Ceritasilat Novel Online

Keris Pusaka Sang Megatantra 13


Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Bagian 13



'Maafkan aku. Karena harus segera menolong Listyarini, maka aku tidak mempunyai waktu untuk menguburkan jenazahmu baik-baik. Harap engkau tenang di alam baka dan semoga Thian (Tuhan) mengampunimu."

   Kemudian Ki Tejoranu cepat kembali ke dalam pondok. Khawatir kalau sudah siuman Listyarini akan merasa malu mendapat pengobatan di lututnya dan dia dianggap tidak sopan, maka Ki Tejoranu sengaja membiarkan wanita itu dalam keadaan pingsan seperti tidur itu. Dia cepat mengambil air masak, lalu dicucinya luka lecet pada kedua lutut Listyarini. Kemudian dia mengambil daun Widoro-upas dan daun Pegagan, diremasnya lalu dibalurkan pada lutut yang luka itu. Sesudah itu baru ia memijat pusat otot di antara ibu jari dan telunjuk kedua tangan sampai akhirnya Listyarini mengeluh lirih dan membuka kedua matanya.

   Dengan cepat Ki Tejoranu yang tadi ketika mengobati duduk di tepi pembaringan, pindah ke atas kursi yang agak jauh dari pembaringan. Listyarini membuka matanya dan ketika pandang matanya menemukan Ki Tejoranu duduk di atas kursi kayu, ia segera bangkit duduk. Akan tetapi ia mengeluh dan sambil duduk ia memegangi kedua lututnya dan menyingkap sedikit kain yang menutupi kedua lututnya.

   "Kedua lututku ..... agak perih ..... mengapa?"

   "Ah, tidak apa-apa, Mas ayu Lini. Hanya lecet sedikit."

   "Dan ....., engkau mengobatinya?"

   Tanya Listyarini sambil memandang wajah laki-laki itu. Wajah itu memerah. Tadi ketika mengobati, sama sekali tidak ada perhatiannya kepada lutut telanjang itu. Akan tetapi kini, seolah membayang lutut itu, bentuknya indah sekali dan kulitnya putih mulus kemerahan, halus lembut dengan betis indah memadi bunting. Begitu bayangan ini tergambar dalam benaknya, Ki Teroranu cepat mengerahkan kekuatan kemauannya untuk mengusirnya sehingga dia dapat menentang pandang mata Listyarini dengan tenang dan biasa kembali.

   "Ya, aku mencuci lalu mengobatinya agal luka itu tidak menjadi palah dari kelacunan. Maafkan aku, Mas ayu."

   "Kenapa aku harus memaafkanmu? Kenapa engkau minta maaf, Ki Tejoranu?"

   "Aku takut..... engkau akan menganggap aku..... eh, kulang ajal dan tidak sopan, Mas ayu Lini."

   Listyarini tersenyum dan dalam hatinya ia semakin kagum kepada penolongnya itu.

   "Ucapanmu itu menunjukkan bahwa engkau seorang yang sopan dan baik budi, Ki Tejoranu. Lalu....."

   Wanita itu bergidik.

   "bagaimana..... dengan Nismara yang jahat tadi? Dia..... dia tadi sudah mati, bukan? Dan bagaimana dengan dua orang temannya yang buas tadi?"

   "Jangan takut, jenazahnya sudah kukubul, jauh dali sini, dan dua olang tadi sudah melalikan dili. Engkau sekalang sudah aman, Mas ayu Lini."

   "Ohhh..... terima kasih, Gusti. Rupanya Sang Hyang Widhi masih melindungi kita."

   Kata Listyarini. Tiba-tiba wanita itu mengernyitkan hidungnya, mencium cium. Ki Tejoranu juga menyedot-nyedot dengan hidungnya melihat tingkah Listyarini itu dan penciumannya juga menangkap bau tak wajar itu.

   "Eh, bau apa ini?"

   Tanyanya.

   "Aduh celaka!"

   Listyarini berseru lalu meloncat turun dari pembaringan.

   "Masakanku..... masakanku hangus.....!"

   La lalu berlari kedapur, agaknya kedua lututnya tidak terasa perih lagi ia sudah melupakan itu. Ki Tejoranu juga berlari dan mereka berdua berlari sambil tertawa-tawa seperti dua orang anak kecil!

   Kini mereka berdua duduk menghadapi makanan nasi dan dua macam lauk setengah hangus. Untung tidak hangus semua karena apinya keburu mati kekurangan kayu bakar. Listyarini kecewa sekali. Tadinya ia ingin membuatkan masakan yang lezat untuk penolongnya, tidak tahunya sekarang hanya dapat menghidangkan masakan hangus! Akan tetapi ia melihat Ki Tejoranu makan dengan lahap sekali. Nasinya banyak dan dia tampak menikmati masakan lauk daging bader dan daging ayam setengah hangus itu. Ketika Ki Tejoranu mengangkat muka dan melihat wanita itu memandangnya, dia tersenyum dan mengangguk-angguk sambil berkata,

   "Wah, enak, enak, enak".

   Listyarini menghela napas.

   "Akan tetapi gosong!"

   Katanya penuh sesal.

   "Agak gosong akan tetapi enak, enak. kata pula Ki Tejoranu dengan suara pasti dan untuk membuktikan kata-katanya dia makan lagi dengan lahapnya.

   Setelah selesai makan dan Listyarini membersihkan meja dan mencuci tempat hidangan, dibantu dengan paksa oleh Ki Tejoranu, mereka lalu duduk di serambi depan. Matahari telah condong ke arah barat. Pemandangan alamnya indah sekali, hawa udaranya tidak sangat dingin lagi, melainkan hangat-hangat sejuk. Melihat suasana begitu indah dan pemandangan di telaga yang tak begitu jauh dari pondok itu demikian gemilang, Listyarini mengajak Ki Tejoranu untuk mendekati telaga. Mereka berdua berjalan ke arah telaga lalu duduk di tepi telaga, di atas batu-batu gunung yang berada di sekitar telaga besar itu.

   Keduanya menikmati keindahan telaga, melihat baying-bayang awan di dalam telaga dan terkadang tampak ikan dengan kulitnya yang mengkilap meluncur di air. Telinga mereka menangkap gemercik air gerojokan (air terjun) yang berada agak jauh dari situ, mendengar pula ocehan burung-burung di hutan sekeliling telaga.

   Suasana amat tenteram, damai, membuat mereka terpesona dan tenggelam ke dalam lamunan sehingga tidak saling bicara. Dengan berdiam diri, orang dapat menikmati keindahan dan kebesaran alam, bahkan merasa dirinya bersatu dengan keindahan itu, menjadi bagian dari alam semesta.

   Kalau pikiran sudah berjalan dan dikeluarkan melalui kata-kata, orang merasa terpisah dari semua itu, dari alam menjadi sesuatu yang asing dan di luar dirinya. Sampai lama mereka tenggelam dalam kesunyian. Listyarini tidak tahu betapa pada saat itu, diam-diam Ki Tejoranu menatap wajahnya penuh perhatian, bahkan penuh pesona. Ki Tejoranu menemukan sesuatu yang amat mengejutka nya.

   Dalam matanya, wajah Listyarini pada saat itu presis wajah tunangannya ketika di Negeri Cina dahulu, presis wajah Mei Hwa! Memang tidak sama benar. Mungkin mata Mei Hwa lebih sipit, kulit Mei Hwa lebih kuning. Akan tetapi kesemuanya itu dipadu menjadi satu, memiliki daya tarik yang sama, bahkan dalam keadaan termenung mulut Listyarini agak terbuka dan sepasang bibir itu serupa benar dengan bibir Mei Hwa! Timbul rasa rindunya yang amat kuat. Bangkit rasa cintanya yang mendalam. Teringat dia saat itu, ketika dia duduk berdua menyatakan kasih sayang dengan Mei Hwa, saling berpegangan tangan, mengutarakan cinta kasih melalui pertemuan jari-jari tangan. Tanpa disadari, Ki Tejoranu menggerakkan tangannya dan dengan lembut dia menyentuh tangan Listyarini.

   Merasa dipegang tangannya, Listyarini terkejut dan cepat ia menarik lepas tangannya sambil mengangkat muka memandang wajah Ki Tejoranu. Melihat betapa sepasang mata sipit itu memandangnya dengan sinar aneh, ia cepat menegur,

   "Eh, Ki Tejoranu, ada apakah engkau ini? Kenapa..... kenapa engkau memandangku seperti itu .....?"

   Dalam teguran itu terkandung keraguan.

   Ki Tejoranu merasa seolah baru bangun dari tidurnya, atau seperti diseret turun kembali ke bumi. Dia membelalakkan matanya dan baru tampak jelas olehnya bahwa wanita di depannya itu sama sekali bukan Mei Hwa, melainkan Listyarini, isteri Ki Patih Narotama dari Kerajaan Kahuripan! Wajahnya berubah merah sekali dan sambil menundukkan kepalanya dia berkata gagap.

   "Maaf..... maafkan aku, Mas ayu Lini..... engkau tadi..... sama benal dengan ia..... dan aku amat lindu kepadanya "

   "Sama dengan siapa Maksudmu, sama dengan Mei Hwa tunanganmu itu?"

   Hati Ki Tejoranu mengangguk, akan tetapi dia memaksa diri menggeleng kepala kuat-kuat. Hatinya bilang ya akan tetapi mulutnya cepat berkata.

   "Tidak, tidak! Aku tadi melihat engkau seperti..... adikku, The Kim Lan. Aku..... aku sudan lindu sekali padanya..... maafkan aku, Mas ayu ....."

   Pandang mata Listyarini melembut, mulutnya tersenyum dan ia memandang penuh iba kepada laki-laki itu.

   "Kalau begitu, anggap saja aku ini pengganti adikmu dan jangan sebut Mas ayu lagi kepadaku. Sebut saja namaku, Listyarini dan aku akan menyebutmu, Tejo!"

   Ucapan ini keluar dari hati yang tulus, hati yang penuh belas kasihan kepada laki-laki penolongnya itu.

   "Betulkah itu? Benal-benal aku boleh menganggap engkau seperti adik dan menyebutmu..... eh, Lini saja?"

   "Tentu saja boleh, Tejo. Aku senang dan bangga mempunyai seorang saudara seperti engkau."

   "Telima kasih, Lini. Telima kasih. Aku tadi..... eh, memegang tanganmu..... sebenalnya aku hendak memeliksa denyut nadi pelgelangan tanganmu, untuk memeliksa kesehatanmu. Bolehkah sekalang kulakukan?"

   "Tentu saja, Tejo."

   Listyarini lalu menjulurkan lengan kirinya yang berkulit putih mulus itu kepada Ki Tejoranu.

   Tanpa ragu dan bebas sama sekali dari gairah nafsu, Ki Tejoranu lalu memegang pergelangan tangan kiri itu dan menyentuh urat nadinya sambil memperhntikan denyutnya. Tak lama kemudian dia berseru lirih dengan suara menyatakan kekagetannya.

   "Hayaaa ....., Lini! Engkau ..... engkau ..... hamil ......!"

   Kini Listyarini yang merasa heran. Sambil tersenyum ia bertanya.

   "Bagaimana engkau bisa tahu akan hal itu, Tejo?"

   "Tentu saja aku tahu. Aku sudah biasa mengetahui keadaan kesehatan olang melalui pemeliksaan denyut nadi. Akan tetapi..... engkau malah telsenyum. Engkau hamil, Lini!"

   Listyarini tertawa.

   "Heh-heh, aku sudah tahu Tejo. Dan kenapa aku tidak boleh tersenyum? Aku merasa bahagia bahwa kini aku telah hamil dua bulan Suamiku juga sudah mengetahuinya dan kami berbahagia sekali."

   "Oohh, begitukah? Aku..... aku... ikut melasa belbahagia, Lini."

   Kata Ki Tejoranu dengan suara yang tidak terdengar begitu gembira karena sebetulnya pada saat itu hatinya merasa suatu kenyataan yang amat pahit baginya. Listyarini, wanita ini, yang dia merasa setelah menggantikan Mei Hwa dalam hati yang bukan saja sudah menjadi isteri Ki Patih Narotama, bahkan lebih lagi, la sudah menjadi seorang calon ibu!

   Demikianlah, hubungan antara dua orang ini semakin akrab dan terdapat ikatan batin antara mereka seperti dua orang saudara sendiri. Listyarini benar benar merasakan kebaikan sikap dan budi Ki Tejoranu dan menganggapnya seperti seorang kakak yang selalu melindunginya. Sebaliknya, biarpun pada lahirnya Ki Tejoranu bersikap seperti saudara, namun di dalam batinnya dia menganggap Listyarini sebagai pengganti Mei Hwa, sebagai wanita ke dua yang pernah dia cintai sepenuh jiwanya. Akan tetapi kebijaksanaannya menyadarkannya bahwa dia tidak boleh mengharap terlalu banyak karena Listyarini adalah milik orang lain dan diapun tahu betapa besar cinta kasih wanita itu terhadap pria yang menjadi suaminya dan ayah dari anak yang di kandungnya.

   Betapapun juga, keakraban antara mereka bagaikan secercah cahaya yang membahagiakan keduanya. Bagi Listyarini, Ki Tejoranu merupakan jaminan atas keselamatannya, dan merupakan hiburan besar baginya, memperbesar harapannya untuk segera dapat berkumpul kembali dengan suaminya tercinta. Dan bagi Ki Tejaranu, kehadiran Listyarini bagaikan sinar cemerlang yang menerangi hidupnya yang selama ini terasa gelap dan hampa. Dengan adanya keakraban ini, walaupun Listyarini senantiasa mengharap-harapkan munculnya suaminya untuk menjemputnya, namun waktu tidak terasa terlalu lama dan kosong. Setiap hari mereka berdua memancing ikan dan ini merupakan kegemaran baru yang amat menghibur bagi Listyarini. Apalagi kalau ada ikan yang menyambar umpan pada mata kailnya. Ia bersorak, menjerit dan berteriak kegirangan sehingga Ki Tejoranu ikut pula terbahak-bahak.

   Belasan hari, tepatnya delapan belas hari lewat tanpa terasa. Pada pagi hari itu, kembali mereka memancing ikan di telaga. Mereka duduk di atas batu-batu dan memegang tangkai pancing dengan tenang dan sabar menunggu ikan yang akan menyambar umpan mereka. Listyarini mengenakan kain dan baju sederhana, pakaian wanita dusun biasa, yang didapatkan Ki Tejoranu di dusun-dusun kaki Gunung Lawu. Di daerah sepi sekitar pegunungan itu tentu saja sukar untuk membeli pakaian mewah seperti yang dipakai Listyarini ketika ia diculik Nismara. Akan tetapi, dengan pakaian sederhana serba hitam, rambutnya digelung biasa tanpa perhiasan, ia tampak semakin cantik jelita, bahkan kemulusan kulitnya semakin tampak dan keayuannya tampak aseli. Wajahnya, seperti biasa wajah seorang calon ibu, bercahaya segar. Adapun Ki Tejoranu, walaupun memakai pakaian biasa seperti yang dipakai para petani sekitar pegunungan itu, namun tetap saja masih tampak jelas keasingan sebagai seorang Cina karena bentuk matanya, bentuk ikatan rambutnya dan terutama sekali ucapannya yang pelo, tidak dapat mengeluarkan suara "r"

   Dan selalu diubah menjadi suara "l".

   Demikian asyiknya mereka menunggu korban umpan mereka sehingga agaknya untuk bernapaspun mereka berhati-hati agar tangkai pancingnya tidak banyak bergerak dan dalam keasyikan itu mereka tidak melihat adanya tiga bayangan orang berkelebat dan kini mereka bertiga sudah berdiri dalam jarak sepuluh meter dari mereka! Mereka itu adalah tiga orang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun dan dari wajah dan pakaian mereka jelas sekali dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang asing, yaitu orang-orang Cina! Seorang dari mereka, yang paling tua, sekitar lima puluh lima tahun usianya, berpakaian serba putih dan rambutnya yang digelung ke atas dan memakai pita putih juga sudah penuh uban. Tubuhnya tinggi kurus dan di punggungnya tampak sebatang pedang. Adapun dua orang yang lain bertubuh sedang, yang seorang wajahnya penuh brewok dan yang seorang lagi wajahnya bersih bahkan agak pucat. Juga mereka berdua itu membawa pedang di punggung mereka. Usia mereka sekitar lima puluh tahun. Tiga orang itu memandang dengan sinar mata mencorong ke arah Ki Tejoranu!

   Karena asyik memperhatikan tangkai pancingnya, Ki Tejoranu belum juga melihat munculnya tiga orang itu. Hal ini bukan hanya karena Ki Tejoranu sedang asyik memancing, akan tetapi terutama sekali karena gerakan tiga orang itu memang ringan dan cepat bukan main. Melihat KI Tejoranu seperti tidak memperdulikan mereka, seorang di antara mereka lalu berteriak dengan suara lantang karena dia berseru dengan pengerahan tenaga sin-kang (tenaga sakti).

   "The Jiauw Lan .....!!"

   Ki Tejoranu dan Listyarini terkejut bukan main. Suara itu menggeledek dan bahkan membuat jantung Listyarini terguncang seolah mendengar halilintar menyambar dekat telinganya sehingga tangkai pancing yang dipegangnya terlepas. Keduanya cepat menoleh dan kini Ki Tejoranu yang terkejut sekali karena dia segera mengenal siapa adanya tiga orang itu! Kakek berpakaian serba putih itu adalah gurunya sendiri, sedangkan dua orang yang lain adalah paman guru pertama dan ke dua!

   "Suhu (guru), toa-susiok (paman guru pertama) dan jisusiok (paman guru ke dua)!"

   Katanya dan dia cepat turun dari atas batu, lalu menghampiri mereka dan menjatuhkan diri berlutut di depan mereka.

   Gurunya, kakek berpakaian putih itu berjuluk Pek I Kiamsian (Dewa Pedang Baju Putih) bernama Souw Kiat. Adapun dua orang yang lain adalah adik-adik seperguruan Pek I Kiamsian Souw Kiat. Yang pertama bernama Gan Hok berusia lima puluh dua tahun, bertubuh sedang, mukanya brewok. Adapun yang ke dua bernama Giam Lun, berusia lima puluh tahun, bermuka bersih agak kepucatan. Biarpun ilmu mereka tidak setinggi tingkat kepandaian Pek I Kiam-sian, namun dua orang itupun terkenal di Cina sebagai pakar-pakar ilmu pedang yang lihai bukan main.

   Listyarini yang juga terkejut melihat datangnya tiga orang asing itu, menjadi terheran-heran melihat Ki Tejoranu kini berlutut di depan kaki tiga orang itu. la lalu turun dari atas batu pula dan menonton dengan hati tegang. Ki Tejoranu bercakap-cakap dengan tiga orang Itu dalam bahasa yang sama sekali tidak ia mengerti. Akan tetapi melihat sikap Ki Tejoranu yang begitu hormat dan tampak takut-takut, hati Listyarini menjadi tidak enak dan gelisah, dan ia setengah menduga dengan khawatir bahwa mereka bertiga itu adalah orang-orang dari Negeri Cina yang datang mencari Ki Tejoranu yang menjadi buronan!

   "Jiauw Lan, engkau tentu tahu mengapa kami hari ini muncul di sini!"

   Kata Pek I Kiam-sian dengan wajah dan suara dingin.

   "Suhu, sudah lebih dari lima tahun teecu (murid) merantau dan tinggal di negeri ini, sama sekali tidak pernah menduga bahwa suhu dan ji-wi susiok (paman guru berdua) hari ini muncul dengan tiba-tiba mengunjungi teecu. Harap suhu memberi penjelasan kepada teecu."

   "Hemm, engkau masih berpura-pura tidak tahu? Apakah engkau tidak merasa telah berbuat dosa yang amat besar di Cina sana?"

   "Teecu tidak merasa berbuat dosa, tidak merasa melakukan kejahatan melainkan menegakkan kebenaran dan keadilan seperti yang suhu pernah ajarkan kepada teecu."

   Kata Ki Tejoranu atau The Jiauw Lan dengan suara mantap dan tegas karena di dasar hatinya dia memang tidak merasa bersalah.

   "Hah! Engkau telah membunuh Bhong Kongcu (Tuan muda Bhong), putera Bhong Tai-jin (Pembesar Bhong) di Nan-king, dan engkau masih berpura-pura tidak merasa berdosa?"

   Dengan masih berlutut Ki Tejoranu menjawab, suaranya tetap mantap dan tegas,

   "Sama sekali tidak, suhu, teecu tidak merasa berdosa! Barangkali suhu belum mengetahui apa yang telah dilakukan Bhong Kongcu itu kepada keluarga teecu? Dia dengan anak buahnya telah mengamuk di rumah kami, membunuh ayah dan ibu sehingga adik teecu juga tidak ketahuan hilang ke mana. Tidakkah pantas kalau teecu lalu mencari dan membunuhnya untuk membalaskan kematian ayah ibu dan hilangnya adik teecu?"

   "Akan tetapi engkau yang mencari gara-gara lebih dulu!"

   Bentak Gan Hok yang brewok, suaranya mengandung kemarahan karena dia sudah merasa kesal dan jengkel sekali membuang waktu sampai hampir dua tahun mencari-cari The Jiauw Lan di semua pelosok pulau ini.

   "Ya, engkau berani menghajar Bhong Kongcu dan anak buahnya."

   Kata pula Giam Lun yang bermuka pucat, yang juga merasa gemas kepada murid keponakan ini.

   "Akan tetapi, ji-wi susiok (paman guru berdua), teecu terpaksa menghajar mereka karena mereka mengganggu seorang gadis dan bertindak kurang ajar dan tidak sopan, bahkan agaknya mereka hendak memaksa gadis itu ikut dengan mereka untuk diganggu."

   K i Tejoranu memrotes.

   "Jiauw Lan, itu bukan urusanmu, kenapa engkau mencampuri urusan orang lain? Kalau engkau tidak lancing mencampuri urusan Bhong Kongcu kemudian malah menghajarnya, tentu saja tidak terjadi perkara yang berlarut-larut seperti Ini. Engkau membuat kami, guru dan paman-paman gurumu yang sudah bersahabat baik dengan Bhong Tai-jin, merasa tidak enak sekali dan terpaksa kami jauh-jauh datang dari negeri kita untuk mencarimu."

   Ki Tejoranu mengerutkan alisnya. Dalam pelariannya, pernah dia mendengar dari seorang yang baru datang dari Cina bahwa gurunya telah terbujuk oleh Pembesar Bhong untuk mencarinya! Gurunya, yang terkenal sebagai seorang datuk pendekar berjuluk Kiam-sian (Dewa Pedang), kini

   berpihak kepada pihak yang sewenang-wenang dan jahat. Hal ini membuktikan betapa kuatnya pengaruh uang terhadap diri manusia, atau betapa lemahnya manusia kalau dihadapkan kepada kesenangan duniawi melalui harta!"

   Hatinya menjadi penasaran sekali, dan juga kecewa melihat guru dan kedua orang paman gurunya.

   "Dan setelah sekarang suhu menemukan teecu, lalu apa yang harus teecu lakukan?"

   "Bukan apa yang harus kaulakukan, melainkan apa yang akan kulakukan terhadap dirimu, Jiauw Lan! Semestinya aku menghukum mati padamu, akan tetapi mengingat bahwa engkau pernah menjadi muridku selama bertahun-tahun, biarlah aku akan membuat engkau kehilangan kekuatanmu agar kelak engkau tidak akan dapat membunuh orang lagi!"

   Mendengar ini, Ki Tejoranu bangkit berdiri.

   "Suhu, dahulu suhu mengajarkan kepada teecu agar selama masih mampu, teecu harus membela diri sekuat tenaga. Maka, sekarangpun teecu harus membela diri semampu teecu!"

   Setelah berkata demikian Ki Tejoranu mencabut goloknya dan berdiri dalam posisi siap menghadapi serangan. Kuda-kudanya tampak kokoh dan kuat karena ilmu silatnya dimatangkan oleh pengalaman selama bertahun-tahun merantau dan menghadapi kekerasan dan kesukaran.

   "Hemm, Jiauw Lan! Engkau berani hendak melawan gurumu sendiri?"

   Tanya Pek I Kiam-sian.

   "Suhu pernah mengatakan, lebih baik tewas sebagai harimau dalam perlawanan daripada mati konyol seperti babi di tangan penjagal!"

   "Suheng!"

   Gan Hok berseru.

   "Jangan merendahkan diri melawan orang yang pernah menjadi murid sendiri. Biarlah aku yang memberi hajaran kepada bocah ini!"

   "Aku juga ingin mewakilimu, suheng (kakak seperguruan)!"

   Kata Giam Lun.

   Kedua orang itu sudah siap dan mencabut pedang siap menyerang Ki Tejoranu. Pek I Kiam-sian mengangguk-angguk.

   "Kalian boleh maju mewakili aku, akan tetapi jangan membunuhnya. Aku sudah berjanji tidak membunuhnya, hanya membuat dia kehilangan kekuatan untuk selamanya."

   Dua orang itu mengangguk tanda bahwa mereka mengerti, kemudian keduanya maju menghampiri Ki Tejoranu. Ki Tejoranu tersenyum mengejek. Kini dia mulai memandang guru dan para paman gurunya dengan penilaian lain. Dia dulu bukan hanya berguru kepada Pek I Kiam sian, melainkan mempelajari ilmu-ilmu silat aliran lain. Dengan mengkombinasikan semua ilmu itu, dia akhirnya dapat merangkai ilmu sepasang golok yang selama ini menjadi senjata-senjata andalannya sehingga dia dijuluki "Sha-liong Siang-to (Sepasang Golok Pembunuh Naga) ketika masih di Cina sana.

   Sambil melintangkan sepasang goloknya di depan dada, Ki Tejoranu berkata.

   "Hemm, dua orang pendekar hendak mengeroyok seorang keponakan murid, sungguh lucu!"

   Dua orang itu merasa disindir dan mereka menjadi marah. Tanpa banyak cakap lagi mereka lalu menyerang dengan pedang mereka. Keduanya adalah ahli-ahli pedang yang mahir, maka serangan mereka itupun dahsyat, cepat dan kuat sekali datangnya.

   Ki Tejoranu menggerakkan sepasang goloknya. Segera terjadi perkelahian yang amat seru. Bayangan tubuh ketiga orang itu berkelebatan di antara dua gulungan sinar golok dan dua gulungan sinar pedang. Terdengar suara berdentang berkali-kali dan tampak bunga api berpijar menyilaukan mata.

   Listyarini yang menonton perkelahian itu, terbelalak dengan hati penuh ketegangan. Karena mereka bicara dalam bahasa asing, ia tidak mengerti persoalannya akan tetapi dapat menduga bahwa ini tentu ada hubungannya dengan peristiwa yang terjadi di Negeri Cina seperti pernah diceritakan Ki Tejoranu kepadanya. Ia menjadi khawatir sekali, la tidak tahu bagaimana keadaan perkelahian itu, apakah K i Tejoranu terdesak ataukah sebaliknya karena mengikuti bayangan mereka saja sudah amat sukar. Yang tampak hanya bayangan berkelebatan, sinar bergulung-gulung, percikan bunga api dan bentakan-bentakan mereka. Tentu saja di dalam hatinya, Listyarini berdoa agar K i Tejoranu yang sudah diakuinya sebagai kakaknya itu, akan dapat menang dalam pertandingan itu. Ia sama sekali tidak tahu bahwa dua orang yang bertanding melawan Ki Tejoranu adalah paman guru Ki Tejoranu sendiri, sedangkan kakek berpakaian serba putih itu, yang kini berdiri menonton dengan sikap tenang dan wajah dingin, malah guru Ki Tejoranu. Kalau ia mengetahui hal ini, tentu saja hati Listyarini akan merasa gelisah sekali.

   Namun, kenyataannya ternyata jauh berbeda dengan harapannya, walaupun ini terjadi di luar pengetahuannya. Kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian Ki Tejoranu sekarang sudah banyak maju sehingga dia mampu menyamai dan menandingi tingkat kepandaian seorang paman gurunya.

   Akan tetapi menghadapi pengeroyokan dua orang paman gurunya, sungguh terlalu berat baginya. Dia berusaha keras melawan mati-matian, namun karena memang berat sebelah, perlahan lahan dia mulai terdesak dan terkurung ketat oleh sinar dua pedang yang menyambar-nyambar dan bergulung-gulung itu.

   Setelah Ki Tejoranu berada dalam titik yang paling lemah terdesak, dua orang itu membentak nyaring dan tahu-tahu ujung pedang mereka telah mengenai kedua lengan Ki Tejoranu. Dia mengeluh lirih dan kedua goloknya terlepas dari pegangan, terpental dan pada saat itu, kedua batang pedang sudah menempel di lehernya!

   "TAHAN....!"

   Seru Pek Kiam-sian kepada dua orang sutenya (adik seperguruannya).

   Dua orang itu mundur dan Peki Kiam-sian maju menghampiri Ki Tejoranu.

   "Sekarang terimalah hukumanmu! Ciaaaattt .....!"

   Kakek berpakaian putih itu memukul dengan telapak tangannya ke arah dada Ki Tejoranu yang tidak dapat menghindar lagi.

   "Wuuuttt ..... desss .....I"

   Tubuh Ki Tejoranu terjengkang roboh. Akan tetapi dia teringat akan Listyarini yang sudah berdiri tak jauh di belakangnya. Dia cepat bangkit dan mundur, mengembangkan kedua lengannya seperti melindungi Listyarini yang kini berada di belakangnya. Dengan wajah berubah pucat sekali dan napasnya terengah-engah, kedua lengannya berdarah karena terluka dua pedang kedua orang paman gurunya tadi, dia berkata.

   "Harap kalian jangan mengganggu wanita ini! la tidak tahu apa-apa, ia tidak bersalah apa-apa. Jangan ganggu ia!!"

   Melihat sikap Ki Tejoranu seperti menantang itu, Gan Hok dan Giam Lun menjadi penasaran dan mereka berdua menghampiri dengan sikap mengancam.

   "Cukup, sute, mundurlah kalian. Dia sudah terkena Hwetok-ciang (Tangan Racun Api), dalam waktu satu dua hari semua kekuatannya akan musnah dan itu merupakan hukuman yang tepat baginya."

   Kata Peki Kiam-sian.

   "Akan tetapi, suheng. Wanita itu, ia tentu sekutunya....."

   
Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Gan Hok.

   "Jangan, toa-susiok (paman guru tertua), jangan ganggu Lini! Ia tidak bersalah apa-apa. Kalau diganggu, aku akan melawan sampai mati!"

   Kata Ki Tejoranu sambil mengembangkan kedua tangan menahan rasa nyeri di dadanya yang membuat dadanya sesak, siap untuk membela Listyarini.

   Wanita itu tidak mengerti ucapan mereka, akan tetapi dari sikap Ki Tejoranu ia tahu laki-laki yang diaku sebagai kakaknya itu agaknya mati-matian hendak membelanya.

   "Sudah cukup, sute. Mari kita pergi."

   Kata Peki Kiam-sian dan dua orang adik seperguruannya tidak berani membantah.

   Ketiganya lalu berlompatan seperti terbang cepatnya, meninggalkan tempat itu. Setelah tiga orang itu tak tampak lagi bayangan mereka, Ki Tejoranu juga tidak kuat lagi menahan rasa nyeri yang menusuk-nusuk jantungnya dan diapun mengeluh panjang lalu tubuhnya terkulai dan jatuh pingsan di depan kaki Listyarini yang tadi berdiri di belakangnya, dan dilindunginya.

   Melihat para musuhnya sudah pergi dan penolongnya roboh dan tidak bergerak lagi, telentang dengan muka pucat sekali dan mata terpejam, Listyarini lalu berlutut dan menggoyang-goyangkan pundak Ki Tejoranu.

   "Tejo! Tejo .....I Ahh, Tejo, sadarlah .....!"

   Listyarini merasa bingung dan takut. Ia melihat wajah itu pucat seperti mayat dan kedua lengan itupun terluka bacokan mengeluarkan darah. Ia merasa takut sekali kalau-kalau Ki Tejoranu mati!

   Padahal di situ hanya ada ia dan Ki Tejoranu. la menoleh ke kanan kiri. Sunyi dan menakutkan sekali pada saat seperti itu. la seolah melihat bayangan Nismara yang kembali dari kematian untuk membalas dendam! Ia ingin menjerit, ingin menangis, dan kembali diguncangnya kedua pundak Ki Tejoranu. Kemudian ia teringat. Luka di kedua lengan itu! Harus dicuci bersih. Ia teringat betapa suaminya, Ki Patih Narotama pernah memberitahu bahwa kalau ada yang terluka, yang lebih dulu harus dilakukan adalah mencuci luka itu sampai bersih, lalu membalutnya dengan kain bersih untuk menghentikan keluarnya darah.

   Seperti mendapat tenaga baru, Listyarini lalu mencari daun lompong yang lebar untuk mengambil air di telaga, lalu dengan hati-hati kembali kepada Ki Tejoranu agar air di daun lompong tidak tumpah dan dengan air itu ia mulai mencuci kedua lengan yang terluka. Kemudian, ia mengambil sehelai kain yang ia pergunakan sebagai saputangan, mencoba untuk merobek kain itu menjadi dua. Akan tetapi ia tidak kuat melakukannya, maka ia lalu mempergunakan giginya yang rapi dan kuat. Digigitnya kain itu lalu dirobeknya menjadi dua dan dibalutnya luka di lengan itu.

   Ki Tejoranu mengeluh lirih. Timbul harapan dalam hati Listyarini. Dia tidak mati, pikirnya dan diguncangnya perlahan kedua pundak Ki Tejaranu.

   "Tejo....., Tejo..... sadarlah, Tejo.....!"

   Ia memanggil.

   Ki Tejoranu membuka kedua matanya yang sipit itu dan memandang wajah Listyarini. Dengan perlahan dia mengangkat kedua tangannya, diusapnya kedua pipi Listyarini dengan kedua tangannya, lembut sekali dan dia berkata dalam bahasa Cina,

   "Mei Hwa..... Mei Hwa..... aku cinta padamu, jangan tinggalkan aku, Mei Hwa".

   Tentu saja Listyarini tidak mengerti maksud ucapan itu, akan tetapi mendengar disebutnya nama Mei Hwa berkali kali, ia dapat menduga bahwa agaknya Ki Tejoranu menduga ia Mei Hwa, tunangan laki-laki itu yang direbut orang, la menjadi terharu sekati, dapat membayangkan betapa duka nestapa membuat pria ini hidup sengsara lahir batin. Tak tertahankan lagi iapun mencucurkan air mata, menangis karena merasa kasihan.

   "Tejo, kakang Tejo ..... ini aku, Listyarini ..... aku, Lini ....."

   Mendengar ucapan bahasa daerah ini, agaknya pikiran Ki Tejoranu yang belum sadar betul masih terbawa hanyut oleh kenangannya tentang kekasih atau tunangannya dulu, maka diapun berkata lirih.

   'Jangan tinggalkan aku ..... jangan....

   "

   Listyarini memegang kedua tangan laki-laki yang dianggapnya seperti kakaknya itu, menggenggamnya dan dengan air mata menetes-netes ia berkata.

   "Tidak, kakang Tejo, aku tidak akan neninggalkanmu sebelum ada bantuan datang ....."

   Listyarini yang masih menggenggam kedua tangan Ki Tejoranu yang baru setengah sadar itu sama sekali tidak tahu bahwa saat itu ada dua pasang mata mengamatinya dari jarak yang tidak berapa jauh. Kedua orang itu bukan lain adalah..... Ki Patih Narotama dan Lasmini! Seperti kita ketahui, Ki Tejoranu telah menyuruh seorang penduduk di sebuah dusun kaki Gunung Lawu sebelah timur yang bernama Sukardi untuk pergi menghadap Ki Patih Narotama dari Kerajaan Kahuripan dan memberitahukan bahwa Sang Puteri Listyarini berada di Telaga Sarangan.

   Sukardi menunggang kuda dan agar dipercaya oleh Ki Patih Narotama, Sukardi membawa sebuah cincin yang biasa dipakai oleh Listyarini. Setelah Sukardi berhasil menghadap Ki Patih Narotama dan menyampaikan kabar itu, dapat dibayangkan betapa girang rasa hati Ki Patih Narotama. Akan tetapi sebaliknya Lasmini yang ikut mendengarkan ketika Sukardi membawa berita itu, diam-diam merasa terkejut, kecewa dan juga gelisah sekali, la mencoba untuk memompa keterangan dari Sukardi, akan tetapi Sukardi yang memang tidak tahu menahu akan halnya Puteri Listyarini dan hanya membawa perintah itu, tidak dapat menceritakan apa-apa. Hal ini membuat Lasmini menjadi semakin gelisah dan menduga-duga apa yang telah dilakukan Nismara dan apa yang telah terjadi. Bagaimana mungin Listyarini yang telah dilarikan Nismara dengan tujuan ke selatan, ke daerah Kerajaan Parang Siluman, tiba-tiba kini bisa berada di Telaga Sarangan di Gunung Lawu?

   Ki Patih Narotama, ditemani Lasmini, segera menunggang kuda dan bersama Sukardi mereka berangkat ke Gunung Lawu. Karena kuda tunggangan kedua orang bangsawan ini jauh lebih baik daripada yang ditunggangi Sukardi, apalagi karena keduanya juga lebih tangkas menunggang kuda, maka ketika tiba di jalan tanjakan yang berat, Lasmini dan Narotama dapat lebih dulu tiba di telaga dan mereka dapat melihat ketika Listyarini menangisi Ki Tejaranu. Melihat pemandangan ini, sejenak Narotama tercengang dan hatinya mengandung penuh pertanyaan. Akan tetapi Lasmini sudah menjebikan bibirnya yang mungil dan merah, berkata lirih.

   "Sungguh memalukan sekali..... tidak pantas..... melanggar kesusilaan..... tak pernah kubayangkan ia dapat melakukan perbuatan kotor dan hina ini....."

   Ki Patih Narotama yang sedang bimbang ragu melihat pemandangan itu, tidak tahan mendengar bisikan Lasmini yang seolah api yang menyulut dan membakar hatinya. Maka dia lalu memanggil isterinya dengan nada suara mengandung teguran.

   "Diajeng Listyarini....."

   Listyarini yang masih memegang kedua tangan Ki Tejoranu itu terkejut dan menoleh, akan tetapi ia tidak melepaskan pegangannya karena memang tidak ada perasaan-bersalah sedikitpun di hatinya. Akan tetapi melihat Lasmini dating bersama suaminya, ia berseru, suaranya mengandung tangis, sisa yang tadi dan juga karena girang dan terharu melihat suaminya sudah datang menjemputnya, bercampur kemarahan melihat Lasmini.

   "Kakangmas Narotama! Berhati-hatilah dengan wanita itu! Yang menculikku adalah Nismara dan yang menyuruhnya adalah Lasmini itu!"

   Listyarini menudingkan telunjuknya kearah muka Lasmini.

   Lasmini membentak marah.

   "Listyarini, jangan asal membuka mulut kau! Mana buktinya, mana saksinya kalau betul Nismara yang menculikmu atas suruhanku. Mana, suruh Nismara menghadap di sini dan mengaku! Huh, engkau melempar fitnah setelah tertangkap basah, ya? Jelas bahwa engkau telah melarikan diri dengan laki-laki itu, engkau melarikan diri bersama kekasihmu itu dan kami melihat sendiri betapa engkau berkasih-kasihan dengannya. Laki-laki jahanam itu harus mampus, mencemarkan nama baik Ki Patih Narotama yang terhormat dan mulia! Dan engkau juga isteri tidak setia dan nyeleweng, tidak pantas dibiarkan hidup. Haiiiiitttt.....!!"

   Lasmini sudah melangkah maju dan mendorongkan kedua tangannya ke arah listyarini dan Ki Tejoranu! Ia tidak mau tanggung-tanggung dalam penyerangannya karena ia mengambil keputusan untuk sekali pukul membunuh Listyarini dan laki-laki itu. Mumpung ada kesempatan dan ada alasan, pikirnya. Ki Patih Narotama pasti tidak dapat mengampuni isterinya yang menyeleweng, berjina dengan laki-laki lain!

   "Siuuuuttt ..... tappp .....!"

   Tubuh Lasmini tergetar, pukulannya membalik sehingga ia agak menggigil sedikit. Aji pukulannya tadi memang dahsyat sekali, berhawa dingin karena itu adalah Aji Ampak-ampak yang dapat membuat darah dalam tubuh lawan membeku kalau terlanda pukulan ini. Akan tetapi sebelum pukulan itu mengenai sasaran, dari samping Narotama menangkis dengan dorongan tangan dan tiupan angin dahsyat menangkis pukulan itu tadi.

   "Kakangmas Narotama! Mengapa paduka menangkis pukulanku dan melindungi perempuan yang menyeleweng itu? Jelas bahwa ia menjatuhkan fitnah atas diriku dan ia telah melakukan penyelewengan. Apakah semua yang tampak ini bukan merupakan bukti? Dan paduka masih melindunginya! Mustahil paduka lebih percaya ia daripada aku!"

   "Tenang dan bersabarlah, diajeng. Kalau ada persoalan sebaiknya dibicarakan dulu."

   Kata Narotama yang menahan kesabarannya walaupun hatinya juga terbakar oleh pemandangan yang menimbulkan cemburu itu.

   "Paduka memang selalu melindungi Listyarini dan menyudutkan saya! Lebih haik aku pulang saja!"

   Setelah berkata demikian, Lasmini cepat memutar tubuhnya dan lari menuruni lereng, lalu melompat ke atas punggung kudanya dan dilarikan cepat meninggalkan tempat itu. Narotama menghela napas panjang lalu sekali melompat dia sudah tiba di dekat Listyarini yang masih berlutut dekat tubuh Ki Tejoranu yang belum sadar betul.

   "Kakangmas, agaknya paduka juga meragukan kesetiaan saya....."

   Listyarini menangis lirih.

   "Lini..... kenapa engkau menangis.....?"

   Tanya Ki Tejoranu dengan suara lirih, lalu ia melihat Ki Patih Narotama, maka dengan pandangan mata heran dia bertanya.

   ".....dan siapakah kisanak ini, Lini .....?"

   "Kakang Tejo, ini adalah junjunganku, suamiku, Gusti Patih Narotama dari Kerajaan Kahuripan."

   Kata Listyarini sambil melepaskan tangan Ki Tejoranu, akan tetapi tetap saja berlutut. Mendengar ini, Ki Tejoranu bangkit duduk dan hendak berdiri, akan tetapi dia jatuh terduduk lagi lalu bersila.

   "Gusti Patih....., hamba Teiolanu menghaturkan sembah."

   Ki Patih Narotama dapat melihat dengan jelas bahwa orang yang bicaranya pelo ini bukan orang pribumi dan sedang dalam keadaan luka dalam yang parah dan keracunan.

   "Duduk sajalah, andika terluka. Diajeng Listyarini, aku tidak akan membiarkan hatiku terseret oleh prasangka buruk dan cemburu, asal engkau cepat menceritakan apa artinya semua ini?"

   "Aduh, kakangmas, biarlah para dewata mengutuk hamba sekiranya saya berdusta kepada paduka. Ketika itu, saya sedang duduk seorang diri di pondok dalam taman seperti biasa, setelah saya memotongi bunga yang sudah layu dengan tang pisau dapur. Tiba-tiba muncul Nismara dan entah mengapa dia berubah seperti iblis. Dia hendak membawa saya pergi. Saya menyerangnya dengan pisau dapur, akan tetapi dia dapat meringkus saya dan memanggul saya lalu membawa saya lari."

   "Hemm, keparat Nismara. Mengapa dia berani berbuat seperti itu?"

   Kata Narotama karena diapun merasa heran karena biarpun Nismara pernah dihukum karena perbuatannya yang kurang baik, namun selama ini tampaknya sudah berubah baik dan setia.

   (Lanjut ke Jilid 15)

   Keris Pusaka Sang Megatantra (seri ke 01 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 15

   "Dia membawa saya berlari terus sampai beberapa hari lamanya. Saya hanya dapat berdoa, memohon perlindungan Sang Hyang Widhi dan agaknya doa saya terkabul karena selama beberapa hari itu dia sama sekali tidak pernah mengganggu saya. Kemudian dia membawa saya sampai ke pegunungan ini. Baru setelah tiba di sini dia berusaha untuk menggangguku. Dia mengaku bahwa dia melakukan ini atas perintah Lasmini, kakangmas ....."

   Narotama mengerutkan alisnya. Akan tetapi dia adalah seorang yang bijaksana, tidak mudah begitu saja terpengaruh keterangan sepihak. Dia percaya bahwa Listyarini tidak mungkin berbohong, akan tetapi jahanam yang bernama Nismara itu mungkin sekali berbohong dan menjatuhkan fitnah untuk mengadu domba.

   "Hemm, lalu bagaimana?"

   Tanyanya.

   "Pada saat yang amat gawat itu, muncullah Kakang Tejoranu ini..... eh, nama aselinya adalah Te.... Te....."

   Listyarini merasa sukar sekali mengingat nama aseli Ki Tejoranu. Melihat ini Ki Tejoranu menyambung.

   "Nama aseli hamba adalah The Jiauw Lan, Gusti Patih."

   Narotama mengangguk-angguk. Tahulah dia kini bahwa laki-laki itu adalah seorang bangsa Cina dari sebuah negeri yang jauh di seberang lautan.

   "Teruskan ceritamu, diajeng."

   "Saya mengubah nama yang sukar disebut itu menjadi Tejoranu, kakangmas. Dia muncul pada saat yang gawat itu dan dia membebaskan saya dari kekejian Nismara. Jahanam itu melarikan diri, akan tetapi dia datang lagi bersama dua orang kawannya dan mereka hendak merampas saya lalu mengeroyok Kakang Tejo. Saya menyebutnya kakang karena dia menganggap saya sebagai adik sendiri, kakangmas. Kakang Tejo berhasil membunuh Nismara dan dua orang penjahat yang lain melarikan diri."

   "Hemm, sayang si keparat Nismara itu telah tewas sehingga dia tidak dapat menjadi saksi apakah benar yang menyuruhnya berbuat jahat itu adalah diajeng Lasmini."

   "Begitulah menurut pengakuan Nismara, kakangmas. Kakang Tejo ini adalah penolong saya. Kalau tidak ada dia, tentu saya sudah..... mati, tak sudi saya hidup lebih lama lagi kalau saya dijamah pria lain!"

   Teringat akan dakwaan Lasmini yang kotor dan menghina tadi, Listyarini tak dapat menahan keluarnya air matanya lagi, namun ia menahan tangisnya.

   "Akan tetapi, kenapa dia sekarang terluka separah ini?"

   Tanya Narotama, menahan kerinduannya kepada isterinya.

   Sebetulnya sudah sejak tadi dia ingin merangkul dan menghibur isterinya, menyatakan kegembiraan hatinya mendapatkan isterinya dalam keadaan selamat. Namun keadaan dan dakwaan Lasmini tadi membuat dia terpaksa menahan perasaannya.

   "Saya sendiri tidak mengerti urusannya, kakangmas. Ada muncul tiga orang asing, Kakang Tejo dan mereka bicara dalam bahasa yang tidak kumengerti, lalu kakang Tejo dikeroyok dua di antara mereka, kemudian yang seorang lagi memukulnya dan kakang Tejo masih tetap melindungi saya dari tiga orang itu. Setelah mereka pergi, kakang Tejo lalu roboh pingsan. Dia sendiri yang dapat menceritakan apa yang sebenarnya terjadi."

   "Ki Tejoranu, coba ceritakan apa yang telah terjadi dengan dirimu. Aku tahu bahwa engkau adalah seorang Cina dan bagaimana engkau dapat berada disini dan apa pula urusanmu dengan tiga orang yang membuatmu terluka ini."

   Dengan suaranya yang lemah lirih karena menahan rasa nyeri di dadanya, dan ucapannya yang pelo, Ki Tejoranu lalu bercerita tentang dirinya yang tersiksa melarikan diri dari Negeri Cina karena membunuh putera seorang bangsawan yang membunuh kedua orang tuanya. Betapa kemudian bangsawan itu menyuruh gurunya sendiri dan dua orang paman gurunya untuk mengejarnya.

   "Gulu dan paman-gulu menemukan saya di sini. Saya melawan akan tetapi kalah dan gulu memukul saya..... pukulan ini akan melenyapkan semua kekuatan saya..... aughhh ....."

   Ki Tejoranu yang memaksa dirinya bercerita banyak itu terkulai dan roboh pingsan lagi. Melihat ini, Listyarini bangkit berdiri dan menubruk kedua kaki suaminya.

   "Duh, kakangmas. Ampunkan saya..... saya bersumpah tidak ada hubungan kotor antara saya dan kakang Tejo. Dia..... dia seorang yang baik budi dan sopan, kakangmas. Saya berhutang budi, berhutang nyawa padanya. Percayalah, kakangmas dan mohon paduka suka menolongnya untuk membalas budi kebaikannya kepada saya ....."

   Narotama tidak dapat menahan rasa cinta kasihnya yang sudah menggelora sejak tadi. Dia mengangkat tubuh isterinya itu, mendekap dan menciuminya.

   "Diajeng ..... diajeng Listyarini. Dijauhkan Sang Hyang Widhi kiranya aku dari perasaan cemburu dan tidak percaya kepadamu. Kasihan engkau telah menderita sengsara selama beberapa hari ini karena kealpaanku. Akan tetapi Hyang Widhi agaknya telah memunculkan orang ini untuk menolongmu. Sekarang aku mengerti mengapa engkau begitu menyayangnya seperti seorang kakak sendiri. Dia memang patut mendapatkan kasih sayangmu, diajeng."

   "Kakang Tejo seorang yang sengsara hidupnya, kakangmas. Kehilangan orang tua yang terbunuh, kehilangan tunangan yang dirampas orang, kehilangan adik kandung yang hilang tak diketahui di mana. Setelah dia tahu bahwa saya adalah isteri paduka dan telah mengandung, dia lalu menganggap saya sebagai pengganti adiknya yang hilang itu....."

   Listyarini membela Ki Tejoranu sambil menangis dalam rangkulan suaminya, hatinya penuh kebahagiaan karena suaminya tidak termakan oleh hasutan Lasmini tadi.

   "Minggirlah dulu, diajeng. Biar akan kucoba untuk menyembuhkan dia."

   Mendengar ucapan ini, Listyarini demikian gembiranya sehingga ia mencium pipi suaminya dengan mesra sebelum melepaskan rangkulannya dan ia lalu duduk di atas sebuah batu tidak jauh dari situ untuk menonton suaminya mengobati Ki Tejoranu.

   Narotama berjongkok dan memeriksa tubuh Ki Tejoranu. Luka kedua lengannya itu tidak berarti, akan tetapi ketika dia membuka baju memeriksa dada, dia terkejut bukan main. Ada bekas tapak lima jari tangan di dada itu yang kulitnya seperti terbakar dan dada itu terasa panas bukan main. Setelah memeriksa sejenak, tahulah Narotama bahwa Ki Tejooranu telah terkena aji pukulan yang amat ampuh, pukulan yang mengandung hawa panas seperti api.

   Narotama mengambil tongkat pusaka Tunggul Manik yang tergantung di pinggangnya. Dia memang sengaja membawa tongkat pusaka ini untuk berjaga-jaga kalau kalau Listyarini ditemukan dalam keadaan keracunan seperti tempo hari. Dan ternyata kini tongkat itu memang dibutuhkan, walaupun bukan untuk mengobati Listyarini. Khasiat tongkat Tunggul Manik adalah terutama untuk menyedot keluar segala macam racun dari tubuh manusia.

   Narotama menggunakan tongkat itu, menggosok-gosokkan ke dada Ki Tejoranu. Perlahan-lahan, tanda tapak lima jari menghitam di dada yang kulitnya kekuning-kuningan itu perlahan-lahan hilang, tinggal hawa panas itu saja yang masih terasa. Ki Patih Narotama yang sakti mandraguna lalu menempelkan telapak tangan kirinya ke dada Ki Tejoranu, menggunakan kekuatan saktinya untuk mendorong dan mengusir hawa panas itu dari dalam tubuh Ki Tejoranu.

   Beberapa saat kemudian, hawa panas itupun terusir keluar dari dalam dada Ki Tejoranu dan dia mengeluh perlahan lalu membuka kedua matanya. Ketika dia melihat betapa Ki Patih Narotama berada di dekatnya dan menempelkan tangan yang terasa dingin sejuk di dadanya, dan mendapat kenyataan betapa luka di dalam dadanya sembuh sama sekali, dia menjadi kagum bukan main.

   "Thian ..... (Ya Tuhan), paduka telah ..... menyembuhkan hamba ....."

   Ki Tejoranu segera bangkit duduk dan berlutut sambil menyembah ke arah ki patih.

   "Paduka sungguh seolang yang sakti mandlaguna dapat menyembuhkan akibat pukulan Tangan Lacun Api! Paduka telah menyelamatkan nyawa hamba"

   Narotama tersenyum, bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengan Ki Tejoranu agar bangkit berdiri pula. Listyarini merasa girang sekali, la menghampiri dan memegang tangan Ki Tejoranu.

   "Ah, syukur engkau telah dapat disembuhkan, kakang Tejo .....!"

   Ki Tejoranu dengan halus merenggutkan tangannya dan melangkah ke belakang, lalu membungkuk dengan hormat kepada Listyarini.

   "Gusti Puteli, seolang sepelti hamba tidak pantas beldekatan dengan paduka. Maafkan hamba yang selama ini kulang holmat kepada paduka ....."

   Kata-kata pelo itu diucapkan dengan nada hormat, namun dalam suaranya terkandung kepedihan hati.

   "Ah Kakang Tejo, jangan begitu. Engkau bagiku tetap Kakang Tejoranu yang baik hati dan aku tetap Lini bagimu!"

   Kata Listyarini, kini mendekati suaminya dan memegang tangan suaminya, seolah minta dukungan pendapat suaminya.

   Ki Patih Narotama tersenyum.

   "Garwaku (isteriku) benar, Ki Tejoranu, manusia hanya dibagi menjadi dua golongan, yaitu manusia yang berbudi baik penyembah Sang Hyang Widhi dan manusia yang berwatak jahat penyembah setan. Harta, kedudukan, kekuatan dan kepandaian tidak masuk hitungan. Engkau adalah seorang manusia berbudi baik, sudah sepatutnya kalau garwaku menganggap engkau seorang kakak."

   "Hayaaa, Gusti Patih, paduka telah menyelamatkan nyawa hamba, hamba menghatulkan telima kasih ....."

   "Ki Tejoranu, engkaupun telah menyelamatkan nyawa garwaku, semua pertolongan itu datang dari kekuasaan Sang Hyang Tunggal (Yang Maha Esa) melalui engkau dan aku, maka marilah kita menghaturkan terima kasih kepada Sang Hyang Widhi saja."

   Ki Tejoranu membungkuk dan menyembah.

   "Paduka amat bijaksana, gusti."

   "Hanya sayang sekali engkau telah terlanjur membunuh Nismara, Ki Tejoranu. Andaikata tidak, tentu dia dapat menceritakan yang sebenarnya mengapa dia melakukan perbuatan terkutuk menculik diajeng Listyarini dan membawanya sampai di sini."

   "Kakangmas, penjahat itu sudah mengaku bahwa dia melakukan itu atas perintah Lasmini."

   Kata Listyarini.

   Ki Patih Narotama tersenyum.

   "Itu hanya pengakuannya, diajeng, dan kini dia tidak ada sehingga aku tidak dapat memaksa dia mengaku terus terang. Tidak ada bukti dan saksinya bahwa diajeng Lasmini yang menyuruhnya. Tidak adil kalau kita mengambil kesimpulan bahwa pengakuan penjahat itu benar. Bisa saja dia sengaja melempar fitnah untuk mengadu domba. Ketahuilah bahwa sejak engkau hilang, diajeng Lasmini berusaha mati-matian untuk mencarimu."

   Mendengar ucapan suaminya, Listyarini menghela napas panjang. Ia sendiri sudah yakin bahwa keterangan atau pengakuan Nismara itu benar.

   "Hamba serahkan kepada kebijaksanaan paduka, kakangmas."

   Mendengar nada kecewa dalam suara isterinya, Narotama merangkulnya. Ki Tejoranu juga melihat suasana itu dan dia berkata.

   "Gusti Puteli, apa yang dikatakan Gusti Patih itu bijaksana dan benal sekali. Menuduh olang tanpa bukti dan saksi itu namanya fitnah."

   "Ki Tejoranu, kalau engkau mau, mari ikut dengan kami ke Kahuripan dan aku akan mintakan pangkat bagimu kepada Sang Prabu. Orang seperti engkau ini dibutuhkan kerajaan kami."

   Kata Narotama sambil menatap wajah yang kuning sekali itu. Wajah itu kini menjadi kuning dan tidak wajar, semua itu merupakan akibat dari luka oleh pukulan Hwe-tokcia (Tangan Racun Api) tadi.

   Ki Tejoranu memberi hormat.

   "Telima kasih, gusti. Akan tetapi hamba lebih suka melantau dan bebas dali semua ikatan."

   Ki Patih Narotama tentu saja tidak dapat memaksa dan dia memaklumi pendirian orang itu. Dia tahu Ki Tejoranu adalah seorang yang berjiwa petualang. Dia sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi, bahkan untuk kembali ke kampong halamannya di tanah airnya sana dia tidak berani. Dia sudah kehilangan segala-galanya dan hal ini membuatnya putus asa dan tidak tertarik lagi akan segala urusan duniawi. Dia hanya ingin menyendiri di tempat-tempat yang sunyi seperti di Telaga Sarangan itu. Diam diam Narotama merasa iba kepada Ki Tejoranu. Kepada orang yang tertekan jiwanya seperti ini, dia tidak dapat menawarkan apa-apa. Maka, diapun berpamit dan ketika berpamit, Listyarini memandang Ki Tejoranu dengan kedua mata basah.

   "Engkau tidak mau ikut ke Kahuripan, Kakang Tejo? Kalau begitu, selamat tinggal dan jaga dirimu baik-baik, kakang. Sebaiknya, engkau pindah saja ke tempat lain, jangan tetap tinggal di sini karena kalau orang-orang jahat itu datang lagi....."

   Ki Tejoranu tersenyum mengangguk.

   "jangan khawatil, Gusti Puteli, saya akan pelgi melantau. Selamat jalan dan semoga paduka hidup belbahagia."

   Suami isteri itu pergi meninggalkan telaga, kemudian berboncengan kuda dan perlahan-lahan menuruni lereng Gunung Lawu.

   Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Semua punggawa kepatihan menyambut kembalinya Listyarini dengan gembira karena lenyapnya sang puteri itu sungguh membuat semua punggawa menjadi gelisah. Memang sebelum Sukardi datang membawa cincin Sang Puteri dan mengabarkan bahwa Listyarini dalam keadaan selamat di Telaga Sarangan, Narotama sudah menduga bahwa Nismara tentu tersangkut dengan peristiwa hilangnya isterinya itu. Hal ini dapat diketahui karena Nismara juga tidak dapat ditemukan jejaknya dan tak seorangpun mengetahui ke mana perginya.

   Namun, Ki Patih Narotama tidak menghukum keluarga Nismara yang terdiri dari ibunya dan dua orang adiknya karena mereka dianggap sama sekali tidak tahu menahu akan perbuatan Nirmara yang kini telah tewas itu. Kembalinya Listyarini membuat semua orang gembira, kecuali Narotama sendiri yang terkejut melihat bahwa Lasmini tidak berada di kepatihan! Beberapa orang dayangnya hanya mengatakan bahwa Lasmini yang pergi bersama Ki Patih Narotama itu kembali seorang diri beberapa hari kemudian akan tetapi pada hari itu juga lalu pergi lagi. Narotama memanggil Sarti, wanita berwajah buruk bertubuh tinggi besar yang menjadi pelayan pribadi Lasmini.

   "Sarti, ceritakan ke mana gusti puterimu pergi dan kenapa pergi. Engkau pasti tahu karena engkau adalah pelayan pribadinya."

   Kata Ki Patih Narotama.

   Sarti menyembah lalu menjawab.

   "KAMnggihan (benar), gusti, hamba adalah pelayan pribadi gusti puteri. Akan tetapi gusti puteri hanya bicara sedikit paada hamba. Sekembalinya seorang diri gusti puteri hanya muwun (menangis) dan berkata bahwa tidak ada gunanya beliau tinggal di sini karena sudah tidak dipercaya lagi."

   Patih Narotama mengerutkan alisnya yang hitam tebal berhentak golok itu.

   "Hemm, lalu ke mana perginya?"

   Dia bertanya dan maklum bahwa Lasmini agaknya merasa sakit hati dengan peristiwa di Telaga Sarangan itu. Ia merasa tidak dipercaya, bahkan dituduh menyuruh Nismara membunuh Listyarini!

   "beliau hanya mengatakan bahwa beliau hendak pulang. Entah yang dimaksudkan pulang ke Bukit Junggringslaka tempat tinggal Gusti Nagakumala, ataukah ke istana Parang Siluman."

   "Apa yang kauketahui selanjutnya?"

   "Hanya itulah yang hmba ketahui, gusti."

   Setelah mendapat keterangan dari Sarti, Ki Patih Narotama sering melamun memikirkan Lasmini. Harus diakuinya, bahwa dia tidak dapat melupakan selir tercinta itu, kecantikan dan kelembutannya, kemanjaannya, semua kemesraan yang diberikan wanita itu dengan kejelitaan wajahnya, dengan keindahan tubuhnya, kepadanya dengan cinta yang menggebu gebu. Akan tetapi, Narotama tidak segera mengambil keputusan begitu saja. Dia ingat akan perasaan Listyarini, maka malam itu diajaknya Listyarini bicara tentang Lasmini.

   "Diajeng, ketika Sang Prabu mengutus aku meminang kedua orang puteri Kerajaan Parang Siluman itu, dasar utamanya adalah untuk menghapus permusuhan antara kerajaan di pantai laut selatan itu terhadap Kerajaan Kahuripan. Kemudian setelah berhasil, Lasmini oleh Sang Prabu dihadiahkan kepadaku. Kini timbul persolan ini sehingga Lasmini agaknya pulung ke Parang Siluman. Kalau kudiamkan saja dan hal ini terdengar oleh Sang Prabu, sungguh amat tidak enak bagiku, diajeng. Seolah aku tidak mendukung keinginan Sang Prabu untuk berbaik dengan Parang Siluman. Diajeng, apakah engkau tetap menuduh Lasmini yang mengutus Nismara untuk menculikmu?"

   Listyarini bukan seorang wanita yang pemarah, melainkan seorang yang berhati lembut. la memaklumi kedudukan suaminya, maka ia berkata dengan halus.

   "Kakangmas, setelah mendengar semua keterangan paduka betapa Lasmini ikut sibuk mencari saya, dan tidak ada tanda tanda, tidak ada bukti atau saksi bahwa Ia yang benar-benar menyuruh Nismara menculik saya, maka sayapun tidak yakin bahwa ia bersalah. Saya menyesal telah membuat ia marah dan meninggalkan kepatihan, kakangmas."

   "Kalau begitu, engkau mau minta maaf kepadanya bahwa engkau pernah menuduhnya bersalah?"

   Listyarini menghela napas panjang "Demi kebahagiaan paduka dan demi kepentingan Kerajaan Kahuripan, saya mau melakukan apa saja, kakangmas. Baiklah, saya bersedia minta maaf kepadanya, akan tetapi saya harap paduka bersikap adil, yaitu iapun patut minta maaf kepada saya karena ia telah menuduh saya berbuat jina dengan Kakang Tejoranu."

   

Pendekar Tongkat Liongsan Karya Kho Ping Hoo Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini