-orang tak berdosa yang telah menjadi korban kejahatanmu!"
Yang berseru ini bukan lain adalah Retno Susilo yang telah mencabut pedang pusaka Nogo Wilis karena kakek itu juga sudah memegang tongkat hitamnya.
Sekarsih yang melangkah maju segera dihadapi oleh Padmosari, isteri Ki Harjodento yang masih tampak cantik itu. Ibu kandung Sutejo ini adalah seorang wanita yang memiliki kesaktian yang cukup tinggi, dan suaminya yang cukup mengenal kedigdayaan isterinya, tidak merasa khawatir ketika Padmosari menyambut tantangan Sekarsih.
Ketika Tumenggung Janurmendo maju, dia segera disambut oleh Cangak Awu yang dibantu oleh Pusposari yang mendampingi tunangannya itu. Sedangkan Maheso Kroda sudah dihadapi oleh ayah dan paman Retno Susilo, yaitu Mundingsosro dan Mundingloyo, dua orang pimpinan perkumpulan Sardulo Cemeng.
Biarpun tidak ada yang memberi komando, kedua pihak sudah mulai bergerak dan saling terjang sehingga terjadilah pertempuran yang amat seru dan mati-matian.
Seorang perwira pembantu Puteri Wandansari telah memanggil pasukan yang tadinya mengepung perkampungan itu dan kini mereka berkumpul di depan pintu gerbang. Akan tetapi perwira itu tidak memberi aba-aba untuk menyerang karena pihak anak buah lawan juga belum bergerak dan dia masih menanti komando dari Puteri Wandansari yang telah mulai bertanding dengan lawasnya. Perwira itu bersama pasukannya hanya menonton dengan, penuh kewaspadaan. Mereka tahu bahwa para pimpinan mereka sedang bertanding, melawan pimpinan lawan yang tangguh. Mereka hanya mengharapkan para pimpinan mereka akan keluar sebagai pemenang, karena kemenangan pimpinan akan memperbesar semangat bertempur mereka untuk menggempur musuh.
Pertempuran itu sungguh dahsyat. Terutama sekali pertandingan, yang terjadi antara Sutejo melawan Priyadi. Priyadi memegang kerisnya yang mengeluarkan sinar berkilat, yaitu keris pusaka liat Nogo yang berhawa panas. Adapun Sutejo yang telah tahu betapa saktinya orang yang dilawannya, juga sudah melolos Pecut Bajrakirana dan memegang gagang pecut itu dengan tangan kanannya, siap menghadapi terjangan lawan. Sejenak mereka memasang kuda-kuda tanpa bergerak, hanya mata mereka saja saling tatap dengan tajam, seperti dua ekor ayam jantan hendak berlaga mengukur kekuatan lawan melalui tatapan mata. Diam-diam Priyadi mengerahkan Aji Penyirepan Begonondo untuk membuat lawan lemah dan mengantuk agar mudah dia serang dan robohkan. Sutejo dapat merasakan ini karena tiba-tiba saja sepasang matanya merasa pedas dan mengantuk. Hampir saja dia menguap, akan tetapi karena menyadari bahwa ini merupakan pengaruh ilmu lawan, cepat dia mengerahkan tenaga sakti untuk melawannya. Kesadarannya kembali sepenuhnya dan rasa lelah dan mengantuk itupun lenyap.
Maklum bahwa lawannya tidak mempan diserang dengan Aji Penyirepan Begonondo, Priyadi menjadi penasaran dan marah. Tiba-tiba dia mengeluarkan pekik dahsyat yang menggetarkan keadaan sekelilingnya, membuat semua orang terkejut. Terutama sekali Sutejo yang diserang langsung dengan Aji Jerit Nogo ini merasa seperti ada halilintar menyambarnya! Akan tetapi pemuda ini segera mengerahkan tenaga sakti untuk menolak dan diapun tidak terguncang oleh serangan melalui pekik melengking Itu, Melihat ini. Priyadi lalu menerjang dengan kerisnya. Keris liat Nogo yang berhawa panas itu menyambar dengan tusukan kilat ke arah dada Sutejo. Serangan itu amat dahsyatnya dan seandainya mengenai dada Sutejo, kiranya aji kekebalan yang dikuasai Sutejo tidak akan kuat menahannya. Namun, dengan gerakan yang indah dan cepat sekali Sutejo telah menghindarkan diri dengan lompatan ke belakang, kemudian dia menggerakkan pergelangan tangan kanannya.
"Tar-tarr......syuuuuuttt......!"
Ujung pecut menyambar ke arah kepala Priyadi. Priyadi juga maklum akan ampuhnya, pecut pusaka yang menjadi benda keramat bagi Jatikusumo itu, maka dia tidak berani menerimanya dengan mengandalkan aji kekebalannya. Dia mengelak dengan merendahkan diri lalu menubruk lagi ke depan, kerisnya menusuk ke arah leher lawan! Sutejo menyambut serangan itu dengan membalikkan pecutnya sehingga ujung pecut menangkis keris.
"Crinnggg......!"
Tampak bunga api berpijar ketika keris bertemu ujung perut dan keduanya tergetar ke belakang. Mereka lalu saling menyerang dengan dahsyatnya. Ujung pecut menyambar-nyambar dengan lecutan maut, dibela tusukan-tusukan keris yang kalau mengenai sasaran tentu akan merenggut nyawa. Bahkan kadang-kadang tangan kiri mereka melakukan serangan pala dan serangan tangan kiri sebagai selingan ini tidak kalah hebatnya dari serangan senjata mereka karena Priyadi menggunakan tangan kirinya untuk memukul dengan Api Pamungkas Margopati sedangkan Sutejo juga mempergunakan Aji Pamungkas Bromokendali.
Pertandingan antara Wandansari melawan Resi Wisangkolo juga hebat sekali. Ketika mereka mulai bertanding, Resi Wisangkolo memandang rendah lawannya. Hanya seorang dara jelita yang masih amat muda! Bagaimana akan mampu menandinginya? Sang resi yang tidak mudah lagi terpikat wajah cantik, tidak seperti watak Ki Klabangkolo yang masih mata keranjang, sekali ini terpesona oleh kecantikan Puteri Wandansari dan timbul niat buruknya untuk mempermainkan dara bangsawan itu. Dia menggerakkan tongkat ular hitamnya dengan cepat dan kuatnya. Serangan pertama dia tujukan ke arah dada tang puteri, dengan maksud untuk mencolok dada mempergunakan tongkatnya secara kurang ajar sekali, sambil terkekeh.
"Singggg.........trangggg ......!"
Bunga api berpijar-pijar dan kakek itu terkejut bukan main karena tangkisan pedang pada tongkatnya itu membuat tongkatnya terpental keras dan telapak tangannya tergetar hebat! Sungguh bukan tenaga sembarangan yang mampu menggerakkan pedang sekuat itu! Senyumnya mulai berubah masam, akan tetapi tetap saja dia masih memandang ringan. Lengan kirinya yang panjang itu terjulur ke depan, cepat sekali menuju ke pundak Puteri Wandansari untuk menotok jalan darah.
"Haiiiittt.......!"
Sang puteri membentak nyaring diikuti gerakan pedangnya yang mendesing dan dengan amat kaget Resi Wisangkolo terpaksa harus menarik kembali tangannya kalau tidak ingin pergelangan tangannya terbacok pedang! Bukan main aneh dan cepatnya gerakan pedang di tangan puteri itu! Kini mulai lenyaplah keheranannya tadi mengapa seorang puteri muda berani menentangnya. Kiranya puteri dari Sultan Agung ini memang sakti mandraguna. Teringatlah Resi Wisangkolo akan kesaktian Sultan Agung, maka diapun tidak berani lagi memandang rendah .
"Bagus! Engkau ingin melihat kesaktian Resi Wisangkolo?"
Teriaknya dan kini tongkat ular hitamnya bergerak cepat sekali, berubah menjadi segulungan sinar hitam yang bergelombang datang menerjang ke arah Puteri Wandansari.
Akan tetapi, puteri itu tidak percuma menjadi puteri Sultan Agung, apa lagi ia telah menerima gemblengan khusus dari Resi Limut manik. Iapun segera mainkan ilmu pedang Kartika Sakti dan pedangnya lenyap berubah menjadi segulungan sinar yang berkeredepan menyilaukau mata. Pedang itu adalah pusaka yang dikeramatkan oleh perguruan Jatikusumo, sebatang pedang langka yang kabarnya terbuat dari logam yang berasal dari bintang jatuh. Kuatnya melebihi baja dan ampuh bukan main! Apa lagi dimainkan dengan ilmu pedang Kartika Sakti yang memang khusus dirangkai untuk pedang pusaka itu. Kini tubuh sang puteri seperti dilindungi oleh gulungan sinar yang teramat kuat.
Ke arah manapun tongkat ular hitam menyambar, selalu membalik dan terpental ketika bertemu dengan gulungan sinar itu. Bukan dalam pertahanan saja ilmu pedang Kartika Sakti itu amat kuat, melainkan juga dalam penyerangan. Sambil bertahan dengan kokoh kuat, kadang dari gulungan sinar putih berkeredepan itu mencuat sinar kilat, yaitu ketika pedang itu membuat gerakan membalas dengan serangan yang amat cepat dan kuat. Dan setiap kali pedang itu menyerang, baik menusuk ataupun membacok, selalu yang dituju adalah bagian-bagian yang lemah dan berbahaya dari tubuh lawan!
Beberapa kali Resi Wisangkolo mengeluarkan seruan kaget dan heran. Makin lama malin lenyaplah sikapnya yang sombong memandang rendah tadi. Kini mulailah dia mengerahkan semua tenaga dan ilmunya untuk menandingi puteri itu. Bahkan dia venyelingi serangan tongkatnya dengan pukulan tangan kirinya yang ampuh dengan pengerahan Aji Guntur Bumi, bahkan juga mengeluarkan Aji Pamungkasnya Guntur Geni. Namun, aji-aji pukulan yang amat ampuh dan kuat itu tertahan oleh gulungan sinar putih pedang Kartika Sakti dan hanya dapat membuat sang puteri terpental mundur dua tiga langkah saja? Biarpun demikian, diam-diam Puteri Wandansari harus mengakui bahwa lawannya amat tangguh, memiliki kedigdayaan yang luar biasa.
Kalau saja ia tidak menguasai ilmu pedang Kartika Sakti dan tidak memegang pedang pusaka itu, tentu ia sudah, kalah dan dapat dirobohkan lawan yang sakti mandraguna itu. Akan tetapi untung baginya, pedangnya amat ampuh dan ilmu pedangnya juga, merupakan ilmu pedang tingkat tinggi yang dapat membendung serangan lawan sehingga ia masih mampu bertahan dan bahkan balas menyerang. Biarpun ia lebih banyak bertahan dari pada menyerang, namun kiranya tidak akan mudah dan akan berlangsung lama sebelum kakek itu mampu mengalahkannya.
Perkelahian antara Ki Klabangkolo yang ditandingi Ki Harjodento juga berlangsung sero dan hebat sekali. Ki Klabangkolo yang tidak biasa. mempergunakan senjata itu sekali ini juga hanya mengandalkan kaki tangannya yang besar dan panjang. Akan tetapi karena kakek ini memiliki sepasang lengan yang kebal, maka sepasang tangannya, itu sudah merupakan senjata yang ampuh dan berbahaya sekali. Dengan mempergunakan Aji Singarodra gerakan dan ulahnya tiada bedanya seperti gerakan seekor singa yang mengamuk! Serangan-serangan berupa tubrukan dan cakaran kedua tangannya, kadang diseling tendangan kedua kakinya yang panjang, diperkuat dengan gerengan yang menggetarkan kalbu. Gerengan itu bukan sembarang teriakan, melainkan Aji Pekik Singanada yang mempunyai wibawa seperti gerengan seekor singa yang dapat melumpuhkan lawan.
Akan tetapi yang dilawan Ki Klabangkolo sekarang bukanlah orang sembarangan. Ki Harjodento adalah seorang pendekar yang sudah banyak makan asam garam dunia persilatan, sudah banyak pengalamannya bertanding dengan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dengan pengalamannya yang banyak dan pengetahuannya yang luas, Ki Harjodento dapat menahan serangan Pekik Singanada dari lawannya itu. Getaran-getaran yang diakibatkan pekik itu dapat ditahannya dengan pengerahan tenaga saktinya. Dia mainkan tombaknya dengan gerakan yang mantap dan kuat sekali. Bukan hanya pertahanannya yang kokoh, melainkan serang baliknya juga amat berbahaya. Ketua perkumpulan Nogo Dento ini maklum bahwa lawannya memiliki aji kekebalan yang amat, kuat, maka ujung tombaknya selalu menyerang bagian-bagian yang lemah seperti mata, tenggorokan, bawah pusar sehingga serangan-serangannya cukup membuat Ki Klabangkolo kerepotan karena harus melindungi bagian-bagian lemah yang terancam itu dengan tangkisan tangan atau elakan. Serang menyerang terjadi antara dua orang jago tua ini dan sukar diramalkan siapa di antara mereka yang akan keluar sebagai pemenang. Memang cepat sekali pilihan lawan pihak Puteri Wandansari.
Semua ini atas petunjuk Sutejo yang pernah menghadapi semua lawan itu. Sutejo dapat mempertimbangkan siapa di antara anggauta rombongan Puteri Wandansari yang akan mampu menandingi anggauta pihak lawan. Karena itulah, ketika tadi pihak lawan memunculkan jago-jagonya, pihak Puteri Wandansari sudah siap seseorang untuk menandinginya, seperti telah diatur dan ditentukan sebelumnya.
Mungkin yang paling hebat dan sengit di antara mereka yang bertanding itu adalah pertandingan antara Bhagawan Jaladara yang melawan Retno Susilo. Mula mula Bhagawan Jaladara memandang rendah lawannya. Akan tetapi, setelah menerima gemblengan lagi dari gurunya. Nyi Rukmo Petak atau Ken Lasai, tingkat kepandaian Retno Susilo telah meningkat dengan hebat Bukan saja ia telah menguasai Aji Gelap Sewu, pukulan yang amat hebat, dan juga Aji Wiso Sarpo yang mengandung racun ular-ular berbisa yang amat berbahaya, ia juga mempunyai sebatang pedang pusaka, yaitu Pedang Nogo Wilis yang mengeluarkan sinar kehijauan. Apa lagi Retno Susilo yang berwatak keras itu sudah mendengar akan kejahatan-kejahatan yang dilakukan Bhagawan Jaladara terhadap pria yang dikasihinya hal ini membuat ia merasa benci sekali dan ia berkelebat dengan ganas bukan main. Pedang Nogo Wilis di tangannya bergerak amat cepat sehingga tidak tampak bentuknya, berubah menjadi sinar kehijauan yarg bergulung-gulung.
Bhagawan Jalalara menjadi terkejut bukan main. Setelah dia memainkan tongkat hitamnya dan ke manapun dia menyerang, selalu tongkat hitamnya terpental ketika bertemu sinar hijau, mereka tahulah dia bahwa gadis muda yang menjadi lawannya itu seorang yang memiliki kesaktian. Bahkan setiap kali tongkatnya bertemu dengan pedang hijau itu dengan keras sekali, dia merasa betapa telapak tangannya menjadi panas dan tergetar. Hampir dia tidak dapat percaya akan kenyataan ini. Bahwa dia seorang datuk persilatan yang tangguh, tokoh ke tiga dari perguruan Jatikusumo, kini tidak mampu mengalahkan seorang gadis muda yang belum tentu ada dua puluh tahun usianya! Saking penasaran, beberapa kali dia menggunakan tangan kirinya untuk mengirim pukulan tenaga sakti dalam Aji Gelap Musti. Pukulannya itu hebat sekali, mendatangkan angin yang dahsyat menyambar ke arah Retno Susilo. Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak merasa gentar, bahkan berani menyambut pukulan itu dengan Aji Gelap Sewu yang tidak kalah dahsyatnya, setiap kali dua tenaga sakti itu bertemu, Bhagawan Jaladara terdorong ke belakang sampai tiga langkah! Dengan marah dan nekat Bhagawan Jaladara lalu mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan seluruh ilmunya untuk menyerang. Retno Susilo menyambut dengan semangat bernyala-nyala dan merekapun saling serang dengan sengitnya.
Sekarsih yang cantik genit dan juga tangguh itu, sebagai murid tersayang Ki Klabangkolo, memiliki kepandaian yang tinggi Akan tetapi sekali ini ia bertemu tanding yang dapat mengimbanginya, yaitu Padmosari, isteri Ki Harjodento. Sebagai isteri ketua Nogo Dento yang sakti Padmosari juga menguasai aji kanuragan yang tinggi dan ketika ia memainkan kerisnya, ia bagaikan sekor singa betina yang tangkas dan berbahaya. Sekarsih menggunakan pedangnya, namun semua serangan pedangnya dapat dihindarkan oleh Padmosari dengan elakan atau tangkisan kerisnya Dua orang wanita yang sama cantiknya ini bertanding mati matian, saling serang dan saling desak dalam keadaan yang seimbang.
Tumenggung Janurmendo mengamuk dengan hebat, menggunakan keris pusakanya yang disebut Jalu Sarpo. Akan tetapi dia dikeroyok oleh Cangak Awu dan tunangannya, Pusposari. Cangak Awu adalah murid ke empat dari mendiang Bhagawan Sindusakti ketua Jatikusumo dan dia seorang pemuda gagah perkasa, tinggi besar yang memiliki tenaga raksasa sehingga permainan tongkatnya amat menggiriskan. Adapun Pusposari yang cantik manis adalah anak angkat dan murid dari Ki Harjodento. maka tentu saja sejak kecil ia sudah digembleng dengan aji kanuragan yang membuat ia kini menjadi teorang gadis yang tangguh. Biarpun Tumenggung Janurmendo mengamuk dengan keris pusakanya, dan menyelingi serangan kerisnya dengan pukulan tenaga sakti Aji Wisang Geni, namun sepasang kekasih itu bekerja sama dengan rapi dari kanan kiri membuat senopati Wirosobo itu menjadi cukup repot.
Demikian pula dengan Maheso Kroda. Kepala perampok tinggi besar bermata lebar yang sudah menjadi sekutu Priyadi ini mengamuk dengan senjatanya, sebatang keris yar.g besar. Namun yang dihadapinya adalah kakak beradik yang menjadi pimpinan perkumpulan Sardula Cemeng, yaitu Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo, ayah dan paman Retno Susilo. Biarpun tingkat kepandaian Maheso Kroda masih lebih tinggi dibandingkan lawan, akan tetapi karena kakak beradik itu maju bersama dan mereka berdua dapat bekerja sama dengan baik dan kompak sekali maka Maheso Kroda juga merasa kuwalahan menghadapi terjangan mereka. Ki Mundingsosro bersenjata golok sedangkan adiknya, Ki Mundingloyo menggunakan sebatang tombak trisula.
Biarpun yang bertanding itu hanya tujuh pa sang namun pertempuran itu hebat sekali. Angin pukulan menyambar-nyambar membuat pohon-pohon bergoyang seperti diamuk angin badai dan debu mengepul tinggi, Suara senjata bertemu berdencingan dan tampak bunga api berpijar-pijar di sana sini Semua ini diseling pekik-pekik yang mengandung hawa sakti membuat semua anak buah yang hanya menonton merasa tergetar dan tegang.
Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo