Ceritasilat Novel Online

Nurseta Satria Karang Tirta 16


Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Bagian 16



Akan tetapi dengan gagah perkasa, dua orang senopati yang sudah tua ini terus melakukan perlawanan! Melihat Ini, Sang Prabu Erlangga terkejut dan marah. Tubuhnya melompat ke depan dan begitu kedua tangannya bergerak-gerak menyerang, hawa pukulan yang dahsyat sekali seperti badai menerjang pihak musuh.

   "Wuuuutttt... wessss... plak-plak....!"

   Tubuh Ratu Mayang Gupita yang tinggi besar itu terlempar ke belakang. Juga tubuh Bhagawan Kalamisani terlempar. Akan tetapi mereka berdua yang terbanting jatuh itu lalu bergulingan dan dapat berlompatan bangun, wajah mereka pucat dan mata mereka terbelalak. Mereka gentar sekali dan cepat menyelinap di antara para perajurit dan memberi aba-aba untuk mundur. Adapun tubuh Nagarodra dan Nagajaya terpelanting roboh dan tewas karena tenaga serangan mereka membalik dan memukul diri sendiri.

   Akan tetapi, walaupun pertempuran di bagian belakang ini juga dimenangkan pasukan Kahuripan dan pihak musuh melarikan diri, namun Kahuripan kehilangan dua orang senopatinya yang sudah tua dan setia, yaitu Senopati Sindukerta dan Tumenggung Jayatanu!

   Sementara itu, Narotama yang dibantu beberapa orang perwira juga mendesak lawan. Biarpun dia dikeroyok enam orang pimpinan pasukan Wura-wuri yang rata-rata sakti, namun Ki Patih Narotama yang mengamuk seperti banteng terluka karena teringat akan puteranya yang diculik musuh, akhirnya dapat merobohkan Tri Kala, yaitu Kala Muka, Kala Manik, dan Kala Teja. Melihat sepak terjang Ki Patih Narotama yang dahsyat itu, Dewi Durgakumala memberi tanda kepada suaminya, yaitu Adipati Bhismaprabhawa, untuk mundur. Sang Adipati, Dewi Durgakumala, dan Kl Gandarwo lalu melarikan diri, menyusup di antara para perajurit dan mereka juga bergerak mundur bersama sisa pasukan mereka. Ki Patih Narotama juga kehilangan enam orang perwira pembantunya karena mereka tadi mencoba untuk membantunya dan semua tewas di tangan Ratu Mayang Gupita dan Bhagawan Kalamisani.

   Sementara itu, Puspa Dewi yang dikeroyok oleh Ki Nagakumala, Lasmini, dan Mandarl, terdesak hebat. Tiga orang pengeroyoknya ini memang sakti mandraguna. Seandainya Puspa Dewi belum digembleng Maha Resi Satyadharma selama tiga bulan, kiranya tidak mungkin ia akan dapat menyelamatkan diri dari tekanan tiga orang pengeroyok itu. Gadis ini sungguh mengagumkan sekali. Selain kepandaiannya mencapai tingkat tinggi, juga ia memiliki semangat dan keberanian yang pantang mundur, la tetap bertahan dan pertahanannya seolah benteng baja yang sulit ditembus tiga orang pengeroyoknya.

   Akan tetapi, ayah kandungnya, Senopati Yudajaya, biarpun dibantu oleh beberapa orang perwira, tetap saja terdesak hebat oleh Ratu Durgamata. Tiga orang perwira yang membantunya telah roboh

   (Lanjut ke Jilid 18)

   Nurseta Satria Karang Tirta (seri ke 02 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 18

   dan tewas, sedangkan dia sendiri sudah terluka pundak kirinya sehingga baju dan kulit pundak terobek dan berdarah. Akan tetapi, perwira-perwira lain berdatangan membantunya sehingga biarpun dihimpit terus oleh Ratu Durgamala, Senopati Yudajaya masih dapat melakukan perlawanan. Apalagi pasukannya yang dua kali lebih besar dari pasukan Parang Siluman, dapat mendesak terus pihak musuh.

   Pada saat yang gawat itu, datang Ki Patih Narotama yang sudah memperoleh kemenangan dlsayap kanan dan dating membantu Senopati Yudajaya. Melihat datangnya Ki Patih Narotama, Ratu Durgamala menjadi terkejut dan gentar. Ia lalu melompat ke belakang memberi isarat kepada Ki Nagakumala, Lasmini, dan Mandari untuk mundur. Tiga orang ini yang belum juga mampu mengalahkan Puspa Dewi, juga merasa jerih melihat munculnya Ki Patih Narotama, apalagi melihat pasukan mereka mendapat tekanan pihak musuh. Mereka lalu melarikan diri ke dalam pasukan dan memerintahkan Pasukan Parang Siluman untuk mundur dan meninggalkan pertempuran.

   Demikianlah, semua pasukan Empat Kerajaan yang dibantu para penguasa daerah yang kecil-kecil, terpukul mundur dan sisa pasukan mereka melarikan diri kembali ke wilayah masing-masing, meninggalkan banyak korban yang tewas, terluka atau tertawan. Kerajaan Wengker kehilangan ayah kandung Dewi Mayangsari, yaitu Warok Surogeni, dan dua orang saudara seperguruannya, Warok Wirobento dan Warok Wirobandrek. Tiga orang ini tewas dan masih ada

   belasan orang perwira dan sedikitnya tiga ribu orang perajurit tewas atau tertawan. Kerajaan Wura-wuri juga kehilangan Tri Kala yang tewas, dan hampir empat ribu orang perajurit dan perwira tewas atau tertawan. Kerajaan Parang Siluman kehilangan Bhagawan Kundolomuko, bekas suami Ratu Durgamala dan ayah kandung Lasmini dan Mandari.

   Bhagawan Kundolomuko tidak diketahui ke mana perginya, mungkin merasa malu atas kekalahannya dan melarikan diri. Selain itu, juga ada tiga ribu orang perajurit tewas atau tertawan. Sedangkan Kerajaan Siluman Laut Kidul, kematian Nagarodra dan Nagajaya, juga beberapa orang perwira dan tiga ribu perajurit yang tewas atau tertawan.

   Akan tetapi, dalam pertempuran mati-matian, perang campuh itu, Kerajaan Kahuripan juga menderita kerugian yang cukup banyak. Tidak kurang dari delapan ribu perajurit tewas dan terluka, juga ada dua puluhan orang lebih perwira tewas. Selain itu, yang membuat para pemimpin berkabung dan berduka adalah tewasnya Senopati Sindukerta dan Tumenggung Jayatanu. Selain itu, wabah penyakit masih merajalela dan sedang ditanggulangi oleh Empu Kanwa. Kini ditambah lagi mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan dan yang ribuan orang banyaknya, mengurus mereka yang terluka dan membutuhkan perawatan. Pendeknya, biarpun memperoleh kemenangan dalam perang dan berhasil mengusir musuh, namun Kerajaan Kahuripan tetap saja sedang dilanda musibah besar-besaran. Lebih-lebih lagi karena putera Ki Patih Narotama hilang diculik orang dan Pusaka Cupu Manik Maya sebagai lambang kebesaran kerajaan juga hilang dicuri orang.

   Para perajurit Kahuripan kini sibuk mengurus para jenazah korban perang, baik kawan maupun lawan. Juga merawat yang terluka. Memang sikap pengampun ini yang ditekankan Sang Prabu Erlangga kepada mereka yang memusuhinya. Yang tewas dikuburkan sebagaimana mestinya, yang luka dirawat dan yang tertawan dibebaskan kembali sehingga selanjutnya mereka yang diperlakukan dengan baik dan dibebaskan itu tidak mau lagi menjadi anggauta pasukan yang dipergunakan untuk memusuhi Kerajaan Kahuripan.

   Di rumah keluarga Senopati Sindukerta semua anggauta keluarga berkabung. Ki Dharmaguna dan Endang Sawitri, ayah ibu Nurseta merasa sedih sekali karena Senopati Sindukerta gugur dalam perang tanpa mendapat bantuan putera mereka. Mereka tidak tahu di mana adanya Nurseta sekarang dan merasa menyesal bahwa Nureta tidak membantu ketika Kahuripan diserang musuh sehingga Senopati Sindukerta gugur. Juga keluarga Tumenggung Jayatanu berkabung. Untung luka di pundak yang diderita Senopati Yudajaya tidaklah parah. Senopati Yudajaya dan dua orang isterinya, Nyi Lasmi dan Dyah Mularsih bersama Nyi Tumenggung dan semua keluarga, berduka atas gugurnya Tumenggung Jayatanu. Akan tetapi yang paling merasa menyesal adalah Puspa Dewi. Ia merasa menyesal bahwa ia tidak berhasil menemukan adiknya, Niken Harni, dan tidak berhasil pula melindungi kakeknya dalam perang karena mereka berpisah dengan pasukan masing-masing. Kalau mendiang Tumenggung Jayatanu memimpin pasukan bagian belakang bersama mendiang Senopati Sindukerta dan Senopati Wiradana, Puspa Dewi memimpin pasukan di sayap kiri.

   Keluarga Senopati Sindukerta dan keluarga Tumenggung Jayatanu saling mengunjungi, saling menyatakan ikut berbelasungkawa, saling menghibur. Biarpun ia merupakan anggauta keluarga yang paling muda, tetapi justru Puspa Dewi yang menghibur para anggauta kedua keluarga itu! Mereka sedang berkumpul karena keluarga Sindukerta sedang dating berkunjung ke rumah keluarga Jayatanu.

   "Saya harap Andika sekalian dapat menerima kenyataan ini dan tidak larut dalam kedukaan. Bagaimanapun juga, kita patut berbangga dan bersukur bahwa Eyang Senopati Sindukerta dan Eyang Tumenggung yatanu gugur sebagai satria-satria utama, gugur dalam membela negara, tewas secara gagah perkasa. Kita sepatutnya Ingat bahwa bukan eyang berdua saja yang berkorban nyawa dalam membela negara, melainkan ada ribuan orang perwira dan perajurit yang juga gugur sebagai pahlawan bunga bangsa."

   Ucapan dara perkasa yang penuh semangat itu banyak menolong dan menghibur hati para keluarga yang merasa kehilangan dan berduka. Dalam kesempatan selagi anggauta kedua keluarga itu berkumpul, Puspa Dewi yang teringat akan wejangan Maha Resi Satyadharma tentang kedukaan, lalu berkata dengan hati-hati kepada para orang tua yang hadir.

   "Apa yang akan saya katakan ini sama sekali bukan gagasan saya sendiri. Saya hanya mengulang apa yang diwejangkan Eyang Resi Satyadharma kepada saya. Bahwa perasaan yang kita alami saat ini, yaitu duka hanyalah menjadi saudara kembar atau keimbalbalikan dari suka. Suka dan duka tak terpisahkan seperti telapak dan punggung sebuah tangan. Tak pernah muncul bersama di permukaan, namun tak pernah terpisah dan bermunculan secara bergantian dalami kehidupan kita. Seperti tawa dan tangisi tidak pernah muncul berbarengan, namun tak terpisahkan, muncul dari mulut dan sama-sama mengeluarkan air mata. Tidak akan ada duka kalau tidak ada suka, dan sebaliknya. Baik suka maupun duka terbentuk oleh pikiran yang mengaku-aku sebagai sang aku. Kalau sang aku dirugikan timbullah duka, kalau diuntungkan timbullah suka. Maka, suka duka bukan timbuj karena peristiwa yang terjadi, melainkan bagaimana pikiran menerimanya. Tanggapan pikiran terhadap peristiwa yang terjadi dan menimpa kita itulah yang menimbulkan suka atau duka. Begitu pikiran tidak bekerja, dalam tidur misalnya, maka rasa suka ataupun duka itu pun lenyap."

   "Jagad Dewa Bathara...!"

   Ki Dharmaguna berkata dan memandang kagum kepada Puspa Dewi.

   "Wejangan Paman Maha Resi Satyadharma itu sungguh tak dapat disangkal kebenarannya. Apakah itu berarti bahwa kita tidak boleh berduka kalau tertimpa musibah, misalnya kematian orang yang kita kasihi seperti sekarang ini, Puspa Dewi?"

   Puspa Dewi tersenyum.

   "Untung sekali, Paman Dharmaguna, dahulu saya pun bertanya seperti itu kepada Eyang Resi Satyadharma sehingga sekarang saya dapat menjawab pertanyaan Paman itu, sesuai dengan jawaban Eyang Resi waktu itu. Begini, Paman, menurut Eyang Resi, segala macam masalah, segala macam emosi, timbul dari nafsu-nafsu daya rendah yang menguasai pikiran, membentuk sang aku. Kita manusia tidak mungkin dapat membebaskan diri sendiri dari pengaruh nafsu. Adalah manusiawi kalau kita masih terkadang merasa bersuka atau berduka. Kita tidak mungkin mematikan nafsu. Akan tetapi kalau kita sudah mengerti bahwa suka dan duka hanya permainan sang aku dalam pikiran, maka kita tidak terlalu tenggelam dalam suka maupun duka. Kita tidak menjadi budak permainan segala nafsu daya rendah yang berada dalam diri kita sendiri."

   "Wah, Puspa Dewi, kata-katamu mengingatkan aku akan ucapan anakku Nurseta. Pernah dia bicara senada dengan apa yang kau katakan tadi dan dia menekankan bahwa dalam segala keadaan, baik keadaan itu menguntungkan atau merugikan, menyenangkan atau menyusahkan, kita sepatutnya bersukur kepada Sang Hyang Widhi dan senantiasa mendasari semua perbuatan kita dengan penyerahan diri kepada Nya. Karena, menurut dia, hanya Sang Hyang Widhi yang mampu menundukkan nafsu-nafsu kita sehingga menjadi alat dan hamba kita, bukan memperalat dan memperhamba kita."

   Puspa Dewi tersenyum dan mengangguk.

   "Saya mengenal... Kakangmas Nurseta, Bibi Endang Sawitri, dan saya tahu bahwa dia memang seorang sakti mandraguna yang bijaksana."

   Dengan adanya percakapan seperti itu, dua keluarga itu merasa terhibur dan tidak membiarkan diri terlalu disiksa perasaan sendiri karena kematian Senopati Sindukerta dan Tumenggung Jayatanu.

   Sang Prabu Erlangga merasa prihatin sekali. Hatinya sedih melihat demikian banyaknya manusia terbantai, tewas dalam perang campuh itu. Dia bukan hanya menyedihi kematian banyak perajuritnya, melainkan juga kematian para perajurit kerajaan-kerajaan yang memusuhi Kahuripan dan melakukan penyerangan.

   Empu Kanwa yang dibantu Empu Bharada dapat mengurangi jumlah korban wabah penyakit dan berhasil menyingkirkan wabah itu. Akan tetapi wajah Sang Prabu Erlangga masih murung ketika dia mengadakan persidangan dengan para pembantunya. Yang hadir dalam persidangan itu adalah Ki Patih Narotama yang juga berwajah muram, Empu Bharada, Empu Kanwa, Senopati Wiradana, beberapa orang perwira tinggi dan tidak ketinggalan Bancak dan Doyok, dua orang abdi kinaslh (hamba tersayang) Sang Prabu Erlangga.

   Setelah mendengar laporan lengkap tentang keadaan kota raja sehabis perang, Sang Prabu Erlangga lalu minta nasihat Empu Bharada yang dianggap sebagai pinisepuh (tua-tua) dan penasihat, apa yang sebaiknya harus dilakukan pemerintahannya.

   "Paman Empu, kami sungguh merasa ragu apa yang harus kita lakukan terhadap empat kerajaan yang selalu memusuhi kita, bahkan telah memusuhi nenek moyang kita sejak jaman Mataram dahulu."

   "Puteranda Kanjeng Sinuwun, sebetulnya sudah berulang-ulang Paduka melakukan pendekatan dalam usaha untuk mengajak mereka hidup damai, bahkan Paduka sudah bertindak demikian jauh bersama Ki Patih Narotama mengawini puteri-puteri Wura-wuri. Akan tetapi semua itu gagal karena memang pada dasarnya mereka itu menaruh dendam kebencian kepada Paduka dan Kerajaan Kahuripan. Sudah beberapa kali mereka menggunakan kekerasan untuk menyerang dan membasmi Kahuripan, baik sendiri-sendiri maupun bergabung dengan pemberontak seperti yang dilakukan mereka beberapa tahun yang lalu. Berkali-kali mereka dipukul mundur, akan tetapi mereka bahkan semakin nekat dan yang terakhir ini mereka bergabung dan menyerang sehingga biarpun mereka berhasil dipukul mundur, namun perang itu menewaskan ribuan orang manusia. Kalau dibiarkan lebih lanjut, saya kita mereka tidak akan pernah merasa jera dan kalau mereka sudah dapat menyusun kembali kekuatan mereka, tentu mereka akan melakukan kekacauan dan penyerangan lagi. Oleh karena itu, sekaranglah saatnya Paduka bertindak, Sinuwun. Selagi mereka masih rapuh karena kekalahan mereka, sebelum mereka dapat bersatu kembali, Paduka kirim bala tentara untuk menyerang dan menundukan mereka satu demi satu. Mereka sedang dalam keadaan lemah, tentu tidak dapat melawan dengan gigih sehingga Paduka dapat menaklukkan mereka satu demi satu tanpa harus banyak menjatuhkan korban. Kalau mereka sudah ditundukkan dan ditaklukkan, tentu keadaan menjadi aman dan tidak akan terjadi bentrokan lagi. Demikianlah, Sinuwun, yang dapat saya usulkan."

   "Terima kasih, Paman Empu Bharada. Bagaimana pendapat Andika sekalian, para senopati dan perwira?"

   Para senopati dan perwira mengangguk-angguk menyatakan persetujuan mereka dan Senopati Wiradana yang tertua di antara para panglima, mewakili mereka dan berkata,

   "Usul itu sungguh tepat dan baik sekali, Gusti Sinuwun. Hamba kira kami semua menyetujui karena hal itu merupakan jalan terbaik."

   Melihat Ki Patih Narotama hanya menundukkan muka dan diam saja, Sang Prabu Erlangga bertanya,

   "Bagaimana menurut pendapatmu, Kakang Patih Narotama?"

   Narotama mengangkat mukanya yang agak pucat dan muram karena selama beberapa malam ini dia tidak dapat tidur.

   "Gusti Sinuwun, apa yang diusulkan Paman Empu Bharada sungguh baik dan tepat sekali, akan tetapi kalau sekiranya Paduka mengijinkan, hamba mohon agar penyerangan ditunda beberapa hari lamanya untuk memberi kesempatan kepada hamba mencari dan menyelamatkan anak hamba Joko Pekik Satiabudhi. Kalau sekarang Paduka mengerahkan pasukan menyerang, hamba khawatir mereka akan membunuh Joko Pekik."

   Sang Prabu Erlangga menghela napas panjang dan mengerutkan alisnya "Aduh, maafkan kami, Kakang Patih! Kami terlalu prihatin melihat keadaan negara sehingga sampai lupa akan penderitaan kehilangan puteramu Joko Pekik Satyabudhi. Tentu saja, Kakang Patih, tentu saja kami akan menunda penyerangan itu dan memberi kesempatan kepada Andika untuk menemukan kembali Joko Pekik!"

   "Beribu terima kasih hamba haturkan kepada Paduka, Gusti, dan mohon beribu ampun bahwa hamba seolah lebih mementingkan urusan pribadi daripada urusan negara."

   "Ah, tidak, Kakang. Andika tidak salah. Memang seharusnya Joko Pekik diselamatkan lebih dulu, baru kita mengadakan serangan dan gerakan pembersihan agar mereka tidak mengganggu kita lagi."

   "Terima kasih, Gusti Hamba akan mencari Joko Pekik dan juga akan menyelidiki siapa yang telah mencuri Pusaka Cupu Manik Maya. Hamba mohon ijin berangkat hari ini juga, Gusti."

   "Baiklah, Kakang Patih. Berangkatlah dan doaku mengikutimu. Yang penting selamatkan dulu Joko Pekik. Soal Cupu Manik Maya dapat dicari kemudian."

   Ki Patih Narotama memberi hormat dan pamit pula pada para senopati yang hadir di situ, mohon doa restu dari Empu Bharada dan Empu Kanwa. Kemudian dia meninggalkan istana. Diantar tangis Listyarini yang merasa amat gelisah memikirkan puteranya yang hilang diculik orang, Ki Patih Narotama berangkat meninggalkan Kahuripan. Seperti biasa, kalau sedang melakukan perjalanan, apalagi untuk urusan pribadi, Narotama lebih suka berpakaian seperti seorang penduduk biasa. Dia menunggang seekor kuda lalu membalapkan kudanya, langsung saja dia menuju ke Kerajaan Parang Siluman karena dia menduga bahwa puteranya pasti diculik oleh Lasmini, atau setidaknya Lasmini berada di belakang peristiwa penculikan itu. Yang masih membesarkan hatinya adalah bahwa puteranya itu hilang diculik. Itu berarti bahwa Joko Pekik tidak dibunuh dan masih hidup. Kalau Si Penculik ingin membunuhnya, tentu sudah dilakukannya malam itu. Untuk apa susah-susah menculiknya kalau hanya untuk dibunuh? Dugaan ini membesarkan hatinya dan menimbukan keyakinan bahwa puteranya itu tentu masih hidup!

   Dengan melakukan perjalanan cepat siang malam, hanya berhenti kalau kudanya sudah terlalu lelah, pada suatu hari Ki Patih Narotama telah tiba ditapal batas Kerajaan Parang Siluman. Sudah beberapa kali dia berkunjung ke tempat tinggal Lasmini, bekas selirnya tercinta itu, maka dia sudah hafal dan mengenal jalan. Setelah tiba di tapai batas, dia langsung saja menuju ke kota Kadipaten. Penduduk Parang Siluman yang bertemu dengan Narotama di tengah jalan sama sekali tidak mempedulikannya karena mereka tidak mengenalnya dan menganggap dia seorang penduduk biasa. Rakyat Parang Siluman hanya mengenal nama Ki Patih Narotama, jarang ada yang pernah melihat orangnya. Akan tetapi, begitu ada perajurit melihat dan mengenalnya, berita tentang munculnya Ki Patih Narotama di Parang Siluman tersiar luas dan tentu saja menimbulkan kegemparan. Tidak ada perajurit berani menghadang atau mengganggunya. Ketika berita itu memasuki istana Parang Siluman, Ratu Durgamala segera mengadakan perundingan dengan kedua orang puterinya, Lasmini dan Mandari, dihadiri pula oleh Ki Nagakumala dan beberapa orang senopati Parang Siluman.

   Sang Ratu Durgamala yang masih merasa berduka dan marah karena kegagalan usaha gabungan empat kerajaan untuk menjatuhkan Kahuripan, bahkan Parang Siluman kehilangan Bhagawan Kundolomuko, bekas suaminya yang merupakan orang andalan di Parang Siluman, dan kehilangan ribuan orang perajurit, ketika mendengar berita bahwa Ki Patih Narotama datang seorang diri di Parang Siluman, lalu berkata dengan muka merah dan kedua tangan terkepal.

   "Kita kerahkan seluruh tenaga dan bunuh Si Keparat Narotama itu! Kita kepung dia, jangan sampai lolos! Mustahil dia akan mampu mengalahkan pengeroyokan ribuan orang perajurit!"

   "Nanti dulu, Kanjeng Ibu!"

   Kata Lasmini.

   "Saya mempunyai gagasan yang lebih baik. Ki Patih Narotama adalah seorang yang sakti mandraguna. Kalau kita menggunakan kekerasan, mungkin dia akan dapat dibunuh, akan tetapi tentu akan banyak sekali orang kita yang terbunuh oleh amukannya. Pula, kalau dia mati, apa gunanya bagi kita? Kahuripan akan tetap berdiri kokoh."

   "Wah, Mbakayu Lasmini agaknya masih cinta dan saying kepada Ki Patih Narotama maka hendak menghalangi kalau dia dibunuh!"

   Kata Mandari.

   "Hemm, dia memang seorang pria yang patut digandrungi setiap orang wanita. Akan tetapi bukan Itu maksudku. Daripada mengeroyok dan membunuhnya dengan mengorbankan banyak orang kita, lebih baik kita manfaatkan Ki Patih Narotama untuk menjamin keselamatan Parang Siluman."

   "MENJAMIN keselamatan kita? Apa maksudmu, Lasmini?"

   Tanya Ratu Durgakumala.

   "Begini, Kanjeng Ibu. Seperti sudah saya ceritakan, saya dan bibi Dewi Durgakumala berhasil menculik putera Ki patih Narotarna, yaitu Joko Pekik Satyabudhi yang kini dibawa ke Wura-wuri oleh Kanjeng Bibi Durgakumala. Tadinya saya hendak membunuh anak itu, akan tetapi Kanjeng Bibi Dewi Durgakumala melarang dan mengatakan bahwa lebih baik anak itu dijadikan sandera, dan anak itu lalu dibawanya ke Wura-wuri. Sekarang, siasatnya itu benar dan dapat kita pergunakan untuk menundukkan Ki Patih Narotarna.

   "Bagaimana siasat itu?"

   Ratu Durgamala bertanya tertarik.

   "Ki Patih Narotarna datang seorang diri ke sini tentu ada hubungannya dengar kehilangan puteranya. Mungkin dia dapat menduga bahwa saya yang menculik Joko Pekik Satyabudhi, maka dia datang kesini untuk minta kembali puteranya. Nah kalau dia datang, saya akan mengancam untuk membunuh Joko Pekik kalau dia membuat ulah. Saya akan memaksa dia berjanji untuk melindungi Parang Siluman dari serangan Kahuripan dengan imbalan puteranya tidak akan kita bunuh dan kelak kita kembalikan kepadanya. Nah bukankah gagasan ini jauh lebih menguntungkan daripada membunuhnya dan kita kehilangan banyak sekali perajurit, bahkan ada bahayanya dia akan dapat meloloskan diri? Ingat, Kanjeng Ibu, Ki Patih Narotarna itu sakti mandraguna dan memiliki Aji Panglimunan yang membuat dia mudah meloloskan diri."

   Semua orang tertegun mendengar gagasan yang dikemukakan Lasmini itu. Mereka tahu bahwa Aji Panglimunan membuat orang dapat menghilang dan mudah untuk melarikan diri. Kalau Bhagawan Kundolomuko masih ada, mungkin pendeta itu dapat membuyarkan Aji Panglimunan itu. Akan tetapi dia sudah tidak ada dan kalau benar Ki Patih Narotarna mempergunakan ajian itu, akan sulitlah bagi mereka untuk dapat menangkapnya atau membunuhnya.

   "Apa yang dikemukakan Ni Lasmini itu benar sekali."

   Kata Ki Nagakumala, kakak dari Ratu Durgamala.

   "Kukira, setelah usaha serangan kita bersama tiga kerajaan lain terhadap Kahuripan gagal, Sang Prabu Erlangga pasti tidak akan tinggal diam dan akan mengirim pasukannya untuk menyerang balik dan menundukkan kita. Dengan bergabung saja kita tidak mampu mengalahkan Kahuripan, apalagi kalau pasukan Kahuripan menyerbu ke sini, bagaimana mungkin kita akan dapat mempertahankan diri? Maka, gagasan Ni Lasmini tadi tepat sekali. Kita ancam Ki Patih Narotarna bahwa kalau dia mengamuk dan tidak mau menjamin agar Kahuripan tidak menyerang dan menaklukkan Parang Siluman, kita akan bunuh puteranya itu!"

   Ratu Durgamala mengangguk-angguk.

   "Agaknya memang itu merupakan siasat terbaik, Kakang Nagakumala. Akan tetapi siapa yang akan menghadapi Ki Patih Narotama dan bicara dengan dia? Dia berbahaya sekali, tangan dan kakinya dapat menyebar maut yang mengerikan!"

   "Jangan khawatir, Kanjeng Ibu. Saya yang akan menghadapi dan bicara dengannya. Saya yakin bahwa Ki Patih Narotama tidak akan tega membunuh saya. Saya yakin dia masih mempunyai perasaan sayang kepada saya."

   Demikianlah, rapat kilat itu memutuskan agar Lasmini yang akan menghadapi Ki Patih Narotama, sementara itu yang lain akan mempersiapkan diri, menyiapkan pula pasukan, untuk mengepung dan mengeroyok kalau Ki Patih Narotama yang ditakuti itu akan mengamuk. Sementara itu, Lasmini minta bantuan uwanya, juga gurunya, Ki Nagakumala untuk mengambil dan "meminjam"

   Joko Pekik Satyabudhi. Menurut persetujuan antara Lasmini dan Permaisuri Wura-wuri, Dewi Durgakumala, putera Ki Patih Narotama itu disembunyikan disebuah tempat, yaitu di dalam Dusun Ketanggungan yang terletak di perbatasan utara Kerajaan Parang Siluman dan Kerajaan Wura-wuri, dalam asuhan seorang biyung emban (inang pengasuh) yang setia dan dipercaya dari Kerajaan Wura-wuri, dan dijaga oleh dua orang perwira dan diawasi oleh Senopati Gandarwo sendiri yang kadang-kadang datang ke Dusun Ketanggungan untuk melihat keadaan anak itu. Ki Nagakumala lalu cepat berangkat ke Dusun Ketanggungan untuk "meminjam"

   Anak itu agar dapat dipergunakan untuk mengancam dan memaksa Ki Patih Narotama menurut keinginan Lasmini.

   Saat yang ditunggu-tunggu dengan jantung berdebar penuh ketegangan oleh para pimpinan Parang Siluman itu akhirnya tiba. Pagi hari itu udara amat cerah, matahari bersinar lembut dan terang. Derap kaki seekor kuda memecah kesunyian di halaman istana Parang Siluman yang berupa sebuah alun-alun yang luas itu. Narotama menjalankan kudanya dengan congklang, melintasi alun-alun menuju ke istana. Di depan istana, Narotama melompat turun dari atas pelana kudanya dan menambatkan kendali kuda pada sebatang pohon sawo kecik yang tumbuh di situ. Dia tidak heran melihat suasana lengang di depan Istana. Dia dapat menduga bahwa tentu Lasmini dan para pimpinan Parang Siluman sudah tahu akan kedatangannya dan sudah siap menyambutnya, entah dengan cara bagaimana. Kesepian alun-alun dan halaman kraton (istana) itu tentu merupakan siasat mereka, pikirnya. Kalau belum diatur sebelumnya, tidak mungkin istana tidak dijaga seorang pun perajurit! Perasaannya yang peka, pendengaran dan penglihatannya yang tajam membuat dia tahu bahwa sekeliling tempat itu sudah terkepung banyak sekali orang yang masih bersembunyi! Maka setelah menambatkan kudanya, Narotama melangkah ke depan pendapa istana Parang Siluman, lalu mengerahkan tenaga saktinya berseru sehingga suaranya melengking nyaring sekail sampai dapat terdengar dari seluruh bagian dalam istana itu!

   "Haiii! Para penguasa di Parang Siluman! Keluarlah, tidak perlu sembunyi. Aku, Narotarma, ingin bicara dengan Andika sekalian!"

   Dari dalam istana muncullah Ni Lasmini yang cantik jelita. Wanita ini mengenakan pakaian baru dengan perhiasan yang serba indah, wajahnya segar dan rambutnya disisir dan digelung rapi, wajahnya dirias sehingga tampak cantik berseri seperti seorang mempelai wanita hendak menyambut suaminya, sang mempelai pria!

   Langkahnya seperti harimau kelaparan, dengan lenggang lenggok lemah gemulai dan lentur seperti menari. Sedetik muncul perasaan rikuh juga dalam hati Narotama karena dia sendiri berpakaian seperti seorang dusun. Harus diakui bahwa wanita yang berwajah amat jelita dengan tubuh yang indah menggairahkan itu memiliki daya tarik yang luar biasa dan begitu dia mengenangkan kehidupan antara mereka dahulu, bangkit gairah berahinya. Akan tetapi segera dia dapat menekannya dan menatap wanita yang melangkah maju dengan senyum manis itu dengan tenang.

   Setelah tiba di depan Narotama, dalam jarak sekitar tiga tombak, di luar pendapa istana, masih di halaman, Lasmini mengangkat tangan kirinya ke atas dan Narotama mendengar gerakan orang-orang di sekitarnya. Ketika dia menoleh tampaklah banyak sekali perajurit telah mengepung tempat itu, siap dengan senjata lengkap. Mungkin tidak kurang dari seribu orang yang berlapis-lapis mengepung alun-alun kraton Parang Siluman itu!

   Narotama tersenyum.

   "Hemm, Lasmini, apa maumu dengan penyambutan seperti ini? Apa kau kira aku akan gentar menghadapi pengepungan semacam ini?"

   Lasmini tersenyum manis.

   "Kakangmas Narotama, ingatlah bahwa sekarang kita berhadapan sebagai pemilik rumah dan tamunya. Aku pemilik rumah dan engkau tamunya. Sebaiknya pertanyaanmu itu dikembalikan kepadamu. Apa maumu datang berkunjung ke sini?"

   "Lasmini, sebenarnya, tanpa bertanyapun engkau pasti sudah tahu apa mauku datang berkunjung ke sini. Akan tetapi karena engkau bertanya, baiklah aku akan menjawab. Engkau telah menculik puteraku, Joko Pekik Satyabudhi. Anak kecil berusia satu setengah tahun itu tidak tahu apa-apa, tidak bersalah apapun terhadap dirimu, dan tidak ada sangkut pautnya dengan urusan permusuhan antara kerajaan! Aku datang untuk minta kepadamu dan para penguasa di Parang Siluman. Kembalikanlah puteraku Joko Pekik Satyabudhi kepadaku!"

   Lasmini yang cerdik merasa tidak perlu lagi menyangkal.

   "Kakangmas Narotama, bagaimana kalau tidak kami kembalikan?"

   Sepasang alis itu berkerut, sepasang mata mencorong mengeluarkan cahaya berkilat. Suaranya terdengar menggetar ketika Narotarna berkata.

   "Kalau sampai puteraku dibunuh...!"

   Dia lalu mengeluarkan suara gerengan yang demikian dahsyatnya sehingga mengguncang seluruh istana Parang Siluman, bahkan banyak perajurlt yang berdiri paling depan terpelanting. Lasmini sendiri melangkah mundur beberapa kali karena tidak tahan menghadapi getaran teriakan itu. Narotama menghentikan gerengannya dan berkata.

   "Kalau Joko Pekik Satyabudhi dibunuh, aku bersumpah akan melumatkan seluruh Parang Siluman, tidak ada yang kubiarkan hidup!!"

   Wajah Lasmini agak pucat. Belum pernah ia, selama menjadi selir terkasih patih itu, melihat Narotama marah sehebat itu. Akan tetapi ia tersenyum manis.

   "Kakangmas Narotama, siapa yang tega membunuh puteramu yang mungil itu? Jangan khawatir, Kakangmas, Joko Pekik Satyabudhi berada dalam keadaan sehat dan terawat baik-baik."

   Kemudian suara Lasmini berubah, ketus dan penuh ancaman.

   "Akan tetapi, kalau engkau membuat ulah dan tidak mau memenuhi syarat yang kami ajukan, kami pasti akan membunuhnya sebelum engkau sempat melakukan sesuatu!"

   Narotama mengenal benar siapa Lasmini. Wanita cantik jelita dengan daya tarik yang dapat meluluhkan hati setiap orang pria ini amat cerdik dan dia tahu bahwa dalam keadaan seperti itu, Lasmini pasti tidak akan berani mengeluarkan gertakan kosong belaka.

   "Buktikan dulu bahwa dia berada dalam keadaan baik-baik dan sehat, baru kita bicara."

   Katanya tegas.

   Lasmini mengangguk dan tersenyum, lalu menoleh ke belakang, ke arah menara di atas pintu gerbang pendapa dan memberi isyarat dengan lambaian tangan. Karena memang sudah diatur sebelumnya, ketika Narotama memandang kearah menara, tampak muncul seorang biyung emban memondong seorang anak laki-laki berusia satu setengah tahun, didampingi oleh seorang kakek berusia lima puluhan tahun, berkumis lebat melintang dan bersikap gagah.

   Narotama mengenal anak itu yang bukan lain adalah puteranya, Joko Pekik Satyabudhi, dan mengenal pula kakek itu yang terkenal sakti, yaitu Ki Nagakumala, uwa dan juga guru Lasmini dan Mandari. Ki Nagakumala berbisik kepada biyung emban yang mengangkat anak itu ke atas dan menuding ke bawah.

   Joko Pekik Satyabudhi baru berusia satu setengah tahun, melihat banyak orang di bawah menara dia jadi gembira, tertawa-tawa dan melambaikan tangan. Melihat ini, jantung Narotarna seperti ditusuk, akan tetapi dia menenangkan diri. Sudah terbukti bahwa puteranya memang berada dalam keadaan sehat, bahkan dari sikap anak yang tertawa-tawa itu dia tahu bahwa puteranya diperlakukan dengan baik. Dia pun tahu bahva tidak ada gunanya kalau dia mencoba untuk merampas anak itu. Sebelum ia melakukan sesuatu, Ki Nagakumala yang sakti itu tentu akan dengan mudah lebih dulu membunuh Joko Pekik!

   Setelah memberi kesempatan ayah itu melihat keadaan anaknya, Lasmini memberi isyarat dengan tangannya ke atas dan Ki Nagakumala mengiringkan biyung emban yang memondong Joko Pekik itu menghilang lagi ke dalam menara.

   "Nah, Kakangmas Narotarna, engkau lihat sendiri bahwa aku tidak berbohong. Puteramu berada dalam keadaan baik-baik dan sehat. Kami akan merawatnya dengan baik selama engkau memenuhi persyaratan kami."

   "Katakan apa syaratmu!"

   Kata Ki Patih Narotama singkat.

   "Akan tetapi awas jangan minta aku berkhianat dan memusuhi Sang Prabu Erlangga! Aku rela mengorbankan anakku dan diriku untuk membelanya, dan anakku akan mati bersama kalian semua. Tidak ada seorang pun dari kalian akan terlepas dari pembalasan kalau kalian membunuh anakku!"

   "Tenang dan sabarlah, Kakangmas Narotama yang ganteng! Kami hanya minta agar engkau menjamin bahwa Kahuripan tidak akan menyerang dan menaklukkan Parang Siluman. Kalau sampai kami diserang Kahuripan, terpaksa anakmu akan kami bunuh dan menghadapi segala akibatnya."

   "Hemm, bagaimana kalau aku dapat mengusahakan agar Parang Siluman tidak sampai diserang oleh Kahuripan?"

   "Kami akan merawat Joko Pekik secara baik-baik dan menjamin keselamatannyal"

   "Lasmini, aku sudah mengenal kelicikanmu! Janjimu tidak dapat kupercaya. Sampai kapan engkau akan menahan anakku?"

   "Begini, Kakangmas Narotarna! Engkau boleh tidak percaya padaku, akan tetapi aku percaya padamu. Karena itu, untuk sementara kami akan merawat puteramu Joko Pekik dan selama Kahuripan tidak menyerang Parang Siluman, puteramu dijamin keselamatannya. Setelah lewat lima tahun dan Kahuripan sama kali tidak mengganggu kami, Joko Pekik Satyabudhi akan kami kembalikan kepadamu dalam keadaan sehat dan selamat. Sekarang terserah kepadamu keputusan apa yang kau pilih. Puteramu selamat dan kami pun selamat, atau kita sama-sama hancur binasa berikut puteramu!"

   Narotarna menghela napas panjang. Terbayang olehnya betapa akan hancur hati Listyarini kalau sampai putera mereka itu terbunuh! Dan bagaimanapun juga, dia masih sangsi apakah dia benar-benar akan tega mengamuk dan membunuhi semua orang di Parang Siluman. Dia merasa kaki tangannya diikat oleh Lasmini yang cerdik itu. Bagaimanapun juga Lasmini ternyata dapat menyelami hatinya dan tidak minta agar dia memusuhi Sang Prabu Erlangga, hal yang tidak mungkin dia lakukan, biarpun harus berkorban segalanya.

   "Baiklah, Lasmini, kita lihat saja siapa di antara kita yang melanggar janji. Akan tetapi tentu saja Parang Siluman juga tidak boleh mengacau dan mengganggu daerah Kahuripan lagi."

   "Tentu saja, Kakangmas."

   "Awas orang-orang Parang Siluman pegang janjimu dan jangan ganggu puteraku Joko Pekik Satyabudhi!"

   Narotama berteriak lantang, dan tiba-tiba tubuhnya lenyap, menjadi kabut karena dia telah mengerahkan Aji Pangllmunan! Tentu saja Lasmini cepat memberi isyarat kepada semua orang untuk waspada dan terutama sekali Ki Nagakumala menjaga Joko Pekik dengan ketat dan berlapis agar jangan sampai kecolongan oleh Narotama. Akan tetapi, Narotama adalah seorang satria yang teguh memegang janjinya. Bagi dia, melanggar janji berarti menghancurkan kehormatan diri dan merupakan pantangan yang hina baginya. Dia pulang dan menceritakan semua pengalamannya kepada Llstyarlnl, lalu menghibur isterinya tercinta itu.

   "Tenang dan bersabarlah, Diajeng. Percayalah bahwa Sang Hyang Widhi akan selalu Melindungi anak kita dan nanti pasti ada jalan untuk mengembalikan Joko Pekik ke pangkuanmu tanpa harus melanggar janjiku kepada Parang Siluman."

   Setelah menghibur isterinya, Ki Patih Narotama lalu menghadap Sang Prabu Erlangga.

   "Bagaimana hasil pencarianmu, Kakang Patih Narotama? Sudahkah Andika berhasil menemukan puteramu?"

   Narotama mengangguk dan menyembah.

   "Mendapat pangestu (restu) Paduka, hamba telah melihat Joko Pekik dan dia berada dalam keadaan sehat dan selamat di Parang Siluman, Sinuwun."

   "Tapi, mengapa tidak Andika bawa pulang?"

   "Belum bisa, Sinuwun, Anak itu dijaga ketat sehingga belum mungkin dapat hamba rebut kembali. Akan tetapi setidaknya, dia berada dalam keadaan selamat."

   Kata Narotarna. Dia merasa malu untuk menceritakan tentang ikatan janjinya dengan Lasmini. Inilah kesalahan besar yang sama sekali tidak disadari Narotarna. Perasaan malunya untuk mengaku kepada Sang Prahu Erlangga tentang perjanjiannya dengan Lasmin menempatkan dia dalam keadaan yang akan menyulitkan.

   "Kalau begitu, bagaimana dengan rencana penyerbuan kita, Kakang Patih?"

   "Sebaiknya dilaksanakan sekarang sebelum mereka sempat memperkuat diri, Sinuwun."

   
Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Narotarna dan para senopati yang hadir di situ menyatakan setuju.

   "Baiklah, kalau begitu, kami menyerahkan kekuasaan kepada Andika, Kakang Patih, untuk memimpin para senopati, perwira, dan pasukan untuk menyerang dan menaklukkan mereka agar lain kali mereka tidak akan berani mengganggu kita lagi. Nah, buatlah persiapan secukupnya dan segera berangkat!"

   Lega juga hati Narotarna ketika dia diserahi kekuasaan untuk memimpin penyerangan karena dengan demikian, tentu saja dia dapat melewati Parang Siluman atau setidaknya menunda niat penyerangan Kahuripan ke Parang Siluman. Setelah mempersiapkan pasukan yang cukup besar, Ki Patih Narotarna mengundang para senopati dan perwira bawahannya dan memberitahu bahwa yang pertama kali mereka serang adalah Kerajaan Wura-wuri.

   "Wura-wuri merupakan lawan yang cukup kuat dan kerajaan ini yang terdekat, maka akan kita serbu lebih dulu. Puspa Dewi, karena engkau lebih mengenal daerah Wurawuri, maka engkau kami angkat menjadi pemimpin pasukan pelopor yang terdiri dari seribu orang perajurit. Tugasmu adalah melakukan pendobrakan pertama, menyelidiki keadaan musuh dan membuka jalan bagi pasukan besar. Ingat, dan juga para senopati dan perwira harus ingat betul bahwa tugas kita semua seperti yang ditekankan Gusti Sinuwun bukanlah untuk merusak atau membunuh, melainkan hanya menaklukkan. Maka, dilarang keras untuk sembarangan membunuh, kecuali kalau membela diri, dilarang keras mengambil barang berharga penduduk Wura-wuri, dan dilarang keras menyiksa dan mengganggu wanita. Siapa yang melanggar akan mendapat hukuman keras, sebaliknya yang menaati perintah dan melaksanakan dengan baik, tentu akan memperoleh ganjaran dari Gusti Sinuwun."

   Demikianlah, setelah membagi-bagi tugas, tiga hari kemudian Ki Patih Narotama memimpin pasukan Kahuripan menuju ke Wura-wuri.

   Seperti juga keadaan di Parang Siluman dan dua kerajaan yang lain, para pimpinan Kerajaan Wura-wuri juga mengalami kedukaan dan kekecewaan karena dalam perang melawan Kahuripan itu mereka menderita kekalahan besar. Tiga orang senopati andalan mereka, yaitu Tri Kala yang terdiri dari Kala Muka, Kala Manik, dan Kala Teja, telah tewas dalam pertempuran. Juga mereka kehilangan ribuan orang perajurit. Pimpinan tertinggi di Wura-wuri adalah Adipati Bhismaprabhawa, permaisurinya yaitu Nyi Dewi Durgakumala, dan Senopati Muda Ki Gandarwo.

   Setelah menderita kekalahan, kehilangan Tri Kala, Adipati Bhismaprabhawa lalu mengutus Ki Gandarwo untuk mengundang orang pandai agar dapat menggantikan tiga orang Tri Kala yang tewas, dan memperkuat Wura-wuri. Ki Gandarwo segera mengundang lagi kakak seperguruannya, yaitu Cekel Aksomolo. Dahulu, Cekel Aksomolo juga pernah membantu Wura-wuri melalui Ki Gandarwo, akan tetapi dia lalu kembali ke tempat pertapaannya, yaitu di Hutan Werdo, lereng Gunung Wilis. Ketika didatangi Ki Gandarwo, Cekel Aksomolo yang berusia sekitar tiga puluh satu tahun itu menerima undangan Adipati Wura-wuri dan dia pun ikut bersama Ki Gandarwo menghadap Adipati Wura-wuri.

   Cekel Aksomolo yang sakti dan cerdik Itu diterima dengan gembira dan hormat oleh Adipati Bhismaprabhawa dan karena Sang Adipati sudah mengetahui kesenangan Cekel Aksomolo, maka pertapa muda ini lalu diberi sebuah rumah mungil Indah dan mewah. Dan tidak lupa, Adipati Bhismaprabhawa menyediakan beberapa orang pemuda perjaka remaja yang tampan wajahnya untuk melayaninya. Pertapa muda yang tinggi kurus bongkok, mukanya seperti Pendeta Durna, dan suaranya tinggi kecil seperti suara wanita ini mempunyai watak yang aneh. Dia sama sekali tidak suka kepada wanita, akan tetapi dia suka sekali kepada pemuda-pemuda remaja yang ganteng yang dia jadikan kekasihnya!

   Pada suatu pagi, Adipati Bhismaprabhawa mengadakan persidangan dengan Isterinya, Nyi Dewi Durgakumala dan para pembantunya, yaitu Ki Gandarwo, Cekel Aksomolo, dan beberapa orang perwira pembantu.

   Dalam rapat ini, Adipati Bhismaprabhawa menyatakan kekhawatirannya bahwa Kahuripan tentu akan melakukan serangan balasan ke Wura-wuri, padahal Wura-wuri baru saja mengalami kekalahan, banyak perajurit tewas dan sisa para perajurlt menurun semangatnya karena kekalahan itu.

   "Kalau Kahuripan menyerang selagi kita berada dalam keadaan lemah seperti sekarang ini, tentu akan berbahaya sekail."

   Sang Adipati menyatakan kekhawatirannya.

   "Hi-hik-he-he-he!"

   Cekel Aksomolo terkekeh genit lalu berkata dengan suaranya yang seperti wanita.

   "Gusti Adipati mengapa mengkhawatirkan hal itu? Harap Paduka tenang! Kalau Kahuripan berani menyerang ke sini... ah, hal itu kecil saja! Ada saya, Cekel Aksomolo di sini, dan tangan kakiku, kalau perlu tasbeh dan ganitri (biji tasbeh) saya ini tentu akan membinasakan dan mengusir mereka! Heh-he-he-he!"

   Mendengar ucapan yang sombong ini, hati Adipati Bhismaprabhawa bukan menjadi tenang, bahkan dia semakin gelisah. Dia tahu bahwa Cekel Aksomolo memang sakti, akan tetapi kalau sikapnya demikian takaburnya, Sang Adipati meragukah kemampuannya.

   Melihat suaminya tampak gelisah, Nyi Dewi Durgakumala berkata dengan nada suara menghibur.

   "Kakangmas Adipati. Paduka tenanglah. Saya telah memiliki senjata yang ampuh untuk menghadapi Kahuripan. Kalau pasukan Kahuripan menyerang, biasanya yang menjadi Manggala (Pemimpin) Agung tentu Ki Patih Narotama. Paduka tahu bahwa saya dan Ni Lasmini telah berhasil menculik putera Ki Patih Narotama. Dengan adanya puteranya di tangan kita, maka Ki patih Narotama tentu tidak berani menyerang kita. Kita pergunakan anak itu sebagai sandera untuk memaksa Ki Patih Narotama menarik mundur pasukannya dan selanjutnya tidak akan mengganggu kita lagi."

   Adipati Bhismaprabhawa mengangguki -angguk, lalu mengerutkan alisnya.

   "Pendapatmu itu benar, Diajeng. Akan tetapi bagaimana kalau yang menjadi Manggala Perang bukan Ki Patih Narotama, melainan Sang Prabu Erlangga sendiri?"

   Nyi Dewi Durgakumala menggeleng kepalanya.

   "Rasanya tidak mungkin Sang Prabu Erlangga memimpin sendiri pasukannya. Biasanya dia tentu mewakilkannya kepada Ki Patih Narotarna. Akan tetapi, andaikata Sang Prabu Erlangga sendiri yang memimpin, tetap saja kita dapat menggunakan Joko Pekik Satyabudhi itu sebagal sandera. Sang Prabu Erlangga amat menyayang dan menghormati Ki Patih Narotarna. Mereka berdua itu tunggal guru dan seperti saudara saja. Tentu dia tidak akan tega mengorbankan putera Ki Patih Narotarna."

   "Akan tetapi anak itu sekarang tidak berada di sini. Bukankah tempo hari andika melaporkan bahwa anak itu dipinjam oleh Kerajaan Parang Siluman?"

   Tanya Sang Adipati.

   "Benar, Kakangmas. Saya dan Ni Lasmini bersepakat untuk menyembunyikan anak itu di suatu tempat yang tersembunyi dan aman, di perbatasan. Tempo hari Lasmini utusan Ki Nagakumala untuk meminjam dan mengambil Joko Pekik Satyabudhi."

   "Kalau begitu sebaiknya kita mengutus orang untuk mengambilnya kembali dan agar untuk semenara anak itu berada di sini sehingga kalau sewaktu-waktu pasukan Kahuripan menyerang, kita dapat mempergunakan anak itu sebagai perisai!"

   Nyi Dewi Durgakumala mengangguk dan tersenyum, lalu memandang kepada Ki Gandarwo.

   "Senopati Gandarwo, Andika berangkatlah ke Kerajaan Parang Siluman, bawalah pesanku kepada Sang Ratu Durgamala dan kedua Puteri Lasmini dan Mandari, juga Ki Nagakumala, bahwa kami di sini membutuhkan kehadiran Joko Pekik Setyabudhi putera Ki Patih Narotama. Bawalah anak itu ke sini dan bawa perajurit secukupnya agar dapat mengawal anak itu sehingga dapat selamat sampai di sini."

   Ki Gandarwo, senopati muda tampan yang juga menjadi kekasih gelap Nyi Dewi Durgakumala, matur sendlka (menaati) dan segera berangkat bersama seregu pasukan ke Parang Siluman. Akan tetapi, beberapa hari kemudian, Ki Gandarwo kembali melaporkan bahwa Parang Siluman tidak dapat menyerahkan Joko Pekik Satyabudhi karena mereka membutuhkan anak itu sendiri. Tentu saja Nyi Dewi Durgakumala menjadi marah sekali.

   "Keparat Si Lasmini. Dulu ia hendak membunuh anak itu. Aku yang mempunyai gagasan agar anak itu dijadikan sandera untuk kepentingan Wura-wuri dan Parang Siluman! Akan tetapi sekarang ia hendak menguasainya sendiri untuk kepentingan Parang Siluman! Apa mereka mengira Wura-wuri takut melawan Parang Siluman yang kecil? Kita gempur saja dan minta anak itu dengan kekerasan!"

   Nyi Dewi Durgakumala berseru marah. Dengan wajah merah Nyi Dewi Durgakumala sudah bangkit dan hendak mengerahkan pasukan untuk menyerang Parang Siluman, untuk merampas Joko Pekik yang ditahan di Parang Siluman. Akan tetapi suaminya cepat bangkit, memegang pundaknya dan mengajaknya duduk kembali, berkata dengan halus.

   "Bersabarlah, Diajeng. Kalau kita menuruti nafsu amarah dan menyerang Parang Siluman, berarti di antara kita terjadi bentrokan sendiri yang akhirnya hanya melemahkan kita. Padahal kita sama-sama terancam oleh Kahuripan."

   Para senopati mendukung ucapan Adipati Bhismaprabhawa ini sehingga akhirnya Nyi Dewi Durgakumala mengalah.

   "Baiklah, Kakangmas Adipati, saya tidak akan menuruti amarah dan menyerang sekutu sendiri, akan tetapi Parang Siluman sungguh mau enaknya sendiri saja. Saya akan mencoba untuk mengancam Narotarna agar dia tidak menyerang kita atau akan membunuh puteranya! Kalau dia tidak percaya dan tetap menyerang, kita harus mempertahankan diri. Untuk itu kita harus memperkuat diri dan saya akan mengundang dua orang kakak seperguruan saya, dua orang saudara kembar yang menjadi datuk-datuk Blambangan, yaitu Menak Gambir Anom dan Menak Gambir Sawit. Sudah puluhan tahun kami tidak saling jumpa, akan tetapi kalau saya mengirim utusan kesana memanggil mereka, pasti mereka akan datang dan membantu kita. Kedua kakak seperguruan saya itu memiliki kesaktian yang boleh diandalkan."

   Adipati Bhismaprabhawa menjadi girang sekali dan Nyi Dewi Durgakumala segera mengirim utusan mengundang dua orang datuk Blambangan itu.

   Telah lama kita berpisah dari Nurseta dan sekarang kita ikuti perjalanan pemuda perkasa yang pergi mencari Niken Harni dan Puspa Dewi itu. Pada suatu pagi, Nurseta berjalan memasuki kota Kadipaten Wengker yang sunyi. Pada waktu itu, kota kadipaten itu memang sepi karena ditinggalkan para pimpinan Kadipaten Wengker berikut para perwira pembantu mereka dan memimpin pasukan sebanyak selaksa orang perajurit lebih, bergabung dengan para kadipaten lain melakukan penyerbuan terhadap Kerajaan Kahuripan!

   Para perajurit pasukan yang ditinggalkan untuk menjaga kadipaten tidak ada yang mengenal Nurseta, maka pemuda itu dapat memasuki kadipaten dengan aman tanpa ada yang mengganggu, karena Nurseta memakai pakaian sederhana, dan biasa seperti para pemuda lainnya. Karena semua senopati dan perwira dikerahkan untuk ikut dalam pasukan yang menyerang ke Kahuripan, maka yang bertugas menjaga kota kadipaten adalah Tumenggung Suramenggala. Ki Suramenggala ini diangkat menjadi tumenggung bukan karena kepandaiannya, bukan karena kedigdayaannya yang tidak seberapa, melainkan karena dia adalah ayah kandung Adipati Linggawijaya. Maka dia tidak diikutkan dalam perang.

   Dasar watak Ki Suramenggala ini memang buruk. Dia sudah sejak mudanya selalu mengagulkan diri sendiri, penuh dikusaai daya rendah nafsu-nafsunya sehingga dirinya sepenuhnya menjadi budak nafsu yang selalu haus akan kesenangan dan mengejar-ngejar kesenangan, tidak pantang bersikap sewenang-wenang. Maka, kini mendapat kesempatan menjadi penguasa sementara di Wengker, tidak ada orang lain yang lebih tinggi kedudukannya daripada dia, maka dia merasa seolah menjadi raja besar di Kerajaan Wengker. Sama sekali dia tidak ikut prihatin, tidak mendoakan agar penyerangan Wengker ke Kahuripan berhasil. Bahkan setiap hari dia berpesta pora dengan dua orang gadis dayang yang diambilnya dari istana Adipati Linggawijaya dan dijadikan selirnya, penambah kumpulan selirnya yang sudah banyak itu, tanpa menanti kembalinya Adipati Linggawijaya untuk minta persetujuannya.

   Pada siang hari itu, selagi dia berpesta pora sambil menonton tarian menggairahkan para penari, minum arak sampai mabok dilayani dua orang selirnya yang baru, tiba-tiba terdengar suara gaduh di depan gedungnya yang mewah menyaingi kemewahan istana kadipaten sendiri. Tumenggung Suramenggala mengerutkan alisnya dan kemarahannya bangkit karena dia merasa terganggu dalam kesenangannya. Menuruti wataknya yang keras dan siap memberi hukuman berat kepada pengganggunya, dia lalu bangkit berdiri meninggalkan dua orang selir barunya itu dan melangkah lebar berjalan keluar. Seorang perajurit pengawal hampir menabraknya.

   "Heh, mengapa kamu menabrak-nabrak! Matamu buta, ya?"

   Bentak Tumenggung Suramenggala.

   "Ampunkan hamba, Gusti Tumenggung. Di luar ada seorang laki-laki hendak memasuki gedung. Hamba dan kawan kawan sudah melarangnya, akan tetapi dia hendak nekat sehingga terjadi keributan."

   Perajurit itu melapor.

   "Jahanam! Minta mampus dia!"

   Tumenggung Suramenggala setengah berlari keluar agar dapat cepat menghukum pengacau itu. Setibanya di pendapa, dia melihat belasan orang perajurit pengawalnya sudah rebah malang melintang dan mengaduh-aduh, ada yang bengkak pipinya, ada yang salah urat, ada yang mulas perutnya, ada pula yang pening kepalanya. Mereka semua baru saja menerima hajaran, tamparan atau tendangan.

   Tumenggung Suramenggala terkejut dan matanya terbelalak mencari-cari karena dia tidak melihat orang yang membikin kacau di gedungnya.

   "Ki Suramenggala, Andika mencariku?"

   Tiba-tiba ada suara di belakangnya.

   Ki Suramenggala cepat membalikkan tubuhnya dan matanya terbelalak kaget ketika dia melihat dan mengenal pemuda yang berdiri tersenyum memandangnya.

   "Nurseta...! Engkau..., mau apa kau membikin kacau disini?"

   Tumenggung Suramenggala sudah menoleh hendak berteriak memanggil bala bantuan, akan tetapi Nurseta cepat berseru.

   "Tidak perlu, Ki Suramenggala. Sebelum pasukanmu tiba disini, Andika tentu akan kurobohkan lebih dulu. Aku datang bukan untuk membuat ribut! Aku hanya menuntut agar Andika menjawab sejujurnya. Di mana Niken Harni dan Puspa Dewi yang beberapa waktu yang lalu berkunjung ke sini? Jawab sejujurnya dan aku tidak akan menggunakan kekerasan!"

   Agak lega hati Ki Suramenggala yang tadinya sudah amat ketakutan itu.

   "Ah, itukah yang engkau tanyakan, Nurseta? Belum lama ini, Puspa Dewi juga datang ke sini menanyakan tentang adiknya yang bernama Niken Harni itu dan aku sudah mernberitahu kepadanya di mana adanya Niken Harni."

   "Hemm, katakan kepadaku, Ki Suramenggala, di mana adanya Niken Harni?"

   "Seperti sudah kuberitahukan Puspa Dewi, ketika itu Niken Harni memang menjadi tamu di sini. Akan tetapi pada suatu malam datang Nini Bumigarbo dan nenek sakti itu membawa pergi Niken Harni. Tidak ada seorang pun yang berani menentangnya!"

   "Hemm, benarkah keteranganmu itu?"

   "Aku bersumpah!"

   "Siapa percaya kepada sumpahmu, Ki Suramenggala? Kalau engkau memberi keterangan seperti itu kepada Puspa Dewi, lalu ke mana perginya Puspa Dewi sekarang?"

   "Aku tidak tahu, Nurseta. Ia tidak mengatakannya. Setelah mendapat keterangan itu, ia lalu pergi lagi. Aku bersumpah memang begitulah keadaannya, aku tidak berbohong!"

   "Sekarang katakan, kemana Niken Harni dibawa pergi oleh Nini Bumigarbo? Aku mendengar bahwa permaisuri Wengker, Dewi Mayangsari, adalah murid Nini Bumigarbo. Nah, tentu kalian tahu di mana tempat tinggal Nini Bumigarbo. Katakan dimana tempat tinggalnya!"

   Suara Nurseta mengandung ancaman dan Ki Suramenggala yang sudah maklum akan kedigdayaan pemuda itu bergidik.

   "Ah, Nurseta. Siapa yang dapat melacak di mana adanya wanita sakti mandraguna seperti Nini Bumigarbo? Hanya aku pernah mendengar Dewi Mayangsari berkata bahwa gurunya itu mempunyai pesanggrahan di puncak Gunung Kelud."

   "Biarlah kali ini aku percaya kepadamu, Ki Suramenggala. Akan tetapi kalau ternyata kau bohong, aku akan kembali dan minta pertanggungan jawabmu! Selamat tinggal!"

   Setelah berkata demikian, Nurseta keluar dari situ, dan dia pun melakukan perjalanan cepat menuju ke Gunung Kelud.

   Keadaan Wengker yang sunyi tadinya membuat dia merasa heran. Akan tetapi dari seorang perajurit yang dia paksa mengaku dia mendengar bahwa para pimpinan Wengker membawa pasukan besar menyerang Kahuripan. Dia merasa kecewa bahwa dia terlambat untuk ikut mempertahankan Kahuripan dari penyerangan itu, akan tetapi dia merasa bahwa mencari dan menolong Niken Harni dan mungkin juga Puspa Dewi pada saat itu lebih penting. Mendengar bahwa Niken Harni dibawa pergi Nini Bumigarbo, dia merasa khawatir sekali. Nenek itu seorang yang luar biasa sekali, sakti mandraguna dan berwatak aneh. Membayangkan Niken Harni berada dalam kekuasaan nenek yang aneh itu, sungguh membuat hatinya khawatir. Apalagi besar kemungkinan Puspa Dewi juga menyusul ke sana. Biarpun dia tahu bahwa Puspa Dewi sakti dan tangguh, namun menghadapi Nini Bumigarbo sulitlah bagi gadis itu untuk mampu menandinginya. Inilah sebabnya maka Nurseta tetap melakukan pencarian ke Gunung Kelud, walaupun hatinya juga merasa tidak enak dan kecewa bahwa pada saat Kahuripan terancam bahaya penyerangan Wengker, dia tidak dapat membantu dan membela.

   Sinar matahari yang mulai menghangat pada pagi hari itu perlahan-lahan mengusir halimun yang enggan meninggalkan bumi. Namun kehangatan sinar matahari mengusik mereka dan dibantu oleh angin pagi pegunungan yang semilir lembut, halimun mulai mengudara dan cuaca mulai menjadi terang. Kokok ayam jantan sudah lama berhenti, juga burung-burung sudah meninggalkan sarang. Dari puncak Gunung Kelud, pedusunan yang berada di lereng bawah, hanya tampak samar-samar atap rumah itu, akan tetapi pagi ini seperti biasa, asap yang membubung dari atap dapur rumah-rumah itu tampak jelas, menandakan bahwa di sana penghuni dusun mulai sibuk dengan pekerjaan mereka.

   Sejak fajar tadi Niken Harni sudah duduk di atas batu yang biasa ia pergunakan untuk duduk bersamadhi. Nini Bumigarbo duduk bersila di atas batu lain tak jauh darinya. Mereka berdua duduk berjajar, menghadapi lereng-lereng di bawah puncak di mana tampak jalan kecil buatan para penduduk pegunungan itu. Jalan itu berliku-liku seperti seekor ular besar yang membelit gunung.

   

Suling Emas Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini