Si Rajawali Sakti 12
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 12
Tiba-tiba dalam kesunyian malam itu, dengar suara anjing menjerit-jerit.
"Kainggg! Kainggggg!"
Lalu suara itu berhenti.
Nyonya Song keluar dari kamarnya, berlari menghampiri puterinya.
"Kau dengar itu, Kui Lin? Itu suara Si Putih! Ia menjerit-jerit lalu berhenti jangan-jangan............"
"Tenanglah, Ibu. Mungkin ia tidak apa-apa, kalau Ibu merasa sangsi, mari kita lihat bersama!"
Dengan tabah Kui Lin lalu keluar, diikuti oleh ibunya, menuju ke pekarangan belakang dari mana suara anjing tadi terdengar. Ia membawa sebuah teng lampu gantung. Setelah tiba di pekarangan belakang, tiba-tiba mereka mendengar suara ayam-ayam berteriak, berkokoh riuh lalu berhenti dan sepi kembali. Cepat mereka menuju ke kandang dan penerangan lampu teng di tangan Kui Lin membuat mereka dapat melihat Si Putih, anjing mereka, sudah menggeletak berlumuran darah yang keluar dari lehernya yang terluka lebar, juga tujuh ekor ayam peliharaan mereka mati semua dengan leher hampir putus.
"Jahanam ...?"
Kui Lin memaki geram. Ibunya memegang lengan puterinya dengan jari tangan gemetar, lalu menuding ke dalam kandang. Ketika Kui Lin melihatnya, ternyata dua ekor kucing kesayangan ibunya juga menggeletak mati dengan leher terluka. Agaknya ancaman itu bukan gertakan kosong belaka! Kini semua binatang peliharaan mereka telah tewas seperti bunyi ancaman dalam surat itu!
"Kui Lin, mari kita masuk....."
Nyonya Sang berbisik dengan suara gemetar Kui Lin mengangguk dan gadis ini menahan kemarahannya. Kalau tidak bersama ibunya, ingin rasanya ia memaki maki dan menantang musuh-musuh yang membunuhi ayam, anjing dan kucing itu agar keluar dan melawannya! Akan tetap ia tidak ingin ibunya menjadi semakin khawatir, maka ia menuntun ibunya kembali ke pintu belakang rumah mereka. Baru saja mereka melangkah pintu belakang, tiba-tiba terdengar jeritan-jeritan dari dalam rumah.
"Celaka! Pembantu-pembantu kita.......!"
Nyonya Song tiba-tiba mendapatkan keberaniannya dan ia melompat ke dalam rumah dan lari ke arah kamar dua orang pelayan mereka, bersama Kui Lin. Ketika mereka membuka daun pintu kamar itu, mereka melihat dua orang pembantu mereka, laki-laki dan wanita berusia sekitar lima puluh tahun itu, telah menggeletak di lantai kamar dengan leher terkoyak dan sudah tewas. Nyonya Song menjerit, menubruk dan menangis. Akan tetapi dengan sigap Kui Lin memegang lengan ibunya dan ditariknya ibunya ke dalam kamar ibunya.
"Tenang, Ibu. Ibu di sini saja, aku akan mencari dan membasmi mereka!"
Setelah berkata demikian, ia meninggalkan kamar ibunya dan melompat keluar. Setibanya di depan rumah yang mendapat penerangan lampu dari serambi, ia berteriak sambil mengerahkan tenaga saktinya sehingga suaranya melengking nyaring.
"Jahanam keparat busuk tak tahu malu! Jangan bertindak curang! Kalau memang kalian ada keberanian, mari kita bertempur di sini sampai seribu jurus!"
Kini tampak tiga sosok bayang berkelebat dan tiga orang berdiri depannya. Kui Lin mengenal dua di antara mereka, yang bukan lain adalah Yong Ti dan Oh Kun, dua orang dari Tiat-pi Sam-wan, sedangkan yang seorang lagi ia tidak kenal. Dia ini seorang kakek bertubuh tinggi besar, mukanya terdapat codet (bekas luka) melintang dari pipi ke pipi sehingga wajahnya tampak menyeramkan sekali. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Selain tiga orang itu, kini muncul pula belasan orang anak buah mereka mengepung pekarangan itu. Melihat mereka, Kui Lin menjadi marah sekali dan ia menudingkan pedangnya ke arah tiga orang itu.
"Huh, kiranya jahanam-jahanam busuk Tiat-pi Sam-wan, monyet-monyet curang tak tahu malu. Kalian berdua datang untuk menyusul saudara kalian yang mampus di tanganku? Baik, aku aku. mengirim kalian ke neraka untuk menemani adik kalian!"
"He-he-heh! Yong Ti dan Oh Kun, inikah gadis yang telah membunuh Joa cu? Wah, cantik manis!"
Tiba-tiba saja Kui Lin yang tak dapat menahan kemarahannya sudah menerjang ke arah kakek itu sambil membentak.
"Kakek mesum mau mampus!"
Pedangnya menyambar seperti kilat. Gerakannya amat cepat sehingga kakek yang tadinya memandang rendah itu terkejut juga.
(Lanjut ke Jilid 12)
Si Rajawali Sakti (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 12
Kakek itu adalah guru dari Tiat-pi Sam-wan yang marah ketika dilapori dua orang muridnya bahwa muridnya yang termuda, Joa Gu, tewas di tangan seorang wanita. Maka dia lalu ikut dua orang muridnya untuk membalas dendam. Melihat musuhnya hanya seorang gadis muda remaja, dia memandang rendah. Akan tetapi serangan gadis itu benar-benar mengejutkannya. Dia melompat jauh ke belakang lalu tiba-tiba dia mencabut pedang dari punggungnya dan melontarkannya ke atas. Ternyata itu adalah sebatang hui-kiam (pedang terbang)! Pedang itu meluncur seperti sinar kebiruan ke arah Kui Lin. Gadis perkasa menangkis dengan pedang tipisnya.
"Tranggggg!"
Pedang terbang terpental dan membalik ke arah pemilik nya yang menerimanya dengan tangan kanan. Kui Lin sudah menerjang lagi dan kini ia disambut bukan hanya oleh kakek itu, akan tetapi juga oleh Yong Ti dan Oh Kun yang bertekad untuk membalas kematian sute mereka. Segera setelah bertanding melawan tiga orang itu, K Lin merasa kerepotan dan terdesak. Kalau hanya melawan pengeroyokan Yong Ti dan Oh Kun berdua, kiranya ia masih sanggup untuk menandingi mereka. Akan tetapi kakek tinggi besar bermuka bopeng itu ternyata lihai sekali dengan permainan pedangnya. Dia berjuluk Cui beng Lo-kui (Setan Tua Pengejar Arwah) guru dari Tiat-pi Sam-wan.
Tentu saja ilmu kepandaiannya tinggi. Melawan kakek itu seorang saja akan sukar bagi Ku Lin untuk dapat menang. Apalagi kini dikeroyok tiga. Ia segera terdesak hebat. Akan tetapi dara yang gagah perkasa itu sama sekali tidak menjadi gentar. Yang membuat ia gelisah adalah karena ia teringat ibunya yang berada seorang diri dalam kamarnya. Akan tetapi kalau hanya para anak buah penjahat saja yang nengganggu, ia yakin ibunya dapat melindungi diri sendiri dengan baik. Ia memang terdesak hebat, terutama oleh permainan pedang kakek bermuka codet itu. Akan tetapi ia tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan mengkhawatirkan ibunya.
Tiba-tiba ia mendengar suara burung rajawali di atas. Mendengar ini, jantung Kui Lin berdebar karena girang.
"Si Han Lin, tolong kami.....!!"
Sesosok bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu Han Lin telah berada di situ. Dengan Pek-sim-kiam di tangan dia cepat mengelebatkan pedangnya yang berubah menjadi sinar putih memanjang yang menangkis senjata-senjata di tangan tiga orang pengeroyok Kui Lin.
"Trang-trang-cringgg!"
Berturut-turut tombak baja di tangan Yong Ti, siang-to di tangan Oh Kun, dan pedang di tangan Cui-beng Lo-kui, terpental oleh tangkisan Pek-sim-kiam itu. Pek-sim-kiam (Pedang Hati Putih) milik Han Lu adalah sebatang pedang pusaka yang memiliki daya amat kuat untuk melawan atau menangkis senjata, lawan. Namanya juga Pedang Hati Putih. Pedang itu diberikan Thai Kek Siansu kepada Han Lin dengan pesan bahwa Pek-sim-kiam bukan pedang untuk membunuh orang, melainkan hanya untuk melindungi diri dan menangkis senjata lawan yang menyerang. Kini belasan orang anak buah penjahat itu sudah maju pula mengeroyok dengan golok mereka setelah melihat pemuda itu membantu Kui Lin.
"Han Lin, ibuku berada sendirian di dalam "
Kata Kui Lin dan mendengar ini, Han Lin cepat mendesak maju. Dengan dua kali serangan, tangan kiri menampar dan kaki menendang, dia dapat membuat Yong Ti dan Oh Kun terpelanting roboh dan tak dapat segera bangkit kembali. Melihat ini, Cui-beng Lo-kui marah sekali dan sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau marah, dia menyimpan pedangnya, merendahkan tubuh hampir berjongkok dan mendorongkan kedua tangannya ke arah Kui Lin. Angin pukulan yang dahsyat menyambar.
"Kui Lin, minggir!"
Han Lin mendorong gadis itu ke samping lalu cepat dia menyambut serangan pukulan jarak jauh yang dahsyat itu.
"Wuuuuuuttttt bresssssl!"
Tubuh kakek itu terpental dan jatuh bergulingan seolah dia tadi memukul sebuah benda lunak yang kenyal seperti karet sehingga pukulannya membalik dan membuat dia terpental. Dia maklum bahwa dia menghadapi seorang lawan tangguh, maka setelah bergulingan dia lalu bangkit dan melompat ke atas genteng, lenyap dalam kegelapan malam.
"Han Lin, tolong ibu dalam kamarnya!"
Kata Kui Lin. Mendengar ini, Han Lin cepat berkelebat memasuki rumah itu di mana dia melihat seorang wanita setengah tua dengan pedang di tangan menghadapi pengeroyokan tiga orang anak buah penjahat. Han Lin merobohkan tiga orang itu dengan tendangan sehingga Nyonya Song terbebas.
Sementara itu, begitu melihat Han Lin berkelebat memasuki rumah, Kui Lin yang tidak lagi mengkhawatirkan ibunya cepat menerjang ke arah Yong Ti dan Oh Kun yang baru saja merangkak hendak bangkit berdiri. Sia-sia saja orang itu hendak menghindar karena demikian cepatnya pedang tipis di tangan Kui Lin berkelebat dan dua orang itupun roboh dengan leher tersayat sehingga tewas seketika! Kui Lin lalu mengamuk dan tiga belas orang yang berusaha mengeroyoknya, satu demi satu dibabatnnya roboh! Mengerikan sekali melihat gadis ini mengamuk. Banjir darah terjadi pekarangan itu dan tidak ada seorangpun anak buah gerombolan itu dapat menyelamatkan diri. Hanya Cui-beng Lo kui seorang diri saja yang dapat lolos dari maut!
"Kui Lin..."
Nyonya Song berseru dan ngeri melihat puterinya berdiri dengan pedang di tangan sedangkan di sekelilingnya, belasan mayat berseraka mandi darah! Han Lin menggeleng-gelengkan kepalanya melihat keganasan gadis itu. Kini banyak orang datang memasuki pekarangan sambil membawa obor. Mereka adalah para tetangga yang berdatangan karena tertarik oleh keributan di pekarangan rumah Nyonya Song. Semua orang merasa ngeri melihat mayat-mayat berserakan seperti itu. Nyonya Song lalu minta tolong para tetangga untuk melaporkan kepada komandan pasukan keamanan di Cin-an tentang serbuan gerombolan penjahat yang telah dibasmi puterinya.
Tak lama kemudian pasukan keamanan datang dan sang komandan yang sudah mengenal baik Nyonya Song, segera mendengar laporan Nyonya Song. Dia lalu memerintahkan para perajurit anak buah pasukannya untuk menyingkirkan semua mayat para penjahat. Banyak pula tetangga yang ikut membersihkan pekarangan itu. Mereka juga membantu menyediakan dua buah peti mati untuk dua orang pembantu Nyonya Song. Tiga orang anak buah gerombolan yang dirobohkan Han Lin menjadi tawanan pasukan keamanan. Nasib mereka masih lebih daripada teman-teman mereka yang tewas di tangan Kui Lin.
Sementara itu, Nyonya Song, Kui Lin dan Han Lin berada di ruangan dalam rumah itu. Ketika Nyonya Song mendengar pengakuan Kui Lin bahwa ketika ia bertemu dengan Tiat-pi Sam-wan ia ditawan, ia juga ditolong oleh pemuda yang malam ini menolong mereka. Nyonya Song mengucapkan terima kasih dan mengundang Han Lin masuk ke rumah. Han Lin dan Kui Lin duduk di ruanga dalam sedangkan Nyonya Song sibuk dibantu para tetangga mengurus jenazah dua orang pembantunya yang setia. Dua orang pembantu itu sudah dianggapnya sebagai keluarga sendiri. Merekalah yang menemaninya sejak suaminya meninggal dan ketika Kui Lin merantau meninggalkan rumah, mereka pula yang menemaninya. Maka, tentu saja Nyonya Song merasa bersedih sekali dan ia mengurus jenazah mereka seperti keluarga sendiri. Ketika berada berdua saja itulah, Han Lin tak dapat menahan diri lagi, menegur Kui Lin.
"Kui Lin, kembali engkau melakukan kekejaman dengan membunuh lawan yang sudah roboh. Mengapa sih hatimu dapat sekejam itu?"
"Apa? Kau bilang kejam? Kau kira mereka yang datang menyerbu kami itu orang-orang baik dan tidak kejam? Mereka mengirim surat ancaman untuk membunuh semua mahluk bernyawa yang berada di rumah ini! Kemudian mereka membunuh semua anjing, kucing dan ayam peliharaan ibu, bahkan membunuh pula dua orang pembantu ibu yang setia. Dan kalau engkau tidak datang membantu, sudah pasti ibu dan aku juga mereka bunuh! Aku membela diri melawan kemudian membunuh, membasmi mereka iblis-iblis berupa manusia itu dan kau bilang aku kejam?"
"Akan tetapi, Kui Lin. Kalau engkau pun melakukan pembunuhan dan pembantaian dengan kejam, lalu apa bedanya antara engkau dan Tiat-pi Sam-wan? Mereka jelas orang jahat dan kejam, lalu apakah engkau ingin menyamai mereka dan disebut kejam pula?"
"Jelas berbeda antara aku dan mereka, Han Lin! Merekalah yang melakukan perbuatan jahat, mula-mula mengganggu dan menangkap aku, kemudian malam ini mereka menyerbu hendak membunuh kami semua. Akan tetapi aku tidak pernah mengganggu mereka, aku hanya membela diri dan kalau aku membunuh mereka, aku melakukannya seperti aku membunuh sekumpulan ular berbisa yang hanya membahayakan penghidupan oraing lain. Aku bukan penjahat seperti mereka, dan aku tidak pernah mengganggu orang lain!"
Bantah Kui Lin dengan marah dan penasaran.
Han Lin juga merasa penasaran menahan diri dan tersenyum.
"Aku tahu Kui Lin. Aku tidak pernah bilang engkau jahat, namun hanya menegur karena engkau membunuh lawan yang sudah roboh tidak berdaya."
"Habis, aku harus bagaimana? Membiarkan mereka hidup agar mereka dapat terus melakukan kejahatan mereka mengganggu orang, merampok, dan menculik, melukai dan membunuh orang-orang tidak berdosa seperti dua orang pembantu kami? Begitu?"
"Kui Lin, tenanglah dan dengarkan kata-kataku. Kalau engkau terancam bahaya maut, engkau berhak membela diri dan seandainya dalam berkelahi membela diri itu engkau tidak dapat berbuat lain kecuali merobohkan penyerangmu sehingga dia tewas, hal itu masih wajar. Akan tetapi engkau membunuhi orang-orang yang sudah tidak berdaya, inilah yang kucela dan tidak semestinya dilakukan oleh seorang pendekar wanita."
"Hemm, habis apa yang harus kulakukan? Memaafkan kesalahan mereka, menolong dan mengobati mereka?"
Gadis itu bertanya dengan suara mengejek, bibirnya yang mungil merah itu cemberut dan matanya yang indah itu mengerling tajam. Ia merasa penasaran sekali. Akan tetapi dalam keadaan marah dan cemberut itu ia tampak semakin manis.
"Memang sebaiknya begitu, Kui Lin. Memaafkan dan menolong mereka merupakan pekerjaan dan sikap terpuji."
"Aku tidak ingin dipuji! Apakah manusia-manusia iblis macam mereka itu tidak sepatutnya dihukum?"
"Memang sepatutnya mereka dihukum.
"Nah, kau juga bilang mereka sepatutnya dihukum, dan aku sudah menghukumnya! Apalagi yang salah?"
Gadis itu mandang dengan penuh kemenangan menantang.
"Lalu menurutmu, apa yang harus kulakukan lagi?"
Engkau bukan pelaksana hukum, Kui Lin. Setelah engkau membela diri dan merobohkan mereka, seharusnya kau serahkan kepada yang berwenang dan berwajib. Pemerintah yang berhak menghukum orang. Ada pengadilan sebagai alat negara yang akan mengadili, bukan engkau!"
"Si-taihiap (Pendekar besar Si) berkata benar, Kui Lin!"
Tiba-tiba Nyonya Song memasuki ruangan itu.
Tadi ia mendengar ucapan terakhir Han Lin dan segera membenarkannya. Ia sendiri memang tahu bahwa puterinya memiliki watak yang galak, keras dan ganas dan hal ini merupakan warisan watak ayahnya. Song Kak dahulu juga merupakan seorang pendekar yang amat galak dan ganas terhadap para penjahat. Setiap bertemu penjahat dia tidak pernah mengenal ampun dan tentu penjahat itu dibunuhnya, sehingga selain namanya amat terkenal, juga dia amat dibenci para tokoh sesat dan akhirnya dia sendiri mati terbunuh dikeroyok banyak tokoh sesat.
"Aih, Ibu ...........! Kenapa malah Ibu berpihak kepada Han Lin?"
"Tentu saja karena Si-Taihiap ........."
"Maaf, Bibi, harap jangan menyebut saya dengan Taihiap."
Kata Han Lin sambil tersenyum ramah.
"Baiklah, Si Han Lin. Kui Lin, seperti kukatakan tadi, aku tidak berpihak kepada Han Lin, melainkan karena Han Lin memang benar. Engkau bukan algojo, Kui Lin. Lain kali, jangan menuruti kekerasan hati dan kebencianmu. Kalau engkau dapat mengalahkan penjahat, robohkan saja dan jangan bunuh, melainkan serahkan kepada yang berwajib, yang akan mengadili dan menghukumnya. Mengerti?"
Dengan alis berkerut, Song Kui Lin mengangguk. Gadis ini, betapapun liar dan galaknya, tetap saja ia amat berbakti dan taat kepada ibunya yang amat disayangnya. Setelah dua jenazah pembantu itu dimakamkan, Nyonya Song menerima kunjungan Perwira Kwa Siong. Perwira Kwa Siong ini adalah komandan pasukan keamanan kota Cin-an dan dia seorang duda karena isterinya telah meninggal dunia ketika di kota itu terjangkit wabah penyakit yang berbahaya. Perwira Kwa Siong mengenal baik Nyonya Janda Song yang tadinya menjadi sahabat baik isterinya. Setelah isterinya meninggal, Perwira Kwa banyak memberi bantuan kepada Nyonya Janda Song dan antara kedua orang ini terjalin persahabatan yang akrab.
Sebetulnya, sudah beberapa kali Perwira Kwa melamar Nyonya Song untuk menjadi isterinya, namun janda itu masih selalu minta waktu untuk mempertimbangkan, walaupun sesungguhnya ia juga suka kepada perwira yang gagah dan baik budi itu. Yang membuat hati Nyonya Song merasa ragu adalah puterinya. Ia tidak ingin Kui Lin menjadi bersedih kalau ia menjadi isteri Perwira Kwa dan untuk mengatakannya kepada puterinya, ia merasa malu. Mereka duduk menghadapi meja makan, berempat. Nyonya Song, Perwira Kwa, Kui Lin, dan Han Lin. Setelah makan, mereka membicarakan tentang penyerbuan para penjahat malam kemarin Kui Lin tidak asing dengan Perwira Kwa yang telah dikenalnya sejak ia kecil.
"Terima kasih, Paman Kwa. Engkau telah mengurus semua mayat penjahat itu, dan tidak menyalahkan aku yang telah membunuh mereka. Engkau tahu Paman, Ibuku dan Si Han Lin ini menyalahkan aku karena aku membunuh mereka"
Kata Kui Lin seolah minta kepada perwira itu untuk mendukung dan memihak padanya. Perwira Kwa tersenyum. Tentu saja dia mengenal watak gadis itu dan Nyonya Song seringkali mengeluh kepadanya tentang kekerasan watak puterinya itu.
"Kui Lin, aku tidak merasa heran akan kebencian dan keganasanmu terhadap para penjahat. Memang sudah menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang kejahatan, membela kebenaran dan keadilan. Akan tetapi, Kui Lin, membunuhi mereka bukanlah menjadi tugas kewajibanmu. Mereka itu penjahat dan sudah sepantasnya dihukum, akan tetapi pemerintah telah mengadakan peraturan untuk menghukum para penjahat. Mereka harus diadili lebih dulu, baru dipengadilan yang memutuskan hukuman apa yang pantas untuknya."
"Nah, betulkan omonganku? Engkau bukan algojo, Kui Lin!"
"Wah, Ibu dan Paman Kwa Siong selalu saling bantu. Sekarang juga bersekutu untuk melawanku!"
Tiba-tiba, melihat wajah ibunya berubah kemerahan, Kui Lin menyadari kesalahan ucapannya, menjadi gugup dan menyambung.
"Maaf, Ibu, maksudku, Paman Kwa selalu menyetujui pendapat Ibu dan sebaliknya Ibu juga mendukung pendapat Paman Kwa. Kalian berdua tampaknya begitu begitu sepaham dan cocok eh, maaf "
Kui Lin menjadi bingung sendiri karena tambahan kata-katanya itu bahkan membuat Ibunya tampak canggung dan menundukkan mukanya. Akan tetapi Perwira Kwa melihat kesempatan baik dalam suasana itu, maka dia cepat berkata.
"Begitukah pendapatmu, Kui Lin? Aku dan ibumu tampak cocok? Sekarang aku hendak membicarakan hal yang serius denganmu "
"Ciangkun (Perwira)!"
Nyonya mencela.
"Tidak mengapa, Song Hujin (Nyony Song), seyogyanya kalau urusan ini dibicarakan sekarang sehingga terdapat kepastian. Begini, Kui Lin, setelah ke dua orang pembantu ibumu tewas berarti ibumu hanya tinggal berdua denganmu dan kalau engkau pergi, ibumu hanya tinggal seorang diri. Sebetulnya, yang hendak kukatakan kepadamu ini sudah terpendam selama dua tiga tahun."
"Maaf, Paman dan Bibi, sebaiknya saya keluar dulu agar percakapan keluarga ini dapat dilakukan dengan leluasa. Saya tidak mau mengganggu"
"Tidak Han Lin. Duduk sajalah, bahkan aku memerlukan seorang teman. Anggap saja aku ini pamanmu dan engkau menemani aku yang akan bicara sejujurnya kepada Kui Lin dan ibunya."
Kata Perwira Kwa yang sudah diperkenalkan dan tahu siapa adanya pemuda berpakaian putih ini yang mendatangkan kekaguman dalam hatinya. Han Lin terpaksa duduk kembali walaupun dengan hati yang merasa canggung karena dia sudah dapat menduga apa yang akan dipercakapkan oleh perwira yang gagah itu.
"Nah, katakanlah, Paman Kwa Siong,"
Kata Kui Lin dan gadis ini pun bukan seorang bodoh. Ia sudah tahu sejak lama bahwa terdapat hubungan yang lebih daripada hubungan biasa antara ibunya dan perwira ini, walaupun pada lahirnya mereka tampak hanya sebagai sahabat baik saja, tidak lebih.
"Begini, Kui Lin. Aku ini seorang duda yang kehilangan isteri yang meninggal dunia tanpa mempunyai anak. Sedangkan ibumu juga sudah menjadi janda sejak muda sekali, mempunyai engkau sebagai anak tunggal dan engkau tentu mengetahui dan merasakan bahwa aku pun suka sekali padamu sejak kecil, sudah kuanggap sebagai anakku sendiri. Nah, selama beberapa tahun ini sudah seringkali aku mengajukan lamaran kepada ibumu agar ia suka hidup bersamaku, sebagai isteriku dan engkau menjadi anakku. Akan tetapi ibumu selalu minta waktu untuk mempertimbangkan lamaran ku itu. Aku tahu bahwa ia sulit menerimanya karena merasa tidak enak kepada mu, Kui Lin. Maka sekarang, aku mengambil keputusan untuk membicarakan hal ini denganmu. Apakah engkau keberatan dan menolak kalau ibumu menikah dengan aku dan engkau menjadi anakku?"
Kui Lin yang sudah menduga pertanyaan ini tidak menjadi terkejut, bahkan sambil cengar-cengir ia memandang ibunya Nyonya Song tentu saja menjadi malu dan salah tingkah, apalagi melihat pu-terinya cengar-cengir seperti menggodanya!
"Hush!"
Akhirnya Nyonya Song membentak dengan muka berubah seperti udang direbus dan matanya melotot kepada puterinya.
"Kenapa cengar-cengir seperti monyet? Kalau engkau tidak setuju, katakan saja jangan cengar-cengir seperti itu!"
Kini Kui Lin memandang ibunya, lalu memandang perwira itu, mukanya berseri dan ia berkata.
"Paman Kwa dan Ibu, urusan perjodohan adalah urusan antara dua orang saja, orang lain tidak berhak mencampuri. Tentu saja keputusannya terserah kepada Ibu. Kalau Ibu suka untuk menjadi Nyonya Kwa dan menerima lamaran Paman Kwa, tentu saja aku tidak akan menghalanginya. Bahkan kalau ada yang akan menghalanginya, orang itu akan kuhajar!"
"Akan tetapi, bukan itulah yang merisaukan hatiku, anakku, yang penting bagiku adalah kebahagiaanmu. Maka jawablah, apa engkau suka dan rela ibumu ini menikah lagi?"
"Ya, Kui Lin, katakanlah apakah engkau suka menjadi anakku?"
"Ibu, kalau yang menjadi suamimu dan ayahku Paman Kwa, aku suka sekali. Aku juga ingin melihat engkau berbahagia, Ibu, dan aku tahu Paman Kwa seorang yang bijaksana. Aku senang dapat menjadi anaknya."
Mendengar ini, saking lega dan bahagia rasa hatinya, Nyonya Song menutup mukanya dengan kedua tangan dan menangis.
"Ibu!"
Ia merangkul ibunya.
"Kenapa menangis?"
Suaranya mengandung ke khawatiran.
"Biarkan ibumu menangis, Kui Lin. Ia menangis karena bahagia."
Kata Perwira Kwa Siong dengan wajah berseri gembira Kui Lin yang merangkul ibunya ikut pula menangis. Dua orang wanita itu saling berangkulan sambil menangis, akan tetapi tangis bahagia.
"Si Han Lin, aku minta dengan hormat dan sangat agar engkau suka menjadi saksi pernikahan kami yang akan kami laksanakan secepatnya. Untuk sementara tinggallah di rumahku sampai pernikahan dilangsungkan."
Perwira Kwa minta kepada pemuda itu dengan sikap sungguh-sungguh sehingga sukar bagi Han Lin untuk menolaknya. Apalagi hal ini menyangkut diri Kui Lin, maka melihat gadis itu dia pun tentu saja tidak dapat menolak lagi. Apalagi menurut rencana mereka, pernikahan akan dilangsungkan secara sederhana minggu depan.
Permintaan Perwira Kwa agar Han Lin menjadi saksinya itu selain dia menaruh kepercayaan besar kepada pemuda itu. juga untuk mengimbangi keadan calon isterinya. Nyonya Song mempunyai seorang anak perempuan, maka dia mengaku Han Lin sebagai keponakan yang dianggap sebagai anak sendiri, sehingga dengan demikian keadaan mereka berimbang! Ketika hal ini dibicarakan oleh Perwira Kwa, Han Lin memandang Kui Lin dan berkata.
"Wah, kalau begitu aku mempunyai seorang adik perempuan! Mulai sekarang aku akan menyebutmu Lin-moi (Adik Lin dan karena nama akhir kita sama, engkau menyebut aku Lin-ko (Kakak Lin)!"
"Ah, mana perlu harus begitu?"
Bantah Kui Lin.
"Eh, Kui Lin, ucapan Han Lin benar"
Kata Perwira Kwa.
"Ya, Kui Lin, engkau harus menyebut Han Lin sebagai kakakmu!"
Kata pula ibunya.
"Nah, benar, bukan? Hayo, Adikku kita latihan. Sebut aku Lin-ko. Hayolah, kalau tidak latihan dan kemudian ada orang lain mendengar engkau menyebut namaku begitu saja, engkau akan dikatakan adik yang kurang ajar!"
Han Lin menggoda.
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan mulut masih cemberut, Kui Lin terpaksa berkata.
"Lin-ko....."
"Nah, sedap didengar, bukan Lin-moi?"
Mereka semua membuat persiapan perayaan pernikahan itu dengan gembira. Memang tidak besar-besaran, hanya mengundang sanak keluarga Perwira Kwa Siong dan beberapa orang teman pejabat di Cin-an saja. Semua orang memuji Perwira Kwa yang pandai memilih isteri baru, karena Nyonya Song memang terkenal sebagai seorang janda yang selain cantik dan lembut, juga terhormat dan baik budi, suka menolong orang dengan pengobatan tanpa memungut bayaran tinggi, bahkan bagi yang tidak mampu, ia menolong dengan gratis. Tiga hari setelah pernikahan dan Kui Lin bersama ibunya sudah pindah ke rumah Perwira Kwa, mengosongkan rumah lama, Kui Lin mengatakan kepada ibunya bahwa ia ingin memenuhi pesan dalam surat gurunya. Mereka lalu berunding, dihadiri pula oleh Han Lin yang seolah-olah kini benar-benar sudah dianggap
keluarga sendiri, sebagai kakak dari Kui Lin.
"Kui Lin, mengapa engkau tergesa-gesa hendak pergi lagi?"
Kata ibunya kini sebutannya bukan lagi Nyonya Song melainkan Nyonya Kwa.
"Ibu, aku harus mentaati perintah Suhu. pula memang aku harus memanfaatkan semua ilmu yang dengan susah payah sudah kupelajari dan kulatih bertahun-tahun. Apalagi sekarang hatiku dapat tenang meninggalkanmu karena di sini ada Paman..... eh, maaf, keliru lagi, ada Ayah yang melindungimu. Dengan adanya Ayah dan ratusan orang perajurit dalam pasukannya, tidak ada orang akan berani mengganggumu."
"Anakku, bukan diriku yang Ibu khawatirkan, akan tetapi keselamatanmu! Siapa tahu apa yang akan terjadi di kotaraja!"
Kata Nyonya Kwa.
"Saya kira Paman Kwa tentu lebih mengetahui akan keadaan di kota raja. Lebih baik kalau Lin-moi mengetahui lebih banyak akan keadaan di kota raja sebelum pergi ke sana."
"Ayah, ceritakanlah apa yang terjadi di sana? Kalau Suhu menyuruh aku ke sana untuk mencegah terjadinya perang saudara, tentu sedang terjadi sesuatu di sana."
Perwira Kwa Siong mengangguk-angguk.
"Sesungguhnya, dilihat dari luar, tidak terjadi apa-apa di kota raja. Sri-baginda Kaisar memerintah dengan adil dan bijaksana. Akan tetapi sebenarnya, di sebelah dalam memang terdapat hal-ha! yang mengkhawatirkan. Seperti diketahui, setelah menggantikan Dinasti Chou menjadi Dinasti Sung, Kaisar Sung Thai Cu dengan bijaksana menerima banyak pejabat tinggi dan bangsawan bekas Kerajaan Chou menjadi pejabat. Kebijaksanaan ini mempunyai segi buruknya, yaitu memberi kesempatan kepada bekas kelompok Kerajaan Chou untuk bersatu dan membuat persekongkolan. Bukan tidak mungkin di antara mereka itu banyak yang mempunyai ambisi untuk membangun kembali Kerajaan Chou dan menumbangkan Kerajaan Sung. Nah, agaknya keadaan ini yang membuat gurumu merasa khawatir dan mengutus engkau ke kota raja untuk membantu usaha para pendekar memadamkan kerusuhan atau pemberontakan sehingga tidak terjadi perang saudara."
"Akan tetapi bagaimana mungkin orang yang sudah diberi kedudukan masih ingin memberontak?"
Tanya Kui Lin penasaran.
"Hal itu tidak mengherankan, Kui Lin."
Kata Han Lin.
"Demikianlah watak manusia yang lemah dan tidak dapat menguasai nafsu-nafsunya sendiri. Mereka itu selalu membayangkan dan menginginkan yang lebih daripada apa yang dimilikinya. Ini yang membuat mereka selalu tidak puas dan ambisi mereka untuk memperoleh yang lebih tidak pernah padam, dan keinginan memperoleh apa yang mereka dambakan itu seringkali menimbulkan cara-cara yang tidak baik."
"Pendapat Han Lin ada benarnya,"
Kata Perwira Kwa.
"Akan tetapi ada pula orang yang masih setia kepada Kerajaan Chou, yang diam-diam mendendam kepada Kaisar Sung Thai Cu sebagai pendiri Dinasti Sung dan mereka setelah mendapatkan kedudukan tinggi, ingin sekali membangun kembali Kerajaan Chou. Mereka tentu terdiri dari para keluarga Kaisar Kerajaan Chou yang telah jatuh."
Si Han Lin menjadi tertarik sekali.
"Paman, kalau menurut pendapat Paman, siapakah yang sekiranya mempunyai ambisi untuk membangun kembali Kerajaan Chou itu?"
Perwira Kwa menghela napas panjang.
"Banyak sekali bekas orang Kerajaan Chou yang kini diberi kedudukan oleh Sribaginda Kaisar Sung Thai Cu. Hal ini mungkin sekali karena Sribaginda mengingat bahwa beliau juga masih seketurunan dengan keluarga Kerajaan Chou dan beliau dahulu bernama Chou Kuang Yin dan menjadi seorang panglima besar di Kerajaan Chou. Akan tetapi yang kini memiliki kedudukan paling tinggi dan juga merupakan kerabat terdekat dari mendiang Kaisar Chou Ong adalah Pangeran Chou Ba Heng yang dulu adalah keponakan mendiang Kaisar Chou Ong dan kini diberi kedudukan Penasehat Angkatan Perang oleh Sribaginda Kaisar. Dialah yang kabarnya selain seorang ahli perang dan ahli silat pandai, juga memiliki hubungan luas dengan para tokoh dunia kang-ouw. Maka, sudah sepatutnya kalau Chou Ban Heng yang kini berpangkat Jenderal itu diawasi gerak-geriknya".
Han Lin menjadi semakin tertarik.
"Ah, kalau begitu mungkin sekali akan timbul pemberontakan dan perang saudara seperti yang dikhawatirkan gurumu, Lin-moi. Aku menjadi tertarik untuk melihat keadaan di sana."
"Bagus sekali!"
Kui Lin bangkit berdiri dan melonjak kegirangan.
"Mari kau temani aku, Han Lin! Kita pergi bersama!" "Hushhh, Kui Lin. Kau menyebut apa kepada kakakmu?"
Bentak ibunya.
"Oh, ya!"
Kui Lin tertawa.
"Maaf, Lin-ko, aku lupa."
"Han Lin, kami girang sekali mendengar engkau juga hendak pergi ke kota raja. Kami titip anak kami, tolong jaga dan lindungi ia yang belum banyak pengalamannya dan terlalu keras kepala."
Kata Nyonya Kwa.
"Ahhh, ibu!"
Kui Lin merajuk manja.
"Han Lin, kalau ia menjadi liar dan tidak menurut kata-katamu, kau boleh mewakili aku untuk menjewer telinganya!"
Kata pula Nyonya Kwa.
Mereka lalu berkemas dan Perwira Kwa menitipkan sepucuk surat kepada Han Lin untuk diserahkan kepada Pangeran Sung Thai Cung, yaitu adik kandung Kaisar Sung Thai Cu. Pangeran Sung Thai Cung ini dahulunya bernama Chou Kuang Tian dan kini dia dipercaya kakaknya menjadi panglima besar angkatan perang Kerajaan Sung. Usianya empat puluh lima tahun dan dia dahulu menjadi sahabat baik Perwira Kwa. Surat perkenalan itu akan membuat Han Lin dan Kui Lin dapat diterima sebagai orang yang boleh dipercaya. Setelah berkemas, pemuda dan gadis itu pun meninggalkan kota Cin-an. Setibanya di luar kota, Han Lin bersuit nyaring memanggil rajawali. Terdengar jawaban dari dalam hutan tak jauh dari situ dan tak lama kemudian rajawali itu terbang datang.
"Aih, senang sekali mempunyai rajawali seperti itu. Akan tetapi mengapa engkau tidak membiarkan dia berada gedung ayah bersama kita, Lin-ko?"
"Dia tidak akan betah tinggal di sana! Lin-moi, tidak suka menjadi tontonan. Dia mempunyai dunianya sendiri, yaitu di antara pohon-pohon besar dalam hutan."
Rajawali itu kini meluncur turun dan hinggap di atas tanah dekat Han Lin. Kui Lin memandang dengan kagum. Tinggi burung itu hampir sama dengan tinggi badannya sendiri, sepasang sayap dan sepasang kakinya tampak demikian kokoh kuat.
"Lin-ko, aku ingin sekali menungganginya. Mari kita berdua menungganginya dan suruh dia membawa kita terbang ke kota raja!"
"Tidak bisa, Lin-moi. Selain kita berdua terlalu berat baginya, juga dia akan kusuruh pulang membawa suratku kepada Suhu agar Suhu mengetahui ke mana aku pergi dan apa yang akan kulakukan di kota raja."
"Aih, Lin-ko. Masa engkau begini peiit terhadap adik sendiri? Aku hanya ingin menungganginya, sebentar saja! Akan tetapi kalau sendirian, aku takut seperti dulu lagi. Dia pernah melemparkan aku dari atas. Bisa remuk badanku kalau dia lakukan itu lagi."
Han Lin tersenyum.
"Salahmu sendiri, Lin-moi. Tiauw-ko (Kakak Rajawali) ini mempunyai perasaan peka. Kalau orang bersikap hormat dan manis kepadanya, dia pun akan bersikap manis pula. Kalau engkau bersikap keras, seperti dulu engkau memaksanya terbang dan mencabut sehelai bulunya, tentu saja dia marah."
"Lalu bagaimana kalau aku ingin menungganginya, Lin-ko? Suruh dia menerbangkan aku, sebentar saja, aku ingin merasakan menunggang seekor rajawali terbang."
"Aku tidak bisa menyuruh dia menerbangkan orang lain, Lin-moi. Akan tetapi kalau engkau sendiri yang meminta, dengan sikap dan ucapan yang manis, ku kira dia tidak begitu pelit untuk nolak. Mintalah kepada Tiauw-ko, kalau dia setuju, dia akan mendekam sehingga engkau dapat naik ke punggungnya. Kalau dia tidak mau mendekam, itu tandanya dia tidak mau."
Kui Lin lalu menghampiri burung dan berdiri di depannya. Kemudian menjura, mengepalkan kedua tangan depan dada dan memberi hormat sambil berkata dengan suara merdu dan manis penuh rayuan.
"Tiauw-ko yang baik, Tiauw-ko yang gagah perkasa, maafkan aku atas kesalahanku dahulu. Sekarang aku mohon kepadamu, sukalah engkau membawa aku terbang sebentar saja. Maukah engkau Tiauw-ko? Mau, ya. Kakak Rajawali yang baik?"
Han Lin diam-diam merasa geli melihat ulah gadis itu yang bersikap bicara sambil merayu-rayu. Kalau sudah bersikap seperti itu, Kui Lin benar-benar memiliki daya tarik yang luar biasa, tiap orang pria agaknya pasti jatuh bertekuk lutut menghadapi rayuannya. Entah kalau rajawali itu.
Akan tetapi, dengan girang dia melihat betapa kepala rajawali itu mengangguk-angguk, lalu kedua kakinya berjongkok, tubuhnya merendah! Kui Lin bersorak gembira.
"Terima kasih, Tiauw-ko yang baik! Nah, aku akan meloncat ke atas punggungmu, bawa aku terbang ke langit, ya? Aku ingin melancong ke bulan dan bintang-bintang!"
Kata Kui Lin dan ia pun lalu melompat dengan hati-hati sehingga dapat duduk di atas punggung rajawali itu dengan lunak.
Rajawali itu memandang kepada Han Lin dan pemuda ini pun mengangguk.
"Bawa ia terbang sebentar, Tiauw-ko. Ia adalah Lin Lin, adikku."
Dia memperkenalkan dan menyebut Kui Lin dengan sebutan Lin Lin yang dianggapnya lebih manis dan menyenangkan. Rajawali mengeluarkan bunyi melengking, kemudian mengembangkan sayapnya, mengenjotkan kakinya sehingga tubuhnya meloncat ke atas lalu sayapnya mulai bergerak dengan kuatnya. Tubuhnya melayang dengan cepatnya ke atas. Lin Lin bersorak gembira sehingga Han Lin ikut pula merasa senang. Gadis itu benar-benar seperti seorang anak kecil saja. Akan tetapi kalau teringat akan keganasannya membunuhi penjahat, dia bergidik. Justeru karena itulah maka dia ingin menemani Kui Lin ke kota raja. Selain dia memang ingin melihat keadaan di kota raja, dia juga ingin membimbing Kui Lin ke arah jalan yang benar. Dia merasa sayang kalau gadis itu kelak menjadi
seorang yang kejam dan sadis tak mengenal kasihan. Sekitar seperempat jam rajawali terbang tinggi kemudian menukik turun dan hinggap di atas tanah dekat Han Lin.
"Wah, kenapa turun? Tiauw-ko yang baik, aku masih belum puas. Aku ingin terbang lebih lama lagi. Aku tidak mau turun!"
Ia menendang-nendangkan kakinya seperti anak kecil mengambek (merajuk).
"Turunlah, Lin Lin! Nanti Tiauw-ko marah dan melemparkan kau dari punggungnya!"
Kata Han Lin. Mendengar ini, Kui Lin cepat melompat turun denga takut.
"Lin-ko, kau panggil namaku apa tadi?"
"Lin Lin."
"Wah, aku ingat dulu guruku juga suka memanggil aku
Lin Lin!"
"Kau suka kupanggil Lin Lin?"
Gadis itu mengangguk.
"Kalau kau yang panggil, boleh."
Han Lin lalu mengambil sesampul surat yang memang telah dipersiapkan sebelumnya, menghampiri rajawali dan berkata.
"Tiauw-ko, engkau pulanglah ke Puncak Yangliu (Cemara) di Cinlingsan dan berikan surat ini kepada Suhu. Aku akan melakukan perjalanan bersama Lin Lin."
Setelah berkata demikian, Han Lin mengikatkan sampul surat itu kepada bulu di bawah sayap rajawali. Rajawali mengangguk, mengeluarkan pekik lalu melayang dengan cepatnya ke udara.
"Lin-ko, apakah engkau yakin dia akan dapat sampai ke tempat gurumu dan memberikan surat itu kepadanya?"
"Aku merasa yakin, Lin-moi. Tiauwko adalah seekor burung yang sudah terlatih dengan baik. Suhu yang memeliharanya sejak kecil, sejak baru menetas, menyelamatkannya dari serangan ular dan merawatnya sehingga besar. Dia dapat mengerti ucapan yang sederhana, bahkan dapat merasakan getaran perasaan orang, dan lebih lagi, dia pun menguasai gerakan silat sehingga dia dapat menjadi lawan yang cukup tangguh."
Kui Lin menjadi kagum bukan main. Mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja di Utara.
Sepekan kemudian, Han Lin dan Kui Lin memasuki kota Kan-peng yang tidak begitu besar namun cukup ramai dan mereka menyewa dua buah kamar di sebuah rumah penginapan. Karena mereka telah melakukan perjalanan selama dua hari dua malam melalui jalan yang sukar dan sunyi tanpa pernah melewati dusun atau pun kota sehingga terpaksa bermalam di hutan dan makan seadanya seperti buah-buahan yang mereka dapat kan di hutan atau daging binatang hutan maka keduanya merasa amat lelah. Setelah mandi dan makan dari rumah makan yang menjadi bagian penginapan itu keduanya lalu memasuki kamar masing masing dan tidur. Kui Lin segera menjadi pulas, dan Han Lin biarpun tidur nyenyak pula, namun tetap saja dia memilik kepekaan yang luar biasa. Sedikit suara di atas genteng suda cukup untuk membangunkannya dari tidur. Cepat dia melompat turun, mengenakan sepatunya dan keluar dari kamarnya menuju ke kamar Kui Lin. Ketika itu telah tengah malam dan penginapan itu sudah sepi, semua tamu sudah tidur pulas. Han Lin cepat menangkap bayangan hitam di jendela kamar Kui Lin. Daun jendela itu telah terbuka, maka cepat dia menegur.
"Heiii! Siapa itu?"
Bayangan hitam itu terkejut. Tiba-tiba tangannya bergerak dan ada benda hitam panjang meluncur bagaikan anak panah menuju ke arah dada Han Lin. Karena khawatir kalau-kalau senjata yang disambitkan itu beracun, Han Lin tidak menangkapnya melainkan memukulnya dari samping dengan hawa pukulan yang amat kuat. Senjata itu terdorong angin pukulan, membelok dan menancap pada daun pintu kamar Kui Lin.
"Capp "
Dari suaranya dapat diketahui bahwa itu adalah sebuah senjata runcing yang menancap dalam sekali pada daun pintu, tanda bahwa pelontarnya menggunakan tenaga sakti yang amat kuat. Han Lin cepat melompat ke arah jendela, akan tetapi bayangan hitam itu sudah melompat jauh ke atas genteng dan lenyap dalam kegelapan malam. Han Lin masih dapat melihat bahwa bayangan hitam itu adalah Cui-beng Lokui, guru dari Tiat-pi Sam-wan.
Agaknya kakek itu merasa sakit hati karena ketiga orang muridnya semua tewas di tangan Kui Lin maka dia datang untuk membalas dendam. Agaknya sejak Kui Lin meninggalkan Cin-an, kakek itu diam-diam telah membayanginya, akan tetapi karena Han Lin berada di dekatnya, maka dia tidak berani turun tangan. Baru malam hari ini dia berusaha untuk membunuh Kui Lin yang tidur seorang diri dalam kamarnya.!
Han Lin tidak mengejar kakek itu karena dia amat mengkhawatirkan keselamatan Kui Lin. Daun jendela itu telah terbuka, siapa tahu apa yang telan dilakukan kakek itu terhadap Kui Lin yang agaknya saking lelahnya tidur begitu pulasnya sehingga tidak dapat mendengar ketika daun jendelanya dibuka orang. Tanpa pikir panjang lagi karena khawatir akan keselamatan gadis itu Han Lin melompat masuk. Kamar itu gelap. Agaknya lampu meja telah dipadamkan. Dengan jantung berdebar tegang Han Lin meraba-raba dan dapat meraba pembaringan. Cepat dia menyingkapkan kelambunya dan kedua tangannya meraba-raba. Kebetulan jari-jari tangannya meraba betis kaki Kui Lin yang tersembul keluar dari selimut. Han Lin yang tidak dapat melihat, ketika merasa bahwa kedua tangannya memegang bagian tubuh yang panjang, berkulit halus, lunak dan hangat, mengira bahwa dia memegang lengan Kui Lin. Maka dipegangnya erat-erat betis itu dan diguncangnya.
"Lin Lin! Lin Lin..."
Kui Lin terbangun dan ketika merasa ada yang bergerak-gerak di sekitar betisnya, ia meloncat turun sambil menjerit geli dan ngeri.
"Ular , ular! Ada ular!"
"Hush, Lin-moi. Ini aku, Han Lin!"
"Lin-ko? Aeh, apa-apaan engkau berada di kamarku?"
Cepat gadis itu menyalakan lampu dan setelah kamar itu menjadi terang, ia cepat menyambar selimut untuk menutupi tubuhnya yang hanya mengenakan pakaian dalam yang tipis dan tembus pandang. Matanya bersinar marah sekali, apalagi melihat jendela kamarnya terbuka. Jelas pemuda ini memasuki kamarnya dari jendela dan meraba-raba kakinya!
"Kurang ajar! Beginikah watakmu, Han Lin? Ternyata engkau seorang laki-laki kurang ajar, tidak sopan! Laki-laki cabul"
"Lin-moi, tenanglah "
"Jaihwacat (Pemetik Bunga, Penjahat Pemerkosa Wanita)! Kau kau pergi dari sini atau kubunuh kau!"
"Lin-moi!"
Han Lin membentak, juga marah karena dia dimaki-maki dan dituduh yang bukan-bukan.
"Cui-beng Lokui tadi sudah membuka daun jendelamu! untung aku keburu datang dan mengusirnya. Lihat saja apa yang menancap di daun pintu kamarmu!"
Setelah berkata demikian, sekali bergerak Han Lin sudah meloncat keluar dari kamar melalui jendela dan kembali ke kamarnya sendiri. Dia duduk bersila dan menenangkan hatinya yang terguncang nafsu amarah karena tadi disangka yang bukan-bukan dan dimaki-maki gadis itu.
Setelah Han Lin pergi, cepat Kui Lin menutupkan daun jendela dan ia pun segera mengenakan pakaian luarnya, memakai sepatunya dan membuka daun pintu. Ketika ia tiba di luar dan memandang, ia menjadi terkejut dan bengong melihat sebatang pedang menancap di daun pintu kamarnya, menancap sampai setengahnya dan menembus papan daun pintu ke dalam. Inilah semacam hui-kiam (pedang terbang), yaitu pedang yang dapat disambitkan sebagai senjata rahasia dan ia teringat bahwa yang menggunakan Hui-kiam adalah Cui-beng Lokui, guru lari Tiat-pi Sam-wan yang telah dibunuhnya semua! Ia menoleh ke arah kamar Han Lin yang tertutup daun pintu dan jendelanya. Teringat ia betapa tadi ia memaki-maki dan menuduh Han Lin kurang ajar, bahkan memakinya sebagai Jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang pekerjaannya memperkosa wanita! Wajahnya terasa panas dan jantungnya berdebar, tubuhnya terasa lemas penuh penyesalan.
Dengan tangan gemetar, ia mengetuk daun pintu kamar Han Lin.
"Tok-tok-tok "
Tidak ada jawaban.
Diketuknya lebih gencar dan lebih kuat lagi.
"Tok-tok-tok-tok-tok!!"
Tetap tidak ada jawaban dari dalam kamar.
"Lin-ko! Lin-ko, bukalah!"
Masih saja tidak ada jawaban. Kui Lin termenung. Apakah Han Lin tidak berada dalam kamarnya? Atau memang marah dan tidak membuka pintunya, tidak mau menemuinya?
"Lin-ko, bukalah, Lin-ko, ini aku! Bukalah pintunya, Lin-ko!"
Ia berkata dengan suara memohon dan agak parau karena ia sudah hampir menangis. Karena tetap tidak ada jawaban, Kui Lin lalu menghampiri daun jendela dan dengan tenaga dalamnya ia mendorong daun pintu sehingga terbuka. Di dalam kamar itu ia melihat Han Lin duduk bersila di atas pembaringan dan lampu meja masih bernyala terang, la segera melompat masuk dengan ringannya dan menghampiri Han Lin.
"Lin-ko, aku datang untuk minta maaf kepadamu"
Katanya lirih membujuk.
Tanpa membuka kedua matanya Han Lin berkata.
"Jangan dekati aku, aku laki-laki kurang ajar, tidak sopan, cabul, aku seorang Jaihwacat. Pergilah, jangan dekati aku!"
Mendengar ini, Kui Lin lalu menjatuhkan dirinya berlutut menghadap pemuda itu.
"Lin-ko, aku mohon ampunkan aku........ aku bersalah padamu............ Lin-ko, jangan membenciku...."
Gadis itu menangis sesenggukan.
"Hemmm, engkau masih menganggap aku laki-laki serendah itu?"
"Tidak, tidak! Maafkan aku, Lin-ko. Aku bodoh sekali. Engkau kembali menyelamatkan nyawaku yang terancam oleh Cui-beng Lokui dan aku malah memaki-makimu! Maafkan, aku tidak sengaja, habis aku kaget, aku terbangun, gelap dan.... ada ular-ular merayap di betisku "
Gadis itu bergidik ngeri.
Mau tidak mau Han Lin tertawa.
"Ha-ha-ha, aku tidak menyalahkan kalau engkau terkejut. Akan tetapi lain kali jangan memaki aku seperti itu! Masa ada adik memaki-maki kakaknya begitu rendah? Yang merayap di betismu itu bukan ular, bodoh, tapi jari-jari tanganku. Maafkan aku, habis gelap dan aku ingin melihat apakah engkau tidak celaka oleh kakek itu. Sudahlah, kembali ke kamarmu, tidak enak kalau ada orang mendengarkan kita. Besok saja kita bicarakan hal ini. Selamat tidur, Lin Lin."
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kui Lin tidak menangis lagi, kini malah tertawa.
"Selamat tidur, Lin-ko, dan terima kasih."
Ia melompat keluar dari jendela, menutupkan daun jendelanya dan kembali ke dalam kamarnya. Ia kini menyiapkan pedangnya di bawah bantal.
"Datanglah lagi kau, kakek jahanam Cui-beng Lokui, akan kucincang tubuhmu yang tua itu?"
Katanya gemas sebelum ia jatuh pulas lagi.
Pada keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan. Han Lin menaseha-kan Kui Lin agar mulai sekarang berhati-hati karena sudah jelas bahwa Cui-beng Lokui mendendam kepadanya karena ia telah membunuh tiga orang muridnya.
"Engkau hadapi ini, Lin-moi. Inilah yang kumaksudkan dengan rantai karma. Semua perbuatan kita pasti mendatangkan akibat. Akibat buruk menyusul perbuatan buruk dan akibat baik menyusul perbuatan baik, cepat atau pun lambat. Karena itu kita harus selalu waspada akan perbuatan kita sendiri dan berusaha agar perbuatan kita selalu baik, menjauhi perbuatan buruk."
Kini Kui Lin sudah mendapat pelajaran pahit semalam dan ia mulai berhati-hati dengan sikap, ucapan, atau perbuatannya. Ia mulai melihat kebenaran yang terkandung dalam ucapan Han Lin.
"Kalau begitu, perbuatanku membunuh orang-orang jahat itu buruk?"
"Lihat saja sendiri, Lin-moi. Baru membunuh Tiat-pi Sam-wan saja, kini akibatnya engkau dikejar-kejar guru mereka yang mendendam dan hendak membunuhmu. Kalau kau lanjutkan keganasanmu suka membunuh orang-orang, bayangkan saja bagaimana nanti hidupmu? Ratusan, bahkan ribuan orang akan selalu mengejarmu dan berniat untuk membalas dendam dan membunuhmu!"
Kui Lin terdiam, agaknya merasa menyesal juga. Melihat wajah manis yang biasa cerah, liar dan gembira itu kini memanjang karena menyesal dan risau, Han Lin merasa tidak tega.
"Tenangkan hatimu, Lin Lin. Yang sudah lalu, biarkan berlalu. Hanya saja, mulai sekarang seyogianya engkau mengubah watakmu, jangan terlalu menuruti gelora perasaan emosimu. Memang sudah menjadi kewajiban kita untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, akan tetapi bukan berarti kita lalu menjadi hakimi hakim yang menjatuhkan keputusan hukuman sendiri, tidak boleh kita lalu menjadi Giam-lo-ong (Raja Maut). Kita tentang perbuatan jahat akan tetapi tanpa membenci manusianya. Kita tentang yang jahat, kalau dapat kita sadarkan mereka, kalau mereka tidak tunduk, terpaksa kita pergunakan kekuatan untuk mengalahkan mereka dan membiarkan mereka dihukumi oleh yang berwajib, yaitu alat pemerintah yang berwenang untuk mengadili mereka. Hukuman itu pun suatu usaha untuk menyadarkan mereka. Ingat, Lin Lin, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Orang yang melakukan kejahatan berarti dia sedang sakit, bukan badannya yang sakit, melainkan jiwanya. Nasehat atau hukuman dapat saja mengobatinya sampai sembuh. Kalau jiwanya sudah sembuh tidak sakit lagi, tentu wataknya berubah menjadi baik. Sebaliknya, jiwa yang tadinya sehat, bisa saja sewaktu-waktu menjadi sakit karena manusia itu lemah dan nafsu-nafsunya yang amat kuat setiap saat siap untuk menggoda dan menyeretnya melakukan perbuatan sesat demi mencapai keinginan yang didorong oleh nafsunya. Maka, tidaklah bijaksana bagi seorang yang sedang baik wataknya memandang rendah orang lain yang sedang tersesat, seperti tidak bijaksananya seorang yang sedang sehat memandang rendah seorang yang sedang sakit. Harus selalu diingat bahwa yang sakit dapat sembuh, sebaliknya yang sehat dapat juga sakit. Membunuh mereka yang jahat jelas bukan cara terbaik, seperti menanam bibit pohon buah yang tidak baik."
"Lin-ko, aku akan selalu ingat nasehatmu ini akan tetapi bimbinglah aku karena terkadang kalau sedang marah menyaksikan kejahatan dilakukan orang, aku menjadi lupa segala dan ingin membasmi si jahat itu."
Demikianlah, mereka berdua melanjutkan perjalanan ke kota raja dan di panjang perjalanan Kui Lin menerima banyak petunjuk dan nasehat dari Han Lin yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri atau juga gurunya. Bukit Tengkorak itu sebetulnya tidaklah berapa besar, tingginya juga hanya sekitar lima ratus meter. Mengapa disebut Bukit Tengkorak, mudah diketahui karena bukit kapur itu dari jauh memang sudah tampak mirip tengkorak manusia. Tidak ada orang mau tinggal di bukit karena bukit kapur itu tanahnya sama sekali tidak subur. Orang-orang lebih suka tinggal di bawah bukit yang berada di lembah Sungai Luan di mana tentu saja tanahnya lebih subur.
Semua orang mengetahui bahwa sudah bertahun-tahun di puncak Bukit Tengkorak itu tinggal seorang pertapa wanita dalam sebuah gua besar. Semua orang di dusun-dusun sekitar Bukit Tengkorak mengenal pertapa yang bernama Thian Te Siankouw itu karena setiap ada yang menderita sakit berat mereka membawanya naik dan menghadap Thian Te Siankouw yang selalu mengobati si sakit dengan suka-rela. Banyak sudah orang yang dapat sembuh setelah diobati Thian Te Siankouw. Maka, para penduduk dusun-dusun yang merasa hutang budi kepada pertapa itu, membalasnya dengan menyediakan semua keperluan hidupnya yang tidak banyak. Hanya sekedar untuk makan sewaktu lapar dan beberapa helai pakaian pengganti.
Beberapa orang tokoh kang-ouw yang kebetulan lewat di daerah itu dan tertarik lalu mengunjungi Thian Te Siankouwmendapat kenyataan bahwa pertapa wanita itu memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Akan tetapi anehya, tidak pernah ia mau menerima murid walaupun banyak orang-orang muda bersujut kepadanya dan mohon menjadi muridnya. Hal ini terkadang membuat orang-orang kangouw itu menjadi marah dan sengaja menguji kepandaian Thian Te Siankouw, namun tak seorang pun mampu membuat pertapa itu bangkit dari duduknya. Hanya dengan duduk bersila saja ia mampu mengalahkan dan mengusir semua pengganggunya.
Pada suatu pagi, seorang pemuda berpakaian serba kuning yang gagah dan seorang gadis muda yang cantik, lembut namun tampak gagah pula, tiba di dusun yang berada di kaki Bukit Tengkorak. Mereka adalah Liu Cin dan Ong Hui Lan. Seperti kita ketahui, sepasang orang muda ini mendapat petunjuk dari Si Han Lin bahwa kalau mereka, atau lebih tepat Hui Lan, ingin memperdalam ilmu dan mencari guru, dia mendengar dari gurunya bahwa di Puncak Bukit Tengkorak di tepi Sungai Luan itu terdapat seorang pertapa wanita bernama Thian Te Siankouw yang sakti. Maka Hui Lan lalu mencarinya, ditemani oleh Liu Cin yang diam-diam mencinta gadis itu.
Para penduduk dusun itu tentu saja memandang sepasang orang muda itu dengan heran. Maklum daerah itu jarang sekali menerima kunjungan orang luar. alau ada yang kebetulan datang juga mereka adalah orang-orang kangouw yang kasar. Ketika Liu Cin bertanya kepada tereka tentang Bukit Tengkorak dan Thian Te Siankouw, para penduduk dusun itu dengan gembira menunjuk ke arah Bukit Tengkorak yang tampak dari situ.
"Kongcu (Tuan Muda) dan Kouwnio Nona) tentu hendak minta obat dari Siankouw, bukan? Karena kalau Ji-wi Kalian berdua) minta hal lain, pasti akan ditolaknya.
"Ya benar, kami mau minta obat,"
Jawab Hui Lan yang tidak ingin mendapat banyak pertanyaan kalau ia bilang ingin mencari guru.
"Kami mendengar bahwa selain ilmu pengobatan, Thian Te Siankouw juga merupakan seorang sakti. Benarkah itu?"
Tanya Liu Cin.
"Thian Te Siankouw adalah seorang dewi, bukan manusia biasa, tentu saja beliau sangat sakti! Karena itu, harap Ji-wi tidak main-main kalau berada di sana menghadap beliau."
Kata seorang kakek dengan suara sungguh-sungguh.
"Apakah beliau mempunyai murid?"
Tanya Hui Lan.
"Murid? Siankouw tidak pernah mau menerima murid, hanya mau mengobai orang sakit. Itu saja!"
Mendengar ini, tentu saja hati Hu Lan menjadi gelisah. Jangan-jangan setelah melakukan perjalanan yang amat sukar, mendaki pegunungan menuruni jurang-jurang dan tebing terjal, setelah bertemu dengan orang yang dicarinya, ia akan ditolak menjadi murid! Ia tidak boleh ragu. Segala harus dicoba dulu!
"Mari, Liu Cin, kita pergi menghadap Siankouw!"
Katanya dan mereka mengucapkan terima kasih kepada para penduduk dusun lalu berangkat mendaki bukit kapur itu. Di lereng bukit itu mereka bertemu dengan beberapa orang dusun yang pulang setelah mengantarkan orang yang sedang menderita sakit dan minta obat, ada pula yang pulang dari mengirim bahan-bahan makanan kepada Siankouw. Dari mereka inilah Liu Cin dan Hui Lan mendapat petunjuk di mana adanya gua besar tempat tinggal pertapa wanita itu.
Akhirnya mereka berdiri di depan gua tu. Karena gua itu menghadap ke timur dan saat itu matahari masih berada con-ong di timur walaupun sudah agak tinggi, maka sinar matahari memenuhi gua. Mereka melihat seorang wanita duduk bersila di atas sebuah batu besar di depan gua, sikapnya seperti seorang dewi dan memang pantas kalau ia disebut dewi. Wanita itu usianya sekitar lima puluh lima tahun, namun masih tampak cantik, rambutnya yang panjang masih hitam dan wajahnya yang lembut itu masih cerah dan halus tanpa keriput. Di dalam gua, di belakang wanita itu terdapat buah-buah dan bahan-bahan makanan yang agaknya baru saja dikirimkan ke situ oleh para penduduk dusun.
Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo