Ceritasilat Novel Online

Perawan Lembah Wilis 32


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 32



"Demikianlah, Kakangmas........... setelah dia pergi barulah teringat olehku bahwa orang yang wajahnya sudah berubah itu sebetulnya adalah si keparat Sindupati...........

   "

   Ki Patih Tejolaksono bangkit berdiri, mukanya menjadi merah sekali, matanya terbelalak, kedua tangannya terkepal dan la berkerot-kerot saking marahnya, mulutnya membisikkan kutukan hebat.

   "Bedebah...."..!!!"

   Jantung Endang Patibroto serasa dirobek-robek dan wanita ini menjatuhkan diri berlutut di depan pria itu.

   "Duh Kakangmas........... aku rela kauhina, bahkan aku siap kaubunuh sekali pun........... memang aku wanita hina........... duh Ibunda........... mengapa malapetaka yang menimpa Ibu dahulu kini menimpa anakmu pula...........?"

   Tejolaksono membungkuk dan mengangkat bangun Endang Patibroto dengan memondongnya dan dengan penuh kasih sayang mendudukkan wanita itu kembali ke atas pembaringan, merangkul dan menciuminya.

   "Tidak, kekasihku. Engkau sama sekali tidak hina! Aku tidak akan mengulang apa yang dahulu salah dilakukan oleh mendiang ayahmu. Dahulu pun, seperti engkau telah tahu, ibumu diperkosa orang........... ayahmu menyesal dan menyalahkannya, sehingga terjadilah ekor atau akibat yang amat hebat. Kini peristiwa seperti itu menimpa dirimu, Diajeng. Aku sama sekali tidak menyalahkan engkau, Diajeng yang bernasib malang........... bukan kehendakmu terjadi hal seperti itu. Namun kita harus membalas kekejian Sindupati........... eh, kau bilang dia bernama Warutama sekarang? Si keparat! Dan dia menjadi Patih Jenggala! Celaka"""!"

   Endang Patibroto seolah-olah Gunung Semeru yang tadinya menindih perasaan hatinya kini telah lenyap, dadanya lapang hatinya merasa bahagia sekali. Dia tidak perduli apakah Warutama sekarang menjadi Patih Jenggala atau menjadi setan. Kegirangan hatinya mendapat kenyataan bahwa pria yang dicintanya ini tidak marah dan tidak menyalahkannya dalam peristiwa pemerkosaan itu membuat ia lupa segala. Dipeluknya Tejolaksono dan dengan sedu-sedan ia berbisik di dada suami itu,

   "Aduh, terima kasih, Kakangmas........... terima kasih........... terima kasih...........!"

   Tejolaksono dapat memahami keharuan hati Endang Patibroto. Dia maklum betapa besar artinya sikapnya dalam peristiwa itu bagi seorang wanita, apalagi seorang wanita seperti Endang Patibroto.

   Diam-diam dia merasa kagum akan sikap Endang Patibroto yang tidak ragu-ragu menceritakan hal itu kepadanya dalam kesempatan pertama. Hanya seorang wanita yang berhati murni saja yang akan mengaku secara terus terang seperti ini.

   Hanya wanita yang menghendaki agar di antara cinta kasih mereka tidak terdapat penghalang dalam bentuk apa pun juga, yang menghendaki cinta kasih yang murni, yang akan berani menceritakan pemerkosaan terhadap dirinya dengan resiko patahnya rantai kasih itu sendiri.

   Ia membiarkan Endang Patibroto melampiaskan kelegaan hatinya dalam tangis, dan dengan belaian kasih mesra ia mengusap-usap rambut yang kusut itu. Peristiwa pemerkosaan itu sama sekali tidak mempengaruhi cintanya, bahkan memperdalam cintanya yang kini dilengkapi dengan perasaan kasihan yang mendalam.

   Dan Tejolaksono tidak sadar bahwa kalau di dunia ini jarang terdapat wanita yang begitu murni cintanya seperti Endang Patibroto, lebih jarang lagi terdapat pria yang dapat menerima peristiwa pemerkosaan dengan dada begitu lapang, dengan pengertian begitu mendalam seperti perasaan hatinya terhadap Endang Patibroto!

   "Diajeng, sudahlah jangan menangis. Percayalah, aku sudah lupa lagi akan peristiwa yang menimpa dirimu sungguh pun aku takkan dapat melupakan Warutama yang jahat itu. Tenangkan hatimu karena peristiwa keji itu takkan diketahui orang lain, tidak akan diketahui oleh Ayu Candra, oleh siapa pun juga, bahkan tidak akan diketahui oleh anak kita........... eh, di mana Retna Wilis, anak kita itu? Diajeng, aku sudah banyak mendengar tentang dia dari Adinda Setyaningsih, kenapa kau tidak membawa dia ke sini?"

   Wajah Endang Patibroto yang tadinya merah berseri karena bahagia mendengar ucapan penerimaan Tejolaksono mengenai malapetaka yang menimpa dirinya, kini menjadi muram dan ia menghela napas panjang, lalu mengangkat mukanya dari dada suaminya. '

   "Kakangmas, memang nasibku selalu malang, dirundung malapetaka. Anak kitatu, Retna Wilis, sudah baik-baik mendapatkan seorang guru yang sakti mandraguna, yaitu Ki Datujiwa, akan tetapi tiba-tiba muncul nenek iblis Nini Bumigraba yang membunuh Ki Datujiwa dan menculik Retna Wilis...........

   "

   "Duh para Dewata........... , mengapa begini...........?"

   Tejolaksono mengeluh dengan hati pedih. Puteranya, Bagus Seta, sampai kini belum juga pulang. Kemudian, puterinya yang belum pernah dilihatnya, Retna Wilis, diculik orang pula!

   "Diajeng, bagaimana bisa terjadi hal itu? Mengapa Diajeng tidak melindunginya dan melawan mati-matian?"

   Tejolaksono memang belum pernah mendengar nama Nini Bumigarba sehingga ia merasa terheran-heran mengapa isterinya ini yang amat sakti, ditambah lagi dengan Ki Datujiwa yang menurut keterangan Setyaningsih amat sakti sehingga dalam sayembara dapat menandingi dan mengalahkan Endang Patibroto, tidak mampu melindungi Retna Wilis.

   Endang Patibroto lalu menceritakan dengan suara duka namun dengan sejelasnya tentang kedatangan Nini Bumigarba yang menyeramkan. Sebagai penutup ceritanya ia berkata,

   "Nenek iblis itu luar biasa sekali, Kakangmas. Jangankan hanya aku, sedangkan Ki Datujiwa yang sakti itu pun sama sekali bukan tandingannya. Nenek itu bukan seperti manusia, mukanya pun tidak dapat tampak nyata, tertutup semacam halimun kehitaman. Ahh, Kakangmas bagaimana kita harus mencari dan menolong anak kita itu...........?"

   Endang Patibroto berduka sekali sehingga suaminya segera merangkulnya untuk menghibur.

   "Betapapun sakti mandraguna nenek itu, namun kalau dia hanya menghendak Retna Wilis menjadi muridnya, puter kita akan selamat. Hanya aku khawatir........... nenek itu begitu kejam dan seperti Iblis, bagaimana puteri kita dapat menjadi muridnya? Kita harus berusaha mencarinya, dan mencegahnya menjadi murid nenek itu. Akan tetapi........... ah, aku teringat........... kau bilang nenek itu mukanya tidak tampak karena tertutup halimun hitam? Aneh sekali...........

   "

   "Apa maksudmu, Kakangmas? Apakah Paduka pernah bertemu dengan dia?"

   "Bukan dengan dia, bahkan mendengar namanya pun belum pernah. Akan tetapi aku pernah berjumpa dengan seorang maha sakti yang juga wajahnya selalu tertutup semacam halimun, akan tetapi halimun putih dan kakek sakti mandraguna itu adalah seorang suci yang membawa putera kita Bagus Seta menjadi muridnya...........

   "

   Tejolaksono lalu menuturkan semua pengalamannya semenjak mereka berpisah. Banyak suka-dukanya dalam pertemuan antara dua orang yang saling mencinta ini, banyak hal-hal yang mengharukan dan menimbulkan gelisah, akan tetapi kebahagiaan karena mereka dapat berkumpul kembali merupakan hiburan yang amat besar. Setelah berkumpul kembali, mereka menjadi besar hati dan akan sanggup memikul semua beban dan derita hidup bersama-sama.

   Ayu Candra yang bijaksana membiarkan mereka itu saling menuturkan semua pengalaman, tidak mengganggu mereka dan hanya mengirimkan pengganti pakaian yang baru dan bersih untuk Endang Patibroto, menyuruh abdi-abdi wanita untuk mengirim hidangan, dan baru pada keesokan harinya Ayu Candra menghadap suaminya dan bertemu dengan madunya bersama-sama Setyaningsih dan Pangeran Panji Sigit.

   Pertemuan yang mengharukan, apalagi ketika Setyaningsih mendengar bahwa Retna Wilis diculik orang. Mukanya yang berkulit kuning bersih dan cantik jelita itu mengeras, alisnya berkerut dan matanya memancarkan api kemarahan. Ia menoleh kepada suaminya dan berkata,

   "Bagaimana pendapat Kakanda akan hal itu? Bukankah semua itu termasuk rencana persekutuan iblis yang sedang berusaha mencengkeram kedua kerajaan keturunan Mataram? Saya merasa yakin bahwa nenek iblis yang bernama Nini Bumigarba itu tentu mempunyai hubungan dengan tokoh-tokoh jahat seperti yang telah diceritakan rakanda patih kepada kita, tokoh-tokoh dari Sriwijaya dan Cola."

   Pangeran Panji Sigit mengangguk-angguk.

   "Uwa Prabu telah mengirimkan banyak penyelidik ke Jenggala, mempelajari keadaan di sana. Dan sebaiknya kalau kita sendiri tidak tinggal diam, menyelidiki ke mana Retna Wilis adik kita itu dibawa pergi. Rakanda Patih, biarlah saya sendiri bersama Setyaningsih pergi melakukan penyelidikan, mencari jejak nenek yang jahat itu."

   Tejolaksono termenung.

   "Menurut penuturan ayundamu Endang Patibroto, nenek itu amatlah saktinya, bukan merupakan lawan kita. Memang seharusnya kita melakukan penyelidikan dan kami percaya penuh akan kemampuan Adinda Pangeran dan Setyaningsih, akan tetapi harap jangan sembrono dan jangan sekali-kali mencoba untuk melawan nenek itu. Cukup kalau bisa mendapatkan jejaknya dan bisa mengetahui di mana adanya anakku Retna Wilis, kemudian melaporkan kepada kami."

   "Jangan khawatir, Rakanda Patih. Kami akan bersikap hati-hati sekali dan tidak hanya kami berdua yang menyelidik, melainkan kami akan berusaha menyebar barisan penyelidik..........."

   Ucapan Pangeran Panji Sigit ini terhenti karena pengawal memberi tahu akan kedatangan Pangeran Darmokusumo bersama isterinya.

   Mereka ini datang berkunjung setelah mendengar bahwa Endang Patibroto telah "pulang"

   Ke rumah suaminya yang baru, yaitu Patih Tejolaksono. Seperti telah diketahui, baik Pangeran Darmokusumo maupun isterinya keduanya adalah sahabat-sahabat baik Endang Patibroto. Di waktu mudanya, isteri pangeran ini yang bernama Puteri Mayagaluh adalah sahabat baik Endang Patibroto (baca Badai Laut Selatan), bahkan puteri ini adalah adik kandung mendiang Pangeran Panjirawit. Adapun Pangeran Darmokusumo sendiri, seorang pangeran terkemuka dari Panjalu, pernah bekerja sama dengan Endang Patibroto ketika mereka berdua memimpin pasukan menyerbu Blambangan beberapa tahun yang lalu.

   Pertemuan ini pun mengharukan, juga amat menggembirakan. Percakapan mengenai pengalaman mereka masing-masing membawa ke persoalan negara, yaitu Kerajaan Jenggala yang sedang diliputi mendung gelap. Terutama sekali Puteri Mayagaluh dan adik tirinya, Pangeran Panji Sigit, keduanya menundukkan muka dan merasa prihatin sekali kalau memikirkan keadaan ayah mereka, sang prabu di Jenggala yang sudah sepuh itu, yang kini seolah-olah berada dalam cengkeraman iblis jahat!

   Ketika percakapan tiba pada persoalan diculiknya Retna Wilis, Pangeran Darmokusumo yang sudah kurang lebih lima puluh tahun usianya itu berkata sambil mengerutkan alisnya,

   "Nini Bumigarba? Wajahnya tertutup halimun kehitaman? pernah aku mendengar dongeng wanita sakti yang mukanya selalu tertutup halimun, namanya Dewi Sarilangking...........

   "

   "Itulah dia!!"

   Endang Patibroto berseru.

   "Dewi Sarilangking yang sekarang bernama Nini Bumigarba, kepandaiannya hebat...........!"

   Pangeran Darmokusumo mengangguk-angguk. Ketika ia mendengar niat Pangeran Panji Sigit untuk bersama isterinya pergi mencari jejak, ia berkata.

   "MEMANG seharusnya dilakukan penyelidikan. Kurasa masih ada hubungannya peristiwa ini dengan kekacauan di Jenggala. Biarlah aku akan mengerahkan pasukan-pasukan istimewa bagian penyelldik yang sudah berpengalaman untuk meneliti dan mencari jejak ke mana dibawanya Retna Wilis."

   Tiba-tiba Endang Patibroto berkata dengan muka merah,

   "Kita semua sudah mendengar dan melihat kenyataan bahwa Jenggala berada dalam cengkeraman iblis-iblis laknat, bahkan fihak mereka telah berhasil menyelundupkan seorang manusia terkutuk seperti Warutama menjadi patih di Jenggala. Mau tunggu kapan lagi? Sebaiknya kita langsung menyerbu Jenggala dan membersihkan oknum-oknum pengacau itu, membinasakan dan membasmi mereka. Biarlah aku sendiri yang akan menghadap sang prabu di Panjalu untuk memimpin pasukan menghancurleburkan mereka itu!!"

   Tejolaksono bertukar pandang dengan Pangeran Darmokusumo. Mereka berdua menahan senyum karena mereka telah mengenal watak wanita ini yang ternyata tidak berubah banyak. Dan mereka yakin bahwa kalau wanita ini memimpin pasukan menyerang ke Jenggala, pasti akan terjadi geger, sungguhpun sekali ini hasilnya belum dapat dipastikan mengingat betapa musuh menggunakan banyak orang-orang yang sakti.

   "Aku sendiri pun telah mengajukan usul seperti itu, akan tetapi tidak diterima oleh gusti sinuwun. Dan memang kalau dipikir secara mendalam, penyerbuan dengan pasukan itu bisa menimbulkan salah duga,disangka Panjalu menyerang Jenggala.Musuh telah mempergunakan siasat halus, dan jalan satu-satunya menghadapi mereka dengan diam-diam pula,"

   Kata Tejolaksono.

   "Tepat seperti yang dikatakan Adinda Patih Tejolaksono,biarlah saya yang menghadap Ramanda Prabu dan mohon perkenan beliau untuk. membentuk pasukan rahasia yang tugasnya menentang para pengacau di Jenggala dengan secara rahasia dan diam-diam. Dan kita harus mengadakan kontak dengan orang-orang Jenggala sendiri yang masih setia kepada paman prabu dan bibi ratu di Jenggala agar perjuangan pasukan rahasia ini akan dapat berhasil."

   Keluarga yang terdiri dari orang-orang sakti mandraguna ini mengadakan perundingan dan akhirnya diambil keputusan mengangkat Pangeran Darmokusumo sebagai pemimpin pasukan rahasia yang akan dibentuk, sedangkan Patih Tejolaksono menjadi komandan pasukannya dibantu oleh Endang Patibroto.

   Akhirnya, keluarga Tejolaksono yang cerai-berai tidak karuan itu kini dapat berkumpul kembali, sungguhpun belum lengkap. Pusporini masih belum ada kabarnya, Bagus Seta masih belum diketahui berada di mana, sedangkan Retna Wilis pun lenyap digondol nenek iblis tanpa diketahui ke mana dibawanya..

   Akan tetapi, berkumpulnya kembali Tejolaksono dan Endang Patibroto merupakan hal yang selain menggembirakan semua orang termasuk Ayu Candra, juga mendatangkan semangat dan kelegaan hati. Semua orang, termasuk Pangeran Darmokusumo sendiri, merasa bahwa kalau kedua orang sakti yang saling mencinta ini bersatu, tidak akan ada kesulitan yang takkan dapat mereka atasi! Dan buktinya,begitu Endang Patibroto tiba, terus saja terbentuk pasukan rahasia yang tadinya tak pernah disinggung-singgung oleh Tejolaksono yang agaknya kehilangan semangat.

   Kini, dengan hati girang Ayu Candra mendapat kenyataan betapa suaminya telah pulih kembali semangatnya, tidak pernah melamun, wajahnya selalu berseri, bahkan kalau menyinggung soal belum kembalinya Pusporini, Bagus Seta, dan Retna Wilis, ia kini penuh harapan seolah-olah kehadiran Endang Patibroto telah mempertebal keyakinan dan kepercayaan akan diri sendiri!

   Sebagai langkah pertama dari pasukan rahasia ini,Pangeran Darmokusumo mengutus lima belas orang ahliahli penyelidik pilihan yang gagah perkasa untuk menyelundup ke Kota Raja Jenggala melakukan penyelidikan akan keadaan pengaruh jahat yang mencengkeram Jenggala, sedangkan Pangeran Panji Sigit bersama isterinya, Setyaningsih, menyamar sebagal rakyat biasa, memimpin selosin orang perajurlt pilihan untuk mulai dengan tugas mereka mencari jejak Nini Bumigarba yang membawa lari Retna Wilis.

   Pada waktu itu, telah genap lima tahun Pusporini dan Joko Pramono menjadi murid sang sakti Resi Mahesapati.

   Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua tahun yang lalu, Wiraman dan Widawati yang menjadi korban racun ular Puspo Wilis sehingga di luar kesadaran mereka telah melakukan hubungan sanggama sehingga terpaksa Widawati semenjak saat itu menyerahkan jiwa raganya menjadi isteri Wiraman, juga diterima oleh Resi Mahesapati sebagai murid-muridnya.

   Biarpun hanya menerima gemblengan selama dua tahun, namun Wiraman yang tadinya adalah seorang pengawal yang gagah perkasa itu mendapatkan kemajuan yang luar biasa, sedangkan Widawati cucu Ki Patih Brotomenggala itu pun kini menjadi seorang wanita yang kosen.

   Akan, tetapi yang tinggi sekali tingkat ilmu kepandaiannya adalah Pusporini dan Joko Pramono. Berkat sifat kedua orang muda ini yang selalu bersaing sampai tiga tahun lamanya, mereka memperoleh kemajuan pesat.

   Baru setelah terjadi peristiwa penaklukan ular Puspo Wilis dan mereka itu hampir saja menjadi korban pengaruh hawa beracun ular itu, keduanya saling menginsyafi dengan penuh kesadaran bahwa sesungguhnya mereka itu saling mencinta.

   Bahwa semua persaingan mereka itu sama sekali bukan berdasarkan iri dan benci, melainkan berdasarkan cinta kasih sehingga mereka selalu ingin menonjolkan diri di mata masing-masing orang yang dicintanya dengan dasar niat ingin dikagumi dan ingin dihargai atau lebih tepat lagi ingin dicinta!

   Semenjak peristiwa itu, mereka tidak lagi bersaing, bahkan sering mereka itu memperlihatkan sikap mengalah, terutama sekali Joko Pramono, dan biarpun mulut mereka tak pernah menyatakan sesuatu, namun pandang mata mereka sudah terang-terangan menyatakan isi hati yang penuh cinta. Namun, tiadanya persaingan bukan berarti bahwa ketekunan mereka mengendur.

   Sama sekali tidak. Setelah mendengar penuturan W iraman akan keadaan di Jenggala, kemudian mendengar wejangan Resi Mahesapati, mereka belajar makin rajin dan kini mereka mempunyai cita-cita dalam belajar, yaitu untuk kelak dipergunakan menolong Jenggala, membersihkan kerajaan itu dari manusia-manusia iblis yang berusaha mencengkeramnya.

   Pagi hari itu Resi Mahesapati memanggil keempat orang muridnya itu menghadap. Dengan suara halus ia berkata,

   "Tugasku telah selesai memberi bimbingan kepada kalian mengejar ilmu. Joko Pramono dan Pusporini, telah genap lima tahun kalian mempelajari ilmu dan sudah tiba saatnya kalian turun gunung memanfaatkan segala yang kalian telah pelajari. Seperti telah berkali-kali kutekankan adalah menjadi tugas kalian untuk berdarma bakti kepada kebajikan, kebenaran dan keadilan. Dan karena pada saat ini mendung telah meliputi Jenggala dan sebagian dari Panjalu, maka kalian harus turun gunung dan membantu usaha membersihkan mendung yang mengancam keselamatan rakyat kerajaan-kerajaan keturunan Mataram. Ingat bahwa mereka yang mengancam keselamatan itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu-ilmu yang tinggi, bahkan ada di antara mereka yang lebih sakti daripada tokoh-tokoh kedua kerajaan, bahkan aku sendiri tidak akan mampu melawannya. Akan tetapi, untuk menghadapi mereka yang sakti mandraguna ini akan muncul seorang pendekar muda dan kepadanyalah kalian akan membantu. Apa yang akan kalian lakukan di hari depan, terserah kepada kebijaksanaan kalian, aku orang tua hanya dapat membekali doa restu. Juga engkau Ki W iraman, engkau dan Widawati tidak terlepas pula daripada kewajiban untuk membantu usaha menentang pengaruh buruk itu. Pergilah kalian berempat dan aku dapat memandang kepergian kalian berempat dengan hati lapang karena kurasa, usahaku selama ini tidak akan sia-sia."

   "Akan tetapi, Eyang resi. Kemanakah hamba berdua harus menuju?"

   Tanya Pusporini yang sebetulnya ingin sekali kembali ke Selopenangkep mencari keluarganya.

   "Rundingkanlah nanti bersama Joko Pramono, dan terutama sekali, dengarkan nasehat Ki Wiraman. Dia ini lebih berpengalaman dalam hal perjuangan dibandingkan dengan kalian berdua. Nah, berangkatlah tanpa ragu-ragu, karena setiap cita-cita harus dimulai dengan tekad bulat. Sedikit saja keraguan akan menghambat tercapainya cita"cita."

   Setelah berkata demikian, Resi Mahesapati yang duduk bersila itu meramkan mata, tanda bahwa dia mulai bersamadhi dan tidak mau diganggu lagi. Empat orang itu lalu menyembah dan berpamit dengan hati terharu, teringat akan kebaikan budi kakek ini selama mereka berada di situ.

   Kemudian berangkatlah mereka meninggalkan tempat di mana mereka digembleng itu. Adapun batu mustika ular Puspo Wilis sejak lama telah diberikan kepada Pusporini dan kini menjadi penghias leher Pusporini sebagai sebuah mata kalung yang indah sekali, mengeluarkan sinar kehijauan.

   Karena masih terpengaruh oleh rasa duka harus berpisah meninggalkan guru yang mereka cinta itu seorang diri di puncak gunung, empat orang itu menuruni gunung tanpa bicara dan baru setelah mereka tiba di kaki gunung dan untuk penghabisan kali menengadah ke puncak seolah-olah merupakan pandang penuh harapan dan permintaan doa restu, baru mereka berunding.

   "Menurut pendapat saya, lebih baik kalau Andika berdua dari sini langsung memasuki Jenggala untuk melakukan penyelidikan tentang keadaan kerajaan itu sekarang. Andika berdua tidak dikenal, tentu saja akan lebih mudah melakukan perjalanan ke daerah yang kacau itu. Sedangkan saya sendiri bersama diajeng W idawati akan langsung menuju ke Panjalu, melaporkan segala keadaan dua tahun yang lalu kepada sang prabu di Panjalu."

   Demikian Wiraman menyatakan pendapatnya. Joko Pramono dan Pusporini tak dapat membantah kebenaran pendapat ini dan mereka mengangguk.

   "Benar sekali pendapat Paman. Kami akan menyelidiki keadaan Kota Raja Jenggala, kemudian kami akan pergi menyusul Paman ke Panjalu,"

   Kata Joko Pramono.

   (Lanjut ke Jilid 39)

   Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 39

   "Kalau Paman tiba di Panjalu, harap Paman kunjungi kediaman Kakangmas Tejolaksono dan ceritakan keadaanku kepada keluargaku. Akan tetapi, betulkah Kakangmas Tejolaksono kini telah menjadi patih muda di Panjalu seperti yang Paman ceritakan dahulu?"

   Wiraman mengangguk.

   "Saya pun hanya mendengar beritanya saja bahwa setelah berhasil mengamankan kekacauan kekacauan yang timbul di wilayah barat Adipati Tejolaksono diangkat menjadi patih muda. Tentu akan saya selidiki tentang keluarga Andika, dan saya akan menghadap Gusti Patih Tejolaksono."

   Dari kaki gunung itu, rombongan mereka dipecah menjadi dua, Wiraman dan Widawati menuju ke Panjalu, sedangkan Joko Pramono dan Pusporini melanjutkan perjalanan mereka ke Jenggala untuk melakukan tugas menyelidiki sebelum mereka menyusul pula ke Panjalu.

   Kedua orang muda murid Sang Resi Mahesapati itu melanjutkan perjalanan dengan gembira.

   Setelah lima tahun lamanya mereka mengejar ilmu di puncak gunung, kini mereka menghadapi dunia ramai dengan hati penuh ketegangan, apalagi kalau mereka mengingat akan cerita Ki W iraman tentang keadaan Jenggala yang kacau-balau dan akan kekuasaan-kekuasaan jahat yang mencengkeram kerajaan itu.

   Namun ketegangan ini hanya timbul karena mereka ingat akan tugas mereka sebagai orang-orang berkepandaian yang melaksanakan tugas menentang kejahatan, bukan sekali-kali karena rasa takut. Hati mereka besar dan mereka mempunyai penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Selama lima tahun digembleng oleh Sang Resi Mahesapati yang sakti mandraguna, kedua orang muda ini memperoleh kemajuan yang hebat.

   Mereka bukan lagi orang-orang muda remaja lima tahun yang lalu. Biarpun lima tahun yang lalu mereka telah memiliki kepandaian yang cukup tinggi, namun semua aji kesaktian mereka masih mentah, sama sekali berbeda dengan keadaan mereka sekarang yang telah menyempurnakan semua aji itu di bawah bimbingan Sang Resi Mahesapati.

   Pusporini telah berusia dua puluh satu tahun, sedangka Joko Pramono telah berusia dua puluh dua tahun, dan mereka berdua telah memiliki kedigdayaan yang matang.

   "Mudah-mudahan saja tugas kita akan berjalan lancar sehingga kita dapat segera pergi ke Panjalu untuk mencari rakandamu Gusti Patih Tejolaksono,"

   Terdengar Joko Pramono berkata ketika mereka berdua berjalan seenaknya memasuki hutan belantara yang sudah dekat dengan Kota Raja Jenggala.

   Mereka telah melakukan perjalanan selama tujuh hari dan tidak pernah mereka menemui halangan. Di sepanjang perjalanan mereka melalui dusun-dusun dan mendengar akan keadaan di Jenggala yang mengecilkan hati.

   Para penduduk dusun menceritakan betapa kini kekacauan dari kota raja itu menular menjalar ke dusun"dusun, di mana para ponggawa yang diangkat oleh petugas kerajaan, diganti secara paksa oleh ponggawa-ponggawa baru yang memerintahkan agar rakyat memuja-muja Sang Bathari Shiwa.

   Berita ini hanya dicatat dalam hati oleh kedua orang muda itu untuk kelak mereka laporkan ke Panjalu. Akan tetapi karena mereka bertugas menyelidik, mereka tidak mau melibatkan diri dengan para ponggawa baru itu dan selalu menjauhkan diri dari pertentangan yang tidak ada artinya dan hanya akan mengganggu tugas penyelidikan mereka.

   Tujuan utama mereka adalah kota raja untuk menyelidiki keadaan di sana karena mereka tahu bahwa yang menjadi pusat biang keladi semua kekacauan adalah kota raja.

   "Kenapa sih engkau ingin tergesa-gesa pergi ke Panjalu dan menemui Rakanda Patih Tejolaksono?"

   Tanya Pusporini, di dalam hatinya mentertawakan pemuda itu karena tentu saja ia sudah dapat menduga sebabnya.

   "Kenapa? Tentu saja untuk meminang adiknya yang cantik manis, galak, sakti mandraguna dan.......... merupakan wanita paling mulia di dunia ini bagiku, puteri yang bernama Dyah Pusporini..........!"

   Pusporini meruncingkan bibirnya, mengejek.

   "Aku tidak mau bicara tentang perjodohan sebelum tugas kita selesai, sebelum semua anasir jahat dibasmi habis dari Jenggala dan Panjalu!"

   "Wah, bagaimana kalau sampai belasan tahun belum selesai?"

   Joko Pramono mencela dan memandang gadis di samping kirinya dengan mata terbelalak lebar.

   Pusporini mengerling ke kanan dan tersenyum.

   "Kalau sampai belasan tahun mengapa? Siapa sih yang tergesa-gesa?"

   "Wah, aku akan menjadi jejaka tua dan engkau akan menjadi perawan tua!' kata Joko Pramono setengah berkelakar akan tetapi juga setengah bersungguh. sungguh.

   "Kalau bertemu dengan rakandamu itu, aku akan nekat meminangmu hendak kulihat kalau keluargamu menetapkannya dan mendesakmu, engkau akan dapat berkata apa lagi!"

   "Engkau memang orang nekat, lebih baik namamu dirubah menjadi Joko Nekat saja!"

   Pusporini menggoda sambil tertawa. Sesungguhnya di dalam hatinya ia pun tidak sabar lagi menanti pinangan pemuda yang dicintanya ini.

   Usianya sudah dua puluh satu tahun dan pada jaman itu, seorang wanita berusia dua puluh satu tahun biasanya tentu telah menjadi seorang ibu dari dua tiga orang anak!

   "Sstttt.......... di depan ada orang........."

   Joko Pramono berbisik dan gadis itu sudah dalam keadaan siap, hilang sikapnya berkelakar. Kedua orang muda itu berjalan terus dengan langkah tenang, namun pandang mata mereka waspada dan penuh perhatian karena mereka maklum bahwa di dalam gerombolan alang-alang dan pohon di sebelah depan terdapat banyak orang bersembunyi.

   Ketika mereka tiba di tempat terbuka yang agak luas, dikelilingi pohon-pohon dan alang-alang, tiba-tiba terdengar bentakan keras,

   "Kisanak yang lewat, berhenti dulu!!"

   Dari balik semak-semak di sekeliling tempat itu berloncatan keluar banyak orang laki-laki yang memakai kain dan celana seragam, bertubuh tinggi besar dan melihat betapa mereka itu lalu serempak membuat gerakan mengurung secara teratur, mudah diduga bahwa mereka itu bukanlah perampok, melainkan sebuah pasukan yang terlatih, akan tetapi sikap mereka tiada bedanya dengan perampok-perampok.

   Pandang mata mereka kini menjalari wajah dan tubuh Pusporini dan gadis ini menghitung sembilan belas mulut yang menyeringai penuh nafsu kurang ajar terhadap dirinya. Hanya sebuah pasukan kecil yang terdiri dari tujuh belas orang yang dikepalai dua orang laki"laki tinggi besar yang dapat dibedakan dari para anak buahnya melihat pakaiannya yang lebih mewah. Pusporini dan Joko Pramono yang terkurung di tengah-tengah itu berdiri dengan sikap tenang-tenang saja.

   Dua orang pimpinan pasukan itu lalu melangkah maju. Sejenak mereka memanclang pemuda dan pemudi itu penuh selidik, dan seorang di antara mereka berdua, yang hidungnya besar mbengol yang menandakan bahwa dia seorang yang gila wanita, tertawa dan berkata,

   "Kakang Maruto, aku tetap tidak percaya kalau perawan denok seperti ini menjadi mata-mata! Huah-ha-ha, kalau mereka mengirim mata-mata sedenok sungguh menyenangkan sekali. Biar dikirim empat losin pun aku masih kurang!"

   "Adi Saru, jangan sembrono. Orang-orang Panjalu amat cerdik, tentu mengirim mata-mata yang pandai menyamar. Heh, kisanak!"

   Kata orang ke dua itu yang jenggotnya berjuntai panjang sampai dua kilan.

   
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kalian berdua siapakah dan dari mana hendak ke mana?"

   Joko Pramono yang selalu bersikap hati-hati tetap tidak ingin melibatkan diri dalam pertempuran sebelum mereka tiba di Kota Raja Jenggala menyelidiki keadaan dan dapat mencari Ki Mitra yang menjadi juru taman di rumah guru kesenian seperti yang mereka ketahui dari pesan Ki W iraman, menjawab,

   "Kami kakak beradik penghuni di kaki Gunung Kawi, hendak pergi ke kota raja mencari paman kami yang bekerja di sana."

   "Hemm, Andika terlalu gagah dan tampan untuk menjadi seorang pemuda dusun biasa!"

   Kata si jenggot panjang.

   "Dan perawan ini terlalu denok untuk menjadi perawan gunung. Lihat kulitnya putih kuning dan halus, matanya yang masih membayangkan keturunan menak, jeli dan tajam pandangannya, bulu mata yang lentik, ha-ha-ha, perawan denok ini lebih cantik daripada puteri di istana! Kalian baru boleh lewat kalau aku sudah memeriksa dara ini!"

   Kata si hidung besar sambil menyeringai kepada Pusporini.

   "Memeriksa bagaimana maksudmu?"

   Tanya Joko Pramono, suaranya dingin dan sinar matanya mengandung kemarahan yang ditahan-tahan.

   Hatinya panas sekali melihat kekasihnya hendak diperlakukan secara kurang ajar, dan kalau menurutkan panasnya hati, ingin ia memukul remuk kepala si hidung besar saat itu juga. Akan tetapi pemuda ini masih menekan hatinya, ingin mencari penyelesaian secara damai agar tugas mereka tidak terganggu.

   "Huah-ha-ha-ha, memeriksa bagaimana? Jangan khawatir, kisanak. Aku tidak akan menyusahkan adikmu, bahkan sebaliknya, dia akan senang sekali setelah kuperiksa nanti. Aku harus menggeledahnya, siapa tahu dia membawa surat-surat rahasia, membawa benda-benda rahasia yang disembunyikan di balik pakaiannya. Mari, manis, mari ikut bersamaku ke balik semak-semak tebal agar jangan ada mata lain melihatmu sehingga engkau akan menjadi malu, denok!"

   Si hidung besar mengulurkan tangan hendak memegang lengan Pusporini, akan tetapi gadis itu melangkah mundur sambil tersenyum manis sehingga si hidung besar yang melihat senyum yang mencipta lesung pipit di pipi yang manis sekali terpesona.

   "Nanti dulu, kisanak!"

   Joko Pramono melangkah maju di depan Pusporini, memandang mereka berdua, tidak memperdulikan anak buah pasukan yang tertawa-tawa melihat lagak seorang di antara pemimpinnya tadi.

   "Sebelum Andika berdua mengambil tindakan, ingin kami bertanya, siapakah Andika berdua dan pasukan ini pasukan apa? Mengapa Andika hendak memeriksa kami dan dengan hak apakah?"

   Si jenggot panjang tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, melihat wajah dan dandananmu, engkau seperti bukan bocah gunung, akan tetapi pertanyaanmu ini menyatakan bahwa engkau benar seorang dusun yang tidak tahu apa-apa. Dengarlah baik-baik, aku Maruto dan Adi Sarudigdo ini adalah dua orang perwira Jenggala yang sudah kondang kaonang-onang (terkenal), pemimpin pasukan Pasopati yang tidak mengenal takut atau mundur atau kalah. Pasukan kami merupakan pasukan yang paling jagoan di Jenggala, menjadi kembang di antara pasukan pengawal di luar istana. Kini banyak berkeliaran mata-mata yang dikirim oleh Panjalu dan entah sudah berapa banyak mata-mata yang kami bunuh. Karena itu, kami berhak untuk memeriksa setiap orang yang kami curigai dan sudah menjadi hak Adi Sarudigdo yang memang mempunyai kepandaian khusus untuk menggeledah wanita untuk memeriksa adikmu ini. Nah, sudah jelaskah? Kalau kalian melawan, berarti kalian akan mati tanpa diperiksa lagi!"

   Joko Pramono sudah menjadi marah sekali. Jelas olehnya sekarang betapa rendah watak pasukan ini dan dari sikap mereka ini saja ia sudah dapat menilai bahwa mereka ini tentulah bukan perajurit-perajurit sejati dari Jenggala yang dahulu terkenal sebagai perajurit-perajurit dan satria"satria utama.

   Kini pasukan ini tiada bedanya dengan segerombolan penjahat yang kasar dan liar dan sudah dapat diduga bahwa mereka ini tentulah menjadi anak buah daripada mereka yang kini menguasai Jenggala. Kesabarannya lenyap dan hal ini tampak dari sinar matanya yang berkilat. Melihat keadaan pemuda in!, Pusporini lalu berkata lirih,

   "Biarkan aku menghadapi mereka."

   Joko Pramono melangkah mundur karena ia tahu bahwa gadis yang dikasihinya itu tentu sudah marah luar biasa melihat sikap dan mendengar ucapan dua orang pemimpin pasukan Pasopati ini dan hendak turun tangan sendiri. Ia mengalah dan mundur.

   Pusporini tersenyum-senyum dan melangkah maju, memandang kepada perwira yang tinggi besar yang berhidung besar, lalu berkata, suaranya merdu dan halus, matanya bersinar-sinar sehingga wajahnya menjadi makin jelita,

   "Andika ini seorang perwira gagah perkasa dari Jenggala dan sudah lama aku mendengar bahwa perwira"perwira Jenggala adalah satria-satria perkasa. Apakah Andika ini juga menjadl anak buah Ki Patih Warutama yang kabarnya sakti mandraguna itu?"

   Si hidung besar mengangkat dadanya sampai membusung, hidungnya berkembang-kempis mendenguskan hawa kebanggaan dan kesombongan.

   "Heh"heh, tidak salah dugaanmu, puteri yang jelita seperti bidadari kahyangan! Aku Sarudigdo, perwira digdaya, sakti mandraguna dan menjadi tangan kanan gusti patih di Jenggala! Dengan kepalan tangan kiri aku sanggup memukul pecah kepala seekor harimau kumbang, dengan tangan kanan aku sanggup memukul pecah kepala seekor harimau gembong, dengan kedua kakiku aku sanggup menjegal roboh seekor gajah. Dengan golokku si dukun peminum darah aku sanggup "

   "Menyembelih ayam."

   Pusporini melanjutkan.

   "Cukuplah, yang penting sekarang engkau tadi mengatakan hendak menggeledah aku. Benarkah engkau ini seorang ahli menggeledah wanita?"

   "Ha-ha-ha, Kakang Maruto hanya berkelakar! Akan tetapi yang jelas, setiap orang wanita yang kena kugerayang tubuhnya tentu akan bertekuk lutut, akan gandrung"gandrung kepadaku, karena aku memiliki Aji Asmaragama dan setiap orang dara, termasuk engkau, Manis, kalau sudah ku "

   "Cukup sudah! Dengan cara bagaimana engkau hendak menggeledahku?"

   Pusporini menahan kemarahannya.

   "Heh-heh, tak perlu kukatakan, engkau nanti akan menikmatinya sendiri. Marilah, denok, kita bersembunyi di balik semak-semak yang tebal sana... heh-heh "

   "Seorang gagah tidak perlu sembunyi-sembunyi. Di sini pun mengapa?"

   Perwira itu membelalakkan matanya sehingga hidungnya yang besar kelihatan makin mbengol.

   "Di sini? Dilihat semua orang?"

   "Mengapa tidak? Bagaimana sih caranya?"

   Pusporini tetap menggoda.

   "Wah, sayang dong kalau banyak yang lihat. Pertama"tama kau harus membuka kembenmu (ikat pinggang),.......... bajumu dan kutangmu dan.....................

   "

   "Begini?"

   Pusporini mengudar (melepaskan) ujung kembennya sepanjang satu meter. Kembennya yang dari sutera merah berkembang itu dibuka sedikit dan semua mata, terutama mata si hidung besar sudah membelalak penuh gairah. Akan tetapi tiba-tiba Pusporini dengan gerakan yang cepat sekali mengebutkan ujung kemben itu ke arah muka si hidung besar.

   "Tarr.......... plakkkk!"

   "Waduhhhh.... Aduh biyung....""..!!"

   Sarudigdo si hidung besar itu mendekap hidungnya dengan tangan sambil mengaduh-aduh. Hidungnya yang besar terkena sambaran ujung kemben menjadi remuk dan berubah menjadi segumpal daging yang berdarah. Pusporini sambil tersenyum menyelipkan lagi ujung kembennya di pinggang.

   "Iblisss.......... jahanang.......... kurang ajang..........!"

   Sarudigdo memaki-maki dengan suara bindeng, kemudian ia menubruk dengan kedua lengan dipentang,seperti seekor harimau buas menubruk seekor domba.

   Namun Pusporini bukanlah domba betina yang lemah. Tubrukan itu mudah saja dielakkan dengan miringkan tubuhnya ke kiri, dan pada saat itu kakinya melayang naik sedemikian cepatnya sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata.

   "Siuuuuttt.......... ngekkkk!!"Ujung kakinya sudah bersarang ke dalam perut Sarudigdo.

   Tubuh perwira ini memang kebal dan di antara kawan-kawannya ia terkenal sebagai seorang yang otot kawat balung wesi (urat kawat tulang besi), kulitnya juga tebal sekali. Akan tetapi karena tendangan itu amat kuatnya, biarpun kulitnya tidak apa"apa, akan tetapi isi perutnya terasa melilit-lilit seperti digiling atau ditusuk-tusuk seribu batang jarum karatan. la meringis-ringis mendekap perut dengan kedua tangan, terengah-engah dengan lidah terjulur keluar seperti seekor anjing kehausan, matanya mendelik dan sejenak ia lupa akan hidung besarnya yang remuk karena perutnya terasa lebih nyeri daripada hldungnya. Kini ia tidak dapat memaki-maki dengan suara bindeng seperti tadi, melainkan hanya.......... dapat.......... mengeluarkan.......... suara

   "nguuukkk.......... nguuukkk..........

   "

   Seperti lutung ketakutan.

   Maruto dan para anak buah pasukan yang disebut dengan nama garang "Pasopati"

   Itu terbelalak. Hampir mereka tak dapat percaya bahwa seorang gadis cantik jelita seperti itu dapat merobohkan Sarudigdo dalam dua gebrakan saja.

   Padahal kedua orang itu, Sarudigdo dan Maruto, adalah orang-orang pilihan Pangeran Kukutan dan Ki Patih Warutama sendiri, dan keduanya adalah bekas pentolan dari gerombolan Gagak Serayu!.

   "Perempuan iblis!"

   Maruto yang tadinya terbelalak itu membentak marah, golok besarnya terhunus dan cepat seperti angin menyambar ia telah menerjang maju, membacokkan goloknya ke leher Pusporini.

   """"

   Jangang....""

   Jangang.......... bunuh, tangkap dang untuk....""

   Untukku...."" "

   Sarudigdo masih dapat mengeluarkan kata-kata setelah mulas perutnya agak mereda. Melihat kesaktian Puspirini, nafsunya makin menggelora dan dia ingin memiliki wanita itu sebelum

   menyiksanya sekeji mungkin!

   Akan tetapi Maruto tidaklah semata keranjang temannya dan dia sudah marah sekali, maka bacokannya itu dilakukan sepenuh tenaga dan tujuannya hanya satu, yaitu membunuh wanita ini. Joko Pramono hanya tersenyum memandang, siap menyerang apabila anggauta-anggauta pasukan itu maju mengeroyok.

   Akan tetapi para perajurit itu tidak berani maju tanpa komando. Biasanya, kedua orang pemimpin mereka itu tidak pernah terkalahkan, maka sekali ini pun mereka percaya bahwa Maruto tentu akan dapat membunuh gadis itu.

   Pusporini tenang-tenang saja. Melihat golok berkelebat menyambar, ia hanya miringkan tubuhnya sehingga golok menyambar dekat pundak, kemudian ia merendahkan diri secara otomatis dan tangan kirinya yang dibuka jarijarinya menyodok ke depan, menggunakan Ajinya Pethit Nogo!

   Terdengar bunyi bercuit saking hebatnya tusukan jari dengan Aji Pethit Nogo yang kini telah mencapail kesempurnaannya berkat gemblengan Sang Resi Mahesapati. Di dalam latihannya, dengan Aji Pethit Nogo ini, dari jarak satu meter Pusporini sanggup menggunakan angin pukulannya membuat air sungai terpecah dan muncrat-muncrat, dan sentuhan jari tangannya dapat membuat batu-batu gunung remuk menjadi bubuk! Batang pohon jati tua yang sudah keras seperti besi menjadi bolong-bolong kalau tercium jari-jarinya yang halus kecil dengan bentuk mucuk bung (seperti re-bung) itu.

   Pusporini menyerang dengan Aji Pethit Nogo dari jarak satu meter sehingga jari-jari tangannya tidak menyentuh tubuh lawan. Memang ia tidak sudi menyentuhkan jari-jari tangannya pada tubuh laki-laki macam Maruto dan tadi pun ia menghajar hidung Sarudigdo yang baginya menjijikkan itu dengan tungkak kakinya!

   Akan tetapi, pukulan yang mengandung hawa sakti itu telah mengenai dada Maruto dan terdengarlah Maruto memekik keras, goloknya terlepas, tangan kirinya mendekap dada dan ia terjengkang roboh, berkelojotan dengan mata, hidung, mulut dan telinganya mengucurkan darah dan tewas seketika!

   Gegerlah para anak buah pasukan itu! Melihat kematian kawannya, Sarudigdo terkejut sampai lupa akan rasa nyeri di hidung dan perutnya.

   "Serbu..........! Bunguh...........! Habiskang mereka...........!!"

   Teriaknya bindeng dan ia sendiri sudah

   menerjang dengan goloknya. Karena sedikit banyak ia merasa gentar dan ngeri terhadap Pusporini, sekarang dia membacokkan goloknya kepada Joko Pramono yang masih berdiri tenang-tenang saja sambil tersenyum.

   Melihat datangnya golok ini, Joko Pramono sama sekali tidak mengelak dan setelah golok menyambar dekat, ia mengangkat tangannya memapaki golok dengan telapak tangan kosong!

   Sarudigdo girang sekali, mengira bahwa tangan pemuda itu pasti akan terbabat goloknya si dukun sampai putus. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika golok itu dapat dicengkeram tangan Joko Pramono yang dengan enaknya meremas golok Itu menjadi patah-patah dan hancur berkeping-keping seperti orang meremas kerupuk saja!

   Muka Sarudigdo yang sudah buruk sekali akibat hidungnya remuk itu, terbelalak dengan mata lebar dan pada saat itu, Joko Pramono menyambitkan remukan golok di tangannya yang seperti hujan menyambar ke arah muka yang buruk itu, amblas dan menancap masuk ke dalam dahi, mata, pipi dan mulut.

   Sarudigdo mengeluarkan suara seperti seekor kerbau disembelih, tubuhnya roboh dan kedua tangannya mencakar-cakar mukanya sendiri yang sudah penuh darah, kemudian berkelojotan dan mati dekat mayat Maruto.

   "Rini, sudah kepalang tanggung, habiskan saja bedebah-bedebah ini!"

   Kata Joko Pramono dan dua orang muda itu kini kembali berlomba. Mereka berdiri saling membelakangi dan bersicepat merobohkan semua pengeroyok yang bersenjata golok dan tombak.

   Sepak terjang mereka seperti sepasang burung garuda menyambar-nyambar dan dari kedua telapak tangan mereka tersebar maut karena setiap kali telapak tangan bergerak menampar atau kaki berkelebat menendang, tentu ada pengeroyok yang roboh dan tewas!

   Pasukan itu tadi disombongkan oleh dua orang pemimpinnya sebagai pasukan yang pantang mundur dan tidak mengenal takut, akan tetapi kini melihat betapa kawan-kawan mereka seperti mentimun melawan durian, ada dua orang di antara mereka yang terbirit-birit dan terkencing-kencing melarikan diri.

   "Hemm, kalian hendak lari ke mana?"

   Pusporini berkata mengejek dan cepat memungut dua batang tombak yang berserakan di tanah, lalu bergerak hendak melontarkan dua batang tombak itu ke arah dua orang yang hendak melarikan diri.

   Akan tetapi lengannya dipegang olehJoko Pramono dengan halus dan pemuda ini berkata,

   "Jangan, Rini! Mereka tentu lari ke induk pasukan dan lebih baik kita mengikuti mereka. Kita sudah kelepasan tangan melibatkan diri dalam pertempuran dan sudah banyak membunuh anak buah para pengacau, tidak baik bekerja setengah-setengah kepalang tanggung. Mari kita selidiki keadaan induk pasukan mereka!"

   Pusporini menoleh dan sejenak mereka berpandangan.

   Baru sekali ini selama mereka berkumpul, mereka melakukan pertempuran bersama-sama dan hasil pertandingan ini membuat mereka lebih dekat satu sama lain. Perlahan-lahan sinar kemerahan yang membayangi wajah cantik itu dan memancar keluar dari sinar matanya, melunak dan akhirnya gadis itu tersenyum, senyum manis yang timbul dari lubuk hatinya, bukan seperti senyumnya kepada perwira Jenggala tadi yang merupakan senyum buatan untuk menyembunyikan kemarahan yang meluapluap.

   "Hampir aku lupa akan tugas kita..........

   "

   Kata Pusporini sambil membuang dua batang tombak itu, kemudian memandang ke arah mayat-mayat yang berserakan memenuhi tempat itu. Tujuh belas orang mati, termasuk si jenggot panjang dan si hidung besar, dan keadaan di situ sunyi sekali, sunyi yang mengerikan.

   "Mari kita ikuti mereka!"

   Sepasang orang muda yang perkasa ini lalu berkelebat meninggalkan tempat itu, mengikuti bayangan dua orang sisa pasukan Pasopati yang melarikan diri pontang-panting itu. Dari jauh mereka melihat dua orang itu lari terus, biarpun napas mereka telah kerenggosan hampir putus, dua orang itu tidak berani berhenti dan lari terus.

   Menjelang senja, barulah dua orang itu sampai di tempat tujuan dan ternyata mereka itu tidak lari ke induk pasukan seperti yang mereka sangka, melainkan lari memasuki sebuah rumah gedung yang berada di sebuah dusun, letaknya di pinggir.

   Melihat adanya empat orang penjaga di pintu gerbang, Joko Pramono dan Pusporini dapat menduga bahwa rumah itu tentulah rumah seorang pembesar yang berkuasa, karena kalau hanya rumah seorang kepala dusun saja tidak mungkin dijaga empat orang pengawal yang pakaiannya indah seperti pengawal istana.

   Di pendopo luar tampak pondok sesajen yang seperti juga di dusun-dusun lain, dua orang muda itu melihat bahwa yang dipuja-puja oleh penghuni rumah gedung ini adalah Sang Bathara Shiwa.

   Dengan hati-hati mereka melompati pagar tembok yang mengelilingi rumah itu, dan dengan hati-hati mereka menyelinap dan mengintai.

   "Apa kau bilang? Pasukan Pasopati binasa semua oleh dua orang laki-laki dan wanita? Sungguh menggelikan!"

   Bentak seorang laki-laki tinggi besar dan dengan sikap marah laki-laki ini mengelebatkan pedangnya yang panjang dan..........

   "capp!"

   Pedang itu amblas setengahnya ke dalam tiang rumah itu. Laki-laki ke dua, yang juga tinggi besar, berdiri pula dari tempat duduknya, memandang penuh penghinaan kepada dua orang pelarian yang kini berlutut di lantai, lalu membentak,

   "Dan kalian tidak tahu nama mereka? Bahkan kalian berani meninggalkan pasukan membiarkan kawan-kawan tewas sedangkan kalian sendiri melarikan diri? Pengecut tak tahu malu! Beginikah perajurit-perajurit pilihan yang menjadi anggauta pasukan Pasopati?"

   Joko Pramono dan Pusporini yang mengintai, melihat bahwa dua orang laki-laki setengah tua yang marah-marah itu benar-benar kelihatan amat kuat, tidak saja hal ini terbayang pada tubuh mereka yang tinggi besar, akan tetapi juga gerak-gerik dan sikap mereka jelas menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan ilmu kepandaian.

   "Hamba.......... hamba berdua.......... bukan melarikan diri karena takut.......... hanya ingin melaporkan hal itu kepada paduka..........

   "

   Kata seorang di antara mereka.

   "Pengecut! Sama saja dengan menunjukkan tempat ini kepada musuh!"

   Bentak orang yang berpedang dan cepat sekali tangannya sudah mencabut pedang di tiang tadi dan sekali pedang berkelebat, leher kedua orang itu telah terbabat putus! Gerakan pedang ini amat cepat dan mahir sekali, juga sekali babat membuntungi dua buah kepala menunjukkan tenaga yang amat kuat.

   "Adi Kroda, kita harus cepat-cepat mengajak mereka berangkat dari sin!! Lekas kau persiapkan kuda dan memberi tahu Eyang Cekel Wisangkoro agar kita dapat cepat membawa pergi mereka. Karena dua orang itu adalah orang-orang Panjalu yang hendak merampas kedua orang tamu kita!"

   "Engkau benar, Kakang Dwipa. Aku pergi!"

   Kata kakek tinggi besar ke dua yang melangkah cepat keluar dari dalam ruangan itu.

   Kakek pertama juga meninggalkan ruangan setelah memanggil dua orang pengawal dan memberi perintah menyingkirkan dua mayat tadi, dan tanpa diketahui kakek yang ahli bermain pedang ini, yang pergi sambil membawa pedang disarungkan di pinggang, Joko Pramono dan Pusporini mengikuti dengan jalan menyelinap dan berindap-indap melalui taman di luar gedung,dilindungi oleh kegelapan malam yang mulai tiba.

   Dua orang kakek tinggi besar itu adalah Gagak Dwipa dan Gagak Kroda, dua di antara Lima Gagak Serayu, yaitu sisa dari tiga orang saudara mereka yang tewas ketika berperang melawan pasukan Joko Wandiro atau Adipati Tejolaksono yang kini telah menjadi patih muda di Panjalu.

   Dua orang Gagak Serayu ini masih mendendam kepada Panjalu dan telah mengumpuikan sisa gerombolan mereka kemudian mengabdikan dirinya kepada Wasi Bagaspati dan akhirnya memperoleh "kedudukan"

   Sebagai kepala-kepala pasukan pengawal, menjadi hamba-hamba setia dari Pangeran Kukutan dan Ki Patih Warutama di Jenggala!

   Seperti telah diketahui, Gagak Dwipa adalah seorang ahli pedang yang kuat sedangkan Gagak Kroda memiliki tubuh yang kebal. Mereka ini sama sekali tidak tahu bahwa mereka kini sedang dibayangi oleh seorang muda yang sakti mandraguna, yang telah membasmi pasukan Pasopati yang menjadi anak buah mereka.

   Gagak Dwipa memasuki ruangan dalam gedung itu dan dua orang muda yang elok bangkit berdiri menyambut kedatangannya. Gagak Dwipa segera menjura dengan penuh hormat kepada laki-laki muda yang tampan itu, juga kepada wanita cantik yang berdiri di sebelah kirinya lalu berkata,

   "Mohon maaf, Gusti Pangeran, kalau hamba datang mengganggu Paduka berdua yang sedang beristirahat. Akan tetapi terpaksa hamba memberitahukan bahwa sekarang juga perjalanan harus dilanjutkan, harap Paduka berdua suka mempersiapkan diri."

   Sementara itu, Pusporini yang mengintai di luar bersama Joko Pramono, tiba-tiba memegang lengan temannya itu. Ketika Joko Pramono merasa betapa jari tangan Pusporini yang memegang lengannya gemetar, ia cepat menengok dan alangkah terkejut hatinya ketika melihat wajah yang cantik itu menjadi pucat.

   Biarpun wajah itu hanya menerima penerangan suram-suram yang menyorot dari dalam gedung, namun Joko Pramono sudah mengenal betul wajah wanita ini dan ia segera memandang penuh pertanyaan.

   Pusporini mendekatkan mulutnya ke telinga temannya dan berbisik.

   "Dia....... Setyaningsih........

   "

   "JokoPramono terkejut dan merasa heran sekali. Tentu saja ia sudah banyak mendengar penuturan gadis ini tentang keluarganya, maka nama Setyaningsih sudah dikenalnya baik-baik sebagai saudara tiri gadis ini dan adik kandung Endang Patibroto.

   Maka ia cepat memandang kembali ke sebelah dalam dan kini ia memandang wanita muda itu penuh perhatian. Ia melihat bahwa wanita itu sebaya dengan Pusporini dan amat cantik jelita, berkulit kuning langsat dan sinar matanya tajam. berpengaruh, membayangkan kekerasan hati.

   Diam-diam ia menjadi kagum akan tetapi juga terheran-heran seperti Pusporini mendapatkan wanita itu berada di tempat ini dan seakanakan menjadi tokoh penting yang dihormati kakek tinggi besar itu. Bahkan pemuda tampan yang berdiri di sebelah kanannya itu disebut gusti pangeran!

   Melihat Pusporini seakan-akan tak dapat menahan kerinduan hatinya dan seperti hendak berseru memanggil, Joko Pramono cepat menyentuh lengan gadis itu dan menggelengkan kepala sambil member! isyarat dengan telunjuk di depan mulut, minta gadis itu agar jangan mengeluarkan suara.

   Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Paman Dwipa, apa pula artinya ini?"

   Pemuda tampan yang disebut gusti pangeran itu berkata, alisnya yang hitam berkerut.

   "Telah dua hari kita mengadakan perjalanan dan isteriku lelah sekali, ingin beristirahat malam ini. Kita telah berada di wilayah Jenggala, di tempat sendiri, mengapa tergesa-gesa? Bukankah besok kita dapat melanjutkan perjalanan pagi-pagi dan sore hatinya dapat tiba di kota raja?"

   "Mohon maaf, Gusti. Sesungguhnyalah apa yang Paduka katakan, akan tetapi telah terjadi hal-hal yang gawat.Hendaknya Paduka ketahui bahwa pada masa ini kita menghadapi banyak musuh yang dikirim oleh Panjalu..........

   "

   "Ah, betapa mungkin? Uwa Prabu di Panjalu..........

   "

   "Mungkin bukan oleh gusti sinuwun di Panjalu, akan tetapi semenjak pengkhianatan mendiang Patih Brotomenggala, kaki tangannya masih selalu berusaha mengacaukan Jenggala. Baru saja hamba mendapat keterangan bahwa ada beberapa orang mata-mata musuh yang akan menangkap Paduka berdua..........

   "

   "Eh? Aneh sekali! Aku dan isteriku berpakaian menyamar sebagai penduduk biasa, siapa mengetahui bahwa aku adalah Pangeran Panji Sigit dari Jenggala dan ini isteriku?"

   Ucapan ini kembali mengejutkan hati Pusporini sehingga di luar kesadarannya gadis ini memegang lengan Joko Pramono dan.......... mencubitnya keras-keras! Untung Joko Pramono dapat menahan diri, kalau tidak tentu ia akan memekik, bukan karena nyeri melainkan karena.......... girang. Cubitan seorang gadis yang dicinta mendatangkan rasa nyeri yang sedap di hati!

   "Ah, Paduka tidak tahu betapa pandai mendiang Patih Brotomenggala sehingga banyak kaki tangannya mendapat dukungan tokoh-tokoh di Panjalu. Maafkan hamba, demi keselamatan Paduka sendirilah terpaksa malam ini juga hamba akan mengiringkan Paduka berdua menuju ke kota raja. Setelah Paduka tiba di sana menghadap gusti sinuwun, baru akan legalah hati hamba dan akan bebas hamba daripada tanggung jawab yang berat..........

   "

   Pusporini dan Joko Pramono dapat menangkap isyarat yang terpancar keluar dari pandang mata Setyaningsih dan Pangeran Panji Sigit. Pangeran itu menarik napas panjang dan akhirnya berkata kepada Gagak Dwipa yang menundukkan muka dengan hormat,

   "Baiklah kalau begitu,Paman. Engkau sudah begitu baik untuk mengantar kami, tentu saja kami akan menurut segala langkah yang kauambil demi keselamatan kami."

   Pada saat itu, masuklah Gagak Kroda. Setelah memberi hormat kepada pangeran muda bersama isterinya itu, ia lalu berkata kepada Gagak Dwipa,

   "Kakang Dwipa, kereta telah siap di luar."

   Pangeran muda itu dan isterinya melangkah keluar dari gedung diikuti oleh kedua orang kakek tinggi besar. Sebuah kereta yang indah telah menanti di luar, dan berangkatlah suami isteri itu, dikawal oleh kedua orang kakek itu sendiri bersama tiga orang pengawal yang kelihatannya memiliki kepandaian yang cukup tinggi.

   Joko Pramono dan Pusporini tetap mengikuti dari jauh.

   Mereka menggunakan aji kesaktian mereka sehingga lari mereka cepat sekali, tidak tertinggal oleh larinya kuda yang menarik kereta di sebelah depan. Sambil membayangi kereta itu dari jauh mereka bercakap-cakap.

   "Sungguh aneh luar biasa!"

   Kata Pusporini kemudian mengomel.

   "Mengapa kau melarang aku menjumpai Setyaningsih? Kau tidak tahu betapa rinduku kepadanya! Ingin sekali aku mendengar dari mulutnya sendiri bagaimana dia sampai bisa menjadi isteri seorang Pangeran Jenggala Luar biasa...........!"

   "Hemm, suaminya memang hebat. Seorang pangeran! Begitu tampan dan gagah! Wah, tentu kau akan dapat belajar dari dia bagaimana untuk dapat memancing hati seorang pangeran. Aku berani bertaruh, tentu akan banyak pangeran yang akan tergila-gila kepadamu!"

   

Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini