Ceritasilat Novel Online

Perawan Lembah Wilis 7


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



Telah sepuluh tahun ia tidak pernah bertemu muka dengan Endang Patibroto yang semenjak menjadi isteri Pangeran Panjirawit tak pernah meninggalkan istana suaminya. Kini, secara aneh terlibat oleh peristiwa-peristiwayang tak tersangka-sangka, mereka kembali bertemu dl Blambangan. Sungguh tidak dapat disangka lika-liku hidup ini. Ia melangkah maju menghampiri dan memanggil lirih,

   "Endang.!!! "

   Tubuh yang duduk diam seperti arca itu tiba-tiba bergerak melompat sambil memutar tubuh menghadapi Tejolaksono, sepasang mata yang seperti bintang bercahaya dan suaranya penuh teguran.

   "Joko Wandiro, ternyata benar engkau..!!!"

   Tejolaksono terpesona memandang Endang Patibroto masih tetap seperti dahulu, seakan-akan tidak bertambah sepuluh tahun usianya. Masih tetap cantik jelita dan masih penuh semangat, panas dan galak seperti dahulu. Mendengar suaranya ketika menyebut nama kecilnya dengan nada marah, Tejolaksono mau tak mau tersenyum.

   "Benar aku, Endang Patibroto. Akan tetapi namaku sekarang Tejolaksono.........

   "

   "Tidak perduli Joko Wandiro atau Tejolaksono, engkau tetap selalu memusuhiku! Engkau pengecut rendah. Memang sudah kunanti-nanti kau."

   Sambil berkata demikian, Endang Patibroto sudah menerjang maju dengan cepat dan tangkas, mengirim tamparan ke arah kepala Tejolaksono. Tangannya ketika berkelebat itu mengeluarkan angin panas menyambar.

   "Plakk.!!! "

   Endang Patibroto menjadi miring kedudukan tubuhnya ketika Iengannya bertemu dengan tapak tangan Tejolaksono yang menangkisnya. Akan tetapi secepat kilat Endang Patibroto sudah memukul lagi ke dada lawan. Tejolaksono melompat mundur sambil beseru,

   "Nanti dulu, Endang engkau salah sangka "

   "Weerrrr plakk!"

   Kembali Tejolaksono terpaksa menangkis karena tamparan yang menyusul hantaman ke tiga tak dapat ia elakkan lagi, demikian cepat sekali datangnya. Kembali keduanya terdorong ke belakang.

   "Endang, dengarlah keteranganku kau.kau.. tertipu masuk perangkap.!!"

   Adipati Tejolaksono kembali melejit ke kanan agak jauh untuk menghindari tendangan kilat yang disusul hantaman Aji Wisangnala yang ampuhnya menggiriskan.

   "Engkau utusan Panjalu, hayo menyangkallah kau manusia palsu! "

   "Betul, memang sang prabu di Panjalu yang mengutusku menyusul dan mencarimu, tapi semua pembunuhan keji itu "

   "Tak usah banyak cakap. Aku sudah tahu semua! Aku tahu siasat Darmokusumo yang jahat. Aku tahu... Aku tahu Semua kesalahan ditimpakan pada diriku. Dan kau datang untuk menangkapku, menyeretku ke depan kaki Raja Panjalu dan Raja Jenggala yang jahat!"

   "Endang..!!!! "

   "Cukup! Tak usah banyak cerewet lagi. Kau sudah mencoba menangkapku malam itu, kemudian kemudian mencoba meracuniku........ aku tidak takut. Hayo majulah, kalau..tidak engkau yang menggeletak tewas di sini, tentu aku!"

   Kembali Endang Patibroto sudah menerjangnya dengan dahsyat sekali. Wanita ini teringat akan semua peristiwa yang menimpa dirinya, teringat akan kematian suaminya dan kini melihat Joko Wandiro yang hidupnya selalu lebih bahagia daripadanya, membuat is menumpahkan semua kebencian dan kemarahannya kepada musuh lama ini.

   "Endang, dengar dulu kau tertipu..!! "

   Akan tetapi pada saat itu tampak banyak sekali bayangan manusia berkelebat dan ternyata tempat itu sudah terkurung oleh belasan orang senopati dan perwira yang dipimpin sendiri oleh Ki Patih Kalanarmodo dan Sindupati.

   "Tangkap mata-mata..! "

   Terdengar teriakan-teriakan di sekeliling tempat itu.

   Tejolaksono terkejut sekali, tidak menyangka bahwa ia akan menghadapi kepungan seperti ini. Ketika dua orang senopati menerjang dari kiri ia menggerakkan kaki tangan dan dua orang lawan itu roboh terjengkang!

   "Wuuuttt II"

   Tejolaksono cepat membuang diri ke kiri karena pukulan Endang Patibroto dari kanan itu dahsyat sekali datangnya.

   "Endang, larilah. Mari kau ikut aku lari , Endang sebelum terlarnbat. Marilah, nanti aku beri penjelasan.

   "

   Namun Endang Patibroto tidak memperdulikannya dan pada saat itu, Raden Sindupati, Mayangkurdo, Ki Patih Kalanarmodo, Klabangkoro, Klabangmuko dan beberapa orang senopati yang lain yang pilihan telah menerjang maju. Cepat Tejolaksono menggerakkan tubuhnya, kaki tangannya menyambar dan sambil menangkis semua hantaman lawan, la telah berhasil merobohkan Klabangmuko dan Klabangkoro dengan tendangan berantai.

   Akan tetapi, karena ia dihujani serangan, seperti juga senopati-senopati yang ia robohkan tadi, Klabangkoro dan Klabangmuko tidak terluka parah dan dapat bangkit kembali sambil meringis kesakitan.

   "Ehh dia ini si Sutejo tukang kuda."

   Terdengar seorang perwira berseru kaget dan semua orang tercengang. Siapa kira bahwa penjahat yang dianggap maling haguna (maling sakti) dan selama ini dicari-cari itu ternyata adalah si tukang kuda yang baru! Orang dusun yang kelihatan bodoh, jujur, dan rajin bekerja!

   Kinipun pakaiannya masih sederhana, namun setelah bergerak, bukan main hebatnya!.

   Melihat banyaknya orang-orang yang mengeroyoknya, bukan orang-orang sembarangan pula, dan melihat betapa taman itu terkepung oleh seratus orang lebih perajurit sehingga merupakan pagar manusia yang tebal, Tejolaksono mulai khawatir.

   Ia masih sibuk berkelebat ke sana ke marl menghadapi pengeroyokan para senopati yang kini sudah menggunakan senjata, dan untuk yang penghabisan ia berseru,

   "Endang dengarlah kepadaku. Mari kita lari bersama masih ada waktu. Kalau kita berdua menyerang, tikus-tikus busuk ini tak mungkin dapat menahan kita "

   Akan tetapi sebagai jawaban dari ajakan ini, Endang Patibroto kini malah mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo dan menghantam dengan Aji Wisangnala yang dilakukan dengan pengerahan tenaga dahsyat sekali ke arah lambung Tejolaksono.

   Itulah pukulan maut yang tak mungkin dapat ditahan, biar oleh seorang manusia sakti seperti Adipati Tejolaksono sekali pun! Beberapa orang senopati yang terdekat sudah roboh mendengar pekik tadi dan Tejolaksono terkejut bukan main.

   Dia sedang menghadapi serbuan senjata yang banyak sekali, dan kini dari samping kanan Endang Patibroto memukulnya ke arah lambung dengan pengerahan aji yang sedemikian dahsyatnya! Tidak ada pilihan lain baginya, mengelak tidak keburu lagi menangkis tentu kurang kuat dan tentu ia akan menjadi korban.

   Maka cepat ia membalikkan tubuh ke kanan dan menerima pukulan Wisangnala yang ampuhnya menggila itu dengan dorongan kedua telapak tangannya pula ke depan sambil mengerahkan Aji Brojo Dahono (Kilat Berapi) yang dahulu ia terima dari gurunya, Ki Patih Narotama.

   "Desssss!!!"

   Dua pasang tangan bertemu permukaannya dan tubuh Endang Patibroto terlempar ke belakang sampai tiga meter lebih dalam keadaan pingsanl Akan tetapi, Tejolaksono juga terhuyunghuyung ke belakang, kepalanya pening pandang matanya berkunang.

   Kalau ia tadi mengerahkan seluruh tenaganya, tentu Endang Patibroto akan terpukul tewas dan dia sendiri tidak akan terluka parah. Akan tetapi bagaimana ia tega untuk membunuh Endang Patibroto? Maka ia tadi hanya mengerahkan sebagian besar tenaganya, tidak sepenuhnya sehingga akibatnya sungguhpun ia dapat membuat Endang Patibroto pingsan, namun dia sendiri juga mendapat hantaman di sebelah dalam tubuhnya yang cukup hebat.

   Sebelum Tejolaksono sempat memulihkan tenaga, banyak pukulan-pukulan keras dan penggada menghujani tubuhnya sehingga ia roboh pingsan.

   Segera para senopati menubruknya dan melibat-libat tubuhnya dengan ikatan"ikatan rantai yang amat kuat seperti seekor kerbau hendak disembelih saja. Kemudian, beramai-ramai mereka menggotong tubuh Tejolaksono sambil bersorak kegirangan.

   Adapun Endang Patibroto yang pingsan itu sudah lebih dulu dipondong oleh Raden Sindupati dan dibawa pergi menuju ke rumah senopati itu sendiri.

   Ketika Sindupati yang memondong tubuh Endang Patibroto tiba di rumah gedungnya, ia disambut oleh seorang wanita yang maslh amat muda dan berwajah cantik jelita akan tetapi pucat pasi mukanya.

   "Kakangmas! "

   Wanita itu menegur dan matanya terbelalak lebar. Akan tetapi dengan kasar Sindupati membentak,

   "Minggir kau!"

   Lalu terus membawa tubuh Endang Patibroto memasuki kamarnya.

   Wanita muda itu adalah selirnya, yaitu puteri Adipati Menak Linggo dari selir yang "dihadiahkan"

   Kepada Sindupatl. Dibentak seperti itu, wanita ini minggir dan terisak menangis, akan tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu, hanya pergi memasuki sebuah kamar lain dan membanting tubuh di atas pembaringan sambil menangis tersedu-sedu.

   Semuda itu, sudah terlampau banyak ia menderita tekanan batin semenjak setahun yang lalu ia diberikan kepada Sindupati, dijadikan benda permainan senopati itu yang sama sekali tidak memperdulikan hati wanita muda ini.

   Endang Patibroto masih merasa pusing sekali dan napasnya agak terengah ketika ia mendengar suara yang halus,

   "Minumlah, diajeng minumlah madu tentu akan sembuh dan enak badan-mu!"

   Segera ia merasa ada benda menempel bibirnya. Ia berada dalam keadaan setengah sadar akan tetapi dapat mengenal suara Sindupati, maka tanpa membuka mata ia segera membuka mulut dan minum madu manis dan harum dari cangkir itu dengan penuh kepercayaan.

   Memang enak rasanya, dan mendatangkan rasa hangat di dadanya. Madu yang manis dan harum bercampur jamu.,Ia masih meramkan matanya, mengingat-ingat.Kemudian teringatlah ia akan pertandingan tadi. Tadikah? Ia tidak tahu bahwa ia telah rebah pingsan selama setengah malam

   Joko Wandiro, alangkah berat lawan itu.

   Teringat ia betapa pukulan Wisangnala membentur gunung karang dan tenaga aji itu membalik, membuat dadanya sesak dan tubuhnya terlempar ke belakang. Bukan main hebatnya Joko Wandiro

   Tangan yang lembut membelai rambutnya dahinya lalu turun ke pipinya, terus ke lehernya. Bisikan-bisikan yang tadinya hampir tak terdengar, kini mulai terdengar, lirih-"lirih dekat telinga.

   "Diajeng Endang Patibroto alangkah cantik jelita engkau, alangkah gagah perkasa ah, adinda aku cinta padamu, diajeng "

   Jari tangan itu turun ke atas dada dan bibir yang panas menempel mulutnya!.

   Endang Patibroto hampir saja tenggelam karena terbayang ia kepada kemesraan bercinta dengan suaminya, membayangkan bahwa yang berbisik-bisik, membelai dan menciumnya itu adalah suaminya. Akan tetapi ia segera teringat dan tersentak kaget. Bukan suaminya yang sudah mati, melainkan Raden Sindupati! Segera ia mendorong sambil melompat bangun dari atas pangkuan karena tadinya ia rebah telentang dengan kepala di atas pangkuan Sindupati yang duduk di atas pembaringan.

   Tubuh Sindupati terlempar keluar dari pembaringan dan seperti seekor burung kepinis, Endang Patibroto sudah melompat turun dan berdiri menatap Sindupati yang terbanting roboh di atas lantai.

   "Diajeng..

   "

   Sindupati merintih.

   Merah wajah Endang Patibroto. Kamar ini terang dan kiranya sinar matahari telah bersinar masuk melalui celah-celah daun jendela kamar itu. Sebuah kamar yang indah. Dan ia tadi berada di atas pembaringan, bersama Sindupati, sejak malam tadi, ia memandang senopati itu, bingung karena merasa malu, menyesal bercampur marah.

   "Maaf, kakang Sindupati. Akan tetapi... aku.... aku tidak dapat menerima cinta kasihmu' Betapapun baik engkau sudah terhadap diriku, namun hemm jangan sekali-kali berani meraba diriku lagi karena lain kali aku akan membunuhmu!"

   Setelah berkata demikian, Endang Patibroto lalu melompat keluar dari kamar itu dan terus melarikan diri.

   "Diajeng Endang Patibroto..!!! "

   Namun seruan Sindupati ini tidak terjawab dan senopati ini lalu merangkak bangun. Belakang kepalanya yang terbentur lantai menjendol dan terasa nyeri. la menyeringai, mukanya menjadi merah padam, kedua tangannya dikepal dan ia menggumam dengan marah,

   "Hemm Endang Patibroto, engkau tak mau disayang orang! Lihat saja engkau nanti! Tidak bisa mendapatkan dirimu secara halus, aku akan menggunakan kekerasan! Ha-ha-ha, awas engkau jangan kira dapat melepaskan diri begitu saja dari tangan Raden Sindupati!"

   Kalau saja Endang Patibroto dapat mendengar ucapan dan sikap Sindupati setelah ia meninggal kan kamar senopati itu, tentu ia akan menjadi kaget sekali. Akan tetapi, Endang Patibroto sudah berlari jauh dan di dalam hatinya wanita ini malah merasa kasihan kepada Sindupati. Ia mengang gap senopati itu amat baik dan biarpun tadi telah berani menjamah tubuhnya, bahkan mencium bibirnya, namun ia dapat memaafkan perbuatan yang ia anggap terdorong oleh cinta kasih yang mendalam!

   Seorang wanita seperti Endang Patibroto, tentu saja tidak dapat membedakan antara cinta kasih murni seperti cinta kasih mendiang suaminya, dengan cinta berahi seperti cinta seorang pria macam Sindupati yang menjadi hamba daripada nafsu berahi dan menginginkan tubuhnya karena ia cantik jelita belaka, seperti rasa sayang seorang akan setangkai bunga mawar. Jika masih segar dinikmati keindahannya dan harumnya, jika sudah bosan dan kembang itu melayu lalu dibuang begitu saja!

   Ketika Endang Patibroto memasuki tempat tinggalnya, ia mendengar dari para pengawal bahwa Adipati Tejolaksono telah tertangkap dan kini sedang mengalami siksaan di dalam penjara!.

   "Menurut keputusan gusti adipati, mata-mata itu yang telah menewaskan tujuh orang pengeroyok semalam, akan dihukum picis di alun-alun sore hari nanti!"

   Demikian antara lain para pengawal memberitahukannya.

   Berdebar jantung Endang Patibroto. Dihukum picis! Hukuman yang mengerikan. Tubuh orang hukuman akan diikat di alun-alun, dan setiap orang boleh menggunakan sebuah pisau tajam yang tersedia di situ untuk mengerat kulit dan daging, si terhukum, kemudian algojo akan mengoleskan asam dan garam pada goresan pisau! Si terhukum tidak akan mati seketika, melainkan mati perlahan-lahan, menderita siksaan ngeri yang tiada taranya, kemudian mungkin baru pada keesokan harinya mati kehabisan darah!

   Ia membayangkan wajah Joko Wandiro dan Endang Patibroto meramkan mata.

   Kepalanya makin pening, pandang matanya berkunang. Teringat ia akan semua kebaikan Joko Wandiro.

   Betapa pria itu kini telah menampung ibu kandungnya, betapa Joko Wandiro tidak mendendam kepadanya biarpun dialah yang membunuh ibu kandung Joko Wandiro! Betapa dahulu ia amat tertarik kepada Joko Wandiro, betapa ia merindu, haus akan kasIh sayangnya namun pada lahirnya ia selalu bersikap keras dan bermusuh.

   Bahkan terbayang pula betapa seringkali, sebelum akhirnya ia jatuh cinta sungguh"sungguh kepada Pangeran Panjirawit, seringkali ia membayangkan wajah Joko Wandiro di kala suaminya itu mencumbunyal.

   "Tidak Tidak boleh Demikian teriak hatinya dan dengan kepala masih pening, dengan langkah terhuyung-huyung Endang Patibroto lalu lari menuju ke penjara!.

   Para penjaga yang menjaga penjara dengan ketat, semua mengenal Endang Patibroto dan tidak seorangpun di antara mereka berani mencegah ketika Endang Patibroto memasuki penjara. Bahkan Mayangkurdo yang bertugas mengepalai barisan penjaga, hanya bertanya,

   "Apakah perlunya menemui keparat itu? Gusti adipati sudah memutuskan hukum picis, harap saja paduka jangan membunuhnya!"

   ENDANG PATIBROTO hanya menggeleng kepala, tidak berani mengeluarkan suara karena ia tidak percaya kepada suaranya sendiri yang tentu akan tergetar.

   Adapun Mayangkurdo tidak melihat keberatan sesuatu atas kunjungan Endang Patibroto. Biarpun disiksa sejak malam tadi, Tejolaksono tidak pernah mau mengaku sesuatu, hanya tersenyum mengejek dan menerima siksaan sampai berkali-kali jatuh pingsan.

   Karena itu Mayangkurdo dan yang lain-lain tidak tahu bahwa rahasia busuk mereka telah diketahui Tejolaksono dari mulut Ki Brejeng! Mereka hanya menyangka bahwa Tejolaksono datang atas perintah sang prabu di Panjalu untuk menangkap Endang Patibroto yang sampai sekarang tentu dianggap pemberontak oleh Panjalu, dan Jenggala.

   Ketika Endang Patibroto memasuki kamar tahanan, ia melihat Tejolaksono rebah dan setengah bersandar pada dinding. Kaki tangannya dibelenggu dengan rantai besi, juga lehernya. Pakaiannya hancur dan seluruh tubuhnya berdarah bekas cambukan!

   Ksatria sakti ini tidak pingsan, sadar dan sinar matanya masih penuh semangat sungguhpun tampak lemah sekali. Sedikitpun tidak ada keluhan keluar dari mulutnya. Mukanya baret-baret bekas cambukan pula, mata kirinya membiru. Hati Endang Patibroto trenyuh sekali.

   Apalagi melihat betapa sinar mata itu memandangnya dengan senyum, seperti mulutnya.

   "Pergilah kalian! Tinggalkan aku sendiri dengan keparat ini!"

   Bentak Endang Patibroto kepada tiga orang algojo tinggi besar yang agaknya kelelahan karena harus terus menyiksa akan tetapi tak boleh membunuh si tahanan. Mereka lalu pergi meninggalkan Endang Patibroto yang segera menutupkan daun pintu besi.

   (Lanjut ke Jilid 09)

   Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09

   Lalu ia berdiri di depan Tejolaksono.

   "Hemm, Endang Patibroto. Agaknya engkau puas sekarang. Dapat melampiaskan semuan kebencianmu kepadaku. Ah, betapa bencimu kepadaku, Endang. Sejak sepuluh tahun yang lalu! Belum dapatkah engkau melupakan semua peristiwa yang lalu? Endang demi bibi Kartikosari, demi paman Pujo kaubunuhlah saja aku. Aku tidak takut menghadapi siksaan, akan tetapi ngeri menghadapi penghinaan. Kau pukullah aku sampai mati, aku akan berterima kasih dan dan tolonglah kau amat-amati keluargaku di Selopenangkep."

   Ucapan itu keluar dengan ringannya dari mulut Tejolaksono, sedikitpun tidak tampak berduka atau takut. Alangkah perkasanya pria ini! Dan tak tertahankan lagi Endang Patibroto terisak, lalu menjatuhkan diri berlutut, lalu tangannya meraih belenggu-belenggu kaki tangan Tejolaksono.

   "Tidak usah, Endang. Tiada gunanya. Kalau aku menghendaki, agaknya aku masih akan sanggup mematahkan belenggu-belenggu ini. Akan tetapi apa gunanya? Penjagaan terlampau kuat dan aku terlalu lelah dan lemah. Apalagi ada engkau, betapa mungkin aku dapat lari?"

   Makin mengguguk Endang Patibroto menangis.

   "Joko Wandiro mengapa Mengapa engkau selalu memusuhi aku? Mengapa engkau yang diutus oleh si keparat Darmokusumo untuk mengejar dan menangkap aku? Aku sudah... sudah tidak lagi menganggap engkau sebagai musuh, tapi..... tapi kau datang ke sini dan..

   "

   "Husssshh..... engkau salah sangka. Inilah yang hendak kuterangkan kepada-mu. Inilah sebabnya mengapa aku selalu hendak menemuimu. Kau tertipu! Kau harus segera lari dari sini. Mereka menipumu. Mereka hendak membunuhmu! Dengarlah baik-baik, Endang Patibroto. Semua peristiwa di Jenggala dan Panjalu diatur oleh si keparat Sindupati!"

   "Tidak mungkin! Aku mendengar sendiri dari mulut Wiku Kalawisesa..

   "

   "Kau dibohongi! Aku tahu semua ini dari mulut Ki Brejeng sebelum ia mati."

   "Ki Brejeng? Mati? Apa artinya ini.....?"

   "Aku memang mengejarmu, dan di tengah jalan aku bertemu Ki Brejeng. Kau masuk perangkap! Wiku Kalawisesa adalah anak buah Sindupati. Sengaja membunuhi paraponggawa untuk melemahkan kedua kerajaan yang akan diserbu. Dan mereka memasang jerat. Menyebar desas-desus memburukkan namamu, hendak mengadu domba. Kau terkena hasutan sehingga kau menyerbu Pangeran Darmokusumo yang tidak berdosa! Kau........ eh, kenapa, Endang..

   "

   Akan tetapi Endang sudah tidak mendengarnya lagi. Wanita ini menjadi pucat wajahnya, lalu berusaha bangkit berdiri, terhuyung-huyung, kedua tangannya memegang kepala sendiri, matanya dimeramkan, mulutnya mengeluh lirih.

   "Ahhh kepalaku begini pening panas."

   Tejolaksono terkejut sekali. Sekali pandang melihat wajah yang agak pucat itu kedua pipinya mangar-mangar merah, bibirnya yang terbuka itupun merah seperti habis makan cabe, matanya setengah dipejamkan, napasnya tersendat-sendat, tubuhnya gemetar, tahulah ia bahwa Endang Patibroto yang seperti orang mabok arak ini telah keracunan!.

   "Endang........... kau keracunan........... Lekas, bersila mengatur napas, menggunakan tenaga sakti mengusir hawa racun dari dada dan kepalamu... , pergunakan Widodo Mantra..

   "

   Namun terlambat sudah. Endang Patibroto agaknya sudah tidak dapat menguasai diri dan pikirannya lagi, mulutnya berbisik-bisik, pangeran kekasihku pangeran.

   "Ha-ha-ha-ha! Jangan harap dapat lari dariku, diajeng!!"

   Daun pintu kamar tahanan terbuka dari luar dan Sindupati melompat masuk. Melihat Endang Patibroto yang terhuyung-huyung seperti orang mabuk, ia terkekeh girang lalu menubruk maju, memeluk dan memondong tubuh Endang Patibroto.

   "Diajeng Endang Patibroto! Aku cinta padamu ha-ha-ha mengapa lari dari kakanda....

   "

   
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
,,

   ............. pangeran... pangeran..

   "

   Dengan mata dipejamkan Endang Pathbroto berbisik-bisik dan ia sama sekali tidak marah lagi seperti tadi ketika tubuhnya didekap dan dipondong, bahkan kedua lengannya lalu merayap dan merangkul leher Sindupati, mukanya disembunyikan pada dada senopati itu!.

   "Ha-ha-ha-ha!"

   Sindupati tertawa bergelak, lalu sambil memondong tubuh wanita yang mabuk oleh racun pembangkit nafsu berahi yang tadi ia campurkan ke dalam madu, ia mengayun kaki menendang Tejolaksono yang memandang semua itu dengan mata melotot. Dalam keadaan terbelenggu seperti itu, terpaksa Tejolaksono menerima tendangan yang mengenai pinggangnya sehingga tubuhnya terbentur dinding. Kembali Sindupati tertawa sambil membawa tubuh Endang Patibroto keluar dari dalam kamar tahanan.

   Blambangan adalah gudangnya ilmu hitam, gudangnya jamu-jamu yang amat mujijat, dan di kadipaten ini terdapat banyak sekali ahli-ahli pembuat racun. Ketika Sindupati malam kemarin memberi minum madu kepada Endang Patibroto, ia mencampurkan bubukan jamur belang yang mengandung racun pembangkit nafsu berahi amat hebat. Orang yang terkena racun ini, terutama sekali wanita, akan mabuk dan tidak dapat menguasai dirinya lagi, tidak sadar apa yang dilakukannya, dan seluruh tubuhnya dikuasai oleh nafsu berahi yang menyala-nyala.

   Demikian pula, biarpun ia seorang wanita yang sakti mandraguna, namun darahnya yang sudah keracunan membuat Endang Patibroto mabuk juga sehingga terbayang olehnya Pangeran Panjirawit yang tercinta dan ketika ia dipondong Sindupati, ia menganggap bahwa suaminyalah yang memondongnya!.

   Dengan kegirangan hati yang meluap-luap Sindupati memondong tubuh Endang Patibroto ke dalam rumahnya, masuk ke dalam kamarnya yang tadi ditinggalkan Endang Patibroto. Kini tercapailah keinginan hatinya. Ia ingin memiliki tubuh Endang Patibroto, baik secara suka rela ataupun paksa, dan setelah itu baru ia akan membunuh wanita ini untuk memenuhi perintah Adipati Blambangan! Kini, setelah Endang Patibroto mabuk oleh racun jamur belang, pasti akan terpenuhi keinginan dan nafsunya!

   Dengan wajah berseri-seri ia melemparkan tubuh Endang Patibroto ke atas pembaringan. Endang Patibroto hanya mengeluh lirih dan bergulingan gelisah di atas pembaringan itu, matanya dipejamkan.

   "Ha-ha-ha-ha, Endang Patibroto. Akhirnya engkau terlempar juga dalam pelukanku, cah ayu denok Dengan nafsu berkobar Raden Sindupati menghampiri pembaringan, matanya jalang memerah, napasnya agak terengah-engah panas, hidungnya kembang kempis, wajahnya yang tampan kini tampak buas.

   Lama ia berdiri di pinggir pembaringan, melahap tubuh Endang Patibroto dengan pandang matanya, kemudian ia membungkuk, terkekeh dan kedua tangannya menjangkau "Kakangmas senopati..

   "

   Raden Sindupati yang sudah menyentuh pundak Endang Patibroto dan sudah menaikkan sebelah lututnya ke atas pembaringan, tersentak kaget dan turun membalikkan tubuh dan menghardik,

   "Umi! Mau apa engkau masuk ke sini? Hayo pergi, kalau tidak ingin kutempiling kau!!"

   Wanita muda bermuka pucat itu memandang dengan mata terbelalak ke arah tubuh Endang Patibroto yang bergerak-gerak gelisah di atas pembaringan. Hatinya menjadl semakin panas sekali, panas oleh cemburu. Biarpun la mengalami banyak derita batin semenjak oleh ayahnya, sang adipati, dihadiahkan kepada senopati Sindupati, namun la telah jatuh cinta kepada laki-laki ini sepenuh hatinya.

   Tidak ingin ia melihat suaminya bermain dengan wanita lain, dan hatinya selalu sakit dan hancur kalau ia melihat Sindupati membawa pulang wanita-wanita cantik. Akan tetapi kali ini ia tidak dapat menahan kemarahannya melihat betapa suaminya Itu hendak memiliki seorang wanita dengan cara yang amat tidak patut, yaitu dengan paksa dan dengan bantuan jamu racun perangsang!

   "Kakangmas.. , jangan...... jangan lakukan itu.!! "

   Marah sekali Sindupati. Ia melangkah maju mendekati selirnya ini, mukanya merah.

   "Apa? Sejak kapan engkau berani menghalangi kesenanganku??"

   Dewi Umirah, wanita muda itu menggelengkan kepalanya dengan

   "Tidak, kakangmas, saya tidak menghalangl kesenanganmu. Sebagai seorang selir, saya tidak berhak melakukan hal itu. Akan tetapi, saya berkewajiban untuk mengingatkan suami daripada perbuatan jahat dan keji! Memperkosa seorang wanita di luar kehendaknya adalah perbuatan jahat dan keji, kakangmas. Ingatlah, dan harap kakangmas sadar, jangan lakukan itu Wanita ini tidak sadar dia mabuk racun....tidak baik memperkosa...! "

   "Tutup mulutmu! Ha, engkau iri hati! Engkau cemburu, setan "

   Dengan marah sekali Sindupati mendorong pundak selirnya sehingga tubuh Dewi Umirah terlempar ke belakang, menabrak dinding dan terguling. Namun wanita Itu bangun lagi, berlutut dan berkata,

   "Saya tidak iri hati, tidak cemburu, kakangmas. Sudah kukubur perasaan itu! Akan tetapi... melihat kau hendak melakukan perkosaan keji... ah, bagaimana saya dapat melihat suami saya melakukan kekejian ini dan mendiamkannya saja? Ingat kakangmas, perbuatan ini akan dikutuk para dewata.!"

   "Apa? Keparat engkau! Berani mengumpat Pergi minggat!!"

   Sindupati menggerakkan kakinya menendang dan tubuh Dewi Umirah terlempar ke luar melalui pintu!

   Sindupati sambil memaki-maki lalu membanting daun pintu kamar dan menguncinya dari dalam!.

   Napasnya terengah-engah saking marahnya dan kemarahan ini telah mengusir gelora nafsu berahinya. Ia jengkel sekali, lalu menyambar sebuah botol berisi arak dari atas meja, menuangkan isinya ke dalam perut. Perut dan dadanya terasa panas kini dan perlahan-lahan nafsunya menggelora lagi.

   Dilemparkannya botol kosong ke sudut kamar dan ia melangkahmaju menghampiri pembaringan di mana Endang Patibroto masih menggeliat-geliat sambil mengeluh lirih. Sindupati terkekeh, tangannya meraih, merenggut, terdengar suara "breettt!!"

   Pakaian robek, disusul ketawa terbahak.

   Ketika Tejolaksono melihat betapa tubuh Endang Patibroto yang ia tahu dalam keadaan setengah sadar karena pengaruh racun itu dipondong oleh Sindupati dan dilarikan keluar tahanan, hatinya penuh kegelisahan dan kemarahan.

   Tadinya ia sudah hampir berputus asa karena kalau ia memberontak dan dapat membebaskan diri, tidak mungkin ia dapat membebaskan diri, karena di sana, terdapat banyak senopati tangguh d terutama sekali ada Endang Patibroto! Kini, menyaksikan keadaan Endang Patibroto yang terancam bahaya lebih mengerikan daripada maut, timbul semangatnya.

   Ia segera meramkan mata, mengheningkan cipta, mengumpulkan seluruh daya dan hawa saktl di tubuhnya, mengetrapkan aji-ajinya lalu tiba"tiba terlengkinglah pekik yang dahsyat dari mulutnya, pekik Aji Dirodo Meta (Gajah Mengamuk) dan pada saat itu juga, ia meronta dan terdengar suara keras ketika semua rantai besi yang membelenggu kaki tangan dan lehernya hancur berkeping-keping!!

   Tejolaksono melompat bangun dan pada saat itu, para pengawal yang mendengan suara pekikan dahsyat tadi sudah menyerbu ke dalam. Akan tetapi lima orang pengawal termasuk tiga orang algojo yang terdahulu masuk, disambut oleh hantaman yang membuat mereka semua roboh terjengkang kembali keluar pintu!

   Tubuh Tejolaksono menerjang keluar dan ia telah mengerahkan Aji Triwikrama, sebuah aji kesaktian agung yang didapatnya dari ajaran mendiangang Prabu Airlangga.

   Begitu tubuhnya muncul keluar, para pengawal dan penjaga bediri terpaku di tempat masing-masing dengan mata terbelalak dan muka pucat. Aji kesaktian agung Triwikrama bukanlah sembarang aji dan hanya Tejolaksono seoranglah yang dapat mewarisinya dari Sang Prabu Airlangga.

   Di jaman Purwacarita, jamannya Mahabharata, yang memiliki aji kesaktian agung ini hanyalah Sang Prabu Dwarawati atau Sri Bathara Kresna. Aji kesaktian ini baru dapat dikeluarkan apabila hati dalam keadaan marah dan sakit hati dan begitu aji ditrapkan, akibatnya hebat luar biasa.

   Para lawan akan terpesona, akan ngeri ketakutan karena dari tubuh yang beraji Triwikrama ini seakan-akan keluar hawa mujijat yang menakutkan, mengeluarkan perbawa yang menggiriskan, seakan-akan berubah menjadi seorang raksasa sebesar Gunung Semeru yang akan menghancurkan segala yang menentangnya! Pihak lawan akan dicekam ketakutan sehingga mereka sampai lupa untuk bergerak menentang musuh.

   Ketika para pengawal itu berdiri terhenyak pucat ketakutan, Tejolaksono segera melesat keluar dan dengan kecepatan kilat ia sudah melampaui kepala mereka untuk pergi mengejar Sindupati.

   Selama beberapa pekan menjadi tukang kuda di Blambangan, waktunya tidak dibuang sia"sia sehingga ia sudah hafal akan keadaan di Blambangan, tahu pula di mana adanya istana senopati Sindupati.

   Baru setelah Tejolaksono lari jauh, para pengawal sadar akan keadaan mereka. Sambil berteriak-teriak mereka mengejar. Beberapa orang pengawal yang berada di depan sempat menghadang dan beiasan orang sudah menyeruduk maju dengan tornbak dan golok di tangan.

   Namun dengan ketangkasan yang luar biasa, terdorong oleh rasa khawatir dan marsh mengingat akan nasib Endang Patibroto, Tejolaksono menggerakkan kaki tangannya.

   Dua orang roboh mencelat, seorang dapat ia tangkap tengkuknya, ia angkat tubuhnya dan ia putar-putar sedemikian rupa sehingga para pengeroyok cepat mundur dan menahan senjata, takut mengenai tubuh kawan sendiri.

   Tejolaksono lalu melempar tubuh orang yang dijadikan perisai tadi ke arah para pengeroyok, kemudian menggunakan kepanikan mereka ia meloncat lagi terus melanjutkan pengejaran nya. Makin banyak kini perajurit-perajurit mengejarnya dari belakang, namun tak seorang pun dapat menandingi kecepatan gerak tubuh Tejolaksono yang melesat ke depan seperti burung terbang cepatnya.

   Empat orang pengawal menyambutnya di depan pintu rumah Raden Sindupati, akan tetapi dalam dua gebrakan saja Tejolaksono sudah merobohkan mereka dengan pukulan-pukulan jari tangannya yang mengandung Aji Pethit Nogo. Ia terus menyerbu ke dalam.

   Dewi Umirah terbelalak dan dengan muka pucat wanita ini lari keluar dari rumahnya, terus melarikan diri ke istana ayahnya untuk melaporkan segala peristiwa yang amat menghancurkan hatinya.

   Tejolaksono tidak mengenal dan tidak memperdulikan Dewi Umirah, batik tidak mengganggu para pelayan yang mendeprok dan menggigil di atas lantai terus lari ke dalam. Ia tahu di mana adanya kamar senopati Raden Sindupa karena ia pernah menyelidiki rumah in di waktu malam.

   Daun pintu kamar itu tertutup dan la mendengar suara ketawa bergelak di sebelah dalam.

   Tejolaksono mengerahkan tenaga sakti di dalam tubuhnya lalu menggempur daur pintu dengan bahunya.

   "Braaaakkkk!!"

   Daun pintu jebol dan pecah,tubuhnya menerjang ke dalam kamar.

   Mata Tejolaksono menjadi merah saking marahnya ketika ia melihat Sindupati duduk di pinggir pembaringan, dengkan tubuh Endang Patibroto rebah atas pembaringan.

   Pakaian Endang Patibroto terobek dari atas ke bawah, sedangkan senopati itu sambil tertawa-tawa sedang membuka bajunya.

   Ketika Sindupati mendengar suara keras pecahnya daun pintu, ia menoleh dan matanya terbelalak melihat bahwa yang muncul adalah Tejolaksono yang baru saja tadi ia tendang ketika ia melarikan Endang Patibroto. la kaget bukan main, juga terheran-heran, akan tetapi secepat kilat ia meloncat, menyambar tombaknya di sudut kamar kemudian langsung menerjang Tejolaksono dengan tusukan tombak pusakanya.

   "Sindupati keparat engkau....!! "

   Tejolaksono memaki, miringkan tubuh sehingga tombak itu menyeleweng dekat lambungnya.

   Tangan kiri meyambar menangkap tombak, ditarik dengan gentakan keras sehingga tubuh lawan ikut mendekat, tangan kiri dengan jari-jari terbuka menampar dengan Aji Pethit Nogo

   "Bresssss....!! "

   Tubuh Sindupati terlempar dibarengi jeritnya dan terus menubruk jeruji jendela yang menjadi patah-patah, tidak tahan menerima hantaman tubuh yang sakti itu, dan tubuh Sindupati terus terlempar keluar kamar, dan terbanting jatuh bergulingan. Pingsan! Pukulan tadi amat kerasnya, dilakukan dalam keadaan amarah meluap-luap oleh Tejolaksono.

   Kalau orang lain tentu akan tancur remuk tulang-tulang iganya. Akan tetapi karena Sindupati bukan orang biasa, kekebalannya menyelamatkan nyawa dan ia hanya terlempar dan terbanting pingsan seperti orang diseruduk gajah!.

   "Endang.....!! "

   Tejolaksono melompat mendekati pembaringan.

   Hatinya lega melihat dan mendapat kenyataan bahwa kedatangannya belum terlambat. Untung sekalil Beberapa menit lagi saja terlambat tentu ah, ngeri ia membayangkan.

   Endang Patibroto menoleh, akan tetapi matanya setengah terpejam, bibirnya terbuka dan agak terengah sambil tersenyum, berbisik-bisik tak menentu.

   Ketika Tejolaksono meraba dahi, terasa amat panas. Cepat ia menyambar tubuh Endang Patibroto yang panas dan lemas itu setelah merapikan kembali pakaian yang hampir telanjang, memanggulnya menelungkup di atas pundak kiri, merangkul kedua pahanya dengan lengan kiri kemudian ia cepat membalikkan tubuh karena mendengar gerakan orang-orang di pintu.

   "Joko Wandiro! Lebih baik kau menyerah, percuma saja kau melawan. Tempat ini telah terkepung ribuan orang perajurit! Kalau melawan, akan hancur tubuh kalian di bawah senjata kami!"

   kata Ki Patih Kalanarmodo yang mengepalai sendiri pengejaran terhadap tawanan yang lolos ini.

   Di sampingnya tampak Mayangkurdo, Klabangkoro dan Klabangmuko serta senopati lainnya, senjata di tangan!

   "Hai! , orang-orang Blambangan! Dengarlah! Inilah aku Adipati Tejolaksono, seorang ponggawa Kerajaan Panjalu yang pantang menyerah! Jangan harap akan dapat menangkap kami berdua sebelum pecah dadaku. Minggir!"

   Tiba-tiba Tejolaksono menerjang maju, tangan kanannya menyambar ke depan karena ksatria sakti ini telah mempergunakan Aji Bojro Dahono untuk membuka jalan.

   Ki Patih Kalanardomo dan Mayangkurdo adalah dua orang tokoh sakti di Blambangan, dan mereka sudah mengerahkan kekebalan untuk menahan pukulan jarak jauh ini, namun tetap saja mereka terdorong roboh ke belakang, terjengkang dan menabrak Klabangkoro dan Klabangmuko!

   Ributlah keadaan di pintu itu dan Tejolaksono mempergunakan kesempatan ini untuk melesat keluar melalui lubang jendela di mana tadi tubuh Sindupati terlempar. Di luar jendela, tampak Sindupati yang hanya mengenakan sebuah celana hitam sampai ke lutut, berdiri dan mencak-mencak sambil berteriak-teriak,

   "Tangkap.... Tangkap!"

   Akan tetapi dia sendiri lari mundur saking gentar menghadapi Tejolaksono. Ksatria ini tidak memperdulikannya, terus saja melesat ke depan lari keluar dari pintu samping. Namun di sini ia tertahan pula oleh barisan pengawal yang sudah menghujankan tombak dan gobok ke arah tubuhnya

   Tejolaksono menangkis dan merampas sebatang golok. Diputarnya gobok ini dan terdengarlah angin bersiutan, goloknya berdering aneh dan yang tampak hanya segulung sinar putih yang menyelimuti tubuhnya dan tubuh Endang Patibroto.

   "Trang-trang-cring...!!! "

   Beberapa batang tombak dan golok lawan patah-patah. Mereka mundur dan Tejolaksono maju terus sambil memutar golok, mainkan ilmu goloknya yang dahulu ia pelajari dari Ki Tejoranu, pertapa perantau ahli golok. Itulah Ilmu Golok Lebah Putih yang mengeluarkan suara mengaung seperti suara serombongan lemah mengamuk keluar dari sarang mereka yang terganggu.

   Senjata-senjata lawan beterbangan, terdengar jerit kesakitan dan darah muncrat dari lengan yang tertabas putus atau dari pundak yang terluka.

   Sebentar saja ujung golok di tangan kanan Tejolaksono telah menjadi merah oleh darah musuh. Ia mengamuk terus sambil bergerak maju sampai akhirnya ia tiba di pekarangan depan di mana musuh lebih banyak lagi mengurungnya.

   Kini ia dihadapi oleh para senopati yang dipimpin oleh Ki Putih Kalanarmodo. Terpaksa Tejolaksono tidak dapat melarikan diri dan hanya rnemutar golok untuk melindungi tubuhnya dan tubuh Endang Patibroto. Ah, kalau saja Endang tidak menjadi korban racun, mereka berdua tentu akan dapat membuka jalan darah dan menerobos keluar, pikir Tejolaksono dengan menyesal.

   Dengan adanya Endang Patibroto di sampingnya, mereka akan dapat mengamuk dan mengatasi pengeroyokan sekian banyaknya lawan.

   "Joko Wandiro! "

   Bisikan lemah di dekat telinganya membuat ia berdebar. Endang Patibroto telah sadar!

   Biarpun masih lemas dan lemah, namun jelas sudah ingat dan buktinya dapat mengenalnya!.

   "Jangan khawatir, Endang, aku melindungimu!"

   Bisiknya kembali dan "trangg!"

   Ia membuat dua golok di tangan Klabangkoro dan Klabangmuko patah sekaligus! Dua orang kakak beradik raksasa ini menyumpah-nyumpah karena telapak tangan mereka lecet-lecet.

   Cepat mereka telah menyambar lain golok dari tangan anak buah mereka. Sementara itu, lain-lain senopati sudah menyerbu dari sekeliling Tejolaksono yang kembali hams memutar golok dengan cepat dan kuat.

   Ia kini mengambil sikap bertahan sambil memasang mata mencari bagian yang paling lemah untuk dapat menerobos keluar. Ia pikir bahwa dalam keadaan terkurung ini, sementara ia masih dapat bertahan, karena kalau tidak terkurung, musuh dapat menghujankan anak panah dan ini berbahaya.

   Akan tetapi kalau terus mempertahankan diri terhadap kepungan yang demiklan ketatnya, sampai berapa lama ia dapat bertahan? Andaikata pengeroyokan itu terjadi di malam hari, ia masih mempunyai banyak kesempatan meloloskan diri. Akan tetapi pada siang hari!.

   "Joko Wandiro , keteranganmu tadi , bagaimana itu Aku tidak mengerti "

   Kembali terdengar bisikan suara Endang Patibroto yang kini mulai mengangkat muka dan lengannya tidak lemas lagi melainkan kini dapat merangkul leher menekan pundaknya.

   Sebelum menjawab, Tejolaksono mainkan Ilmu Golok Lebah Putih dengan cepat dan mainkan jurus-jurus pertahanan sehingga kini sinar golok putih bergulung"gulung membungkus tubuh mereka berdua.

   Jangankan hanya hujan senjata lawan, andaikata ada hujan air yang deras sekalipun tubuh mereka takkan menjadi basah! Setelah yakin bahwa pertahanannya cukup kuat dan untuk sementara ia tidak akan dapat terancam, Adipati Tejolaksono lalu membagi perhatiannya kepada Endang Patibroto, lalu berbislk menjawab.

   "Aku datang ke Blambangan bukan untuk menangkaprnu, Endang. Engkau, juga Panjalu dan Jenggala, semua telah tertipu oleh Sindupati. Wiku Kalawisesa adalah kaki tangan mereka dan kau sengaja diadu domba. Darmokusurno tidak berdosa, maka penyerbuan ke sana tentu saja menimbulkan salah faham. Semua adalah hasil siasat Sindupati yang menjadi utusan pemerintah Blambangan. Sadarlah kau hampir saja menjadi korban....!"

   "Ah.. aku.. aku mengapa tadi... Sindupati.. ah, apa yang terjadi 7"

   Suara ini bercampur isak.

   "Si keparat itu harnpir saja mencemarkanmu, hampir memperkosamu, Endang! Kau telah diracun sehingga mabuk dan tidak wajar, tidak sadar Sindupati adalah kaki tangan Blambangan yang mengatur semua siasat. Dialah musuh besar kita! "

   Endang Patibroto mengeluh.

   "Aahhhh. madu itu. ahhh.. kakang Sindupati. dia. dia!"

   Kembali Endang Patibroto terisak, agaknya pikirannya yang mulai sadar teringat akan segala peristiwa yang terbayang dan saling muncul dalam benaknya.

   "Tenanglah, Endang. Kau tidak apa-apa. Belum terlambat. Nyaris.. ah, Dewata. masih melindungimu.!"

   "Trang-trang-cring.

   "

   Oleh percakapan itu, perhatian Tejolaksono terpecah dan hampir saja ia menjadi korban ketika senjata di tangan Ki Patih Kalanarmodo,Mayangkurdo dan Klabangkoro berhasil menerobos memasuki garis pertahanan gulungan sinar goloknya.

   "Joko Wandiro... kau lepaskan aku... kau lepaskan, akan kuhancurkan kepalas mereka ".

   Berdebar jantung Adipati Tejolaksono. Suara Endang Patibroto itu! Itukah suara Endang Patibroto yang dahulu! Penuh semangat, penuh keberanian, seperti suara seekor harimau betina.

   Endang Patibroto sudah sadar sepenuhnya! Dan ini merupakan cahaya yang membuka harapan baru untuk kebebasan.

   "Tapi, kau masih lemah.! '

   "Tidak! Tidak, lebih baik kita berdua mati dalam perlawanan daripada aku mati memberatkan engkau seorang diri menghadapi mereka. Turunkan aku, Joko Wandiro!"

   Lengan kiri Tejolaksono yang memeluk kedua paha wanita sakti itu dapat merasa betapa di balik kain yang membungkus paha, di balik kulit paha yang halus itu kini terasa bergerak-gerak penuh tenaga sakti, ia girang sekali karena ini merupakan tanda bahwa Endang Patibroto tidak lagi selemah tadi.

   Ia segera menurunkan tubuh itu, melepaskan pelukannya, akan tetapi masih menjaga dan waspada dengan permainan goloknya agar dapat melindungi tubuh Endang Patibroto.

   Kedua kaki Endang Patibroto masih menggigil, kepalanya masih agak pening, tubuhnya masih panas terpengaruh racun perangsang nafsu. Akan tetapi begitu telapak kakinya menginjak tanah, tubuhnya membalik dan kedua tangannya bergerak menyambar.

   "Desss! Prakkkk!! "

   Dua orang pengeroyok yang berada di belakang Tejolaksono roboh dengan dada remuk dan kepala pecah terkena sambaran jari tangan Endang Patibroto yang memukul dengan Aji Pethit Nogo!

   "Bagus, Endang! Mari kita hajar mereka ini!"

   Seru Tejolaksono gembira sekali dan ia tidak mau kalah, sekali bergerak, tangan kirinya menghantam roboh seorang lawan dan goloknya membabat ke depan mengenai paha kiri Klabangmuko yang memekik dan roboh dengan paha robek. Ia cepat ditolong anak buahnya dan dibawa mundur.

   "Mari, Joko Wandiro. Mari kita basmi orang-orang Blambangan!"

   Kata pula Endang Patibroto yang sudah berhasil merobohkan seorang lawan sambil merampas sebatang pedang, lalu mengamuk. Tubuhya masih lemah, kepalanya masih pening, namun para pengeroyok itu bukanlah tandingan wanita sakti ini.

   Demikian girangnya hati Tejolaksono sehingga ia kembali mengeluarkan pekik dahsyat Dirodo Meto lalu bersumbar.

   "Hayoh orang-orang Blambangan! Babo babo! Inilah Endang Patibroto dan Joko Wandiro, keturunan orang-orang Mataram! Keroyoklah, kerahkan seluruh perajurit Blambangan!!"

   Hebat sekali amukan Tejolaksono dan Endang Patibroto. Bertumpuk-tumpuk mayat para pengeroyok, bergelimpangan dan kini kedua orang yang perkasa itu telah keluar dari pekarangan, sampai di jalan-jalan akan tetapi selalu dikeroyok seperti dua ekor jengkerik dikeroyok ribuan semut! Bukan hanya puluhan, ada ratusan orang pengeroyok roboh tewas atau terluka parah.

   Sudah lima kali Tejolaksono berganti golok yang sudah rompal, demikian dengan Endang Patibroto. Namun, Endang Patibroto masih belum sehat benar.

   Pengaruh racun masih amat mengganggunya, membuat darahnya panas bergolak, kepalanya pening, matanya mengantuk! Dan pengeroyokpun amatlah banyaknya, ada ribuan orang banyaknya! Mulailah kedua orang gagah ini terdesak. Tejolaksono boleh jadi gagah perkasa, sakti mandraguna, namun iapun hanya seorang manusia dari darah dan daging. Ia mulai lelah.

   "Joko Wandiro.. mari kita melarikan diri.. aku.. aku.. ah, panas sekali tubuhku.. pening kepalaku "

   Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Biarpun berkata demikian, namun seorang pengeroyok yang terlalu dekat terbelah dadanya oleh pedang di tangan wanita sakti ini!

   "Kurungan terlalu rapat.. tak mungin lari.. , mari kita menyerbu ke istana saja, Endang.."

   Tejolaksono menubruk maju merobohkan dua orang pengeroyok.

   "Ke.. istana....?? "

   "Ya, kita serbu istana dan tawan adipati, baru ada harapan kita selamat. Hayolah..!!"

   Endang Patibroto mengerti apa yang dimaksudkan Tejolaksono. Memang melihat banyaknya pengeroyok, kiranya tak akan mudah meloloskan diri, apalagi karena dia sendiri masih lemah dan mabuk.

   Dan kalau mereka berhasil menawan Adipati Menak Linggo, mereka dapat memaksa adipati itu membebaskan mereka! Endang Patibroto lalu mengerahkan tenaga, menahan kepeningan kepalanya lalu mengamuk di samping Tejolaksono.

   Amukan dua orang sakti ini membuat para pengeroyok terdesak mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tejolaksono untuk menyambar tangan Endang Patibroto, diajaknya meloncat tinggi melampaui kepala para pengeroyok naik ke atas atap.

   "Kejar..!!! "

   "Siap barisan panah..!!!"

   Tejolaksono dan Endang Patibroto memutar cepat pedang dan golok rampasan mereka ketika mendengar bersiutnya banyak anak panah menyambar mereka.

   Anak"anak panah itu runtuh semua ke bawah atap. Akan tetapi para pengeroyok itu sudah mengejar, dan ke mana pun juga dua orang saki itu melompat dan lari, mereka selalu dikurung dari bawah dan dihujani anak panah. Tejolaksono dan Endang Patibroto lari terus sampai tiba di atas atap istana. Hari telah mulai menjadi senja.

   Setengah hari mereka tadi bertanding menghadapi keroyokan ratusan orang perajurit itu.

   "Mari kita turun!"

   Kata Tejolaksono. Mereka meloncat turun dan kembali para pengawal mengeroyok mereka sambil berteriak-teriak. Dua orang ini mengamuk lagi, sambil mencari rt.4 kesempatan untuk menyerbu ke dalam istana.

   Tiba-tiba terdengar sambaran anak panak yang banyak sekali. Anak-anak panah ini berbeda dengan yang tadi, menyambarnya dengan kecepatan yang luar biasa tanda bahwa yang melepaskan adalah seorang ahli.

   Dan banyaknya tentulah banyak orang pula yang melepaskan anak-anak panah itu.

   Endang Patibroto dan Tejolaksono cepat memutar senjata menangkis, dan terdengar jerit-jerit mengerikan ketika belasan melihat orang perajurit pengeroyok menjadi korban anak-anak panah ini. Akan tetapi anak-anak panah itu meluncur terus sebagai hujan.

   Endang Patibroto menjerit lirih. Pahanya terkena anak panah. Karena ia pening dan lelah, dan karena anak-anak panah yang menyambar itu amat kuat dan cepat, akhirnya ia termakan oleh anak panah pada paha kirinya, jauh di atas dekat pangkal pahanya.

   Ia terhuyung-huyung dan Tejolaksono cepat meloncat dekat dan memutar golok melindungi tubuh Endang Patibroto.

   "Kuatkan tubuhmu hayo kita lari ke dalam!!"

   Tejolaksono membiarkan Endang Patibroto lari lebih dulu, sedangkan ia melindungi dari belakang dengan putaran golok. Kiranya pihak lawan telah menggunakan ahli panah yang luar biasa dan bahkan mereka tidak segan-segan mengorbankan belasan orang perajurit menjadi korban anak panah mereka sendiri.

   Endang Patibroto berhasil memasuki gerbang pendopo dan pada saat Tejolaksono hendak menyelinap masuk, punggungnya terasa nyeri sekali. Kiranya sebatang anak panah telah menancap di punggungnya! la mengerahkan hawa sakti di tubuh menahan sakit dan alangkah kagetnya ketika ia merasa betapa bagian yang terkena anak panah itu panas dan gatal-gatal tanda bahwa anak panah itu ujungnya diberi racun!.

   "Cepat! Kita masuk ke dalam, harus tangkap adipati sekarang juga!!"

   Katanya tergesa-gesa.

   Maklumlah ia bahwa setelah kini dia dan Endang Patibroto terluka, dan anak panah itu mengandung racun pula, kalau mereka tidak lekas-lekas dapat menawan sang adipati, tentu akan celaka!

   Beberapa orang pengawal istana yang menghadang mereka, dapat dengan mudah mereka robohkan. Kemudian mereka terus lari memasuki istana, mencari sang adipati di dalam kamarnya. Endang Patibroto yang terpincang"pincang menjadi petunjuk jalan.

   Tejolaksono melindungi dari belakang. Setelah masuk ke dalam istana mereka aman dari serangan anak panah. Akan tetapi sunyi sekali di dalam istana itu. Bahkan seorangpun abdi dalem tiada tampak. Yang tampak hanya beberapa orang pengawal istana yang kadang-kadang menyambut mereka namun dengan mudah mereka robohkan.

   Tiba-tiba terdengar suara ketawa terbahak-bahak. Suara ketawa Sang Adipati Menak Linggo!

   Girang sekali hati Endang Patibroto dan Tejolaksono. Suara itu keluar dari sebuah kamar yang tertutup pintunya. Setahu Endang Patibroto, kamar ini bukan kamar tidur, bukan pula kamar sidang, melainkan kamar belakang.

   Tejolaksono lalu menghampiri pintu kamar dan menendang daun pintunya yang seketika pecah berantakan. Tampaklah kini di sudut kamar itu, sebelah dalam, Adipati Menak Linggo duduk di kursi gading, memangku seorang selir yang muda dan cantik, dan di belakangnya berdiri pula Raden Sindupati, Ki Patih Kalanarmodo, dan senopati Mayangkurdo yang kesemuanya memegang senjata tajam di tangan!.

   Keadaan dua orang sakti ini sesungguhnya sudah payah. Keringat membasahi seluruh tubuh dan mereka Telah Lebih-lebih Endang Patibroto yang masih berada dalam pengaruh racun perangsang nafsu.

   Kini anak panah beracun pula menancap di paha, belum dicabutnya. juga anak panah yang menancap di punggung Tejolaksono belum tercabut. Namun dua orang sakti ini tidak menjadi gentar, bahkan kini timbul harapan baru ketika mereka melihat Adipati Menak Linggo.

   Akan tetapi, Endang Patibroto yang melihat Raden Sindupati di situ, sama sekali tidak perduli lagi akan sang adipati. Seluruh perhatiannya tertuju kepada Sindupati. Ia memandang dengan kebencian dan kemarahan yang meluap-luap, seolah-olah hendak ditelannya hidup-hidup senopati muda itu yang telah mempermainkannya, betapa ia telah berbaik dengan senopati itu, betapa ia telah menganggapnya sebagai seorang sahabat baik, betapa ia hampir saja ternoda, diperkosa oleh Sindupati! Saking marahnya, Endang Patibroto sampai menggigil tubuhnya dan tidak dapat mengeluarkan kata-kata.

   "Huah-ha-ha-ha! Joko Wandiro dan Endang Patibroto. Dua orang yang amat hebat!"

   Adipati Menak Linggo tertawa bergelak.

   "Akan tetapi akan menemui ajal di Blambangan kecuali kalau kalian suka menakluk!"

   Endang Patibroto mengeluarkan lengking mengerikan disusul bentakannya,

   "Sindupati ,jahanam keji!!"

   Tubuhnya sudah menerjang:masuk ke dalam kamar itu.

   "Endang, hati-hati! "

   Tejolaksono terpaksa menerjang masuk pula untuk melindungi temannya. Tadinya ia menaruh curiga, akan tetapi melihat Endang Patibroto sudah melompat masuk, ia tentu saja tidak mau membiarkan temannya itu terancam bahaya.

   Begitu kaki kedua orang sakti yang melompat ini menyentuh lantai "kraaaaakkkk!!"

   Lantai itu terbuka ke bawah dan tanpa dapat dicegah lagi tubuh kedua orang ini terjun ke dalam lubang.

   Suara ketawa Sang Adipati Menak Linggo menggema mengikuti jatuhnya dua orang itu!.

   Tejolaksono cepat meraih tangan Endang Patibroto dan dengan menggunakan Aji Bayu Sakti, ia dapat menahan luncuran tubuh sehingga ketika kaki mereka tiba di dasar sumur, tidaklah terbanting keras.

   "Ah.. keparat.. kita tertipu, Joko Wandiro.!! "

   Endang Patibroto mengeluh.

   "Kau duduklah istirahat, Endang. Pahamu terluka dan kalau aku tidak keliru sangka, tentu anak panah itu beracun, seperti yang menancap di punggungku. Paling perlu kita harus mencegah menjalarnya racun. Bagaimana rasanya?"

   "Memang beracun. Panas dan gatal-gatal,"

   Jawab Endang Patibroto sambil menjatuhkan diri duduk di lantai sumur itu dan bersandar pada dinding.

   Ternyata sumur ini adalah sumur buatan manusia, dindingnya dari batu yang amat keras, lantainyapun dilapis besi sehingga tidak mungkin menggali terowongan. Tempatnya cukup luas, segi empat dan tidak kurang dari lima meter panjangnya. Keadaan di situ remang-remang, mendapat sinar dari atas karena setelah mereka termasuk perangkap, lubang sumur di atas itu dibuka terus dan dijaga kuat.

   "Endang Patibroto dalam keadaan seperti ini,kau maafkan aku, ya? Tiada jalan lain untuk mengatasi racun anak panah kecuali menghisap racunnya keluar. Dapatkah kau mengisap luka anak panah yang menancap di pahamu?"

   Endang Patibroto tidak menjawab, lalu mengerahkan tenaga mencabut keluar anak panah yang menancap di pahanya. Darah yang menghitam akan tetapi hanya sedikit sekali, mengalir keluar.

   Karena memang pakaiannya tadi terobek oleh Sindupati, maka dengan mudah ia menyingkap bagian paha yang terluka itu, lalu ia menundukkan muka ke arah paha sambil mengangkat kakinya.

   Namun, betapapun ia membungkuk, tak mungkin mulutnya mencapai paha yang terluka. Mulutnya hanya dapat mencapai paha di atas lutut saja, sedangkan yang terluka adalah dekat pangkal paha!

   Adipati Tejolaksono dalam keadaan remang-remang itu hanya melihat saja dan merasa kasihan. Ia sudah memeriksa keadaan ruangan ini, mendapat kenyataan bahwa tidak ada jalan keluar bagi mereka, kecuali melalui lubang yang berada di atas itu, yang tingginya tidak kurang dari lima belas meter! Ruangan di bawah tanah yang menjadi penjara mereka ini dilapis besi semua! Kini ia mendekati Endang Patibroto dan berkata,

   "Endang Patibroto, kalau tidak dikeluarkan racun itu akan berbahaya. Bolehkah aku membantumu?"

   Ia ragu-ragu karena tempat yang terkena adalah paha, tempat yang tentu saja merupakan bagian terlarang untuk disentuh orang apa lagi laki-laki!.

   Kesuraman tempat itu menyembunyikan wama merah yang menjalar di seluruh muka Endang Patibroto, sampai telinga dan lehernya. Ia menunduk dan tidak menjawab. Kepalanya masih pening, dadanya panas sekali dan ia diam tak bergerak seperti arca, tidak kuasa menjawab.

   Tejolaksono dapat memahami perasaan Endang Patibroto, maka dengan hati-hati ia mendekati, duduk dan berkata perlahan,

   "Sekali lagi maafkan aku, Endang. Dalam keadaan seperti ini, segala perasaan sungkan harus ditindas. Yang terpenting adalah menyelamatkan diri dari bahaya racun yang mengancam kita, baru kita mencari jalan untuk berusaha keluar dari sini. Bolehkan aku membantu mengeluarkan racun itu?"

   Endang Patibroto masih menunduk dan hanya dapat mengangguk. Tejolaksono lalu membungkuk dan tanpa ragu-ragu menempelkan mulutnya pada paha yang berkulit halus, putih, dan panas itu.

   Pendekar sakti ini menggunakan seluruh kekuatan batinnya untuk menutup semua panca indra, terutama sekali menutup perasaannya sehingga yang terasa olehnya hanyalah luka yang harus ia hisap dan keluarkan darahnya yang telah keracunan. la menahan napas dan menggunakan tenaganya menghisap sampai mulutnya penuh dengan darah yang memancar keluar dari lubang luka, untuk kemudian diludahkan dan dihisap lagi.

   

Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini