Ceritasilat Novel Online

Si Tangan Halilintar 6


Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



Ma Giok menjadi buruan pemerintah penjajah Mancu dan dia melarikan diri ke selatan dan dia berhasil menggerakkan orang-orang gagah, para pendekar, untuk bersatu melawan pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi usahanya itu mengalami banyak kegagalan karena di antara para pendekar terdapat banyak pengkhianat yang pro pemerintah Mancu. Mereka ini sebetulnya juga orang-orang Han yang tadinya adalah pendekar-pendekar yang berjiwa patriot. Akan tetapi karena pemerintah Mancu mempunyai banyak penasihat yang cerdik pandai, maka banyak orang gagah yang terpengaruh oleh harta benda dan wanita cantik, mau saja menjadi kaki tangan pemerintah penjajah Mancu, tidak sadar bahwa mereka tertipu."

   Mendengar ini Heng San mengerutkah alisnya, teringat akan pengalamannya sendiri. Apakah dia termasuk orang yang tertipu karena pengaruh harta dan wanita? Apakah isterinya, Kui Siang, juga merupakan umpan baginya?

   "Para pembesar Mancu itu amat cerdik. Mereka menggunakan harta"

   Kedudukan tinggi, atau wanita cantik untuk memikat hati para pendekar sehingga mereka tunduk dan dapat diajak bekerja sama tanpa menyadari bahwa mereka d1jadikan antek penjajah untuk menindas bangsa sendiri. Karena inilah maka usaha Ma Giok banyak mengalami kegagalan. Dengan hati pedih Ma Giok lalu melarikan diri lagi dari pengejaran antek-antek Mancu. Dia lari bersama puteri tunggalnya, yaitu Ma Hong Lian, merantau sambil tiada hentinya melanjutkan perjuangannya. Dia mengumpulkan orang-orang gagah di mana saja untuk membasmi para pembesar kaki tangan kaisar yang menindas rakyat."

   Heng San teringat kepada Hong Lian yang sudah tewas.

   "Ahh, Hong Lian....

   "

   Dia menengok ke arah mayat gadis itu yang dia tinggalkan tadi.

   "Jenazahnya sudah kami urus,"

   Kata Ang Jit Tojin. Heng San melihat betapa jenazah gurunya juga sudah diangkat ke dalam kuil oleh beberapa orang gagah.

   "Usaha Ma Giok dan puterinya mendatangkan ban yak orang gagah yang tadinya tidak acuh, kini timbul dan bangkit kembali semangat mereka. Di antara mereka adalah pin-to (aku) sendiri, dan kawan-kawanku. Bahkan Pat-jiu Sinkai juga tergerak hatinya dan mendukung. Akan tetapi karena dia sendiri sudah sakit-sakitan, dia mencari suhengnya yang ternyata sudah menjadi per tapa di atas puncak bukit dan tidak mau mencampuri urusan dunia. Maka dia hanya dapat mengajak murid keponakannya, yaitu Ngo-jiauw-eng Tan Kok untuk ikut berjuang dan Tan Kok adalah pengemis aneh yang tewas di tanganmu."

   Mendengar cerita ini, Heng San menutupi mukanya dengan tangan dan dia menangis penuh penyesalan. Jadi Tan Kok si pengemis aneh itu adalah suhengnya (kakak seperguruannya) sendiri karena gurunya adalah paman guru Ngojiauw-eng Tan Kok. Dia teringat bahwa suhunya, Pat-jiu Sin-kai telah lama berusaha mendapatkan seorang murid untuk dijadikan wakilnya dalam perjuangan yang dimaksud ini karena pengemis sakti itu sering terserang penyakit dan merasa dirinya sudah terlalu tua dan tidak kuat lagi.

   Dan setel.ah mendapatkan dirinya sebagai murid, kini dia malah memusuhi kawan-kawan seperjuang gurunya, bahkan "Pin-to sendiri adalah seorang sahabat lama Pat-jiu Sin-kai, maka ketika dia datang kepada pin-to minta bantuan, segera pin-to meluluskan permintaannya dengan senang hati. Pin-to berangkat lebih dulu ke Keng-koan untuk menyusul Ngo-jiauw-eng yang sudah lebih dulu menggabungkan diri dengan Ma-enghiong dan puterinya. Adapun Pat-jiu Sin-kai sendiri hendak pergi ke Ciong-yang untuk mengumpulkan beberapa orang kawan lagi."

   Heng San mendengarkan cerita itu dengan mata basah dan kini mulailah dia mengerti bahwa dia telah salah sangka, dia telah tertipu oleh ayah mertuanya dan para pembantu Thio-ciangkun.

   "Sebagai tempat pertemuan telah ditetapkan di sini dan ternyata hari ini Pat-jiu Sin-kai telah dapat mengumpulkan beberapa kawan yang cukup kuat."

   Ang Jit Tojin menunjuk kelima orang gagah yang berada di situ.

   "Mereka ini adalah Ciong-yang Ngo-taihiap (Lima pendekar besar dari Ciong-yang) yang terkenal dengan kepandaian mereka yang tinggi."

   Heng San pernah mendengar nama itu sering dipuji-puji gurunya sebagai pendekar-pendekar besar di jaman ini. Kemudian dia berkata kepada Ang Jit Tojin dengan hati penuh penyesalan.

   "Tecu memang sudah pantas menerima binasa! Akan tetapi sebelum cuwi turun tangan membebaskan tecu dari tubuh yang kotor ber lumur darah kawan-kawan ini, tecu mohon sedikit keterangan tentang Thio-ciangkun dan para pembantunya. Thio-ciangkun bukan saja telah menjadi atasan tecu, bahkan menjadi ayah mertua tecu"..!" "Bersiaplah untuk mendengar kenyataan yang amat pahit ini; Lauw Heng San. Kami sudah mengetahui bahwa engkau telah menjadi mantu Thio-dangkun dan bahwa isterimu telah mengandung. Engkau mau tahu siapa itu Thio--Ciangkun? Ketahuilah, engkau orang muda yang terlaIu bodoh sehingga dapat tertipu olehnya. Dia adalah sri gala yang berujud manusia, terkenal karena kecerdikan dan kekejamannya. Dia berkuasa besar sekali dan mempunyai pengaruh yang amat besar di istana Kaisar Mancu.

   Dialah tukang membasmi para patriot yang gagah perkasa. Dia pula yang membunuh banyak ahli-ahli sastra yang pandai karena mereka menggerakkan semangat rakyat dan membangun jiwa patriot para orang gagah. Entah sudah berapa banyak orang "gagah", pendekar.. pendekar sejati, pahlawan-pahlawan bangsa, tewas di tangannya yang berlumur darah. Thio-ciangkun yang kau junjung tinggi, yang menjadi ayah mertuamu itu bukan -lain adalah tangan kanan Kaisar Mancu dan dia itulah yang sebenarnya menindas rakyat. Thio-ciangkun itu bukan lain adalah seorang pangeran Mancu yang menyamar sebagai bangsa Han sehingga dia dapat mengelabui banyak orang gagah menjadi pengkhianat bangsa. Dan tahukah engkau, Lauw Heng San, bahwa isterimu itu, Kui Siang, bukan bermarga Thio melainkan bermarga Bu?"

   Heng San mengangguk.

   "Isteri tecu sudah mengatakan bahwa ia adalah anak tiri Thio-ciangkun." "Hemm, dan tahukah engkau bagaimana ia menjadi anak tiri pangeran jahanam itu dan siapakah ayah kandungnya?"

   Heng San menggeleng kepala.

   "Ayah kandung Bu Kui Siang bernama Bu Kiat, seorang panglima gagah perkasa dalam pasukan Jenderal Gouw Sam K wi. Panglima Bu Kiat tewas dalam pertempuran. Isteri dan anaknya yang baru berusia dua tahun menjadi tawanan. Karena kecantikannya, maka Thio Ci Gan alias Pangeran Maneu itu mengambilnya sebagai selir. Nyonya Bu terpaksa tunduk demi menyelamatkan anak perempuannya, yaitu Bu Kui Siang."

   Heng San mendengarkan dengan heran dan penasaran, menyesali kebodohannya sendiri. Teringatlah dia akan peristiwa"

   Malam itu ketika dia seperti mabok dan terjadilah hubungan intim an tara dia dan Kui Siang. Tidak mungkin, pikirnya. Dia bukan laki-laki yang demikian lemah sehingga lupa diri oleh nafsu berahi. Ini pasti ada sebabnya! Kalau Kui Siang dijadikan umpan, berarti tentu ada sesuatu dalam minumannya, yang membuat dia iupa diri. Ah, kasihan Kui Siang! "Tentu engkau juga belum mengetahui siapa sebenarnya orang-orang yang menjadi pembantunya, yang kau anggap sebagai pendekar-pendekar gagah perkasa itu"

   Tanya pula Ang Jit Tojin.

   "Sepanjang penglihatan mata teeu yang hampir buta ini, para pembantu itu adalah orang-orang yang gagah perkasa, kecuali?eorang hwesio yang baru datang dari kota raja mengiringkan beberapa puluh perajurit bala bantuan." "Hemm, jadi si iblis itu juga sudah datang?"

   Ang Jit Tojin berseru.

   "Harap to-heng jangan khawatir. Kalau baru Lui 1m Hosiang saja, kami masih sanggup melawannya."

   Kata seorang di antara Ciong-yang Ngo-taihiap.

   "Sekarang bersedialah untuk mendengarkan ceritaku yang terakhir"

   Kata Ang Jit Tojin kepada Heng San dengan wajah keren "Teu sudah cukup mendengar dan tecu sudah cukup mengetahui akan kebodohan teeu sendiri. Sekarang tecu hanya menyerahkan jiwa raga ke tangan cu-wi. Terserah, mau disiksa, mau dibunuh, teeu tidak akan melawan. Agaknya tidak ada hal lain yang lebih buruk daripada apa yang telah tecu lakukan. Membunuh suheng sendiri, membunuhi orang-orang gagah pembela bangsa, membunuh".. Hong Lian yang berjiwa patriot, menawan ayahnya yang ternyata seorang pendekar besar, kemudian".. membunuh suhu sendiri.

   Ya! Suhu terbunuh oleh tecu! Ada apalagi yang jahat daripada itu? Tecu sudah selayaknya menerima binasa. Hanya satu""

   Kalau boleh tecu minta""

   Mohon diselamatkan isteri tecu Bu Kui Siang dan anak dalam kandungannya, kalau bukan demi tecu, ya demi mendiang ayahnya yang patriot sejati".."

   Sekali lagi air mata bercucuran dari kedua mata pemuda malang itu.

   "Karena dosamu memang besar sekali, Lauw Heng San, maka biarlah kuceritakan hal ini padamu agar tampak jelas olehmu betapa tolol dan tersesat sikapmu selama ini. Tahukah engkau bahwa selama ini engkau telah membela dan membantu musuh-musuh besarmu sendiri? Musuh besar yang seharusnya kau basmi untuk membalaskan dendam sakit hati ayah-ibumu?"

   Heng San terkejut dan memandang wajah pendeta itu dengan muka pucat sekali "Apa maksud to-tiang? Ada apa dengan ayah ibuku? Bukankah mereka rnasih berada di Lin-han-koan?"

   Ang Jit Tojin menggeleng-geleng kepala dan bayangan pada wajah pendeta itu membuat Heng San menggigil.

   "Apa yang terjadi dengan mereka?"

   Dia berteriak.

   "Katakan".. demi Tuhan katakanlah".."

   "Tenanglah engkau, orang mudaI"

   Seorang di antara lima. orang gagah itu menegur. Ang Jit Tojin berkata lirih.

   "Orang tuamu".. ayah ibumu".. telah mati terbunuh"..

   "

   Heng San merasa seakan-akan nyawanya melayang. Tiba-tiba tubuhnya menerima pukulan yang luar biasa hebatnya sehingga dadanya yang menderita luka dalam terasa nyeri bukan main. Dia meloneat ke de pan dan menggunakan tangannya untuk mencengkeram ujung baju pendeta itu. Kedua matanya melotot besar dan wajahnya menyeramkan, kedua lututnya menggigil. Demikian kuat ia mencengkeram sehingga ujung kedua lengan baju itu hancur lebur bagaikan kertas tipis saja.

   "Tolong".. tolong katakan siapa pembunuh ayah ibuku?"

   Datanglah pukulan terakhir yang merupakan hukuman hebat bagi Heng San, keluar dari mulut Ang Jit Tojin.

   "Siapa lagi? Siapa lagi pembunuh mereka kalau bukan orang yang kaupuji-puji, kau junjung tinggi, kau bela dan kausembah itu? Pembunuhnya bukan lain adalah Thio-ciangkun dan kaki tanganya"

   Untuk sejenak Heng San bagaikan berubah menjadi mayat atau patung hidup.

   Tubuhnya menjadi kaku dan diam tak bergerak, hanya kedua matanya yang bergerak-gerak memandang kepada Ang Jit Tojin dan pindah kepada kelima orang pendekar dari Ciong-yang itu. Kemudian, tiba-tiba ia memekik keras dan dari mulutnya tersembur darah merah. Dia terhuyung-huyung lalu jatuh pingsan di depan kaki Ang Jit Tojin. Ketika dia sadar kembali, Heng San mendapatkan dirinya telah berbaring di atas sebuah pembaringan dalam sebuah kamar. Dia merasa dadanya hangat dan ketika dia meraba, ternyata dadanya telah ditempeli obat ko-yo (obat tempeI) yang hitam dan hangat. Ketika dia mengerling, dia melihat lain tubuh membujur di atas sebuah pembaringan kayu dan ketika dia memperhatikan, ternyata itu adalah. jenazah suhunya. Dia melompat bangun, tidak memperdulikan dadanya yang terasa sakit, lalu dia menubruk dan memeluki jenazah suhunya sambi! menangis. Ang Jit Tojin berlari masuk dan menegurnya.

   "Hemm, bagus! Engkau benar-benar seorang jantan! Tadinya tertipu dan menjadi pengkhianat bangsa, kini hanya menangis seperti seorang perempuan cengeng! Ah, sungguh mengecewakan sekali mempunyai murid seperti engkau ini Kasihan sekali sahabatku Pat-jiu Sinkai rnempunyai murid bodoh dan lemah" "Totiang, kenapa aku tidak dibunuh? Kenapa aku malah diobati? Siapa yang melakukan ini?"

   Pendeta itu menghela napas panjang.

   "Pin-to memang berhati lemah. Tidak tega membunuh orang yang sedang terluka dan pingsan. Bagaimanapun juga, engkau tersesat karena tertipu. Pula, kami membutuhkan tenaga-tenaga yang kuat dan engkau tentu suka membantu kami melanjutkan perjuangan gurumu membasmi para durjana antek penjajah itu, un tuk membalaskan sakit hati orang tuamu, untuk membalaskan sakit hati gurumu Ataukah engkau begitu pengecut sehingga tidak berani menentang jahanam she Thio dan para jagoannya?" "Cukup"...!!"

   Heng San membentak, tubuhnya menggigil dan dia tidak memperdulikan lagi sopan santun saking marahnya.

   "Kau kira aku ini seorang manusia yang berhati binatang dan sedemikian rendahnya? Lihat, akan kubuktikan kejantananku! Akan kuperlihatkan kepadamu bahwa tidak percuma suhu mengambil aku sebagai muridnya. Akan kuperlihatkan kepada ayah bundaku bahwa mereka tidak percuma. mempunyai anak seperti aku! Lihat, sebelum jenazah suhu menjadi dingin, sebelum kedua mata, suhu tertutup tanah, akan ada banjir darah di gedung Thio-ciangkun Lihat dan dengarlah saja!". Sebelum Ang Jit Tojin dapat menjawab, Heng San sudah melompat keluar dari kuil dan berlari cepat sekali. Ang Jit Tojin menggeleng-geleng kepalanya dan berkata perlahan.

   "Kasihan anak itu"

   Akan tetapi baru saja dia bangkit berdiri, tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda itu. telah berdiri di depannya. Wajah pemuda itu sudah berubah, bukan wajah orang biasa lagi, lebih pant as disebut wajah orang gila, atau mayat hidup, atau setan! "Eh, mengapa engkau kembali lagi?"

   Tanya Ang Jit Tojin heran.

   "Satu pertanyaan lagi, totiang. Mengapa mereka membunuh orang tuaku, pedagang obat yang tidak berdosa?" "Pedagang tidak berdosa? Ah, di mata srigala tidak ada orang berdosa atau tidak berdosa. Yang penting baginya orang itu mencurigakan atau tidak. Mata srigala itu penuh bayangan para patriot. Suhumu, Pat-jiu Sin-kai, telah lama masuk daftar hitam orang-orang yang harus diburu dan dibunuh. Ketika para penyelidiknya mengetahui bahwa Pat-jiu Sin kai berhubungan baik dengan orang tuaamu, maka orang tuamu juga masuk daftar hitam dan harus dibasmi semua." "Terima kasih, totiang!"

   Sekali lagi Heng San berkelebat dan menghilang keluar kuil. Ang Jit Tojin segera pergl ke belakang menemui Ciong-yang Ngotaihiap, menceritakan bahwa Heng San telah berlari keluar dan hendak membuat banjir darah di rumah Thio-ciangkun. Seorang di antara lima pendekar itu berkata.

   "Memang tiada jalan lain bagiriya untuk menebus dosa.

   Akan tetapi kita harus dapat menggunakan saat, dan kesempatan baik ini. Lauw Heng San seorang yang kuat dan tinggi ilmu silatnya. Mari kita mengejarnya dan bersama-sama menggunakan kesernpatan ini untuk menghancurkan kekuatan pangeran Mancu yang menyamar sebagai orang she Thio dan kaki tangannya itu dan yang terpenting; membebaskan Ma-enghiong."

   Demikianlah, mereka berenam mengadakan perundingan, memerintahkan para anak buah untuk mengurus jenazah Pat jiu Sin-kai, Ma Hong Lian, dan murid lain. Setelah itu mereka berenam bergegas mempergunakan ilmu berlari cepat mengejar Heng San menuju ke kota Keng-koan. Heng San berlari secepatnya dan tiada hentinya hati akal pikirannya menyesali semua perbuatannya. Di dalam hatinya bernyala api besar yang seakanakan hendak membakar dirinya dari dalam.

   Api kemarahan terhadap Thio-ciangkun dan kaki tangannya. Dia dapat menduga bahwa suhunya tentu singgah di rumah orang tuanya ketika mencari-cari kawan seperjuangan dan karena dia menjadi orang buruan pemerintah, maka orang tuanya lalu dicurigai dan dibunuh oleh kaki tangan Thio-ciangkun. Dan dia sudah menjadi pembantu Thio-ciangkun, membelanya mati-matian bahkan menjadi mantunya! Kemarahannya membuat Heng San, berlari lebih cepat lagi dan sebentar saja dia sudah tiba di kota. Tiba-tiba dia teringat kepada Liok Ham Sai, pembesar yang dulu ditolongnya dari serangan para pejuang yang ketika itu dianggapnya perampok, lalu memperkenalkannya kepada Thio-ciangkun. Ah, ti-koan itupun seorang kaki tangan pemerintah penjajah Mancu, seorang Han yang menjadi pengkhianat!

   Pikiran ini membuat Heng San berlari menuju ke gedung Liok - tikoan. Ketika itu, matahari telah turun ke barat dan hari telah menjadi sore. Heng San melompat ke atas genteng gedung tikoan dan langsung turun ke ruangan belakang. Dia melihat dua orang penjaga sedang bercakap-cakap yang menjadi kaget ketika melihat seorang pemuda yang tiba-tiba berdiri di situ. Akan tetapi mereka segera mengenal bahwa pemuda itu adalah komandan Pasukan Garuda Sakti yang terkenal, maka mereka segera menyambut dengan hormat.

   "Di mana Liok-tikoan?"

   Tanya Heng San singkat.

   "Beliau berada di taman. Apakah Ciang-kun hendak bertemu dengan Liok- taijin?"

   Tanpa menjawab, Heng San menggerakkan kedua tangannya dan dua orang penjaga itu terpelanting roboh pingsan seketika! Heng San berlari ke belakang dan dalam taman dia mendapatkan Liok-tikoan sedang duduk makan angin bersama dua orang selir mudanya.

   Pembesar gendut pendek itu merasa heran sekali melihat Heng San memasuki taman tanpa memberitahu lebih dulu. Akan tetapi dia segera dapat mengenal pemuda itu dan tersenyum. Sebelum dia dapat menegur atau menyapa, Heng San sudah melompat ke depannya dan sekali kakinya mencuat dengan amat kuatnya ke arah lambung, terdengar suara berdebuk dan tubuh Liok-tikoan terlempar ke udara lalu terbanting jatuh dan tewas seketika! Kedua orang selir itu menjerit, akan tetapi Heng San menggunakan kedua tangannya menangkap mereka dan melemparkan tubuh mereka ke dalam kolam ikan yang berada dekat situ sehingga saking takutnya kedua orang perempuan itu sudah pingsan sebelum tercebur ke dalam air. Heng San memandang tubuh Liok-tikoan dengan puas, lalu ia melompat keluar taman dan langsung berlari cepat ke gedung Thio-taijin. Dia teringat akan isterinya dan cepat menuju ke rumahnya terlebih dulu, rumah yang tidak jauh letaknya dari gedung Thio-ciangkun.

   Kui Siang menyambutnya dengan mata terbelalak dan muka pucat. Baju suaminya berlepotan darah, darah suhunya dan darahnya sendiri. Segera isteri ini memegang lengan suaminya.

   "San-ko........! Apa........ apa yang terjadi........?"

   Isteri ini merasa ngeri juga melihat wajah suaminya yang tidak seperti biasanya, wajah itu pucat, kedua matanya merah dan garis-garis wajah itu menunjukkan kemarahan besar.

   "ui Siang, isteriku, cepat engkau berkemas. Bawa perhiasan dan bekal secukupnya. Engkau harus pergi dari sini, cepat dan jangan banyak bertanya!"

   Tentu saja Kui Sing terkejut dan merasa heran sekali. Akan tetapi ia adalah seorang isteri yang selain amat. mecinta suaminya, juga amat taat maka tanpa banyak cakap ia lalu berkemas, membawa sedikit pakaian dan hiasan dalam sebuah buntalan kain se:mentara itu Heng San mengambil sebuah kitab. Itu adalah kitab pelajaran ilmu silat tangan kosong Ngo-heng Lian-hwan Kun-hoat, ilmu silat tangan Kosong yang dulu dipelajarinya dari Pat-jiu Sin-kai.

   Akan tetapi telah disempurnakannya sendiri, digubahnya menjadi ilmu silat tangan kosong istimewa yang dia beru nama Silat Tangan Halilintar! "Bawa kitab ini, jangan sampai hilang kelak, engkau harus menyuruh anak kita mempelajari dan mewarisi ilmuku ini. Sekarang, cepat engkau keluar dari kota ini, pergi ke selatan dan cari sebuah kuil di hutan ke dua, di bawah bukit Ayam. dimana ada sahabat-sahabatku yang akan menolongmu!" "Akan tetapi..... apa artinya semua ini? Apa yang terjadi, suamiku?"

   Kata Kui Siang sambil menggendong buntalan itu di punggungnya setelah memasukkan kitab ke dalam buntalan.

   "Jangan banyak bertanya, kelak engkau akan mengerti. Yang penting, ketahuilah, kalau engkau berada di sini, nyawamu terancam. Nah, pergilah epat, isteriku dan selamat berpisah!"

   Dia merangkul dan mencium muka isterinya.

   "Aku cinta padamu, Kui Siang." "Aku..... aku...... pun cinta padamu, San-ko.....!"

   Wanita itu terisak dan dengan hati yang tidak karuan rasanya, ia lalu berlari keluar, bingung sekali akan tetapi tetap ingin menaati perintah suaminya. Setelah merasa yakin bahwa isterinya telah pergi menyelamatkan diri dan yakin pula bahwa Ang Jit Tojin yang dia tahu adalah seorang pendeta patriot dan pendekar dan kawan-kawannya tentu mereka akan menolong dan melindungi isterinya. Heng San lalu melompat keluar dan berlari ke arah gedung Thio-ciangkun. Dia langsung masuk dari pintu depan dan yang pertama menyambutnya adalah seorang prajurit anak buahnya sendiri, yaitu anak buah Pasukan Garuda Sakti yang malam itu bertugas jaga di gedung Thio-ciangkun.

   "Selamat malam, Lauw-ciangkun. Ciangkun dari mana sajakah? Thio-taijin dan para pembantunya mencari-cari sejak tadi." "Antar aku padanya!"

   Kata Heng San singkat sehingga anak buahnya itu memandang heran karena sikap Heng San tidak seperti biasa, akan tetapi ia tidak berani membantah dan segera mengantarkan Heng San ke ruangan tamu yang luas.

   Setelah memasuki ruangan itu, Heng San melihat bahwa Thio-ciangkun sedang duduk bercakap-cakap dengan Lui Tiong, Ban Hok, Auwyang Sin dan Lui 1m Hosiang yang sebetulnya adalah paman guru sendiri dari Lui Tiong. Heng San langsung melangkah, menghampiri Thio-ciangkun. Pembesar ini menerimanya dengan senyum ramah dan bertanya dengan lembut kepada mantunya.

   "Heng San, dari manakah engkau? Kami mencarimu sejak tadi untuk kami ajak berunding." "Jawablah dulu pertanyaanku ini, Benarkah ayah menyuruh bunuh keluarga Lauw Cin tukang obat di dusun Lin-han-kwan?"

   Mendengar pertanyaan yang diucapkan kurang hormat oleh mantunya ini, dan melihat pakaian Heng San yang berlepotan darah dan wajahnya yang bengis, Thio-ciangkun menjadi heran, akan tetapi menjawab dengan tenang karena belum timbul persangkaan buruk atau kecurigaan dalam hatinya, hanya keheranan.

   "Benar, mereka adalah anggauta pemberontak yang berbahaya, mungkin menjadi mata-mata pemberontak, anak buah Pat-jiu Sin-kai yang menjadi buruan kita." "Binatang keji! Srigala terkutuk! Mereka adalah orang tuaku. Rasakan pembalasanku!"

   Dan tiba-tiba Heng San sudah menerjang ke depan dan menggu:nakan pukulannya yang paling ampuh, dengan mengerahkan seluruh tenagarnya! "Dukkk!!"

   Kiranya sebelum pukulan itu mengenai dada Thio-ciangkun, dari samping Lui 1m Hosiang telah melompat dan menangkisnya. Dua lengan tangan bertumbuk dan keduanya terpental ke belakang.

   "Hemm, aku harus bunuh dulu pendeta palsu inil"

   Heng San berkata lalu maju menerjang. Lui 1m Hosiang segera meyambutnya dan kedua orang itu berkelai mati-matian. Ternyata Lui im Hosing berkepandaian sangat tinggi sehingga dia dapat mengimbangi amukan Heng San. Para jagoan lain tidak tinnggal diam terutama Lui Tiong yang memang menaruh dendam dan merasa tidak suka kepala Heng San.

   Melihat Heng San sudah bertanding melawan susioknya (paman gurunya), dia berseru nyaring.

   "Bangsat rendah tak mengenal budi! sudah kusangka engkau bukan manusia baik-baik. Hayo kawan-kawan, kepung dan tangkap dia!"

   Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan dari luar.

   "Pengkhianat-pengkhimat kecil, bersiaplah untuk menerima kematian!"

   Enam bayangan berkelebat nasuk dan mereka itu bukan lain adalah Ang Jit Tojin dan lima orang Pendekar besar dari Ciong-yang! Ang Jit Tojin sudah bergebrak melawan Lui Tiong. Heng San yang sudah terbebas dari pengeroyokan, kini tinggal menghadapi pengeroyokan Auwyang Sin dan Ban Hok yang dibantu pula oleh lima orang perajurit pengawal. Biarpun dia dikeroyok tujuh orang, namun sepak terjang Heng San yang marah seperti kerasukan setan itu dahsyat bukan main sehingga Auwyang Sin dan Ban Hok mengeluarkan keringat dingin dan merasa gentar bukan main.

   Ciong-yang Ngo Tai-hiap sudah mengepung Lui 1m Hosiang dan terjadilah perkelahian yang seru. Mereka berlima mempergunakan Ngo-heng Kiam-tin (Barisan Pedang Lima Unsur) yang mengangkat nama mereka sebagai pendekar-pendekar besar yang amat terkenal. Amukan Heng San semakin hebat. Lima orang perajurit itu sudah berpelanting dan disambar tamparan tangan dan tendangan kaki Heng San. Auwyang Sin dan Ban Hok semakin gentar. Akan tetapi mereka tidak sempat melarikan diri karena Heng San terus mendesaknya dan pada suatu kesempatan terbuka, Heng San menyerang sambil memekik dahsyat.

   "Haaaiiiiiiittttt....!"

   Pukulan tangannya menghantam dada Ban Hok dan kaki kirinya mencuat ke arah lambung Auwyang Sin. Kedua orang itu menjerit dan roboh tak berkutik lagi. Tulang-tulang iga Ban Hok patah-patah dan isi lambung Auwyang Sin terguncang hebat dan rusak. Pada saat itu datang belasan orang perajurit yang mengeroyoknya.

   Namun, Heng San terus mengamuk. Belasan macam senjata tajam dan runcing menghujani tubuhnya. Pakaiannya koyak-koyak namun tubuhnya terlindung ilmu kekebalan sehingga hanya lecet-lecet dan berdarah-darah. Namun, belasan orang itupun dapat dirobohkan satu demi satu. Sungguh hebat sepak terjang Heng San. Benar-benar dia pantas disebut Pukulan Sakti Tanpa Tanding! Sementara itu, Ciong-yang Ngo-taihiap yang mengeroyok Lui Im Hosiang dapat pula menjepit pendeta sesat yang kosen itu sehingga pada kesempatan terakhir lima batang pedang dengan berbareng bersarang ke dalam tubuh yang berbulu seperti monyet itu dan Lui Im Hosiang memekik seram lalu terkulai roboh dan tewas seketika. Setelah merobohkan Lui 1m Hosiang lima orang pendekar itu segera menyerbu para perajurit yang masih mengeroyok Heng San. Melihat datangnya bantuan ini, Heng San lalu meninggalkan para pengeroyoknya karena ia melihat betapa Ang Jit Tojin masih belum berhasH mengalahkan Lui Tiong yang membela diri mati-matian.

   Heng San berteriak keras dan sebuah serangan tangan kanannya dilancarkan dengan hebat ke lambung si harimau muka kuning. Lui Tiong mengelak, akan tetapi pada saat itu kebutan ujung lengan baju Ang Jit Tojin menyerempet mukanya sehingga dia terhuyung ke belakang. Saat itu dipergunakan oleh Heng San untuk mengayun kepalan dan dengan mengeluarkan suara keras pecahlah kepala Lui Tiong dihantam kepalan maut Heng San! Terdengar suara tawa menyeramkan seperti suara iblis sendiri. Bahkan Ang Jit Tojin sendiri merasa bulu tengkuknya meremang melihat betapa Heng San dengan tubuh penuh darah, juga kedua kepalannya menjadi merah karena darah para korbannya, berjalan perlahan sambil menyeringai menghampiri Thio-ciangkun! Sebagai seorang panglima perang Thiociangkun atau Thio Ci Gan yang nama aslinya adalah Pangeran Abagan, tidak melarikan diri. Dia cukup jantan untuk menghadapi semua itu dengan gagah. Dia berdiri di situ dengan sebatang golok di tangan, menyaksikan betapa para jagoannya tewas seorang demi seorang Pangeran Mancu itu menghela napas panjang melihat kegagahan luar biasa dari Heng San.

   Dia merasa menyesal mengapa dia salah tangan membunuh Lauw Cin dan isterinya, tidak tahu bahwa mereka adalah orang tua Heng San. Dia benarbenar merasa kehilangan seorang pembantu yang hebat, yang sudah menjadi mantunya pula. Dia maklum bahwa saat binasanya telah tiba. Akan tetapi dia hendak mati sebagai seorang panglima yang membela bangsanya, dengan golok di tangan. Maka ketika Heng San menghampirinya dengan sikap yang menyeramkan, dia menanti dengan tenang, dengan golok di tangan, siap untuk melawan sampai darah terakhir! Tiba-tiba Heng San mernekik nyaring dan maju menerjang dengan ganasnya. Akan tetapi ternyata Pangeran Mancu itu bukan seorang lemah. Ilmu silatnya cukup tinggi, gerakannya gesit dan tenaganyapun besar. Dia mengelak dan balas menyerang hebat dengan goloknya. Pada saat itu tenaga Heng San hampir habis. Yang menggerakkan kaki tangannya hanya kenekadan dan hawa amarah yang besar didorong sakit hati yang mendalam. Ketika itu, para pendekar telah berhasil membasmi para pengawal.

   Mayat berserakan dan bertumpuk di ruangan yang luas itu. Semua pendekar berdiri dan menonton perkelahian mati-matian antara Heng San dan Pangeran Abagan alias Thio Ci Gan. Ketika Ciong-yang Ngo-taihiap hendak membantu, Ang Jit Tojin mencegah mereka.

   "Biarkan dia sendiri yang membalas dendamnya,"

   Kata pendeta itu. Karena sudah merasa letih sekali dan kehabisan tenaga, Heng San merasa bahwa tidak mungkin dia dapat merobohkan lawan dengan cara biasa karena lawannya ternyata eukup tangguh. Maka dia lalu mengambil keputusan nekat, yaitu untuk mengadu nyawa. Tiba-tiba dia menggunakan jurus Kong-ciak-kaipeng (Burung Merak Membuka Sayap), kedua tangannya terpentang lalu dia menerkam, tidak memberi jalan keluar bagi lawannya untuk mengelak. Melihat kesempatan ini, Pangeran Abagan lalu menusukkan goloknya ke arah dada Heng San.

   "Ceppp..... kekkk......!"

   Golok itu menembus dada Heng San, akan tetapi kedua tangan Heng San yang menjadi seperti cakar-cakar baja itu juga berhasil mencengkeram leher lawan. Keduanya roboh dan Heng San berada di atas tubuh Pangeran Abagan.

   Ang Jit Tojin dan kawan-kawannya menghampiri dan ternyata kedua orang itu sudah tewas. Golok Thio Ci Gan atau Pangeran Abagan menembus dada Heng San sedang jari-jari kedua tangan Heng San mencengkeram leher lawan sehingga tulang leher itu patah dan biarpun sudah mati, tetap saja kedua tangan Heng San tidak dapat dilepaskan dari leher itu! Ang Jit Tojin dan lima orang pendekar dari Ciong-yang itu menundukkan kepala dan menindas rasa haru yang menindih hati mereka. Mereka lalu menceari Ma Giok yang mereka ketemukan terbelenggu di sebuah kamar tahanan. Mereka lalu membebaskan Ma Giok dan juga membebaskan seluruh keluarga Thiodangkun. Sebagian besar dari keluarga itu memang sudah melarikan diri ketika pertempuran terjadi. Setelah gedung itu kosong, para pendekar lalu membakar gedung itu sehingga semua yang berada dalam gedung itu menjadi makanan api, termasuk mayat mereka yang tewas, juga jenazah Lauw Heng San.

   Tentu saja kota Keng-koan menjadi gempar dan ketika pasukan pembantu dari luar berdatangan, para pendekar sudah melarikan diri dari situ, meninggalkan gedung Thio-ciangkun yang menjadi lautan api. Sambi! menangis terisak-isak wanita muda itu berlari, tersaruk-saruk memasuki kegelapan malam. la adalah Bu Kui Siang, isteri Lauw Heng San yang menaati perintah suaminya untuk melarikan diri ke luar dari rumah, ke luar dari kota Keng-koan dan menuju ke sebelah selatan di luar kota. Hatinya kacau, bingung, gelisah tak menentu. Ia diharuskan membawa buntalan pakaian dan perhiasan melarikan diri ke luar dari kota malam-malam gelap begitu, disuruh pergi ke sebuah kuil yang berada di hutan ke dua di kaki Bukit Ayam. Padahal ia sama sekali tidak tahu dan tidak dapat menduga mengapa ia harus melarikan diri, tidak tahu apa yang telah, sedang dan akan terjadi! Kalau ia membayangkan keadaan suaminya, dengan pakaian berlepotan darah, pakaian cabik-cabik wajahnya begitu menyeramkan, hatinya terasa seperti diremas-remas.

   Pasti telah terjadi sesuatu yang amat hebat. Akan tetapi apa? Tidak ada yang dapat ditanyai. Ia tidak tahu apa perlunya harus melarikan diri. Akan tetapi karena ia percaya sepenuhnya kepada suami yang amat dicintanya, maka iapun menaatinya dengan membuta. Disuruh melarikan diapun melarikan diri, nekat tersaruk-saruk di malam gelap, hanya diterangi sinar bintang yang bertaburan di langit. Karena malam gelap dan ia tidak mengenal jalan, maka Kui Siang akhirnya hanya melangkah perlahan-lahan. Hatinya diliputi rasa takut yang hebat. Bukan saja takut dan gelisah membayangkan yang bukan-bukan akan terjadi pada suaminya melainkan juga ngeri melihat kegelapan di sekelilingnya. Ketika ia tiba di hutan pertama, ia melihat pohor pohon besar itu di dalam kegelapan seperti berubah menjadi bentuk-bentuk iblis dan hantu yang bergerak-gerak seperti hendak menerkamnya. Suara pohon tertiup angin berdesir dan berdesah-desah amat menakutkan, diselingi suara burung dan kutu-kutu malam yang saling sahut dari dalam hutan.

   Hampir pingsan ia ketika tiba-tiba terdengar suara berkerosak, mungkin ada binatang terkejut dan lari dalam semak-semak ketika ia lewat.

   "Thian (Tuhan)..... lindungilah hamMu ini.....

   "

   Ia berdoa sambil terus melangkah maju satu-satu dan perlahanhan. Kakinya terasa hampir patah, tubuhny'a sudah lemas dan kulit kakinya lecet-lecet oleh sepatu karena wanita itu tidak biasa melakukan perjalanan jauh di atas jalan yang kasar dan keras penuh batu itu. Hampir ia tidak kuat dan ia berhenti sebentar, berdiri dan mengatur napas tiba-tiba terdengar suara orang dan nampak ada sinar api bergerak dari dalam hutan. Hati Kui Siang menjadi gembira. Ada orang Ini berarti ia akan mempunyai teman seperjalanan. Dan orang-orang itu membawa obor pula! Sudah tampak bayangan tujuh orang laki-laki dan mereka semua masing-masing membawa sebatang obor. Mereka segera datang mendekat ketika mendengar suara wanita berseru.

   "Heii, kawan-kawan.....! Ke sinilah dan tolonglah aku.....!"

   Setelah tiba dekat, mereka mengepung Kui Siang dan mengangkat obor mereka tinggi-tinggi. Mula-mula tujuh orang yang wajahnya kasar dan bengis itu tampak ketakutan. Siapa yang tidak takut melihat di tepi hutan liar, pada malam hari lagi, seorang wanita yang demikian cantiknya? Mereka mengira bahwa mereka bertemu dengan sebangsa siluman. Walaupun mereka itu orangorang yang biasa melakukan kekerasan dan tukang-tukang berkelahi, namun kalau disuruh berhadapan dengan siluman tentu saja mereka ketakutan! "Ia..... ia..... siluman.....!"

   Beberapa buah mulut berbisik ketakutan dan semua kaki sudah siap untuk meiarikan diri. Akan tetapi laki-Iaki brewok yang usianya sekitar empat puluh tahun, membentak mereka.

   "Goblok! Jangan lari, jangan takut lihat, kedua kakinya bersepatu dan menginjak tanah. Lihat, matanya tidak liar dan tidak ada ekor menonjol keluar dari pinggulnya. Ia bukan siluman, kawan. Ia manusia, seorang wanita yang cantik sekali!"

   Si brewok ini adalah pemimpin gerombolan itu dan mendengar ucapan pemimpin mereka itu, para anak buahnya menjadi berani dan setelah mereka merasa yakin bahwa yang mereka hadapi adalah seorang wanita muda yang cantik jelita dan bukan siluman, mereka tertawa-tawa. Akan tetapi karena si brewok itu sudah menghampiri Kui Siang, maka merekapun tidak berani mengganggu, hanya menonton dengan mata liar, haus dan kagum.

   "Nona, siapakah engkau dan mengapa malam-malam begini berada di hutan ini seorang diri?"

   Tanya si brewok sambil menatap wajah cantik itu dengan sepasang matanya yang besar. Setelah kini berhadapan dekat dengan tujuh orang itu, Kui Siang menjadi takut karena melihat betapa mereka itu berwajah menyeramkan, tampak berngis dan kasar, memandang kepadanya dengan mata melotot seolah hendak menelannya bulat-bulat dengan pandang mata mereka. Berbagai bayangan menakutkan menyusup di benaknya dan ia menjadi pueat, tubuhnya gemetaran.

   Melihat ini, si brewok yang bertubuh tinggi besar itu tertawa bergelak sambil mendongak sehingga tampak perutnya yang gendut terguneang.

   "Ha-ha-ha-ha! Jangan takut, nona manis. Ketahuilah, aku adalah T eng Bhok, seorang pendekar yang memimpin kawan-kawan ini untuk bergabung dengan para pejuang. Kami adalah orang-orang gagah yang tidak pantas ditakuti. Hayo katakan, siapa engkau dan mengapa malam-malam berada di sini?"

   
Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mendengar inl, timbul keberanian dalam hati Kui Siang. Ia Ingin mempergunakan nama suaminya untuk menakut-nakuti mereka.

   "Aku bukan nona, melainkan seorang nyonya. Suamiku adalah Panglima Lauw Heng San, komandan Pasukan Garuda Sakti...." "Wah, ia isteri musuh kita! Bunuh saja, Teng-toako (Kakak Teng)!"

   Teriak seorang anak buahnya dan yang lain juga berteriak-teriak.

   "Kalau kita membunuhnya, kita tentu mendapatkan pahala karena membuat jasa besar!"

   Kata yang lain.

   Tentu saja Kui Siang menjadi semakin ketakutan, apalagi melihat mereka mencabut golok.

   "Diam kalian semua!"

   Teng Bhok membentak. Semua orang terdiam.

   "Simpan golok kalian!"

   Dia membentak lagi. Semua anak buahnya menurut.

   "Suaminya memang musuh kita, akan tetapi perempuan ini milikku, tidak boleh ada yang mengganggu! Hei, nyonya, mulai saat ini engkau harus menuruti semua kata-kata dan kehendakku. Kalau tidak, engkau akan kuserahkan kepada anak buahku biar dijadikan rebutan!"

   Kui Siang menggigil mendengar ancaman ini. Ia dalah seorang wanita lemah akan tetapi cukup cerdik untuk memaklumi bahwa ia berada dalam keadaan yang gawat dan berbahaya sekali.

   "Aku akan taat..... kasihanilah aku, Teng-enghiong (Pendekar Teng), kasihanilah seorang wanita yang tidak berdaya...."

   Teng Bhok tertawa, senang sekali hatinya disebut eng-hiong (pendekar) dan hatinya terasa mongkok (bangga).

   "Haha, engkau akan selamat di bawah perlindunganku.

   Coba kulihat isi buntalanrnu itu!"

   Karena takut orang itu akan mempergunakan kekerasan, terpaksa Kui Siang menyerahkan buntalan pakaiannya. Di bawah sinar banyak obor yang cukup terang, Teng Bhok memeriksa isi buntalan. Dia tertawa girang ketika menemukan perhiasan yang amat berharga itu dan segera menyimpannya dalam kantung bajunya! Ketika menemukan kitab yang diberikan Lauw Heng San kepada isterinya itu, Teng Bhok menyeringai dan membuangnya ke atas tanah. Dia dan enam orang anak buahnya adalah orang-orang buta huruf, apa gunanya kitab itu? Setelah mengaduk-aduk isi buntalan dan melihat bahwa yang ada hanya pakaian wanita, Teng Bhok mengikat lagi buntalan itu dan menyerahkan kepada Kui Siang.

   "Nih, bawalah buntalanmu."

   Kui Siang menerima buntalan itu tanpa mencela. Kitab yang dibuang tadi telah ia ambil dan ia simpan di balik pakaiannya. Baginya, kitab itu yang terpenting daripada segalanya.

   Setelah menyerahkan buntalan, Teng Bhok menoleh kepada enam orang anak buahnya dan sambil menyeringai dia berkata.

   "Sekarang kalian menjauhlah dari sini, tinggalkan kami berdua dan jangan ganggu aku!"

   Enam orang itu tertawa-tawa dan pergi meninggalkan tempat itu. Kini hanya Teng Bhok dan Kui Siang berdua saja yang berada di situ. Teng Bhok lalu menancapkan gagang obornya di atas tanah, lalu dia menghampiri Kui Siang dan berkata.

   "Siapa namamu?" "..... Nyonya Lauw Heng San.....

   " "Hush! Maksudku nama kecilmu!" "Namaku Bu Kui Siang....." "Nama yang bagus, secantik orangnya Nah, Kui Siang, mulai sa at ini engkau menjadi isteriku tersayang!"

   Si brew ok tinggi besar itu makin mendekat. Kui Siang melangkah mundur dan tiba-tiba timbul keberanian luar niasa dalam hatinya melihat kehormatannya terancam. Lebih baik mati daripada ternoda lakilaki jahanam ini! Ia tidak takut mati.

   "Teng-enghiong, aku adalah seorang wanita baik-baik. Aku bersedia menjadi isterimu, akan tetapi secara terhormat, dengan pernikahan yang sah. Kalau engkau memaksaku dan memperkosa aku, maka aku pasti akan membunuh diri! Jangan engkau sentuh aku sebelum engkau menikahi aku dengan sah!"

   Suara wanita itu kini sama sekali tidak mengandung rasa takut, bahkan mengancam! Akan tetapi T eng Bhok yang sudah dibakar nafsu berahinya itu menganggap ucapan itu hanya gertak sambal belaka.

   "Ha-ha-ha, bagaimana engkau hendak membunuh diri, manis? Engkau tidak punya racun, tidak punya senjata tajam mau bunuh diri, aku selalu dapat mencegahmu, ha ha ha?" "Hemmm, kau kira aku begitu bodoh? aku dapat melompat ke jurang, aku dapat membenturkan pecah kepalaku pada batu, dinding dan lain-lain, atau aku dapat menggigit lidahku sendiri sampai putus dan mati kehabisan darah! Masih ada seribu cara untuk membunuh diri"

   Teng Bhok terkejut.

   Benar juga, pikirnya. Dia sudah tergila-gila melihat wanita yang amat cantik ini. Sayang kalau membunuh diri. Dia ingin Kui Siang menjadi isterinya yang akan menghiburnya selamanya "Aih, jangan lakukan itu, sayang......

   "

   Dia menahan diri dan tidak berusaha merangkul lagi.

   "Kalau begitu, hentikan niatmu memperkosa aku!"

   Kui Siang menghardik.

   "Tapi engkau benar mau kuperisteri secara terhormat, kunikahi dengan sah?" "Kita lihat saja perkembangannya nanti. Kalau engkau tidak bersikap kasar dan kurang ajar kepadaku, tentu aku bersedia."

   Teng Bhok sudah tergila-gila kepada Kui Siang dan dia tidak ingin kehilangan wanita itu, maka dia mengangguk.

   "Baik, Kui Siang, aku akan sabar menanti sampai kita menikah dan engkau menyerahkan dirimu dengan suka rela kepadaku!"

   Setelah berkata demikian Teng Bhok memanggil enam orang anak buahnya.

   Mereka bermunculan dan merasa heran mengapa pemimpin mereka tampaknya masih belum melakukan apa-apa terhadap wanita cantik itu. Akan tetapi mereka tidak berani bertanya.

   "Hayo kita lanjutkan perjalanan. Mari Kui Siang, engkau ikut denganku."

   Rombongan itu melanjutkan perjalanm mereka dan Kui Siang terpaksa mengikut laki-laki tinggi besar brewok itu. Bagaimanapun juga, untuk sementara ia selamat dari perkosaan. Dan perasaan wanitanya menyadarkan bahwa laki-laki kasar ini agaknya benar-benar jatuh cinta padanya sehingga menuruti permintaan dan syaratnya. Masih banyak waktu dan kesempatan baginya untuk dapat membebaskan diri dari laki-laki kasar ini. Dalam hatinya ia tidak percaya bahwa laki-laki seperti ini seorang pendekar patriot. seorang pejuang. Menurut cerita ibunya, seorang pendekar pejuang adalah seorang yang budiman, bukan pengganggu wanita seperti Teng Bhok dan anak buahnya ini yang sepak terjangnya seperti perampok!

   Perhiasannya juga sudah dirampas orang kasar ini. Untung bahwa kitab pemberian suaminya itu tidak dirampas. Ia hanya mempertahankan kitab itu dengan segala kemampuannya, karena kitab itu diperuntukkan anak yang dikandungnya! Teringat.kan ini, ia teringat kepada suaminya. hampir ia menangis menjerit-jerit kalau teringat suaminya. Apa yang terjadi? Ia belum mengetahui apa yang terjadi dan kini ia terjatuh ke tangan gerombolan orang kasar dan jahat! Karena perjalanan itu tidak dapat cepat walaupun menggunakan obor, pada kesokan harinya barulah rombongan itu tiba di tempat yang dituju. Ketika melihat bahwa mereka berada di depan sebuah kuil tua di kaki bukit, Kui Siang terbelalak dan jantungnya berdebar keras. Bukankah ini kuil di kaki Bukit Ayam seperti yang diceritakan suaminya, kemana ia harus pergi dan di situ terdapat sahabat-sahabat suaminya? Ia menanti dan memandang ke arah kuil dengan harap-harap cemas.

   Di ruangan depan kuil itu tampak ada enam buah peti mati berjajar dan seorang tosu memimpin sembahyangan. Yang bersembahyang ada belasan orang bersama tosu itu. Melihat ini, Teng Bhok memberi isarat kepada Kui Siang dan enam orang anak buahnya untuk maju menghampiri kuil. Ang Jit Tojin, tosu yang memimpin upacara sernbahyang itu, setelah mengetahui akan kedatangan serombongan orang itu, cepat keluar dan menyambut mereka di pekarangan kuil. Dia segera ditemani lima orang gagah yang bukan lain adalah Ciong-yang Ngo-taihiap (lima pendekar besar dari Ciong-yang). Para pendekar ini siap siaga melihat tujuh orang yang berwajah bengis dan bersikap kasar itu, akan tetapi merekapun merasa heran sekali melihat ada seorang wanita muda yang cantik jelita dan berpakaian seperti bangsawan menggendong buntalan pakaian datang bersama rombongan laki-laki kasar itu.

   Teng Bhok. yang memimpin rombonganya memandang kepada Ang Jit Tojin dan lima orang pendekar gagah perkasa dari Ciong-yang dan dia mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan secara sembarangan, diturut oleh enam orang anak buahnya. Sebagai orang-orang yang rnempelajari tata susila Ang Jit Tojin dan lima orang kawanya membalas penghormatan itu.

   "To-tiang,"

   Kata Teng Bhok dengan suaranya yang nyaring.

   "Kami mendengar bahwa para pendekar pejuang berada di kuil ini dan kami ingin menjumpai mereka. Benarkah kami berhadapan dengan para pendekar yang berjuang melawan emerintah Mancu penjajah?"

   Ang Jit Tojin mengangguk dan sambil memandang dengan sinar mata penuh selidik dan berkata.

   "Benar, kami adalah pimpinan para pendekar pejuang. Pinto bernama Ang Jit Tojin dan lima orang rekan ini adalah Ciong-yang Ngo-taihiap siapakah cu-wi (anda sekalian) dan apa keperluan cu-wi mencari kami?"

   Teng Bhok tertawa dengan bangga.

   "Ha-ha-ha, kebetulan sekali kami dapat menemukan para pendekar pejuang. Perkenalkan, kami adalah pendekar-pendekar dan aku menjadi pemimpinnya. Namaku Teng Bhok berjuluk Pat-jiu Hekwan (Lutung Hitam Bertangan Delapan)! Keperluan kami menjumpai kawan-kawan adalah untuk bergabung, bersama-sama berjuang melawan para pembesar Mancu!" "Bagus!"

   Kata Ang Jit Tojin dengan girang. Baginya tidak peduli orang sikapnya halus atau kasar, pintar atau bodoh, asal berwatak pendekar dan bersemangat untuk menentang pemerintah penjajah Mancu, tentu saja dapat diterima sebagai kawan seperjuangan.

   "Akan tetapi, siapakah nona ini?"

   Dia bertanya heran sambi! menunjuk kepada Kui Siang yang nampak pucat dan gelisah karena ia sarna sekali tidak menyangka bahwa yang dimaksudkan sabahat oleh suaminya adalah para pejuang ini.

   Bukankah selama ini suaminya membantu ayah tirinya menentang dan membasmi para pemberontak? "Oh, ha-ha-ha, ia adalah calon isteriku, to-tiang. Setelah kami diterima menjadi anggauta pasukan pejuang, aku kan segera melangsungkan pernikahanku dengan calon isteriku yang cantik jelita seperti bidadari ini, ha-ha-ha!"

   Ang Jit Tojin dan Ciong-yang Ngo-tahiap mengerutkan alisnya mendengar ucapan yang kasar itu. Kui Siang melihat sikap tosu dan lima orang gagah itu dan tahu bahwa mereka merasa tidak senang, laka iapun cepat melangkah maju dan berkata dengan suara lantang.

   "To-tiang dan eu-wi tai-hiap! Apa ang dikatakannya itu bohong belaka!" "Hai, diam kau!"

   Teng Bhok membentak.

   "Biarkan dia bicaraP' Tiba-tiba orang tertua dari Ciong-yang Ngo-taihiap yang bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat berseru sambil memandang kepada Teng bhok. dengan sinar mata mencorong.

   "Lanjutkan bicaramu, nona!"

   Sambungnya kepada Kui Siang.

   "Saya bernama Bu Kui Siang, isteri dari Lauw Heng San komandan Pasukan Garuda Sakti" "Ha-ha, ia isteri musuh besar kita! Karena itu aku sengaja menangkapnya! Bagaimana, kawan-kawan? jasaku besar, bukan?"

   Kata Teng Bhok bangga. Akan tetapi Ang Tit Tojin terkejut bukan main mendengar pengakuan Kui Siang ini. Dia sudah mendengar akan wanita ini dari para penyelidik, akan tetapi dia belum pernah melihatnya sendiri sehingga tadi tidak mengenalnya. Setelah mengetahui bahwa wanita itu isteri Lauw Heng San, dengan gerakan cepat sekali Ang Jit Tojin maju dan menyambar lengan wanita itu, ditarlknya sehingga kini Kui Siang berdiri di dekatnya, jauh dari Teng Bhok dan enam orang anak buahnya.

   "Heii, to-tiang! Apa yang kaulakukan ini?"

   Tanya Teng Bhok sambil mengerutkan alisnya.

   "Toa-nio, lanjutkan ceritamu. Bagaimana engkau bisa tertawan oleh mereka itu?"

   Mendengar pertanyaan yang nadanya lembut bersahabat itu, hati Kui Siang merasa lega dan ia teringat kepada suaminya lalu mengusap beberapa butir mata yang mengalir turun.

   "Malam tadi suami saya pulang dalam keadaan yang menyedihkan. Pakaiannya penuh darah, mukanya pucat dan dia menyuruh saya cepat berkemas, membawa pakaian dan perhiasan. Tanpa sempat memberi penjelasan dia memerintahkan agar saya malam itu juga melarikan diri luar kota dan menuju ke kuil di kaki kit Ayam ini. Saya tidak tahu apa yang terjadi dan dia juga tidak memberitahu, hanya bilang bahwa berbahaya sekali bagi sava kalau saya tinggal di rumah dan bahwa saya akan mendapat pertolongan dari para sahabatnya di kuil ini. Terpaksa saya menaati perintahnya, melarikan diri di malam tadi. Di tengah perjalanan sava bertemu dengan mereka ini. Perhiasan saya dirampas dan dia ini akan memaksa saya mimjadi isterinya.

   Tadinya ia hendak memperkosa saya, akan tetapi saya mengancam akan membunuh diri dan... dan dia mengajak saya ke sini.

   "Hemmm...! Jahanam busuk macam kalian ini mengaku pendekar dan hendak menjadi pejuang?"

   Bentak Song Kwan yang berjuluk Kiam-sian (Dewa Pedang), orang pertama Ciong-yang Ngo-tahiap yang berusia empat puluh tahun dan bertubuh tinggi besar. Ang Jit Tojin memberi isarat kepada Song Kwan agar bersabar dan dia memandang kepada Teng Bhok dengan alis berkerut.

   "Saudara Teng Bhok, benarkah apa yang diceritakan Nyonya Lauw Heng San ini?"

   Teng Bhok tersenyum dan mengangguk.

   "

   To-tiang, apa salahnya? ia jelas isteri komandan Pasukan Garuda Sakti, musuh besar kita! Apa salahnya kaiau aku merampas barangnya dan hendak memaksanya menjadi isteriku? Ini merupakan tugas kita kaum pejuang, bukan?!

   "Toa-nio, masuklah dan beristirahatlah dalam kuil dan jangan khawatir, kami akan melindungimu."

   Kata Ang Jit Tojin kepada Kui Siang, melihat wanita itu tampak lelah sekali dan gelisah.

   "Terima kasih, to-tiang."

   Kata Kui Siang dan ia membawa buntalannya memasuki kuil.

   "Ang Jit Tojin! Aku minta penjelasan, bagaimana ini? Tidak salahkah penglihatan dan pendengaranku bahwa engkau sebagai pimpinan para pejuang malah melindungi isteri musuh besar kita?"

   Teng Bhok bertanya dengan marah. Ang Jit Tojin menatap wajah Teng Bhok dengan sinar mata tajam penuh teguran.

   "Teng Bhok, engkau merampok dan hendak memperkosa wanita! Perbuatanmu itu sama sekali bukan perbuatan pendekar, melainkan perbuatan penjahat! penjahat seperti engkau ini hendak menjadi pejuang? Ingatlah, pejuang bukanlah penjahat keji!" "Ang Jit Tojin, ini tidak adil! Sudah anyak aku mendengar bahwa para pejuang suka mencuri dan merampok harta enda para pembesar kerajaan Mancu yang dimusuhinya!

   Kenapa kalau kami yang merampok isteri seorang panglima antek Mancu dicela? Apa bedanya?" "Hemm, jelas besar sekali bedanya. pejuang mencuri dan merampok barang milik pembesar Mancu bukan untuk dirinya sendiri, melainkan hasilnya untuk beaya perjuangan, akan tetapi engkau merampok demi kesenanganmu sendiri. Seorang pejuang sejati tidak akan mengganggu wanita. Orang-orang seperti engkau ini hanyalah penjahat-penjahat yang berkedok pejuang untuk menutupi kejahatan kalian! Orang-orang macam kalian inilah yang mencemarkan perjuangan, yang membuat para pejuang dianggap penjahat dan perampok. Hanya kebetulan saja kalau malam ini yang kau ganggu adalah isteri seorang panglima pemerintah Mancu. Andaikata wanita itu seorang rakyat biasa, tentu akan kau ganggu juga. Adalah kewajiban kami para pendekar pejuang, bukan hanya untuk menentang pemerintah Mancu, akan tetapi juga membasmi orang-orang seperti kalian yang hanya menyusahkan rakyat jelata!"

   "Gila! Jauh-jauh kami datang untuk bergabung dan bekerja sama, malah kami ditentang!"

   Teng Bhok marah dan memaki sambi! mencabut goloknya. Dia marah karena ucapan Ang Jit Tojin itu tepat mengenai sasaran dan membuka rahasia hatinya. Memang pada dasar hatinya, Teng Bhok dan enam orang kawannya ini ingin membonceng para pejuang demi keuntungan diri mereka sendiri.

   "Sian-cai! Teng Bhok, engkau dan kawan-kawanmu ini sadarlah, bertaubatlah dan hentikan kesesatan kalian sebagai penjahat dan kami akan menerima tenaga bantuan kalian dalam perjuangan ini dengan senang hati. Akuilah kesalahan kalian, kembalikan perhiasan Nyonya Lauw dan kami akan mempertimbangkan permintaan kalian untuk bergabung."

   Tentu saja Teng Bhok tidak sudi bergabung kalau dia dilarang merampok atau berbuat sesuka hatinya. Lebih baik menjadi tentara pemerintah penjajah mendapat bayaran tinggi dan kedudukan, daripada harus berjuang tanpa mendapatkan apa-apa!

   "Enak saja! Tosu sombong, kami tidak sudi bergabung kalau begitu. Kami dapat bertindak sendiri memusuhi para pembesar. Cepat kembalikan calon isteriku bentaknya sambi! mengacungkan goloknya mengancam. Enam orang anak buahnya juga sudah mencabut golok dan siap berkelahi. Mereka ini memang merupakan orang-orang yang sudah terbiasa memaksakan kehendak mereka sendiri. Orang lain harus menurut kehendak mereka atau mereka akan menggunakan kekerasan. Entah sudah berapa banyak orang tewas menjadi korban keganasan mereka.

   "Jahanam busuk macam kalian memang tidak pantas dibiarkan-hidup, hanya akan mendatangkan kesengsaraan pada rakyat saja!"

   Song Kwan membentak dan dia juga mencabut pedangnya.

   "Ang-totiang (pendeta Ang) dan kempat sute, biar aku sendiri yang membasmi mereka!"

   Song Kwan, orang tertua dari Ciong-yang Ngo-taihiap ini memang memiliki watak yang keras.

   Akan tetapi juga ilmu pedangnya paling unggul di antara mereka berlima. Dia melompat ke depan Teng Bhok sambil melintangkan pedangnya didepan dada. Teng Bhok yang sudah marah sekali lalu menerjang dengan goloknya dan 6 orang anak buahnya tanpa dikomando juga sudah mengepung Song Kwan karena mereka tadi mendengar betapa pendekar itu menyombongkan diri hendak maju seorang diri menghadapi mereka bertujuh! "Manusia sombong, bersiaplah untuk mampus!"

   

Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Suling Naga Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini