Perawan Lembah Wilis 34
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 34
"Apakah yang salah? Harap suka cepat memberi tahu agar aku dapat mengatur."
"Engkau merencanakan untuk menggunakan kekerasan membunuh mereka sebelum mereka bertemu sang prabu? Dengan demiklan. rakyat yang telah mengetahui kedatangan Pangeran Panji Sigit akan menjadi curiga! Alangkah bodohnya! Tidak! Hal ini, kemunculannya ini tentu merupakan
(Lanjut ke Jilid 41)
Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 41
siasat dari tokoh-tokoh Panjalu dan kalau kita menggunakan kekerasan membunuhnya, tentu akan mereka pergunakan untuk mengusik hati sang prabu sehingga timbul kebenciannya kepada kita. Engkau tahu betapa besar kasih sayang sang prabu kepada Pangeran Panji Sigit!"
"Apa salahnya kalau ramanda prabu mengetahuinya? Keadaan ramanda prabu suda:h sedemikian lemahnya, tinggal menggencet sedikit saja tentu mati"
"Ah, engkau temyata masih dikuasai hatimu yang penuh rencana kekerasan. Apakah yang menjadikan kita berhasil sampai begini jauh kalau bukan karena siasat halusku? Dan kini hendak kau rusak dengan siasat yang kasar dan liar seperti siasat orang-orang hutan?"
Pangeran Kukutan menunduk.
"Baiklah, saya akan melakukan segala petunjukmu. Sekarang bagaimana baiknya untuk menghadapi Panji Sigit dan teman-temannya Itu?"
"Siasat lawan yang halus harus kita balas dengan siasat lebih halus lagi. Kalau memang Panji Sigit dan temantemannya itu memiliki kedigdayaan, mengapa kita tidak bersiasat untuk memperalat mereka demi keuntungan kita? Mendekatlah, dan dengarkan baik-baik rencana siasatku, kemudian rundingkan masak masak dengan para sakti yang membantu kita............
"
Dengan penuh gairah Pangeran Kukutan melangkah maju, lalu berlutut dekat kursi wanita itu agar mulut wanita itu yang berbisik-bisik dapat mendekat, telinganya.
Terdengar bisikan-bisikan lirih dan hawa mulut itu meniup-niup telinganya. Kalau saja urusan itu tidak amat penting,tentu Pangeran Kukutan sudah lupa diri karena tidak dapat menahan gelora hatinya. Akan tetapi ia melawan desakan nafsu ini dan mendengarkan penuh perhatian.
Sampai beberapa lama ia di ruangan itu tidak terdengar apa-apa lagi kecuali suara berbisik-bisik yang keluar dari mulut Suminten dan didengar oleh Pangeran Kukutan yang kadang-kadang mengangguk-angguk dengan sinar mata penuh kekaguman.
Sementara itu, dua pasang orang muda yang memasuki kota raja, Pangeran Panji Sigit, Setyaningsih, Joko Pramono dan Pusporini, sibuk menerima sambutan penduduk yang memberi hormat kepada Pangeran Panji Sigit.
Sambil tersenyum-senyum sang pangeran terpaksa memperlambat langkahnya, bahkan kadang-kadang berhenti untuk menyapa seorang dua orang penduduk tua yang telah dikenalnya.
Akhirnya, mereka berempat ini dapat juga sampai di Istana, akan tetapi setibanya di pintu gerbang istana setelah melewati alun-alun yang lebar,mereka terpaksa berhenti di depan ujung tombak para penjaga pintu gerbang luar.
"Tidak ada orang yang boleh melalui pintu gerbang ini tanpa izin! Andika berempat telah mendapat izin siapakah hendak memasuki daerah istana?"
Bentak seorang di antara para penjaga itu.
Pangeran Panji Sigit menahan kemarahannya. Dia melangkah maju dan memandang mereka dengan sinar mata tajam, kemudian berkata,
"Benarkah ucapan tadi keluar dari mulut penjaga pintu gerbang luar istana Jenggala? Ataukah kalian ini perajurit penjaga yang palsu? Karena kalau perajurit -perajurit Jenggala pasti akan mengenal Pangeran Panji Sigit!"
Memang, semua penjaga dan pengawal istana kini telah diganti oleh orang-orang kepercayaan Pangeran Kukutan dan Ki Patih Warutama.
Semua petugas lama telah dienyahkan dan diganti orang-orang baru.
Karena sebagian besar di antara penjaga dan pengawal baru adalah orang-orang luar, maka tentu saja mereka ini tidak mengenal Pangeran Panji Sigit.
Para penjaga itu terkejut dan saling pandang, ragu-ragu menghadapi pemuda tampan yang memandang mereka penuh wibawa itu. Pada saat itu, terdengar bentakan,
"Eh, para penjaga tolol! Tidak lekas membuka pintu gerbang untuk junjungan kalian Pangeran Panji Sigit? Kalian benar-benar minta dihukum picis!"
Para penjaga itu menjadi pucat wajahnya karena yang membentak dan menegur mereka itu adalah Pangeran Kukutan sendiri! Pintu gerbang segera dibuka dan Pangeran Kukutan menyam-but adik tirinya dengan penuh kegembiraan.
"Duhai Adinda Pangeran , betapa besar rasa bahagia di hatiku mende-ngar sorak-sorai rakyat yang mengabarkan akan kemba-limu! Ah, betapa Adinda telah menyusahkan hati seluruh keluarga istana karena kepergian Adinda tanpa sebab dan tanpa pamit!"
Sambil berkata demikian, Pangeran Kukutan merangkul pundak adik tirinya itu dengan wajah berseri-seri.
Pusporini dan Joko Pramono saling bertukar pandang. Kelirukah cerita yang mereka dengar dari Pangeran Panji Sigit tentang Pangeran Kukutan yang dikatakannya berhati palsu? Ketika pangeran itu muncul, tadi Panji Sigit telah membisikkan bahwa itulah Pangeran Kukutan yang kini menjadi putera mahkota.
Ataukah cerita Pangeran Panji Sigit hanya merupakan fitnah yang timbul dari hati yang iri? Buktinya, kini Pangeran Kukutan yang tampan dan kelihatan gagah itu menyambut adiknya dengan sikap begitu riang. Tampak oleh mereka betapa jauh bedanya wajah kedua orang pangeran putera Raja Jenggala itu.
"Adinda Panji Sigit, mengapa tidak mengabarkan lebih dulu kalau hendak pulang? Tentu akan kami sambut dengan pesta! Ah, sekarang pun belum terlambat. Kepulangan Adinda akan kita rayakan dengan pesta yang meriah!"
"Terima kasih, Kakanda Pangeran, akan keramahan Kakanda. Akan tetapi tidak perlu kiranya diadakan penyambutan dengan pesta. Saya pulang hanya untuk menghadap kanjeng rama, untuk memperkenalkan isteri saya dan untuk mendekati beliau yang sudah sepuh."
"Garwamu (isterimu)? Ah betapa menggembirakan! Yang manakah garwamu, Adinda?"
Pangeran Kukutan berseru girang sambil memandang berganti-ganti kepada Pusporini dan Setyaningsih. Kalau Joko Pramono menganggap pangeran itu amat ramah dan sikapnya wajar, adalah kedua orang wanita ini yang dapat menangkap pandang mata penuh gairah menyinar dari balik wajah berseri itu. Pandang mata yang seolah-olah dapat menelanjangi pakaian mereka!
Adapun Pangeran Kukutan yang memandang' dua orang wanita muda itu, diam-diam menelan ludah dan mengilar karena sukar baginya memilih mana yang lebih denok dan jelita di antara kedua orang wanita itu.
Yang seorang ayu kuning dan yang ke dua hitam manis, namun keduannya memiliki daya penarik yang khas! Dia hanya pura-pura saja tidak tahu karena sesungguhnya, pandang mata yang sudah berpengalaman sebagai seorang pelahap wanita itu sekilas pandang saja sudah mengenal mana gadis yang bersuami dan mana yang belum.
Pangeran Panji Sigit tidak heran menyaksikan penyambutan manis dari Pangeran Kukutan karena dia sudah mngenal kepalsuan kakak tirinya ini. Akan tetapi, sungguh di luar dugaan bahwa kakak tirinya akan bersikap semanis itu, padahal tadinya ia mengira bahwa tentu dia akan disambut dengan ujung senjata. Betapapun juga, karena mengenal watak Pangeran Kukutan, ia tetap waspada dan menduga bahwa tentu ada maksud-maksud tersembunyi di balik penyambutan manis ini. Terpaksa ia pun lalu memperkenalkan Setyaningsih.
"Dia inilah isteriku, Kakanda Pangeran. Namanya Setyaningsih dan dia adalah adik kandung Ayunda Endang Patibroto "
"Apa??"
Sepasang mata yang maniknya agak kebiruan itu membelalak. Pangeran Kukutan memiliki manik mata yang agak kebiruan dan hal ini bagi sebagian besar wanita yang bertemu dengannya menjadi sebuah daya penarik yang kuat, sebaliknya bagi yang mengerti, warna itu menjadi tanda akan watak seorang pria yang gila wanita. Diam-diam Pangeran Kukutan terkejut dan gentar karena dia sesungguhnya tidak tahu bahwa isteri Pangeran Panji Sigit adalah adik kandung Endang Patibroto.
Meremang bulu tengkuknya kalau ia teringat akan isteri mendiang Pangeran Panjirawit Itu!
"Adik kandung Ayunda Endang Patibroto isteri mendiang Kakanda Pangeran Panjirawit yang sakti mandraguna? Ah, betapa menggirangkan hal ini...........!"
Ia cepat-cepat membungkuk untuk membalas penghormatan Setyaningsih, dan pada saat itu hanya dia sendiri yang tahu bahwa hatinya tldaklah segirang ucapan mulutnya.
"Dinda Pusporini ini pun adik tiri Ayunda Endang Patibroto, sedangkan Adimas Joko Pramono ini adalah sahabat baiknya tunggal guru."
Pangeran Panji Sigit memperkenalkan dua orang pemuda itu dan sejenak pandang mata Pangeran Kukutan menatap kedua orang muda itu penuh selidik. Hemm, pikirnya. Jadi mereka berdua inikah yang oleh Cekel Wisangkoro dikatakan sebagai dua orang muda yang amat sakti? Kelihatanny tidak seberapa.
"Marilah, Adinda Pangeran, marilah beristirahat di tempatku. Sudah kusediakan kamar-kamar untuk kalian berempat. Tentu Adinda lelah karena perjalanan jauh dan perlu istirahat."
Mereka berlima lalu memasuki halaman istana yang lebar.
"Kakanda, saya ingin segera pergi menghadap kanjeng rama. Sudah amat rindu hati saya karena lama tidak menghadap...........
"
"Ah, sayang sekali, Dimas. Kanjeng rama kini sudah sepuh dan kesehatan beliau banyak mundur. Kanjeng rama banyak beristirahat dan kalau tidak beliau kehendaki, siapa pun juga dilarang mengganggu. Akan tetapi, tentu saja aku akan segera menyampaikan berita kedatangan Adinda ini melalui ibunda selir. Ketahuilah bahwa kini kanjeng rama tidak suka diganggu oleh siapa juga kecuali Ibunda selir, satu-satunya orang yang diperkenankan memasuki kamar peraduannya tanpa izin. Hanya ibunda selir saja yang kini siang malam melayani dan merawat kanjeng rama."
Diam-diam hati Pangeran Panji Sigit tertusuk karena ia dapat menduga bahwa tentu Suminten itulah yang dimaksudkan ibunda selir. Dia pun tahu bahwa sebetulnya keadaan ramandanya seperti seorang tawanan sungguhpun hal ini tidak diketahui oleh siapa pun juga, oleh ramandanya pun tidak. Akan tetapi ia tidak mau memperlihatkan pengetahuannya ini dan bertanya,
"Ah, sampai begitu memelas keadaan rama? Ibunda selir yang manakah yang begitu setia dan baik hati terhadap kanjeng rama?"
"Siapa lagi kalau bukan ibunda selir Suminten, Dimas Pangeran. Kiranya saya tidak berlebihan kalau mengatakan, seperti diketahui oleh semua orang, bahwa kalau tidak mendapat perawatan yang amat baik dari ibunda selir........... ah........... , entah bagaimana jadinya dengan kanjeng rama...........! Sudahlah, mari kita beristirahat di sana dan kita dapat bercengkerama seenaknya."
"Akan tetapi, mendengar keadaa kanjeng rama, saya makin tak kuat bertahan lama-lama untuk segera menghadap.",
"Jangan khawatir, sebentar akan kusampaikan kepada ibunda selir agar dilaporkan kedatangan dan kehendak Adinda itu kepada kanjeng rama prabu."
Demikianlah Pangeran Kukutan mulai menjalankan siasat yang telah direncanakan oleh Suminten. Empat orang muda itu diterima dengan sambutan ramah, ditempatkan di gedung tempat tinggal Pangeran Kukutan sendiri karena keadaan di istana telah mengalami banyak perombakan sehingga tempat yang dahulu ditinggali Pangeran Panji Sigit telah lenyap pula.
Mereka dijamu dengan hidanganhidangan lezat dan dihibur dengan pertunjukan tari-tarian
dan tembang-tembang yang dilakukan para seniwati pilihan di Jenggala. Sementara itu, Suminten juga tidak tinggal diam, melainkan melaksanakan bagiannya dalam siasat itu.
Suminten mengunjungi sang prabu di dalam kamarnya,seperti biasanya merayu raja tua ini dan untuk kesekian kalinya sang prabu terbuai mabuk dalam pelukan wanita ini yang merupakan tempat ia menikmati hidup terakhir,tempat ia mencurahkan kasih sayangnya dan sumber satu-satunya yang dapat menghibur segala duka nestapa dan kekosongan usia tua..
Berkat rayuan-rayuan Suminten, sang prabu yang tua itu seolah-olah menjadi boneka yang semata-mata hidup untuk mengabdi nafsu berahinya terhadap Suminten, tidak ada kemauan dan semangat sedikit pun juga untuk memikirkan hal-hal lain, siang malam hanya terlena dalam buaian cinta nafsu yang tak kunjung padam, yang sengaja selalu dikobarkan dan dinyalakan oleh Suminten.
Sedemikian hebat pengaruh nafsu ini bagaikan api bernyala-nyala selalu karena mendapat makanan bahan bakar berupa tubuh Suminten dan sikapnya yang merayu mesra, sehingga sudah berbulan-bulan sang prabu tidak lagi mau memperdulikan urusan lain, bahkan jarang keluar dari dalam kamarnya yang seolah-olah disulap berubah menjadi surga dunia oleh Suminten!.
Setelah untuk kesekian kalinya sang prabu terlena mabuk, penuh kepuasan dan kenikmatan, rebah berbantal paha. selir yang dicintanya itu, seperti seorang pemadatan kekenyangan menghisap madat, dalam keadaan setengah sadar setengah pulas, Suminten membelai rambut penuh ubah yang panjang terurai itu sambil berkata manis,
"Gusti junjungan hamba, Paduka yang menjadi sumber kebahagiaan hamba, ada sebuah berita yang amat menyenangkan dan hamba yakin Paduka tentu akan gembira sekali mendengar berita yang hamba bawa ini...........
"
Kedua lengan raja tua itu merangkul pinggang yang ramping dan dengan mata terpejam mukanya dibenamkan ke perut,
"Tidak ada berita lebih bahagia daripada kehadiranmu di dekatku, Suminten...........
"
Suminten tersenyum.
"Ah, Paduka selalu melimpahkan cinta kasih Paduka kepada hamba dengan perbuatan dan kata-kata, untuk itu hamba berterima kasih dan bersyukur kepada para dewata. Akan tetapi berita ini benar-benar akan menambah kebahagiaan di hati Paduka, yaitu bahwa putera kita Pangeran Panji Sigit telah pulang..........."
Sepasang mata tua itu dan wajah yang keriputan berseri.
Sang prabu bangkit perlahan dari paha selirnya.
"Benarkah? Di mana dia........... Puteraku Panji Sigit, di mana dia? Suruh dia datang menghadap...........
"
"Nah, bukankah Paduka menjadi bahagia sekali?"
"Benar! Terima kasih, Suminten. Memang berita ini amat menggembirakan...........
"
"Akan tetapi, sebelum puteranda pangeran diminta menghadap, hendaknya Paduka mengerti pula akan hal-hal yang tidak menyedapkan hati...........
"
"Apakah maksudmu?"
"Sebelum pulang, dia telah menghadap........... sang ratu...........
"
"Hemmm...........
"
"Bukan itu saja, malah baru saja dia pulang dari Panjalu."
"Hemm........... , kalau begitu, mengapa? , Apa salahnya dia menghadap rakanda prabu di
Panjalu?"
"Bukan itu persoalannya. Akan tetapi........... agaknya dia telah mendengarkan banyak bisik-bisik fitnah tentang Paduka,tentang hamba........... dan agaknya dia pulang membawa hati yang penasaran dan dendam. Hamba sungguh tidak menghendaki puteranda Pangeran Panji Sigit memusuhi kita, Gusti, karena hamba tahu betapa sayang hati Paduka terhadapnya. Karena itu........... , sebaiknya kalau Paduka melarang dia bicara tentang masa lampau, bahkan memberi kedudukan kepadanya, memerintahkan dia menjadi pembantu puteranda Pangeran Kukutan untuk menjaga ketenteraman kerajaan Paduka yang memang sudah menjadi kewajibannya."
Raja tua itu mengangguk-angguk.
"Tidak aneh kalau dia yang masih muda itu dapat terpengaruh. Dan ucapanmu memang tepat sekali. Seorang muda harus diberi tugas kewajiban sehingga tertanam jiwa setia dan patuh akan perintah."
"Ada yang menggembirakan lagi akan :etapi juga mengkhawatirkan...........
"
"Apa lagi?"
"Dia pulang dengan........... isterinya"
"Isterinya? Dia sudah beristeri? Wahh........... akan tetapi hal ini menggembirakan, mengapa
mengkhawatirkan?"
"Karena isterinya adalah adik kandung Endang Patibroto...."
"HAA............??"
Sang prabu benar-benar terkejut dan tidak tahu apakah dia harus bergirang ataukah berkhawatir.
"Paduka tentu masih ingat akan kematian Pangeran Panjirawit, tentu dapat menyelami perasaan Endang Patibroto yang teringat akan kematian suaminya di tangan Paduka............. dan............. isteri Pangeran Panji Sigit adalah adik kandung Endang Patibroto, maka tidak akan terlalu aneh kalau dia pun mempunyal perasaan tidak manis terhadap Jenggala. Karena ini, hamba harap Paduka dapat berhati-hati dan jangan terlalu percaya akan kata-kata mereka sebelum kelak terbukti bahwa mereka ini benar-benar mempunyai niat hati yang bersih terhadap kerajaan Paduka."
Sangprabu mengangguk-angguk dan merasa kagum akan keluasan pandangan selirnya ini yang selalu mendahulukan kepentingan kerajaan dan kepentingan dia sebagal rajanya.
"Jangan khawatir. Suruh dia menghadap"
Sama sekali raja yang tua dan pikun ini tidak tahu betapa sesungguhnya bukan Endang Patibroto yang menaruh dendam atas kematian Pangeran Panjirawit karena wanita perkasa itu sudah melihat kenyataan dart sebab-sebab kematian suaminya adalah akibat fitnah yang dilakukan.oleh kaki tangan Blambangan.
Tidak tahu bahwa sebetulnya Sumintenlah yang menaruh dendam itu!
Pangeran Panjirawit adalah pria pertama yang dirindukan hati Suminten ketika wanita itu masih seorang perawan dahulu, cinta yang mulus. Karena kematian itu, Suminten menaruh dendam kepada Sang Prabu Jenggala sendiri yang menyebabkan kematian pangeran itu, dan menaruh dendam kepada Endang Patibroto yang memonopoli cinta kasih Pangeran Panjirawit.
Demikianlah, raja yang tua ini pun tidak membantah ketika ia menerima kedatangan putera yang dikasihinya itu dalam ruangan yang dihadiri pula oleh Suminten, Pangeran Kukutan, dan Ki Patih Warutama! Sang prabu memandang dengan wajah berseri ketika Pangeran Panji Sigit datang menghadap bersama Setyaningsih, Pusporini, dan Joko Pramono. Pandang matanya melekat pada wajah puteranya, dan kepada tiga orang lain yang berlutut dan menyembah, ia hanya memandang sekilas saja.
"Kanjeng Rama, hamba Panji Sigit menghaturkan sembah sujud....
"
"Sigit, Puteraku............. , kenapa lama benar kau pergi? Ke mana saja engkau pergi?"
Mendengar suara ramandanya yang gemetar, melihat wajah yang tua dan pucat, hati Pangeran Panji Sigit seperti disayat.
"Hamba pergi merantau, mencari pengalaman""""
"Puteraku wong bagus, majulah Panji Sigit, mendekatIah ke sini............"
Pangeran Panji Sigit bergerak maju sampai di depan ramandanya. Sang prabu menyentuh rambut puteranya,kemudian rasa girang dan haru menyelimuti hatinya sehingga raja tua itu membungkuk dan merangkul. Panji Sigit tak dapat menahan keharuannya dan ia memeluk kaki ramandanya, menitikkan air mata dan berkata lirih,
"Kanjeng Rama............. apakah yang telah terjadi? Hamba mendengar hal-hal yang amat hebat terjadi di sin!....... dan.......... dan......."
"Husssshhh............. jangan menyebut-nyebut tentang itu, Puteraku. Engkau tidak tahu betapa banyaknya orangorang yang kelihatan setia namun sesungguhnya berhati palsu. Masih untung bahwa sampai sekarang ramandamu dapat mengalahkan mereka semua. Engkau tidak boleh mendengarkan bisikan-bisikan fitnah yang bukan-bukan, Puteraku. Percayalah bahwa semua yang terjadi di sini adalah sudah seadil-adilnya dan semestinya. Memang sepintas lalu kelihatan hebat, akan tetapi engkau belum tahu betapa sukar menjenguk isi hati manusia...."""
Pangeran Panji Sigit mengerling ke arah Suminten yang duduk anteng di sebelah kiri sang prabu. Wanita itu kelihatan makin cantik jelita, dengan tubuh yang matang menggairahkan. Timbul rasa muak dan benci di hati Panji Sigit, akan tetapi ia hanya mundur dan berkata,
"Paduka benar, Kanjeng Rama. Sukar sekali menjenguk isi hati manusia. Orang yang kelihatan sebaik-baiknya, yang di luarnya manis budi dan menyenangkan, belum tentu memiliki hati yang beriktikad baik terhadap kita. Karena itu, sebaiknya Kanjeng Rama juga jangan terlalu mudah menjatuhkan kepercayaan kepada seseorang.........
"
"Waduh, Adimas Pangeran! Masa benar demikian? Kurasa harus melihat orangnya! Seperti aku ini terhadapmu, Dimas, apakah Andika juga mempunyai anggapan bahwa mungkin hatiku terhadapmu palsu?"
Tiba-tiba Pangeran Kukutan mencela sambil tersenyum.
Panji Sigit mengerling ke arah kakak tirinya itu, pandang matanya tajam menusuk.
"Biarpun saudara, tetap saja kita tidak dapat saling menjenguk isi hati masing-masing , Rakanda Pangeran. Hanya diri sendiri dan Hyang Maha Agung sajalah yang mengetahui akan isi hati sendiri!"
Sang prabu tersenyum.
"Cukup kiranya tentang filsafat dan prasangka yang bukan-bukan. Kita di antara keluarga sendiri. Eh, Panji Sigit, aku mendengar bahwa engkau pulang bersama isterimu. Mana dia? Mana mantuku?"
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setyaningsih menyembah,
"Hamba Setyaningsih menghaturkan sembah bakti kepada Paduka, Gusti""."
"Engkaukah isterinya? Wah, cantik jelita dan gagah perkasa........ aku mendengar bahwa engkau adik kandung mantuku Endang Patibroto. Betulkah?"
"Sesungguhnyalah, Gusti""""
"Setyaningsih, engkau mantuku, jangan menyebut gusti kepadaku. Aku ramandamu juga! Panji Sigit, senang sekali hatiku melihat isterimu. Mulai sekarang, jangan engkau pergi-pergi lagi meninggalkan Jenggala. Engkau sudah dewasa, sudah beristeri, seharusnya tinggal di sini dan melakukan tugasmu sebagai seorang pangeran, membantu kakakmu Pangeran Kukutan demi ketenteraman Jenggala.Aku sudah tua, kalau bukan putera-puteraku seperti Kukutan dan engkau yang mewakili aku memegang kendali pemerintahan, habis siapa lagi?? Bukankah benar begitu, Patih?"
Semua mata memandang kepada Ki Path Warutama yang duduk di sebelah kiri dan yang sejak tadi seperti halnya Suminten, duduk dengan anteng dan penuh hormat sebagai seorang ponggawa yang baik.
Ki Patih Warutama dengan tenang menyembah, sedikit pun tidak memperlihatkan reaksi terhadap pandang mata penuh selidik dari empat orang muda itu, kemudian terdengar suaranya yang tenang dan penuh pengertian,
"Tiada seujung rambut pun selisihnya kebenaran wawasan dan sabda Paduka yang amat bijaksana, Gusti! Seorang pangeran muda sudah seyogyanya memperluas pengalaman dan mengejar ilmu dalam tapa brata, akan tetapi semua itu dilakukan dengan cita-cita agar kelak semua ilmunya dapat dipergunakan untuk berdharma bakti kepada orang tua dan negara! Hamba merasa girang sekali mendengar bahwa Gusti Pangeran Panji Sigit membantu tugas Gusti Pangeran Mahkota, ada pun hamba hanya siap untuk melayani dan membantu."
"Ha-ha-ha-ha, kau lihat sendiri, Panji Sigit. Bukankah patihku ini hebat? Engkau akan senang sekali mendapat bantuan seorang yang setia, cerdik pandai, dan memiliki kesaktlan yang amat hebat seperti Ki Patih Warutama ini."
Pandang mata Panji Sigit bertemu dengan pandang mata Warutama dan pangeran muda ini tertegun. Alangkah hebatnya orang ini! alangkah berbahayanya. Sudah jelas baginya bahwa orang yang menjadi patih ramandanya ini adalah penjahat busuk yang pernah menyelundup ke Wilis dan yang pernah menculik Retna Wilis bersama dua orang kawannya yang mengerikan, yaitu Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro.
Kalau dahulu tidak ada gurunya, Ki Datujiwayang menolong dan merampas kembali Retna Wilis, tentu anak ayundanya itu telah dibawa pergi. Patih ini adalah seorang jahat, dan tentu saja tahu bahwa dia mengenalnya.
Akan tetapi patih itu masih bersIkap begitu tenang seolah-olah merasa belum pernah bertemu sebelumnya! Alangkah beraninya! Namun, apa yang dapat ia lakukan? Dia berada di sarang harimau, sungguhpun hal ini aneh kalau diingat bahwa dia berada di istana ramandanya sendiri! Pula, urusan penculikan Retna Wilis adalah urusan pribadi yang tidak ada sangku-pautnya dengan ramandanya, maka tentu saja tidak perlu baginya untuk membeberkan persoalan itu di depan ramandanya.
Sungguhpun ia mempunyai keyakinan bahwa Nini Bumigarba yang kini berhasil menculik Retna Wilis dan membunuh Ki Datujiwa itu tentulah mempunyai hubungan dengan Patih Warutama, namun tentu saja ia tidak dapat menanyakannya begitu saja. Adanya Ki Patih Warutama di istana itu, di samping Pangeran Kukutan dan Suminten, membuat Pangeran Panji Sigit menjadi lebih hati-hati lagi.
Untuk beberapa detik lamanya, perasaan yang sama mengaduk hati Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono, Setyaningsih, dan Pusporini kagum. Pantas saja kalau Warutama dapat menyelundup dan menjadi patih. Orang itu amat cerdik dan berbahaya melebihi seekor ular welang!.
Hanya ada dua kemungkinan. Ki Patih Warutama ini seorang cerdik yang amat berbahaya kalau benar apa yang diceritakan oleh Ki Wiraman, atau sebaliknya, dia seorang yang gagah perkasa dan bijaksana kalau cerita Ki Wiraman itu tidak betul. Terhadap orang seperti ini, mereka harus berhati-hati sekali.
"Hamba merasa girang sekali bahwa Paduka telah mendapatkan seorang patih yang pandai dan bijaksana,Kanjeng Rama. Semoga dengan adanya Paman Patih ini, kerajaan Paduka akan terbebas daripada orang-orang munafik yang hanya di luarnya saja baik namun di sebelah dalam dadanya mengandung niat yang laknat, seperti ular-ular berkedok domba."
Sambil berkata demikian, dengan pandang mata tajam penuh selidik Pangeran Panji Sigit memandang wajah ki patih itu.
Namun tusukan yang terkandung dalam ucapan ini agaknya sama sekali tidak dirasai oleh Ki Patih Warutama.
Wajah yang sudah matang dan masih tampan menarik itu tetap tenang dan bersih, seperti wajah orang yang tidak mempunyai dosa apa-apa, bahkan mulut itu tersenyum dan pandang matanya tenang lembut.
"Harap Paduka jangan khawatir, Gusti Pangeran. Hamba akan membela Jenggala dengan taruhan jiwa raga hamba sebagai imbalan atas kebijaksanaan dan segala anugerah yang telah dilimpahkan oleh Gusti Sinuwun kepada hamba."
Kalau saja Pangeran Panji Sigit belum pernah mendengar cerita ratu, dan Joko Pramono belum mendengar cerita Ki Wiraman, tentu mereka itu akan dapat terbujuk oleh sikap dan kata-kata patih ini.
Hanya Setyaningsih dan Pusporini dengan perasaan wanitanya dapat menangkap sifat-sifat yang jauh lebih buas dan keji terhadap wanita dalam pribadi patih ini, dibandingkan dengan Pangeran Kukutan. Ketampanan dan kematangan sifat jantan ki patih ini benar-benar membuat mereka berdebar dan penuh kengerian, juga menimbulkan kemuakan yang mendatangkan benci tanpa sebab.
"Kanjeng Rama, perkenankan hamba memperkenalkan dua orang sahabat yang datang menghadap bersama hamba. Gadis ini bukan orang lain, melainkan adik tiri Diajeng Setyaningsih, bernama Pusporini. Adapun sahabat ini bernama Joko Pramono, saudara seperguruan Adinda Pusporini. Hamba mohon agar mereka ini diperkenankan tinggal di sini dan diberi tugas pekerjaan membantu hamba."
"Ah, gadis yang cantik dan pemuda yang perkasa. Tentu saja boleh, Puteraku, dan biarlah tentang tugas mereka ini kuserahkan kepada Patih Warutama yang akan mengaturnya."
Setelah bercakap-cakap sebentar dan Pangeran Panji Sigit menceritakan pengalamannya semenjak meninggalkan istana tanpa menyinggung-nyinggung persoalan yang didengarnya tentang Jenggala, pertemuan dibubarkan dan selanjutnya, Pangeran Panji Sigit dan isterinya mendapat tempat tinggal di lingkungan istana, adapun Joko Pramono dan Pusporini untuk sementara tinggal di padepokan tamu istana sehingga mereka berempat sewaktu-waktu dapat mengadakan pertemuan karena tempat mereka itu hanya terpisah oleh taman sari yang luas dan indah.
Tanpa mereka sangka sama sekali, semua ini telah direncanakan oleh Suminten yang menghendaki empat orang itu dekat dengannya, tidak saja untuk pelaksanaan siasatnya, akan tetapi juga agar lebih mudah kaki tangannya mengadakan pengawasan.
Dengan hati-hati sekali empat orang muda yang sudah berhasil menyelundup dan diterima di istana Jenggala itu berusaha untuk menyelidiki keadaan Nini Bumigarba.
Namun ternyata sama sekali tidak berhasil. Bahkan ketika Pangeran Panji Sigit mendapat kesempatan menyinggung nama ini di depan sang prabu, ramandanya juga mengerutkan alisnya dan menyatakan tidak mengenal nama itu. sama sekali. Juga Ki Patih Warutama menyatakan tidak mengenal nama itu. Hanya Pangeran Kukutan ketika ditanya oleh Pangeran Panji Sigit, membelalakkan matanya dan berkata,
"Aku hanya pernah mendengar nama itu, nama seorang nenek yang sakti mandraguna seperti dewi katon, tiada lawannya di dunia ini. Akan tetapi aku belum pernah melihatnya dan tentu saja tidak tahu di mana tempat tinggalnya."
Pangeran Panji Sigit menjadi bingung dan gelisah, karena agaknya tidak ada harapan untuk mencari keterangan tentang Nini Bumigarba yang telah menculik Retna Wilis.
Di samping menyelidiki tentang Nini Bumigarba, tentu saja mereka juga menyelidiki tentang keadaan Kerajaan Jenggala dan apa yang mereka dapatkan membuat Pangeran Panji Sigit menarik napas panjang berkali-kali dengan hati penuh duka dan gelisah.
Ternyata bahwa para ponggawa yang setia dari ramandanya, kalau tidak "hilang"
Tanpa bekas tentu telah berubah seratus prosen dan kini menjadi kaki tangan Pangeran Kukutan.
Para ponggawa yang dahulunya setia kepada ramandanya, kini telah habis. Yang jiwanya gagah perkasa dan satria sejati, sudah hilang atau tewas secara aneh dalam pertempuran-pertempuran.
Adapun mereka yang kini menjadi kaki tangan Pangeran Kukutan dan menduduki tempat-tempat penting, adalah orang-orang baru dari luar daerah, atau mereka yang dahulunya setia akan tetapi berjiwa plin-plan yang menunjukkan pribadi orang-orang yang rendah budi, yang tidak segan-segan dan malu-malu menjadi penjilat demi untuk kesenangan diri pribadi. Orang-orang seperti inilah yang paling berbahaya.
Akan tetapi, diam-diam Pangeran Panji Sigit menjadi girang melihat bahwa betapapun juga masih ada di antara mereka yang benar-benar masih setia kepada ramandanya, dan bukan merupakan kaki tangan Pangeran Kukutan, sungguh-pun mereka ini menentang Pangeran Kukutan dan Ki Patih Warutama di dalam hati mereka saja karena sama sekali tidak berdaya.
Di antara mereka yang setia ini, Pangeran Panji Sigit mengenal Ki Pawitra, guru seni tari yang sudah tua. Ketika bertemu dengan Joko Pramono dan Pusporini dan mendengar cerita murid-murid Sang Resi Mahesapati ini tentang Ki Wiraman dan Widawati, betapa dahulu Widawati diselamatkan ketika seluruh keluarga Ki Patih Brotomenggala dibasmi, yaitu dilarikan oleh Ki Mitra yang menjadi juru taman keluarga guru seni tari itu, hati Pangeran Panji Sigit menjadi girang sekali.
"Bagus kalau begitu!"
Kata Pangeran Panji Sigit kepada Joko Pramono, didengarkan pula oleh Setyaningsih dan Pusporini.
"Kita harus dapat menghubungi Ki Mitra dan mungkin dari teman-teman setia Ki Pawitra kita akan dapat mengetahui keadaan sesungguhnya dari Jenggala, bahkan siapa tahu di antara mereka ada yang dapat mengetahui di mana adanya Nini Bunigraba dan tahu pula sebetulnya golongan manakah yang secara rahasia membantu persekutuan Suminten dan Warutamal"
Memang patut dikagumi kegigihan dan kebesaran semangat juang empat orang muda ini yang seakan-akan telah memasuki gua harimau.
Akan tetapi patut dikasihani pula mereka karena mereka tidak tahu bahwa sebenarnya mereka telah terperosok ke dalam lubang jebakan yang diatur oleh Suminten yang cerdik licin. Mereka berempat sama sekali tidak tahu bahwa tempat mereka berunding,yaitu di ruangan tempat tinggal Pangeran Panji Sigit, telah dipasangi lubang-lubang rahasia di mana dipasang kaki tangan Suminten yang tugasnya hanya bersembunyi dan mendengarkan semua percakapan empat orang itu yang dilakukan di ruangan itu.
Bahkan semua percakapan antara Pangeran Panji Sigit dan isterinya di dalam kamar pun tidak ada yang terlepas dari telinga kaki tangan itu yang selalu bersembunyi dan mendengarkan! Mereka tidak pernah mimpi bahwa Suminten telah mengetahui semua rahasia, rencana dan langkah-langkah yang akan mereka ambil, dan bahwa pedang malapetaka telah tergantung di atas kepala mereka.
Pada malam hari itu juga, seorang kakek datang menghadap Pangeran Panji Sigit, dilaporkan oleh seorang penjaga. Ketika tiba di depan pangeran itu, kakek itu cepat menjatuhkan diri berlutut dan menyembah, kemudian menengok kanan kin dan berbisik,
"Gusti Pangeran............. hamba Ki............. Mitra, mohon bicara.............
"
Pangeran Panji Sigit terkejut dan memandang penuh perhatian. Kakek ini usianya sudah enam puluh tahunan, pakaiannya sederhana seperti pakaian pelayan, sikapnya cerdik. Cepat pangeran itu memberi isyarat kepada Ki Mitra untuk mengikutinya.
Setyaningsih yang berada di dalam, menjadi heran melihat suaminya menuntun masuk seorang kakek yang tidak ia kenal. Sebelum ia membuka mulut bertanya, Pangeran Panji Sigit sudah mendahuluinya memperkenalkan,
"Diajeng, dia inilah Ki Mitra yang kita bicarakan kemarin."
"Ahh, kebetulan sekali. Akan tetapi, apakah yang kau kehendaki, paman? Mengapa engkau datang mencari gusti pangeran?"
Pertanyaan ini mencerminkan kecerdikan dan kewaspadaan Setyaningsih.
KI Mitra yang melihat bahwa dia telah berada di sebelah dalam dan tidak akan terlihat orang lain, sudah menjatuhkan diri bersila kembali, kemudian berkata dengan sikap penuh hormat,
"Hamba dahulu melarikan cucu puteri mendiang ,gusti patih yang malang, dan setelah berhasil menyerahkan puteri itu kepada Ki Wiraman, hamba segera pulang ke sini dan tetap bekerja sebagai juru taman di rumah guru seni tari.Hamba yang banyak melihat dan mendengar keadaan di kota raja umumnya dan di istana khususnya, yang bersumpah di dalam hati untuk bersetia kepada gusti sinuwun sampai mati, tentu saja hamba dapat meIasa bahwa Paduka Gusti Pangeran Panji Sigit sependapat dengan hamba dan karena itu hamba memberanikan diri lancang menghadap Paduka. Mamba siap melakukan segala perintah Paduka, Gusti."
"Bagus sekali kalau begitu!? "
Pangeran muda itu berseru girang.
"Mari kau ikut bersamaku ke taman sari, Paman Mitra."
"Mengapa tidak bicara di sini saja, Gusti?"
"Hush, jangan membantah. Kau tidak tahu, di sini pun mungkin tidak aman. Aku mulai curiga karena tadi aku mendapatkan lubang-lubang di dinding kamar itu dan mungkIn telingaku salah dengar, akan tetapi aku seperti mendengar napas orang di balik dinding. Mari kita bicara di taman sari. Di tempat terbuka itu takkan mungkin ada yang mengintai atau mendengarkan pembicaraan kita. Engkau adalah seorang abdi ponggawa istana, dan kenalanku di luar istana amat banyaknya sehingga tidak akan mengherankan hati orang kalau engkau menghadap dan bercakap-cakap denganku di taman sari, apalagi karena engkau adalah seorang ahli juru taman."
"Baiklah, Gusti."
Keluarlah suami isteri muda itu diikuti si juru taman tua dan mereka berjalan ke taman sari seenaknya sambil bercakap-cakap, menuding-nuding ke arah pelbagai tanaman sehingga kelihatan dari jauh seperti bercakapcakap tentang tanaman. Padahal Pangeran Panji Sigit bertanya tentang keadaan di Jenggala.
"Bagaimana pendapatmu tentang peristiwa yang menimpa keluarga Paman Patih Brotomenggala, Paman?"
Sambil menuding ke arah sekumpulan kembang menur,Pangeran Panji Sigit bertanya dan mereka berhenti di depan kelompok kem-bang menur itu. Ki Mitra menjawab,
"Peristiwa itu patut disesalkan, Gusti. Hamba sendiri masih merasa heran mengapa gusti patih yang semenjak dahulu terkenal setia itu tiba-tiba saja dapat melakukan hal yang amat keji itu, berusaha hendak membunuh gusti sinuwun."
Pangeran Panji Sigit menghela napas. Kakek juru taman ini tentu saja banyak melihat dan mendengar, akan tetapi tentu saja tidak dapat mengetahui rahasia apa yang mungkin tersembunyi di balik semua peristiwa mengerikan yang terjadi dl Jenggala.
"Bagaimana dengan dibuangnya Ibu Ratu?"
"Wah, tentang itu............. , Paduka tentu dapat memaklumi perasaan wanita-anita yang bersaing dan bertentangan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa terdapat perang dingin antara gusti ratu dan gusti selir muda sehingga tentu saja keduanya. berusaha saling menjatuhkan.Paduka tentu mengerti pula betapa kejamnya hati yang sudah dipenuhi oleh cemburu dan iri hati sehingga mungkin saja kalau gusti ratu menjadi lupa sehingga menjatuhkan fitnah. Justeru pertentangan antara kedua wanita itulah yang menimbulkan perpecahan sehingga timbul dua fihak."
Setyaningsih mengerutkan keningnya, akan tetapi Pangeran Panji Sigit hanya menarik napas panjang. Seorang juru taman seperti Ki Mitra ini boleh jadi memiliki kesetiaan besar sehingga untuk membela junjungannya bersedia mengorbankan nyawa, bahkan sudah berjasa menyelundupkan cucu puteri Ki Patih Brotomenggala dari kota raja.
Akan tetapi mana mungkin dapat berpemandangan luas dan dapat mengerti akan persoalan persoalan yang pelik dan penuh rahasia yang menimpa istana?
"Begin!, Ki Mitra. Yang penting sekarang, engkau ini setia kepada fihak mana? Kepada siapa?"
"Tentu saja kepada gusti sinuwun dan kepada Paduka Gusti Pangeran. Paduka boleh memerintahkan tugas apa saja dan hamba akan melaksanakannya dengan taruhan nyawa!"
Makin yakin hati Pangeran Panji Sigit bahwa kakek ini hanyalah seorang pelaksana yang setia, akan tetapi hanya terbatas pada tugas-tugas yang kasar dan ringan saja.Betapapun juga, kesetiaan seorang yang bodoh dan jujur seperti ini boleh dipercaya
"Baiklah, Ki Mitra. Engkau tentu mehgenal atau tahu akan ponggawa-ponggawa baru yang telah diangkat oleh paman patih dan rakanda pangeran mahkota, ,yang kabarnya memiliki kesaktian hebat."
"Tentu saja, Gusti. Hamba mendengar berita bahwa gusti patih sendiri memiliki ilmu kesaktian yang tidak lumrah manusia. Ketika gusti sinuwun dahulu diserang perampok, dengan tangan kosong saja gusti patih merobohkan mereka semua. Kemudian, ketika kota raja diserang angin taufan, nyaris bagian kiri istana hancur tertimpa pohon beringin yang roboh tumbang oleh angin, gusti patih pula yang membuktikan kesaktiannya yang luar biasa dengan menahan batang pohon raksasa itu dan mendorongnya sehingga pohon itu roboh di bagian lain, tidak menimpa bangunan istana! Tentu masih banyak ponggawa yang sakti, sungguhpun tidak sehebat gusti patih, seperti misalnya Gusti Tumenggung Wirokeling, Gusti Tumenggung Sosrogali dan masih banyak lagi yang hamba tidak ketahui sampai di mana kedigdayaan mereka. Akan tetapi yang jelas, para ponggawa sekarang ini terdiri dari orang sakti yang dapat dikumpulkan oleh gusti patih dan gusti pangeran mahkota."
"Ki Mitra, pernahkah kau mendengar akan nama Nini Bumigarba?"
Kakek itu kelihatan terkejut.
"Pernah; Gusti dan...... huhh, masih meremang bulu tengkuk hamba kalau mendengar nama itu. Hamba mendengar berita angin di antara para ponggawa yang dahulu pernah bercakap-cakap sambll menonton latihan seni tari para puteri istana di tempat kediaman majikan hamba. Kabarnya pada suatu malam Jum'at, manusia sakti seperti dewi yang berjuluk Nini Bumigarba, atau juga bewi Sarilangking itu, yang pandai menghilang, muncul dan menemui gusti patih yang kabarnya masih menjadi buyut muridnya......."
"Betulkah itu?"
Pangeran Panji Sigit terkejut dan girang.
"Entahlah, Gusti. Hanya kabarnya, kedatangan nenek sakti itu adalah untuk ;mengusir dan melenyapkan hawa siluman yang kabarnya mengotorkan angkasa di atas kota raja."
"Tahukah engkau, di mana tempat tinggal nenek itu?"
Ki Mitra menggeleng kepalanya.
"Hamba rasa tidak ada seorang pun yang tahu. Kabarnya, kalau tidak dikehendaki tak seorang pun dapat melihatnya karena dia pandai menghilang atau terbang ke angkasa............."
Pangeran Panji Sigit kecewa.
"Kiranya cukuplah, Paman. Engkau kembalilah ke tempat kerjamu. Sewaktu-waktu kalau aku memerlukanmu, akan kupanggil engkau."
Ki Mitra menyembah.
"Hamba siap melaksanakan segala perintah Paduka. Andaikata Paduka hendak mengirim berita-berita rahasia ke Panjalu atau ke mana saja, hamba sanggup melaksanakannya."
"Baiklah, akan tetapi untuk sekarang belum ada tugas untukmu. Pergilah."
Setelah kakek itu pergi, Pangeran Panji Sigit saling pandang dengan isterinya dan pangeran itu menarik napas panjang, agaknya merasa kecewa akan keterangan-keterangan yang ia dapat dari Ki Mitra. Isterinya maklum akan isi hati suaminya, maka segera mendekati dan berkata halus,
"Memang tidak mudah menyelidiki keadaan seorang nenek yang sifatnya tidak seperti manusia biasa Kakanda.Akan tetapi hal ini memerlukan kesabaran besar sekali. Kita tahu bahwa dia adalah di fihak musuh, dan saya kira, dia pun sudah tahu akan keadaan kita. Karena dia selalu menyembunyikan diri, maka sebaliknya kita menanti sampai dia dan kaki tangannya turun tangan terhadap kita.Nah, di saat itulah, pasti musuhimusuh kita takkan mampu menyembunyikan diri lagi."
Pangeran muda itu mengangguk-angguk, lalu merangkul pinggang isterinya yang ramping dan mengajaknya masuk ke dalam kamar mereka.
"Engkau benar, dan memang kita harus berani menghadapi bahaya. Mereka itu ternyata amat pandai dan halus, biarpun mereka telah berhasil menguasai kerajaan dan menancapkan kuku-kuku mereka di manamana, mengganti para ponggawa dengan orang-orang mereka, namun pada lahirnya tidak tampak sedikit pun kesalahan mereka, bahkan kelihatannya seolah-olah mereka itu merupakan abdi-abdi yang amat setia dan baik dari kanjeng rama!"
Dan memang tepat sekali pendapat Pangeran Panji Sigit.
Akan tetapi pangeran ini pun hanya tahu satu tidak tahu banyak hal lain, hanya melihat belangnya kulit harimau saja, tidak melihat seluruh tubuh, kepala dan ekornya!
Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa bahaya hebat bukan disebabkan semata karena pengkhianatan beberapa gelintir manusia yang menginginkan kedudukan. Sama sekali bukan! Melainkan diatur dan dikemudikan secara halus dan pandai oleh dua orang tokoh dari Sriwijaya dan Cola, yaitu Sang Biku Janapati utusan Sriwijaya yang halus dan sakti mandraguna, dan Sang Wasi Bagaspati yang kasar dan amat cerdik panda! lagi sakti.
Mereka berdua inillah, dibantu oleh orang-orang sakti yang menjadi kaki tangan mereka, yang sebetulnya mengemudikan segala macam peristiwa yang terjadi di Jenggala, dengan mempergunakan kesempatan baik selagi di situ terdapat seorang seperti Suminten, dan muncul pula seorang seperti Warutama dan seorang seperti Pangeran Kukutan. Dan di atas dari semua pembantu-pembantu ini, kedua orang pendeta dari Sriwijaya dan Cola itu masih mempunyai seorang yang mereka andalkan, yang memiliki kesaktian yang amat hebat, jauh melampaui kesaktian mereka sendiri, yaitu Nini Bumigarba.
Mereka maklum bahwa ada orang-orang sakti bermunculan dan berusaha menentang mereka membela Jenggala, dan bahwa di antara lawan-lawan saktI itu terdapat seorang yang amat mereka segani dan takuti, yaitu Sang Bhagawan Ekadenta atau Sang Sakti Jitendrya, juga Sang Bhagawan Sirnasarira. Maka mereka berdua lalu mohon bantuan Nini Bumigarba untuk mengimbangi fihak lawan.
Pangeran Panji Sigit tidak mengetahuI akan hal ini semua, hanya mengira bahwa semua itu digerakkan oleh Suminten dan Pangeran Kukutan yang menginginkan kedudukan dan kekuasaan, dibantu oleh Warutama yang ia anggap seorang petualang yang haus kedudukan dan kemuliaan.
Adapun orang-orang sakti seperti Nini 'Bumigarba itulah menjadi tokoh-tokoh undangan semua.
Pangeran Panji Sigit, Setyanringsih, Joko Pramono, dan Pusporini sama sekali tidak menduga bahwa semenjak mereka menginjakkan kaki di bumi Jenggala mereka telah memasuki perangkap yang sengaja diatur oleh Suminten secara cerdik sekali.
Suminten yang begitu melihat Pangeran Panji Sigit menghadap, melihat wajah tampan yang serupa benar dengan wajah pria yang pertama kali dipujanya, yaitu mendiang Pangeran PanjIrawit, hatinya seperti diremas dan cinta kasihnya cinta kasih lama yang tadinya hampir terpendam kini tergali kembali dan makin menggelora. Juga ketlka melihat Joko Pramono yang selain tampan gagah juga membayangkan kejantanan yang kuat, watak gila prianya bangklt dan nafsu berahinya berkobar.
Biarpun empat orang muda itu tinggal di istana, hidup mewah dan serba kecukupan, terhormat dan terjaga, namun mereka ini sesungguhnya merupakan tawanan-tawanan yang setiap saat dapat di jadikan korban keganasan iblis-iblis yang berkuasa di Jenggala pada waktu itu!
Penuturan tentang Nini Bumigarba yang didengar oleh Pangeran Panji Sigit dan isterinya dari mulut Ki Mitra bukan semata-mata bohong.
Memang sesungguhnyalah, biarpun pernah Biku Janapati dan Wasi Bagaspati mohon pertolongan nenek sakti mandraguna ini untuk menghadapi Ki Tunggaljiwa dan hampir saja nenek ini dapat
(Lanjut ke Jilid 42)
Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 42
membunuh Ki Tunggaljiwa dan Tejolaksono kalau tidak ditolong oleh Sang Bhagawan Ekadenda, namun Nini Bumigarba tidak mengikatkan dirinya secara langsung dengan kedua orang pendeta itu. Nini Bumigarba tidak mau terikat, apalagi setelah ia melihat betapa di fihak musuh terdapat kakek sakti Bhagawan Ekadenta!
Karena itu, tak seorang pun di antara para anak buah kedua orang pendeta itu tahu di mana adanya Nini Bumigarba yang bagi manusia biasa seolah-olah merupakan dewa atau iblis! Hanya Biku Janapati dan Wasi Bagaspati, dua orang manusia yang telah mencapai tingkat tinggi sekali ilmunya, yang mengetahui di mana adanya Nini Bumigarba, akan tetapi mereka pun tidak berani memberitahukan kepada orang lain. Mereka mendapat janji dari Nini Bumigarba bahwa nenek itu akan muncul dan menandingi Bhagawan Ekadenda jika kakek itu mencampuri urusan kerajaan!
"Kalian tak usah khawatir,"
Demikian pesan nenek itu kepada Biku Janapati dan Wasi Bagaspati.
"semenjak dahulu aku tidak suka kepada Mataram dan keturunannya. Semenjak dahulu Ekadenta membantu Mataram! Akan tetapi sudah ada perjanjian pribadi antara dia dan aku bahwa kami berdua tidak akan mencampuri secara langsung urusan kerajaan. Dia tidak akan membantu Mataram dan aku tidak akan memusuhi Mataram! Kalau dia berani muncul dan langsung membantu Mearam, percayalah, aku akan slap menandinginya. sampai napas terakhir! Kulihat dia mempunyai murid yang baik, tentu muridnya yang akan maju. Karena itu, aku pun harus mencari seorang murid yang baik pula. Dalam segala macam hal, aku tidak mau kalah oleh Ekadenta!"
Biarpun mereka berdua orang-orang sakti mandraguna, Biku Janapati dan Wasi Bagaspati tidak tahu rahasia apa yang tersembunyl di balik kebencian nenek ini terhadap kakek sakti Bhagawan Ekadenta. Namun mereka menjadi girang karena Bhagawan Ekadenta saja yang mereka takuti.
Karena itu, perbualan Nini Bumigarba di puncak Wilis, yaitu menculik Retna Wilis dan karena perbuatan ini terpaksa bertanding dengan Ki Datujiwa dan membunuh kakek sakti itu, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan kerajaan, tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan pribadi, baik terhadap Endang Patibroto maupun terhadap Tejolaksono.
Nenek sakti ini menculik Retna Wilis karena dia suka kepada anak ini yang dianggapnya merupakan calon murid terbaik yang penah dilihatnya. Dia sedang mencari murid untuk menandingi murId Bhagawan Ekadenta, maka melihat Retna Wilis dia menjadi girang sekali dan merasa yakin bahwa kalau digembleng anak ini akan menjadi orang yang tiada tandingan di dunia ini, biar murid Bhagawan Ekadenta sekali pun!
Siapakah sebenarnya nenek yang amat luar biasa kesaktiannya ini? Untuk mengenalnya, kita membuka lembaran riwayatnya secara singkat. Nini Bumigarba ini sekarang usianya sudah amat banyak, sukar untuk diketahui, mungkin seratus tahun lebih, mungkin juga dua ratus tahun!
Dahulu dia merupakan seorang puteri cantik jelita dan sakti mandraguna dari kerajaan kecil Umbul-tirta yang bergabung dengan Kerajaan Wengker menentang Kerajaan Mataram. Namanya sebagai puteri cantik adalah Dewi Sari-langking, selain cantik jelita, juga memiliki kesaktian yang tiada tandingnya di waktu itu. Akan tetapi, karena pasukan kerajaan-kerajaan kecil itu tidak mampu menandingi barisan-barisan besar Mataram, kedua kerajaan itu selalu terpukul mundur. Kemudian, muncullah seorang ksatria perkasa dan tampan di fihak Mataram, seorang kelana yang memakai nama Joko Ekadenta.
Ksatria inilah yang dapat menentang dan menandingi kesaktian Dewi Sarilangking sehingga puteri ini tidak saja kalah dalam bertanding, juga jatuh hatinya terhadap ksatria yang tampan dan perkasa itu.
Namun, Joko Ekadenta yang dapat meneropong keadaan puteri itu melihat sifat-sifat yang tidak baik sehingga biarpun dia sebagai seorang pria juga amat kagum dan jatuh hati terhadap Dewi Sarilangking, namun dia "mundur"
Dan tidak mau melayani cinta kasih puteri itu. Hal ini merubah cinta kasih Dewi Sarilangking menjadi kebencian sehingga ia selalu mencari gara-gara untuk dapat bertanding melawan Joko Ekadenta yang selalu pula diakhiri dengan kekalahan di fihaknya.
Satu-satunya bukti bahwa Ekadenta masih mencintanya adalah kenyataan bahwa dalam setiap pertandingan, kalau Dewi Sarilangking menyerang dengan sungguh-sungguh dan dengan serangan maut, namun sebaliknya Ekadenta selalu merobohkannya dengan hati-hati agar tidak melukainya.
Setelah Dewi Sarilangking dapat dikalahkan dan menemui tandingannya, Kerajaan Umbul-tirta yang kecil itu dengan mudah dapat ditaklukkan oleh Mataram.
Dewi Sarilangking mengumpat caci dan mengutuk Joko Ekadenta karena kehancuran kerajaan ayahnya Semua keluarganya terbasmi dalam perang, hanya dia sendiri, berkat kesaktiannya, dapat menyelamatkan diri dan menghilang untuk bertapa dan memperdalam ilmunya.
Joko Ekadenta juga maklum bahwa semenjak itu, dia menanam bibit pertnusuhan yang hebat dan akan selalu terancam oleh Dewi Sarilangking, yang membencinya karena dua hal, pertama karena dia menolak cinta kasihnya atau tidak suka menyambung pertalian cinta yang ada di antara mereka, ke dua karena Joko Ekadenta membantu Mataram kerajaannya. Karena maklum akan hal ini, Joko Ekadenta tidak mau kalah, juga pergi mengasingkan diri, bertapa dan mengejar ilmu kesaktian sebagai bekal untuk melindungi diri terhadap ancaman Dewi Sarilangking.
Kekhawatirannya terbukti. Ke mana pun dia bertapa, selalu Dewi Sarilangking dapat mencarinya dan entah berapa puluh kali selama belasan tahun wanita itu selalu berusaha untuk membunuhnya dalam pertandingan-pertandingan yang amat dahsyat. Akan tetapi selalu Ekadenta dapat mengalahkan puteri itu dan selalu membujuknya agar menyudahi permusuhan mereka.
Namun Sarilangking tetap berkeras kepala dan setiap dikalahkan, bertapa dan menggembleng diri lagI untuk kelak dipakai dalam pertandingan lanjutan! Melihat ini, Ekadenta mengalah dan pergi ke barat, melintasi lautan dan merantau sampai ke Pegunungan Himalaya di mana ia memperdalam ilmunya dan juga terutama sekali untuk menjauhkan diri dari Sarilangking!
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dewi Sarilangking yang makin sakti mandraguna itu kehilangan musuhnya dan dia lalu menggunakan ilmunya untuk membantu Kerajaan Wengker, bahkan kemudian dia menjadi guru dari Dewi Mayangsari yang menjadi permaisuri di Wengker, permaisuri Sang Prabu Boko, Raja Kerajaan Wengker yang sakti sekali itu!
Demikianlah sedikit riwayat Dewi Sarilangking yang kemudian dikenal dengan julukan Nini Bumigarba, menjadi seorang nenek yang amat hebat, seorang wanita yang tidak pernah menikah, akan tetapi biarpun sudah menjadi nenek tua renta, ia masih mendendam kepada Ekadenta yang kini pun sudah menjadi seorang kakek tua sekali yang amat sakti, yaitu Sang Bhagawan Ekadenta atau juga disebut Sang Sakti Jitendrya atau Sang Bhagawan Sirnasarira.
Sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, ketika Nini Bumigarba yang memenuhi permintaan bantuan Biku Janapati dan Wasi Bagaspati, datang menyerang Ki Tunggaljiwa, nenek sakti ini tidak berhasil membunuh Ki Tunggaljiwa dan Bagus Seta karena muncul secara tiba-tiba kakek sakti yang menjadi musuhnya semenjak muda sehIngga terpaksa nenek ini melarikan diri. Kemudian Nini Bumigarba pergi mencari murid untuk menandingi murid kakek itu kelak dan di puncak Wilis dia berhasil menculik Retna Wilis setelah membunuh Ki Datujiwa.
Mungkin tanpa disadari oleh Endang Patibroto sendiri, wataknya yang aneh dan keras, suka akan kesaktian, menurun kepada puterinya. Biarpun menyaksikan dengan mata sendiri betapa Nini Bumigarba telah membunuh gurunya, Ki Datujiwa, namun Retna Wilis malah menjadi kagum dan suka sekali menjadi murid nenek itu! Hal ini bukan sekali-kali karena Retna Wilis tidak menyayang gurunya itu, melainkan karena dalam anggapan anak ini, pertandingan antara gurunya dan nenek itu adalah pertandingan adu kesaktian yang adil sehingga kalau gurunya kalah dan tewas dalam pertandingan itu, sudahlah sewajarnya. Bahkan ia merasa gembira sekali, biarpun ia harus meninggalkan ibunya, karena ketika ia dipondong dan dibawa lari nenek itu, ibunya sendiri menyatakan dengan suara yang jelas bahwa ibunya rela dia menjadi murid Nini Bumigarba. Pula, ketika ia dibawa lari, ia merasa seolah-olah dibawa terbang, demikian cepatnya nenek itu melarikannya.
Nini Bumigarba melakukan perjalanan yang amat cepat sampai tiga hari lamanya dan baru berhenti setelah tiba di tepi Laut Selatan! Pantai Laut Selatan di daerah ini sunyi tak tampak seorang pun manusia dalam jarak puluhan kilometer. Pantai itu sendiri merupakan lautan pasir dan memang oleh penduduk di pedalaman, daerah yang merupakan daerah tandus ini disebut merupakan daerah tandus ini disebut Segoro Wedi (Lautan Pasir).
Adapun di pantai, gunung-gunung karang menjulang tinggi, seolah-olah merupakan perisai yang menentang amukan badai Laut Selatan sehingga air tidak sampai meluap dan merendam seluruh Nusa Jawa! Sunyi dan tidak subur seperti neraka, penuh dengan bahaya dan menyeramkan.
Bahkan binatang-binatang darat tak tampak di daerah yang tandus ini, burung-burung pun tidak tampak, kecuali burung laut yang memang hidup dari ikan-ikan laut. Mahluk-mahluk hidup yang tampak di daerah ini hanyalah binatang pantai yang kecil seperti undur-undur, kepompong, kepiting, dan yang besar-besar hanyalah kura-kura laut yang kadang-kadang mendarat di pantai penuh pasir untuk bertelur.
Kura-kura laut yang amat besar-besar, sedemikian besarnya sehingga takkan dapat terpikul oleh empat orang dan sedemikian kuatnya sehingga dua tiga orang dewasa saja yang menduduki punggungnya masih akan terangkut olehnya.
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo