Perawan Lembah Wilis 41
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 41
Tejolaksono berseru keras.
"Kakangmas, perlu apa banyak bicara dengan raksasa tua bangka ini? Hantam saja!"
Endang Patibroto sudah menerjang maju lagi, kini gerakannya hati-hati sekali karena ia makium bahwa yang ia hadapi adalah lawan yang benar"benar amat sakti.
Ia menerjang sambil mengerahkan Aji Bayu Tantra agar tubuhnya menjadi ringan dan gerakannya menjadi cepat, dan ia mengerahkan ajinya Pethit Nogo untuk menampar ke arah dada Sang Wasi Bagaspati. Keras sekali tamparan tangan itu, namun kakek bermuka merah itu hanya tertawa-tawa, sama sekali tidak mengelak dan menerima tamparan Aji Pethit Nogo dengan dadanya yang bidang.
"Plakkkk!!"
Endang Patibroto merasa betapa jari -jari tangannya bertemu dengan getaran hawa yang kuat, yang melumpuhkan ajinya Pethit Nogo dan pada detik berikutnya ia berseru keras sambil melesat pergi karena hampir saja pundaknya kena dicengkeram oleh tangan Wasi Bagaspati yang sengaja menerlma pukulan sambil berusaha menangkap Endang Patibroto.
Tejolaksono juga kaget menyaksikan betapa pukulan Endang Patibroto sedemikian ampuhnya sehingga jarang sekali ada tokoh yang akan mampu menerima pukulan Pethit Nogo kini ternyata tidak mempunyai pengaruh apa"apa terhadap Wasi Bagaspati, cepat melambung tinggi dan menerjang dari atas.
Ia mengerahkan aji keringanan tubuh Bayu Sakti dan dari atas ia menukik turun ke bawah dengan pukulan Bojro Dahono, mengarah ubun-ubun kepala Wati Bagaspati! Pada saat yang hampir berbareng dengan serangan Tejolaksono, kedua orang isterinya pun sudah menerjang maju.
Ayu Candra kini mencabut keris pusakanya dan menyerang dengan tusukan ke arah Wasi Bagaspati, sedangkan Endang Patibroto menggunakan aji pukulan Wisangnolo, kini yang dipukul adalah tenggorokan lawan untuk mematahkan batang lehernya!
Menghadapi tiga serangan yang mematikan ini, yang amat berbahaya kalau dilawan dengan kekebalan karena yang diserang adalah bagian-bagian paling lemah, Wasi Bagaspati menjadi terkejut juga.
Tadinya ia hendak menyambar lengan Tejolaksono dan sekaligus menangkapnya, akan tetapi keris yang menuju matanya dan pukulan panas yang mengarah tenggorokannya bukanlah hal yang boleh dipandang rendah begitu saja.
Terpaksa ia menangkis saja pukulan Tejolaksono, menggeser kaki belakang dan miringkan tubuh menghindarkan serangan dua orang wanita sakti itu. Akan tetapi begitu ia terhindar dari serangan pertama, ketiga orang pengeroyoknya sudah menerjang lagi dengan serangan yang lebih hebat dan berbahaya.
Tejolaksono yang pernah bertanding dengan kakek sakti ini di lereng Merapi di depan Ki Tunggaljiwa dan hampir saja tewas, teringat akan nasehat Ki Tunggaljiwa kemudian bahwa biarpun dalam hal ilmu kedigdayaan kakek ini tidaklah terlalu banyak selisihnya dengan tingkatnya sendiri, akan tetapi dalam hal kekuatan batin ia kalah jauh dan ia harus mempergunakan aji kesaktian! Triwikromo untuk menentang pengaruh mujijat yang keluar dart batin Sang Wasi Bagaspati.
Kini Tejolaksono mengeluarkan suara menggereng keras yang menggetarkan seisi hutan dan ia sudah mengerahkan aji kesaktian Triwikromo. Aji kesaktian ini dahulu dipelajari oleh Tejolaksono dari mendiang Sang Prabu Airlangga yang telah mengundurkah diri menjadi pertapa dengan sebutan Sang Resi Jentayu ayau Sang Bhagawan Jatinendra.
Aji ini mendatangkan wibawa yang amat hebat dan sekiranya lawan yang menghadapinya bukan. Wasi Bagaspati tentu telah luluh dan lemah segala natsu perlawanannya. Tejolaksono kini menerjang maju dany menyerang bawah pusar lawan dengan gerakan silat Kukilo Sakti.
Adapun Endang Patibroto yang maklum pula akan kehebatan lawan, berturut-turut tecepat kilat melepaskan tujuh batang panah tangah beracun yang diluncurkah ke arah tujuh bagian lemah dari tubuh Wasi Bagaspati, kemudian ia mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo dan menghantam dari belakang mengarah tengkuk.
Ayu Candra bukan seorang lemah dan dia telah mewarisi segala ilmu dan aji kesaktian dari ayahnya, Ki Adibroto, seorang tokoh warok Ponorogo aliran putih, dan di samping itu, telah banyak pula ia mendapat bimbingan suaminya.
Namun dalam menghadapi Wasi Bagaspati ini, Ayu Candra maklum bahwa ilmu kepandaiannya masih terlalu rendah. Begitu ia melihat suaminya menyerahkan Aji Triwikromo dan mendengar Endang Patibroto mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo yang membuat kedua kakinya sendiri sampai menggigil, Ayu Candra lalu mundur dan menyaksikan pertandingan dahsyat itu dari pinggir gelanggang pertandingan.
Ketika ia menengok ke kiri, ke arah pertempuran antara para pengawal dan anak buah Sariwuni, ia terkejut sekali karena semua pengawal telah menggeletak tewas, pertempuran telah terhenti, Sariwuni dan sisa pasukannya juga sedang menonton pertandingan dahsyat antara Wasi Bagaspati yang dikeroyok dua oleh Tejolaksono dan Endang Patibroto.
Wasi Bagaspati juga terkejut bukan main ketika ia melihat pengaruh wibawa yang tiba-tiba mencuat keluar dan tubuh Tejolaksono! Wibawa yang begitu kuatnya sehingga ketika ia memandangnya, jantungnya tergetar hebat dan isi dadanya terguncang.
Cepat kakek sakti Itu menggereng dan setelah ia dapat mengatasi wibawa Aji Triwikromo, lenyaplah guncangan hebat dalam dadanya.
Cepat ia menggerakkan tangan menagkis pukulan Tejolaksono yang mengarah bawah pusar, dan sekali ini keduanya terdorong mundur.
Pada saat itu terdengar bunyi berciutan nyaring sekali, yaitu saat meluncurnya tujuh batang panah tangan yang dilepas oleh Endang Patibroto. Panah tangan yang merupakan anak panah kecil dan cara mempergunakannya adalah disambitkan dan disentil dengan jari tangan dengan dorongan tenaga sakti itu ujungnya sudah direndam racun.
Kini dilepas dari jarak dekat oleh Endang Patibroto, menuju ke arah tujuh bagian tubuh yang berbahaya.
"Cet-cet-cet-cet-cet-cet-cet.....!!!"
Anak panah itu datangnya beruntun susul-menyusul. Yang dua pertama meluncur ke arah sepasang lutut kaki Wasi Bagaspati dan dapat ditendang runtuh oleh kakek sakti itu.
Panah ke tiga dan ke empat yang menyerang pusat dan ulu hati ia terima begitu saja dan dua batang anak panah itu runtuh, tak dapat membikin lecet sedikitpun tubuhnya yang dilindungi kekebalan. Anak panah ke lima meluncur ke tenggorokan, sedangkan yang ke enam dan ke tujuh terbang meluncur ke arah sepasang matanya.
Wasi Bagaspati menggereng marah, merendahkan kepala sehingga anak panah yang menusuk tenggorokannya kini menusuk mulutnya. ia membuka mulut dan "menangkap"
Anak panah itu dengan bibirnya, sedangkan kedua tangannya menyambar dua batang anak panah yang tadi menyerang sepasang matanya. Pada saat itu, pukulan ke arah tengkuk yang dilakukan Endang Patibroto yang memekikkan Aji Sardulo Bairowo sudah tiba. Wasi Bagaspati secara tiba-tiba membanting tubuhnya kekanan dan terus bergulingan di atas tanah. Gerakan ini membuat terjangan Endang Patibroto gagal dan tiba-tiba tampak tiga sinar menyambar ke arah Endang Patibroto, Tejolaksono dan Ayu Candra yang sedang berdiri menonton. Itulah tiga buah anak panah yang tadi terampas oleh Wasi Bagaspati.
Tejolaksono dan Endang Patibroto cepat menggunakan Aji Pethit Nogo, memukul runtuh anak panah itu, sedangkan Ayu Candra yang sama sekali tidak mengira akan diserang dengan anak panah, menjadi kaget dan hampir saja menjadi korban kalau ia tidak cepat-cepat meloncat ke belakang sampai terhuyung-huyung.
Masih untung baginya bahwa anak panah yang dipakai menyerangnya adalah anak panah yang tadi digigit Wasi Bagaspati dan dipergunakan menyerangnya dengan cara ditiupkan sehingga tenaga luncurannya tidaklah sehebat dua batang yang disambitkan kakek itu.
"Huah-ha-ha, kalian belum menyerah? Mau melihat kesaktian Wasi Bagaspati? Hemmm...... masih belum terlambat untuk menyerah menjadi tawananku, Patih Tejolaksono!"
Biarpun di mulut kakek ini mentertawakan, namun di dalam hatinya ia mendongkol dan penasaran sekali mengapa dia, seorang tokoh besar yang selamanya tak pernah terkalahkan, yang telah mengorbankan waktu dan ketekunan selama puluhan tahun untuk mengejar ilmu, yang kini menganggap bahwa aji kesaktiannya akan dapat mengalahkan dewa, sekarang melawan dua orang yang baginya merupakan tokoh-tokoh muda ini, dia selalu didesak dan belum dapat balas menyerang!
Harus ia akui bahwa Tejolaksono dan Endang Patibroto merupakan sepasang lawan yang hebat sekali, karena mereka itu dapat bekerja sama dalam penyerangan-penyerangan yang dahsyat. Ingin ia mengeluarkan jimat pusakanya, yaitu senjata Cakra.
Akan tetapi ia merasa sungkan kalau harus mempergunakan pusakanya itu hanya untuk menghadapl dua orang lawan muda. Maka ia mengeluarkan gertakan karena kalau mereka ini suka menyerah, tidak perlu ia mengeluarkan aji-aji yang selama ini menjadi ilmu simpanan untuk dipergunakan melawan musuh yang seimbang.
"Sang Wasi Bagaspati! Andika mewakili negara asing yang hendak menjajah, yang berarti mewakili angkara murka, sedangkan kami berjuang untuk membela nusa bangsa yang berarti mewakili kebenaran. Mungkinkah kebenaran harus menyerah dan tunduk terhadap angkara murka? Tidak, Sang Wasi. Kami akan melawan terus karena yakin bahwa akhirnya kebenaranlah yang akan menang!"
"Babo-babo, tidak mendengar kata-kata halus andika, Tejolaksono. Nah, majulah, dan rasakan kesaktian Wasi Bagaspati!"
"Pendeta palsu dukun lepus, siapa sudi mendengar obrolanmu?"
Endang Patibroto membentak sambil menghunus keris pusakanya. Tejolaksono juga sudah mengeluarkan keris Megantoro dan kedua suami isteri ini lalu menerjang maju dari depan, arah kanan kiri.
Tiba-tiba Wasi Bagaspati ' mengeluarkan pekik melengking dan kedua kakinya menggedrug (menjejak) tanah. Tanah seolah-olah tergetar hebat di bawah kaki Endang Patibroto dan Tejolaksono, membuat mereka seperti lumpuh seketika dan tubuh mereka terguling! Wasi Bagaspati menubruk dengan kedua tangan mengirim pukulan ke arah kepala dua 0i orang lawannya yang sudah roboh terguling.
"Dess!.......Desss!!"
Debu mengebul ketika tanah dihantam kedua tangan Wasi Bagaspati, sedangkan Endang Patibroto dan Tejolaksono sudah melesat pergi mengelak karena begitu tubuh mereka
terbanting, mereka mempergunakan tangan menekan tanah dan meloncat.
Tejolaksono dan Endang Patibroto terkejut. Mereka maklum bahwa ilmu yang dikeluarkan oleh Wasi Bagaspati itu adalah sejenis dengan aji-aji mereka Sardulo Bairowo dan Dirodo Meta, akan tetapi yang jauh lebih kuat karena memang kakek itu memiliki kekuatan batin yang luar biasa.
Selagi mereka berpikir bagaimana harus menghadapi ilmu yang dahsyat itu, Wasi Bagaspati yang merasa penasaran karena serangannya gagal, kembali melompat dekat dan menjejak bumi sambil melengking seperti tadi. Tejolaksono dan Endang Patibroto yang sudah siap itu mengerahkan tenaga sakti untuk melindungi tubuh, namun percuma karena kaki mereka tergetar hebat dan seketika mereka terguling lagi seperi tadi!
Segumpal sinar hitam seperti asap menyambar ke arah tubuh Tejolaksono dan Endang Patibroto.
Keduanya terkejut dan hendak mengelak, namun mereka roboh kembali karena gerakan mereka terhalang oleh sebuah jala hitam yang amat tipis namun yang mempunyai kekuatan melebihi benang-benang baja!
Mereka meronta-ronta, namun dengan gerakan tangannya Wasi Bagaspati yang tertawa-tawa itu membuat jala makin menyempit sehingga akhirnya Tejolaksono dan Endang Patibroto meringkuk dan terjepit menjadi satu tak mampu bergerak lagi.
"Pendeta keparat lepaskan mereka!"
Ayu Candra melompat ke depan dan menggunakan keris menyerang, akan tetapi dengan tangan kanan memegang ujung jala Wasi Bagaspati mengangkat tangan kirinya, menyampok tangan Ayu Candra yang memegang keris sehingga senjata itu ter pental jauh dan sekali kakek itu mengibaskan tangan kirinya menyentuh pangkal telinga Ayu Candra, isteri Patih Tejolaksono ini terbanting dalam keadaan pingsan.
"Huah-ha-ha, orang-orang muda kalau tidak dibunuh, kelak akan merepotkan saja!"
Kakek itu sudah mengangkat tangan kirinya ke atas dengan jari -jari terbuka dan membentuk cakar harimau, siap digerakan turun mencengkeram kepala dua orang tangkapannya yang sudah tak dapat membela diri itu.
"Kakanda Wasi jangan bunuh mereka!"
Tiba-tiba Sariwuni 'meloncat maju dan berteriak mencegah. Memang lucu dan janggal kedengarannya kalau Sariwuni yang masih kelihatan cantik dan muda itu menyebut "kakanda"
Kepada Wasi Bagaspati yang sudah tua renta, lebih seratus tahun usianya itu. Memang, Wasi Bagaspati ini selain sakti mandraguna, juga mempunyai watak romantis sehingga setiap orang wanita yang menjadi pelayan nafsunya selalu diharuskan menyebutnya kakanda!
"Heh, mengapa kau berani mencegahku, Sariwuni?"
Wasi Bagaspati mengerutkan keningnya dan suaranya tergetar tak senang.
"Malam ini bulan purnama, dan mereka bertiga itu bukan orang-orang sembarangan sehingga akan menjadi korban yang amat berharga untuk Sang Dewi Bathari......
"
Sariwuni tersenyum manis dan kerlingnya menyambar ke arah Tejolaksono dalam jala itu.
Sejenak Wasi Bagaspati meragu, kemudian tertawa.
"Ha"ha-ha-ha! Engkau ini makin mata keranjang saja, Sariwuni! Engkau ingin menikmati pria tampan ini sebelum dia dibunuh? Baiklah, membunuh mereka besok pagi juga belum terlambat!"
"Hamba hanya mendapatkan seorang, akan tetapi bukankah Kakanda Wasi mendapatkan dua orang?"
Jawab Sariwuni sambil melirik ke arah Endang Patibroto yang meringkuk seperti ikan di dalam jala dan tubuh Ayu Candra yang masih rebah pingsan di atas rumput.
Ucapan ini disambut tertawa bergelak oleh Wasi Bagaspati. Sariwuni lalu mengatur anak buahnya untuk membawa teman-teman yang terluka dan yang tewas, kemudian mereka meninggalkan lima belas buah mayat para pengawal Panjalu, tidak tahu bahwa seorang di antara mereka masih belum tewas sehingga dapat memberi tahu tentang tertawannya Tejolaksono dan dua orang isterinya yang dibawa ke puncak gunung yang tampak dari hutan itu.
Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono, Setyaningsih, dan Pusporini menjadi gelisah sekali setelah mendengar pesan perajurit itu. Hanya Bagus Seta, yang tetap tenang,kemudian tanpa banyak bicara pemuda remaja ini Ialu menggali lubang dan mengubur kelima belas sosok mayat para pengawal Panjalu itu.
Melihat ini, tentu saja Joko Pramono, bahkan Pangeran Panji Sigit sendiri bergegas membantu, juga kedua orang bibi muda itu. Mereka terpaksa menekan perasaan gelisah mereka melihat sikap Bagus Seta yang tenang itu, dan mereka percaya penuh bahwa pemuda remaja itu akan dapat menanggulangi segala lawan dan mengatasi segala kesulitan.
Malam itu tenang bulan dan kebetulan sekali angkasa bersih dan cerah, tidak tampak sedikitpun awan sehingga bulan tersenyum-senyum bebas menyinarkan cahayanya yang keemasan.
Di puncak gunung kecil di luar hutan itu terjadilah pesta yang luar biasa. Puncak gunung ini merupakan tempat peristirahatan sementara dari Wasi Bagaspati yang ditemani oleh Sariwuni dan sejumlah anak buahnya sebanyak kurang lebih lima puluh orang.
Atas permintaan Sariwuni, tiga orang tawanan itu, Tejolaksono, Endang Patibroto dan Ayu Candra, tidak dibunuh oleh Sang Wasi Bagaspati.
Dengan ilmu kepandaiannya, mudah saja bagi Wasi Bagaspati untuk membuat Tejolaksono dan Endang Patibroto yang sudah tak dapat bergerak di dalam jala itu roboh pingsan, kemudian bersama Ayu Candra yang juga sudah pingsan, mereka bertiga dibawa naik ke puncak pegunungan itu dan dalam keadaan pingsan itu mereka bertiga diberi minum secara paksa oleh Sariwuni.
Minuman itu adalah minuman yang mengandung racun perampas ingatan dan mengandung daya rangsang yang amat luar biasa.
Kemudian tiga orang yang masih pingsan itu direbahkan di atas panggung yang terbuat daripada kayu dan bambu. Biasanya, pesta pemujaan Bathari Durgo ini dipimpin oleh Ni Dewi Nilamanik sebagai ketuanya, akan tetapi oleh karena Ni Dewi Nilamanik sedang berada di Kota Raja Jenggala memenuhi panggilan Ki Patih Warutama, maka pesta ini diwakili oleh Sariwuni. Minuman beracun yang dipergunakan Sariwuni itupun adalah milik Ni Dewi Nilamanik.
Selain Sariwuni, di situ terdapat tujuh orang wanita cantik yang kesemuanya adalah murid-murid Ni Dewi Nilamanik dan yang berada di situ untuk bertugas membantu Sariwuni dalam melayani Wasi Bagaspati. Adapun yang lainnya, terdiri dari laki-laki dan wanita, hanyalah anak buah yang melakukan segala macam pekerjaan kasar melayani segenap kebutuhan dan keperluan sehari-hari, termasuk penjagaan dan kalau perlu bertempur menghadapi musuh.
Setelah bulan mulai bersinar, pesta pemujaan Bathari Durgo pun dimulailah. Sebuah arca Bathari Durgo diletakkan di atas panggung dan di sebelah kanannya duduklah Sang Wasi Bagaspati di atas sebuah kursi.
Sariwuni dan tujuh orang wanita yang kesemuanya berpakaian tipis serba putih itu duduk bersimpuh di depan Wasi Bagaspati dan arca Bathari Durgo.
Karena tempat itu bukan menjadi pusat perkumpulan Agama Bathari Durgo, bukan sebuah Durgoloka (Taman Bathari Durgo), maka upacara pemujaan Bathari Durgo di waktu bulan purnama itu pun diadakan sederhana sekali,tidak teperti kalau Ni Dewi Nilamanik yang memimpinnya, lengkap dengan gamelan segala macam.
Tidak ada gamelan di situ dan semua anak buah di situ setelah mempersiapkan pesta makanan sederhana untuk Wasi Bagaspati, Sariwuni dan tujuh orang murid Ni Dewi Nilamanik yang muda-muda dan cantik-cantik itu, lalu berdiri mengelilingi panggung menonton.
Semenjak tali, pandang mata Wasi Bagaspati tertuju kepada tubuh Ayu Candra dan Endang Patibroto yang rebah terlentang di atas panggung, di ujung kiri sedangkan di sudut kanan rebah tubuh Tejolaksono. Mereka bertiga masih dalam keadaan pingsan, seperti tidur nyenyak.
Kemudian kakek itu mengangkat tangan kiri ke atas, tanda bahwa pesta boleh dimulai.
Melihat ini, Sariwuni memimpin tujuh orang wanita muda itu menyembah di depan kaki Wasi Bagaspati, kemudian' menghampiri arca Bathari Durgo dan menyembah, lalu bertelungkup hampir tiarap di depan arca itu sambil menyebar kembang setaman yang sudah disediakan di situ. Sariwuni lalu membakar dupa harum yang mengepulkan asap putih yang baunya semerbak memenuhi udara di sekeliling panggung.
Setelah upacara penyembahan arca itu selesai, tujuh orang wanita itu dipimpin oleh Sariwuni lalu bangkit berdiri, dan mulailah mereka itu menari dengan iringan tepuk tangan mereka dan berkerincingnya gelang-gelang yang dipasang pada kaki mereka.
Tari-tarian itu biarpun hanya diiringi gamelan tepuk tangan dan berkerincingnya gelang-gelang kaki, namun teratur dan amat indah, sungguhpun gerakannya mengandung sifat-sifat yang merangsang berahi dengan gerakan-gerakan pundak dan perut. Mereka menari berputaran di sekeliling panggung dan Sariwuni merupakan penari yang terpandai dan yang paling indah gerakannya.
Makin lama bunyi tepuk tangan dan berkerincingnya gelang-gelang kaki makin cepat pula dan makin liar. Sariwuni sendiri menari mendekati tubuh Tejolaksono yang masih menggeletak terlentang dalam keadaan pingsan atau mungkin juga tertidur nyenyak.
Sariwuni mengitari tubuh Tejolaksono itu, menari-nari dan makin lama makin merendah tubuhnya sampai akhirnya ia menari sambil berjongkok mengelilingi Tejolaksono, jarijari tangannya yang bergerak-gerak seperti ular-ular kecil itu merayap"rayap dan menyentuh-nyentuh tubuh Tejolaksono, sepasang matanya makin lama makin bersinar penuh gairah.
Sementara itu, tujuh orang wanita masih bertepuk-tepuk tangan dan menghentak-hentakkan kakinya untuk mencipta bunyi yang berirama untuk mengiringi tari-tarian Sariwuni. Mereka bertujuh hanya berdiri dan melenggang-lenggok tidak pindah dari tempatnya, berjajar menghadapi Wasi Bagaspati.
Wasi Bagaspati tersenyum-senyum, menggerak-gerakkan kepalanya menurutkan irama tepukan tangan, sambil makan dan minum sajian yang dihidangkan di dekatnya. Kemudian ia memandang ke arah Sariwuni yang menyentuh-nyentuh dada dan leher Tejolaksono, kadang"kadang menundukkan muka didekatkan dengan muka Tejolaksono seperti orang menimang-nimang.
Perlahan"lahan Tejolaksono menggerakkan bulu mata, lalu membuka matanya seperti orang dalam mimpi. Ia bangkit perlahan, diikuti Sariwuni yang masih menari, dan ketika wanita itu menarik tangannya, Tejolaksono bangkit berdiri dan mulai menari!
Wasi Bagaspati tertawa dan bangkit lalu menghampiri tubuh Endang Patibroto dan Ayu Candra.
Beberapa kali ia meraba dan memijit tengkuk dua orang wanita itu yang kemudian siuman dari pingsannya, bangkit berdiri dan perlahan-lahan mereka berdua inipun mulai menari-nari menurutkan irama tepukan tangan dan berdencingnya gelang-gelang kaki.
Sambil tertawa gembira Wasi Bagaspati ikut pula bertepuk tangan dan kembali duduk di atas kursinya.
"Aduhh...... untuk kedua kalinya Pusporini menyaksikan hal yang mengerikan ini,"
Bisik Joko Pramono. Mereka berlima bersembunyi di tempat gelap dan hanya oleh cegahan Bagus Seta saja empat orang itu tidak meloncat naik dan mengamuk di tempat itu.
Joko Pramono yang pernah diceritakan oleh Pusporini tentang pengalamannya ketika ia ditawan oleh Ni Dewi Nilamanik, kini menyaksikan dengan mata sendiri keadaan yang amat aneh dan yang pernah dialami oleh Pusporini.
Dia merasa amat heran, demikian pula Pusporini, Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih melihat betapa orang-orang sakti seperti Tejolaksono, Endang Patibroto dan Ayu Candra dapat terpengaruh seperti itu, seperti manusia-manusia yang kehilangan pikiran!
Pusporini memandang dengan air mata bercucuran. Melihat rakandanya dan kedua ayundanya berhal seperti itu, melihat mereka yang telah bertahun-tahun tak dijumpainya, hatinya terharu bukan main. Kalau menurutkan hatinya, ingin ia meloncat dan menyerbu, membebaskan tiga orang yang dihormati itu dari keadaan mereka yang menyedihkan.
Akan tetapi Bagus Seta tadi memberi isyarat agar mereka jangan bergerak dan ketika ia melihat Wasi Bagaspati, mau tidak mau tengkuknya meremang. ia melihat jelas pengaruh yang hebat keluar dari sinar mata kakek itu, dari gerak-geriknya. Dengan bukti tertawannya orang-orang sakti seperti ayundanya Endang Patibroto dan rakandanya Tejolaksono, dapat dibayangkan betapa saktinya kakek itu yang dapat ia duga tentulah Sang Wasi Bagaspati. Maka ia menahan sabar dan menyerahkan keputusan dan pimpinan dalam tangan Bagus Seta yang ia percaya akan dapat menanggulangi Wasi Bagaspati yang mengerikan itu.
"Tanggalkan pakaian mereka!"
Tiba-tiba terdengar perintah keluar dari mulut Wasi Bagaspati.
Sariwuni sudah sibuk hendak membuka pakaian Tejolaksono yang masih menari-nari seperti boneka hidup, sedangkan tujuh orang wanita lainnya telah menyerbu Endang Patibroto dan Ayu Candra untuk menanggalkan pakaian mereka. Pekerjaan ini mereka lakukan sambil tertawa terkekeh-kekeh dengan genit.
Tiba-tiba terdengar bentakan halus,
"Wanita-wanita sesat, mundur kalian! "
Dan Bagus Seta sudah meloncat ke atas panggung diikuti oleh empat orang pengikutnya.
Dengan tenang Bagus Seta mendorongkan tangannya dan Sariwuni berikut tujuh orang itu terhuyung ke belakang dan akhirnya roboh ke bawah panggung.
Terdengar teriak-teriak panik dari anak buah Sarlwuni yang menonton, dan keadaan seketika menjadi geger. Bagus Seta mendekati Tejolaksono, Ayu Candra dan Endang Patibroto. Ia menyembah lebih dulu sebelum mengusap wajah mereka bertiga itu satu kali dengan telapak tangan kanannya dan seketika tiga orang itu menjadi sadar, memandang terbelalak kepada Bagus Seta, Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono, Setyaningsih, dan Pusporini.
"Bagus Seta........! Engkau...... engkau Bagus Seta......!"
Tiba-tiba Ayu Candra menjerit dan wanita itu roboh pingsan dalam pelukan Pusporini yang cepat menerima tubuh ayundanya yang pingsan saking kaget dan girang itu.
Tejolaksono merangkul puteranya yang berlutut dan menyembahnya, akan tetapi karena maklum akan keadaan yang gawat itu, Tejolaksono mengeraskan hatinya dan berbisik,
"Hati-hatilah, Nak. Dia sakti sekali......!!
Bagus Seta mengangguk tenang.
"Kita gempur dia! Bagus Seta, aku Ibumu Endang Patibroto, mari kubantu engkau membasmi dukun lepus ini!"
Bentak Endang Patibroto.
"Harap Ibunda serahkan saja kepada hamba,"
Kata Bagus Seta sambil tersenyum, kemudian ia bangkit berdiri dan membalikkan tubuh melangkah maju menghadapi Wasi Bagaspati yang memandang semua kejadian itu dengan mata merah saking marahnya, juga saking herannya menyaksikan betapa seorang pemuda remaja dapat menyadarkan tiga orang itu dari pengaruh racun perampas pikiran dan perangsang.
Padahal kepandaian seperti itu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang telah memiliki tenaga batin yang amat kuat, seperti dia sendiri misalnya. Dan cara pemuda itu mendorong para wanita turun dari panggung tanpa melukai mereka, benar-benar mengagumkan, menyatakan bahwa pemuda itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat pula.
"Heh, bocah yang berani mati. Siapa kah andika?"
"Sang Wasi Bagaspati, namaku adalah Bagus Seta. Sang Patih Muda Panjalu Tejolaksono adalah Ramandaku."
"Hemm, kulihat engkau seorang muda yang telah memiliki sedikit kesaktian, agaknya engkau murid seorang yang sakti. Ehhh sekarang aku ingat......! Bukankah engkau bocah yang dahulu bersama Bhagawan Ekadenta......?"
"Bapa guru, dia telah melarikan empat orang tawanan Jenggala! Itu mereka, mohon Bapa guru menangkap mereka kembali!"
Tiba-tiba terdengar suara lan-tang dan muncullah Cekel Wisangkoro yang langsung melompat ke atas panggung.
Kembali Wasi Bagaspati tertegun. ia sudah mendengar kemajuan-kemajuan yang dicapai para murid dan anak buahnya dalam penyelundupan ke Jenggala dan penanaman pengaruh ke istana.
Kini boleh dikata bahwa Jenggala telah berada di dalam telapak tangannya, tinggal menggenggam saja. Jenggala kini telah menjadi sekutu yang sewaktu-waktu dapat dipergurtakan oleh negaranya untuk diajak menyerang kerajaan-kerajaan lain seperti Panjalu dan lain-lain.
Kalau usaha itu berhasil dan kelak seluruh Jawa"dwipa telah dapat ditundukkan, tidak akan sukarlah untuk menentang raja yang duduk di singgasana Jenggala dan Jawadwipa yang lohjinawi itu akan menjadi milik Kerajaan Cola!
Seringkali ia diam-diam menertawakan rekannya dari Sriwijaya, Biku Janapati yang tidak tampak mendapatkan kemajuan apa-apa. Akhir-akhir ini dengan girang ia mendengar akan ditawankan Pangeran Panji Sigit dan tiga orang muda yang termasuk orang-orang bahaya bagi Jenggala.
Maka kini mendengar ucapan muridnya bahwa pemuda remaja yang luar biasa inipun sudah membebaskan tawanan yang kini hadir pula di atas panggung, ia menjadi marah bukan main.
Melihat munculnya Cekel Wisangkoro, Tejolaksono yang maklum bahwa keadaan makin gawat, segera berkata kepada Setyaningsih, Pusporini, Pangeran Panji Sigit, dan Joko Pramono,
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalian berempat lakukanlah tugasmu, hadapi Cekel Wisangkoro, Sariwuni dan kaki tangannya. Aku dan kedua ayundamu akan membantu Bagus Seta!"
Biarpun keadaan gawat dan menegangkan, akan tetapi jiwa kepemimpinan Tejolaksono tidak pernah tenggelam dan dalam keadaan seperti itu ia dapat mengatur tugas dan membagi-baginya dengan perhitungan masak.
Ayu Candra yang sudah siuman kinipun sudah siap sedia membantu puteranya, dan keharuan serta kebahagiaan yang datangnya demikian tiba-tiba kini tak dapat ditumpahkan, hanya ditelan dan disimpan dalam rongga dada, kini berdiri di dekat suaminya dan Endang Patibroto.
"Ha-ha-ha-ha! Tejolaksono, jangan kau bergirang lebih dulu dengan adanya bantuan-bantuan yang tiba. Makin banyak keluarga dan sekutumu berkumpul makin baiklah bagiku agar sekaligus aku dapat membasmi penghalang"penghalang bagi tugasku!"
Setelah berkata demikian, Wasi Bagaspati lalu mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau kelaparan dan ia menggerakkan kedua lengannya mendorong ke depan. Serangkum tenaga dahsyat menyambar ke depan.
Pada saat itu juga, Pusporini yang mendahului yang lain-lain setelah menerima perintah Tejolaksono, sudah menerjang Cekel Wisangkoro dengan pukulan Pethit Nogo yang ampuh.
Demikian hebat terjangan dara perkasa ini sehingga tidak ada lain jalan bagi Cekel Wisangkoro untuk menyelamatkan diri kecuali melompat turun dari atas panggung.
Pusporini mengejar dan melompat turun pula, diikuti oleh Joko Pramono, Pangeran Panji Sigit, dan Setyaningsih. Mereka ini disambut oleh Cekel Wisangkoro, Sariwuni dan tujuh orang murid-murid Ni Dewi Nilamanik, dibantu pula oleh anak buah yang datang menyerbu dengan senjata tombak dan golok.
Terjadilah pertandingan campuh yang hebat di bawah panggung, di mana Pangeran Panji Sigit dan tiga orang muda yang lain mengamuk.
Pukulan jarak jauh yang dilakukan Wasi Bagaspati dengan jalan mendorongkan kedua lengannya amatlah hebatnya. Berbeda ketika kakek ini menghadapi Tejolaksono bertiga isteri-isterinya, sekali ini Wasi Bagaspati mengerahkan seluruh kekuatannya dan tenaga sakti yang terkandung dalam pukulan mendorong ini diperkuat oleh tenaga batinnya sehingga pukulan itu luar biasa dahsyatnya.
Seketika Tejolaksono dan kedua orang isterinya, terutama sekali Ayu Candra, terhuyung ke belakang, merasa seolah-olah ada gunung api menyerang mereka.
(Lanjut ke Jilid 50)
Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 50
Bagus Seta melompat ke depan ayah dan kedua orang ibundanya, melindungi mereka dengan tubuhnya ~ dan mendorongkan pula lengannya ke depan sambil berkata dengan suara halus,
"Yang menggunakan kekerasan akan menerima kekerasan pula, Sang Wasi!"
"Dessss!!"
Terasa sekali oleh Tejolaksono dan dua orang isterinya akan pertemuan dua tenaga raksasa yang ampuh dan mujijat di tengah udara, di antara Wasi Bagaspati dan Bagus Seta, seolah-olah dua gunung api bertemu dan saling membakar, saling menindih.
Bagus Seta masih berdiri tegak dan tenang, dan Wasi Bagaspati memandang terbelalak, agak menggigil seperti orang kedinginan, atau seperti orang yang merasa gentar akan sesuatu sehingga meremang bulu tengkuknya.
Tentu saja Wasi Bagaspati sama sekali tidak pernah merasa gentar, karena perasaan ini sudah lama terhapus dari hatinya bersamaan dengan timbulnya perasaan percaya kepada diri sendiri bahwa kesaktiannya sudah terlalu tinggi untuk dapat dikalahkan lawan yang manapun juga.
Kalau ia kelihatan seperti menggigil adalah karena ia merasa terlalu heran dan terlalu penasaran melihat kenyataan betapa pukulannya yang ampuh dan mujijat tadi dapat ditahan dan didorong kembali oleh seorang yang masih begini muda!
Kemarahannya memuncak karena dorongan rasa penasaran ini dan sambil memekik dahsyat tubuhnya yang tinggi itu kini menerjang maju dan kedua lengannya yang panjang itu bergerak menyambar dari kanan kiri dengan jari -jari tangan terbuka, berusaha menangkap dan mencengkeram hancur tubuh Bagus Seta dengan tangannya yang kuat melebihi cengkeraman baja.
Bagus Seta tetap bersikap tenang menghadapi terkaman kedua lengan yang mengamuk seperti badai ini. Kelihatannya pemuda itu hanya menggerakkan tubuhnya lambat-lambat saja akan tetapi aneh sekali, kedua tangan yang menyambar-nyambar itu selalu menangkap angin, tak pernah dapat menyentuh tubuhnya.
TUBUH Bagus Seta menjadi demikian ringan sehingga setiap terkaman membuat tubuhnya bergerak menjauh terdorong oleh angin yang mendahului gerakan tangan lawan.
Dilihat dari jauh, tampaknya Wasi Bagaspati seperti seorang anak-anak yang berusaha menangkap seekor kupu"kupu, atau seorang gila yang berusaha menangkap asap!
Melihat kehebatan putera mereka, Tejolaksono dan 'Endang Patibroto serta Ayu Candra terbelalak kagum, akan tetapi Tejolaksono yang bijaksana dan dapat mengenal kesaktian luar biasa yang dimiliki puteranya, cepat berkata,
"Mari kita membantu mereka di bawah!"
Tubuhnya melompat turun panggung diikuti Endang Patibroto dan Ayu Candra.
Di bawah panggung terjadi pertandingan yang lebih ramai, seru dan dahsyat sekali. Empat orang muda mengamuk seperti banteng-banteng terluka. Terutama sekali sepak terjang Pusporini dan Joko Pramono yang seakan-akan berlomba dan bersicepat merobohkan Cekel Wisangkoro membuat cekel itu kewalahan.
Melawan seorang saja di antara dua orang murid Resi Mahesapati ini masih diragukan apakah dia akan sanggup mengalahkannya, apalagi kini dua orang murid itu maju bersama mengeroyoknya.
Cekel Wisangkoro memutar tongkat ularnya dengan nekat dan mengerahkan seluruh kedigdayaannya, mengeluarkan segala ilmunya, namun sia"sia. Segala macam mantera telah ia ucapkan, mantera-"mantera, yang mengandung kekuatan ilmu hitam yang biasanya akan dapat melumpuhkan kekuatan lawan, akan tetapi terhadap dua orang muda ini tidak mempan sama sekali. Gerakan tongkat ularnya yang cepat itu tidak dapat mengatasi gerak cepat kaki tangan Pusporini dan Joko( Pramono sehingga ia terus didesak mundur.
Ketika untuk kesekian kalinya tongkatnya tidak menemui sasaran setelah ia sabetkan melingkar ke depan menghantam dua orang lawannya yang mengelak cepat, Joko Pramono mengirim pukulan yang ampuhnya menggila, yaitu pukulan dengan Aji Cantuka Sekti, ke arah dada lawan.
Cekel Wisangkoro tergesa-gesa membuang diri ke kiri menghindarkan pukulan maut itu. Akan tetapi dari kiri menyambar tangan Pusporini yang menyerang dengan pukulan Pethit Nogo.
Cekel Wisangkoro kaget sekali, cepat mengangkat tongkat ularnya, disabetkan ke arah pergelangan gadis itu. Akan tetapi Pusporini sudah memutar pergelangan tangannya dan merubah tamparan menjadi cengkeraman yang berhasil menangkap tongkat ular!
Cekel Wisangkoro terkejut, mengerahkan seluruh tenaga dan menggereng sambil membetot untuk merampas kembali tongkatnya, akan tetapi tongkat itu tidak dapat terlepas dari cengkeraman Pusporini.
Pada saat itu Joko Pramono yang tidak mau kalah sudah memukul lagi dengan Aji Cantuka Sekti ke arah perut lawan. Melihat, datangnya pukulan, Cekel Wisangkoro dapat mengenal bahaya maut, terpaksa ia melepaskan tongkatnya dan menggunakan lengan kanan untuk menangkis pukulan itu.
Akan tetapi karena gerakannya ini agak terlambat dan tenaganya pun tidak cukup dipersiapkan dalam menghadapi pukulan sakti itu, ketika kedua lengan bertemu, tubuhnya terpental ke belakang, lengan kanannya seperti lumpuh dan ia jatuh terguling-guling.
"Toloooonggg........ tolong, Bapak guru, tolong!!"
Saking panik dan takutnya, kini Cekel Wisangkoro berteriak-teriak minta tolong.
Akan tetapi Wasi Bagaspati yang sibuk dan bernafsu sekali merobohkan Bagus Seta itu tidak memperdulikan teriakan muridnya ini. Belasan orang anak buah yang tadinya tak dapat membantu karena jalannya pertempuran amat cepat sehingga sukar bagi mereka untuk turun tangan mencampuri dan membantu, kini menerjang maju dengan tombak dan golok mereka yang datang bagaikan hujan menyerang Pusporini dan Joko Pramono.
Akan tetapi terjangan itu sama dengan terjangan sekumpulan laron terhadap api. Terdengar tombak patah golok terbang dan pekik-pekik kesakitan ketika sepuluh orang di antara mereka terpental kocar-kacir tercium tendangan-tendangan kaki Pusporini dan Joko Pramono.
Akan tetapi hambatan ini menyelamatkan Cekel Wisangkoro yang telah lari entah ke mana karena ketika Pusporini dan Joko Pramono memandang dan mencari, bayangan cekel pengecut itu telah lenyap. Dengan marah kedua orang muda perkasa ini lalu menoleh ke arah pertandingan di bagian lain di mana tadi Setyaningsih dan suaminya mengamuk.
Seperti halnya Joko Pramono dan Pusporini yang segera turun tangan menyerang orang-orang yang menjadi tokoh penting dari fihak lawan, Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih juga langsung menerjang Sariwuni ketika mereka berdua meloncat turun dari atas panggung.
Biarpun Sariwuni tidak sehebat Cekel Wisangkoro kesaktiannya, dia adalah kekasih Wasi Bagaspati dan tentu saja sudah banyak menerima petunjuk Sang Wasi. Bahkan Sariwuni menerima sebuah ilmu yang dahsyat dan mujijat, yaitu Aji Wisakenaka yang membuat sepuluh buah kuku jarinya merupakan sepuluh buah keris-keris kecil yang mengandung racun ampuh!
Begitu melihat turunnya Setyaningsih dan Pangeran Panji Sigit dari atas panggung, Sariwuni lalu menyambut mereka dengan cakaran-cakaran kukunya yang beracun. Akan tetapi dengan mudahnya suami isteri ini mengelak dan balas menyerang dengan pukulan-pukulan maut.
Terutama sekali Setyaningsih yang telah menerima gemblengan ayundanya, Endang Patibroto, wanita muda ini segera mencecar Sariwuni dengan tamparan Pethit Nogo. Dalam kemarahan mereka terhadap Sariwuni yang tadi menari-nari dan jelas mengandung niat kotor terhadap Tejolaksono, suami isteri muda ini mengambil keputusan tetap untuk membunuh wanita cabul ini.
Tujuh orang wanita murid-murid Ni Dewi Nilamanik cepat maju dan membantu Sariwuni.
Mereka adalah murid-"murid Ni Dewi Nilamanik, tentu saja telah memiliki kepandaian yang boleh diandalkan dalam pertempuran, tidak seperti para anak buah di situ yang hanya dapat bertempur berdasarkan ketaatan mereka terhadap perintah pimpinan.
Tujuh orang wanita yang masih berpakalan putlh tipis sehingga tubuh mereka membayang seperti orang bertelanjang bulat itu kini bergerakgerak mengepung Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih.
Dari tubuh mereka tercium wangi-wangian yang sengaja mereka pakai dalam pesta tadi. Bau wangi dan ketelanjangan mereka ini memuakkan hati Setyahingsih yang mengamuk makin hebat.
Dua orang penari itu telah roboh dengan kepala pecah terkena sambaran aji pukulan Pethit Nogo, sedangkan Pangeran Panji Sigit yang merasa enggan untuk menyentuhkan tangannya kepada tubuh para pengeroyok yang seperti telanjang itu, telah merobohkan seorang penari dengan tendangan yang bersarang di lambung.
Sariwuni menjadi marah sekali melihat betapa dalam waktu singkat tiga orang pembantunya telah roboh binasa. Ia mengeluarkan suara melengking nyaring dan menerjang ke arah Setyaningsih dengan sebatang pedang yang ia cabut dari punggungnya.
Setyaningsih sengaja menanti datangnya tusukan pedang. Melihat kelambatnya isterinya, Pangeran Panji Sigit berseru,
"Isteriku, awas........!"
Akan tetapi pedang di tangan Sariwuni sudah datang menusuk sedangkan Pangeran Panji Sigit sendiri sedang dikeroyok dua orang wanita yang memegang golok. Ketika pedang itu hampir menyentuh Setyaningsih, wanita perkasa ini secara tiba-tiba miringkan tubuh dan secepat kilat ia menangkap pergelangan tangan Sariwuni, mengerahkan tenaga menambah tenaga serangan lawan terus mendorongkan tubuh Sariwuni ke depan, ke arah seorang di antara dua orang penari lain yang hendak menyerangnya dari belakang.
"Blessss........! "
Pedang di tangan Sariwuni tanpa dapat dicegah lagi memasuki perut seorang penari sampai tembus ke punggungnya saking kerasnya luncuran pedang yang ditambah oleh tenaga dorong Setyaningsih tadi.
Terdengar jerit mengerikan ketika penari itu roboh membawa pedang Sariwuni yang melepaskan senjatanya dan berdiri memandang dengan mata terbelalak.
Kemudian ia menjadi demikian marah sehingga diterjangnya Setyaningsih dengan nekat, menggunakan kedua cakar tangannya yang berkuku hitam panjang beracun. Sebenarnya, kalau Sariwuni menggunakan kedua tangan yang memiliki sepuluh buah kuku beracun ini, dia malah lebih berbahaya daripada kalau bersenjatakan pedang.
Kini ia menyerang dengan nekat saking marahnya, maka dapat dibayangkan betapa dahsyatnya terjangan kedua cakarnya ke arah tubuh Setyaningsih.
Setyaningsih maklum akan bahayanya serangan ini.
Wanita yang pendiam ini memiliki keberanian luar biasa dan dalam detik penuh bahaya itu dia sudah dapat menemukan akal yang jarang berani dilakukan orang lain. Ia meloncat mundur mendekati seorang penari yang membawa golok kemudian kakinya tergelincir dan tubuhnya roboh! Melihat ini, Sariwuni menjadi girang dan menubruk. Juga penari itu mengangkat goloknya membacok.
"Setyaningsih........!"
Pangeran Panji Sigit yang khawatir sekali cepat merobohkan dua orang penari yang mengeroyoknya dengan pukulan kedua tangannya.
Menghadapi isterinya terancam bahaya, pangeran ini tidak segan-segan lagi untuk menghantam dua tubuh berpakaian tipis semrawang itu sehingga mereka roboh dan tewas seketika karena yang seorang patah tulang tengkuknya sedangkan yang ke dua retak kepalanya terkena pukulan Pangeran Panji Sigit.
Dia lalu membalikkan tubuh siap membantu isterinya, akan tetapi pangeran ini terbelalak kagum menyaksikan sepak terjang isterinya.
Ternyata Setyaningsih yang memang jatuhnya adalah buatan atau pancingan, melihat datangnya serangan Sariwuni dan penari itu, cepat menggulingkan tubuh mendekati penari, menangkap pergelangan tangannya, tubuhnya sendiri meloncat bangun secara tiba-tiba dan tubuh penari itu dipergunakan untuk menyerang Sariwuni yang sedang menerkamnya.
Sariwuni terkejut dan terpaksa menangkis dengan cengkeraman sehingga lima buah kuku hitam runcing mepancap di pipi penari itu yang menjerit ngeri dan ketika tubuhnya dilepaskan, ia merintih-rintih, mencakari mukanya yang berubah menjadi hitam, berkelojotan menjerit -jerit sebentar kemudian selagi Sariwuni memandang korban ke dua ini dengan mata terbelalak, kesempatan ini dipergunakan oleh Setyaningsih untuk menubruk dan mengirim pukulan ke arah ulu hatinya.
Sariwuni berteriak marah dan menangkis dengan tangan kanannya bahkan balas mencengkeram dengan tangan yang menangkis itu, namun ia kalah cepat dan Setyaningsih sudah merubah pukulan Pethit Nogo itu dengan menangkap pergelangan tangan lawan. Pada saat itu, Pangeran Panji Sigit sudah meloncat datang dan tangan kiri Sariwuni yang mencakar ke arah Setyaningsih itu tiba"tiba ditangkap oleh Pangeran Panji Sigit.
Tanpa berunding lagi suami isteri ini dengan gerakan serentak lalu memutar lengan yang mereka tangkap dari kanan kiri sambil mengerahkan tenaga.
"Krekkl Krekkk!"
Sambungan sepasang lengan itu putus di tiga tempat, yaitu di pundak, siku, dan pergelangan. Tentu saja kedua lengan Sariwuni menjadi lumpuh seketika.
Dan pada saat itu, sebelum Setyaningsih dan suaminya melepaskan lengan yang sudah lumpuh, terdengar bentakan Endang Patibroto.
"Ningsih! Pangeran! Minggir!!"
Tubuh Endang Patibroto yang baru saja meloncat turun dari panggung bersama Tejolaksono dan Ayu Candra, menyambar bagaikan seekor burung dan sebuah pukulan dahsyat menghantam kepala Sariwuni sehingga remuk dan isi kepalanya muncrat berhamburan.
Untung Pangeran Panji Sigit dan isterinya sudah meloncat mundur ketika mendengar seruan ayunda mereka, kalau tidak tentu akan terkena percikan darah dan otak.
Semua orang anak buah Sariwuni yang berada di situ memandang dengan muka pucat dan hati penuh ketakutan.
Memang Endang Patibroto kalau sedang marah amatlah menakutkan sepak-terjangnya. Dan dia amat marah kepada Sariwuni yang ia tahu hendak mempermainkan suaminya. Rasa marah karena cemburu.
Setelah Cekel WiSangkoro melarikan diri dan Sariwuni tewas, tujuh orang perkasa itu tentu saja bukan lawan para anak buah di situ, apalagi karena tenaga yang agak boleh diandalkan, yaitu tujuh orang penari yang membantu Sariwuni juga sudah tewas. Terjadilah panik dan anak buah itu melawan dengan nekat dan ada yang mulai lari berserabutan saling tabrak.
Sementara itu, pertandingan antara Wasi Bagaspati dan Bagus Seta juga berlangsung dengan seru. Mula-mula tidak tepat disebut pertandingan karena yang menyerang hanyalah sefihak, yaitu Wasi Bagaspati yang masih mempergunakan kecepatan dan tenaga dalam usahanya menagkap tubuh Bagus Seta yang ringan seperti asap itu.
Makin penasaran karena ia telah mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatannya, bahkan membantu dengan pengerahan kekuatan batin untuk menundukkan dan mempengaruhi hati dan pikiran Bagus Seta.
Namun semua itu sia-sia belaka, pemuda itu tetap bersikap tenang sekali, sedikit pun tidak goyah oleh tarikan tenaga mujijat dari kekuatan batin Sang Wasi, dan tubuhnya masih selalu berkelebat tak pernah dapat disentuh kedua tangan Wasi Bagaspati. N.-I
"Bocah keparat Bagus Seta! Apakah gurumu mengajar engkau menjadi pengecut yang hanya panda! mengelak dan menghindari semua pukulan lawan?"
Bentak Wasi Bagaspati yang kehabisan akal untuk dapat menangkapnya dan kini berdiri dengan mata melotot.
Bagus Seta pun menghentikan gerakan tubuhnya, berdiri tenang dan balas bertanya,
"Apakah yang kau kehendaki dariku, Sang Wasi?"
"Kalau andika memang sakti mandraguna, hayo hadapi aji pukulan dengan aji pukulan pula. Keluarkan kesaktianmu, keparat!"
"Sang Wasi Bagaspati, kekasaran takkan dapat mengatasi kehalusan, kekarasan takkan dapat menanggulangi kelunakan seperti juga kesalahan takkan dapat memenangkan kebenaran. Suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti, Sang Wasi. Mengapa andika hendak memaksakan keadaan yang sebaliknya? Andika menghendaki aku menggunakan kekerasan menghadapi kekerasanmu? Andika yang menghendaki, bukan aku. Nah, silakan!"
Setelah berkata demikian, Bagus Seta membuka kedua kakinya ke kanan kiri, tubuhnya agak merendah, pandang matanya tajam ke depan dan kedua tangan diangkat sedikit di kanan kiri lambung dengan jari-jari tangan terbuka.
Melihat ini, Wasi Bagaspati maklum bahwa itulah sikap dan kuda-kuda orang yang mengandalkan tenaga sakti untuk menghadapi lawan tangguh, maka ia bersikap hati-hati, diam-diam mengerahkan tenaga pada kedua lengannya dan tiba-tiba dari dalam dadanya keluar suara menggetar yang tak terdengar telinga saking rendahnya, namun yang wibawanya menggetarkan lawan sehingga tanpa memukul pun getaran itu akan dapat mengguncang jantung lawan dan menewaskannya.
Kemudian ia melompat ke depan dan memukul dengan kedua telapak tangannya didorongkan ke arah dada Bagus Seta.
Hebat luar biasa kekuatan pukulan kedua lengan ini, dan sekiranya yang didorong ini sebarisan orang yang puluhan banyaknya, agaknya akan dapat didorong roboh oleh kedasyatan tenaga sakti yang keluar dari sepasang tapak tangan merah Sang Wasi Bagaspati. Bagus Seta sudah waspada akan kedahsyatan lawan, nemun dengan sikap tenang ia pun menggerakkan kedua lengannya didorongkan ke depan menerima dua telapak tangan lawan itu.
"Dessss........!! "
Dua pasang telapak tangan yang penuh hawa mujijat bertemu dan menimbulkan getaran hebat sehingga panggung itu hampir roboh karena terguncang. Tubuh Wasi Bagaspati terdorong mundur sampai lima langkah sedangkan tubuh Bagus Seta tergoyang-goyang seperti pohon waringin tertiup badai.
Wajah Wasi Bagaspati yang biasanya merah sekali itu kini menjadi agak pucat dan maklumlah ia bahwa pemuda remaja itu benar"benar memiliki kesaktian yang amat mengejutkan. Diam-diam ia merasa mendongkol sekali kepada Bhagawan Ekadenta yang agaknya sengaja menciptakan
pemuda sakti ini untuk menentang usahanya.
Pikiran ini membuat hatinya bergelora penuh penasaran dan kemarahan, membuat ia lupa diri dan mulutnya berkemak-kemik, kemudian ia membentak,
"Bagus Seta, engkau lebih sombong daripada gurumu! Kaukira berhasilkan mengalahkan Wasi Bagaspati, murid terkasih Sang Hyang Bathara Shiwa? Lihatlah senjata ini yang akan menghancurlumatkan tubuhmu, keparat!"
Kakek itu menggerakkan tangan kanannya yang tiba-tiba saja sudah memegang senjatanya yang amat ampuh, senjata Cakra yang mengeluarkan cahaya menyilaukan mata.
Melihat senjata itu, Bagus Seta mengerutkan alisnya.
"Sang Wasi Bagaspati, ingatlah akan kesucian pusaka itu. Hendakkah andika jangan mencemarkannya dengan mempergunakan nafsu angkara murka?"
"Senjata ini adalah milikku, perduli apa engkau akan penggunaannya? Keparat, kalau engkau takut menghadapinya, hayo berlutut dan menyerah!"
Suara ini amat berpengaruh karena terdorong oleh kekuatan mujijat maha dahsyat yang keluar dari cahaya senjata Cakra itu.
Maklum bahwa menghadapi senjata itu berarti menghadapi perjuangan mati hidup seperti yang dipesan gurunya, Bagus Seta lalu memejamkan mata sejenak, kemudian mengangkat tangan kanannya yang sudah memegang setangkai bunga Cempaka Putih di atas kepala.
Dengan mata menatap wajah Wasi Bagaspati dan setangkai bunga Cempaka Putih diangkat tinggi, bunga yang segar seakan-akan memang tumbuh di atas telapak tangan pemuda itu dan mengeluarkan cahaya gemilang, ia berkata,
"Sang Wasi Bagaspati, kalau andika menghendaki penentuan terakhir dalam hidup kita di dunia ini, aku sudah siap menghadapimu!"
Ketika Wasi Bagaspati melihat setangkai bunga Cempaka Putih di tangan Bagus Seta, seketika kedua kakinya menggigil dan jantungnya berdebar keras. Terbayanglah peristiwa puluhan tahun yang lalu ketika ia bertapa di bawah pohon Cempaka untuk mengisi kekuatan mujijat pada senjata Cakra yang terletak di depan dia duduk bersila.
Dia sedang bersamadhi dengan tekun dan hening, kekuatan mujijat memancar melalui dirinya dan meluncur turun memasuki senjata Cakra itu. Tiba-tiba telinganya mendengar suara perlahan dan matanya yang terpejam seperti melihat cahaya putih berkelebat dan seketika perhatiannya terpecah dan kekuatan mujijat itu berhenti mengalir seperti air dibendung.
Ketika ia membuka matanya, ternyata di atas senjata Cakra itu terdapat setangkai bunga Cempaka Putih yang agaknya rontok dari pohon dan jatuh menimpa senjata Cakra sehingga mengganggu keheningan samadhinya dan terhentilah pengisian tenaga sakti ke dalam senjata itu.
Hal ini dianggapnya sebagai peringatan dari dewata bahwa pengapesan yang merupakan pantangan bagi senjata pusaka itu adalah setangkai bunga Cempaka Putih.
Dan sekarang, Bagus Seta memegang setangkai bunga Cempaka Putih yang mengeluarkan sinar gemilang!
Tangan Wasi Bagaspati yang memegang senjata Cakra menggigil ketika ia merasa betapa senjata pusakanya menggetar dan seperti seekor kelinci ketakutan yang berusaha untuk lari menyembunyikan dirinya.
Dia bukan seorang bodoh dan tanda-tanda seperti itu tak berani ia menerjangnya. Cepat ia menyimpan kembali senjatanya dan meloncat ke atas sambil membentak marah,
"Auuunggghh! Bagus Seta manusia keparat!"
Kemarahannya ini adalah ketika ia melihat tewasnya Sariwuni dan tujuh orang penari serta banyak anak buah di situ.
"Awaslah engkau, akan tiba saatnya engkau menyesali sikapmu memusuhi aku!"
"Aku tidak memusuhimu, Wasi Bagaspati,"
Jawab Bagus Seta akan tetapi tubuh Wasi Bagaspati sudah mencelat jauh, dalam sekejap mata saja sudah tak tampak lagi seolah-olah ditelan bumi. Bagus Seta menghela napas panjang, menyimpan bunga Cempaka Putih dan menengok. Ketika ia melihat betapa ayah dan kedua bundanya, juga dua pasang bibi dan pamannya mulai mengamuk di antara para anak buah lawan yang lari berserabutan dengan panik, ia lalu meloncat turun dan berkata halus,
"Kangjeng Rama, Ibu, Bibi, dan Paman! Harap menaruh kasihan kepada mereka."
Tujuh orang sakti itu tertegun mendengar suara halus Bagus Seta dan serentak mereka menghentikan amukan dan menghampiri Bagus Seta. Akan tetapi Endang Patibroto membantah,
"Puteraku sang sakti Bagus Seta. Mereka adalah anak buah musuh yang mengacaukan negara, sudah sepatutnya kalau dibunuh. Bukankah kita sedang berjuang?"
Bagus Seta tersenyum dan baru senyum ini saja sudah mengusir sebagian besar kemarahan dan kebencian dari hati Endang Patibroto terhadap musuhnya.
"Ibunda benar, perang membela nusa bangsa adalah perjuangan yang menjadi kewajiban setiap orang satria. Akan tetapi, perang menghadapi pihak yang melawan barulah namanya perjuangan, adapun membunuhi pihak yang tidak mampu melawan dan tidak mau melawan lagi namanya penyembelihan yang lahir dari nafsu kebencian. Membunuh dalam perjuangan sama sekali bebas daripada benci, sebaliknya membunuh dengan hati membenci bukanlah perjuangan namanya. Bedanya amat besar, Kanjeng Ibu."
Endang Patibroto melongo dan menghela napas panjang.
"Duhai puteraku, engkau membuka mata dan hatiku."
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ayu Candra sudah merangkul puteranya dan mengelus-"elus rambut kepala puteranya penuh kasih sayang. Tidak ada kata-kata keluar dari mulut ibu akan tetapi getaran yang keluar dari sentuhan jari -jari tangan, pancaran pandang mata yang keluar dari sepasang mata yang basah itu, merupakan pengganti kata-kata yang lebih menyentuh perasaan dan mengharukan hati Bagus Seta yang betapapun juga adalah seorang manusia biasa.
"Kanjeng Ibu........
"
Hanya demikian ia dapat berbisik sambil menciumi ujung jari Ibunya.
Dengan sudah payah Ayu Candra dapat juga berbisik.
"Puteraku........Bagus Seta, tahukah engkau betapa berat penderitaanku selama kautinggalkan dan betapa bahagia hati ini setelah kau kembali?"
Bagus Seta tersenyum dan menahan hatinya jangan sampai meruntuhkan air mata.
"Tentu saja, Kanjeng Ibu. Puteranda maklum......"
Terdengar isak tertahan dan ternyata Endang Patibroto, Pusporini, dan Setyaningsih sudah menangis, tidak tahan menyaksikan pertemuan antara ibu dan anak yang tidak dihias banyak kata-kata namun yang menyentuh perasaan menggugah keharuan itu. Terutama sekali Endang Patibroto yang teringat akan puterinya, Retno Wilis, hatinya nelangsa.
Tejolaksono waspada akan semua ini dan untuk membuyarkan suasana keharuan yang mencekam dan menular itu cepat berkata,
"Bagus Seta, bagaimana kesudahan pertandinganmu melawan Wasi Bagaspati? Ke manakah dia?"
Disebutnya nama ini benar saja membuat semua orang sadar dan perhatian mereka tertarik. Bahkan Ayu Candra sudah melepaskan rangkulannya untuk dapat lebih jelas memandang wajah ' puteranya dan mendengarkan jawabannya.
"Dia telah pergi........"
Jawab Bagus Seta.
Mereka lalu meninggalkan tempat itu untuk memberi kesempatan kepada sisa anak buah Sariwuni untuk mengubur para korban yang tewas dalam pertempuran itu.
Dalam pertemuan yang menggembirakan itu ramailah mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing, terutama sekali Bagus Seta dan Pusporini yang telah lama meninggalkan keluarga mereka.
Mereka bercakap-cakap di luar sebuah hutan di kaki gunung itu sambil menanti datangnya pagi karena malam telah mulai gelap setelah bulan purnama menyelam di barat. telah cukup mereka melepas rindu dan menceritakan pengalaman masing"masing, Tejolaksono lalu berkata,
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Pembakaran Kuil Thian Loksi Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo