Perawan Lembah Wilis 33
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 33
Tiba-tiba Pusporini berhenti dan memandang pemuda itu dengan pandang mata bersinar-sinar penuh kemarahan.
"Kau.......... mendem (mabuk)!! Siapa ingin memancing hati pangeran? Apa maksudmu dengan ucapan gila itu?"
Joko Pramono terkejut dan merasa betapa rasa cemburu membuat ia kelepasan bicara.
"Eh.......... ohh.......... maaf.......... aku.......... aku hanya bermaksud bahwa amat terhormat menjadi isteri pangeran.......... bahwa.......... bahwa aku seperti batu kerikil kalau dibandingkan dengan seorang pangeran yang seperti batu intan..........
"
"Wah, lebih gila lagi. Kaukira aku perempuan macam apa yang silau oleh ketampanan seorang pangeran? Jadi kau.......... kau cemburu..........? Ceriwis kau! Genit kau! Cih, aku jemu! Sudahlah, aku tidak sudi bertemu dengan Setyaningsih...."..!"
Gadis itu terisak, membalikkan tubuhnya dan lari pergi.
Sejenak Joko Pramono melongo, kemudian ia mengerahkan tenaga berlari cepat mengejar Pusporini.
"Pusporini.......... berhentilah.......... ampunkanlah aku.......... berhenti..........!"
Akan tetapi gadis itu berlari cepat sekali dan Joko Pramono menjadi bingung karena ia maklum bahwa kalau Pusporini tidak mau memperlambat larinya, tentu akan sukar baginya untuk menyusul dan tentu mereka tidak akan dapat mengikuti suami isteri dalam kereta itu.
"Pusporini...........! Aku tobat minta ampun...........! Tunggulah aku, mari kita mengejar mereka. Setyaningsih dan suaminya dalam bahaya..........!!"
Mendengar kalimat terakhir itu, tiba-tiba Pusporini berhenti dan membalikkan tubuhnya. Pandang matanya berkilat dan pipinya basah air mata. Joko Pramono terkejut dan merasa menyesal sekali. Belum pernah ia melihat gadis itu menangis. Ia lalu melompat dekat dan serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu!
"Pusporini.......... aku mengaku salah.......... aku telah gila, ampunkan aku! Ampunkan mulutku yang lancang, betapa gila aku pernah meragukan perasaanmu yang suci."
Pusporini tadinya marah sekali, akan tetapi melihat laki-laki yang dicintanya itu berlutut di depannya, ia menjadi terharu sekali.
"Joko Pramono, bangkitlah. Tidak layak seorang pria berlutut di depan wanita. Kumaafkan engkau,akan tetapi jangan sekali-kali lagi bicara seperti tadi.......... kau telah menyayat hatiku."
Joko Pramono bangkit berdiri dan mereka berpandangan, penuh maaf dan penuh pengertian sehingga pandang mata mereka berubah mesra. Akhirnya Pusporini yang lebih dahulu menunduk dengan muka kemerahan.
"Apa maksudmu bahwa Setyaningsih terancam bahaya?"
"Aku tidak main-main. Aku mencurigai dua orang kakek itu. Tidak melihatkah engkau tadi Setyaningsih dan suaminya bertukar isyarat pandang mata? Tentu mereka itu tidak menjadi sekutu mereka, entah apa yang telah terjadi.Akan tetapi ada perasaan di hatiku seolah-olah mereka masuk perangkap."
"Ah, kalau begitu, kejar..........!"
Pusporini mendahului Joko Pramono dan berlari cepat sekali mengejar ke arah larinya kereta yang kini sudah tak tampak lagi. Joko Pramono juga mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat. Di dalam hatinya terasa lega sekali karena ia merasa seolah-olah baru saja terhindar daripada malapetaka terbesar selama hidupnya!
Sebetulnya apa yang terjadi dengan Setyaningsih dan suaminya? Seperti telah kita ketahui, Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih merupakan dua orang tokoh pasukan rahasia yang dipimpin Pangeran Darmokusumo dari Panjalu.
Mereka ini bersama beberapa orang pengawal yang merupakan ahli-ahli penyelidik, menyelundup memasuki daerah Jenggala dan tugas mereka adalah mencari jejak Nini Bumigarba yang telah menculik Retna Wilis.
Lama mereka itu bersama anak buah mereka melakukan penyelidikan, namun tak seorang pun pernah mendengar nama Nini Bumigarba, apa lagi melihat nenek menyeramkan itu. Jejak nenek itu lenyap sama sekali dan mereka menjadi bingung karena tidak berhasil sedikit pun juga. Karena itu, Pangeran Panji Sigit dan isterinya lalu memisahkan diri dari para penyelidik dengan niat untuk memasuki Kota Raja Jenggala.
Pangeran itu bertekad untuk menghadap ramandanya dengan resiko menghadapi musuh-musuh rahasia Kerajaan Jenggala. Akan tetapi dia merasa yakin bahwa hanya di istana sajalah ia akan dapat mendengar tentang nenek itu.
Dua hari yang lalu, ketika mereka sedang berjalan memasuki sebuah dusun, mereka bertemu dengan pasukan yang dipimpin oleh Gagak Dwipa dan Gagak Kroda.
Di antara anak buah pasukan ini terdapat pula seorang perajurit Jenggala yang tentu saja segera mengenal Pangeran Panji Sigit, sungguhpun pangeran itu menyamar dalam pakaian penduduk biasa. Ia cepat memberitahukan hal ini kepada kedua orang kakek itu yang cepat mengatur siasat.
Gagak Dwipa dan Gagak Kroda sudah mendengar tugas rahasia dari Pangeran Kukutan bahwa kalau mereka mendengar akan adanya Pangeran Panji Sigit, mereka harus membawanya ke istana!
Kiranya Pangeran Kukutan telah mendengar bahwa adik tirinya itu pernah datang menghadap ratu yang diasingkan, maka timbul rasa khawatir di hatinya. Ia merundingkan hal ini dengan Suminten yang segera bangkit seleranya, bangun nafsunya mendengar akan kembalinya Pangeran Panji Sigit.
Seorang wanita seperti Suminten ini, yang setiap hari berganti kekasih, akan menjadi bosan dengan pria-pria tampan yang dengan senang hati melayani segala kehendak dan nafsunya. Sebaliknya, ia akan merasa tersiksa dan menderita penyakit wuyung (rindu asmara) kalau ada pria yang menolak cintanya! Dan pria yang menolaknya, satu"satunya pria tampan yang menolaknya adalah Pangeran Panji Sigit.
Bukan ini saja. Orang pertama yang membangkitkan berahinya, yang menjadi cinta pertamanya namun yang tak sudi melayaninya adalah Pangeran Panjirawit, suami Endang Patibroto yang pertama. Bahkan kasih tak terbalas inilah yang sesungguhnya membuat perubahan besar dalam hidup Suminten, yang membuat dia dari seorang abdi menjadi wanita yang paling berkuasa di seluruh Jenggala.
Cinta kasihnya yang gagal terhadap Pangeran Panjirawit ini pulalah yang menjadikan dia seorang wanita pengabdi nafsu berahi yang keranjingan, seorang wanita yang haus akan cinta kasih yang tak pernah dapat memenuhi hatinya. Dan Pangeran Panji Sigit mempunyai wajah yang mirip dengan kakak tirinya itu!
Gagak Dwipa dan Gagak Kroda menjadi girang sekali dan cepat-cepat dia bersama pasukannya bersembah sujut memberi hormat kepada Pangeran Panji Sigit.
Tentu saja pangeran muda ini menjadi terkejut sekali. Dia bersama isterinya sudah menyamar dengan pakaian penduduk biasa, namun ternyata pasukan itu mengenalnya. Terpaksa, untuk menyembunyikan tugas rahasianya yang berbahaya, ia pun menyatakan bahwa ia sedang dalam perjalanan pulang ke kota raja untuk menghadap ramandanya sang prabu di Jenggala.
Demikianlah, Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih dikawal oleh Gagak Dwipa dan Gagak Kroda, naik sebuah kereta dan sampai di dusun itu di mana mereka beristirahat di sebuah gedung besar yang menjadi tempat peristirahatan para petugas Kerajaan Jenggala yang melakukan tugas berjaga dan menyelidili wilayah perbatasan.
Ketika dua orang kakek itu memaksa mereka melanjutkan perjalanan di waktu malam, hati Pangeran Panji Sigit dan isterinya menjadi curiga. Akan tetapi kalau mereka menolak, tentu kedua orang kakek itu mencurigai mereka, maka mereka menurut dan diam-diam mereka bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Malam itu bulan purnama bersinar di angkasa yang bersih dan cerah sehingga kalau saja tidak digoda oleh kecurigaan yang membuat hati mereka tidak nyaman, tentu perjalanan itu merupakan perjalanan yang amat menyenangkan. Kanan kiri jalan yang bermandikan cahaya bulan keemasan amatlah sedap dipandang.
Sudah hampir dua jam kereta berjalan cepat dan tiba"tiba, di sebuah jalan perempatan, kereta berhenti. Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih saling berpandangan kemudian mereka menyingkap tenda sutera penutup jendela kereta dan memandang keluar.
Di bawah sinar bulan yang terang, tampak tiga orang penunggang kuda menghadang di depan kereta yang dihentikan. Sejenak Pangeran Panji Sigit tertegun dan memandang penuh perhatian.
Benarkah ucapan Gagak Dwipa bahwa ada orang-orang Panjalu yang hendak mengganggunya? Tidak mungkin! Kalau toh ada utusan dari Panjalu, tentu utusan itu adalah anggauta pasukan rahasia atau anak buah Pangeran Darmokusumo, atau juga anak buah Patih Tejolaksono.
Akan tetapi dia tidak mengenal mereka itu dan tampak olehnya bahwa tiga orang itu dipimpin oleh seorang kakek yang usianya sudah empat puluh tahun, berjubah kuning seperti pakaian pendeta, kakinya telanjang, rambutnya putih terurai sampai ke pinggang, mukanya kehitaman dengan hidungnya yang panjang berbentuk paruh burung kakatua, tubuhnya kurus tinggi.
"Pangeran Panji Sigit, kami atas nama kerajaan dan atas perintah gusti patih di Jenggala, ditugaskan menangkap Andika bersama wanita yang datang bersama Andika!"
Kakek itu berkata, suaranya nyaring dan serak.
Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih cepat meloncat keluar dari kereta itu, berdiri dengan sikap siap. Sedikit pun mereka tidak menjadi gentar, apalagi Setyaningsih, dengan muka angkuh memandang kepada kakek itu, sinar matanya memancarkan kemarahan.
"Tidak mungkin! Mengapa pula Patih Jenggala hendak menangkap aku? Paman Dwipa dan Paman Kroda, apa artinya ini?"
Bentak Pangeran Panji Sigit.
Akan tetapi,dengan heran dan marah pangeran itu melihat betapa kedua orang kakek tinggi besar itu pun sudah melompat turun dan bergabung dengan tiga orang itu yang sudah melompat turun dari kuda masing-masing. Bahkan Gagak Dwipa tertawa mengejek lalu berkata,
"Pangeran Panji Sigit, ketahuilah bahwa paman ini adalah Paman Cekel Wisangkoro, kepercayaan dari Gusti Pangeran Kukutan. Sebaiknya Andika berdua menyerah saja agar dapat ditangkap secara terhormat, daripada harus dipergunakan kekerasan. Kalau gusti patih memerintah agar Andika ditangkap, tentu ada alasannya yang kuat!"
"Hemm, kiranya kalian berdua adalah orang-orang jahat yang sengaja hendak mencelakakan kami!"
Tiba-tiba Setyaningsih berkata, suaranya dingin dan mengandung ancaman mengerikan.
"Kakangmas Pangeran adalah putera gusti sinuwun di Jenggala yang hendak pulang ke istana ramandanya sendiri. Siapa pun tidak berhak menangkapnya!"
"Hemm, galak benar isteri pangeran ini! Kalian hendak melawan kami?"
Bentak Gagak Kroda yang wataknya berangasan. Adapun lima orang yang tadi mengawal kereta, bersama dua orang perajurit yang bertugas memanggil Cekel Wisangkoro dan kini datang bersama kakek pendeta itu, telah maju mengurung Pangeran Panji Sigit dan isterinya.
"Gagak Dwipa dan Gagak Kroda, memang tadinya aku sudah curiga terhadap kalian. Semenjak kecil aku berada di Jenggala dan selalu aku melihat perwira-perwira dan pengawal-pengawal yang berjiwa satria, tidak seperti kalian orang-orang kasar melebihi gerombolan perampok. Kiranya kalian adalah pemberontak-pemberontak yang mengatur siasat untuk mencelakakan kami! Tunggu saja sampai aku menghadap ramanda prabu, pasti pengawal-pengawal palsu macam kalian ini akan dijatuhi hukuman mati!"
(Lanjut ke Jilid 40)
Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 40
"Bodoh! Kenapa kalian melayani mereka bicara? Lekas tangkap!"
Cekel Wisangkoro tak sabar lagi.
"Gusti Pangeran Kukutan sudah tak sabar menanti!"
"Hayo tangkap mereka!"
Gagak Dwipa memberi aba-aba kepada tujuh orang perajurit pengawal yang menjadi anak buahnya. Dia memandang rendah kepada pangeran yang halus sikapnya itu, juga isterinya yang cantik jelita dan lemah lembut, oleh karena itu ia memerintahkan anak buahnya untuk turun tangan menangkap suami isteri itu.
Tujuh orang perajurit itu dengan penuh gairah lalu menubruk maju. Hanya dua orang yang menerjang Pangeran Panji Sigit, sedangkan yang lima orang lagi, yaitu mereka yang tadi mengawal kereta, seperti anjing-anjing kelaparan berebut tulang, telah berlomba menerkam Setyaningsih.
Mereka adalah orang-orang kasar, bekas anak buah gerombolan Gagak Serayu, orang-orang yang sudah biasa menjadi hamba nafsunya sendiri sehingga sejak melihat Setyaningsih, sudah bergelora nafsu berahi mereka. Kini, mereka memperoleh kesempatan untuk menangkap, tentu saja mereka tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini untuk sekedar menggerayang dan meremas tubuh yang menggairahkan hati mereka itu.
Akan tetapi sungguh di luar dugaan mereka bahwa wanita muda cantik jelita itu bukanlah makanan empuk seperti yang mereka kira. Bahkan sebaliknya! Begitu mereka menubruk, Setyaningsih yang sejak tadi sudah menahan"nahan kemarahannya, sama sekali tidak mengelak, bahkan menyambar mereka dengan tamparan-tamparan sakti.
"Wuut-wuut........... plak-plak-plak..........!"
Tiga di antara lima orang itu terpelanting dan memegangi kepala yang serasa akan pecah! Muka mereka bengkak-bengkak membiru akibat pukulan yang dikerahkan dengan Aji Gelap Musti yang pernah dipelajari dari ayundanya, yaitu Endang Patibroto ketika ia berada di puncak Wilis!
Mereka semua terkejut setengah mati. Lima orang itu adalah orang-orang yang memiliki kedigdayaan, bertubuh kebal, namun sekali gebrakan saja Setyaningsih telah merobohkan tiga orang yang agaknya takkan dapat bangkit lagi cepat-cepat. Mereka ini, dua orang perajurit yang lain menjadi gentar, akan tetapi juga marah. Mereka ini menerjang maju, tidak untuk menggerayang tubuh, melainkan untuk memukul roboh dan menangkap wanita perkasa itu dengan kekerasan.
Pangeran Panji Sigit mungkin tidak seganas isterinya, juga tidak sesakti isterinya. Akan tetapi, pangeran ini telah pula menerima gemblengan dan petunjuk Ki Datujiwa, maka menghadapi dua orang perajurit pengawal itu tentu saja bukan merupakan lawan berat baginya. Dengan cekatan sekali pangeran muda ini mengelak dari setiap sergapan, cengkeraman atau pukulan, kemudian ia pun membalas dengan pukulan -pukulannya yang cukup ampuh.
Berbeda dengan Pangeran Panji Sigit yang sifatnya memang pemurah dan betapapun juga tidak ingin membunuh ponggawa kerajaan ramandanya sendiri, Setyaningsih yang sudah marah sekali itu kini mengeluarkan suara bentakan nyaring, tubuhnya berkelebat ke depan dan terjangan kedua orang perajurit itu pun ia sambut dengan pukulan-pukulan Pethit Nogo!
"Werrr.......... plak-plak..........!"
Dua orang perajurit itu roboh terjengkang dan tubuh mereka berkelojotan, tak
mampu bangkit kembali.
Sesungguhnya , di antara ilmu-ilmu yang dimiliki Endang Patibroto, ilmu pukulan Gelap Musti amatlah hebat. Akan tetapi bagi Setyaningsih, Aji Pethit Nogo-nya lebih ampuh karena sejak kecil ia telah dilatih ibunya dengan aji pukulan ini, sedangkan Aji Gelap Musti hanya ia pelajari beberapa tahun saja ketika ia tinggal bersama ayundanya.
Kalau tiga orang yang pertama kali dirobohkan dengan Gelap Musti tadi hanya merasa kepalanya pecah dan sukar dapat bangkit kembali, adalah dua orang korban Aji Pethit Nogo ini tak mungkin dapat hidup lagi karena mengalami gegar otak yang amat hebat!
Pada saat yang hampir bersamaan, Pangeran Panji Sigit juga sudah berhasil memukul roboh seorang pengeroyok dengan tulang pundak remuk, dan membanting seorang pengeroyok lain sehingga kedua orang itu pun tidak mampu bertanding lagi.
"Wah, kiranya kalian juga memiliki sedikit kepandaian?"
Bentak Gagak Kroda, benar-benar terkejut karena tak disangkanya sama sekali bahwa suami isteri itu akan dapat merobohkan tujuh orang anak buahnya, terutama isteri pangeran itu yang telah merobohkan lima orang sedemikian mudahnya.
"Majulah, Gagak Dwipa dan Gagak Kroda! Inilah Setyaningsih dan ketahuilah bahwa aku adalah adik kandung Endang Patibroto! Suami ayundaku, Pangeran Panjirawit tewas oleh para perajurit Jenggala sendiri, dan kini suamiku, juga seorang Pangeran Jenggala, kini hendak ditangkap oleh perajurit-perajurit Jenggala sendiri! Akan tetapi, kalian hanya akan dapat melakukan hal itu melalui mayatku! Benar ucapan Ayunda Endang Patibroto bahwa di Jenggala banyak terdapat iblis-iblis menyamar sebagai ponggawa kerajaan!"
Setyaningsih biasanya pendiam dan tidak banyak cakap, akan tetapi kini kemarahannya memuncak ketika ia melihat suaminya hendak diganggu orang.
Mendengar disebutnya nama Endang Patibroto, kedua orang pentolan Gagak Serayu itu saling pandang dengan mata terbelalak dan muka berubah. Tentu saja mereka sudah mendengar akan kehebatan sepak terjang wanita sakti yang bernama Endang Patibroto dan kini mereka berhadapan dengan adik kandung wanita sakti itu!
Pantas saja tandangnya begini hebat! Selama petualangan mereka, dua orang bersaudara ini baru satu kali berhadapan dengan orang yang sakti dan yang telah merobohkan mereka, bahkan telah menghancur-kan kesatuan Lima Gagak Serayu sehingga tiga orang adik mereka roboh tewas, yaitu Tejolaksono.
Dan mereka sudah mendengar bahwa Endang Patlbroto memiliki kedigdayaan yang setingkat dengan Tejolaksono! Maka begitu mendengar bahwa gadis yang cantik jelita dan berkulit kuning langsat, yang menjadi isteri Pangeran Panji Sigit ini adalah adik kandung Endang Patibroto, tentu saja mereka terkejut dan gentar.
"Gagak Dwipa dan Gagak Kroda, kenapa kalian tidak lekas menangkap dua orang ini? Perlukah aku melaporkan kepada Gusti Pangeran Kukutan bahwa kalian jerih terhadap seorang gadis "
Terdengar Cekel Wisangkoro berkata mengejek.
Mendengar ini, dua orang kakek tinggi besar itu menjadi merah mukanya.
Mereka hanya terkejut mendengar disebutnya Endang Patibroto, akan tetapi tentu saja mereka tidak takut menghadapi pangeran muda itu dan isterinya yang hanya merupakan seorang gadis muda. Serempak mereka berdua lalu menerjang maju dengan suara gerengan mereka.
Karena maklum bahwa suami isteri muda itu memiliki ilmu kepandaian yang tak boleh dipandang ringan, maka Gagak Dwipa sudah mengerjakan bedok atau pedangnya yang panjang dan kuat itu untuk menerjang Setyaningsih, sedangkan Gagak Kroda sudah menubruk Pangeran Panji Sight untuk menggelut dan menangkapnya.
Perintah yang mereka terima adalah menangkap Pangeran Panji Sigit, maka tentu saja mereka tidak berani membunuh pangeran ini.
Karena ini, maka Gagak Kroda yang kuat dan kebal tubuhnya itulah yang menghadapi Pangeran Panji Sigit dengan tangan kosong, adapun Gagak Dwipa menerjang Setyaningsih dengan senjata tajam untuk merobohkannya, kalau perlu membunuhnya! Membunuh wanita ini tidak menjadi larang bagi mereka.
Dua orang kakek itu adalah kepala-kepala perampok yang semenjak muda sudah berkecim pung dalam dunia kekerasan. Mereka dahulunya menjadi pimpinan gerombolan Gagak Serayu dan selain kepandaian mereka cukup tinggi, juga pengalaman mereka dalam bertempur sudah matang.
Apalagi semenjak kesatuan mereka, Lima Gagak Serayu dihancurkan oleh Tejolaksono dan tinggal mereka berdua yang hidup, dua orang ini sudah menggembleng dirinya lebih rajin lagi dan kini mereka merupakan lawan yang tangguh bagi suami isteri muda itu.
Apa-lagi Pangeran Panji Sigit yang biarpun sejak kecil mempelajari olah keperajuritan, namun tidaklah sesakti Setyaningsih yang memang terlahir dalam keluarga sakti. Pangeran ini yang mempergunakan kerisnya, didesak hebat oleh Gagak Kroda yang tandangnya seperti sang raksasa Kumbokarno, menubruk sambil menggereng, kedua lengannya yang besar panjang berbulu itu menyambar"nyambar dengan cengkeraman-cengkeraman kuat, kalau tubrukannya dielakkan sehingga tubuhnya terdorong ke depan, ia terus menggulingkan tubuhnya dan sambil bergulingan ini ia mengejar terus hendak menangkap kaki pangeran muda itu!
Pangeran Panji Sigit terdesak hebat dan menjadi agak ngeri dan jijik melihat cara berkelahi yang tidak pakai aturan ini. Beberapa kali ujung kerisnya berhasil mencium kulit lawan, bahkan dua kali ia berhasil menusuk dada kanan dan lam-bung kiri, akan tetapi tusukan kerisnya mental, seolah-olah ia menusuk segumpal karet tebal yang amat ulet dan keras!
Tentu saja pangeran ini terkejut sekali dan maklum bahwa lawannya memiliki kekebalan yang amat kuat, maka ia berlaku hati-hati sekali dan menujukan serangan kerisnya pada bagian-bagian yang berbahaya dan tidak dilindungi kekebalan.
Namun, ia tidak diberi kesempatan karena Gagak Kroda sudah mendesaknya dengan rangsekan bertubi-tubi dan pangeran ini pun maklum bahwa sekali tubuhnya kena dicengkeram jari jari tangan yang sebesar buah pisang ambon itu, tentu sukar baginya untuk dapat meloloskan diri!
Maka ia kini hanya mengandalkan kelincahan gerak tubuhnya untuk menghindar dengan loncatan ke sana ke mari dan karena tubuh Gagak Kroda yang tinggi besar itu tidak dapat bergerak segesit dia, maka untuk sementara waktu Pangeran Panji Sigit masih dapat bertahan.
Pertandingan antara Setyaningsih melawan Gagak Dwipa lebih hebat lagi karena Gagak Dwipa sepak terjangnya dalam penyerangan tidak seoerti Gagak Kroda yang berusaha menangkap hidup-hidup Pangeran Panji Sigit.
Gagak Dwipa yang mempergunakan pedangnya berusaha untuk mengalahkan wanita muda yang sakti mandraguna itu dengan bacokan-bacokan dan tusukan"tusukan mematikan. Akan tetapi Setyaningsih yang memegang keris melakukan perlawanan gigih dan gerakan"gerakannya amat cepat memusingkan kepala Gagak Dwipa.
Setiap serbuan pedang dapat dielakkan atau ditangkis dengan tenaga yang kuat, dan di samping membalas dengan tusukan kerisnya, juga tangan kiri Setyaningsih kadang"kadang mengirim pukulan-pukulan sakti yang amat ampuh. Biarpun pukulan tangan kiri belum ada yang mengenai tubuh Gagak Dwipa, akan tetapi angin pukulannya itu saja sudah membuat Gagak Dwipa terdesak dan kadang-kadang terhuyung mundur.
Sayang bahwa perhatian Setyaningsih terpecah kepada pertandingan suaminya. Ia tahu bahwa suaminya terdesak oleh lawannya, maka kadang-kadang ia meninggalkan Gagak Dwipa yang sedang terhuyung, menggunakan kesempatan itu untuk menerjang ke arah Gagak Kroda yang sudah mendesak suaminya. Inilah yang menyebabkan Gagak Dwipa belum juga dapat dikalahkannya.
Pangeran Panji Sigit makin terdesak. Gagak Kroda terlalu kebal dan kuat sehingga tusukan kerisnya tidak melukai kulit raksasa itu. Dengan penasaran dan juga marah karena isterinya yang terpaksa membantunya itu kadang-kadang bahkan terancam keselamatannya oleh Gagak Dwipa, pangeran ini berseru keras dan membalas serangan lawan dengan menujukan kerisnya ke arah mata.
Kemarahan pangeran ini memperlipatgandakan kekuatannya sehingga sesaat lamanya Gagak Kroda terdesak dan mundur karena matanya selau terancam ujung keris yang runcing.
Juga Setyaningsih menjadi marah karena kegelisahannya melihat suaminya yang terdesak. Biarpun belum sempurna karena hawa sakti di tubuhnya belum kuat benar, Setyaningsih pernah belajar aji kesaktian yang hebat dari Endang Patibroto, yaitu pekik sakti Sardulo Bairowo.
Mulailah ia mengeluarkan pekik sakti ini dan suaranya membuat Gagak Dwipa menjadi terkejut sekali dan ketika ia terhuyung, tamparan tangan kiri Setyaningsih mampir di pundaknya, membuat tubuh raksasa ini terpelanting.
Kalau saja pada saat itu Pangeran Panji Sigit tidak sedang terdesak dan Setyaningsih mengirim serangan susulan, pasti Gagak Dwipa akan terpukul tewas. Akan tetapi kembali Setyaningsih meloncat ke arah lawan suaminya, dengan pekik pendek-pendek melengking tinggi ia menerjang Gagak Kroda.
Sebuah tamparan tangan kirinya mengenai dada kanan Gagak Kroda. Tubuh raksasa ini amat kebal, apalagi dadanya yang setiap hari "sarapan"
Bacokan golok dan tusukan ujung tombak. Tadi pun tusukan-tusukan keris di tangan Pangeran Panji Sigit tak pernah dapat menggores kulit dadanya. Akan tetapi kini kena diserempet tamparan Pethit Nogo tangan kiri Setyaningsih, raksasa ini mengaduh dan terhuyung ke belakang sambil memegang dadanya yang serasa panas terbakar.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara terkekeh dan bagaikan menyambarnya halilintar, tampak sinar hitam seperti ular hidup menyambar ke arah kepala Setyaningsih. W anita muda ini terkejut sekali karena hawa pukulan yang keluar dari sinar hitam ini amat kuatnya. Ia menangkis dengan kerisnya, terdengar suara nyaring dan kerisnya terpental dari tangannya!.
Setyaningsih memekik nyaring, pekik Sardulo Bairowo, tubuhnya mencelat ke samping ketika sinar hitam itu terus mengejarnya. Alangkah kagetnya ketika ia melihat bahwa sinar hitam itu adalah tongkat di tangan kakek yang berpakaian pendeta dan bernama Cekel Wisangkoro!
Kiranya kakek itu seorang yang amat sakti. Hatinya penuh kekhawatiran, apalagi ketika ia melirik dan melihat betapa suaminya kini telah kena diringkus oleh kedua lengan Gagak Kroda yang amat kuat.
Suaminya meronta-ronta namun tak dapat terlepas. Tentu suaminya dikalahkan karena pengeroyokan Gagak Kroda dan Gagak Dwipa selagi dia terdesak sinar hitam itu. Karena kini ia mengerahkan perhatian kepada suaminya, ketika tiba-tiba sinar hitam kembali menyambar, Setyaningsih agak terlambat melompat dan pundaknya kena diserempet tongkat ular, membuat wanita ini terhuyung.
Dan pada saat itu Gagak Dwipa sudah melompat maju dan mengirim tusukan dengan pedangnya ke arah dada Setyaningsih, tusukan yang agaknya sukar untuk dapat ia hindarkan dalam keadaan terhuyung seperti itu.
Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih itu, tiba-tiba terdengar pekik melengking tinggi yang hampir sama dengan pekik Setyaningsih akan tetapi jauh lebih kuat dan sebuah lengan yang halus melayang, menampar ke arah kepala Gagak Dwipa. Angin pukulannya amat kuat sehingga Gagak Dwipa terkejut bukan main. Namun bekas pimpinan Gagak Serayu ini cepat menarik kembali pedangnya yang tadi menusuk Setyaningsih dan terus ia babatkan ke atas menangkis lengan halus itu.
"Krakkk!"
Pedang itu patah menjadi tiga potong bertemu dengan tangan Pusporini yang mengandung tenaga mujijat Pethit Nogo, bahkan tangan itu masih dapat mendorong pundak Gagak Dwip yang terpental ke belakang.
Setyaningsih hanya sekelebatan saja melihat datangnya seorang wanita cantik yang menolongnya, akan tetapi pada saat itu perhatiannya terpusat kepada suaminya, maka tubuhnya berkelebat ke depan dan tangannya menampar ke arah Gagak Kroda yang masih mendekap tubuh suaminya yang tak mampu bergerak.
Gagak Kroda yang maklum akan keampuhan pukulan Setyaningsih, yang tadi membuat dadanya terasa seperti pecah, cepat melepaskan dekapannya dan menjatuhkan diri ke belakang lalu bergulingan men jauh sehingga ia terbebas daripada pukulan maut.
Dua orang saudara Gagak itu benar-benar amat kuat.
Mereka sudah bangkit lagi dan bersiap-siap. Akan tetapi pada saat itu, dua orang wanita yang sama muda sama cantik rupawan, akan tetapi sama-sama ganas dan penuh kemarahan telah menerjang mereka dan keduanya mengeluarkan pekik-pekik melengking yang dahsyat.
Gagak Kroda menjadi pucat ketika ia melihat Setyaningsih menerjangnya dengan tamparan-tamparan sakti, dan ia berusaha mengelak dan menangkis sambil terhuyung mundur. Di lain fihak, Gagak Dwipa juga merasa ngeri ketika melihat wanita muda yang cantik dan berkulit hitam manis itu sambil tersenyum-senyum manis sekali menerjangnya dengan tamparan yang seolah-olah menghembuskan api kawah Gunung Bromo!
Yang membuat kedua orang raksasa ini merasa ngeri adalah pekik-pekik melengking yang keluar dari mulut mereka. Kedua orang tokoh Serayu ini mundur-mundur dan wajah mereka membayangkan ketakutan hebat.
Cekel Wisangkoro yang melihat para pembantunya terdesak dan terancam, segera berkelebat maju dengan tongkat hitamnya, akan tetapi pada saat itu, berkelebat bayangan orang dan seorang pemuda tampan gagah perkasa yang datang bersama wanita cantik itu telah berdiri menghadapinya sambil tersenyum-senyum.
"Pendeta palsu, dua orang kawanmu itu adalah laki-laki raksasa yang melawan dua orang wanita muda, sesungguhnya mereka itu sudah tak tahu malu sekali. Masa masih akan kaubantu lagi? Engkau ini pendeta dukun lepus sungguh tak tahu malu!"
Cekel Wisangkoro adalah murid Wasi Bagaspati yang amat sakti, tentu saja menjadi marah dan tidak memandang sebelah mata kepada pemuda ini. Ia menyeringai, memperlihatkan mulut ompong dan berkata,
"Hemm, biarlah kubunuh engkau lebih dulu sebelum menundukkan dua orang wanita galak itu!"
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil berkata demikian, Cekel Wisangkoro berteriak keras dan tongkatnya menyambar, berubah menjadi sinar hitam yang amat kuat dan cepat gerakannya. Akan tetapi Joko Pramono, pemuda itu, dengan mudah mengelak sambil mengejek,
"Luput! Engkau ini pendeta manakah?Rambutmu sudah penuh uban akan tetapi kaubiarkan panjang terurai dan mengkilap oleh minyak, tanda bahwa pada lahirnya engkau sudah tua bangka, akan tetapi hatimu masih ingin bersolek! Badanmu kurus kering seperti cecak mati pada usia tua, akan tetapi mukamu menyinarkan nafsu duniawi, jubahmu kuning berhiaskan benang emas akan tetapi kakimu telanjang, tanda bahwa engkau suka akan kemuliaan dan kemewahan akan tetapi tidak tahu akan tata susila seorang pendeta! Bicaramu seperti pribumi akan tetapi hidungmu seperti kakatua, tanda bahwa engkau bukanlah orang tanah Jawa. Eh, dukun lepus, engkau siapa dan orang mana?"
Muka kakek itu memang kemerahan, akan tetapi sekarang menjadi lebih merah karena marah.
"Bocah bermulut lancang! Mampuslah di tangan Cekel Wisangkoro!"
Bentaknya sambil menyerang kembali, menusukkan tongkatnya ke arah tenggorokan Joko Pramono. Namun kembali pemuda ini miringkan tubuh dan dari samping tangannya menangkis.
"Plakk!"
Cekel Wisangkoro terkejut bukan main dan mengeluarkan teriakan nyaring karena tongkatnya itu terpukul miring dan telapak tangannya menjadi perih. Hal ini hanya menandakan bahwa pemuda itu memiliki hawa sakti yang luar biasa kuatnya.
Sungguh sukar dipercaya bahwa seorang pemuda yang usianya paling banyak dua puluh dua tahun itu dapat menangkis tongkatnya sampai miring!
"Heh keparat, rasakan kesaktiankul"
Katanya dan kini ia memutar tongkatnya sepertI kitiran sehingga tongkat Itu berubah menjadi sinar hitam yang bergulung-gulung dan membentuk lingkaran lebar. Dari dalam lingkaran ini menyambar keluar hawa pukulan yang mengandung daya ampuh dan berbau amis, tanda bahwa pukulan ini adalah aji kesaktian yang mengandung hawa beracun!
"Dukun keji!!"
Joko Pramono berseru keras sekali dan tubuh pemuda ini agak merendah, setengah berjongkok, kemudian ia mendorongkan kedua tangannya ke depan. Itulah aji pukulan Cantuko Sakti yang menjadi ilmunya yang khas! Bukan main dahsyatnya dorongan ini dan Joko Pramono memperguna-kannya karena makIum bahwa lawannya tak boleh dipandang ringan.
"Auuggghhhh!"
Tubuh pendeta itu terlempar ke belakang seperti disambar angin puyuh. Biarpun ia berusaha untuk memperta-hankan diri dengan tongkat yang ia dorong-dorongkan ke tanah, tetap saja ia terjengkang dan dari mulutnya menyembur darah segar! Cekel W Isangkoro yang sudah banyak pengalaman-nya itu maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda yang benar-benar luar biasa, maka cepat ia merogoh sakunya dan........... melarikan diri secepat kedua kakinya mampu meloncat!.
"Dukun lepus hendak lari ke mana?"
Joko Pramono meloncat pula melakukan pengejaran.
Pangeran Panji Sigit yang menonton sepak terjang Joko Pramono, menjadi kagum bukan main.
Akan tetapi kini pemuda perkasa itu mengejar si pendeta yang melarikan diri, maka kembali ia memperhatikan sepak terjang isterinya dan wanita muda itu yang tadi membuatnya bengong terlongong. Dua orang wanita itu seperti dua orang kembar, sama-sama tangkas dan dahsyat, sama-sama mengeluarkan pekik, dan pukulan -pukulan mereka adalah Aji Pethit Nogo yang sudah ia kenal gerakannya.
Akan tetapi ia dapat menilai bahwa hawa pukulan Aji Pethit Nogo wanita hitam manis itu jauh lebih kuat daripada isterinya. Ia melihat betapa dua orang kakek itu kini melakukan perlawanan hanya untuk mempertahankan nyawa.
Beberapa kali mereka terpelanting hanya terkena hawa pukulan Pethit Nogo, bergulingan dan berusaha lari. Namun selalu lawannya telah menantinya untuk menyambut dengan pukulan lain.
Gagak Kroda sudah tak dapat tahan lagi menghadapi desakan-desakan Setyaningsih. Ia hendak melarikan diri, namun Setyaningsih yang marah sekali melihat betapa suaminya tadi terancam bahaya di tangan kakek ini, menyambutnya dengan pukulan-pukulan dahsyat.
Ketika untuk kesekian kalinya Gagak Kroda berusa menangkap tangan wanita itu untuk digelutnya, untuk dihancurkan dengan kedua lengannya yang kuat, Setyaningsih sengaja membiarkan pergelangan tangan kirinya ditangkap.
Pangeran Panji Sigit menahan teriakan kaget melihat isterinya dapat ditangkap lengannya, akan tetap pada saat itu terdengar suara "prakk"!' disusul robohnya tubuh Gagak Kroda yang pecah kepalanya terkena tamparan tangan kanan Setyaningsih!
"Prakkk!"
Pada detik berikutnya, Gagak Dwipa juga roboh dengan kepala remuk terkena tamparan tangan Pusporini.
Kiranya tadi Setyaningsih sengaja membiarkan tangan kirinya tertangkap lawan sehingga ia dapat kesempatan untuk melancarkan tamparan Pethit Nogo dari dekat yang akibatnya memecahkan kepala Gagak Kroda. Adapun Pusporini agaknya hendak menjaga perasaan saudaranya sehingga ia sengaja "menanti"
Dan baru menurunkan tangan maut kepada Gagak Dwipa setelah Setyaningsih berhasil merobohkan lawannya.
"Bagus sekali! Kalian telah berhasil! Sayang dukun lepus itu tak dapat tertangkap. Ia menghilang menggunakan asap hitam, si keparat!"
Ucapan ini keluar dari mulut Joko Pramono yang sudah tiba kembali dengan tangan kosong. Tadi ia mengejar Cekel Wisangkoro, akan tetapi tiba-tiba kakek pendeta itu membanting beberapa buah benda yang meledak dan menimbulkan asap hitam tebal sehingga Joko Pramono yang khawatir kalau-kalau asap hitam itu beracun, cepat menghindar dan setelah asap membuyar, ia telah kehilangan jejak pendeta itu.
Akan tetapi hanya Pangeran Panji Sigit yang memandang dan memperhatikannya, karena. Pusporini dan Setyaningsih yang kini berdiri saling pandang dan merasa seperti dalam mimpi, dengan wajah penuh keharuan dan air mata menitik turun melalui pipi mereka yang masih kemerahan karena pertempuran tadi, tidak memperhatikan hal lain di sekeliling mereka.
"Yunda Setyaningsih!"
"Dinda Pusporini............!"
Dua orang wanita muda itu berlari maju dan saling menubruk, berpelukan dan menangis penuh kebahagiaan dan keharuan. Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono hanya berdiri memandang.
Mereka ini dapat merasakan keharuan yang menguasai kedua orang wanita yang mereka cinta itu, maka mereka hanya menonton saja, bahkan Joko Pramono yang biasanya gembira itu pun tak berani membuka mulut.
Setelah keharuan mereka mereda, dua orang wanita itu lalu melepaskan rangkulan, saling berpandangan dengan mulut tersenyum akan tetapi mata masih berlinang air mata. Barulah Joko Pramono membuka mulut dengan suara gembira.
"Pusporini, apakah engkau sudah lupa kepadaku? Mengapa aku tidak diperkenalkan?"
Mereka semua tersenyum. Ucapan Joko Pramono yang mengandung kegembiraan itu sekaligus membuyarkan keharuan yang mencekam dan menimbulkan kegembiraan yang timbul dari kebahagiaan perempuan itu.
"Ayunda Setyaningsih, dia ini adalah........... saudara seperguruanku, namanya Joko Pramono. Sebetulnya bukan orang lain karena dia adalah keponakan mendiang Ki Adibroto ayah Ayunda Ayu Candra."
"Oohh...........
"'
Setyaningsih terkejut juga akan tetapi melihat betapa pandang mata pemuda tampan itu periang dan sama sekali tidak membayangkan permusuhan, hatinya menjadi lega. Tentu saja Setyaningsih sudah tahu akan riwayat keluarganya dan tahu bahwa di antara keluarganya dan keluarga Ayu Candra pernah terjadi pertentangan yang hebat (baca Badai Laut Selatan).
"Engkau sudah tahu, dia ini Ayunda Setyaningsih, kakak tiriku, adik kandung Ayunda Endang Patibroto."
Pusporini melanjutkan perkenalannya kepada Joko Pramono yang segera menjura dengan hormat kepada Setyaningsih.
"Dan ini adalah suamiku, Pangeran Panji Sigit dari Jenggala,"
Setyaningsih memperkenalkan suaminya kepada dua orang muda itu, kemudian sambil menoleh kepada suaminya ia berkata.
"Kakangmas, ini adalah adikku Pusporini yang sering kuceritakan, sungguh tak terduga dapat kita jumpai di sini, malah, bersama saudara seperguruannya menjadi penolong kita."
Sebagai orang-orang yang mengerti akan tata susila, Joko Pramono dan Pusporini berlutut dengan hormat dan hendak menghaturkan sembah, akan tetapi Pangeran Panji Sigit cepat-cepat membangunkan mereka dan berkata,
"Ah, harap jangan banyak menggunakan peradatan. Kita adalah orang-orang sendiri, keluarga sendiri. Bahkan kami berdua yang merasa bersyukur dan berteima kasih kepada andika yang telah menyelamatkan nyawa kami daripada ancaman bahaya maut."
Kemudian memandang ke sekelilingnya.
Gagak Kroda dan Gagak Dwipa telah menjadi mayat, dan bukan hanya dua orang itu saja,bahkan tujuh orang perajurit pengawal yang tadi ia robohkan bersama isterinya telah tewas. Ia menghela napas dan berkata,
"Mari kita mencari tempat yang bersih dan di sana kita bercakap-cakap."
Mereka berempat meninggalkan tempat yang mengerikan karena penuh mayat orang itu, memasuki hutan dan berhenti di bagian hutan yang bersih dan teduh, juga sinar bulan dapat menerangi tempat itu karena pohonpohonnya tidaklah amat rapat.
Mereka berempat duduk di atas akar-akar pohon, kemudian dengan gembira mereka bercakap-cakap menuturkan riwayat masing-masing.
Sebetulnya yang bicara hanya dua orang wanita itu yang menceritakan pengalaman masing-masing semenjak mereka berpisah, sepuluh tahun yang lalu ketika Setyaningsih diajak pergi meninggalkan Selopenangkep oleh Endang Patibroto.
Ketika Setyaningsih menceritakan keadaan keluarga mereka, apalagi ketika menceritakan betapa ibu Pusporini, yaitu Roro Luhito, tewas di tangan musuh yang mengepung Selopenangkep, Pusporini menjerit lirih dan terguling pingsan!.
Tiga orang itu menjadi terharu dan sibuk. Sambil menangis Setyaningsih memeluk tubuh Pusporini, mengguncang-guncangnya dan memanggil-manggil namanya.
Pangeran Panji Sigit hanya menarik napas panjang dan berdiam diri karena ia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu dia tidak dapat berdaya. Joko Pramono merasa kasihan sekali kepada gadis yang dicintanya, maka ia berjongkok dan berbisik kepada Setyaningsih,
"Perkenankanlah saya menyadarkannya. Setyaningsih maklum akan kesaktian pemuda teman adik tirinya itu, maka ia lalu melepaskan Pusporini lalu mundur.
Bersama suaminya ia melihat Joko Pramono menyentuh punggung Pusporini, menekannya dan menempelkan telapa tangan kini ke ubun-ubun gadis itu. Pusporini mengeluarkan rintihan perlahan lalu membuka matanya dan bangkit duduk.
Begitu melihat Joko Pramono, lalu tersedu dan merangkul, mulutnya menjerit lirih,
"Ibu........... Ah, Joko Pramono........... ibuku........... ibuku...........
"
Joko Pramono terharu, mengelus rambut kepala gadis yang dicintanya itu. Dalam keadaan berduka seperti itu, Pusporini tanpa disadarinya jelas memperlihatkan perasaan hatinya kepada Joko Pramono sehingga Setyaningsih dan Pangeran Panji Sigit memaklumi keadaan dua orang muda itu dan mereka hanya saling pandang penuh rasa haru.
Setelah sadar kembali, Pusporini cepat melepaskan pelukannya dan mukanya menjadi merah.
Setyaningsih cepat memegang tangannya dan berkata,
"Adikku yang baik, teguhkanlah hatimu. Ibuku dan ibumu telah gugur dalam perang, gugur sebagai kusuma bangsa, sebagai wanita-wanita berjiwa satria yang gagah perkasa. Kita patut merasa bangga dan kita harus mencontoh mereka. Musuh-musuh yang menewaskan ibu-ibu kita adalah musuh-musuh kita yang sekarang juga."
Pusporini mengangguk. Dengan kekuatan batinnya ia sudah dapat mengatasi kedukaannya dan dengan tenang ia mendengarkan cerita Setyaningsih lebih Ianjut tentang keadaan keluarganya.
"Sekarang Kakangmas Tejolaksono telah menjadi patih muda di Panjalu dan tinggal di kota raja bersama Ayunda Ayu Candra. Mereka hanya berdua saja di sana karena sampai sekarang, Bagus Seta belum juga pulang...........
"
Setyaningsih menarik napas panjang mengingat akan nasib buruk Tejolaksono.
"Untung bahwa belum lama ini Ayunda Endang Patibroto juga datang ke Panjalu dan sekarang telah bersatu dengan Rakanda Patih Tejolaksono."
Pusporini menjadi girang mendengar ini, wajahnya mulai berseri kembali.
"Syukurlah. Hanya sayang bahwa Bagus Seta masih belum juga pulang. Ke mana sajakah perginya bocah itu?"
"Menurut penuturan rakanda patih Bagus Seta diambil murid oleh seorang maha sakti yang berjuluk Bhagawan Ekadenta, entah dibawa pergi ke mana oleh gurunya itu."
Mendengar ini, Pusporini dan Joko Pramono saling pandang sejenak karena mereka teringat akan pesan guru mereka bahwa kelak mereka akan membantu seorang pemuda sakti mandraguna. Jangan-jangan Bagus Seta anak yang disebut-sebut guru mereka itu!.
"Selanjutnya bagaimana, Yunda?"
Pusporini kembali menghadapi Setyaningsih yang kini mulai menceritakan pengalamannya semenjak ia meninggalkan Selopenangkep.
Ketika mendengar bahwa Endang Patibroto melahirkan seorang anak perempuan, Pusporini girang sekali.
"Wah, sekarang sudah berapa usianya keponakanku itu? Siapa namanya?"
"Namanya Retna Wilis dan sekarang usianya sudah lebih sepuluh tahun. Akan tetapi........... ah, sungguh menyedihkan kalau diingat nasib Rakanda Patih Tejolaksono. Bagus Seta belum pulang dan tidak diketahui berada di mana, sedangkan puterinya yang belum pernah dilihatnya itu, Retna Wilis keponakan kita....
"
"Mengapa dia? Mengapa.....?"
Pusporini bertanya penuh kekhawatiran.
"Dia baru-baru ini terculik oleh Nini Bumigarba...........
"
"Apa...........? Terculik? Dari tangan Ayunda Endang Patibroto? Sungguh mengherankan! Siapa berani melakukan hal itu? Siapakah itu Nini Bumigarba?"
Pusporini terkejut, heran, dan marah sekali mendengar ada orang berani menculik puteri ayundanya yang demikian sakti mandraguna!
"Aku pun hanya mendengar penuturan Ayunda Endang Patibroto. Penculiknya bukan manusia biasa. Yang bernama Nini Bumigarba itu memiliki kesaktian yang tidak lumrah manusia. Jangankan Ayunda Endang Patibroto yang sama sekali tidak mampu melawannya, bahkan Eyang Datujiwa yang sakti mandraguna dan sudah menjadi guru Retna Wilis sekali pun tidak mampu melawannya, bahkan tewas di tangan Nini Bumigarba yang menggiriskan itu."
Pusporini dan Joko Pramono terkejut sekali. Mereka itu melongo ketika mendengarkan penuturan Setyaningsih tentang kehebatan Nini Bumigarba, dan diam-diam mereka ikut prihatin dan marah sekali.
"Kami berdua sedang bertugas menyelidiki ke mana dibawanya Retna Wilis oleh Nini Bumigarba, namun semua penyelidikan kami tidak ada hasilnya. Nenek itu seperti lenyap ditelan bumi,"
Kata Pangeran Panji Sigit setelah isterinya menuturkan tentang pasukan rahasia yang dibentuk dan dipimpin oleh Pangeran Darmokusumo sendiri, bersama Patih Tejolaksono.
"Karena itu, tidak ada jalan lain bagiku untuk kembali ke Jenggala, menghadap ramanda prabu dan kurasa di Istana aku akan dapat mendengar tentang Nini Bumigarba yang melarikan Retna Wilis. Dalam perjalanan ke Jenggala, kami bertemu dengan Gagak Dwipa dan Gagak Kroda sehingga hampir saja kami tertimpa malapetaka."
"Akan tetapi hal itu sama saja seperti menyerahkan diri ke tangan musuh!"
Joko Pramono berseru.
"Paduka sudah dikenal oleh semua orang dan agaknya kini para perajurit dan petugas Jenggala telah dikuasai oleh mereka yang mencengkeram Jenggala dan yang memusuhi Paduka. Sebaiknya, kami berdua saja yang pergi menyelidik ke sana karena kami tidak dikenal."
"Benar sekali apa yang dikatakan Joko Pramono.Ayunda Setyaningsih dan Rakanda Pangeran lebih baik jangan memasuki Jenggala karena hal itu akan berbahaya sekali."
Kata pula Pusporini. Akan tetapi Setyaningsih tidak menjawab, hanya menoleh kepada suaminya dan menanti jawaban dan keputusan dari mulut suaminya.
Pangeran Panji Sigit tersenyum akan tetapi menggelengkan kepalanya, menarik napas panjang dan berkata,
"Sungguh tepat pendapat Adimas Joko Pramono.Akan tetapi, aku ingin bertanya pendapat Adimas Joko Pramono. Bagaimana andaikata Adimas yang menjadi aku,melihat ramanda prabu di Jenggala dicengkeram pengaruh jahat, terancam keselamatan beliau oleh anasir-anasir yang menguasai kerajaan? Apa yang akan Adimas lakukan? Apakah hanya akan memandang dari jauh saja?"
Joko Pramono menghela napas panjang dan mengangguk maklum.
"Maaf bukan sekali-kali saya tadi tidak percaya akan jiwa kepahlawanan Paduka, melainkan tadi saya hanya berpikir tentang bahaya-bahaya yang mengancam Paduka. Tentu saja, kalau saya menjadi Paduka, saya akan mendekati sang prabu dan akan membelanya dengan seluruh jiwa raga saya, sesuai dengan tugas dharma bakti seorang satria terhadap negaranya."
Pangeran muda itu tertawa dan memandang Joko Pramono dengan sinar mata kagum.
"Sudah kuduga, takkan ada bedanya antara orang-orang yang menjunjung tinggi dharma bakti sebagai seorang manusia yang tahu akan kebesaran dan keadilan, yang tahu akan tugas-tugas kewajibannya sebagai seorang manusia, tugas di dalam mengisi hidup yang tak lama ini. Karena persamaan pendapat ini, maka makin yakinlah hatiku bahwa aku bersama isteriku harus kembali ke Jenggala, apa pun yang akan kami hadapi kelak. Tugaskulah untuk membela beliau, tugasku pula untuk mengingatkan beliau akan kelalaian dan kekhilafan beliau. Setyaningsih, isteriku,beranikah engkau mengunjungi istana Jenggala di mana banyak menanti musuh-musuh berilmu tinggi untuk mencelakakan kIta?"
Setyaningsih memandang suaminya dengan pandang mata mesra dan wajah berseri.
"Sudah menjadi tugas mutlak seorang isteri untuk mengabdi suaminya, mengikuti suaminya ke mana pun juga junjungannya itu pergi. Tiada kesenangan dunia yang akan dapat menyelewengkan kesetiaannya, tiada pula kesengsaraan yang akan dapat membuat ia meninggalkan sisi suaminya!"
Pangeran muda itu tertawa terbahak, makin girang dan besar hatinya.
"Tepat sekali. Engkau Setyaningsih (Kesetiaan Kaslh) bukan hanya nama belaka, namun menjadi watak lahir batin!"
Pusporini dan Joko Pramono melihat dan mendengar dengan hati penuh rasa kagum dan terharu. Pusporini memeluk kakak tirinya dan berkata,
"Betapa aku dapat membiarkan Ayunda pergi bersama Rakanda Pangeran menghadapi bahaya hebat di Jenggala? Tidak, Ayunda, aku tidak dapat berdiam diri saja. Aku akan menemanimu dan membantumu mencari jejak Nini Bumigarba yang melarikan Retna Wills!"
"Benar sekali! Aku pun siap membantu dan biarlah hamba menjadi pembantu Paduka, Rakanda Pangeran!"
Kata pula Joko Pramono dengan sikap gagah.
Pangeran Panji Sigit girang bukan main dan memegang pundak pemuda perkasa itu.
"Hati kami menjadi lebih mantap, lebih besar dan tabah dengan bantuan kalian berdua yang sakti mandraguna. Sungguh bahagia hatiku dapat menjadi suami seorang seperti Adinda Setyaningsih yang memiliki keluarga gagah perkasa, dan........... aku yakin bahwa engkau pun akan menjadi keluarga kami........... Adimas Joko Pramono!"
Wajah pemuda itu menjadi merah akan tetapi lebih merah lagi kedua pipi Pusporini ketika ia bertemu pandang dengan Joko Pramono. Melihat ini, Pageran Panji Sigit tertawa bergelak dan Setyaningsih ikut tertawa sambil merangkul pundak adik tirinya.
Dengan semangat tinggi dan hati besar, empat orang muda perkasa ini lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Kota Raja Jenggaia, menentang bahaya yang mereka tahu sedang menantinya di kora raja itu, bagaikan mulut lebar seorang raksasa yang siap untuk mencaplok mereka!.
Ketika empat orang muda ini memasuki kota raja, semua mata memandang mereka penuh takjub dan keheranan.
Akan tetapi masih banyak pula rakyat yang mengenal Pangeran Panji Sigit dan tak lama kemudian terdengar teriakan-teriakan girang mereka dan setelah beberapa orang penduduk tua menjatuhkan, diri berlutut di pinggir jalan, semua orang lalu berlutut menyembah dan berderet-deret di sepanjang jalan yang mereka lalui.
"Gusti Pangeran Panji Sigit datang...."!"
"Gusti Pangeran yang kita cinta telah kembali...........!"
Teriakan-teriakan ini cepat sekali sampai ke istana mendahului mereka sehingga mengejutkan hati Pangeran Kukutan yang mendengar akan datangnya adik tirinya itu.
Kalau Pangeran Kukutan terkejut dan khawatir, adalah Suminten yang cepat bangkit dari tempat duduknya dengan muka merah padam.
Wanita itu telah menjadi seorang wanita yang masak, berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun, bertubuh padat yang tertutup pakaian yang serba indah dan ketat, wajahnya manis dan terutama sekali sepasang matanya membayangkan kecerdikan dan wibawa,dengan kerling tajam mengiris jantung, dan mulutnya yang membayangkan hamba nafsu berahi, bibir yang dapat bergerak-gerak menantang.
Begitu mendengar disebutnya nama Pangeran Panji Sigit, di dalam pandang matanya timbul api gairah yang menyala-nyala, dadanya yang membusung itu agak herombak dan ia cepat memerintahkan abdinya untuk memanggil Pangeran Kukutan.
Kemudian ia mengundurkan memasuki ruangan belakang, sebuah ruangan rahasia yang khusus ia pergunakan untuk mengadakan pertemuan rahasia dengan sekutu-sekutunya, tempat yang rahasia dan aman daripada gangguan orang luar yang tidak dikehendaki kehadirannya.
Di sinilah ia menanti kedatangan pembantunya yang paling setia, juga kekasihnya yang terdekat di antara sekian banyaknya pria-pria muda yang menjadi kekasihnya, atau lebih tepat menjadi alat-alat permainannya menurutkan hawa nafsu.
Wanita ini duduk termenung, menanti kedatangan Pangeran Kukutan dengan mata setengah dipejamkan, suatu kebiasaan jika wanita itu sedang memutar otaknya mencari siasat.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tak lama kemudian, daun pintu didorong dari luar dan masuklah Pangeran Kukutan yang langsung menghampiri wanita yang masih duduk menyandarkan punggung dan lehernya ke sandaran kursinya.
Pangeran yang sudah biasa memasuki ruangan ini, yakin bahwa ruangan itu merupakan tempat yang aman, tak perlu menutupkan daun pintu karena takkan ada seorang pun manusia berani mengintai atau mendengarkan, dan di sekeliling tempat itu telah terjaga kuat sekali oleh pengawal-pengawal pilihannya.
Ia langsung menghampiri Suminten yang untuk kesekian kalinya ia terpesona menyaksikan wanita ini duduk dengan kepala menengadah, mukanya yang cantik itu tampak nyata, mata yang berbulu lentik setengah terkatup, mulut yang manis itu setengah terbuka sehingga di antara sepasang bibir yang penuh, merah dan merupakan sumber kehangatan nafsu itu tampaklah ujung deretan gigi hampir menjepit ujung lidah yang kecil merah, tampak sebagian rongga mulut yang merah gelap.
Biarpun Pangeran Kukutan itu bukan seorang laki-laki alim, bahkan sebaliknya dia seorang pria yang selalu mengejar dan mendapatkan wanita-wanita cantik mempergunakan kekuasaan, kedudukan, dan ketampanannya, namun setiap kali bertemu dengan Suminten, selalu gelora darahnya dipanaskan nafsu berahi.
"Duhai, Adinda Suminten........... alangkah cantik jelita engkau...........! Siang hari engkau memanggilku, apakah tidak dapat menahan lagI...........?"
Ia membungkuk dan mencium bibir ternganga itu. Suminten baru sadar dari lamunannya, dan sejenak ia membiarkan pria yang menjadi pembantunya itu menikmati ciumannya.
Akan tetapi ketika tangan pangeran itu mulai menggerayang, ia cepat memegang tangan itu, merenggutkan dirinya secara halus dan berkata lirih,
"Duduklah, Pangeran. Aku memanggilmu karena urusan penting. Bukan saatnya untuk bermain cinta."
Sesuatu dalam suara wanita yang sudah amat dikenalnya ini membuat Pangeran Kukutan cepat melangkah mundur.
Seluruh gairah nafsunya lenyap seperti asap dihembus, angin. Ia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, Suminten mempunyai persoalan pelik yang harus ia tanggapi dengan kepala dingin dan dengan penuh kesungguhan.
Akan tetapi dia pun dapat menduga bahwa tentu wanita yang amat cerdik ini yang sesungguhnya telah mengangkat dirinya menjadi pangeran mahkota, calon raja, yang sesungguhnya merupakan pucuk pimpinan dalam persekutuan mereka yang kini telah menjadi kuat sekali, mencengkeram serluruh Jenggala dalam kekuasaan mereka,. telah mendengar akan munculnya Pangeran Panji Sigit di kota raja.
"Pangeran, apakah engkau sudah mendengar akan munculnya ancaman bagi ketenteraman kita?"
Pangeran Kukutan tersenyum.
"Apakah engkau maksudkan munculnya Panji Sigit dan tiga orang temannya di kota raja?"
Suminten mengangguk dan mengerutkan alisnya yang kecil panjang menghitam.
"Pangeran, mengapa engkau memandang rendah dan menganggap hal ini sepele saja? Bukankah kemarin dulu engkau sendiri yang melaporkan akan kedatangan Paman Cekel Wisangkoro yang menceritakan betapa anak buahnya tewas oleh kesaktian Pangeran Panji Sigit dan terutama tiga orang temannya itu?"
"Harap tenangkan hatimu, Diajeng. Telah kuselidiki dan dengar dari Paman Cekel Wisangkoro bahwa Panji Sigit datang bersama isterinya yang bernama Setyaningsih dan dua orang muda laki-laki dan wanita yang tak dikenal.Memang, menurut penuturan Paman Cekel Wisangkoro,laki-laki dan wanita yang tak dikenal itu memiliki kepandaian yang lumayan sehingga Paman Cekel sendiri terdesak, akan tetapi hal ini tak perlu dikhawatirkan. Kami sudah siap sedia dan Paman Cekel Wisangkoro telah mendatangkan bantuan orang-orang sakti dan aku tanggung bahwa sebelum Panji Sigit dan teman-temannya sempat menghadap ramanda prabu, mereka berempat sudah akan menjadi mayat yang tak dikenal orang lain di mana kuburnya. Ha-ha-hal Aku hanya mengharap agar engkau dapat menahan ramanda prabu supaya tidak berkesempatan mendengar akan munculnya Panji Sigit, apalagi menemuinya."
Tiba-tiba Suminten menepukkan telapak tangannya pada lengan kursinya dan berseru marah,
"Bodoh sekali rencana itu!"
Pangeran Kulkutan berubah air mukanya. Ia maklum betapa bahayanya kalau wanita yang cumbu rayunya dapat membuat ia lupa akan segala itu sedang marah. Cepat ia bertanya,
Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo