Perawan Lembah Wilis 49
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 49
Melihat ini, Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo terkejut, cepat mengejar dan menyerang. Bagus Seta mengelak dan balas menyerang dengan kedua senjatanya yang kecil dan aneh, yaitu setangkai kembang cempaka putih dan pengikat rambutnya dari sutera. Gerakan tiga orang sakti ini amat cepat dan dahsyat sehingga tubuh mereka lenyap, bergulung-gulung menjadi bayangan yang sukar dilihat oleh mata manusia biasa.
"Gusti Puteri....... mari kita lari....... kita bisa membuka....... jalan berdarah, lebih baik kita menggunakan kesempatan ini untuk menyelamatkan diri.......
"
Kata Adiwijaya yang merasa serba salah kalau gustinya ikut bertanding.
Sepihak adalah Bagus Seta dan mungkin di belakangnya ada pasukan Jenggala, berarti musuh gustinya. Pihak lain adalah rombongan Wasi Bagaspati, yang sekarang juga telah menjadi musuh, lebih baik cepat-cepat menyelamatkan diri
Akan tetapi pada saat itu Retna Wilis telah sadar benar-"benar dan tenaganya telah pulih kembali. Benturan tenaga dengan Wasi Bagaspati yang membuat ia terlempar dan roboh tadi sama sekali tidak melukainya, bahkan telah menyadarkan dan memulihkan keadaannya.
Kini ia telah berdiri tegak dengan muka merah dan mata mengeluarkan api kemarahan.
Teringatlah ia kini apa yang dianggapnya seperti mimpi itu ternyata adalah kenyataan!
Tadinya ia hanya mengira bahwa ia dalam mimpi dan kini samar"samar teringatlah olehnya akan segala yang telah dialaminya, betapa ia ikut menari-nari seperti orang gila, kemudian betapa ia diminumi jamu berkali-kali oleh Ni Dewi Nilamanik, ketika menari dibelai dan terbangkit gairah yang belum pernah dirasai selama hidupnya, betapa ia menurut saja ketika dibawa ke pondok oleh Wasi Bagaspati, dan....... ah, mengingat akan semua itu, hampir Retna Wills berteriak saking malu dan marahnya.
Kini Adiwijaya mengajak dia melarikan diri!
"Tidak! Harus kubunuh mereka semua!"
Bentaknya, bahkan saking marahnya ia lalu mengibaskan tangan Adiwijaya yang hendak mengajaknya lari, kemudian tubuhnya melesat ke arah Ni Dewi Nilamanik sambil berseru nyaring,
"Perempuan rendah menjijikkan, engkau harus mati di tanganku!"
Melihat datangnya serangan yang demikian dahsyatnya, Ni Dewi Nilamanik menjadi pucat wajahnya dan cepat ia meloncat ke belakang, berlindung di belakang anak buahnya.
"Breesssss........!! "
Terjangan Retna Wilis disambut oleh banyak orang anggauta pasukan anak buah Wasi Bagaspati dan terjungkallah empat orang dalam keadaan tidak bernyawa dengan tubuh hangus terkena pukulan dan tendangan dara perkasa yang sudah marah sekali ini.
Kemudian Retna Wills mengamuk, bagaikan api menyala"nyala membakar apa saja yang berada di dekatnya. Maju dua orang roboh dua orang, maju empat orang roboh empat orang. Ia terus mengamuk sambil mengejar Ni Dewi Nilamanik yang berusaha melarikan diri ke sana-sini di antara anak buahnya yang menyerbu Retna Wilis seperti sekumpulan....... laron menyerbu api.
Melihat ini, Adiwijaya tidak mau tinggal diam dan ia pun lalu menerjang pasukan yang mengeroyok Retna Wilis itu. Karena Retna Wilis bergerak cepat sekali dan selalu mengejar ke mana pun Ni Dewi Nilamanik lari, maka sebentar saja Adiwijaya yang kini dikeroyok pula, terpisah jauh dari dara itu.
Amukan Retna Wilis membuat pasukan siluman anak buah Wasi Bagaspati itu kocar-kacir dan mawut. Juga Adiwijaya merupakan seorang lawan yang kuat sekali biarpun tidak sedahsyat Retna Wilis, namun sukar bagi pasukan itu untuk merobohkannya.
Tiba-tiba terdengar teriakan kaget dan keadaan pasukan menjadi makin mawut ketika di situ terjun dua orang yang amat perkasa dan yang langsung menerjang dan merobohkan pasukan-pasukan itu dengan amukan kaki tangan mereka yang tangkas. Pasukan siluman menjadi lebih panik ketika mengenal bahwa yang datang mengamuk ini bukan lain adalah Ki Patih Tejolaksono dan isterinya, Endang Patibroto!
Akhirnya Retna Wilis dapat berhadapan dengan Ni Dewi Nilamanik yang tidak dapat melarikan diri lagi karena pasukannya terpecah-pecah, sebagian mengeroyok Adiwijaya, sebagian besar menahan amukan Tejolaksono dan Endang Patibroto, dan terpaksa dia hams menyambut sendiri Retna Wilis yang memandangnya penuh kebencian.
"Ni Dewi Nilamanik, biar engkau lari ke neraka sekalipun, tetap akan kukejar sampai alai berhasil membunuhmu!"
Betapapun juga, Ni Dewi Nilamanik bukanlah seorang lemah. Dia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sesungguhnya kalau dicari di antara orang-orang biasa, jarang ditemukan orang yang dapat menandinginya. Biarpun ia maklum akan kesaktian Retna Wilis yang membuat hatinya gentar, namun menghadapi jalan buntu ini ia menjadi nekat dan berkata,
"Retna Wilis, tidak begitu mudah engkau hendak membunuhku. Engkau hendak mengenal kedigdayaan Ni Dewi Nilamanik, penitisan Sang Hyang Bathari Durgo? Majulah!"
Retna Wilis berteriak marah dan menerjang dengan pukulan Wisalangking yang kalau mengenai tubuh lawan akan membuat tubuh itu menjadi hitam terkena hawa beracun.
Akan tetapi Ni Dewi Nilamanik yang sudah nekat cepat meloncat ke kiri menghindarkan pukulan ini, kemudian pengebut merahnya menyabet dari kiri mengarah leher Retna Wilis.
Dara perkasa ini mengubah pukulan yang luput menjadi cengkeraman ke arah ujung pengebut dengan maksud merampak senjata itu namun Ni Dewi Nilamanik sudah mengerti akan niat lawan, maka ia menggerakkan pergelangan tangan sehingga ujung pengebutnya membalik, kemudian dengan gerakan melingkar ujung cambuknya yang berubah menjadi kaku menusuk ke arah ulu hati Retna Wilis.
Dara sakti ini menurunkan lengan yang tadi hendak mencengkeram, menangkis sambil mengerahkan tenaga sakti.
"Pyarrr!"
Ujung cambuk atau kebutan yang tadi mengeras itu ambyar dan menjadi lemas kembali terkena tamparan tangan Retna Wilis yang ampuh. Retna Wilis tidak berhenti sampai di situ, cepat tangan kirinya menyodok dengan jari tangan terbuka ke arah leher Ni Dewi Nilamanik.
Wanita ini terkejut sekali, cepat ia menarik tubuh atas ke belakang sehingga terhindar daripada tusukan jari tangan yang ampuh itu. Akan tetapi tubuh Retna berkelebat cepat dan kaki tangannya bergerak-gerak seperti angin puyuh mengamuk.
Demikian cepatnya gerakan dara ini yang telah memainkan Ilmu Sllat Pancaroba yang amat cepat, ganas dan dahsyat. Ni Dewi Nilamanik kewalahan dan menjadi bingung.
Dalam pandang matanya, seolah-olah tubuh Retna Wilis berubah menjadi tiga sehingga tiga pasang tangan berikut tiga pasang kaki menyerangnya dari setiap penjuru! Ia berlaku nekat, memutar cambuknya sekuat tenaga.
Retna Wilis tidak mau membuang banyak waktu, dan ia membiarkan ujung cambuk atau kebutan itu mengenai pundaknya sambil mengerahkan tenaga sakti melindungi pundak, kemudian , kemudian ia menubruk maju mencengkeram tangan yang memegang kebutan merah.
"Aihhhhh.......!"
Ni Dewi Nilamanik menjerit kesakitan ketika tangannya terasa seperti dibakar api menyala, terpaksa melepaskan kebutan yang kini telah terampas oleh Retna Wilis.
Ni Dewi Nilamanik memandang dengan mata terbelalak kepada dara yang kini melangkah maju perlahan-lahan dengan bibir tersenyum dingin dan mata bersinar-sinar seperti mengeluarkan kilat. Ia mundur-mundur ketakutan, wajahnya pucat, semua semangat perlawanannya lumpuh.
Tiba-tiba Retna Wilis menggerakkan kebutan itu. Sinar merah menyambar dan sebelum Ni Dewi Nilamanik tahu apa yang terjadi kebutan itu telah melibat lehernya.
Ia cepat menggunakan kedua tangan untuk melepaskan ujung kebutan yang membelit lehernya, mengerahkan tenaga, namun bulu-bulu yang kuat dan terbuat dari ekor kuda itu mencekik makin erat, diiringi suara ketawa Retna Wilis.
"Auggghhh....... am....... ampunn.......!! "
Ni Dewi Nilamanik menjerit, akan tetapi yang keluar dari lehernya hanya suara orang tercekik.
Ia tak dapat bernapas lagi dan perlahan-lahan Retna Wilis yang sudah memegang ujung kebutan dengan tangan kiri dan gagang kebut an dengan tangan kanan, menggunakan kedua tangannya menarik sehingga kebutan itu makin lama makin erat mencekik leher Ni Dewi Nilamanik.
Muka Ni Dewi Nilamanik makin pucat, matanya terbelalak lebar, lidahnya yang merah dan yang biasanya dapat menimbulkan gairah dan rangsang pada hati setiap pria kini terjulur keluar, makin lama makin panjang, tubuhnya yang tadinya meronta-ronta kuat kini hanya berkelonjotan dan tubuh itu tentu sudah rebah terjengkang kalau tidak tertahan oleh kebutan yang mencekik lehernya.
Makin lama kebutan itu makin kuat mencekik leher dan tak lama kemudian terdengar suara aneh yang tidak menyerupai suara manusia keluar dari mulut Ni Dewi Nilamanik, disusul robohnya tubuhnya terjengkang ke belakang dan menggelindinglah kepala karena leher itu telah putus seperti disayat pisau!
Retna Wilis membuang kebutan merah yang kini menjadi lebih merah lagi oleh darah ke dekat mayat Ni Dewi Nilamanik, memandang jijik, juga terkejut karena melihat betapa tubuh Ni Dewi Nilamanik, yang tadinya montok padat dan berkulit halus itu kini telah menjadi tubuh peyot keriputan, tubuh seorang nenek, adapun kepala yang menggelinding dengan muka di atas itu memperlihatkan mata melotot dan lidah terjulur, akan tetapi yang membuat Retna Wilis terheran adalah melihat betapa muka itu kini menjadi muka seorang nenek-"nenek.
Mengertilah ia bahwa Ni Dewi Nilamanik yang usianya sudah hampir enam puluh tahua itu tadinya kelihatan cantik oleh pengaruh ilmu hitam dan ramuan jamu, dan kini pengaruh itu lenyap bersama nyawanya, seperti muka seorang nenek berusia seratus tahun!
Baru setelah banyak sekali anak buah Ni Dewi Nilamanik datang menyerbunya dari empat jurusan menggunakan senjata-senjata tajam, Retna Wilis sadar dan cepat menggerakkan tubuh, diputar dengan kedua tangan terpentang menampar ke kanan ldri. Senjata-senjata para pengeroyok beterbangan disusul robohnya empat orang sekaligus dan mulailah Retna Wilis mengamuk seperti seekor harimau betina membela anaknya.
"Retna.......! "
"Retna Wilis.......!! "
Dara sakti itu menengok dan alisnya berkerut ketika ia melihat bahwa tidak jauh dari situ, ia melihat Ki Patih Tejolaksono dan Endang Patibroto juga mengamuk, merobohkan para anak buah Wasi Bagaspati dengan tangkas dan gagah perkasa.
"Mari kita basmi bedebah-bedebah ini, anakku!"
Endang Patibroto berteriak, suaranya penuh keharuan.
Akan tetapi Retna Wilis tidak menjawab, hanya mengamuk lebih hebat lagi, seolah-olah ia hendak menandingi kegagahan ayah dan bundanya.
Melihat sepak terjang Retna Wilis, Tejolaksono dan Endang Patibroto sendiri merasa ngeri.
Mereka melihat betapa sekali pukul dara itu membuat kepala seorang pengeroyok pecah berhamburan, darah dan otak muncrat, betapa dara itu menangkap lengan seorang pengeroyok, diputarnya sehingga tubuh itu terangkat ke atas lalu dibanting sampai remuk.
Amukan Retna Wilis benar-benar menggiriskan dan sepak terjangnya bukan seperti manusia lagi!
Pertandingan antara Bagus Seta yang dikeroyok dua oleh Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo terjadi amat hebat pula. Gerakan mereka amat cepat dan mereka tidak bertanding seperti manusia biasa sehingga mereka itu berpindah-pindah, makin lama makin menjauhi pantai dan naik ke gunung-gunung batu karang , bahwa kedua orang lawannya yang bertanding sambil kadang-kadang lari itu memancingnya ke sebuah tempat di mana telah bersembunyi pasukan siluman yang menjadi inti pasukan gemblengan Wasi Bagaspati, sejumlah dua puluh orang! Maka setelah mereka tiba di lereng sebuah gunung anakan, tiba-tiba dari tempat-tempat bersembunyi muncul pasukan itu yang berpakaian serba merah, yang langsung melepaskan anak panah ke arah tubuh Bagus Seta!
Pemuda ini terkejut sedetik, namun ia segera menggunakan pengikat rambutnya diputar sedemikian rupa sehingga menimbulkan angin dan semua anak panah dapat digulung dengan angin berpusing ini dan diruntuhkan sebelum mencapai sasaran.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Wasi Bagaspati yang menghantamkan senjata cakra di tangannya ke arah kepala Bagus Seta dari belakang, sedangkan dari kanan Wasi Bagaskolo menusukkan kerisnya ke arah lambung.
"Sessss....... singggg!!!"
Bagus Seta tanpa menoleh mengangkat setangkai kembang cempaka di atas kepala menangkis senjata cakra sehingga senjata itu terpental, sedangkan pengikat rambutnya berubah menjadi kaku menangkis keris yang menusuk lambungnya sehingga keris itu mengeluarkan bunyi keras dan tergetar hebat, hampir terlepas dari pegangan tangan Wasi Bagaskolo.
Kedua kakek itu mencelat mundur dan kembali dua puluh orang pasukan siluman sudah mengurung Bagus Seta, terbagi menjadi dua rombongan.
Rombongan pertama mengitari Bagus Seta sambil berlari dari ldri ke kanan, adapun rombongan ke dua juga lari mengelilingi pemuda itu dari kanan ke kin. Sambil berlari mereka itu mengeluarkan suara seperti orang menembang dan anehnya, suara tembang mereka itu menimbulkan suara yang menyeramkan dan pengaruh yang menakutkan.
Bagus Seta maklum bahwa pasukan ini bukan pasukan biasa, melainkan pasukan yang digembleng dengan ilmu hitam. Kalau ia tertarik oleh gerakan mereka yang berlari mengelilinginya, tentu ia akan menjadi pening dan kabur pandangan matanya, juga kalau ia memperhatikan suara tembang mereka, tentu ia akan hanyut dan mungkin kalau lawan yang kurang kuat batinnya, tidak lama kemudian tentu akan ikut berlari-lari dan bertembang!
Ia mencoba dan mendorongkan tangan kirinya yang memegang kembang cempaka ke arah kiri. Dengan dorongan yang mengandung tenaga mujijat ini ia dapat merobohkan lawan tanpa lawan itu dapat bangun kembali, sedikitnya tentu pingsan.
Hawa sakti yahg merupakan angin kuat menyambar dan tiga orang anggauta pasukan sebelah dalam itu terpelanting, akan tetapi tepat seperti dugaan Bagus Seta, mereka itu bangkit kembali. Kiranya mereka itu telah "dimasuki"
Kekuatan mentera hitam bleh Wasi Bagaspati dan kekuatan mereka tergabung sehingga masing-masing anggauta memilild tenaga dua puluh orang!
Tiba-tiba mereka itu memekik. dan tampak ujung-ujung tombak yang mereka pegang menyambar ke dalam kurungan.
Bagus Seta menggerakkan tangan, menangkis semua ujung tombak dengan angin pukulan tangannya. Terdengar suara mengaung dan dari atas meluncur turun senjata cakra dan senjata keris hitam, seolah-olah kedua senjata itu hidup dan menyerang Bagus Seta.
Pemuda yang sedang sibuk menghadapi hujan tombak dari pasukan yang masih berlari mengelilinginya, melihat datangnya dua buah senjata ampuh ini cepat meloncat dan mengelak.
Dua buah senjata itu seperti benda hidup, ketika luput menyerang, menukik dan membalik untuk melakukan serangan ke dua!
"Hemm, penggunaan ilmu hitam tiada gunanya, Wasi Bagaspati!"
Bagus Seta berkata dan tiba-tiba tubuhnya meloncat tinggi ke atas sehingga semua tusukan tombak luput dan sambil meloncat ini ia telah menangkis dua buah senjata ampuh itu dengan senjata-senjatanya.
Cakra dan keris hitam itu terlempar, melayang-layang kacau dan kembali ke tangan pemiliknya masing-masing. Sedang Bagus Seta sudah melayang keluar dari kepungan. Sejenak dua puluh orang anggauta pasukan siluman menjadi kacau, akan tetapi mereka sudah dapat mengejar dan mengepung kembali.
Bagus Seta menjadi bingung juga. Dia tidak mau membunuh, apalagi membunuh dua puluh orang anggauta pasukan ini yang dianggap hanya sebagai alat, akan tetapi kalau mereka ini tidak dienyahkan lebih dulu, sukar baginya untuk menyerang dua orang pendeta sesat yang selalu di luar barisan.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,
"Puteraku Bagus Seta! Kau lawanlah dua ekor monyet tua itu dan serahkan pasukan kadal ini kepada kami!"
Itulah suara Pusporini dan benar saja , begitu Pusporini dan Joko Pramono datang menyerbu, pasukan siluman menjadi kacau-balau dan kurungan atas diri Bagus Seta menjadi buyar.
Tadinya memang mereka datang bersama dalam usaha mereka mencari Retna Wilis.
Akan tetapi karena Bagus Seta mempergunakan ilmunya yang tidak lumrah dimiliki manusia biasa, Tejolaksono, Endang Patibroto, Joko Pramono dan Pusporini, tertinggal jauh dan mereka baru tiba di tempat itu setelah terjadi pertempuran hebat di situ.
Tejolaksono dan Endang Patibroto yang melihat Retna Wilis dikeroyok banyak orang lalu serta-merta terjun ke dalam medan pertempuran membantu puteri mereka itu.
Adapun Pusporini dan Joko Pramono yang melihat pertandingan hebat antara Bagus Seta dikeroyok dua oleh Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo bersama banyak orang anggauta pasukan berpakaian merah, segera lari ke tempat pertandingan yang jauh itu dan membantu Bagus Seta menerjang pasukan berpakaian merah.
Setelah mendapat bantuan Pusporini dan ia tahu cukup sakti untuk menanggulangi pasukan siluman itu, Bagus Seta lalu menggunakan kesaktiannya untuk, mendesak Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo.
Dua orang pendeta dari tanah barat ini terdesak hebat dan kewalahan. Mereka telah mengeluarkan segala aji-aji dan mantra, segala ilmu hitam mereka, namun kesemuanya itu dapat dipunahkan dengan mudah oleh Bagus Seta.
"Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo! Jangan salahkan aku kalau terpaksa sekali aku melakukan kewajibanku membunuh kalian berdua!"
Seru Bagus Seta dan tubuhnya berkelebat ke depan, kembang cempaka putih diangkat menyerang Wasi Bagaspati dengan pukulan ke arah kepala, sedangkan pengikat rambutnya dikibaskan ke arah dada Wasi Bagaskolo.
Hebat bukan main penyerangan yang dilakukan berbareng ini, mengandung tenaga mujijat yang amat ampuh. Dua orang pendeta sesat itu terkejut dan cepat menangkis dengan senjata masing-masing.
'Gress! Bresss!!"
Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo terpelanting, lalu bergulingan menjauhkan diri dengan kepala pening dan mata berkunang-kunang.
Tangkisan mereka berhasil menyelamatkan mereka, akan tetapi tidak cukup kuat untuk menahan getaran tenaga sakti sehingga mereka terpelanting.
Mereka tidak kuat menghadapi Bagus Seta, kedua orang kakek itu tanpa bersepakat lebih dulu, keduanya lalu meloncat jauh dan melarikan diri.
"Ke mana Andika berdua akan melarikan diri?"
Bagus Seta berseru halus dan melompat untuk mengejar.
Kedua orang kakek itu mengerahkan seluruh ilmu kesaktian mereka untuk lari secepatnya.
Mereka maklum bahwa menghadapi seorang sakti seperti Bagus Seta, akan percuma saja andaikata mereka menggunakan ilmu hitam untuk menghilang maka mereka kini mengandalkan kedua kaki mereka dan dorongan tenaga sakti mereka untuk berlari congklang seperti dua ekor kuda dikejar harimau.
Napas mereka sampai menjadi senin-kemis, akan tetapi hati mereka lega karena mereka tidak mendengar lagi suara kaki Bagus Seta mengejar. Mereka telah tiba di puncak sebuah di antara Pegunungan Seribu dan karena mereka merasa betapa napas mereka hampir putus, mereka berhenti.
"Kalian baru tiba?"
Kalau halilintar menyambar di siang hari itu, agaknya kedua orang kakek itu tidak akan sekaget itu. Mereka menoleh ke kiri dan....... kiranya Bagus Seta telah berdiri di dekat mereka sambil memandang dengan mata tajam dan bibir tersenyum.
"Keparat.......setan iblis bukan manusia!!"
Wasi Bagaspati menyumpah-yumpah dan kemarahannya memuncak. ia menggosok-gosok senjata cakra di kedua tangannya dan tiba-tiba cuaca menjadi gelap dan dari dalam kegelapan itu menyambar api menyala-nyala ke arah Bagus Seta.
Sekarang Wasi Bagaspati telah menjadi nekat dan hendak menguras segala ilmu hitamnya untuk mengalahkan lawan yang masih amat muda, patut menjadi cucunya akan tetapi' memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa itu.
Wasi Bagaskolo juga membaca mantera, menggosok-gosok keris hitamnya lalu melontarkan keris itu ke udara yang cegera berubah menjadi ratusan batang banyaknya, semua menyambar ke arah tubuh Bagus Seta yang sudah diselimuti kegelapan yang diciptakan Wasi Bagaspati!
Dengan tenang Bagus Seta menghadapi serangan yang luar biasa ini. ia pun maklum bahwa sekali ini kedua orang pendeta itu akan menggunakan segala daya upaya untuk melawannya dengan nekat.
"Oouumm....... sadhu-sadhu-sadhu....... kalian benar-"benar telah tersesat jauh sekali!"
Serunya lirih sambil memejamkan mata sebentar, memegang kembang cempaka putih di atas kepala, mengheningkan cipta kemudian mengerahkan semua tenaga batin melalui kembang cempaka putih.
Terdengar ledakan-ledakan keras dan kilat menyambar dari kembang putih itu.
Seketika kegelapan terusir dan ratusan batas keris hitam lenyap berubah menjadi sebatang keris yang melayang ke arah Bagus Seta, adapun api yang menyala-nyala itu lenyap berubah menjadi senjata cakra yang juga menyambar ke arah pemuda itu.
Bagus Seta menyimpan kembali kedua senjatanya, kemudian mengulur kedua tangan menyambut cakra dan keris hitam yang menyambarnya, dengan gerakan indah namun cepat sekali ia berhasil menangkap dua buah senjata ampuh itu dan berkata, suaranya halus namun penuh wibawa,
"Segala sesuatu berasal dari tanah dan kembali ke tanah!"
Sambil berkata demikian, ia membanting kedua senjata itu ke bawah. Tampak dua sinar berkelebat ketika dua buah senjata itu meluncur ke bawah dan lenyap, amblas ke dalam tanah entah ke mana!
"Heh si keparat Bagus Seta! Senjata hanya alat, tidak bersalah, mengapa engkau melenyapkan mereka?"
Wasi Bagaspati berteriak sambil menudingkan telunjuknya ke arah Bagus Seta.
Pemuda itu tersenyum.
"Benar ucapanmu. Senjata tetap senjata, benda mati yang tidak benar tidak salah. Akan tetapi kalau dipergunakan untuk kejahatan, dia menjadi alat kejahatan. Sungguh kasihan, daripada dijadikan alat kejahatan lebih baik kembali ke asalnya. Demikian pun dengan Andika berdua, daripada menjadi abdi nafsu angkara murka, lebih baik kembali ke asal!"
"'Bedebah, sombong amat wawasanmu! Akulah wakil Sang Hyang Shiwa, Maha Pembasmi dan bukan aku yang akan kaubunuh, melainkan engkau yang akan kukembalikan ke asalmu, Bagus Seta!"
Seru Wasi Bagaspati dan kini wajahnya seperti bukan wajah manusia lagi, selain merah juga terselimuti hawa kemarahan bagaikan api bernyala, kemudian ia mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau terluka dan menubruk maju dan menghantamkan kedua tangannya ke dada Bagus Seta.
Pemuda ini tetap berdiri tidak bergerak, berkedip pun tidak menerima hantarran pada dadanya ini.
"Dessss!!"
Pukulan itu datangnya seperti serudukan seekor gajah yang akan dapat menumbangkan pohon besar dan menghancurkan batu karang, akan tetapi ketika mengenai dada pemuda itu, bukan Bagus Seta yang roboh, melainkan Wasi Bagaspati sendiri yang terbanting ke belakang dan ia mengeluh dengan napas terengah-engah karena tenaga pukulan yang didorong kemarahan hebat tadi membalik dan melukai isi dadanya sendiri.
"Jahanam!"
Wasi Bagaskolo marah sekali melihat kakak seperguruan roboh. Ia menerjang maju hendak mencekik leher Bagus Seta sambil mengerahkan aji kesaktiannya.
Namun tingkat kesaktiannya masih kalah oleh Wasi Bagaspati sehingga baru raja tangannya menyentuh kulit leher Bagus Seta yang berdiri tak bergerak, ia kalah wibawa, menggigil dan tubuhnya seperti lumpuh, kemudian ia pun roboh terjengkang di samping Wasi Bagaspati.
Bagus Seta mengeluarkan kembang Cempaka putih, mengangkatnya tinggi-tinggi dan berbisik,
"Duh Sang Hyang Bathara Shiwa, perkenankanlah hamba mewakili Paduka mengembalikan mereka ini ke asal mereka!"
Akan tetapi sebelum ia menurunkan tangannya memberi pukulan terakhir, tiba-tiba terdengar seruan,
"Sadhu-sadhu-sadhu....... Bagus Seta, demi kasih sayang di antara semua mahluk dan Benda, harap jangan membunuh mereka!"
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bagus Seta seperti sadar dari keadaan biasa, mengangkat muka dan memandang.
Kiranya di situ telah berdiri seorang kakek gundul yang bertubuh gemuk pendek, tangan ldri membawa seuntai tasbih dan tangan kanan memegang sebatang tongkat cendana yang panjang, wajahnya alim dan penuh kesabaran, mulutnya seperti tersenyum ramah selalu.
"Siapakah gerangan Andika, wahai sang Biku yang bersih lahirnya?"
(Lanjut ke Jilid 60 - Tamat)
Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 60 (Tamat)
Pertanyaan Bagus Seta yang dikeluarkan dengan suara halus ini merupakan siridiran tajam yang membuat muka pendeta itu menjadi merah. Dia dikatakan "bersih lahirnya", adakah pemuda ini melihat bahwa dia tidak bersih lahir batinnya? Akan tetapi ia tetap bersabar dan menjawab sambil tersenyum,
"Nama saya Biku Janapati, saya sedang bertugas melakukan dharma bakti terhadap perikemanusiaan, memberi penerangan dan petunjuk kepada manusia di pantai timur untuk menyadarkan mereka dan menghilangkan kesengsaraan. Ketika mendengar akan sepak terjang sahabat saya Wasi Bagaspati di daerah ini, saya bergegas datang dan mendengar pula akan nama Andika, orang muda yang sakti mandraguna. Untung bahwa kedatangan saya tidak terlambat."
"Ah, kiranya Andika adalah Sang Biku Janapati utusan Kerajaan Sriwijaya? Membawa pelajaran agama dengan pamrih memberi penerangan kepada manusia adalah sebuah usaha yang amat mulia, Sang Biku. Akan tetapi kalau dipaksakan dengan kekerasan, selain tidak akan ada manfaatnya, juga hanya akan mendatangkan permusuhan belaka, seperti yang dilakukan Wasi Bagaspati dan kawan"kawannya. Aku pun hendak membasminya demi membersihkan tanah air daripada pengaruh buruk, mengapa Andika menghadang? Apakah Andika yang katanya membawa pelajaran tentang kasih sayang antara segala mahluk dan Benda, menyetujui cara-cara yang dilakukan oleh Wasi Bagaspati maka merasa perlu melindungi nya?"
Biku Janapati tersenyum lebar dan menjawab,
"Bukan demikian, orang muda. Hanya perlu Andika ketahui, seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha bahwa tidaklah mungkin memadamkan permusuhan dengan permusuhan pula. Permusuhan hanya dapat dipadamkan dengan sikap tidak bermusuh. Ini merupakan hukum abadi."
Bagus Seta mengangguk-angguk.
"Benar sekali pelajaran itu. Akan tetapi hendaknya engkau mengerti pula, Sang Biku, bahwa aku tidak memusuhi Sang Wasi Bagaspati dan Wasi bagaskolo. Aku tidak menganggapnya sebagai musuh dan aku tidak ingin membasminya sebagai musuh pribadi, melainkan hendak membasminya sebagai orang membasmi penyakit yang akan membahayakan keselamatan manusia umumnya. Aku tidak dipengaruhi oleh nafsu pribadi, tidak memiliki dasar pamrih untuk diri pribadi, melainkan hanya melaksanakan tugas sebagai manusia. Bukankah manusia dikurniai hak dan diberi kewajiban? Manusia merupakan titik api, sebagian kecil sekali daripada nyala api kekuasaan yang merupakan Trimurti, Sang Maha Pencipta, Sang Maha Pemelihara, dan Sang Maha Pembasmi yang bersifat Maha Kasih dan Maha Kuasa. Biarpun hanya setitik api, namun merupakan bagian dari api itu sendiri dan karenanya manusia berkewajiban untuk memanfaatkan dirinya membantu dalam mencipta, memelihara, dan kalau perlu membasmi asal tidak didasari pamrih untuk diri pribadi."
Mendengar ini, Biku Janapati merangkapkan kedua tangan di depan dada dan berkata,
"Namo Tasa Bhagawato Arahato Samma Sambudhasa (Terpujilah Dia yang telah mencapai Perangai Sejati dan Kebijaksanaan Sempurna)! Andika adalah murid Sang Maha Bhagawan Ekadenta, bukan? Sungguh saya harus tunduk dan kagum. Memang tak dapat saya sangkal bahwa sahabat Wasi Bagaspati telah menyeleweng daripada jalan benar. Demikian pula dengan Wasi Bagaskolo. Akan tetapi, oleh mereka sendirilah kejahatan dilakukan dan biarlah mereka sendiri yang akan memetik buahnya. Bagi saya, tidak boleh saja melalaikan tugas kewajiban demi kepentingan orang lain, dalam hal ini demi kepentingan Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo sendiri. Melihat mereka terancam bahaya maut, betapa mungkin saya harus mendiamkan mereka begitu saja? Duhai Bagus Seta, kalau Andika percaya akan kekuasaan tak terbatas dan tak terlawan oleh Yang Maha Kuasa, anggap sajalah bahwa kedatanganku mencegah engkau membunuh mereka ini merupakan kehendak Dia yang belum menghendaki mereka mati "
Bagus Seta menghela napas panjang dan diam-diam ia harus mengakui kebenaran ucapan ini,
"Akan tetapi, Sang Biku yang bijaksana. Tahukah Andika bahwa pencegahan Andika ini merupakan tanggung jawab Andika pula terhadap kebenaran dan keadilan? Bahwa kalau mereka dibebaskan dan kelak melakukan kejahatan, maka kejahatan itu sebagian adalah akibat daripada perbuatan Andika saat ini?"
"Sebenarnyalah apa yang Andika katakan, wahai Bagus Seta. Dan saya pun bertanggung jawab sepenuhnya terhadap mereka ini kalau kelak mereka menimbulkan kekacauan dengan perbuatan sesat lagi. Saya sendiri yang kelak akan menghadapi mereka sebagai pertanggungan jawab saya. Sekali ini, demi Tuhan Yang Maha Kasih, Yang Maha Pengampun, yang memberi berkah kepada segala makluk dan tanpa pilih kasih dan tanpa Pandang bulu, yang memberi sinar kehidupan kepada seluruh alam mayapada dan isinya, saya mohon sudilah kiranya Andika membebaskan Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo."
Didesak seperti ini, Bagus Seta merasa tidak baik untuk bersikeras. Ia menarik napas panjang dan menyerahkan segala akibat kepada Hyang Widhi Wisesa, maka ia mengangguk dan berkata,
"Biarlah terjadi seperti yang Andika minta, Sang Biku yang mulia. Kuserahkan mereka berdua kepadamu."
Ia membungkuk dengan hormat dan meninggalkan tempat itu, menghampiri Pusporini dan Joko Pramono yang telah menyelesaikan pertempuran sejak tadi,merobohkan dua puluh orang anggauta pasukan siluman dan sejak tadi menonton dari jauh pertandingan hebat antara Bagus Seta melawan dua orang wasi sampal munculnya Biku Janapati.
"Mari kita turun dan menemui kanjeng rama,"
Kata Bagus Seta perlahan kepada bibi dan pamannya.
Mereka berdua mengangguk, tidak berani mencampuri urusan antara Bagus Seta dan pendeta-pendeta sakti itu.
"Terima kasih, sahabatku Biku Janapati"
Kata Wasi Bagaspati sambil bangkit berdiri, diturut oleh Bagaskolo yang masih meraba-raba dadanya yang terasa sesak.
Biku Janapti mengerutkan keningnya,
"Sahabatku Wasi Bagaspati, berterima kasihlah kepada Tuhan bahwa Andika masih diperkenan kan hidup untuk menebus segala dosa dan sadar atas kesesatanmu. Dia yang tadinya lengah dan tidak sadar melakukan kesesatan, kemudian menjadi sadar dan merendahkan hati, dia akan menerangi dunia laksana bulan yang terbebas daripada gumpalan awan hitam. Maka, insyaf dan sadarlah, sahabatku, bahwa perbuatan jahat menuruti hawa nafsu angkara murka tidak akan membawamu ke alam kebahagiaan lahir batin."
Wasi Bagaspati mendongkol sekali, akan tetapi karena ia telah ditolong, ia lalu menghela napas dan berkata,
"Salahnya aku kurang tekun mempelajari ilmu, akan tetapi, sudahlah....... biar kucoba untuk mencari jalan kebenaran. Sampai jumpa kembali, Sang Biku Janapati!"
Setelah berkata demikian, Wasi Bagaspati dan adik seperguruannya lalu melesat pergi meninggalkan tempat itu. Biku Janapati memandang dengan mata termenung dan menarik napas panjang, maklum bahwa ia memikul tanggung jawab berat sekali, kemudian ia pun melangkah pergi dengan tongkatnya, menuju ke arah larinya dua orang kakek itu.
Tejolaksono dan Endang Patibroto mengamuk di samping Retna Wilis, mereka bertiga seakan-akan berlomba membunuhi anak buah pasukan musuh sehingga pasukan menjadi gentar dan me larikan din cerai-berai
Setelah jumlah lawan menipis, barulah Tejotaksono dan Endang Patibroto melihat bahwa selain mereka bertiga, maslh ada seorang pria lagi yang juga mengamuk hebat.
Kini mereka berdekatan, tiba-tiba Endang Patibroto berseru,
"Sindupati.......! "
Adiwijaya menengok terkejut sekali dan hendak melarikan diri bersembunyi namun terlambat karena Endang Patibroto yang telah mengenalinya itu tiba-tiba lari menghampiri dan tanpa banyak cakap lagi telah menerjangnya dengan pukulan maut Gelapmusti.
Karena wanita sakti ini meloncat dengan Aji Bayu Tantra, maka gerakannya tangkas dan cepat laksana kilat menyambar, sukar untuk dihindari lagi.
Terpaksa Adiwijaya menangkis, akan tetapi karena hatinya gentar dan ia merasa bersalah, ia tidak mampu mengerahkan seluruh tenaganya dan begitu lengannya bertemu dengan lengan Endang Patibroto, ia terjengkang dan roboh bergulingan.
Untung ia cepat mempergunakan aji kesaktiannya yang amat ia andalkan, yaitu Trenggiling-wesi sehingga begitu tubuhnya menyentuh tanah, ia sehat kembali dan sudah menjauhkan diri.
Kalau tidak tentu kepalanya sudah remuk kena diinjak Endang Patibroto. Wanita ini makin marah dan terus mengejar tubuh yang bergulingan itu dengan loncatan"loncatan cepat.
"Sindupati, manusia terkutuk! Saat ini engkau pasti akan mampus di tanganku!"
Dengan sebuah lompatan cepat, kembali Endang Patibroto menerjang dan Adiwijaya sudah gugup sekali, bahkan sudah bangkit dan seolah-olah tidak mau melawan lagi, menyerahkan mati hidupnya kepada Endang Patibroto.
"Plakkk!"
Tubuh Endang Patibroto terhuyung ke belakang ketika hantamannya itu tertangkis oleh lengan Retna Wilis.
"Jangan bunuh dia.......!"
Teriaknya dan ia segera membangunkan Adiwijaya.
Endang Patibroto terbelalak memandang,
"Retna....... dia....... dia ini manusia jahat! Manusia terkutuk! Dia....... dia musuh besar ibumu.......!"
Retna Wilis menggeleng kepalanya dan berkata lirih,
"Agaknya jalan kita selalu harus bersimpang. Boleh jadi dia kauanggap jahat dan menjadi musuhmu. Akan tetapi bagiku dia seorang manusia baik dan menjadi satu-satunya sahabatku. Mari Paman, kita pergi."
Retna Wilis menggandeng tangan Adiwijaya dan mengajaknya pergi cepat dari tempat itu.
Endang Patibroto mengepal tinju dan hendak mengejar, akan tetapi lengannya....... dipegang oleh Tejolaksono.
"Diajeng, jangan memaksa dia.......!"
Suaranya penuh keharuan. Endang Patibroto membalik, hendak meronta, akan tetapi ketika melihat pandang mata suaminya penuh keharuan dan kasihan, ia menangis dan Tejolaksono hanya dapat mengelus rambut isterinya itu sambil menghela napas dan matanya pun menjadi basah.
Demikianlah, ketika Bagus Seto, Joko Pramono dan Pusporini datang ke pantai tempat pertempuran itu, mereka bertiga ini mendapatkan Tejolaksono dan Endang Patibroto sedang bertangisan di antara tumpukan mayat anak buah Wasi Bagaspati yang berserakan dan malang melintang!
Pusporini segera merangkul Endang Patibroto dan Tejolaksono dengan wajah muram dan berulang kali menghela napas menceritakan keadaan Retna Wills yang meninggalkan ayah bundanya.
Tentu saja dia tidak menceritakan tentang Adiwijaya yang sesungguhnya adalah bekas Patih Warutama atau dahulu bernama Sindupati, karena menyebut nama orang ini tentu akan terpaksa menceritakan bahwa Endang Patibroto pernah diperkosa oleh manusia laknat itu!
Bagus Seta menghela napas dan berkata,
"Harap Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu suka bersabar dan menyerahkan segala sesuatunya dengan penuh kepercayaan kepada Tuhan. Kalau kita menerima segala sesuatu yang menimpa kita, baik hal itu menguntungkan atau merugikan kita, dengan penuh kesabaran dan penyerahan, Sang Hyang Widdhi (Tuhan) pasti akan memberkahi karena Dia adalah Maha Adil, Maha Kasih, dan Maha Kuasa. Peristiwa menguntungkan kita terima sebagai anugerah Tuhan dan karenanya patut kita terima dengan rasa syukur dan hormat tanpa menjadi mabuk kesenangan dan melupa kan bahwa keuntungan itu hanya teijadi karena Tuhan menghendaki. Sebaliknya peristiwa merugikan kita terima sebagai hukuman atas penyelewengan kita dan sebagai ujian, karenanya kita patut meneliti diri pribadi dan bertobat atas segala kesalahan kita, mohon ampun kepada Dia Yang Maha Adil."
"Ahhh....... Puteraku....... betapa aku akan dapat menahan batin yang berat ini.......
"
Endang Patibroto terisak.
"Mengapa tidak dapat, Kanjeng Ibu? Manusia yang menyerahkan segala sesuatu, mati hidupnya, dengan penuh kerelaan dan penuh kepercayaan kepada Sang Hyang Widdhi akan sanggup menanggung derita yang bagaimana pun juga, karena penyerahan mendatangkan kekuatan gaib yang akan mengubah derita menjadi sesuatu yang wajar, bukan derita lagi."
"Bijaksana sekali ucapanmu, puteraku Bagus Seta. Sekarang, menurut pendapatmu, bagaimana sebaiknya?"
Tejolaksono berkata sambil memandang puteranya penuh kagum, juga dengan hati kosong melompong karena ia tidak tahu siapakah sesungguhnya yang jauh meninggalkan ayah bundanya.
Retna Wilis ataukah Bagus Seta!
Retna Wilis hanya terpisah lahirnya dan dara itu selama masih hidup dan berada di atas bumi, sekali waktu pasti dapat bertemu dan mungkin sekali dapat berkumpul kembali sebagai puteri dan orang tuanya.
Akan tetapi Bagus Seta ini sungguhpun kini berada di depannya, bercakap-cakap seperti seorang putera, namun sesungguhnya pemuda ini seperti melayang di angkasa, sukar sekali dijamah karena keadaan Bagus Seta seolah-olah tidak lagi terikat oleh dunia apalagi oleh hubungan keluarga!
"Karena musuh telah dihalau dan adinda Retna Wilis telah dapat diselamatkan, sebaiknya Paduka berdua Kanjeng Ibu kembali ke Panjalu memimpin pasukan untuk memberi pelaporan kepada gusti sinuwun di Panjalu. Demikian pula dengan Paman Patih dan Kanjeng Bibi sebaiknya memimpin pasukan kembali ke Jenggala."
"Dan engkau sendiri?"
Tejolaksono bertanya, suaranya kosong, sekosong hatinya yang makin merasakan betapa "jauhnya"
Puteranya yang kini berdiri di depannya itu.
"Hamba akan pergi merantau, melanjutkan perjalanan melakukan dharma bakti hamba seperti yang telah diajarkan oleh eyang guru.......
"
"Dan ibumu? Tentu akan kehilangan engkau....... betapa akan berduka hatinya.......!"
Bagus Seta tersenyum dan mengeluarkan setangkai bunga Cempaka Putih, menyerahkannya kepada Tejolaksono,
"Harap Kanjeng Rama sudi menyerahkan bunga ini kepada Kanjeng Ibu, dan dengan kekuasaan Sang Hyang Widdhi, hati ibunda akan terhibur."
Tejolaksono menerima kembang itu teringat akan masa dahulu di waktu puteranya memberi setangkai kembang pula untuk diserahkan kepada Ayu Candra.
Setelah menyimpan kembang itu ia berkata.
"Puteraku Bagus Seta, mendekatlah, Anakku."
Bagus Seta menghampiri ramandanya dan Tejolaksono memeluknya, memeluk erat-erat dan mendekap pemuda itu, seolah-olah hendak menanam pemuda itu dalam dadanya agar jangan dapat pergi lagi.
Akan tetapi ada hawa yang hangat keluar dari dada Bagus Seta yang menjalar ke seluruh tubuh Tejolaksono dan yang mengingatkan patih sakti ini akan sinar Sang Surya, sinar matahari yang tidak hanya bertugas menghidupkan dia seorang.
Sadarlah dia bahwa memang menjadi tugas puteranya untuk berjuang sebagai seorang sakti, sebagai seorang satria, demi kebenaran dan keadilan, demi menegakkan perikemanusiaan, berguna bagi manusia khususnya dan dunia umumnya. Tidak hanya bertugas menyenangkan hati kedua orang tuanya belaka ia melepaskan pelukannya dan dengan mata basah akan tetapi wajah berseri dan mulut tersenyum ia berkata,
"Pergilah, Anakku. Pergilah dengan hati lapang dengan doa restu yang rela dariku."
Setelah memberi hornet kepada Endang Patibroto yang memeluknya dan kepada Joko Pramono dan Pusporini, pemuda itu lalu berjalan pergi menyusuri pantai laut selatan, diikuti pandang mata empat orang itu sampai bayangannya lenyap ditelan kesuraman cuaca hari yang mulai sore.
Kemudian mereka berempat pun meninggalkan tempat itu untuk kembali ke Wilis di mana pasukan"pasukan mereka masih berkumpul membersihkan sisa perang di bawah pimpinan Limanwilis, Lembuwilis, dan Nogowilis.
Retna Wilis duduk di atas sebuah batu besar di dalam hutan yang lebat. ia duduk bersila di atas batu bawah pohon tanjung yang besar dan lebat sekali, dengan muka tunduk dan kedua mata dipejamkan, dalam keadaan hening karena dara perkasa ini bersamadhi.
Kalau tidak dipandang dengan penuh perhatian, orang akan mengira bahwa ia tidak bernyawa lagi, demikian halus pernapasannya sehingga hampir tidak tampak dadanya bergerak. Hanya bedanya dengan biasanya, kalau sedang bersamadhi itu biasanya Retna Wilis hening dan tenang, wajahnya menjadi seperti kosong tidak mengandung perasaan apa-apa.
Akan tetapi pada saat itu, wajahnya diselimuti kesuraman seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal hatinya.
Bahkan ada bekas"bekas air mata yang sudah hampir mengering di atas sepasang pipinya, di bawah pelupuk mata. Juga sepasang alisnya yang kecil hitam itu agak berkerut, tanda bahwa dia biarpun sedang bersamadhi, namun tidak dapat mengheningkan cipta, dan tidak dapat.. membebaskan diri dari panca indrianya.
Tidak jauh dari tempat dara itu duduk bersamadhi di atas batu, tampak Adiwijaya duduk pula bersila di atas tanah, di depan gadis itu.
Akan tetapi Adiwijaya tidak bersamadhi, semenjak tadi ia memandang wajah dara itu dengan penuh keprihatinan dan penuh perhatian. Entah sudah berapa puluh kali Adiwijaya menghela napas panjang dan pikirannya melayang-layang mengenangkan semua peristiwa yang terjadi, dan makin dipikir makin trenyuh hatinya, merasa amat kasihan dan terharu terhadap dara perkasa itu.
Adiwijaya maklum bahwa Retna Wilis menderita tekanan batin yang hebat, bahwa dara itu berduka sekali. Tadi dara itu bersila semenjak pagi sekali di atas batu, dan kalau Retna Wilis bersamadhi seperti biasanya, kiranya Adiwijaya tidak akan gelisah dan tersiksa seperti itu batinnya. Akan tetapi gadis itu bersila memejamkan mata, biarpun tidak pernah bergerak dan pernapasannya seperti orang tertidur atau bersamadhi, namun Adiwijaya yang juga biasa bersamadhi itu maklum bahwa dara ini memaksa diri untuk menyembunyikan perasaannya yang tertekan dan tersiksa.
Bahkan dara itu tidak sadar bahwa beberapa tetes air mata keluar melalui bulu matanya menitik turun ke atas pipi sampai mengering kembali, tidak sadar bahwa keningnya selalu berkerut dan wajahnya diselimuti kemuraman yang mengharukan.
"Aku berdosa.......
"
Pikirnya dengan trenyuh.
"Aku berdosa kepada ibunya, kepadanya....... , kalau tidak karena aku, mungkin dia sudah dapat berkumpul kembali dengan ayah bundanya, hidup berbahagia sebagai puteri Patih Panjalu, sebagai puteri suami isteri yang menjadi tokoh terkenal, sakti mandraguna dan gagah perkasa. Akan tetapi dia membelaku, rela pergi bersamaku!"
Ingin Adiwijaya memukul kepalanya sendiri penuh penyesalan terhadap diri sendiri, terhadap semua perbuatannya dan kesesatannya yang lalu.
Patutkah seorang manusia jahat, manusia terkutuk seperti dia, mendapatkan pembelaan dari seorang seperti Retna Wilis?
Menjelang tengah hari Retna Wilis bergerak perlahan dan membuka matanya.
Mata yang suram, sayu dan membayangkan hati yang kosong dan perasaan yang tertindih penyesalan dan kedukaan. Melihat Adiwijaya duduk bersila di atas tanah, memandangnya dengan muka sedih, Retna Wilis bertanya,
"Paman, sudah lamakah aku bersamadhi?"
Suara itu! Begitu memelas, tergetar dan lirih. Begitu mengharukan dan menusuk perasaan Adiwijaya dan tak tertahankan lagi Adiwijaya menangis!
Laki-laki yang dahulu menghadapi perbuatan keji sekeji-kejinya sambil tertawa itu kini menangis seperti anak kecil!
"Aduh Gusti Ayu Puteri Retna Wilis....... , mengapa Paduka membela hamba dan rela menentang rama ibu Paduka.......? "
Katanya di antara isaknya.
Retna Wilis memandang terbelalak sambil menurunkan kedua kakinya dari atas batu.
"Paman Adiwijaya! Andika....... menangis? Betapa anehnya.......! Mengapa aku membelamu? Tentu saja! Tidak boleh orang membunuhmu, biar ayah bundaku sendiri pun tidak boleh. Engkau satu-"satunya orang yang baik kepadaku, satu-satunya sahabatku, bahkan kuanggap sebagai pengganti orang tuaku!"
"Aduh Dewa.......betapa kejinya Sindupati.......ah,tidak layak aku hidup di dunia ini......."
Adiwijaya atau Sindupati makin tertusuk hatinya. Setiap ucapan yang keluar dari mulut Retna Wilis, kata demi kata merupakan keris berkarat yang menikam jantungnya.
"Sindupati? Apa maksudmu, Paman Adiwijaya?"
"Aduhai, Gusti Puteri yang mulia. Paduka bunuhlah hamba ini, untuk melepaskan hamba daripada siksaan batin karena dosa-dosa hamba yang setinggi langit. Bunuhlah hamba, Sang Puteri!"
Melihat pria setengah tua itu menangis mengguguk, Retna Wilis membuka matanya lebar-lebar.
"Paman, makin aneh saja kata-katamu. Biarpun orang sedunia mengatakan engkau jahat dan berdosa, bagiku engkau adalah orang yang paling baik."
"Tidak! Tidak! Paduka tidak tahu. Hamba sesungguhnya dahulu bernama Sindupati, dua puluh tahun lebih yang lalu hamba adalah seorang perwira Kerajaan Jenggala yang dikasihi gusti sinuwun sepuh di Jenggala. Akan tetapi hamba berani mempersunting bunga dalam taman terlarang, melakukan hubungan asmara dengan puteri sinuwun, sehingga hamba menjadi seorang pelarian yang terkutuk."
"Hemm, kesalahanmu tidak berapa hebat, Paman."
"Itu hanya permulaan saja. Hamba lalu menjadi perwira Blambangan, dan hamba bersama pasukan Blambangan melakukan fitnah kepada ibunda Paduka, melakukan fitnah kepada Puteri Endang Patibroto yang dahulu menjadi puteri mantu gusti sinuwun, isteri dari Pangeran Panji Rawit. Hamba melakukan fitnah dengan maksud-maksud melemahkan Jenggala yang menjadi musuh Blambangan karena tokoh Jenggala yang ditakuti adalah ibu Paduka."
Sindupati lalu menceritakan semua peristiwa ketika Endang Patibroto terfitnah sehingga mengakibatkan tewasnya Pangeran Panji Rawit. Retna Wilis mendengarkan dengan penuh perhatian.
"DEMIKIANLAH, Gusti Puteri. Hambalah orangnya yang telah mencelakakan secara tidak langsung kehidupan rumah tangga ibunda. Bukankah hamba seorang manusia terkutuk yang patut mad? Harap Paduka lekas turun tangan membunuh hamba, karena kebaikan Paduka merupakan slksaan hebat yang tak tertahankan oleh batin hamba."
Retna Wilis menggeleng kepis.
"Dosamu masih belum hebat, Paman. Engkau hanya melakukan tugas sebagal perajurit Blambangan dan apa yang kaulakukan terhadap kanjeng ibu, selain dalam pelaksanaan tugas, juga malah berjasa."
"Berjasa.......??"
Sindupati memandang heran.
Retna Wilis tersenyum pahit.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Engkau berjasa karena kalau kanjeng ibu tidak kehilangan Pangeran Panji Rawit tentu tidak akan bertemu dengan kanjeng rama, dan....... aku....... tentu tidak akan ada!"
"Ah itu masih belum semua, Gusti Puteri. Dengarlah baik-baik! lbunda, paduka menjadi marah dan pasukan Jenggala dan Panjalu, juga bersama kanjeng rama paduka, menyerbu menghancur kan Blambangan. Hamba lalu lari lagi dan kemudian hamba bersekutu dengan utusan-utusan Cola dan Sriwijaya, terutama dengan Wasi Bagaspati dan dengan Suminten dan Pangeran Kukutan sehingga hamba berhasil menjadi patih Jenggala dengan nama Patih Warutama. Hamba telah mengorbankan nyawa banyak orang, tidak ada kejahatan dan kekejian yang tidak hamba lakukan, hamba peristeri kekasih hamba dan....... dan....... hamba peristeri pula anaknya, puterinya yang terlahir karena dahulu berhubungan dengan hamba, beristeri puteri hamba sendiri. Nah, adakah dosa yang lebih besar daripada itu?"
Retna Wilis menggeleng kepala, takjub.
"Tak dapat terbayangkan olehku betapa engkau pernah melakukan kesesatan sehebat itu, Paman. Akan tetapi itu bukan urusanku, dan kalau sekarang Paman menyesali perbuatan itu, baik sekali."
Adiwijaya makin penasaran.
"Akan tetapi, hamba....... hamba malah membunuh mereka ibu dan anak, hamba pada waktu melarikan diri karena sekutu hamba dihancurkan, telah membunuh Pangeran Kukutan dan mencelakakan Suminten. Hamba.......berganti nama menjadi Adiwijaya dan mengelabuhi paduka....... dosa hamba tak terampunkan......"
Retna Wilis tetap ntenggeleng kepala.
"Akan tetapi setelah menjadi pembantuku, engkau selalu baik kepadaku, Paman."
"Hamba akui bahwa semenjak bertemu dengan Paduka, hamba kehilangan semua watak kotor dan keji, hamba telah mendapatkan pegangan dan telah bersumpah untuk bersetia kepada Paduka. Hamba menganggap Paduka seperti sesembahan hamba, seperti...... anak hamba yang hamba sayang...... , akan tetapi, hamba sungguh tidak patut, hamba seorang manusia terkutuk. Hamba mohon, bunuhlah hamba agar hamba terbebas daripada siksaan batin, Gusti."
"Tidak, Paman. Aku tidak akan membunuhmu. Engkau boleh jadi pernah menyeleweng dan jahat, akan tetapi aku pun bukan seorang baik-baik, dan segala kejahatan itu tidak dapat menandingi kedurhakaanku terhadap kanjeng rama dan kanjeng ibu. Tidak, Paman. Kita sama-sama jahat, karenanya kita dapat menyesali perbuatan kita berdua yang sesat, dapat sama-sama menderita siksaan batin dari penyesalan hati."
Tiba-tiba Adiwijaya atau Sindupati meloncat berdiri,peluhnya mengalir seperti air matanya.
"Retna Wilis, masih belum tergugah hatimu untuk membunuh aku? Sindupati seorang manusia berhati iblis! Dengarlah, Retna Wilis. Aku...... aku telah melakukan hal yang terkutuk...... , Ketika engkau masih kecil di Wilis, aku pernah berkunjung kepada ibumu, Aku memancing ibumu sehingga engkau yang sedang berlatih di pohon ditinggalkan kemudian diculikoleh sekutuku, yaitu Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro. Kemudian aku...... dengar baik-baik, ketika ibumu sedang tidur, aku memukulnya pingsan dan aku...... aku memperkosanya!"
Retna Wilis mengeluarkan jerit lirih dan is pun meloncat bangun, berdiri berhadapan dengan Sindupati yang berwajah pucat sekali. Mereka bertemu pandang, sejenak tak berkata-kata dan tidak bergerak, kemudian Sindupati berkata perlahan,
"Nah, cukuplah sekarang. Kau bunuhlah aku, Retna Wilis."
Akan tetapi, tiba-tiba sekali Retna Wills tersedu menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis.
"Tidak...... , aku tidak akan membunuhmu, aku...... aku tetap lebih jahat daripada engkau, Paman. Aku lebih menyakitkan hati kanjeng ibu daripada perbuatanmu terhadapnya "
"Retna Wilis...!!"
Sindupati berseru setengah memekik, heran, menyesal, terharu dan berduka bercampur aduk menjadi satu dalam suaranya.
Retna Wilis menurunkan kedua tangannya dan memandang Sindupati,
"Paman, kita sama-sama jahat, dan sama-sama menyesal, sama-sama tidak mempunyai masa depan yang terang, tidak tahu harus bagaimana melanjutkan hidup ini. Karena itu...... jangan...... jangan kau tinggalkan aku, Paman. Engkaulah satu-satunya sahabatku yang dapat kupercaya, engkau pengganti orang tuaku......."
"Aduh, Gusti Puteri.......!"
Sindupati menubruk kaki Retna Wilis, menyembah dan mencium ujung ibu jari kaki gadis itu, jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Retna Wilis berjongkok dan mengangkat bangun laki-laki setengah tua itu, memegang kedua pundak dan berkata,
"Jangan begitu, Paman. Mulai saat ini, Paman kuanggap sebagai paman kandung sendiri, mewakili kedua orang tuaku. Bimbinglah aku, Paman, berilah petunjuk bagaimana aku harus melanjutkan hidup ini."
Dengan suara serak saking terharu hatinya Sindupati berkata,
"Baiklah, Retna Wilis. Engkau kuanggap sebagai keponakanku, bahkan sebagai anakku yang akan kubela dengan seluruh jiwa ragaku. Jangan khawatir, Anakku. Aku akan menggunakan seluruh sisa hidupku demi membahagiakanmu dan akan menuntunmu untuk merubah jalan hidupmu melalui jalan kebenaran. Biarpun aku seorang bekas manusia sejahat-jahatnya aku masih belum lupa bagaimana caranya menjadi manusia baik. Bahkan semua pengalamanku dapat kujadikan contoh keburukan. Marilah, Anakku, masa depanmu tidak segelap yang kau khawatirkan. Pertama-tama lenyapkan rasa bencimu terhadap....... ayah bundamu. Sanggupkah?"
Retna Wilis mengangguk.
"Aku sebetulnya tidak membenci mereka, Paman. Hanya, aku....... aku segan ditundukkan."
"Nah, kalau engkau benar menganggapku sebagai pamanmu, sebagai pengganti orang tuamu, engkau harus taat kepadaku. Tanamkan rasa sayang kepada ayah bundamu, dan buang jauh-jauh cita-citamu untuk menjadi ratu dunia!"
Retna Wilis mengangkat mukanya memandang, kemudian mengangguk pula.
"Akan tetapi, ayah bundaku, semua keluargaku, tentu akan memandang rendah kepadaku, seorang anak durhaka.......!"
"Tidak, Anakku. Engkau akan menjadi seorang semulia-"mulianya di dunia ini, akan menjadi tokoh penegak kebenaran dan orang tuamu, seluruh keluarga, kelak akan menjunjung tinggi padamu."
"Akan tetapi, bagaimana aku dapat melawan rangsangan hatiku sendiri, Paman? Ada sesuatu yang mendorongku, yang tertanam di lubuk hatiku semenjak aku menjadi murid Nini Bumigarba."
"Harus kaulawan dengan kekuatan batinmu, dan.......
"
"Ha-ha-ha-ha, burung gagak berbulu hitam, bagaimana bisa mengubah bulu menjadi putih?"
Sindupati dan Retna Wilis terkejut dan membalikkan tubuh. Kiranya di situ telah berdiri Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo!
"Ha-ha-ha-ha, Retna Wilis. Mengapa engkau begin bodoh mau mendengarkan ocehan seorang pengkhianat kotor seperti dia ini? Kedua tangannya, seluruh tubuhnya sendiri sudah penuh kotoran, mana mungkin dia dapat membersihkan engkau? Lebih baik engkau bersekutu denganku, dan kalau kita bertiga membasmi tokoh-tokoh Jenggala dan Panjalu, engkau kelak akan dapat menjadi ratu terbesar di seluruh Jawa-dwipa!"
Melihat perubahan pada wajah Retna Wilis yang kembali bersikap dingin dan beringas, Sindupati maklum bahwa ucapan Wasi Bagaspati itu mendatangkan kesan di hati Retna Wilis.
Ia khawatir sekali kalau-kalau gadis itu terpengaruh oleh wataknya yang lama kembali, maka kemarahannya timbul dan dengan nekat is meloncat, menerkam dan menyerang Wasi Bagaspati!
Wasi Bagaspati menggerakkan tangannya, menyambut terjangan Sindupati dengan pukulan tangan miring.
"Krakkk!"
Tubuh Sindupati terlempar ke dekat kaki Retna Wilis dan sebagian besar tulang-tulang iganya patah-patah!
Melihat Sindupati menggeletak megap-megap di dekat kakinya, seketika lenyaplah pengaruh liar di hati Ratna Wilis. Ia menubruk, berlutut di dekat tubuh yang sudah berkelojotan itu
"Paman....... Paman Sindupati.......!"
Sindupati terengah-engah dan mengeluarkan bisikan yang lirih sekali.
"Anakku....... sadarlah....... lawanlah pengaruh buruk....... selamat tinggal....... selamat berjuang ke jalan kebenaran.......aku layak mati....... penuh do s a.......
"
Tiba-tiba tubuhnya mengejang lalu lemas. Sindupati, alias Warutama, alias Adiwijaya menghembuskan napas terakhir.
Retna Wilis bangkit perlahan-lahan, pandang matanya membuat Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo mengkirik.
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo