Ceritasilat Novel Online

Perawan Lembah Wilis 6


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



"Hyaaaaattt.!! "

   Seruan nyaring ini keluar dari mulut Endang Patibroto dan tubuhnya itu sudah melejit seperti seekor burung walet, menghindar ke kiri Dengan membanting kaki kanan ke depan dan membalikkan tubuh, kini kaki kiri yang berbalik di depan. Ketika membalikkan tubuh tadi, cengkeraman lawan terelakkan, akan tetapi, pukulan lawan ditangkis dengan kepretan jari-jari tangan kiri yang menyambar dari atas ke bawah, menampar lengan kanan yang memukul perut itu dari atas ke bawah.

   "Plakkk...!!!! "

   "Aiiihhh!"

   Tubuh Mayangkurdo seperti diseret dan hampir saja ia terbanting kalau tidak cepat-cepat ia meloncat dan mematahkan tenaga yang mendorongnya. Kepretan jari-jari tangan yang lentik halus itu bukan sembarangan kiranya!

   Bukan sembarang tamparan, melainkan tamparan dengan jari-jari kecil halus yang penuh berisi "setrum"

   Aji Pethit Nogo! Mayangkurdo menjadi merah mukanya. Lengan kanan di bagian pergelangan yang tercium jari-jari tangan wanita itu terasa pedas dan panas. Ia sudah memasang kuda-kuda lagi, kini tubuhnya makin merendah sehingga kepalanya kira-kira setinggi dada Endang Patibroto.

   Di lain fihak, Endang Patibroto juga tertegun. Kepretan jari tangannya tadi hebat sekali dan jarang ada lawan dapat menahannya. Ia tadinya menaksir bahwa dengan pengerahan tenaga sakti Pethit Nogo, ia akan berhasil mematahkan lawan, atau setidaknya membuat lengan lawan keselio. Akan tetapi ternyata lawan ini hanya berseru kesakitan saja.

   Ketika ia memandang, pergelangan lawan itu jangankan patah, lecet atau bengkak pun tidak! Tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan lawan yang memiliki aji kekebalan yang lumayan kuatnya. Kembali ia memasang kuda-kuda, menanti lawan menerjang.

   Hanya dengan cara inilah ia mengharapkan dapat merobohkan lawan tanpa membunuhnya. Kalau dia yang mendahului menerjang, ia tidak percaya kepada dirinya sendiri, tahu bahwa aji-ajinya terlampau hebat untuk dibuat main-main. Ia khawatir kalau ia yang menyerang, lawannya ini akan terpukul mati dan hal ini sama sekali tidak ia kehendaki karena ia benar-benar ingin bersekutu dengan Blambangan agar maksud hatinya membalas dendam tercapai.

   Mayangkurdo seorang senopati yang tidak mengenal takut. Akan tetapi, gebrakan pertama membuat ia berhati-"hati sekali, dan tidak mau gegabah menerjang lagi seperti tadi. Ia hanya memasang kuda-kuda, kemudian melihat lawan tak bergerak sedikitpun, ia merubah kuda-kuda sambil melangkah maju setindak mendekat.

   Endang Patibroto tersenyum.Ia maklum bahwa perubahan kuda-"kuda lawan ini menempatkan ia dalam posisi terbuka dan lemah. Namun ia sengaja tidak merubah kuda-kudanya yang amat sederhana, yaitu kedua kaki lurus, tangan kiri miring di depan dada dengan jari terbuka, tangan kanan menempel di pusar, juga dengan jari terbuka.

   Kuda-kuda ini seperti kedudukan tangan orang yang sedang bersamadhi berlatih pembinaan tenaga dalam. Karena kini Mayangkurdo sudah merubah kuda-kuda dan menggeser ke sebelah kirinya, maka tentu saja kedudukan Endang Patibroto menjadi lemah.

   Kuda-kuda wanita sakti ini hanya menutup bagian depan tubuh, kalau lawan berada di kirinya, tentu saja lambung, dan leher sebelah kirinya menjadi terbuka dan tidak terjaga.

   Namun ia sengaja diam saja untuk memberi kesempatan kepada lawan agar suka menyerang karena iapun dapat menduga bahwa lawan menjadi hati-hati dan tidak mau menyerang secara sembrono seperti tadi.

   Saat yang dinanti-nantinya datang. Lawan menerjang dengan dahsyat sekali dan amat cepatnya sehingga dalam gebrakan ini, Mayangkurdo sudah menyerangnya dengan tiga serangan hampir sekaligus, yaitu dengan kedua tangan menyerang lambung dan leher, disusul sabetan kaki kanan menyerimpung kakinya!

   "Haaaittttt!!"

   Mayangkurdo berkelebat cepat sekali ketika menyerang sehingga bagi yang tidak dapat mengikuti gerakannya, melihat seolah-olah kedua lengannya lenyap menjadi bayangan menyambar.

   "Iiiiihhhh "

   Endang Patibroto berseru perlahan dan bagi Mayangkurdo, tubuh lawannya itu tiba"tiba saja lenyap sehingga tiga serangannya mengenai angin kosong! Barulah ia tahu ketika ada angin menyambar dari atas, cepat ia menangkis, namun kalah cepat karena pundaknya tiba-tiba disambar sesuatu yang lunak namun beratnya seperti Gunung Semeru menindih pundak. Ia merasa pundaknya seperti ambleg dan kedua kakinya menggigil dan tak dapat ia pertahankan lagi sehingga ia mendeprok berlutut! Kepalanya terasa pening, pandang matanya berkunang-kunang akan tetapi senopati yang tangguh ini belum juga roboh!

   Bagi orang lain yang menonton, mereka melongo ketika tadi melihat betapa tiba-tiba tubuh Endang Patibroto yang diserang dahsyat itu melambung tinggi melewati atas kepala Mayangkurdo dan dari atas, Endang Patibroto menggunakan tangan kirinya menghantam pundak lawan.

   Biarpun kelihatannya hanya menepuk perlahan, namun sesungguhnya telapak tangan kiri wanita sakti ini menggunakan Aji Gelap Musti yang ampuhnya menggila dan hebatnya seperti kilat menyambar. Sengaja Endang Patibroto tidak menggunakan Aji Pethit Nogo karena khawatir kalau-kalau ia akan meremukkan tulang pundak dan hal ini terlalu berat bagi lawan. Memang ada perbedaan antara semua aji yang dimilild Endang Patibroto.

   Aji Pethit Nogo (Ekor Naga) keistimewaannya adalah hawa sakti yang memenuhi ujung-ujung jari tangan. Aji ini didapatnya dari kakeknya, Resi Bhargowo. Karena terdapat di ujung-ujung jari, maka digunakan sebagai tamparan atau kepretan dan jari-jari yang berubah menjadi sekuat ekor naga ini dapat meremukkan tulang-tulang yang tertampar.

   Adapun aji pukulan Gelap Musti (Tinju Petir) ini dapat dipergunakan dengan tangan terkepal atau hanya dengan telapak tangan yang penuh dengan getaran tenaga yang timbul dari hawa sakti. Pukulan ini selain terasa berat seperti tindihan gunung, juga mengandung hawa panas yang melumpuhkan lawan, akan tetapi sifatnya tidak "tajam"

   Sehingga tidak membahayakan tulang seperti halnya Aji Pethit Nogo.

   Ada lagi ilmu pukulan hebat luar biasa yang dimiliki Endang Patibroto, yaitu yang disebut Aji Pukulan Wisangnala (Hati Beracun). Pukulan ini hanya dapat digunakan jika ia berada dalam keadaan marah dan sakit hati, jika ia bermaksud untuk membunuh lawan karena kemarahan yang hebatlah yang menjadi pendorong pukulan ini hingga menjadi pukulan beracun yang dapat menghanguskan isi rongga dada "manusia"

   Llmu-ilmu yang hebat ini ia dapatkan dari gurunya si manusia iblis Dibyo Mamangkoro!.

   Kembali Endang Patibroto tertegun. Pukulan yang ke dua itu, Gelap Musti, amat kuat dan ia tadinya mengharapkan memukul pingsan lawan. Akan tetapi siapa kira, lawannya hanya jatuh terduduk dan pening sejenak, terbukti dari kedua matanya yang dipejamkan. Kemudian tubuh pendek besar itu sudah meloncat bangun lagi seakan-"akan tidak pernah terpukul aji yang ampuh!.

   "Hebat "..!! "

   Katanya di dalam hati.

   Kiranya Blambangan memiliki senopati-senopati yang begini kuat. Ia tahu bahwa dalam hal kekebalan, Mayangkurdo ini tentu jauh lebih menang daripada Raden Sindupati, sungguhpun dalam hal ilmu silat, si pendek besar ini masih kalah setingkat.

   Pada saat itu, Mayangkurdo yang sudah menjadi marah sekali, telah menerjangnya secara bertubi-tubi dan hebat. Kali ini, dari kerongkongan Mayangkurdo terdengar suara menggereng-gereng seperti seekor harimau terluka.

   Namun serangan yang cepat ini malah menggirangkan hati Endang Patibroto. Makin cepat lawan menyerang, makin baik baginya karena jangankan hanya dengan gerak cepat yang dimiliki Mayangkurdo seperti itu, andaikata Mayangkurdo memlliki yang berlipat ganda, takkan dapat menandingi gerak cepatnya dengan aji Bayu Tantra ditambah gerakan-gerakan burung walet dan camar yang ia pelajari dahulu di waktu kecilnya dan ibunya, Kartikosari!

   Makin cepat Mayangkurdo menyerang, makin cepat pula tubuh Endang Patibroto bergerak mengelak sehingga lenyaplah bentuk tubuhnya, berubah menjadi bayangan yang kerkelebat ke sana ke mari! Mayangkurdo menjadi pening kepalanya, pandang matanya berkunang-kunang karena ia merasa seakan-akan bertanding melawan bayangannya sendiri.

   Para senopati, termasuk juga Adipati Menak Linggo, memandang dengan mata terbelalak dan mulut temganga. Gentarlah rasa hati mereka. Kecuali Raden Sindupati yang menonton dengan pandang mata penuh kekaguman dan dengan hati makin berdebar penuh rasa cinta berahi.

   Ia harus mendapatkan wanita ini! Harus! Belum pernah selama hidupnya ia mendapatkan seorang kekasih seperti Endang Patibroto ini, dalam mimpipun tidak pernah. Ia harus menggunakan akal, la harus berhasil memiliki tubuh denok ayu yang penuh dengan hawa sakti itu! Harus!.

   Pertandingan berjalan makin seru dan gerakan Endang Patibroto makin cepat sehingga akhirnya Mayangkurdo menyerang secara ngawur. Ke manapun ia melihat bayangan berkelebat, ke sanalah ia mengirim tinjunya..

   Akan tetapi karena bayangan itu makin lama makin banyak dan berkelebat di sekeliling tubuhnya, iapun ikut berputaran sambil menghantam sana sini sampai akhirnya ia roboh ter"guling pingsan dalam keadaan mata ter-belalak dan napas hampir putus, tubuhnya-kejang-kejangl

   Endang Patibroto berhenti bergerak, dan melihat keadaan lawannya, ia kaget sekali. Ia tahu bahwa biarpun ia tadi tidak memukul, namun keadaan Mayangkurdo kini lebih berbahaya lagi.

   Lawannya ini telah mengalami akibat daripada tenaga sendiri yang membalik, ditambah pening dan kemarahan meluap-luap sehingga kalau dibiarkan dalam keadaan seperti ini, ada bahaya akan putus napasnya.

   Cepat ia menepuk pundak lawan yang segera lenyap kejangnya, tubuhnya lemas dan pingsan, akan tetapi napasnyapun tidak magap-megap seperti. tadi. Dan ketika menotok pundak orang itu, diam-diam Endang Patibroto terkejut dan kagum karena baru ia tahu sekarang bahwa orang ini memiliki ilmu kekebalan yang setingkat dengan ilmu kekebalan gurunya, Dibyo Mamangkoro. Pantas saja kuat menahan pukulan-pukulan ampuh.

   Kini berisiklah ruangan persidangan itu. Para senopati saling berbisik dan rata-rata mereka itu memuji kehebatan ilmu kesaktian Endang Patibroto. Bahkan Adipati Menak Linggo sampai lama tertegun, kemudian setelah melihat Mayangkurdo bergerak dan bangkit duduk sambil mengeluh, barulah ia tertawa terbahak.

   "Ha-ha-ha-ha! Engkau benar hebat, Endang Patibroto!"

   Endang Patibroto menghadapi Adipati Menak Linggo, hatinya merasa puas.

   "Memang sejak kecil aku digembleng. untuk menjadi senopati, adipati! Kalau engkau masih belum yakin, boleh mengajukan penguji lagi."

   Ia menoleh ke sekelilingnya dan kali ini semua yang bertemu pandang dengannya, cepat-cepat menundukkan muka.

   "Masih ada lagikah senopati gemblengan yang hendak main-main sebentar dengan aku?"

   Kembali sunyi senyap di situ. Ketegangan timbul karena tantangan Endang Patibroto ini. Adipati Menak Linggo sendiri menjadi malu karena senopatinya seperti serombongan kelinci melihat munculnya seekor harimau buas.

   Bagaimanakah para jagoannya yang biasanya galak"galak itu kini menjadi seperti orong-orong terpijak, tidak ada suaranya sama sekali?

   Terdengar orang batuk-batuk, batuk buatan yang dimaksudkan mengusir keheningan yang mencekam.

   "Gusti adipati, kalau paduka menghendaki, biarlah hamba sendiri yang menguji kesaktian Sang Puteri Endang Patibroto."

   Inilah suara Ki Patih Kalanarmodo yang tadi batuk-batuk. Semua mata memandang kepada patih yang tua ini.

   Semua senopati maklum bahwa setelah Mayangkurdo kalah, memang tidak ada lain orang lagi yang patut menandingi Endang Patibroto. Ki patih ini adalah saudara seperguruan sang adipati sendiri, sungguhpun tingkat kepandaiannya masih kalah sedikit kalau dibandingkan dengan Adipati Menak Linggo, namun is sakti sekali dan ada kemenangannya terhadap sang adipati, yaitu ilmu di dalam air.

   "Kau, kakang patih? Ahhh, tidak usah, tidak perlu lagi.. Aku sudah percaya akan kesaktiannya. Endang Patibroto, engkau kuterima menjadi senopati perang. Memang kau tepat untuk memimpin bala tentaraku menyerbu Jenggala dan Panjalu. Akan tetapi, penyerbuan itu tidak perlu dilakukan secara tergesa-gesa, karena sekali bergerak, kita harus jangan sampai gagal. Kau boleh melatih dulu pasukan-pasukan istimewa yang akan menjadi penggempur terdepan. Sementara itu, kau tinggallah di sini, dan senangkan dirimu. Jangan khawatir, takkan lama lagi Jenggala dan Panjalu kita gempur, kita bikin karang abang (lautan api) dan kau boleh memuaskan hatimu membalas kematian suamimu, ha-ha-ha-ha!"

   Demikianlah, sejak saat itu, Endang Patibroto menjadi senopati di Blambangan. Ia diberi tempat tinggal mewah, di sebuah bangunan mungil indah di sebelah kiri istana, lebih indah dan lebih mewah daripada istana mendiang suaminya.

   Segala keperluannya disediakan oleh Adipati Menak Linggo dan tampaknya saja Endang Patibroto hidup senang, mewah dan mulia.

   Akan tetapi, di samping kesibukannya menggembleng pasukan penyerbu yang istimewa dan segala kemewahan yang menyelimuti hidupnya, di waktu malam seorang diri di dalam kamarnya Endang Patibroto menangis tersedu-sedu, menangisi suaminya dengan hati penuh kedukaan.

   DARI Adipati Menak Linggo sampai semua hulubalang, terutama sekali Raden Sindupati, semua amat menghormat dan ramah tamah kepadanya sehingga Endang Patibroto sama sekali tidak menyangka bahwa di belakang punggungnya, sang adipati seringkali berkasak-kusuk membuat rencana-rencana jahat dengan para pembantunya dan terutama sekali Raden Sindupati yang diserahi tugas untuk "membereskan"

   Endang Patibroto.

   "Menurut pendapat hamba, kita harus dapat menarik keuntungan sebanyaknya dari wanita iblis itu,"

   Demikian antara lain Sindupati mengemukakan siasatnya kepada sang adipati.

   "pertama-tama kita harus membiarkan dia menggembleng dan melatih pasukan Blambangan, kemudian setelah waktunya tiba, barulah diusahakan pembunuhan atas diri iblis betina itu untuk membalas dendam paduka. Hamba sanggup melakukan hal itu, malah malah menurut pendapat hamba, ada cara untuk membalas dendam yang lebih memuaskan hati, yang lebih hebat daripada membunuhnya begitu saja."

   "Heh-heh, cara bagaimana itu, senopatiku yang baik?"

   Wajah tampan Sindupati tersenyum, matanya mengerling penuh arti.

   "Paduka tentu dapat mengira sendiri apa yang lebih hebat bagi seorang wanita!"

   Sejenak adipati itu merenung, mengangkat alis, kemudian tertawa terbahak-bahak.

   "Huah-ha-ha-ha-ha, dasar kau tak boleh melewatkan batuk kelimis (wanita cantik) begitu saja. Aku mengerti ha-ha-ha-ha, aku mengerti , memang dia hebat, denok ayu seperti puteri Bali. Ha-ha-ha!"

   Beberapa pekan kemudian, Blambangan kedatangan seorang yang wajahnya tampan namun membayangkan kebodohan seorang dusun. Laki-laki ini usianya tiga puluhan tahun, pakaiannya sederhana sekali, pakaian petani yang miskin. Wajahnya biarpun tampan tampak bodoh, terutama sinar matanya yang seperti orang bingung. Laki-laki ini memasuki kota raja dan menawarkan tenaga kepada siapa saja yang suka memberinya makan.

   Akhirnya, pada suatu hari ia diterima menjadi tukang pemelihara kuda karena ia rajin dan pandai mencari rumput-rumput gemuk. Seorang perwira menerimanya dan menempatkannya di kandang kuda di mana dipelihara empat puluh ekor kuda tunggangan para perwira Kerajaan Blambangan. Laki-laki ini pandai sekali memelihara kuda dan semua kuda yang bagaimana binal sekalipun selalu menurut kalau dituntun dan dibersihkan tubuhnya oleh Sutejo, laki-laki ini.

   Dari pagi sampai petang Sutejo bekerja giat dan rajin, mencari rumput, memberi makan kuda, membersihkan mereka, dan membersihkan pula kandang. Para perwira suka kepada pelayan baru ini yang mengaku berasal dari dusun Cempa di kaki Gunung Tengger.

   Akan tetapi kalau malam tiba, lewat tengah malam pada saat semua orang sudah tidur, tampak bayangan hitam berkelebat ke atas atap kandang dan kemudian lenyap ditelan kegelapan malam untuk kemudian berkelebatan pula di atas atap istana!

   Dialah Sutejo si tukang kuda yang bukan lain adalah Joko Wandiro atau lebih tepatnya sekarang bernama Tejolaksono, adipati di Selopenangkep!.

   Seperti telah kita ketahui, Tejolaksono melakukan perjalanan ke Blambangan dan di tengah jalan la bertemu dengan Ki Brejeng yang membuka rahasia segala peristiwa yang terjadi di Jenggala dan Panjalu.

   Ia melakukan perjalanan untuk mengejar dan mencari Endang Patibroto yang menurut Ki Brejeng, telah ikut bersama rombongan pasukan Blambangan menuju ke Blambangan di mana tersedia perangkap untuk mencelakakan Endang Patibroto.

   Setibanya di daerah Blambangan, Tejolaksono lalu menitipkan kudanya pada seorang penduduk gunung, kemudian ia berjalan kaki memasuki kerajaan atau Kadipaten Blambangan dengan menyamar sebagai seorang petani bodoh yang mencari pekerjaan ke kota raja.

   Dapat dibayangkan alangkah heran dan cemas hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa Endang Patibroto kini telah menjadi seorang senopati besar dari Blambangan! Ah, Endang Endang pikirnya di hati, mengapa sampai sekarang engkau masih seperti dulu juga? Mengapa sudi menjadi Senopati Blambangan dan membiarkan dirimu tertipu? Ia makin cemas karena tidak mendengar akan diri Pangeran Panjirawit!

   Menurut penyelidikannya, Endang Patibroto datang ke Blambangan.bersama dengan pasukan dan tanpa Pangeran Panjirawit suaminya yang telah dibebaskannya dari penjara Jenggala. Apa artinya ini? Ia mendengar pula penuturan beberapa orang perwira tentang sepak terjang senopati wanita itu yang telah mengalahkan para senopati gemblengan dari Blambangan dan kini diperbolehkan tinggal di dalam istana Sang Adipati Menak Linggo sendiri!.

   Sudah beberapa malam ia melakukan penyelidikan ke istana, namum belum juga ia mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Endang Patibroto.

   Dalam penyamarannya sebagai tukang kuda seperti sekarang ini, tentu saja tidak mungkin baginya untuk berjumpa secara berterang dengan Endang Patibroto, bahkan di waktu senopati wanita itu melatih pasukan di alun-alun, iapun hanya dapat menonton dari jauh saja.

   Hatinya terharu kalau melihat wanita itu dari jauh. Tidak banyak perubahan dalam bentuk tubuh wanita itu, pikirnya. Masih langsing dan cantik jelita, tangkas seperti dahulu! Makin, trenyuh hatinya kalau mengenangkan nasib wanita itu dan makin besar keinginan hatinya untuk segera dapat berbicara dengan Endang Patibroto. Akan tetapi jangan sampai diketahui orang lain di Blambangan karena hal itu akan menjadi berbahaya sekali.

   Malam itu ia sudah mengambil keputusan bulat untuk memasuki kamar Endang Patibroto. Sebagaimana lajimnya tempat tinggal seorang senopati, rumah di samping istana itu terjaga oleh para pengawal. Ia harus menemui Endang dan kalau perlu, ia akan menggunakan aji penyirepan atau kalau terpaksa akan merobohkan para. pengawal.

   Dengan aji keringanan tubuh Aji Bayu Sakti, bagaikan seekor burung garuda saja

   Tejolaksono berloncatan di atas atap istana yang amat tinggi. Andaikata secara kebetulan ada penjaga yang melihatnya, tentu penjaga itu akan mengira bahwa yang dilihatnya adalah bayangan burung malam atau kalong, demikian cepatnya bayangan itu berkelebat. Tak lama kemudian Tejolaksono sudah berada di atas sebuah bangunan mungil yang menjadi tempat tinggal Endang Patibroto.

   Ia mengintai dari atas dan melihat dua orang pengawal peronda. Tanpa melalui dua orang pengawal ini, tak mungkin ia dapat turun mencari kamar Endang Patibroto, pikirnya. Maka cepat ia menyambar dari atas, kedua tangannya bergerak dan dua orang pengawal itu roboh pingsan tanpa mereka tahu mengapa mereka begitu!

   Cepat sekali pukulan Tejolaksono tadi menampar di belakang telinga dua orang pengawal. Kemudian Tejolaksono berindap-indap menyelinap ke pinggir bangunan dan tiba-tiba ia mendengar isak tertahan.

   Cepat ia menyelinap dekat dan mengintai dari celah-celah daun jendela. Dilihatnya Endang Patibroto menelungkup di atas pembaringan sambil menangis! Yang tampak hanyalah belakang tubuh wanita itu, pinggulnya yang menyendul dan pundaknya yang bergerak-gerak ketika terisak-isak memeluk bantal.

   Tejolaksono terpaku seperti berubah menjadi arca. Endang Patibroto menangis! Selama hidupnya belum pernah ia melihat Endang Patibroto menangis. Gadis yang dahulu menantang maut dengan keberanian yang tiada taranya, gadis yang keras hati keras kepala, yang berhati baja, kini menangis terisak-isak memeluk bantal seperti kebiasaan wanita-wanita cengeng. Apa artinya ini?

   Namun, biarpun agaknya Endang Patibroto telah kehilangan kekerasan hatinya, jelas bahwa kewaspadaannya tidak berkurang. Hal ini diketahui terlambat oleh Tejolaksono ketika tiba-tiba dari dalam kamar itu, dari arah pembaringan Endang Patibroto, menyambar sinar terang menuju ke arah jendela, menerobos celah jendela dan tentu akan tepat mengenai muka Tejolaksono yang mengintai tadi kalau saja dia. tidak cepat miringkan muka dan mengulur tangan menyambar benda bersinar itu yang ternyata adalah sebatang anak panah.

   Panah tangan beracun senjata rahasia Endang Patibroto yang dahulu amat ditakuti lawan! Senjata rahasia ini pulalah yang dahulu pernah melukai Ayu Candra, isterinya (baca Badai Laut Selatan)! Tejolaksono terkejut dan hendak melompat ke dalam memperkenalkan diri, akan tetapi dari dalam kamar itu sudah terdengar bentakan suara Endang Patibroto,

   "Pengawal! Tangkap penjahat!!"

   Adipati Tejolaksono hendak melompat ke atas atap, akan tetapi tiba-tiba menyerbulah tiga orang pengawal. Dia cepat melompat ke tempat gelap dan seketika tiga orang pengawal itu menyerbu dengan senjata di tangan, ia mendorong dengan kedua tangan ke depan, melakukan pukulan jarak jauh. Tiga orang itu terpelanting roboh.

   Tejolaksono cepat menghampiri seorang di antara mereka dan dengancepat ia menampar dada orang itu dengan Pethit Nogo, dengan tenaga sedemikian rupa sehingga pukulan ini tidak mematikan orang, melainkan hanya meninggalkan bekas tapak lima buah jari tangan yang menghanguskan baju dan menembus kulit sehingga pada dada orang itu kini terdapat tanda tapak tangannya!

   Dia sengaja melakukan hal ini untuk memperkenalkan diri kepada. Endang. Patibroto. Ramailah suara para pengawal, akan tetapi ketika mereka menyerbu ke situ, Adipati Tejolaksono telah tiada. Tak seorangpun sampai melihat wajahnya, bahkan Endang Patibroto sendiripun tidak sampai melihatnya. Untung Endang Patibroto yang tidak ingin terlihat orang lain bahwa ia habis menangis itu, terlambat keluar karena harus mencuci muka lebih dulu.

   Endang Patibroto tadinya terheran-heran mendapat kenyataan bahwa ada seorang maling yang dapat menghindarkan diri daripada anak panah tangan, senjata rahasianya yang ampuh itu. Bukan hanya dapat mengelak, bahkan dapat menangkap dan merampas anak panah tangan itu karena buktinya anak panahnya lenyap tak berbekas.

   Akan tetapi keheranannya berubah menjadi kemarahan ketika ia melihat tapak lima jari tangan di atas dada seorang pengawalnya. Aji Pethit Nogo! Dan sekaligus ia dapat menduga siapa orangnya yang mengintai kamarnya tadi, Joko Wandiro! Siapa lagi kalau bukan pria yang sakti mandraguna, musuh besarnya semenjak ia kecil itu?

   Apa maunya Joko Wandiro datang ke Blambangan dan mencarinya?.

   Di dalam kamarnya, Endang Patibroto termenung. Ia tahu bahwa Joko Wandiro kini telah diangkat menjadi Adipati Tejolaksono, adipati di Selopenangkep yang termasuk wilayah Panjalu. Hemmm, tak salah lagi, tentulah ini kehendak sang prabu di Panjalu, atau mungkin si keparat Pangeran Darmokusumo yang memerintahkan Adipati Tejolaksono untuk mengejar dan mencarinya.

   "Setan kau Joko Wandiro,"

   Gumamnya gemas di dalam hatinya.

   "Kau datang hendak menangkap aku? ,Hemm, kaukira aku takut kepadamu, keparat!"

   Ia teringat bahwa 'Joko Wandiro atau Adipati Tejolaksono itu hidup bahagia, demikian berita yang pernah ia dengar dari suaminya, hidup di samping isterinya yang tercinta, Ayu Candra! Masih teringat ia akan Ayu Candra, masih ada rasa tidak suka mernbara di hatinya kalau ia teringat akan Ayu Candra. Tidak suka yang timbul karena sebab yang ia sendiri. tidak tahu mengapa. Mungkin karena iri hati? Pernah ia dahulu mengira, atau mengharapkah? Mengira bahwa Joko Wandiro mencinta dirinya.

   Joko Wandiro yang oleh mendiang ayahnya telah dijodohkan dengannya. Kemudian Joko Wandiro malah mencinta Ayu Candra dan menjadi suami Ayu Candra. Hal ini sebetulnya sama sekali terlupa olehnya ketika ia masih berdampingan dengan suaminya. Tidak perduli itu semua selama suaminya masih berada di sampingnya.

   Akan tetapi,sekarang suaminya telah tiada! Dan Joko Wandiro masih berdua dengan Ayu Candra!.Endang Patibroto tidak dapat menahan air matanya yang pangs membasahi pipinya. Keparat Ayu Candra! Keparat Joko Wandiro! Sekarang datang hendak menangkapnya? Boleh coba!

   "Keparat, jangan lari kau!!"

   Tiba-tiba Endang Patibroto yang marah sekali tak dapat lagi menahan kemarahannya. Tubuhnya melesat keluar dari jendela dan tak lama kemudian tampaklah bayangannya, berkelebat di atas atap-"atap rumah di sekitar Kerajaan Blambangan. Dia mencari"cari sampai hampir pagi tanpa hasil sehingga ia menjadi makin mendongkol dan gemas.

   Tiba-tiba ada bayangan lain berkelebat dari bawah dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang laki-laki yang tampan. Endang Patibroto sudah siap menerjangnya, akan tetapi ia menjadi lemas lagi ketika melihat bahwa yang datang bukanlah Adipati Tejolaksono melainkan Sindupati yang sudah membawa sebatang keris telanjang di tangannya.

   "Aku aku mendengar tentang penyerbuan orang jahat di tempatmu , aku khawatir kalau-kalau andika akan mengalami celaka maka cepat-cepat mencari ketika tak dapat mendapatkan andika di istana. Adinda Dewi , tidak apa-apakah andika..?!"

   Raden Sindupati cepat melangkah maju dan menangkap tubuh Endang Patibroto yang terhuyung-huyung dan memegang dahi dengan tangan kirinya. Wanita ini menjadi pening karena terlalu berduka bercampur marah dan kecewa menjadi satu, ditambah lagi tidak tidur sernalam suntuk dan lelah. Kedukaan hampir membuat Endang Patibroto hampir pingsan dan pada saat seperti itu, setiap kata-kata halus yang menghiburnya membua hatinya trenyuh.

   Sejenak ia membiarka dirinya dirangkul pundaknya dan ia menyandarkan kepalanya di atas pundak Raden Sindupati. la membutuhkan hiburan dan kawan pada saat seperti itu dan karena selama ini sikap Sindupati amat baik terhadap dirinya, halus dan ramah penuh kesopanan, ia menganggap orang ini sebagai seorang sahabat. Ia terisak perlahan dan baru ia sadar ketika merasa betapa tangan Sindupati dengan halus dan mesra membelai rambut kepalanya.

   Begitu sadar.. ia merenggut lepas dari pelukan, akan tetapi tidak terlalu kasar karena ia tidak ingin menyinggung orang yang sudah begitu baik terhadap dirinya. Ia cukup maklum melihat sikap Sindupati selama ini bahwa senopati ini diam-diam mencinta dirinya.

   "Ahhh , maafkan aku aku sejenak kehllangan akal "

   Katanya menahan isak.

   "Kasihan engkau, diajeng. Engkau telah banyak menderita. Kalau saja aku bisa mendapat kehormatan untuk menghibur ah, aku bersedia mengorbankan nyawaku untuk mengusir kedukaanmu. Diajeng Endang Patib roto, apakah yang telah terjadi? Aku tadi mendengar dari para pengawal bahwa ada orang jahat menyerbu tempat tinggalmu dan kemudian melarikan diri. Melihat engkau tidak berada di sana, aku tahu bahwa engkau menge)ar penjahat itu lalu menyusul dan mencari. Apakah diajeng tidak dapat menangkapnya?"

   Merah kedua pipi Endang Patibroto mendengar senopati ini menyebutnya diajeng. Akan tetapi ia

   (Lanjut ke Jilid 08)

   Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08

   tidak marah dan hanya menghela napas panjang. Diam-diam ia merasa kasihan kepada orang ini yang mencintanya dengan sia-sia. Sia-sia belaka karena ia tahu bahwa tidak mungkin ia membalas perasaan itu.

   "Aku tidak dapat menangkapnya, akan tetapi aku tahu atau dapat menduga siapa orangnya."

   "Ah begitukah? Siapakah dia gerangan?"

   la tertarik sekali karena merasa terheran-heran. Di seluruh Kerajaan Blambangan, kiranya hanya sang adipati saja yang menganggap wanita sakti dan jelita ini sebagai musuh besar yang harus dibunuh. Dan yang tahu akan hal ini hanyalah dia, Ki Patih Kalanarmodo, Mayangkurdo dan kedua kakak beradik Klabangkoro dan Klabangmuko. Siapa lagi yang mempunyai niat buruk bahkan berani menyerbu tempat kediaman ini?

   "Hanya dugaanku saja, akan tetapi aku sendiri masih ragu-ragu.."

   "Engkau agaknya kurang sehat. Tidak baik berdiam di sini. Marilah kita kembali dan bicara yang enak di gedungmu, diajeng. Percayalah, siapapun adanya si keparat itu, aku Sindupati akan menyediakan segenap jiwa ragaku untuk membelamu dan menangkap orang itu sampai dapat."

   Diam-diam Endang Patibroto tertawa di dalam hatinya. Kalau betul dugaannya bahwa orang itu adalah Joko Wandiro atau Adipati Tejolaksono, jangankan baru Sindupati seorang, biarpun dikerahkan semua senopati di Blambangan, tak mungkin akan dapat menangkapnya! Akan tetapi ia tidak berkata sesuatu dan menurut saja diajak pulang. Mereka melompat turun dari atas atap lalu berjalan berdampingan menuju ke istana.

   Ketika tiba kembali di gedung tempat tinggal Endang Patibroto, para pengawal yang dirobohkan pingsan -tanpa mereka tahu apa yang terjadi bersama tiga orang pengawal yang bertanding melawan "penjahat"

   
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Itu dipanggil menghadap. Setelah mendengar cerita mereka yang aneh, yaitu bahwa penjahat itu amat sakt, sehingga mereka keburu roboh tanpa diberi kesempatan melihat wajahnya.

   Endang Patibroto lalu menyuruh pengawalnya yang terpukul itu membuka baju sehingga dadanya yang terdapat tanda tapak lima jari tangan itu tampak nyata seperti dibakar besi panas! Kemudian Endang Patibroto menyuruh para pengawal itu mundur dan dia berkata kepada Raden Sindupati.

   "Kau melihat sendiri, raden. Tanda tapak lima jari tangan di dada pengawal tadi adalah tanda bekas pukulan Pethit Nogo. Seperti ini!"

   Endang Patibroto mengayun telapak tangan kirinya menghantam lantai, perlahan sekali dan tampaklah jelas tapak jari tangannya di lantai batu itu!

   "Aihhh! Kalau begitu sama dengan aji pukulan yang dimiliki diajeng! "

   Endang Patibroto mengangguk.

   "Benar begitu, dan karena itulah maka aku dapat menduga siapa adanya orang itu "

   "Siapa, diajeng Endang Patibroto?"

   "Di dalam dunia ini, yang mempunyai ilmu pukulan itu hanya dua orang, aku sendiri dan adipati di Selopenangkep, Adipati Tejolaksono."

   Biarpun belum pernah bertemu dengan Adipati Tejolaksono, namun Raden Sindupati sudah mendengar tentang Adipati Selopenangkep yang sakti mandraguna itu, maka berubahlah air mukanya ketika berseru,

   "Yang dahulu bernama Joko Wandiro.!! "

   "Betul, dialah orangnya, dan aku merasa yakin akan hal ini."

   "Tapi tapi mengapa?! "

   Sindupati terheran.

   "Apakah dia musuhmu, diajeng?"

   "Dahulu memang musuh besarku, akan tetapi selama sepuluh tahun di antara kami tidak ada permusuhan, tidak ada hubungan apa-apa lagi."

   Ia diam sebentar, termenung. Memang tidak ada permusuhan di antara mereka. Bagaimana bisa bermusuh? Ibunya sendiri, ibu kandungnya, tinggal bersarna Adipati Tejolaksono!

   "Agaknya aku tahu bahwa dia tentulah menjadi utusan Kerajaan Panjalu untuk mencariku, menangkapku atau membunuhku...

   "

   Raden Sindupati meloncat bangun dari kursinya, wajahnya yang tampan menjadi merah padam, matanya bersinar-sinar penuh kemarahan.

   "Babo-babo ' Si keparat Tejolaksono! Berani dia datang Seorang diri di Blambangan dengan niat yang begitu keji? Membunuhmu? Huh, harus dapat menyempal bahuku kanan harus melangkahi mayat Sindupati dahulu baru dapat menyentuh ujung rambut Endang Patibroto!"

   Endang Patibroto tersenyum pahit. Ia terharu menyaksikan tingkah pria ini, tingkah seorang yang menjadi korban asmara, akan tetapi alangkah lucunya kalau pria ini hendak menantang kesaktian Joko Wandiro! Dia sendiri sudah beberapa kali harus mengakui keunggulan Adipati Selopenangkep itu.

   "Raden Sindupati, dia itu amat sakti mandraguna, tidak mudah dikalahkan."

   "Aku tidak takut! Diajeng Endang Patibroto, lihatlah sinar mataku, lihatlah wajahku. Masih tidak percayakah adinda bahwa aku akan membelamu dengan mempertaruhkan seluruh jiwa ragaku? Akan kukerahkan seluruh pasukan Blambangan! Biar Tejolaksono bersekutu dengan dewa sekalipun, tak mungkin dia dapat menandingi pasukan Blambangan seorang diri saja!"

   Endang Patibroto menghela napas panjang. Sukar berdebat dengan orang yang sudah mabuk cinta. Ia tidak tega untuk membuyarkan harapan, merusak hati laki-laki

   Masih banyak waktu untuk membuka mata Sindupati kelak bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cintanya. Tidak mungkin! Wajah suaminya tak pernah meninggalkan hatinya, biar sedetik sekalipun. Di siang hari terbayang di depan pelupuk mata, di malam hari menjadi kembang mimpi

   "Cobalah kau usahakan, raden. Kurasa Adipati Tejolaksono bersembunyi di sekitar kota raja. Aku cukup mengenalnya dan tahu bahwa orang seperti dia tidak akan mundur sebelum tercapai cita-citanya, sebelum terpenuhi tugasnya. Kadipaten Selopenangkep termasuk wllayah Panjalu. Tentu dia menjadi jago sang prabu di Panjalu untuk menangkap saya. Amat lelah tubuhku, aku ingin tidur."

   "Aduh kasihan diajeng yang bernasib malang. Kau beristirahatlah dan jangan khawatir, akan kukerahkan pasukan sekarang juga untuk mencari di seluruh kota raja. Dan tentang keselamatanmu, aku yang menjamin dan aku sendiri yang akan memimpin para pengawal menjaga tempat tinggalmu ini!"

   Setelah berkata demikian, dengan sikap mengasih dan gagah Raden Sindupati memberi hormat lalu pergi meninggalkan Endang Patibroto yang duduk termenung. Laki,laki yang baik, pikimya. Sayang aku terpaksa akan :menghancurkan hatinya dengan penolakan cinta kasihnya.

   Dan Adipati Tejolaksono! Joko Wandiro! Ah, mengapa ia terbayang akan semua pengalamarmya di masa dahulu, sepuluh tahun yang lalu? Teringat akan masa dahulu, terbayang pula pangalarnan yang tak dapat dilupakan,--pengalaman yang amat pahit, yang amat menusuk perasaannya , yang membuatnya membenci Joko Wandiro dan membenci pula Ayu Candra! Terbayang ia betapapada waktu dipeluk dari belakang oleh Joko Wandiro, dibelai dan dicium tengkuknya, penuh kasih sayang, penuh kemesraan.

   Pada waktu itu, ia belum ada hati sedikitpun juga terhadap Pangeran Panjirawit dan ketika itu dengan sepenuh jiwa raganya ia menyerahkan diri, hangat hatinya menyambut cinta kasih Joko Wandiro, orang yang oleh ayahnya telah dijodohkan kepadanya!. Akan tetapi, 'bagaikan halilintar menyambar kepalanya, mulut Joko Wandiro membisikkan nama Ayu Candra.

   Kiranya Joko Wandiro bukan memeluk dan membelainya, melainkan mengira bahwa dia adalah Ayu Candra. Bukan dia yang dicinta Joko Wandiro, melainkan Ayu Candra (baca Badai Laut Selatan)! Maka timbullah bencinya yang hebat terhadap dua orang itu, benci yang tanpa ia sadari sendiri didasari oleh cinta kasih yang dikecewakan, oleh cemburu dan iri hati! Sampai akhirnya datang obat penawar yang sangat manjur, yaitu limpahan cinta kasih Pangeran Panjirawit yang akhirnya dapat menyembuhkan sakit hatinya

   Kini suami tercinta telah meninggal dunia. Dan tanpa disangka-sangkanya, muncul pula Joko

   Wandiro dalam hidupnya, muncul sebagai Adipati Tejolaksono, sebagai utusan musuh besarnya, Pangeran Darmokusumo yang datang dengan niat jahat, menangkap atau membunuhnya! Ia mengerutkan kening, jantungnya seperti ditusuk oleh duka, kecewa dan dendam, lalu terhuyung memasuki kamarnya di mana ia membanting diri di atas kasur, menangis sampai ia tertidur pulas dengan bantal basah air mata.

   Biarpun sepekan lamanya Raden Sindupati mengerahkan semua pasukan untuk mencari Adipati Tejdaksono, namun hasilnya sia-sia belaka. Orang yang dicari-carinya itu masih enak-enak bekerja sebagai tukang kuda yang rajin dan menyenangkan para perwira.

   Namun Endang Patibroto tidak memperdulikan hal itu. Ia tidak perduli apakah penyerbu itu tertangkap atau tidak, tidak perduli siapa penyerbu itu, benar Joko Wandiro seperti yang disangkanya ataukah bukan. Ia sudah dapat mengatasi kedukaan hatinya yang amat hebat di malam munculnya penyerbu itu, dan kini ia melakukan tugasnya kembali seperti biasa, melatih pasukan karena cita-citanya hanyalah untuk dapat menyerbu Jenggala, membalas dendam kematian suaminya.

   Raden Sindupati setiap hari sedikitnya satu kali tentu datang menjenguknya untuk memberi laporan tentang usaha mencari penjahat itu, dan dalam kesempatan ini selalu senopati muda itu memperlihatkan sikap manis, ramah tamah, menghiburnya dan tak lupa membawa apa saja untuk menyenangkan hatinya.

   Buah-buahan yang sukar didapat di Blambangan, sutera-sutera tenun yang indah, perhiasan emas permata. Pendeknya, makin jelas tampak sikap Raden Sindupati yang mencintanya, sungguhpun belum pernah menyatakan perasaan -hatinya melalui mulut.

   Endang Patibroto tak dapat mengelak, tak dapat menolak semua pemberian tanda cinta itu, karena ia tidak mau menyakitkan hati satu-satunya orang yang pada saat itu dianggapnya sebagai seorang sahabat baik. tetapi ia sudah mengambil keputusan untuk dengan halus menolak apabila Sindupati menyatakan cinta kasihnya dengan kata-"kata. Dan agaknya, saatnya tentu akan tiba sewaktu-waktu, melihat sikap yang makin mendesak itu.

   Pada pagi hari itu, seperti biasa setelah bangun pagi-"pagi"

   Endang Patibroto mandi lalu berganti pakaian, merias diri secara sederhana dan sudah siap untuk melakukan tugasnya setiap hari. Pada hari itu ia akan mulai dengan melatih barisan anak panah kepada pasukan istimewa yang digemblengnya. Dan sebelum berangkat ke alun-alun, lebih dulu ia duduk menghadapi meja di ruangan depan untuk sekedar mengisi perut dengan sarapan pagi yang disediakan oleh seorang pelayan.

   Endang Patibroto yang tidak mencurigai sesuatu, tidak tahu bahwa sejak sebelum ia bangun dari tidur tadi, sepasang. mata telah mengawasi setiap gerak-geriknya.

   Sepasang mata Raden Sindupati. Kini, pada saat ia menghadapl meja untuk minum kopi dan makan ketan kelapa yang disediakan. Raden Sindupati juga sudah menyelinap ke depan dan bersembunyi.

   Endang Patibroto hendak mulai sarapan pagi dengan menghirup kopi panes. Akan tetapi barn saja cangkirnya menempel bibir, tiba-tiba terdengar suara nyaring,

   "Diajeng, jangan diminum itu..!! "

   Endang Patibroto menoleh dan melihat Sindupati sudah ada di belakangnya. Wajah yang tampan dan biasanya tersenyum-senyum kepadanya itu kini tampak gelisah dan bersungguh-sungguh, bahkan wajahnya agak pucat.

   Endang Patibroto meletakkan kembali cangkir kopinya yang belum ia minum isinya, ke atas meja.

   "Ada apakah, kakang Sindupati?"

   Sudah beberapa hari ini, atas permintaan Sindupati yang berkali-kali, ia menyebut kakang kepada senopati ini.

   "Engkau belum makan ketan itu dan belum minum kopi itu, bukan?"

   Endang Patibroto menggeleng kepala.

   "Belum. Mengapakah?"

   "Coba diajeng panggil pelayan yang menyediakan makan minum ini dan diajeng akan menyakslkan sendiri,"

   Jawab Raden Sindupati, mukanya masih pucat.

   Endang Patibroto bertepuk tangan. Seorang pelayan muncul dan pelayan ini disuruh memanggil pelayan yang menyediakan sarapan pagi. Tak lama kemudian muncullah seorang pelayan, wanita yang setengah tua.

   "Kaukah yang menyediakan sarapan pagi untuk diajeng Endang Patibroto?"

   Sindupati bertanya, suaranya keren.

   "Betul seperti apa yang paduka katakan, raden. Memang tugas hamba untuk menyediakan semua makanan dan minuman gusti puteri "

   "Bibi, kalau begitu, coba kau makan ketan itu dan minum kopinya!"

   Kata pula Sindupati sambil menudingkan telunjuknya ke atas meja di mana terdapat sepiring kecil ketan kelapa dan secangkir kopi hitam.

   "Tapi.... tapi...

   "

   Wanita pelayan itu terbelalak memandang. Tentu saja la terheran dan tidak berani melakukan hal ini.

   Sarapan itu adalah persediaan untuk sang puteri, bagaimana ia berani minum dan memakannya? Juga beberapa orang pelayan yang tertarik oleh ribut-ribut dan berada di situ, terbelalak memandang heran.

   "Tidak ada tapi! Hayo lekas makan dan minum ketan dan kopi itu atau kujejalkan nanti ke mulutmu!"

   Bentak Raden Sindupati sehingga Endang Patibroto sendiri memandang heran.

   Tidak biasanya senopati muda ini bersikap demikian galak dan kasar. Akan tetapi karena ia menyangka tentu ada terjadi sesuatu, ia lalu berkata kepada pelayannya,

   "Bibi, kalau memang engkau tidak mempunyai kesalahan dalam menghidangkan makanan dan minuman ini, mengapa kau tidak mau makan dan minum? Kau cobalah dan jangan takut, aku tidak akan marah."

   Karena sang puteri yang dilayaninya sudah memberi ijin, terpaksa, dengan muka pucat, pelayan wanita itu tidak membantah lagi. Jari-jari tangannya gemeter ketika ia mengambil piring ketan dan memakan isinya sampai setengahnya. Kemudian iapun minum kopi itu sampai setengah cangkir. Tidak terjadi apa-apa!.

   "Kakang Sindupati "

   Endang Patibroto hendak menegur senopati itu akan tetapi menghentikan kata"katanya karena pada saat itu, si wanita pelayan menjerit dan roboh terguling mencengkeram perutnya sendiri, merintih-rintih kemudian berkelojotan dan tewas

   Endang Patibroto cepat menyambar piring ketan, mengambil ketan sedikit dan memasukkan ke mulut. Begitu lidahnya merasai ketan Itu, cepat dibuang dan diludahkannya kembali.

   Dermikian pula ia mencicipi kopi yang cepat ia ludahkan keluar. Sikapnya tenang-tenang saja dan ia tidak tahu betapa Sindupati memandangnya dengan kagum dan khawatir. Kemudian ia membalikkan tubuhnya memandang senopati itu,

   "Kakang Sindupati, ketan dan kopi mengandung racun. Bagaimana kau bisa tahu?"

   Di dalam hatinya, Sindupati tersenyum girang. Untung ia berlaku cerdik, pikirnya. Tadinya, Sang Adipati Menak Linggo yang mengusulkan rencana untuk membunuh Endang Patibroto dengan jalan meracunnya, mencampurkan racun dalam makanan dan minumannya.

   "Wanita itu terlalu sakti, terlalu berbahaya,"

   Demikian antara lain sang adipati berkata.

   "biarpun sekarang kelihatan bersekutu dengan kita, akan tetapi sekali rahasia kita terbongkar, ia merupakan ancaman bahaya yang tak boleh dipandang ringan. Aku menghendaki agar dia mati, biar dengan cara apapun juga. Dan kaulah orangnya yang kuserahi tugas untuk membunuhnya, Sindupati "

   Untung bahwa Sindupati memiliki kecerdikan yang luar biasa dan ia membeberkan rencananya kepada sang adipati.

   "Hamba yakin bahwa seorang sakti seperti Endang Patibroto, tidaklah mudah diracun begitu saja, gusti adipati. Mencampurkan racun ke dalam makanan dan minumannya adalah amat berbahaya karena selain belum tentu ia akan dapat diracuni karena memiliki daya tahan dan daya penolak untuk itu, kalau ketahuan bukankah akan menggagalkan semua rencana? Hamba mempunyai siasat yang lebih halus lagi."

   la lalu menuturkan siasatnya dan sang adipati menyetujuinya. Dan apa yang terjadi pada pagi hari ini adalah hasil daripada siasatnya yang amat licik.

   Ia diam"diam, tanpa setahu si pelayan, menaruh racun ke dalam ketan dan kopi, kemudian dia pula yang datang memberi peringatan kepada Endang Patibroto, bahkan secara kejam sekali ia memaksa si pelayan yang sebetulnya tidak tahu apa-apa itu untuk makan dan minum sarapan pagi yang sudah ia campuri racun sampai tewas!

   Ketika melihat Endang Patibroto dapat mengenal racun hanya dengan mencicipi sedikit ketan dan kopi itu, terbuktilah kebenaran dugaannya. Andaikata tidak ia peringatkan sekalipun, Endang Patibroto akan tahu tentang racun dan tidak akan menjadi korban, bahkan akan menjadi curiga!

   Kini, dengan mengorbankan nyawa si pelayan, ia dapat menangkan kepercayaan Endang Patibroto bahkan tampaklah ia sebagai seorang yang baik dan setia kawan, membuat ia makin menonjol dalam pandangan wanita sakti ini!.

   Ketika ditanya oleh Endang Patibroto bagaimana ia bisa tahu bahwa sarapan itu ada racunnya, ia sudah menyediakan jawabannya seperti yang ia rencanakan.

   "Ah.. syukur bahwa para dewata masih melindungimu,diajeng,"

   Demikian jawabnya setelah ia memerintahkan para pengawal. untuk membawa pergi mayat si pelayan dan di situ tidak terdapat orang lain lagi.

   "Alangkah ngerinya! Kalau sampai diajeng menjadi korban racun aaahhhn........ betapa mungkin aku dapat hidup lebih lama lagi..! "

   Wajahnya pucat, suaranya menggetar dan ia melangkah maju, seperti hendak meraih dan memeluk karena hatinya terharu dan tegang. Akan tetapi Endang Patibroto melangkah mundur dan berkata,

   "Bahaya telah lewat, kakang Sindupati. Sungguh untung bahwa kakang telah tahu dan dapat memperingatkan aku, sungguhpun belum tentu aku akan dapat diracun begitu saja. Duduklah dan ceritakan, bagaimana engkau bisa mengetahui akan perbuatan keji itu!"

   Melihat wanita itu tidak melayani hasratnya, Sindupati tidak memaksa dan segera mengambil tempat duduk. Berkali-kali ia menarik napas panjang dan kedua tangannya yang ditaruh di atas meja masih gemetar.

   Sesungguhnya bukan gemetar karena kekhawatirannya terhadap Endang Patibroto, melainkan gemetar karena girang melihat berhasilnya siasatnya dan karena nafsu berahi yang menggelora!.

   "Diajeng Endang Patibroto, jantungku masih berdebar seakan-akan hendak pecah kalau kuingat betapa keselamatan adinda terancam maut yang mengerikan tadi! -Ketahuilah, bahwa biarpun kami tidak berhasil menangkap si penjahat Tejolaksono atau siapapun dia yang menyerbu kamar adinda, akan tetapi aku diam-diam selalu menaruh penyelidik dan mata-mata di sekitar istana untuk mengawasi gerak-gerik yang mencuri gakan. Semalam, demikian menurut penyelidikku, terlihat pelayan laknat itu mengadakan pertemuan dengan seorang yang tak di-kenal di taman. Ketika para penyelidik hendak menyergapn; orang itu berkelebat lenyap cepat sekali. Para penyelidik segera melapor kepadaku dan aku menjadi curiga kepada pelayan itu. Semalam aku tidak tidur memikirkan segala kemungklnan dan akhirnya aku teringat bahwa pelayan yang bertugas melayani makan minurnmu itu tentu hendak melaku kan sesuatu atas perintah musuh keparat itu. Aku menghubungkan segala sesuatu dan mengambil kesimpulan bahwa mungkin si jahat itu hendak meracunimu. Cepat"cepat aku lalu berlari ke sini dan syukur bahwa kau belum makan atau minum sarapanmu!"

   Kembali ia menggigil. Endang Patibroto tersenyum. Terharu juga hatinya. Senopati muda ini benar-benar amat memikirkan keselamatannya sehingga menyiksa diri sendiri sedemikian rupa. Karena terharu dan berterima kasih, ia mengulurkan tangan dan menyentuh tangan senopati itu di atas meja.

   "Terima kasih, kakang Sindupati. Engkau memang baik sekali terhadap diriku."

   Sindupati cepat memegang tangan yang halus itu dan meremas jari-jari tangan Endang Patibroto.

   "Diajeng aku aku menyediakan nyawaku untukmu dan...."

   Endang Patibroto menarik tangannya terlepas dari genggaman Sindupati.

   "Kakang Sindupati,"

   Katanya cepat-"cepat memotong kalimat yang diucapkan senopati itu.

   "sungguh amat disayangkan bahwa kakang terburu nafsu tadi. Kalau saja pelayan itu tidak dibunuh dan kini masih hidup, tentu kita dapat memaksanya mengaku siapa orangnya yang menyuruh dia menaruh racun dalam sarapanku."

   Wajah yang tampan itu kelihatan marah sekali, matanya bersinar-sinar.

   "Siapa dapat menahan kemarahan, diajeng? "

   Endang Patibroto maklum bahwa senopati di depannya ini, di samping kesaktiannya, juga memilild kecerdikan luar biasa, maka ia segera memandang penuh perhatian dan bertanya,

   "Bagaimana siasatmu, kakang Sindupati?"

   "Beginilah seharusnya diatur. Sudah jelas bahwa siapapun, adanya orang yang malam itu menda tangimu , dan mungkin sekali Adipati Tejolaksono melihat dari kesaktiannya dan aji pukulan Pethit Nogo seperti yang adinda katakan, kini berada dalam persembunyiannya dan masih berada dalam kota raja. Dan jelas pula bahwa dia tentu menanti saat yang baik untuk bertemu dengan engkau, karena kalau menghadapi pengeroyokan semua senopati dan pengawal, tentu dia tidak berani, betapapun juga hebat kepandaiannya. Oleh karena itu, tiada jalan lain kecuall memancingnya keluar dari tempat persembunyiannya dan satu-satunya orang yang dapat memancingnya keluar, adalah diajeng sendiri."

   Endang Patibroto mengangguk-angguk akan tetapi keningnya yang kecil panjang dan hitam seperti dilukis itu berkerut. Sebagai seorang yang mengutamakan kegagahan ia tidak suka akan segala macam siasat.

   Akan tetapi, iapun tahu bahwa ucapan ini mengandung kebenaran. Kalau tidak keliru dugaannya, tentu Joko Wandiro sedang menanti kesernpatan untuk turun tangan terhadap dirinya, dan karena maldum bahwa dia merupakan lawan setanding dan berat, tentu saja Joko Wandiro berlaku hati-hati dan tidak sembrono

   Memang benar kalau sampai di keroyok betapapun saktlnya Joko Wandiro, tidak mungkin dapat menang. Kebenciannya terhadap Joko Wandiro sudah bertambah-tambah ketika terdapat bukti bahwa ia hendak diracun tadi, sungguhpun ia masih meragu apakah Joko Wandiro sudi melaksanakan hal semacam itu, hal yang amat pengecut dan rendah sedangkan ia tahu betul bahwa Joko Wandiro bukan seorang pengecut, apalagi berjiwa rendah!.

   "Bagaimana rencanamu untuk memancingnya, kakang Sindupati?"

   "Malam ini juga sebaiknya diajeng keluar dari istana dan berada seorang didri di tempat yang sunyi. Untuk itu, menurut rencanaku, taman istana merupakan tempat yang amat baik. Kalau diajeng muncul pada malam hari di ternpat sunyi seorang diri, aku merasa yakin bahwa penjahat itu tentu akan muncul. Aku akan mengepung tempat itu dan kalau dia muncul, kita maju menangkapnya. Orang ini harus ditangkap untuk diperiksa dan diketahui apa maksud kedatangan nya di Blambangan. Gustl adipati ingin sekali mengetahui, karena selain hendak mencelakai diajeng, siapa tahu dia adalah seorang mata-mata Jenggala atau Panjalu yang berbahaya."

   Di dalam hatinya, Endang Patibroto kurang setuju. Akan tetapi ia tidak melihat cara lain untuk menghadapi Joko Wandiro. Ia sendiripun ingin melihat orang itu tertangkap, ingin melihat Joko Wandiro dikalahkan untuk memuaskan hatlnya yang diracuni kebencian.

   Kalau Joko Wandiro memusuhinya dan menjadi utusan Pangeran Darmokusumo untuk membunuhnya, mengapa ia harus ragu-ragu untuk membantu Sindupati menangkap Joko Wandiro?

   "Baiklah, malam nanti aku akan berada di dalam taman."

   "Sebailcnya menjelang tengah malam jika semua penghuni istana sudah tidur, agar jangan meragukan hati penjahat itu diajeng."

   Endang Patibroto setuju dan berundinglah mereka berdua untuk menghadapi dan menangkap Joko Wandiro atau Adlpati Tejolaksono seperti yang diduga penuh keyakinan oleh wanita sakti ini. Dengan hati girang Raden Sindupati lalu meninggalkan tempat itu untuk melakukan persiapan.

   Ia menghubungi para senopati yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga Ki Patih Kalanarmodo dan Mayangkurdo, kemudian mempersiapkan pula seratus orang perajurit pilihan termasuk dua losin barisan anak panah yang mengepung taman sari dengan busur dan anak panah siap di tangan masing-masing.

   Malam hari itu, Adipati Tejolaksono atau yang kini berganti nama menjadi Sutejo tukang kuda, rebah di atas setumpukan jerami kering di dalam kamar di dekat kandang kuda. Hatinya gelisah sekali dan berkali-kali ia menghela napas panjang.

   Sudah beberapa pekan ia bekerja di situ sebagai tukang kuda, namun belum juga ia berhasil bertemu empat mata dengan Endang Patibroto. Ia tidak berani lagi secara sembrono mendatangi tempat Endang Patibroto setelah malam itu hampir saja ia tertangkap.

   Kalau sampai ia dikenal orang, tentu keadaan wanita itu akan menjadi terancam keselamatannya. Ah, dia sudah meninggalkan tanda tapak jari Aji Pethit Nogo, tidak mungkin Endang Patibroto tidak mengenalnya!

   Mengapa Endang Patibroto tidak mencarinya, bahkan para senopati dan pengawal yang berkeliaran mencari? Penjagaan makin diperketat sehingga ia tidak berani sembrono memperlihatkan diri, lebih tekun bekerja menyembunyikan diri di balik penyamarannya sebagai tukang kuda.

   Ia sudah mendengar percakapan para perwira yang seringkali datang jika membutuhkan kuda tunggangan mereka tentang keadaan Endang Patibroto, malah ia mendengar pula bahwa Raden Sindupati, senopati yang menjadi tokoh penting dan dipercaya sang adipati, agaknya jatuh cinta kepada Endang Patibroto! Ia mendengar pula percakapan para perwira tentang watak Raden Sindupati yang tak pernah mau melewatkan begitu saja wanita denok!.

   Semua ini tidak menggelisahkan hati Tejolaksono. Yang membuat ia terkejut sekali adalah ketika siang hari tadi ia mendengar bahwa Endang Patibroto nyaris menjadi korban peracunan dalam santapan paginya. Ia harus cepat-cepat "menemui Endang Patibroto yang terancam keselamatannya, malam hari ini juga, sebelum ia terlambat!.

   Demikianlah, menjelang tengah malam, tukang kuda Sutejo ini melompat keluar dari kamarnya dan sebentar saja ia sudah berlompatan di atas atap dengan kecepatan luar biasa. Malam itu masih terang bulan dan kebetulan tidak ada mendung sehingga sinar bulan menerangi permukaan bumi.

   Dengan pandang matanya yang tajam dan waspada, ketika melewatl atap istana, Tejolaksono dapat melihat berkelebatnya bayangan yang amat cepat menuju ke taman sari, yaitu taman bunga yang amat luas dan indah dari istana Kadipaten Blambangan. Hati-nya berdebar keras. Bayangan seorang wanita yang bertubuh langsing.

   Tidak salah dugaannya ketika ia melihat wajah bayangan itu. Siapa lagi wanita yang dapat bergerak secepat itu kalau bukan Endang Patibroto! Dengan girang sekali Tejolaksono lalu melompat turun dan mengikuti dari jauh. Hatinya makin berdebar ketika ia melihat Endang Patibroto memasuki taman sari lalu duduk di atas bangku di tengah taman sari itu, lalu termenung menghadapi kolam Hon emas yang penuh dengan teratai putih.

   Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sejenak Tejolaksono memandang tubuh yang duduk termenung itu dengan hati terharu. Inilah Endang Patibroto, wanita yang sejak kecil ia kenal, yang pernah menjadi musuhnya berkali-kali, lawan terberat yang pernah ia jumpai. Endang Patibroto, puteri kandung bibi Kartikosarl dan ayah angkatnya, Pujo. Masih tunggal guru dengannya, ketika keduanya di waktu kecil digembleng oleh Resi Bhargowo di Pulau Sempu (baca Badai Laut Salatan).

   

Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini