Ceritasilat Novel Online

Badai Laut Selatan 18


Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bagian 18



Ki Tejoranu menudingkan telunjuknya ke arah Joko Wandiro, suaranya gemetar ketika ia bertanya,

   "Kau... kau. ..benarkah namamu Joko Wandiro...??"

   "Benar sekali, paman. Apakah anehnya dengan namaku?"

   "Aneh sekali benar aneh sekali..."

   Ki Tejoranu melangkah maju menghampiri Joko Wandiro, lalu duduk di atas akar pohon di depan anak itu, memegang kedua pundak Joko Wandiro sambil menatap wajah tampan itu dengan pandang mata penuh selidik.

   "Mereka bilang cucu adipati di Selopenangkep, putera Raden Wisangjiwo, diculik Pujo dan anak itu bernama Joko Wandiro..."

   "Bohong itu...!"

   Joko Wandiro berteriak merenggutkan diri terlepas dari pegangan Ki Tejoranu sambil melangkah mundur, matanya terbelalak dan wajahnya yang tampan kelihatan marah.

   "Paman, mengapa paman seperti kakek tua jahat Cekel Aksomolo? Percaya akan segala kebohongan? Aku memang bernama Joko Wandiro, akan tetapi tidak diculik ayahku. Bagaimana seorang ayah menculik anaknya Sendiri? Kalau mau bicara tentang penculikan, agaknya Cekel Aksomolo yang dahulu hendak menculikku, ia memaksaku pergi ke Selopenangkep. Syukur paman dahulu datang menolong. Pujo yang paman sebut-sebut itu adalah ayahku, juga guruku. Sedangkan Wisangjiwo yang paman maksudkan itu, putera Kadipaten Selopenangkep, adalah musuh besarku, musuh besar ayahku yang akan kubunuh kalau aku berjumpa dengannya!"

   Ki Tejoranu makin bingung.

   "Kenapa? Apa sebabnya ayahmu memusuhinya?"

   "Si keparat Wisangjiwo telah membunuh ibuku!"

   Kata Joko Wandiro sambil menekan perasaannya. Tak mungkin ia sudi menceritakan pada orang lain bahwa ibunya tidak hanya dibunuh, akan tetapi juga diperhina oleh Wisangjiwo!.

   "Aahhh...!"

   Ki Tejoranu mengerutkan kening dan makin terheran-heran. Kemudian ia berkata,

   "Sungguh membingungkan keterangan-keterangan yang saling bertentangan ini. Akan tetapi, Joko anak baik. yang sudah jelas bagiku adalah bahwa Pujo seorang laki-laki jantan dan sakti, sebaliknya Cekel Aksomolo dan teman-temannya adalah orang-orang yang memiliki watak pengecut dan curang. Mereka itu amat kuat dan memiliki banyak kaki tangan, maka amat berbahayalah kalau sampai mereka dapat melihatmu. Oleh karena itu, kau sementara tinggal dulu bersamaku dan agar tidak kesal hatimu,berlatihlah ilmu silat dan juga ilmu golok yang kelak tentu amat berguna bagimu, sementara aku akan pergi menyelidiki keadaan kakek gurumu di Pulau Sempu dan menyelidiki di mana adanya ayahmu. Akan kujumpai ayahmu di Muara Lorog dan memberi tahu kepadanya tentang keadaanmu. Kalau kau ikut bersamaku, aku khawatir akan bertemu dengan mereka di tengah jalan dan kalau terjadi hal itu, terus terang saja aku tidak akan kuat melindungimu."

   Joko Wandiro adalah seorang anak yang cerdik. Ia tahu bahwa dirinya diselubungi rahasia yang aneh dan tahu pula bahwa Cekel Aksomolo dan teman-temannya adalah orang-orang sakti yang takkan terlawan oleh Ki Tejoranu sendiri. Maka ia mengangguk dan membenarkan kakek itu. Apalagi ia memang kagum menyaksikan gerak-gerik kakek ini yang pernah ia lihat ketika bertanding. Ilmu golok kakek ini amat hebat maka Joko Wandiro menjadi girang untuk mempelajarinya.

   Demikianlah, mulai hari itu, Joko Wandiro menerima gemblengan Ki Tejoranu dalam ilmu silat yang gerakannya amat cepat. Mula-mula ia diberi pelajaran ilmu silat tangan kosong. Karena sejak kecil anak ini sudah mendapat gemblengan keras dari Pujo, kemudian malah mendapat bimbingan Resi Bhargowo sendiri, boleh dibilang Joko Wandiro telah memiliki dasar gerakan silat tinggi, maka dengan girang dan kagum Ki Tejoranu mendapat kenyataan betapa mudahnya anak ini mewarisi ilmunya. Segera ia menurunkan ilmu goloknya. Pada pagi hari yang cerah itu, sebulan setelah Joko Wandiro mati-matian dan siang malam melatih ilmu silat, mereka duduk di bawah pohon cempaka, berada di atas rumpun dan berhadapan.

   "joko Wandiro, anakku yang baik. Ilmu pukulan yang kau pelajari dalam sebulan ini adalah dasar ilmu golok, yang mulai hari ini akan kuajarkan kepadamu. Joko, bergiranglah engkau bahwa ilmu golok ini akan kau miliki, karena di negaraku sana, ilmu golokku ini sudah terkenal. Bahkan karena ilmu golokku inilah aku di sana dijuluki orang Si Golok Sakti. Julukan yang membuat aku sombong dan menyeleweng daripada kebenaran, lupa bahwa segala ilmu adalah anugerah Tuhan yang harus dipergunakan untuk kebaikan sesuai dengan sifat Tuhan, dan bahwa di dunia ini tidak ada yang paling pandai kecuali Tuhan pula. Karena kesombongan dan penyelewenganku, maka aku terjatuh dan terpaksa melarikan diri meninggalkan negaraku, merantau sampai di sini. Tidak hanya di negaraku, juga di sini berlaku hukum bahwa siapa yang mengandalkan ilmu, kedudukan, atau harta untuk bertindak sewenang-wenang melakukan kejahatan, dia akan runtuh! Juga di sini aku melihat kenyataan bahwa yang paling sakti adalah orang yang benar, karena yang benar dilindungi Tuhan yang Maha Sakti."

   Filsafat seperti ini sudah seringkali didengar Joko Wandiro, maka ia mengangguk-angguk membenarkan Ayahnya, juga eyang gurunya, sudah seringkali memberinya nasehat-nasehat dan petuah kebajikan hidup. Mulailah Ki Tejoranu menurunkan ilmu goloknya yang luar biasa itu kepada Joko Wandiro. Hebat memang ilmu golok ini. Ketika Ki Tejoranu memberi petunjuk sambil mainkan sepasang goloknya, tampak gulungan dua sinar putih menyilaukan mata disertai suara mbrengengeng (mengaung seperti lebah). Joko Wandiro memandang penuh perhatian dan kekaguman. Ki Tejoranu berhenti dan mulai memberi petunjuk secara mendetail dan perlahan.

   "Anakku, di negaraku, aku dijuluki Si Golok Sakti karena ilmu golok ini. Ilmu golok ini dicipta oleh guruku berdasarkan gerakan ribuan ekor lebah putih yang mengeroyok seekor ular besar. Karena itu diberi nama Ilmu Golok Lebah Putih. Dasar keampuhannya terletak pada gerak-gerak menggunting seperti banyak lebah menyerang dari jurusan-jurusan berlawanan sehingga membingungkan lawan. Semua terdiri dari tiga puluh enam jurus yang dasar gerakannya telah kau pelajari dengan tangan kosong selama ini. Nah, sekarang perhatikan jurus pertama. Lihat baik-baik dan tirukan."

   Demikianlah, mulai hari itu, Joko Wandiro menerima ilmu golok yang dipelajarinya penuh perhatian dan ketekunan. Ki Tejoranu terheran-heran dan amat kagum melihat anak ini. Benar-benar memiliki dasar dan bakat yang luar biasa. Dalam waktu sehari saja, Joko Wandiro dapat menguasai empat jurus dengan dasar gerakan yang cukup baik sehingga dalam waktu sembilan hari,

   Ia telah menguasai Ilmu Golok Lebah Sakti. Pada hari ke sepuluh, Ki Tejoranu ketika bangun pagi sekali, telah mendengar suara anak itu berlatih seorang diri. Ia menghampiri, memandang penuh perhatian sambil mengelus-elus jenggotnya. Senang hatinya. Biarpun gerakannya belum trampil dan cepat benar, namun dasarnya sudah benar, tinggal mematangkannya dalam latihan saja. Benar luar biasa anak ini, pikirnya senang. Tidak hanya gerakan kaki tangan yang sudah tepat, bahkan cara mengatur napas dalam gerakan silat ini, hal yang paling sulit diingat dan dipraktekkan dalam bersilat, sudah dikuasai Joko Wandiro! Setelah anak itu menghabiskan tiga puluh enam jurus dan hendak mengulang lagi dari pertama, Ki Tejoranu berkata,

   "Berhentilah dahulu, Joko. Kulihat kau telah menguasai Lebah Putih, dan dasar-dasar gerakanmu sudah benar, hanya tinggal mematangkan saja. Kalau kau setiap hari berlatih, ilmu ini tentu akan mendarah daging kepadamu dan akan amat berguna kelak. Hari ini aku akan berangkat menyelidiki keadaan kakek gurumu di Pulau Sempu, dan juga akan kucari ayahmu. Engkau tinggallah saja dalam hutan ini sambil berlatih ilmu golok. Jangan keluar dari dalam hutan ini sebelum aku pulang. Di hutan ini cukup banyak buah-buahan dan binatang, juga ada sumber airnya. Dalam waktu satu bulan aku akan kembali, anakku. Sepasang golok tipis ini, pusakaku selama puluhan tahun, kuberikan kepadamu, pakailah untuk berlatih."

   Joko Wandiro menerima pusaka itu sambil mengucapkan terima kasih kepada kakek yang amat baik terhadap dirinya itu. Ia maklum akan bahayanya kalau sampai bertemu dengan musuh-musuh ayahnya, maka ia berjanji akan mentaati pesan Ki Tejoranu. Orang tua itu lalu berangkat meninggalkan Joko Wandiro, setelah meninggalkan pesan-pesan agar anak itu berhati-hati.

   Mentaati pesan Ki Tejoranu, semenjak kakek itu pergi, Joko Wandiro selalu berlatih ilmu golok dengan amat tekun dan rajin. Boleh dibilang setiap saat ia berlatih ilmu golok, dan hanya berhenti untuk mengaso, makan atau tidur. Kadang-kadang ia seling dengan latihan ilmu yang ia pelajari dari ayahnya dan yang disempurnakan oleh eyang gurunya, yaitu ilmu pukulan Pethit Nogo dengan gerakan Bayu Tantra. Berbeda dengan Ilmu Golok Lebah Putih ajaran Ki Tejoranu yang mengandalkan kegesitan tubuh dan kerja sama yang baik antara perasaan dan urat syaraf didasari peraturan gerakan dan langkah, adalah ilmu-ilmu yang ia pelajari dari ayah dan eyang gurunya lebih didasari aji kesaktian yang diperkuat oleh keteguhan batin berkat latihan samadhi dan bertapa.

   Joko Wandiro memang memiliki bakat luar biasa untuk menjadi seorang ksatria utama. Tidak saja semua ilmu olah keprajuritan dapat ia kuasai dengan amat mudah, juga dalam hal tapa brata, ia amat tekun dan kuat. Semenjak masih kecil ia sudah dilatih dan digembleng ayahnya sehingga dahulu dalam usia delapan sembilan tahun saja ia sudah seringkali ikut ayahnya bertapa di dalam guha-guha di tepi pantai Laut Selatan. Bertapa dan bersamadhi sampai tiga hari tiga malam, tanpa makan tanpa minum! Bagi seorang dewasa, tentu saja hal ini tidak mengherankan.

   Akan tetapi bagi seorang anak berusia delapan tahun, benar-benar merupakan hal yang mentakjubkan. Kini ia sudah berusia dua belas tahun lebih. Bertapa tanpa makan minum selama satu minggu saja merupakan hal biasa bagi Joko Wandiro! Tidaklah mengherankan apabila dalam usia semuda itu, ia telah memiliki beberapa macam ilmu kesaktian yang mengagumkan. Dan sifat tahan tapa inilah agaknya yang membuat ia secara mudah sekali dapat menguasai Ilmu Golok Lebah Putih dalam waktu beberapa bulan saja. Padahal, Ilmu Golok Lebah Putih termasuk ilmu silat tinggi yang hanya mampu dikuasai seorang ahli silat yang sudah matang dasar-dasarnya, inipun untuk menguasainya secara sempurna membutuhkan waktu bertahun-tahun!

   * * *

   Sebulan lewat cepat. Ki Tejoranu belum juga pulang. Joko Wandiro yang mengharapkan kedatangan Ki Tejoranu dalam satu dua hari ini, berlatih giat sekali. Ingin ia menyenangkan hati kakek yang baik hati itu betapa selama ini ia telah memperoleh kemajuan pesat dalam Ilmu Golok Lebah Putih. Juga hatinya girang karena pulangnya Ki Tejoranu akan membawa berita tentang eyang gurunya dan ayahnya.

   Pagi hari itu Joko Wandiro berlatih dengan tekun, mengerahkan seluruh tenaganya dan mencurahkan seluruh perhatian dalam gerakan-gerakannya. Sepasang golok tipis ringan di tangannya itu lenyap bentuknya, berubah menjadi dua gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Anak ini belum mampu bergerak terlalu cepat sehingga tubuhnya lenyap terselimut gulungan sinar putih, akan tetapi berlatih kurang dari setengah tahun sudah dapat menggerakkan sepasang golok sehingga lenyap bentuknya, benar-benar sudah amat mengagumkan. Tiba-tiba terdengar seruan suara aneh dan sesosok bayangan putih berkelebat dekat sekali dengan Joko Wandiro yang tengah bersilat.

   Mendadak sekali, tanpa dapat dicegah lagi sepasang golok terbang lenyap dari kedua tangan Joko Wandiro yang sama sekali tidak menyangka-nyangka. Anak ini cepat menengok dan mencari-cari dengan pandang matanya, namun tidak tampak siapapun juga di situ. Sepasang goloknya lenyap dan tadi ia hanya melihat berkelebatnya bayangan orang disusul perampasan goloknya secara tiba-tiba. Kalau saja ia tahu bahwa bayangan itu merampas goloknya tentu ia akan melakukan perlawanan. Dengan marah dan penasaran sekali, Joko Wandiro meloncat dan mengejar, mencari ke sana-sini di sekitar hutan, namun hasilnya sia-sia belaka. Kemudian ia duduk di bawah pohon sambil menunjang dagu, terheran, penasaran, dan juga agak gelisah. Ia mengingat-ingat.

   Bayangan itu tinggi kurus seperti bayangan seorang kakek tua, akan tetapi gerakannya begitu cepat dan ia sendiri tadi tengah bersilat dan tidak memperhatikan lain hal sehingga tidak dapat melihat jelas. Yang terang sepasang goloknya dirampas seorang kakek yang tentu saja memiliki ilmu kesaktian yang hebat. Ia termenung penuh penyesalan dan kekecewaan. Ia harus berlatih makin giat. Ia harus dapat mematangkan ilmunya karena sudah berkali-kali ia alami betapa banyaknya orang-orang sakti di dunia ini yang harus ia hadapi. Orang-orang sakti yang menyalahgunakan kesaktiannya. seperti Cekel Aksomolo dan teman-temannya. seperti kakek tak terkenal yang kini mencuri sepasang goloknya mengandalkan kesaktiannya. Kalau ia tidak kalah pandai, tak mungkin orang akan dapat merampas sepasang goloknya dengan semaunya dan seenaknya saja!.

   Hatinya makin penasaran dan juga bingung Karena ia merasa malu bagaimana harus memberi keterangan kepada Ki Tejoranu tentang hilangnya sepasang golok pemberian kakek itu. Tiga hari kemudian, menjelang senja hari, datanglah Ki Tejoranu. Kakek ini kelihatan lelah sekali, dan tekukan wajahnya membayangkan berita yang tidak menggembirakan. Joko Wandiro menahan diri, dan tidak akan menceritakan pengalamannya sebelum kakek itu mengaso. Ia tidak mau menambah berita yang tidak menyenangkan pada kakek Ini. Cepat-cepat anak yang tahu akan kewajiban ini menyediakan dawegang (kelapa muda) untuk Ki Tejorartu minum, dan buah-buahan untuk makan. Setelah menghilangkan haus dan lelah, Ki Tejoranu berkata kepada anak yang duduk bersila di depannya,

   "Aku agak terlambat, Joko. Akan tetapi perjalanan yang jauh itu sungguh melelahkan karena hasilnya kosong belaka. Baik eyang gurumu maupun ayahmu tak dapat kuketemukan. Tempat mereka kosong belaka, tidak ada seorangpun di Muara Lorog maupun di Pulau Sempu."

   Tentu saja Joko Wandiro merasa amat kecewa.

   "Ke manakah mereka pergi, paman?."

   "Tak seorangpun tahu ke mana perginya ayahmu, Pujo. Tidak ada orang mengenalnya. Juga di Pulau Sempu kosong, eyang gurumu tidak berada di sana lagi. Akan tetapi, aku banyak mendengar tentang perang saudara yang mulai mengamuk di Kotaraja dan kurasa ayahmu sebagai seorang satria tentu pergi ke sana. Adapun tentang eyang gurumu Bhagawan Rukmoseto, aku mendengar berita bahwa beliau itu pergi menuju ke pertapaan Resi Gentayu...?"

   "Resi Gentayu...?"

   "Ya, Resi Gentayu atau Resi Jatmendra, atau juga Sang Prabu Airlangga yang mengundurkan diri dan bertapa di pertapaan Jalatunda."

   Setelah berhenti sebentar Ki Tejoranu berkata pula"

   "Besok atau lusa akan kuhantar engkau ke Jalatunda menyusul kakek gurumu itu, Joko. Akan tetapi aku ingin melihat engkau berhasil lebih dahulu dalam latihan ilmu go lok Bagaimana, sudah ada kemajuankah?"

   Ditanya begitu Joko Wandiro teringat akan sepasang goleknya yang dirampas orang, maka ia berlutut sambil mengeluh,

   "Aduh, celaka paman. Tiga hari yang lalu, selagi aku berlatih, sepasang golok itu dirampas orang..."

   Ki Tejarani meloncat tinggi dan berdiri dengan muka merah, mata terpentang lebar

   "Siapa...? Siapa berani merampas? Bagaimana pula ia dapat merampas golok? Di mana dia merampasnya?"

   Sebelum Joko Wandiro sempat-menjawab, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang kakek bermata sipit berkulit kuning yang tinggi kurus. Sepasang golok Lebah Putih berada di kedua tangannya! Joko Wandiro memandang dengan penuh keheranan.

   Kakek ini rambutnya sudah putih semua, usianya tentu amat tinggi. Pakaiannya seperti pertapa, berwarna putih. Rambutnya digelung ke atas dan diikat sehelai pita sutera putih pula. Mata yang sipit itu kini memandang tajam ke arah Ki Tejoranu, kemudian mulutnya mengeluarkan kata-kata asing yang sama sekali tidak dimengerti Joko Wandiro. Ki Tejoranu sejenak melongo memandang kakek itu, kemudian tiba-tiba Ki Tejoranu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek rambut putih itu dan mereka berdua lalu bercakap-cakap dalam bahasa asing. Joko Wandiro tidak mengerti apa yang mereka percakapkan. Akan tetapi melihat sikap kakek tua yang baru saja datang, agaknya kakek ini marah-marah kepada Ki Tejoranu, menunjuk-nunjuk ke arah dia dengan golok kiri sambil mengamang-amangkan golok kanan ke arah Ki Tejoranu.

   Sebaliknya, Ki Tejoranu hanya menjawab dengan ucapan pendek-pendek, mengangguk-anggukkan kepala seperti orang minta ampun. Kemudian kakek itu membentak keras dan melangkah ke arah Joko Wandiro, sikapnya mengancam. Akan tetapi Ki Tejoranu meloncat menghadang lalu berlutut lagi dan bicara sambil menggerak-gerakkan kedua tangan. Kakek tua itu termenung, agaknya meragu, tangan kiri yang memegang golok kini mengelus-elus jenggot panjang, kemudian mengangguk-angguk. Tiba-tiba tampak sinar golok berkelebat ke depan. Bukan main cepatnya gerakan ini sehingga Joko Wandiro tidak tahu apa yang terjadi. Tahu-tahu sepasang golok itu sudah meluncur dan menancap di atas tanah di depan Ki Tejoranu, dan kakek itu seperti berkelebat lenyap dari tempat itu!. Lega rasa hati Joko Wandiro. Ia segera melompat menghampiri Ki Tejoranu.

   "Ah, dia mengembalikan goloknya! Paman, siapakah kakek aneh itu dan apa kehendaknya?"

   Ki Tejoranu tidak menjawab, hanya mengeluh. Joko Wandiro melihat betapa wajah Ki Tejoranu pucat sekali dan alangkah kagetnya ia ketika ia memandang ke bawah, ia melihat dua buah jari tangan menggeletak di dekat sepasang golok. Dua buah ibu jari! Dan ketika ia memandang lagi, kiranya kedua tangan Ki Tejoranu telah kehilangan ibu jarinya!

   (Lanjut ke Jilid 18)

   Badai Laut Selatan (Seri ke 03 "

   Serial Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 18

   "Paman...! Mengapa tanganmu..."

   Ki Tejoranu menggeleng kepala, tersenyum pahit.

   "Kau carilah dulu getah pohon Gondang atau pohon Gebang untuk obat..."

   Joko Wandiro cepat lari dari situ,mencari obat yang dikehendaki kakek itu. Ia tahu bahwa getah kedua pohon ini amat baik untuk mengobati luka. Setelah dapat, ia cepat kembali ke situ, membantu kakek itu mengobati kedua tangan itu dan membalutnya erat-erat dengan robekan kain bersih. Sejenak Ki Tejoranu meramkan kedua mata, mengatur napas. Kemudian ia membuka matanya dan berkata,

   "Dia itu paman guruku, Joko..."

   "Ahh! Seorang paman guru mengapa begitu kejam? Mengapa kedua ibu jari tanganmu dipotong? Dan mengapa pula engkau membiarkannya saja, paman?"

   "Kau tidak tahu, anakku. Dengarlah baik-baik ceritaku agar menjadi contoh bagimu betapa tidak baiknya orang mengagulkan kepandaian sendiri dan menjadi sombong lalu tersesat seperti aku ini..."

   Kakek itu bersila di bawah pohon dan mulailah ia bercerita. Ki Tejoranu dahulu di Negeri Cina terkenal sebagai seorang pendekar ahli Ilmu Golok Lebah Putih yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Karena bakatnya yang baik, biarpun ia seorang murid termuda, namun ia paling pandai mainkan ilmu golok itu sehingga ia mengatasi saudara-saudara seperguruannya. Setelah keluar dari perguruan dan banyak sekali mengalahkan lawan, mulailah kesombongan mencengkeramnya dan ia menjadi seorang muda yang congkak dan sewenang-wenang, mengandalkan sepasang golok yang tak terkalahkan!

   Akhirnya sepak terjangnya yang menodai nama baik perguruan ini terdengar oleh guru dan paman-paman gurunya. Ia dicari untuk dimintai pertanggungan jawabnya. Karena maklum betapa keras peraturan perguruannya, Ki Tejoranu lalu melarikan diri. Namun ia dikejar-kejar terus dan akhirnya ia ikut dengan perahu jong yang berlayar ke selatan sehingga akhirnya tibalah ia di Pulau Jawa dan menetap di sini. Tertarik oleh orang-orang sakti yang banyak terdapat di sini, akhirnya ia menjadi seorang pertapa dan bertahun-tahun Ki Tejoranu bertapa di tepi Danau Sarangan sehingga ia bertemu dengan Ki Warok Gendroyono dari Ponorogo, menjadi sahabat dan terbawa-bawa pula dalam rombongan sekutu Adipati Joyowiseso.

   "Demikianlah riwayatku, anakku Joko Wandiro. Kakek itu adalah paman guruku. Dia merantau sampai di sini dan mendengar bahwa aku berada di sini pula, dia sekalian mencariku dan mencari keterangan kalau-kalau aku masih melakukan perbuatan-perbuatan yang menodai nama perguruan kami. Secara kebetulan sekali dia melihat engkau berlatih Ilmu Golok Lebah Putih, Joko. Dan ini merupakan pantangan yang paling berat bagi perguruan kami. Seorang murid tidak sekali-kali boleh menurunkan Ilmu Golok Lebah Putih tanpa seijin para ketua dan aku telah melakukan pelanggaran itu dengan mengajarkannya kepadamu! Untung peristiwa ini tidak terjadi di negaraku, karena kalau terjadi di sana, ketika ia melihat kau melatih ilmu golok itu, tentu dia sudah turun tangan dan merampas kembali ilmu itu darimu."

   "Merampas ilmu golok? Bagaimana ia dapat merampas ilmu yang telah dipelajari orang?"

   Ki Tejoranu tersenyum pahit dan mengangkat kedua tangannya yang sudah dibalut.

   "Dia telah merampas ilmu itu dariku."

   Joko Wandiro tertegun, sejenak tidak mengerti. Kemudian ia teringat dan bergidik ngeri. Benar juga! Kalau dua buah ibu jari tangan dipotong, tidak mungkin lagi orang dapat bermain golok! Membuntungi kedua ibu jari tangan, sama saja artinya dengan merampas ilmu, karena ilmu golok itu tidak dapat dipergunakan lagi.

   "Karena engkau orang asing, Joko, maka paman guruku tidak mau turun tangan sebelum mendengar keteranganku Maka ia menanti di sini sampai aku pulang. Tadi ia hamper menjatuhkan hukuman itu kepadamu, akan tetapi aku mencegahnya, menceritakan keadaanmu lalu mewakilimu menerima hukuman"

   "Paman...!!"

   Joko Wandiro memegang lengan orang itu penuh keharuan.

   "Memang aku yang bersalah, bukan engkau. Sudah sepatutnya aku pula yang menerima hukuman."

   "Paman. Engkau sudah insyaf daripada kesalahan, bahkan sudah melarikan diri jauh dari negaramu. Mengapa kakek yang menjadi paman gurumu itu terus mendesak dan tidak mau memberi ampun? Mengapa engkau tadi tidak melawannya saja? Kalau melawan, tentu tadi aku akan membantu, paman."

   "Ah, kau tidak mengerti, Joko. Mana bisa aku melawannya? Kalau hanya ibu jariku yang dipotong, hal itu masih amat ringan, Joko. Bararti paman guruku masih menaruh hati sayang kepadaku. Dosaku bertumpuk. Aku harus berani menghadapi hukumannya. Joko Wandiro, anakku. kau boleh menerima sepasang golok ini dan boleh menggunakan Ilmu Golok Lebah Putih untuk membela kebenaran dan keadilan, untuk memberantas kejahatan. Akan tetapi berjanjilah bahwa kau takkan mengajarkannya kepada orang lain. Berjanjilah, anakku, agar tidak bertambah-tambah berat dosaku kelak."

   "Aku berjanji, paman."

   "Bagus! Sekarang, kau berangkatlah menyusul dan mencari eyang gurumu. Aku tidak mungkin dapat menyertaimu, anakku."

   "Mengapa, paman?"

   "Karena aku harus segera menyusul rombongan paman guruku ke pantai laut utara. Aku harus kembali ke negaraku..."

   "Ahhh...!"

   Joko Wandiro benar-benar kaget mendengar perubahan keadaan yang tak tersangka-sangka ini.

   "Memang sebaiknya begitu, Joko. Sudah terlalu lama aku meninggalkan negeriku, meninggalkan keluargaku. Dan untunglah aku bertemu denganmu pada saat-saat terakhir, anakku. Kalau tidak... hemmm, tak dapat kubayangkan apa jadinya. Kalau paman guruku mendapatkan aku bersama orang-orang... macam Cekel Aksomolo belum tentu hukumanku seringan ini."

   Ia memandang ke arah kedua tangannya.

   "Sudahlah, tidak ada waktu lagi untuk banyak bicara, anakku. kau pergilah sendiri menyusul eyang gurumu ke Jalatunda."

   "Di manakah Jalatunda, paman?"

   "Kau pergilah ke Gunung Bekel. Di lereng gunung itu terdapat guha-guha pertapaan yang bernama Guha Tirta dan di sanalah terdapat pertapaan Jalatunda. Andaikata eyang gurumu tidak berada di sana, tidak mengapa. kau langsung saja menghadap Sang Resi Jatinendra atau Sang Resi Gentayu, mohon petunjuk. Beliau seorang pertapa yang sakti mandraguna, nak, karena beliau itu bukan lain adalah Sang Prabu Airlangga sendiri. Dalam keadaan perang saudara seperti sekarang, lebih baik kau tidak terburu nafsu dan lancang melibatkan diri sebelum mendapat petunjuk Sang Prabu Airlangga sendiri, karena hanya beliaulah yang akan dapat mengatasi semua keributan itu. Nah, berangkatlah, anakku, semoga Tuhan yang Maha Tinggi selalu memayungimu."

   Ki Tejoranu merangkul pundak anak itu dan mencium ubun-ubunnya dengan kedua mata basah. Ternyata Ki Tejoranu jatuh sayang kepada anak ini, anak yang menjadi penolongnya dan sekaligus menjadi muridnya, akan tetapi yang lebih daripada itu semua, menjadi titik tolak keinsyafannya!. Setelah Joko Wandiro menyimpan sepasang golok, memberi hormat lalu pergi sampai tidak tampak lagi, barulah Ki Tejoranu meloncat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu untuk pergi ke pantai laut utara, di mana teman-temannya senegara, termasuk paman gurunya yang keras hati, menanti saat perahu jong kembali ke negeri mereka.

   * * *

   Gunung Bekel (sekarang Gunung Penanggungan) adalah sebuah gunung yang tidak begitu tinggi (1653 meter), namun merupakan sebuah gunung yang subur tanahnya, indah pemandangannya, dan bersih udaranya. Gunung Bekel inilah yang dianggap sebagai bayangan atau duplikat Gunung Mahameru dan karenanya dianggap suci!

   Apalagi karena Gunung Bekel ini dijadikan tempat bertapa Sang Prabu Airlangga, maka keadaannya menjadi lebih agung lagi. Banyak terdapat guha-guha yang dianggap sebagai tempat pertapaan yang suci dan disebut Guha Tirta. Di antara guha-guha ini terdapat sebuah guha yang besar, mempunyai "pekarangan"

   Yang bersih dan amat teduh karena terlindung pohon-pohon besar di lereng sebelah atas guha. Inilah pertapaan Jalatunda, di mana terdapat sumber air yang jernih. Pagi hari itu, pertapaan Jalatunda tampak lebih indah daripada biasanya. Sinar rnatahari pagi menerobos masuk dari celah-celah daun pohon di atas guha, menerangi sebagian tanah pekarangan yang bersih karena disapu setiap hari dua kali. Mutiara embun yang menghias ujung-ujung daun berkilauan tertimpa sinar matahari pagi.

   Suara burung ramai berkicau di pohon-pohon, seakan-akan mahluk-mahluk kecil ini bergembira ria menyambut datangnya matahari. Kegembiraan yang tulus dan murni, didasari kewajaran merupakan doa dan puja-puji yang paling suci dipanjatkan ke bawah kaki Tuhan Seru Sekalian Alam. Di kanan kiri mulut guha besar tampak duduk bersila dua orang kakek. Mereka berdua, seperti juga guha pertapaan besar itu, menghadap ke timur. Jika tidak memperhatikan bagian dada mereka yang turun naik, tentu orang akan menyangka dua orang kakek itu arca-arca penjaga guha! Mereka duduk bersila tak bergerak sama sekali, kedua mata dipejamkan dan hening dalam samadhi. yang duduk di sebelah kiri adalah seorang kakek yang rambutnya sudah putih semua, digelung di atas kepala, jenggot dan kumishya juga bercampur uban, tubuhnya tegap membayangkan tenaga.

   Kakek ini hukan lain adalah Bhagawan Rukmoseto atau Sang Resi Bhargowo! Seperti telah diketahui, Bhagawan Rukmoseto terluka hebat ketika ia dikeroyok di Pulau Sempu. Akan tetapi berkat kesaktiannya, luka hebat oleh pukulan penggada Wesi Ireng yang dilakukan Jokowanengpati itu tidak merenggut nyawanya. Setelah beristirahat dan mengumpulkan kekuatannya Sang Bhagawan Rukmoseto pergi meninggalkan Pulau Sempu, kemudian menuju ke Jalatunda menghadap Sang Resi Gentayu atau Sang Resi Jatinendra. Di depan junjungannya ini, Raja Kahuripan yang telah menjadi pertapa, Bhagawan Rukmoseto dengan terus terang menceritakan semua pengalamannya semenjak ia merampas pusaka Mataram dari tangan Jokowanengpati.

   Cerita ini didengarkan juga oleh kakak seperguruannya, yaitu Sang Empu Bharodo yang dengan setia mengikuti Rajanya bertapa. Kemudian Bhagawan Rukmoseto menceritakan pula tekadnya untuk tidak mengembalikan pusaka karena ia kecewa melihat Ki Patih Narotama hendak menangkapnya dengan tuduhan memberontak. Menceritakan pula betapa ia khawatir kalau-kalau pusaka itu bahkan akan menjadi sebab perpecahan yang lebih hebat lagi antara Pangeran Sepuh dan Pangeran Anom, seperti yang ia ketahui ketika ia menyelidik ke Kotaraja. Juga di depan kakak seperguruannya ia membuka rahasia kejahatan Jokowanengpati yang kini menjadi orang kepercayaan Pangeran Anom. Sang Resi Jatinendra menghela napas panjang mendengar semua penuturan itu, kemudian bersabda,

   "Kakang Resi Bhargowo, sudah bertahun-tahun menjadi pertapa, mengapa masih belum pandai menguasai nafsu pribadi? Engkau masih diombang-ambingkan cinta dan benci, menimbulkan puji dan cela, mengakibatkan kawan dan lawan. Kasihan engkau, kakang Bhargowo. Kenapa tidak t inggal saja di sini bersama aku dan kakangmu Empu Bharodo mencari ketepangan dan keseimbangan? yang sudah lalu biarkanlah. Aku hanya ingin mendengar apa selanjutnya yang terjadi dengan pusaka Mataram yang terjatuh ke dalam tanganmu, kakang Resi Bhargowo."

   "Karena melihat perang saudara mengancam di Kotaraja, hamba mengambil keputusan untuk menyembunyikan pusaka itu. Hamba mempunyai dua orang cucu, gusti.

   "

   "Eh, kakang Resi Bhargowo. Jangan engkau bergusti lagi kepadaku. Sekarang ini aku bukanlah Raja gustimu, melainkan seorang rekan pertapa yang sama dengan engkau belajar menemukan kembali kesempurnaan sejati, kakang resi."

   "Ampun eh, baiklah, adi resi."

   "Nah, begitu lebih tepat. Selanjutnya, bagaimana, kakang?"

   "Pusaka itu hamba berikan kepada kedua orang cucu hamba, dan hamba jadikan dua, yaitu keris pusaka dan patung kencana yang menjadi warangkanya. Oleh kedua cucu hamba itu lalu disembunyikan."

   "Jagad Dewa Batara segala puji kepada Sang Hyang Wishnu, pemelihara segenap alam dan isinya...!"

   Sang Resi Jatinendra mengeluh dan menyampaikan puja-puji kepada Sang Hyang Wishnu yang menjadi pusat pujaannya.

   "Segala kehendakMu terjadilah!"

   Hening sejenak setelah pertapa bekas Raja itu mencetuskan isi hati dan perasaannya. Resi Bhargowo sendiri terkejut sekali. Apakah salahnya kalau pusaka itu disembunyikan agar tidak terjatuh ke tangan orang yang tidak berhak?

   "Untung sekali Dewata masih memayungi, adi resi. Hanya beberapa saat setelah hamba menyuruh kedua cucu hamba pergi menyembunyikan pusaka Mataram, muncul orang-orang yang katanya adalah utusan Gusti Pangeran Anom untuk merampas pusaka. Hamba dikeroyok dan roboh di tangan mereka, bahkan nyaris tewas kalau saja Dewata tidak melindungi hamba."

   "Yang penting adalah pusaka itu sendiri, kakang Resi Bhargowo. Jika keris dan warangka terpisah, hal itu menjadi tanda akan terpisahnya kawula dan gusti, menjadi tanda bahwa persatuan akan terpecah-belah dan hal ini hanya berarti perang di antara saudara. Kakang Resi Bhargowo, di manakah sekarang kedua cucumu yang memegang keris dan patung kencana?"

   "Inilah yang menyusahkan hati hamba. Mereka itu lenyap. Lenyap tak meninggalkan jejak, seakan-akan ditelan bumi!"

   "Hemmm, sudahlah. Segala hal sudah ditentukan oleh Hyang Wisesa. Kita tunggu saja perkembangannya."

   Demikianlah, semenjak saat itu, Resi Bhargowo ikut bertapa di Jalatunda. Bersama kakak seperguruannya ia bertapa menemani dan melayani Raja gustinya yang kini menjadi Sang Resi Jatinendra. Adapun kakek yang duduk bersila di sebelah kanan mulut Guha Tirta itu tubuhnya tidak setegap dan sekuat Resi Bhargowo, akan tetapi wajahnya membayangkan ketenangan yang mendalam. Dia inilah Empu Bharodo, pendeta linuwih yang sakti mandraguna dan setia kepada Rajanya. Di waktu mudanya, Empu Bharodo ini terkenal sekali karena kesaktiannya, terkenal sebagai ahli Ilmu Bayu Sakti sehingga gerakannya seperti kilat menyambar cepatnya, pandai lari seperti angin, melompat seperti terbang. Juga ilmu tombaknya yang disebut Jonggring Saloko menggemparkan seluruh Nusantara.

   Akan tetapi setelah tua, Empu Bharodo lebih tekun melakukan tapa brata, meninggalkan keramaian duniawi, lebih memperdalam ilmu kebatinan. Dan inilah sebabnya maka muridnya yang tadinya merupakan murid terkasih, Jokowanengpati, sampai dapat menyeleweng berlarut-larut karena gurunya seperti tidak memperdulikan urusan dunia lagi, juga tidak memperdulikan sepak terjang muridnya. Ketika adik seperguruannya, Resi Bhargowo bercerita tentang kejahatan muridnya, kakek ini hanya tersenyum lemah. Kini kakak beradik seperguruan yang telah menjadi pertapa-pertapa sakti itu duduk di kanan kiri mulut Guha Tirta, tekun bersamadhi menghadap ke timur sehingga wajah mereka tersinar matahari pagi yang kemerahan.

   Tak lama kemudian, seorang kakek lain melangkah keluar guha. Kakek ini langkahnya perlahan, tubuhnya tegak, sikapnya agung dan penuh wibawa. Biarpun sudah tua, namun dadanya bidang dan penuh membayangkan kekuatan lahir batin yang hebat. Jenggotnya yang panjang sudah penuh uban, sebagian menutupi dada bagian atas yang tidak seluruhnya tertutup jubah pertapaannya. Pakaiannya yang mengkilap dan indah, terbuat daripada kain yang amat halus itu menandakan bahwa dia seorang pertapa yang bukan sembarangan. Dan memang inilah dia Sang Resi Jatinendra atau Sang Resi Gentayu, Sang Prabu Airlangga Raja Kahuripan yang telah mengundurkan diri dan bertapa.

   Setelah tiba di mulut guha, Sang Resi Jatinendra menoleh ke kanan kiri, wajahnya kini tersinar matahari pagi, gilang-gemilang seperti dilapis kencana. Sinar matanya penuh damai, mulutnya terhias senyum maklum, kemudian ia melangkah terus ke depan, lalu duduk di atas batu halus berbentuk bulat yang berada tepat di depan guha di tengah pekarangan. Memang batu itu adalah batu tempat sang pertapa duduk setiap pagi, bersamadhi menghadap ke timur di waktu matahari muncul. Begitu duduk bersila, seluruh tubuh dan wajahnya tepat tertimpa sinar keemasan Sang Bhatara Surya, ia sudah tekun bersamadhi, tangan kiri di atas pangkuan, tangan kanan di atas lutut kanan. Sudah menjadi kebiasaan sang pertapa dan dua orang pengikutnya, setiap pagi duduk bersamadhi di depan Guha Tirta menghadap ke arah matahari.

   Bukan sekali-kali Sang Resi Jatinendra menjadi pemuja Sang Bhatara Surya. Tidak. Sungguhpun mereka bertiga menghormati Sang Bhatara Surya yang bertugas menyinarkan kehidupan di permukaan bumi, namun sebenarnya Sang Resi Jatinendra adalah seorang pemuja Sri Bhatara Wishnu atau Sang Hyang Wishnu. Bersamadhi di waktu pagi hari di depan guha ini hanyalah kebiasaan belaka, dan memang hal ini merupakan kebiasaan yang amat baik. Selain meperima inti sari sinar Sang Surya, juga cahaya di waktu pagi amat bermanfaat bagi kesehatan jasmani. Bagaikan tiga buah arca kencana, tiga orang pertapa itu tekun bersamadhi dan sebentar saja mereka dalam keadaan hening, menikmati kebahagiaan dari kekosongan yang hanya dapat dirasakan oleh mereka yang biasa bersamadhi.

   Mereka ini sama sekali tidak tahu bahwa seorang pemuda tanggung datang berindap-indap, membungkuk-bungkuk penuh hormat sambil memandang kepada tiga orang kakek yang duduk bersila di depan guha itu. Pemuda tanggung itu adalah Joko Wandiro yang mentaati pesan Ki Tejoranu, datang mencari eyang gurunya di pertapaan Jalatunda. Ketika melihat kakek yang duduk terdepan, datang rasa takut dan hormat di hati Joko Wandiro. Kemudian betapa girang rasa hatinya ketika ia mengenal eyang gurunya yang duduk bersila di sebelah kiri mulut guha, di belakang kakek di depan itu. Serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut dan memanggil-manggil perlahan,

   "Eyang... saya datang menghadap, eyang...!"

   Tidak ada jawaban. Tiga orang kakek itu tetap duduk bersila tak bergerak. Sampai tiga kali Joko Wandiro mengulang ucapannya. Tiba-tiba Joko Wandiro merasa betapa tubuhnya terangkat dan melayang ke depan. Ia terkejut dan terheran. Tahu-tahu ia sudah pindah tempat, di belakang Resi Jatinendra! Entah bagaimana, tubuhnya tadi terangkat dan terlempar ke tempat itu, di tengah-tengah antara eyang gurunya dan kakek tua yang duduk diam meramkan mata. Selagi ia kebingungan, mendadak terdengar suara eyang gurunya di sebelah kiri.

   "Diamlah, Joko. Diam jangan bergerak. Lihat saja apa yang akan terjadi!"

   Suara eyangnya itu perlahan, akan tetapi mengandung wibawa dan juga Joko Wandiro dapat menangkap getaran tegang dalam suara itu, seakan-akan mereka bertiga yang tampak enak-enak duduk bersamadhi itu sedang menghadapi hal yang amat gawat dan menegangkan.

   Sebagai seorang anak yang berperasaan halus, Joko Wandiro segera dapat mengerti atau setidaknya menduga akan keadaan itu, maka iapun lalu duduk diam di antara Resi Bhargowo dan Empu Bharodo, di belakang Resi Jatinendra, menanti apa yang akan terjadi dan memasang mata penuh perhatian ke depan, kanan, dan kiri. Akan tetapi keadaan di sekeliling tempat itu sunyi saja. Sunyi dan mengamankan hati. Joko Wandiro tidak melihat bahaya apapun yang mengancam ketentraman tempat suci ini. Sinar matahari sudah mulai bening. Halimun tebal sudah mulai lari ketakutan. Burung-burung makin gencar berkicau gembira menyambut sang Raja siang yang mulai memperlihatkan kekuasaannya.

   Pagi yang cerah dan indah mengawali hari itu. Keadaan demikian indah dan tenang tenteram, mengapa eyang gurunya kelihatan seperti seorang yang menanti datangnya sesuatu penuh kekhawatiran? Joko Wandiro mengeriing ke kanan, menyapu wajah kakek di sebelah kanannya. Namun kakek itu masih tenang bersamadhi, kedua matanya dipejamkan, kedua tangan menyilang di atas pangkuannya, muka menunduk. Juga kakek di sebelah depan itu, yang hanya dapat ia lihat punggungnya, tidak bergerak-gerak. Tiba-tiba perhatian Joko Wandiro tertarik oleh sesuatu dan jantungnya berdebar keras, belakang kepalanya terasa dingin dan bulu tengkuknya meremang. Rasa serem dan ngeri memenuhi hatinya. Apakah yang membuat Joko Wandiro merasa serem? Telinganya menangkap sesuatu yang amat aneh, perubahan yang luar biasa.

   Secara mendadak, semua suara yang serba merdu dan indah tadi, suara kicau burung yang berloncatan dari cabang ke cabang, pasangan-pasangan burung yang sedang bercumbu, pasangan burung yang tengah terbang melayang sambil memekik-mekik girang, semua itu secara mendadak telah berhenti sama sekali! Tidak terdengar apa-apa lagi. Bahkan kelepak sayap burung tidak kedengaran lagi. Keadaan tiba-tiba menjadi sunyi, sesunyi kuburan! Joko Wandiro dengan bingung menoleh ke sana kemari untuk mencari tahu apa yang menyebabkan semua burung berhenti berkicau dan apa atau siapa gerangan yang menimbulkan suasana lengang dan serem itu. Namun tidak tampak sesuatu. Beberapa detik kemudian, terdengar bunyi parau yang menusuk telinga, bunyi tidak sedap. Burung gagak!.

   "Gaaok... kraaaaakk... kraaaakk... gaaaaokkk...!!"

   Joko Wandiro tentu saja sudah sering kali mendengar bunyi burung pemakan bangkai ini. Bahkan seringkali melihat burungnya, burung besar yang hitam mulus, jelek warna dan bentuknya. Akan tetapi selama hidupnya belum pernah ia merasa begini serem dan ngeri mendengar suara burung gagak seperti yang didengarnya saat itu. Mungkinkah munculnya burung gagak membuat semua burung ketakutan, terbang pergi atau bersembunyi, tidak berani bersuara lagi? Tidak mungkin!. Burung gagak bukanlah burung elang Rajawali yang suka menerkam burung lain. Burung gagak adalah burung yang bersifat pengecut, hanya menyerang lawan yang sudah menjadi bangkai. Akan tetapi mengapa keadaan menjadi begitu lengang bersamaan dengan munculnya suara burung gagak itu? Ataukah hanya kebetulan?.

   Ketika ia melirik ke kanan kiri, tampak perubahan pada eyang gurunya dan kakek di sebelah kanannya. Mereka masih duduk bersila dan meramkan mata, akan tetapi tubuh mereka lebih tegak daripada tadi dan kulit tubuh yang tak tertutup baju, jelas nampak getaran-getaran penuh ketegangan sehingga kening merekapun berkerut! Hanya kakek di depan agaknya tidak bergerak dan masih seperti tadi. Tiba-tiba terdengar bunyi bercicit dari dalam guha dan tak lama kemudian muncullah burung-burung hitam kecil beterbangan dari dalam guha. Akan tetapi burung-burung sriti itu tidak keluar dari dalam guha, hanya beterbangan di sekitar mulut guha, seakan-akan silau melihat sinar matahari. Mendadak kakek di sebelah kanan Joko Wandiro, yaitu Empu Bharodo, mengangkat tangan kiri digerakkan ke arah dalam guha.

   
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Seketika burung-burung itu lenyap beterbangan masuk lagi ke dalam, seakan-akan gerak tangan Empu Bharodo tadi merupakan perintah kepada burung-burung itu agar jangan keluar dan kembali ke sarang mereka di bagian paling dalam di guha itu. Tak lama kemudian terdengar suara riuh dari sebelah depan. Cahaya matahari yang tadinya menerangi pekarangan depan guha mendadak menjadi suram seakan-akan tertutup awan mendung. Dari dalam kesuraman ini terdengar kelepak sayap dan suara mencicit-cicit yang nyaring tinggi menusuk telinga. Joko Wandiro membelalakkan matanya, memandang ke atas. Kini bukan hanya bulu tengkuknya yang meremang, bahkan setiap lembar bulu di tubuhnya berdiri semua!. Tengkuknya terasa dingin, kepalanya seakan melar membesar.

   Matanya terbelalak memandang ke atas, mulutnya ternganga. Siapa orangnya takkan merasa heran, kaget, takut dan ngeri melihat ratusan, bahkan ribuan kelelawar hitam beterbangan menyerbu tempat itu? Melihat kelelawar di malam gelap tidaklah mengherankan, akan tetapi menyaksikan ribuan ekor kelelawar di pagi hari menyerbu ganas semacam itu benar-benar mendatangkan rasa ngeri, karena hal itu sudah pasti bukanlah hal yang sewajarnya!. Ribuan ekor kelelawar itu dengan suara mencicit yang memekakkan telinga, dari atas menyambar ke bawah dan kini tempat itu penuh dengan binatang-binatang kecil yang menjijikkan ini. Bau apak menyengat hidung dan menyesakkan pernapasan. Joko Wandiro cepat-cepat mengatur pernapasannya dan setelah mengerahkan hawa sakti di dalam dada, barulah ia dapat bernapas lega.

   Akan tetapi hatinya ngeri melihat betapa kelelawar-kelelawar itu kini beterbangan rendah. Anehnya, tak seekorpun di antara mereka terus menyambar turun, seakan-akan ada sesuatu yang melindungi empat orang itu, atau ada sesuatu yang mendatangkan rasa takut pada binatang-binatang itu. Setiap kali menyambar, serendah kira-kira semeter dari kepala empat orang itu, binatang-binatang ini terbang ke atas kembali sambil mengeluarkan pekik-pekik ketakutan. Maka makin penuh sesaklah bagian atas pekarangan itu dengan kelelawar yang beterbangan. Kini banyak di antara binatang-binatang itu yang hinggap di pohon-pohon, bergantungan dan menjerit-jerit. Penuh semua pohon di tempat itu dengan kelelawar. Bau apak makin tak tertahankan.

   "Wirokolo benar-benar tak tahu diri, berani mengganggu Sang Agung Resi Jatinendra!"

   Terdengar Empu Bharodo berkata perlahan. Kakek ini lalu mengangkat kedua tangannya ke atas, melambai ke depan guha. Terdengar suara melengking nyaring dari dalam guha dan makin lama suara ini makin bergemuruh, mengatasi suara kelelawar-kelelawar yang menggila. Kiranya suara ini adalah suara ribuan ekor burung sriti yang menerobos keluar dari dalam guha sambil berbunyi marah. Bagaikan segulung asap hitam, rombongan burung sriti ini berserabutan keluar dari dalam guha dan terjadilah perang yang amat dahsyat dan mengherankan.

   Ribuan ekor burung sriti itu serta-merta menyerbu dan menyerang kelelawar-kelelawar tadi!. Joko Wandiro melongong keheranan. Bukan main! Hebat perang tanding di udara itu. Patuk-mematuk, sambar-menyambar, cakar-mencangkar dan saling memukul dengan sayap. Fihak kelelawar juga melakukan perlawanan gigih. Namun mereka kalah gesit, juga kalah awas. Pandai sekali burung-burung sriti itu. mengelak, kemudian dengan kecepatan kilat menyambar dan mematuk lawan dari samping. Payah kelelawar-kelelawar itu mempertahankan diri. Banyak sudah jatuh korban. Tidak mati dipatuk burung-burung sriti yang kecil itu, akan tetapi burung-burung itu mematuk ke arah mata sehingga kelelawar-kelelawar itu kini benar-benar menjadi buta, bukan hanya silau oleh sinar matahari.

   Mulailah mereka beterbangan kacau-balau dalam ketakutan dan hendak melarikan diri. Terbang sejadinya dan tanpa arah tertentu sehingga banyak di antara mereka yang menabrak pohon dan jatuh ke dalam jurang. Burung-burung sriti yang gagah dan gesit itu terbang pula mengejar dan mengusir kelelawar-kelelawar dari depan guha. Peperangan yang dahsyat dan aneh, yang berlangsung tidak begitu lama, namun cukup mendebarkan hati Joko Wandiro. Sebentar saja burung-burung itu telah mengusir semua kelelawar sehingga tidak seekorpun tinggal. Mereka terus mengejar sampai tak terdengar lagi suara kelelawar yang kebingungan. Tak lama kemudian tempat itu menjadi sunyi senyap dan bersih kembali seperti tadi. Bahkan bau apak kelelawar sudah lenya pula tersapu angin gunung. Tiga orang kakek itu masih duduk seperti tadi.

   "Gaaaaookk, kraaaaak-kraaak, gaaookkk!!..."

   Suara burung gagak yang memecah kesunyian itu benar-benar amat menyeramkan bagi Joko Wandiro. Apalagi karena sekarang suara burung gagak ini terdengar jelas sekali. Agaknya burung itu berada di atas kepala mereka. Namun tak tampak sesuatu oleh Joko Wandiro.

   "...Hiyeeehhh!! Keteprok-keteprok... hiyeeeeehhhhh"

   Joko Wandiro sampai tersentak kaget. Suara kuda menegar-negar, derap kakinya yang rnenginjak-injak tanah, ringkiknya yang nyaring, benar-benar seperti kuda itu berada di depannya. Namun tidak tampak sesatu!.

   "Ha-ha-ha-ha-ha...!!"

   Suara ketawa inipun terdengar jelas, suara ketawa tanpa kelihatan orangnya. Joko Wandiro menoleh ke kanan kiri memandang eyang gurunya dan Empu Bharodo. Rasa takut membuat ia menggeser mendekati eyang gurunya. Namun ia teringat akan pesan eyang gurunya tadi, maka ia tidak berani membuka suara, hanya membuka mata lebar-lebar memandang ke depan dengan jantung berdebar dan leher serasa dicekik.

   "Ha-ha-ha! Kahuripan akan menjadi karang abang (lautan api)! Sang Prabu Airlangga yang tadinya hidup mulia dan megah, kini menjadi pertapa jembel! Ha-ha-ha!"

   Suara itu bergema seperti suara iblis dari dalam kuburan, mengaung dan terdengar dari jauh, namun amat jelas. Dan suara ini diiringi bau dupa yang aneh, harum sekali. Begitu wangi sehingga memabokkan, di dalam hidung sampai terasa sakit penuh dengan ganda wangi yang mendatangkan rasa manis. Seketika Joko Wandiro merasa kepalanya pening, matanya berkunang. Alangkah kagetnya ketika ia berusaha menggerakkan kaki tangannya, ternyata seluruh tubuhnya kaku! Persis seperti keadaan orang yang tindihen (mimpi buruk), pikiran masih terang, panca indera masih sadar, namun seluruh tubuh kaku-kaku tak dapat bergerak! Dan ganda wangi itu makin menyengat, memenuhi hidung dan tenggorokan, mulai menyerang paru-paru. Joko Wandiro terengah-engah, dadanya terasa sakit!.

   "Joko Wandiro, tenanglah... tidak apa-apa...!"

   Terdengar Bisikan dari sebelah kiri, suara eyang gurunya. Joko Wandiro sejak kecil memang digembleng oleh ayahnya, kemudian oleh eyang gurunya, bahkan akhir-akhir ini oleh Ki Tejoranu. Namun semua gemblengan itu hanya merupakan latihan ilmu-ilmu kesaktian dan dalam hal ilmu kebatinan ia hanya mendapat latihan untuk memperkuat batin dan menghimpun hawa sakti dalam tubuh. Berhadapan dengan ilmu hitam yang tidak sewajarnya seperti ini, ia sama sekali belum pernah mengalaminya. Tidak mengherankan apabila ia sudah menjadi korban.

   Ucapan eyang gurunya seakan-akan menjadi akar pohon di tepi sungai di mana ia tenggelam dan hanyut Merupakan penolong dalam keadaan darurat. Cepat ia mengerahkan tenaga sakti, menahan napas, dan membuka matanya. Gelap dan kabur pandang matanya, tampak ribuan bintang menari-nari. Ganda wangi memabokkan masih keras terasa. Tiba-tiba ia merasa ada titik-titik air berjatuhan ke atas kepala dan mukanya. Terasa dingin sekali sampai menembus kulit daging dan mendinginkan pikiran dan hati. Ia dapat melihat jelas sekarang. Rasa dingin air itu mengusir kepeningannya. Kiranya kakek di sebelah kanannya, Empu Bharodo, sudah memercik-mecikkan air kepadanya, sambil berkemak-kemik membaca mantera.

   "Pegang dan cium puspa (bunga) ini, Joko..."

   Kembali terdengar suara eyang gurunya dan setangkai bunga berada di tangannya. Bunga cempaka putih. Joko Wandiro segera membawa bunga itu ke hidungnya. Berkuranglah ganda wangi menusuk hidung yang tadi memabokkannya. Makin terang pandang matanya dan ia kini tenang kembali. Ketika ia memandang ke depan, jantungnya tergetar, akan tetapi ia dapat menenangkan kembali setelah teringat bahwa ia berada di antara orang-orang sakti.

   Sambil menekan kembang itu di depan hidung, Joko Wandiro memandang ke depan dengan mata terbelalak. Apa yang dilihatnya benar-benar membuat orang mati ketakutan. Amat menyeramkan dan tak masuk akal, seperti dalam mimpi buruk. Di sebelah depan Sang Resi Jatinendra berdiri sebuah mahluk yang luar biasa sekali. Disebut manusia, jauh bedanya dengan manusia biasa. Kalau binatang, bentuknya menyerupai manusia. Mahluk itu tinggi besar, satu setengah kali tinggi besar seorang manusia biasa. Merupakankan seorang manusia betina, seorang nenek-nenek yang sukar ditaksir usianya. Pendeknya seorang nenek yang sudah sangat tua. Rambutnya gimbal riap-riapan, sebagian menutup mukanya. Mukanya yang buruk penuh keriput dengan kulit kering mengelinting seperti tengkorak terbungkus kulit yang terlalu besar.

   Matanya cekung, seperti berlubang tak berbiji mata, akan tetapi dari dalam dua lubang mata yang hitam itu keluar sinar bagaikan sepasang mata harimau. Hidungnya pesek mulutnya lebar dengan bibir bawah menggantung sehingga tampak mulut yang tak bergigi lagi. Tubuhnya kurus akan tetapi besar, dengan sepasang lengan kurus yang berujung jari-jari tangan meruncing karena kuku-kukunya dibiarkan memanjang tak terpelihara. Berbeda dengan kedua lengan yang kurus, di dadanya bergantungan sepasang buah dada yang besar dan panjang, begitu panjangnya sampai ujung tetek mendekati pusarnya!. Tubuh atas yang bertetek besar panjang ini dibiarkan telanjang saja, akan tetapi perhiasan emas permata memenuhi leher, pergelangan tangan dan jari-jari tangannya! Tubuh bawah tertutup kain beraneka warna.

   "Hi-hi-hi-hikk...!!"

   Nenek mengerikan itu tertawa-tawa, terkekeh-kekeh dan bergerak-gerak di depan Resi Jatinendra yang semenjak tadi tak bergerak-gerak. Semenjak terjadi bermacam keanehan, sampai perang dahsyat antara barisan kelelawar melawan barisan sriti, sampai kini nenek yang sepatutnya disebut wewegombel ini bergerak-gerak di depannya, pendeta itu sama sekali tak bergerak maupun membuka mata.

   "Hi-hi-hikk... Airlanggaaaaa... Airlangga...!! Tiada guna kau bertapa... hi-hi-hikk! Kahuripan akan menjadi karang abang... anak cucumu akan saling bunuh hi-hik, dan aku akan kenyang minum darah segar mengganyang daging hangat. Hi-hi-hikk...!!"

   Joko Wandiro bergidik. Ketika sinar mata yang memancar keluar dari sepasang lubang hitam itu bertemu dengan pandang matanya, hampir ia pingsan. Untung ia cepat-cepat menggigit tangkai bunga dan mengerahkan seluruh tenaga mempertahankan diri sehingga ia sadar kembali dan menentang sinar mata itu penuh keberanian.

   "Iiih-hi-hih, bocah ini makanan lezat... iihh-hih-hih...!"

   Nenek itu memutar ke belakang Sang Resi Jatinendra dan melangkah menghampiri Joko Wandiro!. Joko Wandiro adalah seorang anak berdarah satria bertulang pendekar. Tadi ia memang merasa ngeri dan ketakutan menyaksikan pemandangan yang gaib dan tidak wajar ini. Akan tetapi begitu melihat dirinya terancam bahaya, bangkit semangat perlawanan dalam dirinya. Ia telah digembleng sejak kecil bagaimana harus membela diri daripada ancaman bahaya. Melihat nenek itu menghampirinya dengan sikap mengancam dan menjijikkan, ia mengerahkan seluruh tenaga batin untuk menekan semua perasaan takut dan ngeri, kemudian sekali ia mengeluarkan seruan nyaring, tubuhnya sudah meloncat ke depan dan menyambut nenek itu dengan sebuah pukulan Aji Pethit Nogo!.

   "Werir... werrr... werrr...!!"

   Hebat bukan main pukulan ini, biarpun hanya dilakukan oleh seorang pemuda tanggung. Pukulan dengan jari-jari terbuka itu mendatangkan angin pukulan keras sehingga mengeluarkan Suara. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati Joko Wandlro ketika tiga kali pukulannya secara bertubi-tubi itu, yang mengenai sasaran tepat ternyata menembus tubuh si nenek seakan-akan menembus bayangan saja.

   Nenek itu tidak berbadan seperti manusia agaknya Akan tetapi ketika sambil terkekeh nenek itu menggerakkan tangan kirinya yang berlengan panjang, Joko Wandiro terkena hantaman pundaknya, terasa nyeri seperti dihantam palu godam dan ia terjungkal ke kiri!. Bagaikan bola, begitu roboh Joko Wandiro sudah meloncat kembali dan kini kedua tangannya sudah memegang sepasang golok tipis yang tadinya ia sisipkan di pinggang tertutup baju. Karena marah dan penasaran, Joko Wandiro segera memutar sepasang goloknya, mainkan Ilmu Golok Lebah Putih yang belum lama ini ia pelajari dari Ki Tejoranu. Lenyaplah bentuk sepasang goloknya, berubah menjadi dua gulungan sinar putih yang mengeluarkan suara seperti banyak lebah beterbangan Gulungan sinar itu menyambar dan mengurung diri si nenek tinggi besar yang masih terkekeh-kekeh.

   "Hihh-hih-hihh...!"

   Nenek itu terkekeh dan sepasang susunya yang besar panjang itu bergoyang-goyang mengerikan ketika ia tertawa sambil bertolak pinggang. Joko Wandiro membelalakkan kedua matanya melihat sepasang goloknya yang menyambar itu kembali tembus tanpa melukai tubuh si nenek iblis!.

   

Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini