Ceritasilat Novel Online

Badai Laut Selatan 9


Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



"Aduhhh... lepaskan...! Lepaskan... toloooonggg...!"

   Mirah meronta-rontah sekuat tenaga. Saking takut dan ngerinya, wanita itu menjadi kuat sekali, sebaliknya pengaruh racun membuat Jokowanengpati menjadi lemah. Oleh karena itu Mirah berhasil lari menyeret Jokowanengpati yang tidak juga mau melepaskan rambut panjang itu.

   "Aduh...! Lepaskan... lepaskan...!"

   Mirah berteriak-teriak kalap, meronta-ronta ke kanan kiri, tidak tahu bahwa mereka berdua bergumul di dekat jurang. Jokowanengpati yang cerdik biarpun sudah hampir pingsan oleh pengaruh racun, dapat melihat ini, maka ia tertawa menyeramkan.

   "Heh-heh-heh-heh... ahhh, aduhhh... he-he-heh!"

   "Lepaskan, Joko..., aduh, lepaskan... tolooonggg...!"

   Tiba-tiba Jokowanengpati menendang kaki Mirah. Mirah terhuyung ke belakang dan... tubuhnya menginjak tempat kosong. Jokowanengpati cepat bertiarap mencengkeram batu karang, namun masih juga belum melepaskan rambut.

   "Aaiiiiihhhhh...!!"

   Mirah menjerit dan tahu-tahu tubuhnya sudah tergantung di bibir jurang yang amat curam, hanya tertahan oleh rambutnya yang masih dicengkeram Jokowanengpati.

   "Kakangmas Joko... tolonglah aku... tolonglah aku, naikkan... lekas... aduhhh. tolong..."

   "Ha-ha-ha-ha-ha... aduhh kau meracuni aku, ya? Ha-haha!"

   Sambil tertawa-tawa dan kadang-kadang meringis kesakitan, Jokowanengpati melepaskan rambut yang dicengkeramnya.

   "Yyaaaaaaaaaahhhh...!"

   Lengking mengerikan bergema di lereng Lawu menjelang senja itu, mengiringkan tubuh telanjang bulat yang tentu akan hancur dan mawut terbanting di dasar jurang yang curam. Jokowanengpati terengah-engah, merangkak bangun, terhuyung-huyung menghampiri patung kencana yang terbungkus sutera kuning berlumur darah. Diambilnya patung itu, didekapnya erat-erat kemudian ia memaksa diri berjalan menuruni lereng. Kedua kakinya gemetar, tubuhnya menggigil dan kadang-kadang ia menekan perutnya sambil menyumpah-nyumpah.

   "Jahanam...! Perempuan laknat...! Aduuuuhhh..., aku harus bertahan... harus bisa mencapai dusun... harus..., harus...!"

   Kekuatan badannya memang luar biasa. Berkat gemblengan Empu Bharodo sejak kecil, racun yang bagi orang lain tentu akan menewaskan seketika itu, masih belum merobohkannya, ia berjalan terhuyung, kadang-kadang merangkak menuruni lereng Gunung Lawu. Hari telah gelap ketika ia roboh pingsan di depan pintu pondok kecil di lereng paling bawah, pondok kecil petani yang terpencil. Ia hanya mampu mengeluh ketika melihat sinar lampu menerobos celah-celah bilik,

   "...Tolong...!"

   Kemudian tak sadarkan diri. Pemilik pondok itu seorang petani berusia tiga puluh tahun yang tinggal di situ bertani bersama isterinya yang hanya dua tiga tahun lebih muda daripadanya. Mereka tinggal bersunyi di lereng ini, hidup bertani sederhana, karena mereka memang tidak mempunyai banyak butuh. Mereka tidak punya anak, dan untuk mencukupi kebutuhan mereka berdua, tanah di lereng Lawu sudah lebih dari cukup, berlimpah-limpah. Nama petani ini Kismoro dan isterinya Wiyanti.

   "Kakang, ada suara orang minta tolong..."

   Wiyanti bangkit dari atas tikar anyaman daun kelapa. Suaminya juga bangkit, mendengarkan.

   "Aku juga mendengar, akan tetapi kurasa bukan orang. Mana ada orang minta tolong?"

   "Kakang, lebih baik kita lihat dulu,siapa tahu..."

   Mereka berdiri dan menuju ke pintu pondok, membuka pintu pondok yang sengaja agak diperkuat, bukan takut akan maling atau rampok, melainkan menjaga jangan sampai harimau atau monyet mengganggu selagi mereka tidur.

   "Ah, benar! Ada orang di situ...!"

   Kismoro segera menghampiri tubuh laki-laki yang rebah miring.

   "Wah, jangan-jangan dia mati... ah, tidak, masih hidup, agaknya pingsan..."

   Dibantu isterinya, Kismoro mengangkat tubuh Jokowanengpati yang masih tetap mendekap bungkusan sutera kuning itu, masuk ke dalam rumah. Ketika berada di dalam dan tersinar cahaya lampu, mereka melihat pakaian serba hitam yang halus serta raut wajah yang tampan, sehingga Kismoro berseru,

   "Ah, agaknya ia seorang bangsawan"

   "Dia tentu sakit, kakang..."

   "Kita tidurkan dia di bilik, biar kita di luar saja. Kita rawat dia seperlunya."

   Sibuklah dua orang suami-isteri ini. Mereka membaringkan tubuh Jokowanengpati di atas balai-balai bambu, satu-satunya perabot pondok mereka. Dengan hati-hati Kismoro lalu mengambil bungkusan sutera kuning itu agar Jokowanengpati dapat berbaring lebih enak, kemudian ia meletakkan bungkusan itu di sudut balai-balai.

   "Lekas kau masak air panas, biar kucuci muka dan dadanya, wah, dia benar-benar sakit, lihat dia mengerang-erang dan tubuhnya penuh peluh. Setelah masak air, kau menganyam janur untuk tikar, kita tidur di luar bilik saja."

   Tanpa membantah isteri setia ini cepat melakukan perintah suaminya, hatinya agak tenang karena mengira bahwa yang mereka tolong tentulah seorang bangsawan tinggi. Mungkin seorang pangeran, pikirnya, atau setidaknya tentu putera tumenggung! Orang muda yang begini tampan dan pakaiannya begitu halus, membawa bungkusan sutera kuning pula, tentulah seorang keluarga keraton! Ketika Kismoro mencuci muka dan dada, Jokowanengpati siuman dari pingsannya. Pikirannya yang cerdik segera membuat ia sadar bahwa ia telah ditolong oleh penduduk dusun, penghuni pondok itu mungkin. Hatinya agak lega, dan dia berbisik lemah,

   "Kisanak, tolonglah... aku terkena racun..."

   Setelah berkata demikian, ia bangkit duduk bersila dan mengerahkan segala kekuatan batin dan tenaga saktinya untuk melawan hawa beracun yang mengeram dalam perutnya. Ia maklum bahwa dengan jalan ini ia akan dapat bertahan, akan dapat mencegah hawa beracun itu merusak isi perutnya sampai datang obat penolong. Kalau ia banyak bicara, hal itu akan membuat keadaannya makin berbahaya. Kalau saja ia tadi tidak mempergunakan terlalu banyak tenaga berkejaran dengan Mirah, tentu keadaannya tidak separah ini. Kismoro terbelalak kaget, melihat laki-laki tampan itu duduk seperti samadhi, ia tidak berani mengganggu dan cepat-cepat ia menyelinap.keluar bilik menemui isterinya.

   "Wah, celaka, Wiyanti, dia... dia bilang terkena racun..."

   "Hee? Terkena racun? Apanya?"

   "Dia tidak terluka, tentu ada racun termakan olehnya. Ah, aku harus cepat mencari obat pemunah racun."

   "Daun dan akar Widoro Upas...?"

   "Apa saja yang dapat melawan racun. Ada dua tiga macam daun yang kutahu dapat melawan racun. Eh, kalau nanti dia minta minum, kau beri minum air dawegan (kelapa muda), pilih yang hijau"

   "Ihh, kau sendiri mau ke mana?"

   Tanya isterinya, agak ngeri karena ingat bahwa tamu mereka itu sakit berat, terkena racun. Siapa tahu akan mati selagi suaminya pergi?

   "Aku harus mencari obat pemunah."

   "Jangan sekarang. Malam-malam begini mau ke hutan? Bagaimana kalau muncul macan atau kau dikeroyok lutung?"

   "Tapi dia perlu ditolong..."

   "Kakang, memang sudah semestinya dia ditolong. Akan tetapi kalau membahayakan keselamatanmu sendiri, aku tidak rela. Bagaimana kalau kau tertimpa bencana di hutan, dimakan harimau atau dikeroyok lutung? kau celaka, diapun tidak tertolong, tinggal aku sendiri yang kebingungan setengah mati. Tidak, tidak boleh kau pergi, besok pagi-pagi saja."

   "Tapi dia..."

   Wiyanti merangkul suaminya.

   "Kakang, kalau kau memaksa pergi, boleh, akan tetapi aku ikut. Biar mati kalau bersamamu tidak mengapa."

   Akhirnya si suami mengalah, apalagi ketika ia melihat betapa tamunya itu masih duduk bersamadhi dan agaknya tenang, tidak terdengar mengeluh lagi, ia merasa lega dan menunda niatnya mencari daun obat. Semalam ini suami-isteri ini tidak dapat tidur pulas. Bukan karena tidur di atas tanah bertilam tikar daun kelapa, hal ini sudah biasa bagi mereka, akan tetapi mereka hanya rebah-rebahan saja dan tak dapat tidur karena mereka memikirkan tamu mereka. Sebentar-sebentar Kismoro bangkit dan menjenguk ke dalam bilik. Heran ia melihat tamunya yang muda dan tampan itu masih saja duduk bersila.

   "Ah, dia tentu seorang satria,"

   Bisiknya dekat telinga isterinya,"agaknya semalam suntuk ia akan bersamadhi. Alangkah kuatnya ia bertapa."

   "Tidak seperti engkau, setiap malam tidur melingkar seperti ular kekenyangan!"

   Bisik isterinya.

   "Wah, wah! kau ingin mempunyai suami satria, begitukah?"

   Suaminya mencela.

   "Satria mana sudi dengan aku? Pula, aku lebih senang punya suami engkau daripada segala macam satria. Menjemukan benar, kerjanya hanya duduk bersila!"

   Percakapan itu dilakukan sambil berbisik-bisik agar jangan mengganggu tamu mereka.

   Siapa kira, biarpun dalam samadi mengerahkan tenaga dalam melawan racun, percakapan bisik-bisik ini tidak pernah terlepas dari telinga Jokowanengpati!. Kismoro lega hatinya lalu merangkul isterinya. Mereka dapat tidur pulas sejenak dan telah bangun lagi ketika menjelang pagi ramai terdengar suara kokok ayam hutan dan kicau burung diseling cecowetnya kera dan lutung. Sambil membawa arit, berangkatlah Kismoro ke hutan mencari daun-daun penawar racun. Tak lama kemudian ia sudah kembali bersama seorang kakek setengah tua berjubah kuning. Kepalanya yang dicukur gundul tertutup kain berwarna kuning pula. Melihat kepalanya yang tak berambut, mudah diduga bahwa dia adalah seorang penganut Agama Budha, seorang wiku yang bertapa di gunung-gunung, wajahnya tenang dan sinar matanya lembut.

   Memang dia adalah seorang pertapa, seorang pendeta Agama Budha yang berasal dari barat, dari daerah Sriwijaya. Dia sampai di lereng Lawu dalam usahanya mencari dan mengumpulkan daun-daun dan akar-akar obat karena Wiku Jaladara ini adalah seorang ahli pengobatan. Secara tidak disengaja ia bertemu dengan Kismoro yang sedang mencari daun penawar racun. Terjadilah tanya jawab dan mendengar bahwa Kismoro sedang berusaha mencarikan obat bagi seorang yang menjadi korban racun. Wiku Jaladara segera menawarkan bantuannya. Tentu saja penawaran ini diterima dengan girang oleh Kismoro dan segera ia mengajak sang pertapa pulang ke pondoknya setelah mereka mengumpulkan daun-daun obat menurut petunjuk sang wiku. Atas pandang mata penuh pertanyaan dari isterinya, Kismoro segera berkata,

   "Isteriku, inilah bapa Wiku Jaladara yang berkenan hendak menolong tamu kita."

   "Wah, syukurlah... syukurlah... aku sudah khawatir sekali, kang. Tamu kita sejak pagi tadi merintih saja..."

   Sang pertapa lalu diantar masuk ke dalam bilik. Benar saja laporan Wiyanti, setibanya di dalam bilik, mereka melihat Jokowanengpati rebah telentang dan merintih perlahan. Wiku Jaladara menghampiri dan memandang penuh perhatian, kemudian meraba lengan dan dahinya lalu mengangguk-angguk.

   "Dia teracun perutnya. Aneh dia masih dapat bertahan. Eh, nini, lekas kau godok daun-daun ini sampai mendidih, biarkan airnya menguap tinggal setengahnya. Airnya beri tiga batok."

   Wiyanti cepat melaksanakan permintaan pertapa ini. Sehari itu sang wiku berdiam di dalam pondok dan Jokowanengpati diberi minum jamu sampai enam kali, dilayani penuh perhatian oleh Wiyanti dan Kismoro.

   Menjelang senja, Jokowanengpati muntahkan darah hitam dan setelah itu ia dapat tidur nyenyak, napasnya teratur dan tenang, tubuhnya tidak panas lagi. Dalam keadaan masih belum sadar ia disuapi nasi encer dan sayur asam oleh Wiyanti atas petunjuk Wiku Jaladara. Banyak sekali makannya pemuda itu sehingga Wiyanti dan suaminya tersenyum geli, juga girang karena ini merupakan tanda bahwa si tamu telah sembuh. Menjelang senja hari itu, untuk terakhir kalinya Wiku Jaladara datang ke bilik memeriksa keadaan Jokowanengpati yang masih tidur nyenyak. Ia meraba dahi dan dada, lalu menarik napas lega dan berkata kepada suami-isteri yang berada di dalam bilik pula.

   "Ia sudah sembuh, hanya tinggal istirahat dan dalam beberapa hari tentu sehat kembali. Saya akan pergi sekarang."

   "Ah, bapa wiku yang mulia. Kami harap bapa sudi bermalam di sini,"

   Kata Kismoro menahan.

   (Lanjut ke Jilid 09)

   Badai Laut Selatan (Seri ke 03 "

   Serial Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09

   "Betul, bapa, kami khawatir kalau-kalau akan kambuh pula penyakit tamu kami,"

   Wiyanti menyambung. Wiku Jaladara tersenyum dan menggeleng kepala.

   "Malam ini terang bulan purnama, saya harus memetik beberapa macam kembang obat yang hanya mekar di waktu bulan purnama. Tentang orang ini, jangan khawatir, andaikata ada perubahan sesuatu kepadanya, boleh saja kau menyusulku ke hutan sebelah barat itu. Sampai besok aku masih akan berada di sana. Nah, selamat tinggal."

   Wiku Jaladara berjalan keluar dari pondok diantar suami-isteri itu yang tiada hentinya menghaturkan terima kasih. Percakapan itu didengar baik-baik oleh Jokowanengpati yang sudah setengah sadar. Akan tetapi ia perlu mengaso, perlu mengumpulkan tenaganya kembali, maka ia segera tidur lagi sampai semalam suntuk. Ia hanya tahu bahwa dirinya ditolong oleh sepasang suami-isteri penghuni pondok ini, dan oleh seorang wiku tua tukang mencari obat di hutan barat.

   Ia hanya ingat samar-samar bahwa pertapa itu setengah tua berkepala gundul yang dibungkus kain kuning dengan pakaian kuning pula, petani itu masih muda dan isterinya berkulit kuning bersih dan manis! Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Jokowanengpati sudah bangun dari tidurnya. Ia merasa betapa tubuhnya segar dan sehat, tenaganya sudah pulih kembali. Bukan main girang dan lega hatinya. Tiba-tiba ia teringat akan patung kencana. Ia cepat menengok dan melihat benda itu masih berada di atas balai-balai dekat kepalanya. Akan tetapi bungkusnya, sutera kuning itu sudah terbuka sehingga tampaklah patungnya yang terbuat daripada emas murni amat indahnya. Berguncang jantung Jokowanengpati. Sutera itu terbuka, berarti tiga orang itu pasti telah melihatnya.

   Cepat ia meraih patung itu dan memeriksanya, lalu membungkusnya kembali. Celaka, pikirnya, tiga orang itu telah melihatnya! Ini berbahaya sekali. Tak seorangpun di dunia ini boleh tahu bahwa patung kencana Mataram itu berada di tangannya! Tiba-tiba terdengar suara gerakan di luar bilik. Jokowanengpati terkejut dan cepat-cepat ia lalu meletakkan patungnya kembali dan merebahkan diri telentang di atas balai-balai sambil meramkan kedua matanya, akan tetapi diam-diam ia mengintai dari balik bulu matanya yang hitam panjang. Terdengar langkah kaki halus dan ternyata yang memasuki biliknya adalah seorang wanita yang manis, Wiyanti! Wiyanti mendekati balai-balai, memandang penuh perhatian dan agak khawatir karena melihat dada tamunya itu bergelombang, mengira tamunya kumat lagi.

   Ia membungkuk dan hati-hati meraba dahi Jokowanengpati dengan tangan kanannya, sedangkan di tangan kirinya terdapat sepiring nasi encer untuk tamunya yang sakit. Dari jarak dekat Jokowanengpati melihat wajah manis yang asli sederhana seperti setangkai mawar gunung segar bermandi halimun itu, melihat belahan dada lembut ketika Wiyanti membungkuk. Biarpun Jokowanengpati seorang muda yang memiliki dasar watak mata keranjang dan cabul, tak pernah dapat membiarkan wanita cantik lewat begitu saja, akan tetapi dalam keadaan biasa, agaknya ia masih enggan mengganggu wanita yang telah menolong nyawanya itu. Akan tetapi, keyakinan hatinya bahwa wanitai itu telah melihat patung kencana, menggelapkan semua pikiran sehat dan pada saat itu juga lengan kirinya sudah merangkul leher yang membungkuk!

   "Aaahhhhppp!!"

   Jokowanengpati menghentikan pekik yang keluar dari bibir Wiyanti itu dengan mulutnya. Piring nasi encer terlepas dan jatuh ke atas tanah Wiyanti meronta-ronta namun sia-sia belaka. Tak mungkin ia dapat terlepas dari pagutan yang erat itu. Ia teringat akan tusuk sanggulnya, tangannya meraih ke rambut, dicabutnya penusuk sanggul, digerakkan tangannya untuk menusukkan senjata darurat ini, namun sambil tertawa dan tetap menutup mulut dengan mulut itu Jokowanengpati merenggutkan tangan Wiyanti yang memegang penusuk sanggul.

   Benda runcing kecil itu terlepas jatuh di atas balai-balai, sanggulnya terlepas mengurai, menyelimuti mereka berdua. Kismoro memasuki pondoknya dengan muka dan kepala masih basah. Baru saja ia kembali dari anak sungai, tangan kirinya membawa tiga ekor ikan lele hasil mengail di pagi tadi. Tiba-tiba ia mendengar suara aneh di bilik, seperti orang dicekik dan napas terengah-engah. Ia kaget sekali, melempar ikannya di sudut lalu lari memasuki bilik. Tiba-tiba ia berdiri terpaku, mukanya menjadi merah, matanya melotot dan hampir ia tidak percaya apa yang dilihatnya, Wiyanti, isterinya yang tercinta, meronta-ronta dan bergumul dengan tamu mereka yang hendak memperkosanya. Rambut isterinya terurai, kainnya sudah robek semua, namun isterinya meronta dan melawan sekuat tenaga.

   "Keparat...!!"

   Kismoro memaki dan melompat maju hendak menolong isterinya.

   "Werrr... ceppp!!"

   Tubuh Kismoro yang baru melompat itu tiba-tiba roboh terguling dan tepat di ulu hatinya menancap sebuah benda yang bukan lain adalah tusuk sanggul isterinya sendiri! Kiranya Jokowanengpati yang melihat masuknya Kismoro, telah menggunakan tusuk sanggul itu untuk mendahului menyerang. Karena kini tenaganya sudah pulih semua, sekali sambit saja ia mengirim tusuk sanggul itu memasuki ulu hati Kismoro yang roboh dan berkelojotan merintih-rintih tanpa dapat bangkit kembali.

   "Aaiiihhhh...! Kakang... Kang Kismoro...! Aduuuhhh...!"

   Wiyanti meronta-ronta sambil menoleh ke arah suaminya, memanggil-manggil dan menangis menjerit-jerit. Namun dia dan suaminya tinggal di tempat terpencil jauh tetangga. Jerit tangisnya itu mungkin hanya didengar oleh lutung-lutung dan monyet.

   Tak lama kemudian jerit tangisnya tak terdengar lagi dan ketika Jokowanengpati melangkah keluar dari pondok membawa bungkusan patung kencana, lalu berlari cepat seperti angin meninggalkan tempat itu, di dalam bilik pondok itu tubuh Wiyanti telah menjadi mayat! Wanita inipun menjadi korban kebiadaban Jokowanengpati yang tidak merasa puas kalau hanya menodainya karena wanita inipun sudah melihat patung kencana, maka sehabis melakukan pemerkosaan, dengan jari tangannya ia menusuk pelipis wanita ini sehingga pecah dan tewas seketika. Kismoro masih mampu merangkak menghampiri balai-balai di mana isterinya menggeletak tak bernyawa. Dengan susah payah ia berhasil bangkit, memeluki tubuh isterinya dengan penuh kasih sayang dan iba.

   Dalam keadaan hampir mati Kismoro tadi melihat betapa isterinya mati-matian mempertahankan kehormatannya. Ia tidak menyesal, ia kasihan pada isterinya dan karena terlalu banyak darah membanjir keluar, akhirnya Kismoro menghembuskan napas terakhir sambil rebah menelungkup memeluk isterinya, badan atas di balai-balai, badan bawah di atas tanah. Jokowanengpati lari cepat menuju ke barat. Diapun seorang manusia, maka diapun masih diperingatkan hati nurani sendiri yang mencelanya atas pembunuhan yang ia lakukan terhadap suami-isteri yang telah menolong nyawanya. Ia harus mengakui bahwa hanya berkat pertolongan kedua suami-isteri itulah maka ia masih dapat bernapas hari ini. Kalau malam kemarin tidak ada Kismoro dan Wiyanti yang menolongnya, tentu ia sudah mati konyol!.

   "Mereka harus mati!"

   Bantahnya sambil lari terus."Juga wiku itu harus mati. Siapa suruh mereka bertiga melihat patung kencana? Kalau mereka bertiga tidak kubunuh, aku sendiri akan terancam hidupku!"

   Demikianlah bantahan hati Jokowa-nengpati terhadap teguran hati nuraninya. Ia menganggap bahwa perbuatannya itu benar. Benar karena ia anggap bahwa tiga orang itu kalau dibiarkan hidup, dapat merupakan bahaya baginya! Dan demikian pula pandangan orang-orang sesat tentang kebenaran sehingga di dunia ini bermunculan KEBENARAN seperti jamur di musim hujan. Kebenaran yang timbul karena sifat egoism (mement ingkan diri pribadi).

   Asal menguntungkan diri pribadi maka benarlah, yang merugikan diri pribadi tentu saja tidak benar! Maka timbullah macam-macam kebenaran. Memukuli dan menyiksa orang lain? Benar, karena orang lain itu jahat, katanya. Mencuri milik orang lain? Benar pula, karena untuk memberi makan anak isteri, katanya. Bermacam-macamlah alasan untuk membenarkan diri. Kebenaran setan dan iblis. Kebenaran palsu. Inilah sebabnya manusia harus tetap eling (ingat) dan waspodo (waspada). Ingat akan kekuasaan dan kebesaran Tuhan sehingga kita benar-benar tunduk dan taat, kemudian waspada terhadap tindakan sendiri, agar jangan sampai kita terjebak oleh iblis dan setan yang pandai menyulap kepalsuan-kepalsuan menjadi semacam kebenaran! Jokowanengpati yang merasa diri benar itu mempergunakan ilmunya berlari cepat sekali menuju ke hutan sebelah barat.

   Begitu memasuki hutan ini, hidungnya mencium sedapnya daun dan bunga. Matahari pagi mulai menyinari taman alam ini, menciptakan pemandangan yang indah. Hutan ini penuh dengan tetumbuhan beraneka warna. Pantas saja tempat ini menjadi gudang tanaman berkhasiat. Terdengar suara orang bersenandung. Ketika Jokowanengpati berjalan mendekat ke arah suara, tampaklah olehnya seorang laki-laki setengah tua berjubah kuning sedang memilih daun dengan hati-hati sambil membaca doa yang suaranya seperti orang bersenandung. Daun-daun itu dikumpulkan dalam sebuah keranjang bambu dan agaknya wiku itu tidak tahu bahwa Jokowanengpati telah datang mendekat. Setelah Jokowanengpati mendehem (batuk kecil) barulah ia menengok, memandang penuh perhatian dan tampak tercengang.

   "Pamankah yang mengobati saya dari keracunan?"

   Jokowanengpati bertanya untuk mencari kepastian. Wiku Jaladara memandang ke arah bungkusan kain kuning, lalu mengangguk dan tersenyum.

   "Daun-daun inilah yang mengobatimu, orang muda, dan kekuasaan yang Maha Mulia jualah yang menentukan, saya hanya alat dan perantara belaka..."

   Tiba-tiba Wiku Jaladara terkejut bukan main karena pada saat itu, orang muda yang disangkanya mencarinya hanya untuk menghaturkan terima kasih itu telah menerjangnya dengan pukulan hebat dan gerakan cepat laksana kilat menyambar. Memang Jokowanengpati telah menyerangnya dengan gerakan Bayu Sakti dan pukulan Jonggring Saloko. Ia hendak berhasil dengan sekali pukul, karena betapapun juga tidak enak hatinya harus membunuh pertapa ini.

   "Aaahhh..., bagaimanakah ini...?"

   Wiku Jaladara cepat mengelak ke samping, akan tetapi biarpun pukulan itu sendiri tidak mengenainya, namun hawa pukulan yang maha dahsyat membuat tubuh sang wiku terguling Ketika Wiku Jaladara terhuyung hendak bangun, Jokowanengpati telah menerjangnya lagi tanpa memberinya kesempatan, kini menggunakan pukulan Siyung Warak dan mengarah kepala agar sekali pukul beres.

   "Wuuuuuttt... dukkkk!"

   Bukan Wiku Jaladara yang pecah kepalanya, bahkan tubuhnya masih tidak apa-apa, robohpun tidak, sebaliknya Jokowanengpati yang terpelanting dan cepat pemuda ini melompat bangun lagi sambil memandang dengan mata terbelalak.

   Pukulannya tadi ada yang menangkis dan kini orang yang menangkisnya, yang telah menolong Wiku Jaladara, telah berdiri di depannya. Seorang laki-laki yang berwajah aneh sekali! Kulit mukanya kuning berkeriput, brocal-brocel (tidak rata) seakan-akan kulit itu bekas digerogoti semut, hidungnya hampir lenyap hanya tampak lubangnya, matanya tidak berbulu akan tetapi sinarnya tajam menembus jantung, mukanya yang buruk itu tidak berambut, akan tetapi rambut kepalanya yang putih menunjukkan bahwa laki-laki ini adalah seorang kakek tua. Jokowanengpati memandang tajam dan tahulah ia bahwa orang berwajah mengerikan ini sebenarnya memakai topeng yang terbuat daripada getah pohon karet, maka ia menjadi penasaran dan membentak marah,

   "Heh keparat, siapakah engkau berani mencampuri urusan kami?"

   Akan tetapi si buruk rupa itu tidak menjawab bahkan tidak memperdulikannya, melainkan menghadapi Wiku Jaladara dan bertanya,

   "Sang wiku yang baik, apakah sebabnya orang muda ini menyerang anda?"

   Wiku Jaladara merangkap kedua tangan di depan dada, menjawab dengan tenang,

   "Saya sendiri tidak tahu mengapa, kisanak, kemarin saya membawakan daun obat dan berhasil mengusir racun dari dalam perutnya, pagi ini dia datang mencari saya dan tahu-tahu telah menyerang saya tanpa sebab. Semoga dia diterangi cahaya kebenaran Sang Hyang Adhi Buddha, Sadhu!"

   Wiku Jaladara mengucapkan puja-puji. Jokowanengpati menjadi panas sekali hatinya. Ia tidak tahu siapa si buruk rupa ini, akan tetapi melihat betapa tadi dapat menangkis pukulannya dengan tenaga sedemikian kuatnya, ia dapat menduga bahwa orang ini merupakan lawan yang cukup tangguh. Oleh karena itu, tanpa menanti orang itu menyerangnya dengan pukulan maupun kata-kata, ia telah mendahului membentak,

   "Orang lancang dan usil! Terimalah pukulanku ini!"

   Ia menerjang dengan ganas, menggunakan kegesitan tubuhnya, mengerahkan Bayu Sakti dan menyerang sambil mainkan Aji Jonggring Saloko.

   "Hemmm, bocah tersesat!"

   Orang bertopeng itu berkata perlahan, tubuhnya bergerak cepat pula dan dengan mudah menghindarkan pukulan Jokowanengpati yang bertubi-tubi. Lebih sepuluh kali Jokowanengpati memukul dengan tangan kanannya, menggunakan ilmu pukulan Jonggring Saloko, akan tetapi orang itu selalu mengelak dengan gesitnya. Mulai kaget dan heranlah hati Jokowanengpati.

   "Engkau siapa?"

   Bentaknya sambil melompat mundur. Akan tetapi orang itu tidak menjawab, hanya mengeluarkan suara ketawa lirih. Jokowanengpati marah sekali. Ia tidak dapat menggunakan kedua tangannya karena tangan kirinya ia pakai mendekap patung kencana di dada. Namun biar hanya tangan kanannya yang bergerak, sebetulnya serangan-serangannya tadi hebat bukan main. Mengapa orang aneh ini dapat mengelakkannya demikian mudah?

   "Mampuslah!"

   Kembali Jokowanengpati menerjangnya, kini ia menambah tenaga pukulannya, bahkan menggunakan aji tendangannya yang hebat. Bagaikan kitiran angin tangan kanannya dan kedua kakinya menerjang ganti-berganti, tidak memberi kesempatan kepada lawan. Namun aneh sekali, orang itu menghadapi semua serangannya dengan tenang dan dapat mengelak pada saat yang tepat.

   "Keparat, balaslah! kau kira aku takut terhadap balasan seranganmu?"

   Jokowanengpati berteriak ketika melihat betapa lawannya itu hanya mengelak terus sambil kadang-kadang mengeluarkan suara ketawa lirih. Kalau orang ini tidak menyerangnya, mana ia mampu mengenalnya? Dari gerak serangannya, mungkin ia akan dapat menduga siapa gerangan orang di balik topeng ini!

   "Hemm, benar-benar tersesat engkau. Sambutlah ini!"

   Tiba-tiba orang itu balas menyerang dan alangkah kaget hati Jokowanengpati bahwa orang inipun menyerangnya dengan ilmu yang sama! Orang itu menggunakan serangan dengan ilmu pukulan Jonggring Saloko pula!. Gurunyakah? Empu Bharodokah? Menggigil tubuh Jokowanengpati ketika hatinya menduga demikian, akan tetapi ia cepat menggunakan Bayu Sakti untuk mengelak.

   Ia memandang lebih teliti. Bukan, bukan gurunya. Biarpun gurunya dapat bersembunyi di balik topeng sehingga ia takkan mengenali mukanya, namun gurunya tidak mungkin dapat merubah bentuk tubuhnya. Dan orang ini bentuknya tidak sama dengan gurunya. Gurunya lebih pendek dan leher gurunya tidak sepanjang itu. Bukan, orang ini bukan gurunya. Akan tetapi ia tidak dapat berpikir lama-lama karena orang bertopeng itu sudah menerjangnya lagi dengan gerakan yang hebat:. Jokowanengpati mengeluh. Orang ini gerakannya tidak kalah cepat olehnya, sedangkan ia sendiri merasa canggung karena tangan kirinya harus memeluk patung kencana. Ketika ia merasa angin pukulan menghantam leher, cepat ia menangkis karena untuk mengelak amat berbahaya.

   "Dukkkk!"

   
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kembali ia terpelanting dan pada saat itu lawan sudah mencengkeram ke arah dadanya. Jokowanengpati membuang diri ke belakang dan gerakan ini membuat sutera kuning pembungkus patung berkibar dan tanpa disengaja terkena cengkeraman orang itu.

   "Bretttl"

   Sutera kuning itu terlepas dari patung kencana dan tampaklah kini pusaka keramat itu, sebuah patung Sri Batara Wishnu, terbuat daripada emas, diukir amat indahnya seakan-akan patung itu hidup!

   "Aahhhhhhh...! Pusaka Mataram...?"

   Orang bertopeng itu berseru lirih, sejenak terpesona, kemudian ia menggereng dan menerjang makin hebat. Jokowanengpti kewalahan. Ia hanya menggunakan tangan kanan saja untuk melawan, sedangkan dalam hal tenaga dan kecepatan, orang itu tidak kalah olehnya, maka ia terdesak dan pada saat ia menangkis sebuah pukulan, tangan orang itu telah berhasil menampar pundaknya.

   "Aduhhh...!"

   Hebat sekali tamparan itu. Panas rasanya dan diam-diam Jokowanengpati terheran. Terang bukan gurunya, karena tenaga yang dipergunakan dalam pukulan tadi bukanlah Siyung Warak, melainkan tenaga lain yang ampuhnya tidak kalah oleh Siyung Warak, yang membuat dadanya serasa dibakar. Celaka, pikirnya.

   Musuh ini amat tangguh dan kalau dilanjutkan sampai ia kalah, tentu patung ini akan terampas. Patung pusaka keramat! Pusaka Brojol Luwuk yang berada di dalam patung Teringat akan ini, Jokowanengpati lalu melompat jauh ke belakang, memutar-mutar bagian bawah patung yang segera terbuka dan ketika tangan kanannya merogoh ke dalam patung, ia mendapatkan sebatang keris yang warnanya abu-abu. Keris ini ujudnya biasa saja, malah tanpa ganja (dasaran keris) atau ganjanya bersambung dan rata dengan tubuh kerisnya, eluknya tujuh model Sempana, warnanya abu-abu namun memancarkan cahaya kehijauan yang luar biasa. Inilah pusaka Brojol Luwuk, pusaka Mataram yang semenjak jaman dahulu menjadi pusaka dan pujaan Raja-rRaja Mataram! Orang bertopeng itu terbelalak memandang pusaka, mundur-mundur seperti orang ketakutan.

   "Brojol Luwuk...!"

   Serunya kaget.

   Melihat ini, besar hati Jokowanengpati. Kiranya keris inilah pusaka sebenarnya, adapun patung kencana itu hanyalah wadah (tempat) belaka. Maka agar gerakannya jangan terhalang, ia melemparkan patung yang sudah kosong itu ke atas rumput, kemudian dengan keris pusaka Brojol Luwuk di tangan kanan ia menyerbu sambil lari ke depan. Keris menyambar ke depan. Orang bertopeng itu melompat ke pinggir untuk mengelak, akan tetapi tiba-tiba ia terpelanting. Hebat memang wibawa keris pusaka itu yang seakan-akan mengeluarkan hawa sakti yang amat panas. Menghadapi wibawa dan hawa sakti ini saja lawan sudah seakan-akan lumpuh dan hilang kedigdayaannya. Jokowanengpati girang sekali. Ia menubruk maju dengan kerisnya sambil berseru,

   "Mampus kau!"

   Orang itu kembali mengelak, akan tetapi sekali lagi ia terguling seperti terkena dorongan yang amat kuat. Jokowanengpati menubruk ke bawah, kerisnya meluncur ke arah dada lawan. Orang itu mengeluh panjang dan menggulingkan tubuhnya cepat-cepat menghindar sehingga keris menancap tanah. Seketika tanah itu mengeluarkan suara mendesis dan mengebulkan asap! Bukan main! Tanah saja seperti tidak kuat menahan tusukan keris bertuah ini, apalagi kulit daging manusia. Pantas saja orang bertopeng itu ketakutan dan selalu menghindar. Jokowanengpati makin besar hatinya. Setelah mencabut keris itu ia mengejar, sumbarnya,

   "Hayoh keluarkan kesaktianmu, keparat! Jangan lari kau!"

   Bagaikan sebuah ndaru (bintang berekor) keris itu meluncur lagi menuju ulu hati orang bertopeng. Orang itu mengeluarkan keluhan panjang dan berusaha meloncat tinggi untuk melarikan diri. Namun hawa sakti keris pusaka Brojol Luwuk agaknya dapat mengejarnya sehingga dari atas ia terbanting jatuh lagi lalu bergulingan menjauhkan diri. Jokowanengpati girang sekali, tertawa-tawa mengejek dan mengejar terus.

   "Sadhu-sadhu-sadhu... Kisanak, terimalah ini...!"

   Wiku Jaladara telah mengambil patung kencana dan kini ia melemparkan patung itu ke arah orang bertopeng. Patung kencana itu meluncur dan mengeluarkan sinar cemerlang, lalu diterima oleh orang bertopeng dengan wajah berseri.

   "Terima kasih, sang wiku!"

   Pada saat itu Jokowanengpati sudah datang lagi menerjang, keris pusakanya meluncur cepat sekali ke arah perut lawan. Orang bertopeng itu telah membuka bagian bawah patung. Dengan patung kencana di tangan, hawa sakti keris pusaka ampuh itu sama sekali tidak mempengaruhinya seakan-akan menjadi tawar oleh wibawa yang keluar dari patung kencana. Begitu keris pusaka itu menghunjam, orang bertopeng cepat menyambutnya dengan patung kencana yang dipegang dengan kaki di depan.

   "Cepppp!"

   Tepat sekali keris itu memasuki patung kencana yang memang menjadi wadahnya, tepat dan persis seperti curiga manjing warangka (keris memasuki sarungnya)! Dan pada saat itu, orang bertopeng sudah menggerakkan tangan kirinya menghantam lengan kanan Jokowanengpati. Hebat bukan main hantaman jari-jari tangan kiri ini. Jokowanengpati merasa seakan-akan lengannya hancur, padahal ia telah mengerahkan Aji Siyung Warak. Ia menjerit kesakitan, tangan kanannya merasa lumpuh ketika ia melompat ke belakang. Maklumlah pemuda ini bahwa tak mungkin ia akan menang kalau melanjutkan pertandingan, maka dengan mulut memekik penuh kecewa dan sesal ia lalu meloncat dan lari sambil mengerahkan Aji Bayu Saktinya. Sebentar saja ia lenyap dari dalam hutan itu.

   "Jagad Dewa Batara...!"

   Orang bertopeng itu mengeluh sambil memandang patung kencana.

   "Berbahaya sekali...!"

   Kemudian ia menoleh ke arah Wiku Jaladara yang masih berdiri di bawah pohon, menghampiri dan menjura penuh hormat.

   "Terima kasih atas bantuan sang wiku."

   Wiku Jaladara balas menghormat sambil menyembah depan dada, lalu berkata dengan halus,

   "Sabhe satta ayera hontu, sadhu-sadhu-sadhu (Semoga semua mahluk hidup damai)!"

   Orang bertopeng itu tersenyum, menghela napas panjang dan berkata sebagai jawaban,

   "Kalau semua orang di dunia ini seperti anda, sang wiku yang bijaksana, kiranya perdamaian akan menyelimuti jagad. Akan tetapi selama orang-orang macam orang muda tadi masih berkeliaran di dunia, bagaimana kita dapat mengharapkan perdamaian?"

   Selanjutnya orang bertopeng itu menjura lagi lalu pergi dari situ sambil mulutnya berkemak-kemik membaca mentera dan doa, meninggalkan Wiku Jaladara yang juga tiada hentinya berdoa sambil melanjutkan memetik daun dan bunga obat. Setelah keluar dari dalam hutan, orang bertopeng itu lalu melucuti topengnya yang merupakan selembar getah kering pohon karet. Maka tampaklah kini wajah yang berwibawa dari seorang pertapa yang rambutnya sudah putih semua, yang bukan lain adalah Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo!.

   Sang waktu melewat dengan pesatnya atau merayap dengan lambatnya tanpa dipengaruhi oleh apapun yang terjadi di dunia ini. Semua tunduk kepada waktu. Semua melapuk dan rusak digerogoti waktu. Tiada kekuasaan di dunia dapat mempercepat atau memperlambat jalannya waktu. Manusia hanya dapat menyumpahi kelambatannya kalau sedang tergesa-gesa, atau menyesali kecepatannya kalau sudah tua. Sepuluh tahun lebih telah lewat sejak Pujo membawa lari Joko Wandiro dari tangan ibunya, ketika Pujo menculik isteri dan putera Wisangjiwo ke Guha Siluman.

   Kini Joko Wandiro sudah berusia dua belas tahun, seorang anak laki-laki yang berwajah tampan bertubuh kuat dan pada wajahnya terbayang kekerasan hati, sungguhpun kekerasan pada tarikan dagunya ini dilembutkan sinar matanya yang tajam dan bibirnya yang sering tersenyum ramah. Joko Wandiro adalah seorang anak yang periang, nakal Jenaka. Seringkah ia bermain-main dengan anak-anak nelayan yang kadang-kadang datang ke pantai tempat ia dan ayahnya tinggal, pantai yang sunyi sekali jauh dari perkampungan nelayan. Apabila anak-anak nelayan itu bermain-main di daerah sunyi ini, terdengar suara Joko Wandiro ikut bersorak-sorak gembira. Akan tetapi apabila ia sedang berlatih dengan ayahnya, tampaklah kesungguhan hatinya.

   Pada suatu pagi, Joko Wandiro telah berlatih dengan Pujo yang selama ini telah menjadi"Ayahnya."

   Dan memang sesungguhnyalah Pujo menyayangi anak ini seperti anaknya sendiri, makin besar anak itu, makin besar pula rasa sayangnya sehingga ia seakan-akan telah lupa bahwa anak itu adalah keturunan musuh besarnya. Lupa bahwa ia membesarkan dan mendidik anak ini dengan tujuan menyiksa hati Wisangjiwo, dan sengaja hendak mengadu anak ini dengan Wisangjiwo kelak. Kini ia menganggap Joko Wandiro sebagai putera atau murid sendiri yang dididik dengan tekun. Di dekat muara Kali Lorog, di sepanjang pantai Laut Selatan yang banyak teluknya, di sanalah mereka berdua ini tinggal.

   Pada pagi hari itu, seperti biasa, Joko Wandiro telah berdiri di atas batu karang yang menonjol di permukaan laut. Di depannya, Pujo juga berdiri di atas batu karang lain yang jaraknya antara dua meter dari batu karang pertama. Kemudian Pujo bergerak perlahan, menggerakkan kaki tangan seperti orang menari, yang diikuti pula oleh Joko Wandiro. Kadang-kadang terdengar teriakan Pujo yang mengiringi pukulan-pukulan tertentu, diturut pula oleh Joko wandiro dengan teriakan nyaring dan tinggi. Terus menerus mereka berlatih sampai keringat membasahi seluruh tubuh Joko Wandiro, sampai matahari naik tinggi dan sampai ombak air laut yang tadinya tenang itu mulai mengganas dan menyerbu batu karang yang mereka jadikan tempat berlatih!

   Makin ganas ombak, makin cepat pula gerakan Pujo dan Joko Wandiro. Ternyata hantaman ombak ke lambung batu karang yang membuat air muncrat ke atas menyerang kedua orang itu, dipergunakan oleh Pujo untuk latihan kegesitan karena mereka itu menganggap seolah-olah percikan air itu merupakan pukulan dan serangan lawan! Kalau lidah ombak yang memukul itu tak dapat dielakkan lagi, mereka menggunakan kekuatan tubuh untuk melawannya, dan tubuh mereka seolah-olah batu karang, kokoh kuat tidak bergeming oleh hantaman ombak memecah. Namun makin lama Joko Wandiro makin menderita karena tubuhnya belumlah sekuat Pujo. Pujo melihat ini, melihat betapa Joko Wandiro mulai terhuyung setiap kali lidah ombak datang melecut. Ia tersenyum dan berkata nyaring mengatasi debur, suara Ombak,

   "Cukup anakku!"

   Tubuh Pujo melompat ke atas batu karang puteranya, lalu sekali sambar ia telah mengempit pinggang Joko Wandiro, kemudian dibawanya tubuh anak itu meloncat ke batu karang di pinggir.

   Mereka kini berjalan kaki sambil menghapus air laut dan peluh dari muka dan leher, menuju ke pondok yang menjadi tempat tinggal mereka, di bawah sekelompok pohon nyiur. Baik Pujo maupun Joko Wandiro sama sekali tidak tahu bahwa gerakan mereka sejak pagi tadi diawasi terus oleh sepasang mata yang bersinar tajam, sepasang mata milik seorang kakek yang menyembunyikan diri di balik batu karang sambil mengintai. Kakek ini berambut putih, bukan lain adalah Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo!. Setelah Pujo dan Joko Wandiro lenyap memasuki pondok yang tampak dari jauh, kakek ini duduk termenung di atas batu karang. Sejak kemarin ia mengintai dan jelas bahwa puterinya, Kartikosari tidak berada di situ, tiada bersama Pujo.

   Bocah yang tangkas dan memiliki bakat luar biasa itu, siapakah? Putera Pujo dan Kartikosarikah? Ataukah bocah ini adalah cucu Adipati Joyowiseso yang kabarnya diculik Pujo? Banyak hal-hal aneh didengarnya selama ini. Mula-mula hal aneh didapatinya di pondoknya sendiri, ketika ia pulang ke Sungapan. Pondoknya, Bayuwismo, masih seperti biasa, akan tetapi enam orang cantriknya sudah tidak seperti biasa lagi, Mereka kini telah menjadi tuli semua! Memang seorang di antara mereka, Wistoro adalah seorang yang tuli dan gagu sejak dahulu, akan tetapi lima orang cantriknya kini menjadi tuli semua. Dan betapa heran dan penasaran hatinya ketika ia mendengar bahwa Jokowanengpati dan Cekel Aksomolo sebagai utusan Adipati Selopenangkep, Joyowiseso, membawa pasukan dan mencari-cari dia dan Pujo, juga Kartikosari Bagaimanakah ini?

   Apakah yang telah terjadi? Setelah mendengar laporan cantrik-cantriknya yang menangis, Resi Bhargowo menarik napas panjang untuk menekan kemarahan hatinya. Ia menghibur mereka, lalu langsung ia mengajarkan Aji Panca Kartika kepada lima orang cantriknya yang telah menjadi tuli, dan menurunkan Aji Gelap Musti kepada cantrik Wistoro. Ilmu Panca Kartika adalah semacam ilmu silat yang dimainkan oleh lima orang, merupakan barisan yang kokoh kuat sehingga ketulian mereka dapat diganti dengan kerja sama dalam barisan sakti ini. Adapun cantrik Wistoro yang sejak kecilnya tuli gagu, tidaklah merasa rugi seperti kelima orang saudaranya, maka diberi Ilmu Gelap Musti. Setelah memesan mereka berenam agar berlatih dengan tekun sehingga kelak menjadi orang-orang yang tidak mudah menerima penghinaan orang lain.

   Resi Bhargowo lalu berangkat menyelidiki ke Kadipaten Selopenangkep. Mulailah kakek sakti ini tenggelam ke dalam lautan rahasia yang aneh-aneh, teka-teki yang membuat hatinya menjadi terganggu, penuh penasaran dan pertanyaan, dan selanjutnya membuat ia selalu melakukan perbuatan secara diam-diam dan bersembunyi. Di Kadipaten Selopenangkep yang ia selidiki secara diam-diam itu, ia mendapat dengar tentang penyerbuan Pujo ke kadipaten, tentang usaha Pujo membunuh sang adipati, kemudian Betapa Pujo tertangkap dan dihukum perapat, namun malamnya dapat melarikan diri, bahkan membawa lari atau menculik Listyokumolo isteri Wisangjiwo serta puteranya yang baru berusia satu tahun! Hebat berita ini, membuat Resi Bhargowo makin gelisah hatinya, makin tak berani memperlihatkan diri kepada orang lain.

   Mulailah kakek ini mencari-cari puteri dan mantunya yang lenyap seperti ditelan bumi itu. Inilah pula sebabnya mengapa ketika dalam usahanya mencari mereka itu ia berjumpa dengan Jokowanengpati di hutan lereng Gunung Lawu, kakek ini segera menyembunyikan mukanya di balik topeng getah karet! Makin terheran pula ketika tanpa disengaja ia berhasil merampas patung kencana berisi pusaka Brojol Luwuk yang menjadi pusaka keramat Mataram semenjak jaman dahulu! Pusaka Mataram lenyap dari keraton! Alamat tidak baik! Keanehan demi keanehan dihadapi oleh kakek ini. Ia mendengar betapa banyak adipati, di antaranya dan terutama sekali Adipati Joyowiseso di Kadipaten Selopenangkep, mulai mengumpulkan orang-orang muda dan melatih mereka sebagai perajurit-perajurit!

   Bahkan Adipati Joyowiseso mendatangkan orang-orang pandai seperti Cekel Aksomolo dan sepanjang pendengarannya, pernah datang pula orang-orang yang dianggap musuh Mataram seperti Ki Warok Gendroyono, Krendoyakso kepala rampok Begelen dan banyak tokoh-tokoh hitam lagi. Malah kabarnya Ni Durgogini dan Ni Nogogini juga sering datang ke kadipaten! Inilah hebat. Tak salah lagi, tentu ada maksud-maksud jahat di Selopenangkep. Maksud memberontak! Mendapat kenyataan yang mengejutkan ini, Resi Bhargowo seketika melupakan urusannya sendiri, dan menunda usahanya mencari puterinya. Ia lalu berangkat ke Kahuripan (Mataram) untuk melaporkan tentang usaha pemberontakan ini, juga sekalian bermaksud mengembalikan pusaka Mataram yang secara kebetulan terjatuh ke dalam tangannya.

   Akan tetapi, sesampainya di Kotaraja, kembali ia terpukul oleh kenyataan-kenyataan yang mengherankan dan mengejutkan. Ia mendengar bahwa Sang Prabu Airlangga telah mengundurkan diri dari tahta Kerajaan dan hidup sebagai seorang pendeta, berjuluk Sang Resi Gentayu (hal ini terjadi pada tahun 1.041). Semenjak pengunduran diri Sang Prabu Airlangga inilah keadaan keraton Kahuripan menjadi medan persaingan dan perebutan kekuasaan antara para pangeran, keturunan permaisuri pertama yang kini menjadi pertapa pula berjuluk Sang Kili Suci, dan keturunan permaisuri ke dua Puteri Sriwijaya. Biarpun Ki Patih Kanuruhan (Narotama) masih menjadi pembimbing dan penasehat, namun pengaruhnya kurang kuat untuk memadamkan api persaingan kekuasaan ini. Bukan hanya itu saja yang mengejutkan dan mengherankan hati Resi Bhargowo.

   Juga ia mendapat kenyataan bahwa putera Adipati Joyowiseso, yaitu Wisangjiwo, oleh Ki Patih malah diangkat menjadi seorang senopati muda! Benar-benar ia menjadi penasaran sekali dan mencurigai Ki Patih yang dianggapnya kurang bijaksana atau mungkin ada hubungan dengan mereka yang bermaksud memberontak! Dengan itikad baik Resi Bhargowo langsung mengunjungi istana Kepatihan untuk menegur Ki Patih dan melaporkan semua yang diketahuinya. Akan tetapi apa yang terjadi? Begitu memasuki Kepatihan, ia lalu ditangkap dengan tuduhan pemberontak dan pengacau Kadipaten Selopenangkep, hendak membunuh seorang adipati. Adipati adalah ponggawa Raja, oleh karena itu menyerangnya berarti pemberontakan! Tanpa diberi kesempatan membela diri Resi Bhargowo terus saja ditangkap.

   Timbulkan kemarahan dan penasaran di hati pertapa yang biasanya tenang dan damai itu. Ia segera mempergunakan kesaktiannya, melepaskan diri dari sergapan, mengamuk lalu meninggalkan Kotaraja dengan hati murung. Pusaka Mataram tidak dikembalikan, dan mulai saat itulah Resi Bhargowo menjadi pemurung dan pemarah. Hatinya yang tadinya tenang tenteram itu diombang-ambingkan kekecewaan dan penasaran. Ia bertekad untuk menyimpan pusaka ampuh itu, tidak hendak mengembalikannya kepada Mataram! Dan karena maklum bahwa semua orang pandai tentu berlomba untuk mendapatkan pusaka itu, maka ia tidak mau mempergunakan nama Resi Bhargowo lagi, namanya ia ubah menjadi Bhagawan Rukmoseto dan ia menjelajahi hutan-hutan dan gunung, pasisir-pasisir dan teluk, melanjutkan usahanya dahulu, mencari puteri dan mantunya.

   Demikianlah, setelah sepuluh tahun lebih tak pernah mendengar tentang puteri dan mantunya, pada hari itu ia dapat menemukan Pujo di muara Sungai Lorog di pantai Laut Selatan. Akan tetapi oleh karena tidak tampak Kartikosari di tempat itu, ia tidak mau menemui Pujo, bahkan lalu meninggalkan tempat itu untuk mencari puterinya, Kartikosari! Ia dapat menduga bahwa tentu Kartikosari belum mati, seperti Pujo, karena kalau hal ini terjadi, sudah tentu Pujo akan memberi laporan kepadanya di Sungapan. Tentu telah terjadi sesuatu yang hebat, yang memisahkan Pujo dari Kartikosari, dan bahwa kedua orang itu sengaja hendak menyembunyikan kejadian itu daripadanya, sengaja tidak memberi tahu dan bahkan masing-masing pergi mengasingkan diri! Bahwasanya Pujo menyerbu Selopenangkep, tentu ada sangkut-pautnya dengan perpisahan mereka itu.

   Sementara itu Pujo yang sama sekali tidak pernah mimpi bahwa tadi ia diintai oleh guru atau ayah mertuanya, di dalam pondok makan ubi bakar bersama Joko Wandiro. Sejenak ia memandang anak yang makan dengan lahap itu. Anak yang ganteng, berbakat, dan menyenangkan, pikirnya. Sayang, dia putera Wisangjiwo! Teringat ini, tiba-tiba Pujo tersedak. Ubi bakar memang makanan yang seret. Cepat-cepat ia menyambar kendi dan menuangkan air kendi ke dalam mulut untuk mendorong ubi yang mencekik tenggorokan.

   "Ada apakah, ayah?"

   Tanya Joko Wandiro, memandang heran kepada wajah ayahnya yang menjadi merah dan pandang matanya berbeda dari biasanya. Pula, ayahnya yang biasanya tenang sekali itu, mengapa pagi ini sampai tersedak ketika makan ubi? Pujo menatap wajah muridnya yang diaku sebagai puteranya, lalu menghela napas panjang dan berkata,

   "Wandiro, masih ingatkah engkau akan nama musuh besar ayahmu?"

   Joko Wandiro mengangguk.

   "Sampai mati takkan kulupakan nama itu, ayah. Dia Raden Wisangjiwo yang telah membunuh ibuku."

   "Betul sekali, anakku. Dia seorang raden, putera Adipati Selopenangkep."

   "Apakah dia sakti, ayah?"

   Joko Wandiro bertanya penuh perhatian.

   "Dia cukup sakti karena dia murid Ni Durgogini seorang manusia siluman yang menguasai pegunungan sepanjang pantai Laut Selatan. Selain sakti lapun sangat curang dan licik, maka engkau harus selalu berhati-hati apabila kelak bertemu dengannya, Wandiro. Dia pandai menggunakan segala macam akal dan tenung (ilmu hitam)."

   Keterangan ini diberikan oleh Pujo dengan sejujurnya. Masih menyesal hatinya kalau teringat peristiwa di dalam guha itu. Dalam pertandingan melawan Wisangjiwo, ia sudah memperoleh kemenangan, akan tetapi ia kurang hati-hati dan tidak mengira bahwa lawan yang sudah kalah itu amat curang sehingga ia lengah dan terkena pukulan dahsyat dari belakang.

   "Ayah begini kuat dan sakti. Apakah ayah kalah olehnya?"

   "Tidak, Wandiro. Ayahmu tidak kalah oleh Wisangjiwo. Biar ada lima orang Wisangjiwo, agaknya aku takkan undur selangkah!"

   Jawab Pujo dengan suara gemas dan penasaran.

   "Kalau begitu, mengapa ayah tidak lekas-lekas mencarinya dan membalaskan kematian ibu?"

   Sejenak Pujo memandang wajah anak itu penuh selidik, kemudian ia merangkul dan mengusap-usap kepalanya.

   "Tidak begitu mudah, anakku. Sudah kukatakan tadi selain sakti, Wisangjiwo amatlah cerdik dan curang. Dia telah berhasil memperoleh kedudukan tinggi di Kerajaan, menjadi seorang senopati dan di Kerajaan terdapat banyak sekali orang sakti. Akan tetapi aku tidak takut. Aku terlambat sampai sekarang untuk membalasnya adalah karena engkau, anakku."

   "Karena aku?"

   "Ya, benar. Dahulu engkau masih kecil, bagaimana aku tega meninggalkanmu untuk mencari dan membalas musuh besar? Aku perlu memelihara dan mendidikmu. Nah, sekaranglah tiba saatnya bagiku untuk pergi mencari musuh besar kita itu. Engkau sudah besar, sudah boleh kutinggalkan sendiri..."

   "Tidak, ayah! Aku akan ikut! Mari kita pergi berdua mencari musuh, aku sama sekali tidak takut."

   Pujo tersenyum. Tidak sia-sia ia mendidik anak ini sejak kecil. Selain tubuhnya kuat bakatnya baik, juga nyalinya besar.

   "Tidak boleh, Wandiro. Pekerjaan ini amatlah berbahaya. Sudah kukatakan tadi, Wisangjiwo tidak berbahaya ilmunya, melainkan berbahaya sekali kelicikannya. Sekali ini ayahmu pergi mencarinya untuk mengadu nyawa. Dia atau aku yang mati. Kalau dia yang mati dan aku selamat, aku akan kembali ke sini dalam waktu seratus hari. Akan tetapi kalau dalam waktu seratus hari aku tidak pulang, berarti akulah yang tewas..."

   "Ayah! Aku akan turut dan membantu ayah membunuh si laknat Wisangjiwo itu!"

   Pujo menggeleng kepala.

   "Kepandaianmu belum cukup, usiamu belum cukup, Kalau kau ikut kemudian kaupun tewas bersamaku..."

   "Tidak apa, ayah. Aku tidak takut, biar mati asal bersama ayah dan untuk membela ibu..."

   "Ah, anak baik, sikapmu ini baik sekali. Akan tetapi tidak tepat. Kalau aku gagal membalas dan kita mati berdua, lalu siapa kelak yang akan membalaskan kematian ibumu? Akulah yang berangkat sendiri, syukur kalau berhasil. Andaikata gagal dan aku tewas, masih ada engkau yang kelak akan melanjutkah perjuangan kita ini. Dengarlah baik-baik, Wandiro. Tiga hari lagi adalah hari Respati dan aku akan berangkat pada hari itu mencari Wisangjiwo. kau tinggal di sini atau kalau kesepian boleh kau tinggal bersama para nelayan di sana, dan tunggu aku sampai seratus hari. Kalau sampai seratus hari aku tidak pulang..."

   "Kau akan pulang kau takkan kalah, ayah!"

   Potong Joko Wandiro penuh semangat, matanya yang hitam itu berkilat-kilat.

   "Kuharapkan demikian. Akan tetapi kalau sampai seratus hari aku tidak pulang, kau carilah kakek gurumu."

   "Kakek guru...? Dia guru ayah...?"

   "Benar, Wandiro. Kakek gurumu itu adalah Resi Bhargowo, seorang pertapa sakti mandraguna yang bertempat tinggal di Bayuwismo, di Sungapan pantai-Laut Selatan. Kalau dari sini kau melakukan perjalanan terus menyusuri sepanjang pantai menuju ke barat, akhirnya kau akan tiba di Sungapan itu. Nah, setelah bertemu eyangmu Resi Bhargowo, kau katakan bahwa kau anak dan muridku, selanjutnya mohon petunjuknya dan ceritakan bahwa kau bercita-cita membalas dendam kepada Wisangjiwo yang telah membunuh ibumu dan membunuh ayahmu pula."

   "Ayah..."

   Joko Wandiro kaget. Pujo tersenyum.

   "Anak bodoh. Kalau dalam seratus hari aku tidak pulang, bukankah itu berarti aku telah kalah dan tewas?"

   Joko Wandiro termenung. Tiba-tiba ia mengangkat mukanya dan bertanya dengan suara tegas,

   "Ayah, aku hanya mendengar dari ayah bahwa ibu telah dibunuh oleh si laknat Wisangjiwo. Akan tetapi belum pernah ayah menceritakan kepadaku bagaimana terjadinya pembunuhan itu dan di mana pula adanya makam ibuku."

   Pujo tercengang. Inilah sama sekali tak pernah disangkanya dan diperhitungkannya. Akan tetapi ia dapat menguasai hatinya, lalu menjawab,

   "Ketika itu ibumu dan aku sedang berlatih samadhi dalam sebuah guha,, engkau baru berusia setahun dan engkau tidur di sudut guha. Tiba-tiba muncul Wisangjiwo yang tergila-gila kepada ibumu sehingga terjadi pertempuran. Aku berhasil merobohkan dia, akan tetapi karena ibumu terluka, aku melupakan dia dan menolong ibumu. Nah, dalam keadaan lengah itulah ia berlaku curang, menyerangku dari belakang sehingga aku roboh pingsan. Kemudian ia... ia... memperkosa ibumu lalu melarikan diri. Ibumu yang merasa dihina menjadi seperti gila lalu lari keluar guha dan... selanjutnya sampai kini aku tidak mendengar beritanya lagi. Agaknya ibumu telah tewas, dan kalau ia tewas, bukankah sama artinya dengan dibunuh oleh Wisangjiwo?"

   Sejak mendengar cerita dari semula, wajah Joko Wandiro menjadi merah sekali, hidungnya berkembang-kempis dan dua butir air mata meloncat keluar dari pelupuk matanya, kemudian ia bangkit berdiri, mengepal kedua tinju tangannya dan berbisik,

   "Jahanam Wisangjiwo...!"

   Kemudian anak ini berdiri termenung seperti sebuah arca. Pujo melirik dan tersenyum senang. Berhasil ia memupuk kebencian dalam diri anak ini terhadap Wisangjiwo. Inilah harapannya, untuk membalas dendam yang tak kunjung padam dalam hatinya terhadap Wisangjiwo.

   "Ayah, apakah ibu juga seorang wanita sakti?"

   "Ibumu adalah puteri eyang gurumu, tentu saja iapun sakti, hanya kalah setingkat oleh ayahmu ini."

   "Kalau begitu, tentu ibu belum tewas!"

   Joko Wandiro bersorak."Ayah, aku akan mencari ibu!"

   "Ahh, andaikata belum tewas juga, ke mana engkau akan mencarinya? Sudahlah, kita membuat persiapan. Hari Respati esok lusa ayah berangkat dan kau sekarang boleh pergi ke dusun untuk mencarikan seekor kuda. Katakan saja kepada mereka bahwa aku hendak pergi ke Kotaraja, memerlukan seekor kuda tunggangan dan katakan pula bahwa kau hendak tinggal di sana selama aku pergi."

   

Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini