Perawan Lembah Wilis 39
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 39
Pemuda itu lalu menuntun kerbau yang mogok tadi dan anehnya kerbau itu menurut saja dituntun minggir, tidak seperti tadi, digebuki masih tetap mendekam.
Setelah kerbau dan lukunya dibawa ke pinggir, pemuda itu lalu mengambil cangkul dan tanpa banyak cakap lagi mulailah mencangkuli tanah yang belum terluku. Petani itu memandang dengan mata lebar, lalu menggeleng-geleng kepala tidak mengerti akan sikap pemuda ini, akan tetapi diam-diam girang juga hatinya mendapat seorang pembantu suka rela yang melihat caranya mengayun cangkul boleh diharapkan akan dapat mengejar ketinggalan pekerjaannya karena kerbau mogok tadi. Ia pun lalu menyambar cangkul sebuah lagi dan bekerja tekun seperti lajimnya para petani bekerja di sawah.
Kelihatannya biasa saja pemuda itu bekerja, akan tetapi betapa girang dan herannya petani itu ketika melihat bahwa hasil cangkulnya pemuda itu empat lima kali lebih cepat dan banyak daripada hasil pekerjaannya sendiri. Dengan demikian maka dibantu pemuda ini tidaklah lebih lambat daripada kalau dibantu kerbaunya menarik luku!
Lewat tengah hari, seorang gadis ke sawah itu, membawa sebuah bakul berisi nasi bersama sambel wijen dan ikan lele bakar. Bakul itu disunggi di atas kepala, dipegangi tangan kiri sedangkan tangan kanannya mencangking sebuah kendi berisi air.
"Pak, berhenti dulu. Mengaso dan makan!"
Serunya dengan suara yang renyah melengking.
"Wah, kau sudah datang, Mil Siapkan dua pincuk (pining daun pisang), kami sudah lapar sekali!"
Gadis yang usianya paling banyak tujuh belas tahun, bertubuh ramping padat berkulit hitam manis dengan wajah yang manis sekali itu mengangkat muka memandang ke arah pemuda berkulit putih yang membantu ayahnya. Kebetulan pada saat itu si pemuda juga menengok ke arahnya dan si gadis tersenyum malu-malu, kemudian menjawab,
"Baik, Pak!"
"Hayo mengaso dan makan dulu, Nak."
Pemuda itu mengangguk, melepas cangkulnya dan menghapus peluh di dahi dengan lengannya.
Kemudian mereka berdua mencuci tangan dengan air kendi lalu duduk di atas galengan sawah. Pemuda itu mendapat kenyataan betapa gadis petani ini benar-benar manis dan cantik sekali, kecantikan aseli tanpa bantuan bedak dan mangir sehingga ia memandang kagum.
"Paman, anak daramu cantik dan manis sekali!"
Kata pemuda itu.
Kembali petani itu terbelalak melihat sikap dan ucapan yang blak-blakan dan tulus ini, akan tetapi sebagai seorang pria yang sudah banyak pengalaman ia tidak melihat adanya pandang mata kurang ajar sehingga kembali ia tertegun.
Pemuda ini benar-benar seorang manusia aneh dan tidak lumrah! Akan tetapi pujian yang membuat gadis itu tiba-tiba melengos dan menyembunyikan mukanya yang menjadi merah itu membikin hati kakek petani ini gembira, akan tetapi berbareng juga mengingatkan kakek itu akan kesulitan yang dihadapinya.
"Itulah yang membikin aku tadi menggebuki kerbauku, Nak."
"Pak........! Si Wage kaugebuki? Kenapa?"
Tiba-tiba gadis itu bertanya sambil memandang bapaknya.
"Dia mogok, mungkin sakit........!"
"Ah, kasihan Si Wage........!"
Gadis itu lalu bangkit berdiri dan berlari menghampiri kerbau yang kini makan rumput di pinggir sawah. Ketika berlari, tubuh ramping padat itu mendatangkan pemandangan yang amat mempesonakan.
"Paman, apakah artinya ucapanmu tadi?"
Tanya si pemuda sambil mengepal nasi dicocol sambel dan ditemani secuwil daging ikan lele panggang, lalu memasukkannya ke mulut.
Petani itu mengunyah nasi yang memenuhi mulutnya dan menelan dengan anggukan kepala, kelihatan nikmat sekali. Memang sesungguhnyalah bahwa kenikmatan makan seorang petani yang telah bekerja keras dan lelah di bawah terik panas matahari biarpun hanya nasi dengan sambal,
(Lanjut ke Jilid 47)
Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 47
mengatasi kenikmatan makan seorang raja yang menghadapi hidangan puluhan macam banyaknya!
"Memang demikian, Nak. Sutarmi anakku itu amat cantik, kembangnya dusun ini, dan kecantikan nya itulah yang memaksa aku tadi naik darah menggebuki kerbauku. Soalnya Kepala dusun menjatuhkan pajak yang amat besar berupa hasil sawahku, lebih setengahnya diharuskan untuk disetorkan kepadanya. Karena tahun-tahun yang lalu hasil sawahku kurang baik dan mendiang isteriku pada waktu itu sakit-sakit saja sehingga mengeluarkan banyak biaya, maka aku jadi berhutang banyak pajak. Akhir-akhir ini, melihat kecantikan anakku, ketua dusun menyatakan bahwa kalau panen depan ini aku tidak dapat melunasi hutang, jalan satu-satunya agar gusti patih, yaitu yang menguasai daerah pertanian di sini, tidak marah, aku hams menyerahkan Sutarmi kepada kepala dusun untuk dipersembahkan kepada gusti patih. Katanya untuk dijadikan abdi dalem, akan tetapi aku sudah tua dan sudah banyak mendengar bahwa "
Petani itu menunda kata-katanya dan celingukan ke kanan kiri.
"Bahwa bagaimana, Paman?"
"Bahwa gusti patih paling gemar akan gadis-gadis muda yang cantik, untuk diselir tentunya,"
Kakek itu berbisik.
"Demikianlah, aku harus bekerja keras agar panen depan dapat melunasi hutang atau akan menjadi korbanlah anakku karena kecantikannya. Ketika Si Wage mogok, aku menjadi marah tadi........!"
Pemuda itu mengangguk-angguk.
"Ahh, tepatlah pendapat orang-orang pandai di jaman dahulu bahwa setiap hal yang mendatangkan kesenangan, pasti dapat pula mendatangkan kesusahan, seperti halnya engkau mempunyai seorang anak gadis cantik, Paman. Di samping mendatangkan kesenangan dan kebanggaan, sekarang ternyata mendatangkan kesusahan dan kesulitan. Akan tetapi, tidak ada hal yang tak dapat diatasi dengan akal bud!, Paman."
"Akal budi bagaimana? Satu-satunya jalan harus membayar hutang.
Kakek itu menghela napas dan melanjutkan makannya. Gadis hitam manis itu, Sutarmi, kini kembali ke situ setelah tadi mengelus-elus leher dan kepala Si Wage.
"Pak, lain kali jangan menggebugi Si Wage, kasihan!"
Katanya merengut.
"Memang, Mi seharusnya engkaulah yang kugebuki karena kecantikanmu. Kalau saja engkau tidak secantik ini tentu tidak akan terpilih sebagai abdi dalem gusti patih,"
Ayahnya mengomel.
"Ah, Bapak kembali membingungkan hal itu. Sudah kukatakan bahwa panen depan ini kita pasti akan dapat melunasi pajak. Kalau tidak pun, alai akan bekerja keras di kepatihan, tidak akan mengecewakan Bapak. Pula, apa sih jeleknya menjadi abdi dalem kepatihan, Pak?"
Ayahnya menggeleng-geleng kepala.
"Aahhh, engkau tidak tahu engkau tidak tahu dan kalau sudah tahu akan terlambat. Lebih baik engkau bermuka buruk akan tetapi terhindar daripada malapetaka "
"Paman, kurasa kalau Paman hanya menghendaki adik ini menjadi buruk mukanya, mudah sekali."
"Apa kau bilang? Apa maksudmu?"
Tanya petani itu menghentikan cucuran air kendi yang tengah digelogoknya.
"Aku mempunyai semacam obat yang akan membuat muka adik Sutarmi menjadi belang-belang dan hitam-hitam sehingga ketua dusun akan jijik melihatnya........!"
"Aku tidak mau! Aku tidak mau mukaku menjadi menjijikkan!"
Sutarmi berkata dan memandang wajah pemuda tampan itu dengan marah.
Pemuda itu tersenyum.
"Bukan menjadi buruk seterusnya, Dik. Melainkan buruk dan belang-belang menghitam karena obatku dan untuk menghindarkan Adik daripada incaran ketua dusun. Kalau bahaya telah lewat, dengan obat lain wajah Adik akan menjadi bersih dan halus kembali."
"Ehh.........? Betulkah? "
Ayah dan anak itu memandang pemuda itu penuh keheranan, juga penuh harapan.
"Paman dan Adik Sutarmi membutuhkan jalan keluar untuk menghindarkan hal yang tidak kalian sukai, dan aku dapat memberi jalan itu, tentu saja aku tidak berbohong. Aku akan membuat muka Adik Sutarmi menjadi buruk sekali dan Paman dapat mengatakan bahwa dia terkena penyakit. Kutanggung tidak akan ada dukun yang mampu mengobatinya. Kemudian, kalau bahaya sudah lewat, atau sebaiknya kalau Paman dan Adik pindah saja ke daerah lain, dengan obat lain, muka yang menggitam itu akan dapat bersih kembali."
Petani itu berseri wajahnya.
"Ah, akal ini bagus sekali! Anak muda yang aneh dan budiman. Lekas kauberikan obat pemunah muka cantik menjadi muka buruk itu!"
"Obatnya ada pada telapak tanganku, Paman. Adapun obat penawarnya, cukup dipupuri tanah sawah. Bolehkah kucoba sekarang?"
"Cobalah........ cobalah........!"
Petani itu mendesak.
Pemuda itu menghampiri Sutarmi yang duduk bersimpuh.
"Tengadahkan mukamu dan pejamkan matamu, Dik. Aku akan mengubah kulit mukamu menjadi buruk."
Sejenak mata gadis itu menatap wajah si pemuda, akan tetapi ketika pandang mereka bertemu, gadis itu mendapat perasaan yang aneh, yang membuat ia menaruh kepercayaan besar dan perasaan pasrah. Ia mengangguk, kemudian mengangkat muka dan memejamkan matanya. Akan tetapi hanya sebentar karena ia membuka matanya kembali dan bertanya,
"Sakitkah?"
Pemuda itu tersenyum lebar dan menggeleng kepala. Setelah Sutarmi memejamkan matanya kembali, pemuda itu lalu menggunakan tangan kiri untuk memegang dagu kecil meruncing manis itu, dan mengusapkan telapak tangan kanannya di seluruh muka Sutarmi.
Terdengar napas tersentak ketika si petani melihat betapa muka anaknya secara mendadak telah berubah hitam! Kalau hanya hitam saja dan merata, tidak apa. Akan tetapi hitamnya tidak rata, totol-totol sehingga membuat muka itu menjadi buruk sekali. Pemuda itu melangkah mundur dan duduk lagi sambil berkata,
"Sudah selesai, Dik."
Sutarmi membuka matanya, memandang pemuda itu yang tersenyum-senyum dan mengira bahwa tentu pemuda itu membohonginya karena ia sama sekall tidak merasakan apa-apa. Akan tetapi ketika ia memandang wajah ayahnya yang melotot matanya dan melongo mulutnya, gadis ini cepat lari mendekati kali kecil di pinggir sawah untuk melihat bayangannya sendiri di air. Ia menjenguk dan........ tiba-tiba ia menangis.
"Aku tidak mau begini........ hii hiii........ aku tidak mau........!"
Kembali ia menjenguk dan memandang ke air dengan air mata bercucuran dan kembali menjerit-jerit dan menangis. Kemudian Sutarmi lalu menggunakan air kali untuk mencuci mukanya, menggosok-gosoknya dengan tangan dan ujung kemben.
Ketika ia bercermin lagi di air dan melihat mukanya masih tetap belang-belang hitam, ia lalu mengambil batu dan menggosok-gosok mukanya dengan batu dan mencucinya kembali. Akan tetapi hasilnya tidak ada, mukanya tetap totol-totol hitam dan buruk sekali.
"Aku tidak mau.....! Ah, engkau manusia kejam..... mengapa membikin mukaku menjadi begini....?"
Dalam kesedihan dan kemarahannya, Sutarmi lalu berlari menghampiri pemuda itu dan menggunakan kedua tangannya hendak memukul dan mencakar.
"Tarmi, jangan!"
Teriak ayahnya yang maju dan memegangi kedua tangan anaknya. Sutarmi menangis mengguguk.
"Pak, lebih baik aku mati saja........ hii-hiii........ mukaku menjadi begini buruk menjijikkan.........!"
"Jangan khawatir, Dik Tarmi. Sudah kukatakan tadi bahwa segala macam obat atau air tidak akan mampu menghilangkan warna hitam itu, dan segala dukun takkan mampu mengobati. Akan tetapi kalau engkau menghendaki kulit mukamu pulih kembali, kau pupuri dengan tanah sawah, jika Sang Hyang Widhi menghendaki, pasti akan pulih kembali."
Mendengar ini, Sutarmi merenggutkan tangannya terlepas dari ayahnya, lari ke tengah sawah, mengambil lumpur dan memupuri mukanya dengan lumpur sampai rata.
Saking tergesa-gesa, matanya kemasukan lumpur dan ia tersandung-sandung ketika lari ke air untuk mencuci mukanya yang penuh lumpur.
Sekali saja ia menyiramkan air ke mukanya, warna hitam itu lenyap sama sekali. Tarmi bercermin dan melihat mukanya sudah pulih kembali, ia........ menangis lagi saking girangnya!
"Wah-wah, Tarmi. Apakah engkau sudah menjadi gemblung (gila)? Mukamu menjadi hitam menangis, sekarang sudah pulih menangis juga!"
"Berduka mengeluarkan air mata, bersuka juga mengeluarkan air mata. Duka maupun suka bagi air mata memang sama saja, Paman, hanya merupakan permainan hati manusia."
Kemudian pemuda itu berkata kepada Tarmi yang sudah berhenti menangis,
"Bagaimana, Dik. Sudah percayakah engkau? Apakah sekarang engkau suka membiarkan mukamu kubikin hitam lagi untuk menghindarkan dirimu daripada bahaya dan menghindarkan ayahmu dari kesusahan?"
"Harus kau lakukan, Anakku. Sampai urusan ini Beres dan bahaya lewat, kelak mudah saja mengobati mukamu, di mana-mana di dunia ini terdapat tanah sawah!"
Sutarmi memandang pemuda itu, mengangguk sambil tersenyum. Kini ia mengangkat mukanya dengan muka berseri dan memejamkan matanya ketika pemuda itu mengusap mukanya dengan telapak tangan kanan sehingga muka gadis itu kembali menjadi belang-belang menghitam, buruk dan menjijikkan dalam pandangan pria yang matanya bernapsu. Seperti tadi, Sutarmi bercermin di air dan kini ia tertawa geli.
"Paman, dan Dik Tarmi, sekarang perkenankan aku pergi."
Tanpa menanti jawaban pemuda itu menghampiri kerbau dan menepuk-nepuk pundaknya.
"Kerbau, bantulah majikanmu. Memang sudah menjadi nasibmu hams membantu manusia, berbahagialah dalam menunaikan kewajibanmu."
Ia lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari pinggir sawah, diikuti pandang mata Tarmi dan pandang mata petani itu yang terbelalak keheranan melihat kini kerbaunya bangkit berdiri dan tampak segar bersemangat.
"Nanti dulu, Nak! Perkenalkanlah namamu........!"
Pemuda itu menghentikan langkah, menoleh dan berkata sambil tersenyum.
"Namaku Bagus Seta, Paman!"
Ia lalu membalikkan tubuh dan berjalan pergi lagi dengan langkah ringan.
Bagus Seta kini telah menjadi seorang pemuda yang berpakaian sederhana dan mempunyai wibawa yang aneh. Gerak-geriknya halus, sikapnya bersahaya, sama sekali tidak membayangkan kekuatan, akan tetapi sepasang matanya yang jernih itu mengandung pengaruh halus yang akan melemahkan hati orang yang keras, dan akan mendatangkan rasa segan karena seolah-olah pandang mata itu dapat menjenguk di dasar yang paling dalam dari hati orang.
Ia baru beberapa pekan turun dari puncak Gunung Bromo, puncak terakhir di mana is dibawa gurunya, Sang Sakti Bhagawan Ekadenta, setelah selama lima tahun gurunya membawanya ke puncak-puncak gunung hampir di seluruh tanah Jawa. Masih bergema di telinganya pesan gurunya ketika menyuruhnya meninggalkan puncak,
"Kulup Bagus Seta, kini telah tiba saatnya engkau harus turun gunung dan tiba saatnya kita harus saling berpisah.Kiranya tidak perlu lagi kuulangi semua wejangan dan pelajaran yang telah kuberikan kepadamu selama ini. Dan aku pun tidak akan memaksamu melakukan sesuatu karena segala sesuatu yang akan kaulakukan adalah bebas dan terserah atas keputusanmu sendiri, Kulup. Hanya satu hal saja yang kuingin ingatkan kepadamu agar kau camkan di dalam hati sanubarimu."
"Hamba siap mendengarkan petunjuk Eyang dan siap pula melaksanakan segala perintah Eyang,"
kata Bagus Seta ketika kakek itu berhenti sebentar untuk menghirup udara sejuk bersih puncak Gunung Bromo.
"Ingatlah selalu bahwa tidaklah sia-sia manusia dihidupkan di dunia ini. Hidup adalah perjuangan yang tak kunjung henti, perjuangan manuju ke titik terakhir yang menjadl puncak kesempurnaan. Hidup barulah tidak sia-sia dan berhasil apabila engkau selalu radar bahwa perjuangan itu adalah pelaksanaan kewajiban. Tanamkan dalam sanubarimu bahwa setiap gerak hidup hams didasari pelaksanaan kewajiban itulah. Apakah kewajiban manusia hidup? Tengoklah di sekelilingmu, Kulup. Pandanglah Sang Surya dan kenalilah sifat-sifatnya, pandanglah bulan dan bintang, awan dan angin, segala macam tetumbuhan dan segala mahluk. Adakah mahluk yang tiada manfaat atau kegunaannya dalam dunia, yaitu kegunaan atau kemanfaatannya bagi benda atau mahluk lath? Kalau toh ada kautemukan benda atau mahluk yang tidak berguna bagi yang lain, hal itu hanya karena engkau belum mengerti akan kegunaannya, masih belum terbuka rahasia alam yang ada pada benda atau mahluk yang kauanggap tidak berguna itu. Semua Benda dan mahluk di dunia ini bermanfaat bagi makhluk dan Benda lain. Dan itulah kewajiban diciptakannya semua alam mayapada dan isinya. BERGUNA BAGI BENDA DAN MAHLUK LAIN. Lebih mudah lagi, bagi manusia kewajibannya adalah berguna bagi manusia lain! Dengan demikian, maka engkau berarti telah hidup sesuai dengan kehendak alam, berarti sudah wajar dan dapat menuju ke titik kesempurnaan itu. Nah, selamat berjuang, Kulup Bagus Seta."
Wejangan-wejangan gurunya masih teringat semua oleh Bagus Seta.
Semuda itu ia telah digembleng oleh gurunya dalam hal ilmu-ilmu kesalctian dan wejangan-wejangan kebatinan yang dalam. Semuda itu ia sudah dapat menangkap inti sari wejangan gurunya. Bahwa ia hams memanfaatkan hidupnya bagi kepentingan orang lain, karena inilah kewajibannyaa, inilah tugas hidup dia sebagai manusia. Adapun apa dan bagaimana pilihannya dalam sepak terjangnya, oleh gurunya diserahkan kepada dirinya sendiri, berarti diserahkan kepadanya untuk menilai dan memilih.
Bagus Seta adalah putera seorang satria. Adipati Tejolaksono, seorang sakti yang berjiwa patriot, yang rela berkorban untuk nusa dan bangsanya. Sifat ini, sifat ayahnya, ibunya, bahkan sifat nenek-neneknya yang juga semua berjiwa patriot, membekas di dalam sanubarinya. Karena itu, ada juga niatnya untuk menghambakan diri kepada nusa dan bangsanya, menentang kekuasaan"kekuasaan yang hendak menyengsarakan nusa bangsanya.
Pertemuannya dengan petani yang menyinggung soal watak Ki Patih Jenggala, yang sewenang-wenang dan suka sekali mempermainkan anak gadis orang, membangkitkan pula semangat patriotiknya ini. Dia harus meninjau ke Jenggala sebelum ia mencari ayah bundanya. Harus meninjau Jenggala karena keadaan paman tadi mencerminkan kelaliman yang berkuasa di kerajaan itu. Dan Jenggala termasuk kerajaan yang hams pula dibelanya, karena Jenggala adalah kerajaan keturunan Mataram.
Pertemuannya dengan petani ayah Sutarmi itulah yang menggerakkan hati Bagus Seta sehingga menggerakkan pula kakinya untuk membelok menuju Kerajaan Jenggala. Di sepanjang perjalanan, makin dekat dengan Kota Raja Jenggala, makin banyaklah mendengar keluh-kesah rakyat akan kelalilam para pamong praja Jenggala.
Bukan ini saja yang menarik hatinya, melainkan kenyataan bahwa kini rakyat setengah dipaksa oleh para pamong praja untuk mengganti Agama Wishnu menjadi Agama Syiwa dan Agama Buddha. Bahkan ada didengarnya berita bahwa para pendeta Wishnu banyak yang lenyap secara aneh, dan bahwa sebagian kecil sisa pendeta-pendeta Wishnu kini terpaksa melarikan diri dan bersembunyi ke gunung-gunung yang sunyi.
Kita tinggalkan dulu Bagus Seta untuk menjenguk keadaan di dalam tempat tahanan di istana Jenggala. Di dalam sebuah ruangan tahanan yang berbentuk persegi dan terbuat daripada dinding batu-batu tebal tampak empat orang muda terbelenggu dengan rantai-rantai baja yang amat tebal dan kuat.
Kedua lengan mereka, pada pergelangan tangan, terbelenggu dan karena rantai itu dikaitkan pada besi pengait yang dipasang di dinding di atas kepala mereka, maka mereka berempat terpaksa mengangkat kedua lengan mereka di kanan kin dan dalam keadaan seperti itu sukar sekali bagi mereka untuk mencoba melarikan diri atau mempergunakan kekerasan.
Mereka dibelenggu pada dinding itu berjajar. Paling kanan adalah Pusporini, di sebelah kirinya Joko Pramono,. kemudian Setyaningsih dan paling ldri adalah Pangeran Panji Sigit. Ketika mereka berempat itu siuman dari pingsan, mereka mendapatkan diri mereka telah berada didalam kamar tahanan ini.
Pangeran Panji Sigit menoleh ke kanan, terkejut melihat Joko Pramono juga terbelenggu di sebelah kanan isterinya bersama Pusporini, mereka berpandangan mata dan pangeran itu berkata dengan suara dingin dan tajam melebihi pedang habis diasah,
"Joko Pramono, setelah engkau berhasil memikat burung, mengapa tidak memelihara dan menjaga burung itu baik-baik akan tetapi membiarkannya celaka dan terancam maut?"
Tentu saja Joko Pramono tahu apa makna ucapan ini, akan tetapi ia sudah maklum betapa pangeran ini, seperti halnya Pusporini, juga menjadi korban tipu muslihat keji dan curang dari Suminten, maka dengan sikap sabar dan bibir tersenyum ia menjawab,
"Kakangmas Pangeran, burung itu suci, tidak terpikat dan juga tidak pernah kupikat, melainkan sedang gelisah mencari pasangannya yang terkurung dan aku bersama Pusporini hanya membantunya untuk berusaha menolong pasangannya....."
"Joko Pramono! Sungguhpun rayuanmu berhasil menjatuhkan hati isteri orang, jangan harap akan dapat menjatuhkan hatiku, setelah mataku sendiri menyaksikan semua yang teijadi. Aku tidak mendendam, aku rela menyerahkannya kepadamu, rela mengalah kalau memang dia cinta kepadamu, aku....... aku........"
"Kakangmas Pangeran!"
Terdengar Setyaningsih menjerit lirih di sampingnya, sedangkan Pusporini berbisik kepada Joko Pramono,
"Kau maafkanlah dia seperti engkau memaafkan aku, Joko."
Joko Pramono tersenyum dan memandang ke depan.
"Tidak ada yang dimaafkan, Rini, karena memang seperti engkau juga, dia tidak bersalah. Melainkan si iblis betina itulah yang bersalah."
"Rakanda Pangeran, jangan menuduh yang bukan-bukan terhadap Joko Pramono. Dia telah mengerahkan seluruh daya dan tenaganya untuk menolong kita, bahkan rela mempertaruhkan nyawa untuk kita. Dia bersama Pusporini sekarang ikut pula tertawan, untuk siapa lagi kalau bukan untuk membela kita? Paduka telah khilaf, terjebak menjadi korban tipu muslihat keji yang juga mengorbankan Pusporini. Tahukah paduka, bahwa karena kesalah fahaman yang sama seperti paduka, Pusporini hampir saja membunuh Joko Pramono yang tidak berdosa?"
Dengan singkat namun jelas Setyaningsih lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi di dalam taman, kemudian tentang pertemuan mereka dengan Ki Wiraman dan Widawati, tentang Ki Mitra yang mereka percaya itu sesungguhnya Ki Mitra palsu, mata-mata yang sengaja dipergunakan oleh Suminten untuk memalsu Ki Mitra yang telah dibunuh.
Pangeran Panji Sigit mendengarkan dengan mata terbelalak, mukanya menjadi berubah-ubah, sebentar merah sebentar pucat. Apalagi ketika ia mendengar penjelasan dari Pusporini kemudian dari Joko Pramono, tak tertahankan olehnya lagl dua titik air mata membasahi pelupuk matanya ketika ia memandang kepada Joko Pramono.
"Dimas........Dimas Joko Pramono........ maukah andika mengampuni aku yang seperti buta mata ini?"
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Katanya dengan suara menggetar saking terharu.
Joko Pramono tersenyum lebar.
"Kakangmas Pangeran, paduka tidak bersalah apa-apa, bahkan saya merasa terharu sekali mendengar ucapan dan menyaksikan sikap paduka tadi. Sungguh sikap yang bijaksana dan saya sendiri tak mungkin dapat bersikap sebijaksana paduka andaikata saya yang tertipu seperti paduka. Sekarang tidak perlu kiranya persoalan itu dibicarakan karena sudah jelas bahwa kita semua menjadi korban tipu muslihat keji wanita iblis itu dan bahwa semenjak kita berempat menjejakkan kaki di kota raja ini, kita telah berada dalam cengkeraman mereka, sudah diawasi seluruh gerak-gerik kita. Sekarang kita tertawan, jalan satu-satunya hanya dapat menyerahkan diri dalam tangan Dewata sambil bersikap waspada akan gerak"gerik mereka selanjutnya."
"Andika hebat dan mengagumkan sekali, Dimas. Apa pun yang terjadi, aku tidak menyerah terhadap bujukan Suminten yang berusaha menarik kita menjadi sekutunya. Daripada mengkhianati Kanjeng Rama, lebih baik aku tewas di tangan iblis betina itu."
"Tepat sekali, Kakanda. Saya pun rela tewas di samping Kakanda sebagai dharma bakti kita terhadap Kanjeng Rama Prabu dan terhadap kerajaan paduka, Jenggala,"
Kata Setyaningsih.
"Kita lihat saja apa yang akan dilalakukan selanjutnya oleh wanita iblis itu terhadap kita,"
Kata Joko Pramono.
Dan apa yang dilakukan selanjutnya oleh Suminten segera dihadapi oleh empat orang muda itu. Suminten adalah seorang wanita yang kukuh dalam mengejar hasrat hatinya. Ia masih tergila-gila kepada Pangeran Panji Sigit, dan takkan puaslah hatinya kalau hasrat itu belum terpenuhi.
Daya upaya dengan muslihat yang betapa rendah dan keji sekali pun akan ditempuhnya untuk mencapai cita"cita hatinya. Tidak sampai lama setelah mereka berempat sadar, pintu kamar tawanan yang kokoh kuat itu terbuka dan tampaklah Suminten yang dikawal oleh enam orang pengawal bersenjata tombak.
"Kalian menanti dan menjaga di luar!"
Kata Suminten dengan suaranya yang serak basah mengandung penuh getaran nafsu berahi. Enam orang pengawal yang muda"muda dan kelihatan gagah dan kuat itu membungkuk dengan hormat dan menjaga di luar pintu, sedang Suminten lalu melangkah masuk dan menutupkan daun pintunya.
Ia melangkah maju dan berdiri dalam jarak yang cukup aman, sejauh dua meter sehingga andaikata empat orang tawanan itu yang hanya dapat menggunakan kaki menyerangnya takkan dapat mencapai tubuhnya. Ia tersenyum manis sekali, lalu menggeleng kepalanya dan berkata,
"Sungguh sayang sekali bahwa empat orang muda belia yang gagah perkasa, wanitanya cantik-cantik dan prianya tampan-tampan akhirnya hams mengakhiri hidup dalam keadaan begini menyedihkan. Aku sendiri ikut terharu dan bersedih, akan tetapi apakah yang dapat kulakukan setelah kalian berempat menjadi pemberontak-pemberontak yang membahayakan Kerajaan Jenggala?"
"Suminten, wanita iblis yang kelak menjadi intip neraka jahanam!"
Pangeran Panji Sigit memaki penuh kemarahan karena ia teringat betapa wanita itu telah mengatur tipu muslihat keji sehingga ia sampai kehilangan kepercayaan akan kesetiaan isterinya, bahkan telah menjatuhkan tuduhan rendah terhadap Joko Pramono.
"Tak perlu memutar lidahmu yang seperti lidah ular bercabang! Kami tidak akan mendengarkan dan kalau kau hendak membunuh kami, lakukanlah, kami adalah orang-orang berjiwa satria yang tidak gentar menghadapi kematian!"
"Duh Pangeran yang bagus seperti Harjuna, yang gagah perkasa seperti Gatutkaca, betapa gagah beraninya engkau. Suminten takkan pernah meragukan kegagahanmu, Pangeran. Akan tetapi kaulihatlah baik-baik keadaan isterimu, keadaan Joko Pramono dan Pusporini. Tidakkah engkau merasa kasihan kepada mereka bertiga ini, Pangeran? Mengapa engkau begin kukuh mempertahankan kegagahan dan kekesatriaan sendiri tanpa mengingat akan kehidupan mereka bertiga ini? Engkau menyerahlah dan menjadi pengeran terhormat di sini, menghentikan permusuhanmu denganku, dan aku berjanji akan membebaskan mereka bertiga ini. Tidakkah ini amat murah hati dariku? Tiga orang yang kauhormati dan kaukasihi ini kubebaskan dan sebagai tebusannya, engkau bersekutu dengan aku, meraih kebahagiaan bergelimang kesenangan di sini sebagai seorang pangeran........ ah, tidak, sebagai pangeran mahkota di sini!"
Hebat dan muluk bukan main bujuk rayu ini sehingga hati Setyaningsih menjadi amat khawatir, akan tetapi karena ia percaya penuh kepada suaminya, ia tidak berkata sesuatu, hanya memandang Suminten dengan sinar mata penuh kebencian.
Memang sejenak Pangeran Panji Sigit termenung dan memikirkan penawaran ini. Ia tidak berpikir demi, keselamatan dan kepentingan dirinya sendiri. Sama sekali tidak! Jauh daripada itu. Yang dipikirkan sekarang adalah kemungkinan membebaskan tiga orang muda itu, terutama sekali isterinya, Setyaningsih! Kalau ia berpura"pura menurut dan menyerah, kemudian isterinya, Joko Pramono dan Pusporini sudah dibebaskan, bukankah dia dapat memberontak sampai terbunuh mati?
DARIPADA menolak dan mereka semua terbunuh, bukankah lebih menguntungkan kalau dia seorang saja yang tewas sedangkan mereka bertiga itu bebas?
Suminten hanya menghendaki dirinya, maka jalan satusatunya untuk menyelamatkan isterinya, Pusporini dan Joko Pramono adalah berpura-pura menyerah. Mereka masih muda-muda, berhak untuk hidup puluhan tahun lagi.
Tiba-tiba terdengar suara Pusporini melengking nyaring, tertawa. Kemudian gadis yang agaknya menyelami pikiran Pangeran Panji Sigit itu berkata,
"Heh, Suminten perempuan tak bermalu! Kalau penawaran itu kauajukan kepada orang lain, mungkin mereka itu akan menganggap amat baik mengorbankan diri sendiri demi kebebasan tiga orang yang dikasihinya. Akan tetapi andaikata aku yang kautawari hal rendah itu aku akan mengatakan bahwa aku akan bangga menyaksikan tiga orang yang kukasihi tewas sebagai satria-satria sejati, berkorban demi negara dan demi kebenaran!"
Ucapan gadis perkasa ini seolah-olah percikan air sewindu yang dingin sejuk, menyadarkan Pangeran Panji Sigit dari lamunannya. Ia kini sadar bahwa yang terpenting bukanlah nyawa dan hidupnya tiga orang yang dikasihinya itu, melainkan kehormatan mereka sebagai pembela0"pembela kebenaran.
Kalau ia menyerah lalu tewas dan mereka bertiga itu terbebas, mereka bertiga akan hidup merana dan merasa terhina selamanya. Apalagi Setyaningsih, tentu akan tersiksa hidupnya dan menganggap suaminya seorang pengecut yang mudah tunduk terhadap rayuan seorang wanita iblis macam Suminten.
"Duh Yayi Pusporini, terima kasih! Suminten, kau sudah mendengar sendiri, dan begitulah jawabanku untuk penawaran dan rayuanmu yang keji dan palsu itu!"
Suminten merasa seperti ditampar mukanya, akan tetapi ia masih belum putus asa. Pendirian Pangeran Panji Sigit dan Pusporini seperti itu, akan tetapi belum tentu demikian pendirian Joko Pramono, pemuda yang bertubuh tegap dan kejantanannya menarik hatinya dan membangkitkan berahinya itu. Ia memandang kepada Joko Pramono dan berkata,
"Bagaimana dengan engkau, Joko Pramono? Bagaimana pendapatmu kalau kau kuangkat menjadi komandan pengawal dalam istana, hidup di sini dengan aman dan makmur seorang diri atau berdua dengan Pusporini yang kaucinta?"
"Aku tidak sudi! Kalau engkau ingin menjilati telapak kaki iblis betina ini, Joko, silahkan akan tetapi aku lebih baik mati!"
Bentak Pusporini dengan galak.
Joko Pramono tersenyum.
"Jangan khawatir, Rini dewi pujaan hati yang terkasih. Wanita ini kuanggap sebagai ular beracun, mana aku sudi mendengarkan bujukannya? Seribu kali lebih baik mati daripada menyerah kepada wanita ini!"
Suminten tidak merasa sakit hati mendengar jawaban ini, malah kini is memandang kepada Setyaningsih yang sejak tadi memandangnya penuh kebencian, lalu berkata,
"Setyaningsih, aku tabu betapa engkau mencinta suamimu. Mengapa engkau tega benar melihat suamimu terancam bahaya maut? Apakah kau akan tega kalau melihat suamimu disiksa sampai mati, sekerat demi sekerat, di depan kakimu? Kau bujuklah suamimu agar suka menyerah dan menuruti permintaanku dan engkau akan hidup bahagia di sini bersama suamimu yang akan menjadi pangeran mahkota dan kelak mungkin menjadi raja di Jenggala dan engkau menjadi permaisurinya!"
Setyaningsih memandangnya dengan sinar mata makin marah, lalu menjawab,
"Suminten, aku mendengar bahwa engkau adalah bekas pelayan, bekas abdi dalem Ayunda Endang Patibroto. Biarpun sekarang dengan kelicikanmu engkau telah menduduki tempat tinggi, namun watakmu lebih rendah daripada watak seorang abdi dalem yang paling rendah. Lebih rendah daripada watak seorang Sudra yang paling hina! Aku adalah adalah seorang wanita berdarah satria, apa yang diucapkan suamiku, apa yang menjadi pendirian suamiku adalah pendirianku pula sampai mati!"
Suminten merasa mendongkol sekali hatinya, akan tetapi patut dipuji wanita ini yang pandai menyembunyikan perasaan tidak senang ini di balik senyum manis.
Senyumnya manis memikat, kerling matanya seperti kerling mata orang yang ramah, akan tetapi kata-kata yang keluar dari mulutnya sebelum meninggalkan empat orang tawanan itu mengandung ancaman yang mengerikan.
"Baiklah, saat ini kalian boleh merasa bangga akan kekerasan hati dan menganggap kalian gagah dan menang, boleh menertawakan aku dan menganggap aku kalah. Akan tetapi kalian belum mengenal Suminten! Akan tiba saatnya kalian menyembah dan meratap minta diampuni."
Setelah berkata demikian, wanita ini membalikkan tubuhnya dan pergi dari tempat itu, meninggalkan empat orang muda yang saling pandang dan sama sekali tidak bernapsu untuk mentertawakan Suminten.
"Kita harus menolong mereka! Kalau tidak segera ditolong, keadaan mereka akan terancam bahaya besar."
Wiraman berkata sambil mengepalkan tinju. Baru saja menerima laporan mata-matanya yang beroperasi di Kota Raja Jenggala, bahwa Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono, Pusparini dan Setyaningsih telah menjadi tawanan di dalem kamar tahanan istana, dan bahwa keselamatan nyawa mereka terancam karena didesas-desuskan keluar istana bahwa keempat orang muda itu telah memberontak.
Widawati memandang suaminya, dan berkata,
"Memang tidak ada jalan lain. Kita berdua hams menyelundup ke kota raja dan menolong mereka. Hanya kita yang dapat menolong mereka, karena kita yang lebih mengenal akan keadaan di istana."
Widawati memandang suaminya, dan berkata,
"Memang tidak ada jalan lain. Kita berdua harus menyelundup ke kota raja dan menolong mereka. Hanya kita yang dapat menolong mereka, karena kita yang lebih mengenal akan keadaan istana."
Wiraman memegang tangan Widawati dengan penuh kasih sayang. Wanita muda ini telah menjadi selirnya dan di antara mereka, biarpun terdapat perbedaan usia yang cukup banyak, telah terjalin cinta kasih dan pengertian yang kokoh kuat.
"Adinda Widawati isteriku yang tercinta. Tugas menolong mereka itu akan kulakukan sendiri dan engkau tak perlu ikut, Adinda. Tugas ini amat berbahaya dan akulah yang mengetahui dengan jelas akan seluk-beluk rumah tahanan di istana dengan semua alat rahasianya. Ingat, aku pernah bertugas sebagai kepala penjaga di sana."
"Tidak, Kakang Wiraman. Aku haruss ikut karena ini juga menjadi tugasku. Dengan menentang Suminten berarti aku telah melaksanakan dharma baktiku terhadap keluargaku yang terbasmi gara-gara kekejaman Suminten. Di samping itu, susah terlalu lama kita berkumpul dan sekarang aku tidak akan dapat berpisah lagi dari sampingmu. Ingatkah janjimu, Kakang? Kita hidup bersama mati berdua, senang sama dinikmati dan susah sama diderita?"
Wiraman menggeser duduknya, mendekat dan merangkul wanita muda dan cantik yang menjadi selirnya yang tercinta itu. Selatna hidupnya, biarpun is dahulu menjadi seorang pengawal pilihan yang berkedudukan tinggi di kepatihan Jenggala, belum pernah Wiraman mempunyai selir.
Sekarang, setelah mereka berdua menjadi korban racun ular wills sehingga melakukan hubungan sanggama dan terpaksa mereka saling terikat sebagai suami isteri, Wiraman merasa betapa kasih sayangnya terhadap wanita ini makin lama makin mendalam.
"Duhal Yayi Widawati, isteriku yang budiman. Alangkah akan bahagia rasa hatiku kalau dapat hidup aman-dan tenteram dalam sebuah rumah tangga di sampingmu dan isteri tua serta putera-puteriku. Adinda akan merupakan cahaya matahari dalam rumah tanggaku. Isteriku akan bangga mempunyai madu seperti Adinda, dan putera-puteriku akan menganggap Adinda sebagai contoh dan guru yang pandai!"
Widawati tersenyum sehingga lesung pipit di samping bibirnya nampak makin jelas.
"Semoga Dewata akan mengabulkan harapan Kakanda. Setelah tugas kita berhasil baik dan selesai, tentu akan tercapai idaman hati kita."
"Semoga begitulah, atau kalau gagal...
"
"Kita mati bersama,"
Sambung Widawati, dan mereka berangkulan dengan hati penuh keharuan.
Tidak ada kata-"kata yang dapat dikeluarkan akan dapat lebih jelas menunjukkan perasaan hati mereka yang penuh cinta kasih dan penuh keprihatinan menghadapi tugas berat itu.
Namun mereka berdua manusia yang saling mencinta ini memiliki pegangan yang amat kuat, yaitu cinta mereka dan keyakinan bahwa hidup atau mati, mereka takkan saling berpisah.
Cinta yang demikian besar amatlah kuatnya, mengatasi segala keraguan dan kekhawatiran, bahkan dengan modal cinta seperti itu, mereka akan menghadapi maut dengan mulut tersenyum.
Demikianlah,pada keesokan harinya,menjelang senja,Wiraman dan Widawati berhasil menyelun dup memasuki kota raja. Tentu saja tidaklah begitu sukar bagi Wiraman untuk menyelundup masuk dalam kota raja yang dahulu menjadi daerah dia bertugas.
Tidak ada lorong atau jalan rahasia yang tak dikenalnya dan pada malam harinya Wiraman dan Widawati sudah berhasil pula menyelundup masuk ke dalam kompleks bangunan tahanan di istana.
Tentu saja mereka tidak menempuh jalan depan seperti yang dilakukan Joko Pramono, Pusporini dan Setyaningsih dua hari yang lalu, melainkan mengambil jalan rahasia yang hanya diketahui oleh "orang-orang dalam"
Saja.
Mereka berdua muncul dari lorong rahasia itu dan tiba di bagian belakang bangunan tahanan, menyelinap di bawah pohon dan bersembunyi di bayangan yang gelap.
Untuk keperluan tugas penting menyelamatkan empat orang tawanan, Wiraman dan Widawati sudah bersiap-siap. Widawati mengenakan pakaian ringkas, bahkan bajunya ringkas tak berlengan, sebatang keris pusaka terselip di pinggang, rambutnya yang hitam panjang diikat ke atas agar tidak mengganggu gerakannya.
Adapun Wiraman sendiri bertelanjang baju sehingga tampak dadanya yang bidang dan kuat, sarung di luar celananya diikatkan ke pinggang dan tangannya memegang sebatang golok tajam, wajahnya serius dan penuh kewaspadaan. Setelah digembleng selama dua tahun oleh Resi Mahesapati, kepandaian Wiraman meningkat dan kini is menjadi seorang yang digdaya, sedangkan Widawati yang dahulunya seorang gadis yang lemah kini menjadi seorang gadis yang boleh diandalkan dalam pertandingan melawan musuh berat.
"Kita membobol jendela itu yang menuju ke dapur tahanan sang pangeran,"
Bisik Wiraman.
Widawati memandang ke depan. Dan bawah pohon itu, sejauh lima puluh meter, tampaklah jendela itu, sebuah jendela besar yang atasnya, pada dinding batu diukir muka seorang raksasa sehingga jendela dengan niji-rujinya dari besi itu merupakan mulut raksasa.
Akan tetapi di depan jendela itu terdapat empat orang penjaga yang berdiri tegak memegang tombak. Agaknya penjagaan di tempat tahanan itu amat kuat, sehingga jendela dapur saja dijaga oleh empat orang!
"Dijaga kuat! "
Bisik Widawati di dekat telinga Wiraman.
"Jendela itu jalan masuk yang paling mudah, dan penjaganya hanya empat orang. Melalui jalan lain tak mungkin pintu-pintu dijaga oleh lebih banyak penjaga. Kita hams robohkan mereka. Wati engkau robohkan penjaga yang berdiri paling kifi, dialah yang paling lemah di antara mereka. Sanggupkah?"
Widawati mengangguk dan memandang calon lawan itu dengan mata bersinar sambil meraba gagang keris yang terselip di pinggangnya. Melihat Widawati sudah siap, Wiraman menyentuh lengan yang berkulit hams itu, berbisik,
"Tunggu sampai mereka menoleh ke arah sambitan batu dari tanganku, baru turun tangan secepatnya, jangan memberi kesempatan mereka memekik. Mari kita mendekat, ke bawah pohon depan jendela itu."
Kembali Widawati mengangguk dan mereka berdua lalu menyelinap menyelinap melalui tempat gelap sehingga akhirnya mereka bersembunyi di balik batang pohon dekat jendela dan tempat para penjaga berdiri hanya beberapa meter saja dari mereka. Jantung kedua orang ini berdebar.
Wiraman menyentuh lengan Widawati, kini tidak lagi mereka berani saling berbisik. Widawati menoleh, mereka berpandangan dalam cuaca remang-remang, hanya diterangi lampu yang tergantung di sudut atas, dekat jendela.
Biarpun mulut mereka tidak berbicara, namun sepasang mata mereka berbicara banyak mencurahkan isi hati, sama-sama maklum bahwa saatnya telah tiba di mana mereka akan mempertaruhkan nyawa.
Kalau berhasil, mereka akan dapat menyelamatkan empat orang tokoh penting yang mereka junjung tinggi, kalau gagal berarti mereka akan tewas dan tidak ada kesempatan lagi bagi mereka untuk saling mengucapkan selamat berpisah di dunia ini. Sedetik mereka terharu dan seperti ada yang menggerakkan, keduanya saling mendekatkan muka dan berciuman sebagai pengganti kata-kata.
Ciuman yang amat mesra, ciuman yang mendatangkan semangat dan menambah keberanian karena dalam ciuman itu mereka dapat merasakan cita kasih masing-masing yang amat mendalam sehingga mereka yakin bahwa hidup atau mati, mereka takkan berpisah lagi. Setelah menghentikan ciuman, mereka saling pandang. Wiraman mengangguk sebagai pertanyaan dan Widawati mengangguk bagai jawaban bahwa ia telah siap.
Wiraman mengambil segenggam kerikil dari atas tanah, kemudian setelah mengukur jarak, ia menyambitkan genggaman itu ke arah kanan. Empat orang penjaga itu mendengar suara berkerosok di kanan, cepat menengok, bahkan memutar tubuh ke kanan dengan seluruh perhatian dicurahkan untuk melihat apa yang menimbulkan bunyi itu. Dan pada detik itu, Wiraman dan Widawati meloncat keluar dengan gerakan cepat bagaikan dua ekor harimau menerkam.
Widawati yang sejak tadi sudah memperhatikan penjaga yang tadi di ujung kiri menerjang maju, kerisnya diayun. Penjaga itu terbelalak kaget, memutar tubuh dan menggerakkan tombak, namun terlambat karena pada saat itu, keris pusaka di tangan Widawati telah menancap tepat di ulu hatinya.
Keris dicabut sambil meloncat ke samping agar tidak terkena muncratnya darah yang menyembur keluar dari dada, disusul robohnya penjaga itu. Wiraman juga sudah menggerakkan goloknya sehingga tampak sinar putih berkelabat.
Seorang penjaga roboh seketika dengan leher putus, penjaga ke dua roboh dengan perut robek dan isi perutnya keluar, akan tetapi penjaga ke tiga dapat menangkis sambaran golok dengan tombaknya. Tombak itu patah, akan tetapi ia dapat terhindar dari golok Wiraman. Namun, pada detik berikutnya, sebelum penjaga ini sempat berteriak, keris di tangan Widawati telah amblas memasuki lambungnya dan robohlah penjaga itu pula. Tubuh keempat orang penjaga itu hanya berkelojotan sebentar lalu terdiam, tak bernyawa lagi.
Tanpa banyak cakap Wiraman lalu menyeret dan melempar empat batang mayat itu ke dalam semak-semak di bawah pohon, kemudian ia menggandeng tangan Widawati mendekati jendela yang kini tidak terjaga lagi.
Mereka mengintai dari luar jendela melalui ruji-ruji jendela dan betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa di sebelah dalam dapur rumah tahanan itu terdapat belasan orang penjaga lain yang sedang makan minum. Agaknya mereka adalah penjaga-penjaga yang tiba giliran beristirahat lalu mengenyangkan perut di dalam dapur itu.
Wiraman dan Widawati cepat melompat menjauhi jendela, kembali ke bawah pohon.
"Tidak ada jalan lain, hams memancing semua penjaga keluar dari tempat tahanan, kemudian dalam keributan kita masuk melalui jendela, membebaskan mereka dan melarikan diri melalui terowongan rahasia yang terdapat dalam kakus kamar tahanan,"
Bisiknya.
"Cara bagaimana memancingnya?"
Wiraman menunjuk ke arah lampu yang tergantung di atas jendela.
"Dengan api."
Ketika melihat kekasihnya mengangguk, Wiraman berbisik lagi,
"Kau tunggu di sini, aku akan membakar gudang perlengkapan di sebelah kanan itu. Setelah terjadi kebakaran dan keadaan geger, pergunakan golok ini untuk membabat putus ruji-ruji jendela."
Wiraman menyerahkan golok lalu menyelinap pergi. Widawati memandang ke arah lenyapnya bayangan suaminya dengan jantung berdebar tegang. Tak lama kemudian tampaklah api berkobar di sebelah kanan dan terdengar teriakan-teriakan orang.
Widawati melihat betapa banyak penjaga lari berserabutan keluar dari dalam rumah tahanan. Ia cepat menghampiri jendela dan mengintai. Girang hatinya melihat dapur itu kosong dan para penjaga yang tadi makan minum tidak nampak lagi, hanya tinggal bekas-bekas makanan dan minuman yang agaknya ditinggalkan dalam keadaan tergesa-gesa. Widawati lalu menggerakkan goloknya membabat ke arah jendela yang beruji besi.
"Trangggg ".
Golok itu terpental dan terlepas dari tangan Widawati karena tertangkis oleh sebatang keris yang digerakkan sebuah lengan tangan yang kuat sekali.
"Ha-ha-ha, sudah kuduga! Menimbulkan kebakaran untuk memancing para penjaga keluar! Kiranya seorang wanita yang cantik manis berani mati hendak menolong para tawanan. Aha, engkau boleh juga, manis, patut menjadi tawananku dalam kamar tidurku. Ha-ha-ha, senangkan hatimu karena menjadi tawanan Patih Warutama adalah hal yang amat nikmat dan menyenangkan!"
Mendengar bahwa orang yang menangkis goloknya itu adalah Patih Warutama, kemarahan dan kebencian Widawati tak dapat ia bendung lagi. Tangan kanannya mencabut keluar kerisnya, dan telunjuk kirinya menuding.
"Si keparat! Kiranya engkau inilah Warutama manusia iblis yang bersekongkol dengan iblis betina Suminten dan menghancurkan seluruh keluarga kakekku, Eyang Patih Brotomenggala? tahanan laknat, rasakan pembalasan Widawati, cucunya!"
Ucapan ini disusul dengan terjangan Widawati yang marah sekali. Ia menyerang dengan kerisnya, dan biarpun kepandaiannya sama sekali belum ada artinya kalau dibandingkan dengan kesaktian Ki Patih Warutama, namun dalam keadaan marah dan benci itu ia menjadi nekat dan gerakannya amatlah dahsyat dan ganas.
Ki Patih Warutama juga terkejut nendengar bahwa wanita muda yang antik ini adalah cucu mendiang Ki Patih Brotomenggala.
Tentu saja keturunan Brotomenggala harys dibasmi, akan tetapi sifat mata keranjang Warutama membuat ia merasa sayang kalau wanita cantik ini harus dibunuh begitu saja. Sebelum dibunuh akan ia tangkap dulu, dan memaksa seorang wanita untuk menuruti nafsunya merupakan hal yang menyenangkan bagi laki-laki yang berwatak bejat ini.
Sambil tertawa ia mengelak, tangan kanannya mencengkeram ke arah pergelangan tangan Widawati dengan gerakan amat cepat sehingga Widawati kaget sekali dan tentu saja ia segera menarik kembali kerisnya agar jangan terampas lawan. Akan tetapi ternyata bahwa gerakan cengkeraman dengan tangan kanan itu hanya gertak belaka, atau pancingan karena yang sesungguhnya bergerak adalah tangan kirinya yang tahu"tahu telah menyelonong maju, memegang dan membelai dada Widawati dengan remasan!
"Jahanam.....! "
Widawati menjerit.
"Ha-ha-ha-ha, engkau denok menggairahkan, manis!"
Warutama mengejek sambil tertawa-tawa.
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan Wiraman telah muncul di situ. Ketika Wiraman melihat isterinya berhadapan dengan Ki Patih Warutama, ia terkejut bukan main. Cepat ia menyambar golok yang menggeletak di atas tanah.
"Yayi Widawati, isteriku yang terkasih. Saat bagi kita berdharma bakti telah tiba. Keparat ini adalah Warutama, kita hams menandinginya dan mengadu nyawa!"
"Aku sudah tahu, Kakang Wiraman. Mari kita basmi iblis ini!"
Jawab Widawati.
"Apa? Cucu Brotomenggala ini isterimu? Heh, keparat, siapakah engkau berani membikin kacau di sini?"
"Buka telingamu baik-baik, Warutama. Aku Wiraman bekas pengawal rahasia kepatihan Janggala dan aku pernah melihat ketika engkau melakukan permainan sandiwaramu menolong sang prabu "
"Babo-babo, engkau mencari mampus!"
Warutama menjadi marah sekali karena orang ini merupakan orang yang amat berbahaya, yang mengetahui rahasianya ketika menjalankan siasat untuk menipu Raja Jenggala.
Ia telah menghunus kerisnya sambil loncat menghindar ketika golok Wiraman menyambar, kemudian ia menangkis tusukan keris Widawati dengan kerisnya sendiri. Widawati mengeluh karena telapak tangannya terasa panas dan hampir saja kerisnya terlepas dari pegangan tangannya. Akan tetapi ia menerjang tents dengan nekat. Juga Wiraman yang cukup maklum betapa saktinya patih barn dari Jenggala ini, menggerakkan goloknya dengan nekat dan menghujankan serangan bertubi-tubi yang selalu dapat dielakkan atau ditangkis oleh Patih Warutama.
Ki Patih Warutama menjadi penasaran dan juga heran. Setelah dua tahun yang lalu, ketika ia menghadapi para pengawal rahasia yang dikirim Patih Brotomenggala untuk melindungi sang prabu, ia menganggap para pengawal itu berkepandaian biasa saja. Akan tetapi mengapa pengawal ini memiliki kepandaian yang cukup hebat sehingga ia tidak dapat merobohkannya dalam waktu singkat? Juga cucu Patih Brotomenggala ini, biarpun gerakannya terlatih, akan tetapi memiliki dasar ilmu yang tinggi.
Kalau tidak lekas dibasmi, pengawal ini amat berbahaya dan cucu Brotomenggala itu pun amat berbahaya, pertama sebagai cucu bekas musuh besarnya, ke dua sebagai isteri Wiraman yang tahu akan semua rahasianya dahulu.
Dengan penasaran, Ki Patih Warutama lalu mengeluarkan pekik dahsyat dan tiba-tiba tubuhnya
(Lanjut ke Jilid 48)
Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 48
bergulingan di atas tanah seperti seekor trenggiling. Itulah Aji Trenggiling-wesi yang amat dahsyat dan banyak gerak tipunya. Sambil bergulingan dia mencari kesempatan untuk meloncat dan mengirim serangan tiba-tiba. Menghadapi ilmu bertanding yang aneh itu, Wiraman dan Widawati menjadi bingung dan mereka hanya dapat mengikuti gerak lawan yang bergulingan itu untuk dipapaki serangan kalau bangkit berdiri.
"Haaiiiitttt!"
Tiba-tiba tubuh Ki Patih Warutama mencelat ke atas dengan gerakan yang sukar diduga sebelumnya. Sambil meloncat ini ia mengayun keris pusaka Naga-kikik yang bereluk tujuh itu dan mengeluarkan sinar hijau dingin.
Sinar hijau berkelebat menyentuh dada Wiraman dan Widawati, tampaknya , hanya menyerempet saja, akan tetapi ujung keris Naga-kikik itu menjadi merah oleh darah yang memancur keluar dari ulu Kati Wiraman dan Widawati.
Kedua orang gagah ini merintih, golok dan keris terlepas dari tangan. Keris Naga-kikik itu mengandung racun yang berhawa dingin sehingga siapa terkena akan menjadi beku darahnya.
Wiraman dan Widawati pun yang tertusuk ulu hatinya hanya mengeluarkan darah sekali mancur lalu membeku, keduanya terhuyung, tangan meraih sambil membuka mata saling pandang berhasil saling peluk, roboh terguling bersama dan menghembuskan napas terakhir pada detik yang sama.
Mereka tewas dalam keadaan saling berdekapan, mati bersama sesuai dengan janji-janji mesra di kala mereka memadu cinta.
Para pengawal berdatangan dan Ki Patih Warutama memberi perintah,
"Seret mayat mereka ini, merekalah yang melakukan pembakaran dengan maksud merampas tawanan. Seret dan ikat di tengah alun"alun, biar besok semua rakyat dapat melihat! "
Pada keesokan harinya,berduyun-duyun penduduk di sekitar kota raja berdatangan untuk melihat dua orang penjahat yang membakar gudang istana.
Akan tetapi betapa kaget dan ngeri hati mereka ketika mengenal mayat laki-laki itu sebagai mayat Wiraman, seorang pengawal kepatihan dahulu yang amat disegani dan dihormati karena gagah perkasa dan baik budi.
Apalagi ketika mereka mengenal mayat Widawati yang seringkali dikagumi tari-tariannya semenjak masih kecil. Biarpun tidak ada yang berani secara terang-terangan, namun banyaklah penduduk yang diam-diam menangisi kematian demikian menyedihkan dari dua orang itu, terutama sekali kematian Widawati.
Segala yang terjadi dan tampak oleh pandangan mata manusia keadaannya seringkali tidak sesuai dengan pendapat manusia yang menyaksikannya, bahkan kadang"kadang berlawanan. Orang-orang menjadi terharu, menangisi kematian Wiraman dan Widawati yang mereka anggap amat menyedihkan.
Akan tetapi, bagaimanakah sesungguhnya? Adakah kematian mereka itu benar-benar menyedihkan, tentu saja terutama sekali bagi dua orang itu sendiri? Hal ini amat diragukan dan sungguhpun keadaan mati tak dapat dibuktikan oleh manusia hidup, namun mengingat akan janji-janji mereka berdua sebelumnya, kematian bersama itu belum tentu merupakan peristiwa yang menyedihkan bagi Wiraman dan Widawati. Siapa tahu kalau arwah kedua orang yang saling mencinta ini bergandeng tangan sambil tersenyum-senyum bahagia menyaksikan dunia dengan segala leluconnya yang mereka tinggalkan untuk selamanya.
Patih Warutama menyuruh mempertontonkan kedua sosok mayat itu. kepada penduduk dengan maksud agar mereka yang masih mempunyai niat memberontak menjadi gentar dan maklum akan kekuatan mereka yang kini menguasai Jenggala.
Akan tetapi, keadaan sesungguhnya bukanlah demikian karena rakyat diam-diam menjadi makin muak dan benci akan kekejaman-kekejaman dan pembunuhan-pembunuhan yang teijadi semenjak Suminten menjadi selir raja terkasih, semenjak Pangeran Kukutan menjadi putera mahkota, dan semenjak Ki Patih Warutama menjadi Patih Jenggala. Kebencian dan kemuakan yang menjadi rabuk berseminya rasa tak puas dan dingin memberontak dari rakyat!
Adapun tentang kematian Wiraman dan Widawati itu sendiri. Sia-siakah pengorbanan mereka? Sia-siakah usaha mereka membebaskan empat orang tawanan? Sia-siakah mereka mengorban kan nyawa sedang empat orang tawanan itu masih tetap tertawan? Kiranya tidaklah demikian dan hal ini akan terbukti dalam peristiwa-peristiwa selanjutnya. Peristiwa yang menyusul karena terjadi pada siang harinya setelah malam keributan di bangunan tempat tahanan itu.
Ketika Suminten mendengar akan usaha Wiraman dan Widawati yang hendak merampas tawanan dengan jalan membakar gudang, ia menjadi marah sekali dan habis kesabarannya. Ia cepat memberi perintah kepada pengawalnya, kemudian dia sendiri datang ke tempat tahanan untuk menyaksikan pelaksanaan usahanya yang terakhir untuk memaksa Pangeran Panji Sigit dan loko Pramono bertekuk lutut di depannya.
Ia merasa yakin bahwa akalnya yang terakhir ini akan berhasil dan harus berhasil, karena kalau tidak, ia sudah mengambil keputusan untuk membunuh empat orang muda yang keras hati itu.
Keputusannya itu tentu saja mengecewakan hati Ki Patih Warutama dan Pangeran Kukutan yang mempunyai niat lain lagi terhadap dua orang wanita cantik yang menjadi tawanan.
Pangeran Kukutan yang selalu merasa iri hati kepada Pangeran Panji Sigit, begitu melihat Setyaningsih sudah timbul hasrat hatinya untuk merampas isteri adik tirinya itu, atau setidaknya memperkosanya, baru akan puaslah hatinya.
Adapun Ki Patih Warutama tertarik akan kecantikan Pusporini, bahkan malam tadi ia sampai tersesat ke tempat tahanan semata-mata bermaksud untuk melihat Pusporini dan kalau mungkin.
"mendahului"
Suminten menggagahi gadis itu.
Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo