Perawan Lembah Wilis 12
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 12
Manusia hanya berhak menikmati, namun sama sekali tidak berhak memiliki.
Harta benda dan kedudukan, semua itu hanya benda titipan, sewaktu-waktu kita akan dipaksa berpisah dari mereka, mau atau tidak, suka atau tidak. Harta benda atau kedudukan akan pergi meninggalkan kita, atau kita yang akan pergi meninggalkan mereka.
Bahkan keluarga yang kita cinta, anak-anak, isteri dan semua keluarga, sesungguhnya bukanlah milik kita! Manusia hanya mendapat titipan yang dilengkapi dengan kewajiban-kewajiban sebagai manusia beradab, dan tidak lebih daripada itu.
Jika sudah tiba saatnya Yang Maha Kuasa yang menjadi Pemilik Sejati mengambilnya kembali dari tangan kita, tidak ada kekuasaan lain di dunia ini yang akan menahan atau mencegahnya. Harta benda dan kedudukan bisa musnah sewaktu-waktu. Anggauta keluarga tersayang bisa mati sewaktu-waktu. Atau dengan lain cara, jika Yang Maha Kuasa menghendaki, kita sendiri bisa mati sewaktu-waktu meninggalkan dan berpisah dari kesemuanya itu!
Ditinggalkan oleh atau meninggalkan segala sesuatu yang hanya "dititipkan"
Kepada kita. Karena itu, makin besar cinta kasih kita kepada semua itu, makin sengsaralah apablia dipisah dari kita. Seperti dua buah benda, makin kuat melekat, makin parah kalau dipaksa berpisah, makin parah luka yang terobek oleh perpisahan paksaan itu.
Sesungguhnyalah bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan atas segala benda, yang terkecil maupun terendah sekalipun, bahkan,, tidak mempunyai kekuasaan atas dirinya sendiri, tidak kuasa mengatur denyut jantung, aliran darah, tumbuhnya kuku dan rambut di tubuh kita. Tidak kuasa atas nyawa sendiri. Karena hanya Yang Maha Kuasa sajalah yang berkuasa atas segala benda, yang tampak maupun tidak!
Manusia tidak punya kuasa, hanya mempunyai hak menikmati anugerah dan kewajiban memelihara segala sesuatu yang dititipkan atau dianugerahkan kepadanya. Kalau tidak melaksanakan kewajiban, tidak benar pemeliharaannya, akan rusaklah kesemuanya itu dan akibatnya menimpa diri sendiri.
Segala peristiwa yang terjadi di atas bumi ini telah dikehendaki oleh Yang Maha Adil, dan betapapun peristiwa itu, adalah sudah tepat, wajar dan adil! Bukanlah hal yang aneh kalau sesuatu peristiwa mendapat tanggapan yang berlawanan.
Ada yang menganggapnya adil ada pula yang tidak, karena manusia amat dipengaruhi oleh nafsu ego masing-masing yang selalu mementingkan diri pribadi. Peristiwa yang menguntungkan dirinya pribadi akan dianggap adil, dan sebaliknya yang merugikan atau tidak menyenangkan dirinya pribadi akan dianggap tidak adil!
Akan tetapi sesungguhnya, setiap peristiwa itu adalah wajar dan adil, sesuai dengan sifat Yang Maha Adil! Manusia yang tidak dapat melihat keadilan dalam setiap peristiwa, hanya disebabkan karena tidak mengertinya. Tentu saja orang tidak akan dapat melihat keadilan kalau dia tidak mengerti akan duduknya perkara, tidak tahu akan sebab akibat.
Peristiwa yang menimpa diri Adipati Tejolaksono berturut-turut kalau dipandang dan dinilai mata manusia biasa tampaknya juga tidak adil karena satria perkasa ini seakan-akan selalu ditimpa kemalangan. Empat tahun telah lewat semenjak Endang Patibroto minggat pada malam hari itu, tak diketahui ke mana perginya, membawa Setyaningsih bersamanya. Empat tahun telah lalu semenjak Bagus Seta tidak berada di Kadipaten Selopenangkep.
Sementara itu, bahaya besar datang mengurung, seperti mendung-mendung hitam yang ditiup datang oleh angin angkasa yang keras sehingga tanpa disangka-sangka tahu-tahu telah memenuhi udara di atas kepala.
Tadinya Adipati Tejolaksono hanya mendengar berita bahwa ada pergerakan pasukan-pasukan asing di barat dan utara, akan tetapi karena tidak terjadi perampokan dan penyerbuan terhadap dusun-dusun, maka tidak ada laporan apa-apa yang sampai ke telinganya.
Kalau terjadi perampokanperampokan seperti yang dilakukan pasukan gerombolan Lembah Serayu seperti yang terjadi empat tahun yang lalu, tentu siang-siang sudah banyak rakyat yang datang melapor ke kadipaten.
Akan tetapi malam hari itu hati Sang Adipati Tejolaksono merasa gelisah tanpa sebab. Seringkali jantungnya berdebar aneh. Sebagai seorang sakti, sang adipati segera memasuki kamar dan duduk bersila di atas pembaringan, bermuja samadhi. Isterinya, Ayu Candra, juga merasa tidak enak hati, maka iapun duduk di dekat suaminya, siap melayani kebutuhan suaminya yang sedang bersamadhi itu.
Di dalam keheningan samadhinya, telinga sang adipati menangkap suara berisik, seolah-olah ia mendengar ombak laut selatan mengamuk, atau seolah-olah mendengar kawah Gunung Mahameru mendidih, ataukah Sungai Progo membanjir? Bulu tengkuknya meremang dan ia sadar dari samadhinya, menoleh kepada isterinya sambil menarik napas panjang.
"Nimas, apakah engkau merasa juga apa yang kurasakan?"
Ayu Candra mengangguk.
"Semenjak sore tadi hatiku merasa tidak enak"""..."
"Biarlah kita serahkan segalanya kepada kehendak Hyang Widhi, Nimas. Sekarang kau perintahkan pengawal untuk memanggil kepala pengawal menghadap, sekarang juga."
Biarpun agak heran mendengar suaminya menyuruh kepala pengawal menghadap di malam hari, hampir tengah malam, namun Ayu Candra tidak membantah, tidak pula bertanya, melainkan bergegas dari kamar dan memanggil pengawal yang menjaga di depan kadipaten Seorang di antara para pengawal itu cepat melakukan perintah ini, pergi memanggil kepala pengawal yang tinggal di ksatrian.
Tentu saja kepala pengawal segera menghadap dengan gelisah. Kala pada waktu seperti itu sang adipati memanggilnya menghadap, sudah pasti terjadi hal yang amat penting. Alangkah herannya ketika menghadap, sang adipati memerintahkan dia membawa pasukan dan berangkat malam itu juga keluar dari kadipaten, membagi pasukan dan melrkukan penyelidikan ke barat da utara.
"Bawa separuh pasukan keluar dan bagi menjadi dua, selidiki keluar kadipaten bagian barat dan utara. Separuh pasukan tinggalkan menjaga kadipaten, perkuat penjagaan dan perketat kewaspadaan. Kau sendiri pimpinlah pasukan yang bertugas keluar, kakang Mundingyudo, dan selidikilah desas-desus tentang gerakan pasukan asing di barat dan di utara itu. Kalau bertemu dengan pasukan-pasukan itu, jangan sekali-kali turun tangan menggempur mereka sebelum mengetahui apa kehendak mereka. Kemudian kirim laporan kepadaku tentang penyelidikanmu."
Maka ributlah para perajurit Kadipaten Selopenangkep karena pada tengah malam itu mereka semua diperintah untuk bangun dan bersiap-siap.
Kepala pasukan Raden Mundingyudo segera membagi-bagi tugas dengan para bawahnnya dan setelah berunding secara singkat, berangkatlah pasukan-pasukan Selopenangkep ini keluar dari kota kadipaten dan seperti rombongan semut pindah tempat mereka terpecah menjadi dua bagian, sebagian ke barat dan sebagian lagi ke utara.
Pasukan-pasukan yang tertinggal di kadipaten memperkuat penjagaan dan kewaspadaan sesuai dengan perintah sang adipati melalui Raden Mundingyudo. Semua persiapan bahkan sampai pemberangkatan pasukan keluar kadipaten, dilangsungkan dengan rapi. dan tidak sampai diketahul para penduduk sehingga tidak menimbulkan kepanikan.
Adipati Tejolaksono sendiri lalu mengajak isterinya pergi menghadap Roro Luhito di bagian belakang kadipaten kemudian sang adipati menceritakan tentang perasaannya yang tidak enak.
"Pergerakan pasukan-pasukan asing itu amat mencurigakan, Bibi. Karena itu malam ini juga saya sendiri akan pergi melakukan penyelidikan. Harap Kanjeng Bibi dan Ayu Candra bersikap waspada memlmpin pasukan yang melakukan penjagaan di kadipaten."
"Jangan khawatir, Ananda Adipati. Memang seyogianya dilakukan penyelidikan sendiri. Setelah apa yang Ananda saksikan ketika terjadi pertemuan di puncak Merapi, desas-desus tentang pasukan-pasukan asing itu harus dicurigai. Tentang kadipaten, cukup berada di tanganku dan isterimu Ayu Candra. Juga Pusporini sekarang bukan kanak-kanak lagi, tenaganya dapat kita pergunakan untuk memperkuat penjagaan kadipaten;"
demikian kata Roro Luhito yang biarpun usianya sudah lima puluh tahun lebih, hampir lima puluh dua tahun, namun semangatnya masih besar dan ketangkasannya tidak banyak berkurang.
Setelah meninggalkan pesan kepada isterinya agar berhati-hati menjaga kadipaten, dan mengatakan bahwa penyelidikannya tidak akan lebih daripada sepekan lamanya, Tejolaksono malam itu juga menyusul keberangkatan pasukan-pasukan yang dipimpin oleh Raden Mundingyudo dan teman-temannya. Karena Ia ingin agar penyelidikannya dapat dilakukan dengan leluasa, maka Adipati Tejolakspno mengganti pakaiannya dengan pakaian petani biasa dan ia berangkat dengan jalan kaki saja.
Namun, kiranya jika ia berkuda, tidak akan secepat perjalanannya sekarang karena ia mempergunakan Aji Bayu Sakti sehingga tubuhnya berkelebat cepat sekali bagaikan burung terbang sehingga dalam waktu singkat ia telah melampaui pasukannya yang menuju ke barat.
Kalau Mundingyudo ia perintahkan menyelidiki keadaan dan gerak-gerik pasukan asing yang kabarnya bergerak di daerah barat dan utara, adalah dia sendiri ingin menyelidiki keadaan rakyat di dusun-dusun, ingin melihat apakah terjadi sesuatu di dalam tata kehidupan rakyat pedesaan, terutama sekali tentang kehidupan budaya dan kepercayaan agama, karena sang adipati khawatir kalau-kalau rakyat akan dipaksa dalam hal ini oleh kekuatan-kekuatan asing.
Dalam penyamarannya sebagai seorang petani sederhana, dengan mudah Tejolaksono dapat masuk keluar dusun-dusun tanpa ada yang mengenalnya. Dan apa yang disaksikan membuat ia terkejut bukan main. Memang, pada lahirnya, tidak terjadi sesuatu yang menghebohkan di dalam dusun-dusun itu dan keadaan rakyatnya tampak senang dan tata tenteram kerta raharja. Akan tetapi sesungguhnya telah terjadi perubahan yang hebat. Di dalam beberapa buah dusun ia melihat telah didirikan wihara-wihara dan candi dan sebagian besar penduduk dusun sudah menukar pujaan mereka.
Di sebuah dusun, penduduknya mulai menukar pujaan menjadi pemeluk Agama Buddha, dan di lain dusun memuja Sang Hyang Shiwa. Akan tetapi karena ia tidak melihat kekerasan atau paksaan dalam hal pengembangan kedua agama itu, ia tidak dapat berbuat sesuatu. Hanya ia melihat gejala-gejala aneh dalam penukaran pujaan ini, yaitu lenyapnya para pendeta pemuja Sang Hyang Wishnu dan digantinya kepala-kepala dusun oleh pemuja Sang Hyang Shiwa atau yang beragama Buddha! Di samping itu, rakyat tertarik berganti pujaan karena kegaiban-kegaiban yang didemonstrasikan oleh pendeta-pendeta pembawa agama baru itu.
Adipati Tejolaksono lalu mendatangi Dusun Sumber karena ia mengenal baik kepala dusun di situ. Bahkan dia sendiri yang mengangkat Ki Sentana menjadi kepala dusun Sumber.
Ia tahu benar bahwa Ki Sentana adalah seorang pemeluk atau pemuja Sang Hyang Wishnu yang patuh, seorang bekas perajurit Panjalu yang setia. Ia mengharapkan keterangan yang jelas dari bawahannya itu tentang segala rahasia yang kini mencengkeram dusun-dusun di sebelah barat Selopenangkep. Ia memasuki dusun Sumber di waktu senja dan langsung mendatangi rumah kepala dusun.
Rumah itu sunyi dan gelap, bahkan di ruangan depan tidak ada meja kursinya, juga pekarangan depannya kotor sekali, tidak terpelihara. Tejolaksono memasuki halaman yang penuh dengan daun kering, terus maju memasuki ruangan depan, memandang ke arah pintu yang terbuka separuh sambil berseru.
"
"Kulonuwun..........!"
Tidak ada jawaban, akan tetapi telinganya yang tajam mendengar suara langkah kaki dari dalam rumah itu. Langkah kaki wanita, pikirnya, karena langkah itu halus perlahan, ia menanti dengan hati berdebar. Ada sesuatu yang tidak wajar dalam rumah Ki Sentana ini, pikirnya. Mengapa begini sunyi dan gelap? Mengapa rumah kepala dusun begini kotor tidak terawat?
Sinar terang tampak dari dalam dan tak lama kemudian muncullah wanita. yang langkah kakinya terdengar oleh Tejolaksono.
Wanita yang masih muda, kurang lebih dua puluh lima tahun usianya. Wanita yang cantik dengan sepasang mata yang bersinar tajam dan kerling serta tarikan mulutnya genit sekali. Wanita ini melangkah keluar dengan lenggang menarik, membawa sebuah lampu kecil. Begitu muncul dari pintu dan berhadapan dengan Tejolaksono, ia memandang penuh selidik dan pandang mata itu menjadi manis sekali, diikuti senyumnya memikat dan malu-malu. Biarpun wanita itu tidak berkata sesuatu, namun pandang matanya penuh pertanyaan dan Tejolaksono cepat memperkenalkan diri tanpa menyebut namanya,
"Maafkan kalau saya menganggu. Saya mohon berjumpa dengan Paman Sentana lurah dusun ini."
"Oohhh, sungguh tidak kebetulan sekali. Paman Sentana sedang tidak berada di rumah."
Suara wanita itu halus dan merdu seperti suara seorang waranggana, dan di waktu bicara, bibirnya bergerak memikat dan tampak giginya yang putih rata menggigit-gigit bibir bawah menyeling kata-katanya. Bibir yang penuh basah dan bergerak seperti itu, gigitan bibir, dagu yang kadang-kadang menggeser ke kanan kiri, kerling yang tajam menyambar, semua itu membayangkan kegenitan yang memikat sehingga Tejolaksono terheran-heran dan menduga-duga siapa gerangan wanita ini. Ia tahu bahwa Ki Sentana yang sudah tua tidak mempunyai puteri, hanya ada dua orang puteranya yang lima tahun lalu masih perjaka. Apakah wanita ini seorang di antara menantunya?
"Kalau bibi........... adakah...........?"
Tanyanya agak gugup, karena memang merasa canggung sekali dan tidak terduga-duga bahwa kedatangannya akan disambut seorang wanita muda yang selain cantik jelita juga jelas memperlihatkan sikap genit memikat!
Wanita itu menahan senyum, bibir bawah agak berjebi dan menggeleng kepala.
"Sayang sekali, bibi juga pergi bersama Paman Sentana."
Makin tidak enak rasa hati Tejolaksono melihat bibir yang berjebi sehingga tampak penuh dan merah itu serta mata yang makin menantang.
"Kalau begitu, biarlah lain kali saya datang lagi...........
"
Ia sudah hendak memutar tubuh ketika wanita itu berkata.
"Aehh, nanti dulu harap jangan tergesa-gesa pergi. Saya bukanlah orang lain, melainkan keponakan Paman Sentana, namaku Sariwuni. Lebih baik andika menanti di sini sebentar, karena malam ini paman dan bibi akan pulang. Paman dan bibi tentu marah sekali kepada saya kalau mendengar bahwa ada tamu datang tidak saya persilahkan menunggu. Silahkan masuk, Raden............. kamar tamu di sebelah kiri ini kosong. Harap suka menanti sebentar, tidak lama lagi paman dan bibi tentu akan pulang."
Lenyap keraguan hati Tejolaksono. Hemm, kiranya anak keponakan Ki Sentana. Heran dia bahwa Ki Sentana mempunyai seorang anak keponakan yang secantik dan segenit ini! Tidak apalah ia menanti sebentar, karena ia ingin sekali bicara dengan Ki Sentana. Pula, kalau ia tidak mau menanti, ke manakah ia akan mencari keterangan? Tanpa berkata sesuatu ia lalu menganggukkan kepala dan memasuki rumah itu, terus memasuki sebuah kamar yang cukup bersih namun sederhana di sebelah kiri ruangan depan. Wanita yang bernama Sariwuni itu meninggalkan pelitanya dalam kamar, lalu berkata manis,
"Silahkan Raden beristirahat sambil menanti."
Berdebar hati Tejolaksono. Baru sekarang ia melihat kejanggalan itu. Sudah dua kali Sariwuni menyebutnya "raden"! Tentu saja hal ini janggal dan aneh sekali! Biarpun ia seorang adipati, akan tetapi pada saat itu ia menyamar sebagai seorang petani sederhana dan wanita ini tidak mengenal siapa dia. Mengapa menyebut raden? Hatinya tidak enak, akan tetapi wanita. itu sudah melangkah keluar dari pintu kamarnya. Jelas tampak sepasang buah pinggul wanita itu bergoyang turun naik karena langkahnya yang sengaja dibuat-buat melenggang-lenggok.
Ah, kalau tidak sudah terlanjur memasuki kamar tamu, dan kalau tidak amat penting baginya menemui Ki Sentana, tentu ia tidak suka berada di sini. Ada sesuatu yang aneh pada diri wanita itu, seperti anehnya keadaan di rumah Ki Sentana ini yang sunyi dan tidak seperti dahulu.
Tejolaksono duduk di atas pembaringan di dalam kamar itu, pembaringan terbuat dari kayu jati. la termenung dan mengharapkan kedatangan Ki Sentana dengan cepat. Akan tetapi ketika terdengar langkah kaki, ia tahu bahwa yang mendatangi kamarnya kembali adalah wanita cantik itu. la tetap duduk dan mengangkat muka memandang ke arah pintu.
Benar saja, Sariwuni yang muncul di pintu kamar, kini kedua tangannya membawa sebuah penampan (baki) berisi nasi panas, lauk-pauk dan kendi air. Sambil tersenyum dan dengan wajah berseri-seri mata bersinar-sinar, Sariwuni menurunkan penampan dan mengatur hidangan itu di atas meja dalam kamar, dan berkata, suaranya halus,
"Raden, silahkan dahar seadanya."
Sambil berkata demikian, Sariwuni dengan gerakan luwes menuangkan air ke dalam kobokan (tempat mencuci sebelum makan ) kemudian memandang wajah Tejolaksono, tersenyummatanya menunduk seperti malu-malu dan mengundurkan diri
"Nanti dulu...........!"
Tejolaksono berkata dan Sariwuni berhenti melangkah lalu membalikkan tubuhnya yang ramping, memandang dengan alis terangkat. Manis sekali sikap dan wajahnya.
"Nanti dulu...........!"
Tejolaksono berkata dan Sariwuni berhenti melangkah lalu membalikkan tubuhnya yang ramping, memandang dengan alis terangkat. Manis sekali sikap dan wajahnya.
"Apakah yang dapat saya lakukan untukmu, Raden?"
"Tahukah engkau ke mana perginya paman dan bibi? Hari telah menjadi malam dan mereka belum juga pulang."
Dengan gerakan kenes wanita itu mengangkat kedua pundaknya dan kembali giginya tampak berkilau terkena sinar api pelita ketika ia membuka bibir.
"Saya tidak tahu ke mana, Raden. Akan tetapi paman tadi berkata bahwa tidak akan lama pergi dan malam ini pasti pulang."
Tejolaksono mengangguk-anggul< dan ketika wanita itu hendak membalikkan tubuh lagi ia berkata.
"Eh, Sariwuni, mengapa engkau menyebut aku raden? Aku hanya seorang petani kenalan Paman Sentana...........
"
Sariwuni tertwa dan menutupi mulut dengan tangan kirinya. Kembali gerakan ini amat manis dan kenes, gerakan wanita yang tahu akan kebiasaan puteri-puteri bangsawan dan tidak seperti biasanya seorang perawan dusun yang polos dan jujur.
"Hi-hik........... seorang petani tidak bicara sehalus bicaramu, Raden. Juga kaki tangannya tidak sehalus kaki tanganmu, kulltnya tidak seputih dan sebersih kulitmu. Selain itu, wajah seorang petani........... eh, tidak setampan...........
"
Wanita itu tidak melanjutkan kata-katanya, lalu membalikkan tubuh dan setengah berlari keluar kamar meninggalkan suara ketawa ditahan.
Tejolaksono termangu, mengerutkan keningnya kemudIan karena memang perutnya sudah lapar dan mulutnya haus, ia minum air dari kendi, mencuci tangan dan makan nasi putih yang pulen ditemani lauk-pauk yang cukup sedap. Selesai makan, ia mencuci tangan, membersihkan kakinya lalu naik ke pembaringan, duduk bersila menanti kedatangan Ki Lurah Sentana.
Akan tetapi sampai lama dan jauh ma'am, belum juga tuan rumah yang dinanti-nantinya itu datang. Tejolaksono menjadi hilang sabar. Akan tetapi ketika ia hendak turun dari pembaringan untuk menyelidiki hal ini, tiba-tiba pintu kamarnya itu terbuka dari luar. la terkejut karena kali ini ia tidak mendengar langkah kaki. Tahu-tahu pintu kamar itu terbuka dan muncul pula Sariwuni.
Tejolaksono yang masih duduk bersila di atas pembaringan, memandang dengan mata terbelalak. Wanita itu kini telah berubah jauh sekali. Kalau tadi hanya bersikap manis, kini sikapnya benar-benar keterlaluan. Menantangl Senyumnya masih manis memikat seperti tadi, rnatanya bersinar-sinar penuh daya tarik, rambutnya terurai lepas dan pakaian yang menutupi tubuhnya hanyalah sehelai tapih pinjung yang membungkus tubuh sampai ke dada kemudian bagian atasnya disuwelkan begitu saja di antara lekuk-lekuk dadanya.
Begitu ia masuk, bau yang harum menyerbu kamar. Bau mawar yang segar, seakan-akan Wanita itu baru mandi keramas air mawar? Kulit pundak dan lengan yang kuning langsat itu seperti lilin diraut, halus dan tipis sehingga membayangkan urat-urat yang halus berwarna kemerahan. Dengan lenggang lemah gemuiai, disertai pandang mata dan senyum malu-malu yang makin memperkuat daya pikat, Sariwuni bergerak memasuki kamar dan mendekati Tejolaksono. Bau harum bunga mawar makin memabukkan. Bau bunga mawar ini memang amat sedap dan kiranya tidak ada orang di dunia ini, terutama kalau ia laki-laki, yang tidak menyukainya.
"Raden,........... tentu engkau merasa kesal menanti kembalinya paman dan bibi........... , agaknya mereka besok pagi kernbali........... biarlah saya menemani Raden malam ini di sini...........
"
Suaranya tersendat-sendat, dada itu bergelombang turun naik dan suwelan tapih itu lama-lama tentu akan terlepas oleh gerakan dada.
Tejolaksono adalah seorang laki-laki. Pemandangan yang dihadapinya itu tentu saja amat menarik dan menggairahkan karena diapun seorang pria yang sehat dan normal.
Akan tetapi Adipati Tejolaksono adalah seorang ksatria sejati. Keteguhan batinnya tidak mudah tergoncang oleh pikatan dan bujuk rayu karena didasari keyakinan bahwa hal ini adalah tidak benar! Dia memiliki harga diri yang tinggi, tidak sudi ia melakukan pelanggaran susila yang akan menyeretnya turun ke lembah kehinaan. Wanita ini adalah keponakan Ki Sentana dan ia sebagai seorang tamu, bagaimana ia akan sudi mencemarkan kehormatan keluarga tuan rumah? Pula, ia dapat melihat bahwa watak yang rendah sajalah yang dapat mendorong seorang wanita muda seperti Sariwuni untuk bersikap tidak tahu malu seperti ini.
"Eh, perempuan! Di mana kesusilaanmu? Mundurlah!"
Bentaknya dengan muka menjadi merah.
Akan tetapi Sariwuni tidak menjadi takut, apalagi mundur. la berjebi sehingga bibir bawahnya melebar, memperlihatkan bagian bibir yang sebelah dalam dan amat merah.
"Duhai Raden, mengapa menolak cinta kasih mesra yang kusodorkan kepadamu? Jangan khawatir, paman dan bibi tidak ada, dan di rumah ini hanya ada kita berdua!"
Tiba-tiba Sariwuni sudah melangkah dekat dan kedua lengannya bergerak merangkul, suwelan tapihnya tiba-tiba terlepas dan ia hendak mencium muka sang adipati,
"Perempuan tak tahu malu! Pergilah!"
Tejolaksono menggerakkan tangan kirinya mendorong pundak Sariwuni. Tubuh wanita itu terdorong dan terlempar ke belakang. Akan tetapi alangkah kaget hati Tejolaksono ketika melihat wanita itu membuat gerakan jungkir balik ke belakang sehingga tidak sampai roboh dan kini sudah berdiri dengan mata terbelalak marah! Kedua tangan itu kini mengikatkan lagi ujung tapih yang terlepas, mengikatnya erat-erat pada dadanya.
Lenyaplah kini sikapnya yang memikat, berganti pandang marah dan mulutnya cemberut. Lenyaplah wajah bidadari terganti wajah iblis betina yang siap nenerkam korbannya! Setelah ikatan kainnya erat betul-betul, wanita itu menggerakkan kedua lengannya dengan gerakan aneh, membentuk lingkaran dan terdengar suara berkerotokan seolah-olah kedua lengannya menjadi patah-patahl Dan perlahan-lahan kedua tangan itu, dari ujung kuku sampai ke pergelangan tangan, berubah menjadi hitam. Pandang matanya menjadi buas ketika ia memekik,
"Si keparat Tejolaksono! Kau tidak suka mati dalam kenikmatan, biarlah kau mampus dalam penderitaan!"
Mendadak sekali wanita cantik itu menubruk maju, kedua tangannya' yang berkuku hitam itu mencengkeram ke arah muka dan perut. Serangannya ini ganas dan cepat bukan main!
Tejolaksono masih duduk bersila di atas pembaringan. Dia tadi terlampau kaget dan heran menyaksikan perubahan ini, apalagi mendengar namanya disebut. Akan tetapi ia maklum bahwa wanita ini bukan orang sembarangan. Terjangannya amat kuat dan cepat, sepasang tangan yang berkuku hitam itu dahsyat sekali. lapun tahu bahwa aji pukulan ini mengandung racun yang amat jahat. Bau harum kembang mawar kini lenyap tertutup bau wengur seperti bau ular berbisa. Karena maklum bahwa sepuluh buah kuku hitam itu tidak boleh menggurat kulitnya, ia lalu mengerahkan Ayi Pethit Nogo menyampok dari samping.
"Plakkk...........!!"
Sariwuni merintih perlahan dan terdorong mundur terhuyung-huyung. Akan tetapi ia tidak roboh dan hal ini saja membuktikan bahwa dia memang kuat dan berilmu tinggi. Tidak sembarang orang dapat bertahan terhadap sampokan Pethit Nogo. Maka Tejolaksono berlaku hati-hati dan sekali ia bergerak, tubuhnya sudah melompat turun, berdiri dan hersiap sedia menanti serangan lawan, sikapnya tenang. Ia memandang tajam dan bertanya dengan suara tegas,
"Perempuan, siapakah gerangan engkau sesungguhnya? Tidak mungkin keponakan Paman Sentana!"
Tiba-tiba waita itu terkekeh ketawa. Suara ketawanya berbeda dengan tadi. Kalau tadi halus merdu dan penuh rayuan, kini seperti suara ketawa seekor kuntilanak.
"Hi-hi-hi-hi-hik"!"
"Wuni, keluarlah engkau...........!"
Tiba-tiba dari luar rumah itu terdengar suara laki-laki yang besar dan parau. Mendengar ini, kembali Sariwuni terkekeh lalu tubuhnya berkelebat, ia sudah lenyap menerobos keluar dari dalam kamar melalui pintu. Suara ketawanya masih terdengar sebentar, kemudian suasana menjadi sunyi kembali.
Adipati Tejolaksono tidak mengejar. Ia seorang yang waspada. la maklum bahwa munculnya wanita itu memang sudah diatur terlebih dahulu. Fihak musuh, entah siapa mereka, telah mengenalnya, telah tahu akan kedatangannya dan sengaja menyuruh wanita iblis itu menjaga di pintu. Agaknya tadinya mereka hendak menggunakan wanita cantik itu menjebaknya, menggunakan kecantikannya.
Ia bergidik kalau teringat. Andaikata batinnya tidak teguh dan ia roboh oleh, rayuan dan kecantikan wajah dan tubuh wanita itu, tentu ia benar-benar akan mati dalam kenikmatan seperti yang dikatakan Sariwuni tadi! Andaikata ia meladeni rayuan Sariwuni, tentu ia akan dibunuhnya pula. Dan alangkah mudahnya ia akan terbunuh kalau ia melayaninya berkasih asmara! Sungguh berbahaya! Dan karena semua sudah diatur, maka ia yakin bahwa musuh-musuhnya telah mengatur jebakan pula di luar rumah itu.
Ia heran ke mana perginya Ki Sentana? Apakah yang terjadi dengan kepala dusun itu dan keluarganya? Ia merasa khawatir sekali karena di dusun-dusun lain banyak pula terjadi hal aneh, yaitu lenyapnya kepala-kepala dusun tanpa meninggalkan bekas! Ada pula yang kepala dusunnye masih ada, akan tetapi para pendeta dan pemimpin agama yang lenyap tak meninggalkan bekas. Apakah Ki Sentana juga telah lenyap pula?
Dengan hati khawatir Tejolaksono lalu melompat keluar dari kamar itu dengan sikap waspada dan seluruh urat syaraf di tubuhnya berada dalam keadaan siap siaga menghadapi segala bahaya. Ia menyambar sebuah lampu di ruangan tengah yang sunyi, terus ia berjalan memeriksa sampai ke belakang.
Dan di ruangan belakang, dekat dapur, ia melihat Nyi Sentana meringkuk di sudut dalam keadaan terbelenggu! Selain terbelenggu, juga muka wanita tua ini matang biru bekas pukulan dan cambukan, mulutnya tersumbat kain sehingga ia tidak mampu bergerak atau bersuara, hanya sepasang matanya saja yang sayu penuh kedukaan memandang terbelalak ketika Tejolaksono mendekatinya.
Cepat Tejolaksono berjongkok dan membuka ikatan tangan lalu membuang kain penyumbat mulut. Ia membantu wanita tua itu bangun duduk. Nyi Sentana mengeluh dan memijit-mijit kedua pilingan kepalanya, lalu mengurut-urut kedua pergelangan tangannya.
"Bibi........... , apakah yang terjadi, Bibi? Di mana Paman Sentana...........?"
"Aduh, Kanjeng Adipati!!"
Wanita itu menubruk kaki Tejolaksono dan menangis sesenggukan. Beberapa kali ia membuka mulut hendak bicara, akan tetapi yang keluar hanyalah isak dan sedu sedan. Tejolaksono membimbing wanita tua itu bangkit berdiri dan menuntunnya duduk di atas balai-balai di dalam dapur.
Diambilnya sebuah kendi air di dalam dapur itu dan diberinya minum. Wanita itu dengan gemetar minum air kendi dan berulang kali menghela napas panjang.
"Tenanglah, Bibi, dan ceritakan kepadaku apa yang telah terjadi di dusun ini, apa yang terjadi dengan keluargamu."
Wanita itu terisak-isak, akan tetapi sekarang sudah dapat mengatasi gelora hatinya yang penuh kedukaan dan kegelisahan.
"Aduh, Gusti Adipati........... , malapetaka besar menimpa keluarga hamba, juga dusun ini...........!"
"Di manakah adanya Paman Sentana, Bibi?"
"Entah ke mana dia pergi, Gusti....""
Tadipun masih berada di sini....""
Ah, dia telah menjadi seperti gila semenjak........... mereka datang...........
"
"Mereka? Siapakah? Siapa pula wanita yang bernama Sariwuni itu? Apakah benar dia keponakanmu?"
Wanita itu menggeleng-geleng kepala.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Semenjak........... iblis betina itu datang dan kawan-kawannya........... ah, dusun ini berubah sama sekali, rumah ini menjadi neraka bagi saya, ahhh"".."
Kembali ia menangis.
"Bibi, tenanglah dan ceritakan yang jelas dari permulaan."
Wanita itu menghentikan tangisnya, mengusap air mata, menarik napas panjang beberapa kali lalu memandang celingukan ke kanan kiri seperti orang ketakutan. Kemudian ia memegang tangan Tejolaksono dan berkata,
"Dua tiga bulan sudah saya menahan kesengsaraan hati, tak berani membuka mulut karena diancam. Sekarang, karena paduka sudah datang, baru hamba berani bercerita"
Malapetaka besar menimpa keluarga hamba. Mula-mula datang perempuan'itu yang diambil selir oleh Ki Sentana dan teman-teman perempuan itu seringkali datang bertemu. Mereka seperti iblis semua."
"AKAN TETAPI........... Ki Sentana sudah gila agaknya, tunduk di bawah kekuasaan wanita cantik seperti iblis....""""
"Sariwuni?"
"Benar, Gusti. Kedua putera hamba menentang ayah mereka, akan tetapi mereka itu lenyap, entah ke mana tak seorangpun mengetahuinya. Ki Sentana masih menjadi kepala dusun seperti semula, akan tetapi semua kekuasaan berada di tangan iblis betina itu. Ki Sentana hanya melakukan semua perintahnya. Dan hamba........... hamba tidak dibunuh agaknya untuk mengelabui mata rakyat. Hamba menjadi........... satu-satunya pelayan di rumah ini, yang lain-lain telah dIkeluarkan. Ki Sentana seperti gila rakyat dianjurkan untuk menyembah Sang Hyang Shiwa dan Bathari Durga........... yang menjadi pujaan wanita iblis Itu. Hamba takut disiksa dan disumbat agar jangan membuka suara, kemudian bahkan dilkat dan disumbat mulut hamba, karena mereka tahu bahwa paduka akan datang........... dan...........
"
Tiba-tiba Sang Adipati Tejolaksono mendorong tubuh Nyi Sentana sampai terguling dan ia sendiri melompat ke samping, menggerakkan tangannya memukul sehingga angin pukulannya menderu dan memukul runtuh belasan batang anak panah. Akan tetapi ia mendengar jerit lemah dan ketika ia memandang, ternyata leher Nyi Sentana telah tertembus anak panah dan wanita tua itu berkelojotan sebentar kemudian tak bergerak lagi.
Tejolaksono maklum bahwa wanita Itu telah tewas dan ia tak dapat menolongnya lagi. Kemarahan memenuhi dadanya dan pada saat itu terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh
Suara ketawa Sariwunil
"Keparat jahanam!"
Tejolaksono membentak marah sekali dan tubuhnya sudah mencelat ke atas. Demikian hebatnya ia
(Lanjut ke Jilid 15)
Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 15
mengerahkan tenaga dan menggunakan Aji Bayu Sakti sehingga terdengar suara keras ketika tubuhnya yang mencelat ke atas dan jebollah atap rumah berikut gentengnya!
Kini tubuhnya sudah berada di atas genteng dan ia berdiri tegak memandang ke bawah, ke arah luar rumah Ki Sentana. Ternyata di depan rumah itu telah penuh dengan orang-orang yang menjadi anak buah Sariwuni dan teman-temannya, maka ia memandang penuh perhatian.
Inikah pasukan asing yang kabarnya tidak pernah mengganggu dusun-dusun? Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat bahwa orang-orang yang jumlahnya lima puluh lebih Itu ternyata adalah penduduk dusun Sumber!
Dan di barisan depan, berdiri Ki Sentana sendiri dengan sebatang tombak di tanganl Di kanannya berdiri Sariwuni, kini sudah berpakaian lengkap dan ringkas, kelihatan cantik dan gagah, sebatang pedang di tangan kanan sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang.
Ada pula beberapa orang laki-laki tinggl besar yang ia tidak tahu siapa, entah pendududuk dusun entah orang lain.
"Tangkap penjahat!"
"Tangkap pembunuh...........!!"
Penduduk dusun itu berterlak-terlak dan mengacung-acungkan senjata dan obor ketika mereka melihat munculnya Tejolaksono di atas genteng. Mereka tadinya mengepung rumah itu dan menanti munculnya penjahat ini dari pintu, siapa kira tahu-tahu telah berada di atas genteng. Tejolaksono lalu melompat ke wuwungan paling depan, sehingga ia berada di atas sekumpulan penduduk dusun di bawah dan mereka semua dapat melihatnya dengan penerangan obor yang amat banyak itu.
"Heeeeeh, rakyat Sumber semua dengarlah baik-baik! Aku bukan penjahat bukan pula pembunuh. Aku adalah junjungan kalian, aku Adipati Tejolaksono, adipati di Selopenangkep! Kalian telah tertipu! Kepala dusun kalian, Ki Sentana, telah jatuh di bawah pengaruh orang-orang jahat. Sariwuni adalah seorang wanita iblis yang amat jahat! Insyaflah, hei rakyat dusun Sumber!"
Suara Tejolaksono amat nyaring dan mengatasi semua suara hiruk-pikuk karena ia mengerahkan hawa sakti untuk mendorong suaranya.
Mendengar suara ini, serentak suara para penduduk terhenti. Nama besar Adipati Tejolaksono amat mereka kenal dan masih amat besar pengaruhnya. Mereka menjadi bimbang dan ragu-ragu. Tadi Ki Sentana, kepala dusun mereka yang akhir-akhir ini amat royal dalam membagi-bagi hadiah kepada rakyatnya, mengumpulkan rakyat yang katanya harus menangkap dan mengeroyok seorang penjahat sakti yang membunuh isteri Ki Sentana. Akan tetapi mengapa penjahat itu adalah sang adipatu di Selopenangkep sendIri yang terkenal sakti mandraguna dan adil bijaksana?
"Tejolaksono! Engkau tidak patut menjadi junjungan kami lagi! Tidak patut menjadi Adipati Selopenangkep. Lihat saja, sebentar lagi engkau tentu akan dihentikan menjadi adipati. Engkau seorang penjahat besar! Siapa yang tidak mendengar nama busuk wanita iblis Endang Patibroto yang telah banyak membunuh banyak ponggawa Panjalu? Dan engkau malah menjadi suaminya! Ha-ha-ha, tak perlu kau membohongi rakyatmu. Hai, kawan-kawan, man kepung dan tangkap si laknat in Isteniku telah dibunuhnyal"
"Bohong....!"
Tejolaksono hanya mampu mengeluankan ucapan mi karena ia terlalu terheran-heran. Jelas bahwa yang bicara itu adalah Ki Sentana, orang bawahannya yang dikenalnya baik, yang menjadi sahabatnya, bekas perajurit Panjalu kawakan yang setia. Benar-benarkah itu Ki Sentana? Onangnya memang itu, juga suananya. Akan tetapi terdapat perubahan yang amat jauh berbeda. Apakah karena pengaruh Saniwuni?
Akan tetapi penduduk kini sebagian sudah ada yang menerobos masuk dan tak lama kemudian mereka keluar sambil berteriak-teriak.
"Benar, dia pembunuh jahat! Nyi Sentana telah dibunuhnyal Hayo tangkap! Kepung!"
Tejolaksono maklum bahwa dalam keributan seperti itu, percuma saja berdebat dengan kata-kata. Paling perlu menawan Ki Sentana untuk mengorek rahasia para pennjahat itu dan juga menawan atau membunuh Sariwuni yang jelas merupakan biang keladi semua peristiwa ini.
Ia lalu menggerakkan tubuhnya melayang turun bagaikan seekor burung garuda melayang. Para penduduk dusun Sumber ternganga dan kesima menyaksikan ini. Baru sekarang mereka menyaksikan seorang manusia dapat melayang turun dari tempat setinggi itu seperti seekor burung saja!
Mereka menjadi gentar dan lupa untuk menyerang! Akan tetapi ada beberapa orang yang menerjang maju, didahului oleh dua orang laki-laki tinggi besar yang tadi berdiri di dekat Ki Sentana. Dua orang itu bersenjata pedang pula seperti Sariwuni dan bersama lima orang penduduk lain, mereka menyambut turunnya tubuh Tejolaksono.
Sang adipati menggerakkan kaki tangannya dan lima orang penduduk itu terpental mundur dan tombak mereka terlepas dari pegangan kena gempuran hawa sakti yang keluar dari kaki tangan sang adipati. Akan tetapi alangkah heran dan kagetnya hati Tejolaksono ketika melihat bahwa dua orang laki-laki tinggi besar itu tidak terpengaruh dorongannya dan terus menerjang dengan babatan pedang mereka yang mengeluarkan angin saking kuat dan cepatnya.
"Hemm...........!"
Ia mendengus dan tubuhnya cepat menyelinap ke kanan, kemudian begitu dua batang pedang itu lewat, ia mendorong maju dan tubuhnya doyong pula ke depan. Cepat sekali kedua tangannya ini bergerak, tahu-tahu telah tiba di depan dada dua orang lawannya. Hal ini tidak aneh karena sang adipati yang perkasa telah menggunakan aji pukulan Kukilo Sakti sehingga gerakan kedua tangannya seperti dua buah kepala burung yang mematuk amat cepatnya!
"Singgg........... siuuuuttt............!!"
Adipati Tejolaksono terpaksa harus menarik kembali kedua tangannya sehingga pukulan Kukilo Sakti itu hanyalah mengenai dada kedua orang lawan dengan seperempat tenaganya saja karena dari belakangnya menyambar sebatang pedang yang hebat gerakannya dan tusukan sebatang tombak. Namun ia tahu bahwa pukulannya itu sudah cukup kuat untuk merobohkan lawan yang sakti.
Maka, amatlah kagetnya ketika dua orang tinggi besar itu hanya terhuyung mundur empat langkah saja dan terus maju lagi! Ah, kiranya di sini banyak orang sakti, pikirnya. Tentu dua orang mi merupakan kawan-kawan Sariwuni!
Betapapun juga, ia terpaksa membalikkah tubuh menghadapi serangan dari belakang tadi. Pedang yang menyambar dapat dielakkan dan kuku hitam yang mencengkeram dapat pula ia tangkis. Tubuh Sariwuni untuk kedua kalinya terhuyung ke belakang. Tombak di tangan Ki Sentana yang menyambar ia biarkan lewat di dekat perutnya dengan miringkan tubuh, kemudian secara mendadak ia menubruk maju dan di lain saat ia telah mengempit tubuh Ki Sentana yang tua itu sehingga tak dapat berkutik lagi!
Dengan lengan kiri mengempit tubuh Ki Sentana, Tejolaksono membalikkan tubuh, tangan kanannya siap untuk memukul atau menawan Sariwuni, akan tetapi ternyata wanita itu telah lenyap. DemIkian pula dua orang laki-laktinggi besar tadi , dan kini para penduduk sumber mengeroyoknya seperti rombongan semut mengeroyok seekor jengkerik.
"Aaahhh, kalian orang-orang bodoh!"
Bentak Tejolaksono dengan gemas, akan tetapi tentu saja ia tidak mau memusuhi rakyatnya sendiri, maka sekali mengenjot kedua kakinya dengan Ayi Bayu Sakti la meloncat tinggi melampaui kepala para pengurungnya, melesat jauh.
Tiba-tiba dari rombongan penduduk dusun itu menyambar tubuh Sariwuni menyerangnya dengan pedang yang menusuk ke arah leher. Pada saat itu, tubuh Tejolaksono maslh meloncat, maka cepat-cepat ia menggunakan tangannya yang kanan menyampok dengan jari-jari tangannya yang tepat mengenai pergeIangan tangan wanita itu.
Sariwuni menjerit, pedangnya terpental entah ke mana dan pergelangan tangannya menjadi lumpuh. Tak kuat ia menahan benturan jari tangan Tejolaksono yang mengandung aji pukulan Bojro Dahono yang panas laksana halllintar. Akan tetapi berbareng dengan jerit Sariwuni yang terhuyung ke belakang, juga Ki Sentana memekik.
Kagetlah Tejolaksono ketika memandang dan melihat betapa pipi Ki Sentana terdapat guratan menghitam. Kiranya wanita iblis Itu tadi menyerangnya dengan pedang dan berbareng menyerang Ki Sentana dengan kuku tangan kiri! Karena ingin mendengar penjelasan Ki Sentana, apalagi melihat betapa para penduduk Sumber terus mengepungnya, ia tidak mau melayani lagi.
Musuhnya hanyalah Sariwuni dan dua orang laki-laki tinggi besar itu, dan kini wanita itupun sudah lenyap lagi, agaknya bersembunyi di antara penduduk yang demikian banyak. Ia mengerahkan tenaga melompat terus berlari menghilang dl dalam kegelapan malam sambil mengempit tubuh Ki Sentana. Setelah larl jauh meninggalkan dusun Sumber dan mendapat kenyataan bahwa tidak ada orang mengejar lagi, barulah Tejolaksono, berhenti dan menurunkan tubuh Ki Sentana.
Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika melihat bahwa Ki Sentana telah menjadi mayat! Di bawah sinar bulan yang cukup terang, ia melihat betapa muka Ki Sentana kini telah berubah hitam yang menjalar sampai ke leher dan kulit muka dan leher itu telah mulal rusak dan membusuk!.
Tejolaksono bergidik. Alangkah jahatnya kuku iblis betina itu. Inilah agaknya ilmu hitam yang disebut aji pukulan Wisakenaka (Kuku Beracun). Hawa beracun disalurkan melalui lengan sampai ke kuku tangan dan sekali kuku itu menggurat, racun akan memasuki kulit, menjalar sampai ke dalam jalan darah seperti gigitan ular yang paling berbisa!
Tejolaksono termenung. la merasa kasihan kepada Ki Sentana ini. Ia dapat menduga kini apa yang telah terjadi.
Tentu Ki Sentana ini telah dipengaruhi oleh segerombolan penjahat yang amat sakti. Mula-mula kepala dusun yang sudah tua ini dipikat dengan kecantikan Sariwuni dan ia tidak menyalahkan Ki Sentana kalau sampai jatuh hatinya.
Memang wanita itu hebat dan cantik sekali. Kemudian,melihat keadaan yang tidak wajar, tentu Ki Sentana ini jatuh di bawah pengaruh ilmu hitam sehingga keadaannya seperti orang yang kehilangan kesadaran atau pikiran.
Dua orang puteranya tentu diculik dan tewas, isterinyapun tewas dan kini dia sendiri karena tertawan dan mereka tidak menghendaki ia membuka rahasia, ditewaskan pula.
Seluruh keluarga Ki Sentana terbasmi habis! Dan semua itu dilakukan dengan amat halus dan cerdiknya sehingga rakyat bahkan membela mereka!
Benar-benar amat luar biasa kali ini musuh-musuh Panjalu melakukan penyerbuan ke daerah Panjalu.
Bukan dengan kekerasan merampoki dusun-dusun seperti yang dilakuka gerombolan Gagak Serayu, melainkan dengan halus, yaitu mempengaruhi,menundukkan bahkan menculik para tokoh terkemuka di setiap dusun, yang mau tunduk menjadi kaki tangan, yang tidak tunduk diculik dan lenyap, diganti orang-orang yang mau bersekutu, kemudian melalui tokoh-tokoh yang menjadi kaki tangan ini, rakyat dipengaruhi dan dibelokkan kepercayaan mereka sehingga Agama Wishnu terdesak oleh agama baru yang memuja Shiwa, atau Bathari Durga, tentulah perbuatan kaki tangan Kerajaan Cola dan Sriwijaya!
Terbuktilah kini ancaman yang dikeluarkan pendeta-pendeta Agama Buddha dan Shiwa dahulu itu dan cocok pula dengan apa yang ia dengar dalam pertemuan antara Ki Tunggaljiwa dengan Biku Janapati dan Wasi Bagaspati! Mengembangkan agama tidak dengan kekerasan, menaklukkan negara tidak dengan perang, akan tetapi membersihkan tokoh-tokoh yang menentang.
Dan mengingat betapa baru kaki tangan mereka saja, seperti Sariwuni dan dua orang laki-laki tinggi besar yang sanggup menahan pukulan-pukulannya, Tejolaksono bergidik.
Bahaya besar mengancam Kerajaan Panjalu, bahaya yang datangnya dari barat dan utara, yang datang bagaikan air banjir seperti yang ia lihat dalam samadhinya malam itu di Kadipaten Selopenangkep.
Teringat akan kadipaten yang ditinggalkannya, Tejolaksono tersentak kaget. Musuh amat banyak, juga
amat pandai dan sakti. Perjalanannya meninggalkan kadipaten sudah diketahui musuh.
Buktinya Sariwuni dapat tahu siapa dia. Hal ini amatlah berbahaya. Bagaimana kalau kadipaten diserbu selagi ia tidak ada? Seperti yang dilakukan Lima Gagak Serayu dahulu? Tejolaksono cepat menggali lubang dan mengubur jenazah Ki Sentana.
Kemudian malam itu juga ia melanjutkan perjalanan dengan cepat, kini menuju ke Selopenangkep.
Ketika tiba di Selopenangkep, kota kadipaten tampak sunyi, akan tetapi hatinya lega dan kagum menyaksikan penjagaan yang rapi dan kuat. Benar-benar bibi Roro Luhito boleh diandalkan, pikirnya, karena ia tahu bahwa bibinya itulah yang mengepalai penjagaan ini.
Heran, apakah bibinya sudah tahu akan ancaman bahaya besar sehingga Kadipaten Selopenangkep siap sedia dalam keadaan perang. Ataukah Mundingyudo sudah kembali dari penyelidikannya?
Malam hari itu ia memasuki Kadipaten Selopenangkep dan kembali la girang dan kagum sekali ketika ia baru saja meloncati tembok pintu gerbang dengan kecepatan Aji Bayu Sakti, dari sebelah dalam muncul belasan orang penjaga yang tadinya bersembunyi dan barisan tombak menghadangnya, dilkutl bentakan keras,
"Berhentil"
Akan tetapi para perajurit Itu terkejut dan girang mendapat kenyataan bahwa yang bayangannya berkelebat mencurigakan itu ternyata adalah sang adipati sendiri.
Mereka lalu memberi hormat.
"Bagus! Teruskanlah penjagaan kalian dengan waspada."
Sang adipatl memuji lalu melanjutkan perjalanan menuju ke gedung kadipaten. Kalau para penjaga itu dapat melihat kedatangannya, berartl bahwa kadipaten tidak akan mudah kebobolan. Memang baris pendam penting sekali untuk menghadapi penyerbuan diam-diam dari orang-orang sakti yang memiliki kepandaian tinggi.
Biarpun waktu itu sudah malam, namun Roro Luhito,Ayu Candra, dan Pusporini menyambutnya dengan pakaian ringkas dan dalam keadaan siap siaga, senjata tidak terlepas dari tangan. Jelas nampak terbayang pada wajah tiga orang wanita ini, terutama wajah Ayu Candra, betapa girang dan lega hati mereka melihat kembalinya Adipati Tejolaksono.
Dengan singkat Adipati Tejolaksono menceritakan pengalamannya dan tiga orang wanita itu mendengarkan dengan mata terbelalak dan muka pucat. Mereka maklum akan besarnya bahaya yang mengancam.
"Aku sudah menaruh curiga ketika mendengar laporan Mundingyudo,"
Kata Roro Luhito.
"Biarpun pasukanpasukan asing Itu tidak melakukan penyerbuan, akan tetapi mereka amat banyak dan melakukan gerakan mengurung Selopenangkep, karena Itu aku segera mengatur penjagaan sekuat-kuatnya."
"Memang keadaannya gawat sekali, Kanjeng Bibi,"
Kata Tejolaksono yang segera menyuruh panggil Mundingyudo menghadap. Kepala pengawal Selopenangkep ini segera datang dan menuturkan hasil penyelidikannya.
"Hamba melihat banyak sekall pasukan campuran yang datang dari barat dan utara,"
Demikian antara lain laporan Mundingyudo.
"Biarpun mereka itu tidak pernah menyerbu sebuah dusun, namun mereka amat mencurigakan. Bahkan menurut penyelidikan anak buah hamba, terdapat pula orang-orang bekas gerombolan Gagak Serayu, para penjahat dari Lembah Serayu, di antara pasukan. Pimpinan mereka, yang dari utara adalah pedanda-pedanda (pendeta Buddha) dan yang dan barat adalah pendeta-pendeta Agama Shiwa. Pasukan-pasukan kita tidak menemui tentangan, akan tetapi mereka itu makin mendekati Selopenangkep dari pelbagai jurusan, agaknya hendak mengurung. Hamba mohon keputusan paduka."
Tejolaksono mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu mengkhawatirkan keadaan Selopenangkep, yang lebih ia khawatirkan adalah keselamatan Kerajaan Panjalu.
"Kakang Mundingyudo, malam ini juga engkau berangkatlah ke Kerajaan Panjalu, menghadap sang prabu di Panjalu menghaturkan surat laporanku. Agar engkau tahu akan maksud tugasmu ini, ketahuilah bahwa pasukanpasukan asing itu menurut perkiraanku dan hal ini tidak meleset kiranya, adalah pasukan-pasukan kaki tangan Sriwijaya dan Kerajaan Cola yang selain akan memperkembangkan agama, juga bermaksud memperluas wilayah jajahan mereka di Jawa-dwipa. Maka itu, biarpun mereka tidak melakukan gerakan menyerang, namun perlu mereka itu disapu dari wilayah Panjalu karena mereka telah melanggar perbatasan. Agar jangan sampai terlambat, sekarang juga seyogianya Kerajaan Panjalu mengerahkan barisan dan melakukan pembersihan. Demikian isi laporanku, Kakang."
Setelah menulis surat laporan dan menyerahkannya kepada pembantunya itu, berangkatlah Mundingyudo
malam itu juga menuju ke Panjalu. Kemudian Adipati Tejolaksono memasuki kamarnya untuk beristirahat, diikuti oleh isterinya.
-oo0dw0oo-
"Kejar...........!"
"Tangkap mata-mata"".!"
"Bunuh...........!!"
"Aduhh........... ahhh........... aduhh........... trang-trang-trang...........!!"
Suara ini memecahkan kesunyian di pagi hari depan gedung Kadipaten Selopenangkep. Para perajurit pengawal sibuk mengurung empat orang sambil berteriak-teriak dan beberapa orang pengawal roboh tumpang tindih.
Seorang di antara mereka yang dikeroyok pengawal ini diam saja, hanya melangkah maju memasuki pekarangan kadipaten sambil tersenyum. Sikapnya tenang namun ia congkak sekali, mengangkat muka dan membusungkan dada yang tipis.
Ia seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun, tubuhnya kurus tinggi, rambutnya penuh uban panjang terurai di kedua pundak sampai ke pinggang, pakaiannya jubah pendeta berwarna kuning, telanjang dan memegang sebatang tongkat hitam yang bentuknya seperti ular kering.
Wajah laki-laki tua Ini merah seakan-akan bagian tubuhnya itu penuh dengan darah di dalamnya, bahkan kedua matanya juga kemerahan.
Hidungnya panjang melengkung seperti paruh betet, mulutnya lebar dan karena selalu tersenyum, tampak deretan gigi yang ompong dan menguning. Kalau rambutnya panjang, adalah mukanya yang merah itu sama sekali tidak berambut, tidak ada sehelaipun kumis atau jenggot, agaknya habis dicabuti.
Adapun tiga orang yang mengikutinya adalah dua orang laki-laki tinggi besar berusia empat puluhan tahun dan seorang wanita cantik jerusia dua puluh lima tahun. Lakilaki tua berjubah pendeta itu berjalan tanpa memperduli kan pengeroyokan dan pengejaran, akan tetapi, tiga orang inilah yang melindunginya dan setiap ada perajurit yang maju menyerang tentu perajurit itu terlempar berikut senjata mereka.
Tiga orang ini hebat bukan main, dengan tangan kosong mampu melempar-lemparkan para perajurit yang berani mendekat dan menyerang. Empat orang ini pagi tadi dengan enak dan tenangnya memasuki pintu gerbang yang baru terbuka, tidak perduli akan larangan dan teguran para penjaga.
Mereka berjalan terus memasuki kota, menuju ke kadipaten, terus berjalan maju dan tiga orang itu membabati semua penghalang, namun agaknya mereka menjaga agar mereka tidak sampai membunuh para perajurit sehingga mereka yang dilempar-lemparkan atau dirobohkan hanya mengalami babak-belur dan patah tulang saja.
Seorang di antara para pengawal sudah masuk ke gedung kadipaten untuk melaporkan datangnya empat orang aneh itu. Adipati Tejolaksono segera keluar diikuti Ayu Candra, Roro Luhito, dan Pusporini, kesemuanya sudah siap siaga dengan keris di pinggang. Begitu keluar dari gedung dan melihat empat orang itu menghadapi kepungan para pengawal dengan tenang, melihat pula betapa tiga orang itu dengan mudahnya melemparlemparkan para perajurit yang berani menyerang, Tejolaksono segera berseru,
"Para pengawal, tahan dan mundur semual"
Perajurit-perajurit pengawal berbesar hati melihat munculnya Adipati Tejolaksono. Mereka maklum bahwa empat orang yang datang ini adalah orang-orang sakti dan untuk menghadapi mereka ini, hanyalah sang adipati dan keluarganya yang akan mampu menanggulangi. Mereka lalu mengundurkan diri namun masih mengurung dari jarak jauh, siap menanti perintah sang adipati.
Tejolaksono diikuti tiga orang wanita itu melangkah maju perlahan-lahan memasuki halaman kadipaten yang amat luas, merupakan sebuah alun-alun kecil. Diam-diam Tejolaksono marah sekali ketika mengenal tiga orang itu.
Wanita cantik itu bukan lain adalah Sariwuni yang pernah dijumpainya, bahkan yang pernah menggodanya dengan sikap yang tak tahu malu. Kini wanita itu berdiri dan memandangnya dengan mata bersinar-sinar dan bibir yang manis itu tersenyum-senyum.
Sungguh seorang wanita yang tidak tahu malu dan mengingatkan ia akan dua orang tokoh wanita ketika ia masih kecil, yaitu Ni Nogogini dan Ni Durgogini (baca cerita Badai Laut Selatan).
Melihat Sariwuni, otomatis Tejolaksono melirik ke arah kedua tangannya, tangan dengan kuku beracun yang telah menggurat tewas Ki Sentana. Akan tetapi kedua tangan itu indah bentuknya, jari-jarinya runcing halus dan kuku-kuku jarinya yang diruncingkan itu putih halus kemerahan!
Adapun dua orang laki-laki tinggi besar di sebelah wanita itupun dikenalnya sebagai dua orang laki-laki tangguh yang pernah ia lihat di dusun Sumber. Akan tetapi laki-laki tua berpakaian pendeta itu baru kali ini ia lihat dan ia sama sekali tidak mengenalnya.
Betapapun juga, melihat sikapnya, ia dapat menduga bahwa pendeta itu tentulah seorang yang sakti, karena buktinya tiga orang itu bertindak sebagai pelindungnya.
Maka ia bersikap waspada dan hatihati, terus melangkah sampai berhadapan dengan empat orang tamu aneh itu.
Kini mereka berdiri berhadapan, saling memandang penuh perhatian. Kemudian Adipati Tejolaksono berkata,
"Kalau saya tidak salah mengira, tiga orang yang melindungi andika ini pernah saya jumpai di dusun Sumber."
Sariwuni memperlebar senyumnya dan memandang Tejolaksono dari atas ke bawah dengan kekaguman yang tidak disembunyi-sembunyikan,
"Aduh, Adipati Tejolaksono. Setelah kini melihatmu berpakalan adipati,tidak menyamar sebagai seorang petani kotor, engkau menjadi jauh lebih tampan dan gagah. Sungguh...........!!"
Senyumnya berubah senyum mengejek ketika wanita ini melihat pandang mata berapi penuh kemarahan dari Ayu Candra yang berdiri di sebelah kiri suaminya. Ingin Ayu Candra memaki dan menerjang wanita itu setelah kini ia dapat menduga bahwa tentu inilah Sariwuni yang diceritakan suaminya, akan tetapi ia menahan kemarahannya dan menyerahkan sikap menyambut empat orang aneh ini kepada suaminya
Tejolaksono tidak memperdulikan wanita cantik itu,melainkan berkata lagi kepada si pendeta,
"Menurut pelaporan para penjaga, andika bermaksud menemui saya dan menggunakan kekerasan memasuki kadipaten. Melihat pakaian andika, tak akan keliru kiranya kalau saya mengatakan bahwa andika seorang pendeta yang sudah pandai menguasai nafsu diri, akan tetapi melihat sepak terjang andika dan kawan-kawan andika, sungguh belum pernah saya mendengar ada tamu yang datang secara paksa dan menggunakan kekerasan, kecuali sebangsa perampok dan penjahat!".
Halus kata-kata Tejolaksono, namun langsung menusuk perasaan dan merupakan teguran keras.
Namun empat orang tamu itu sama sekali tidak kelihatan marah dan hanya tersenyum-senyum, yaitu Sariwuni dan si pendeta karena dua orang laki-laki tinggi besar itu tidak pernah tersenyum, juga tidak tampak marah.
Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo