Si Rajawali Sakti 13
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
Hui Lan dan Liu Cin tertegun. Inikah calon guru yang mereka cari, guru yang ditunjuk oleh Si Han Lin? Wanita itu mengenakan pakaian kuning dan putih dari kain yang kasar, namun bersih dengan potongan sederhana, mungkin buatan para wanita dusun. Dua orang muda itu saling pandang, lalu Hui Lan mengangguk dan mereka berdua maju lalu menjatuhkan diri berlutut di depan batu besar itu.
"Siankouw, mohon maaf kalau kedatangan kami mengganggu ketenangan Siankouw yang terhormat."
Kata Hui Lan, karena Liu Cin tidak tahu harus berkata apa. Yang memiliki kepentingan adalah Hui Lan, dan dia hanya mengantarkan saja. Thian Te Siankouw membuka kedua matanya dan memandang kepada dua orang muda itu bergantian, lalu terdengar ia berkata, suaranya lembut.
"Kulihat kalian sehat saja, kenapa kalian datang ke sini? Apa yang kalian kehendaki?"
Biarpun suara itu lembut, namun didalamnya mengandung getaran yang penuh wibawa sehingga Hui Lan meras betapa jantungnya berdebar tegang. Ia pikir, kalau ia langsung minta agar di terima menjadi murid, ia khawatir kalau kalau nenek itu menolak, maka sambi memberi hormat ia berkata.
"Siankouw yang mulia, saya mohon belas kasihan Siankouw agar sudi menolong saya "
"Hemmm, kulihat engkau sehat, tidak sakit "
"Badan saya memang tidak sakit, Siankouw, akan tetapi batin saya sakit, sakit parah sekali, rasanya ingin mati aja."
Thian Te Siankouw mengerutkan alisnya dan menatap wajah Hui Lan penuh perhatian. Sinar matanya yang tajam itu seolah akan menembus dan menjenguk ke dalam hati gadis itu. Agaknya ia tertarik dan berkata.
"Engkau menderita sakit hati? Sakit hati apakah yang membuatmu ingin mati saja?"
Tentu saja Hui Lan tidak ingin menceritakan bahwa dirinya telah diperkosa oleh Chou Kian Ti, apalagi di depan Liu Cin. Malapetaka itu akan ia rahasiakan untuk dirinya sendiri, tidak akan diceritakannya kepada siapapun juga, kecuali mungkin, kalau terpaksa, kepada ayah ibunya.
"Siankouw, saya merasa sakit hati sekali karena telah ditipu. Ayah ibu saya telah menerima lamaran Jenderal Chou yang hendak menjodohkan saya dengan puteranya. Saya menerimanya karena saya harus berbakti kepada orang tua saya. Akan tetapi ternyata Jenderal Chou itu melamar saya untuk puteranya bukan karena puteranya ingin menikah dengan saya, melainkan karena keluarga Chou itu hendak memanfaatkan tenaga saya untuk membantu rencana pemberontakan mereka. Saya menolak dan mereka menghina dan memaki saya. Saya melawan akan tetapi kalah, maka saya mohon Siankouw sudi mengajarkan ilmu silat tinggi kepada saya agar saya dapat membalas perlakuan mereka dan terutama sekali agar saya mampu menantang mereka yang hendak memberontak kepada Sribaginda Kaisar."
Thian Te Siankouw menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak bisa mengajarkan ilmu silat, kalau engkau mau belajar ilmu pengobatan, boleh saja."
"Tolong, Siankouw. Saya melakukan itu bukan sekadar membalas dendam, melainkan terutama sekali untuk menentang dan menghalangi niat mereka untuk membunuhi para pejabat tinggi yang setia kepada Sribaginda Kaisar."
Kembali Thian Te Siankouw menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak mempunyai urusan dengan dendam atau pun pemberontakan. Biar mereka yang berkepentingan saja yang mengurusnya."
(Lanjut ke Jilid 13)
Si Rajawali Sakti (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 13
"Siankouw yang mulia, tolonglah saya..... saya.... tidak akan bangkit berdiri lagi sebelum Siankouw mengabulkan permohonan saya dan menerima saya sebagai murid..."
Hui Lan tidak dapat menahan kesedihan hatinya dan mulailah ia menangis teringat akan dendamnya kepada Kian Ki yang tidak mungkin dapat terbalas kalau ia tidak memperoleh bimbingan seorang guru yang sakti.
Mendengar ini, nenek itu mengerutkan alisnya lagi, akan tetapi ia tetap menggeleng-gelengkan kepalanya, bahkan ia lalu memejamkan kedua matanya lagi, tidak mempedulikan dua orang mu yang berlutut di depannya itu. Liu Cin merasa iba sekali kepada Hu Lan. Dia dapat merasakan betapa besa kekecewaan hati gadis itu yang ditolak mentah-mentah oleh Thian Te Siankouw. Apalagi kini melihat gadis yang dicinta nya itu menangis sedih sedangkan nenek yang dimintai tolong sama sekali tidak mempedulikan malah memejamkan mata nya kembali. Perutnya terasa panas!
"Sudahlah, Hui Lan!"
Katanya dengan nyaring.
"Tidak ada gunanya lagi minta minta kepadanya. Seorang yang telah menggunakan julukan Siankouw biasanya berhati penuh belas kasihan kepada orang, akan tetapi mungkin yang satu ini merupakan kekecualian. Lebih baik engkau menghadap gurumu, Locianpwe Tiong Gi Cinjin, dan minta beliau melatihmu lagi untuk memperdalam ilmu silatmu."
"Siapa??"
Pertanyaan yang merupakan teriakan ini mengejutkan Liu Cin dan Hui Lan. Mereka memandang dan melihat nenek itu sudah membuka matanya dan kini memandang tajam kepada Hui Lan.
"Siapa nama gurumu, Nona?"
"Suhu bernama Tiong Gi Cinjin,"
Kata Hui Lan sambil mengusap air matanya dan berhenti menangis.
"Dia mempunyai tahi lalat di dagu kanannya dan tubuhnya agak pendek?"
Nenek itu bertanya cepat.
"Benar, Siankouw, Suhu Tiong Gi Cinjin mempunyai tahi lalat di dagu kanannya dan beliau agak pendek dan gemuk." "Ahhh, dulu dia tidak gemuk "
Nenek itu berdiam diri, memandang ke atas seperti orang melamun.
"Siankouw mengenal Suhu?"
Tanya Hui Lan, harapannya timbul kembali.
"Hemmm berapa lamanya engkau belajar silat dari Tiong Gi Cinjin?" "Sekitar sepuluh tahun, Siankouw."
"Hemmm, sepuluh tahun? Kalau begitu, tingkat kepandaianrnu sudah cukup kuat. Apalagi yang dapat kuajarkan kalau Tiong Gi Cinjin sudah melatihmu selama sepuluh tahun? Dan engkau, orang muda, apakah engkau juga ingin belajar silat?"
Sebetulnya, Liu Cin hanya ingin mengantar dan menemani Hui Lan saja akan tetapi untuk mendukung gadis itu dia pun berkata dengan tegas. ' Benar Siankouw, saya ingin memperdalam ajpa yang pernah saya pelajari."
"Siapa gurumu? Apakah Tiong Gi Cin-jin juga?"
"Bukan, guru saya adalah Ceng Iri Hosiang dari Siauwlimpai."
"Hemmm, murid Siauwlimpai? Mengapa masih harus memperdalam ilmu silat! mu?"
"Agar saya memiliki kemampuan yang lebih besar untuk menentang kejahatan, dan menegakkan kebenaran dan keadilan Siankouw."
Kembali Thian Te Siankouw mengamati wajah kedua orang muda itu beri gantian. Kemudian ia menghela napas panjang dan bertanya;
"Siapa nama kalian?"
"Saya bernama Ong Hui Lan, Siankouw."
"Saya bernama Liu Cin."
"Liu Cin, engkau mencinta Hui Lan, bukan?"
Tiba-tiba nenek itu bertanya dari pertanyaan tiba-tiba ini tentu saja membuat Liu Cin terkejut dan dia menjawab gagap.
"Apa maksud Siankouw? Ini..... hal ini saya "
"Seorang gagah harus berani berkata sejujurnya. Jawabanmu penting sekali bagiku untuk memutuskan apakah aku dapat mengajarkan sesuatu kepada kalian ataukah tidak. Hayo jawab sejujurnya, apakah engkau mencinta Hui Lan?"
Pada dasarnya memang Liu Cin memiliki watak yang terbuka dan jujur, maka dia menjawab dengan tegas.
"Benar, Siankouw, saya mencinta Hui Lan!"
"Dan engkau, Hui Lan, apakah engkau mencinta Liu Cin?"
Kini nenek itu bertanya kepada Hui Lan.
Gadis itu menundukkan mukanya yang berubah merah sekali. Bukan hanya merah karena merasa malu, akan tetapi juga karena diam-diam tanpa suara ia menangis karena terharu. Mendengar Liu Cin mengatakan bahwa dia cinta padanya dengan begitu tegas, ia merasa terharu sekali. Memang ia dapat melihat dari sinar mata, gerak-gerik, suara dan juga sikap Liu Cin yang selama ini selalu membelanya, bahwa pemuda itu mencintanya. Akan tetapi mendengar Liu Cin demikian tegas menyatakan cintanya, ia merasa terharu. Liu Cin terlalu baik baginya, sedangkan ia sendiri, ia sama sekali tidak berharga untuk menerima cinta kasih Liu Cin. Ia seorang gadis yang telah ternoda!
"Hayo, Hui Lan, engkau harus menjawab agar aku dapat menentukan apakah aku dapat membantu kalian mempelajari sesuatu ataukah tidak!"
Kata Thian Te Siankouw mendesak.
Hui Lan tidak berani berbohong. Dalam keadaan menderita kepedihan batin seperti ini, bagaimana mungkin ia memikirkan tentang cinta? Akan tetapi tentu saja ia kagum, dan suka kepada Liu Cin.
"Siankouw, saya merasa suka dan kagum kepada Liu Cin."
Akhirnya ia menjawab.
"Bagus! Itu sudah cukup sebagai awal cinta! Untuk mempelajari ilmu ini terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama mempelajari ilmu ini harus dilatih oleh sepasang pria dan wanita. Kedua, mereka haruslah pria dan wanita yang saling mencinta. Dan ke tiga, mereeka harus memiliki tenaga sakti yang cukup kuat untuk dapat mempelajari ilmu mi. Nah, syarat pertama dan ke dua telah kalian miliki, yaitu kalian adalah sepasang pemuda dan gadis yang saling mencinta, sekarang syarat ke tiga dan hal ini haruslah aku yang mengujinya. Kalian bangkitlah dan saling mengunci jari-jari sebelah tangan satu kepada yang lain dan berdiri di hadapanku lalu memasang kuda-kuda sambil mengerahkan seluruh tenaga sinkang kalian. Aku akan mendorong kalian dengan kedua tanganku, kalian sambut dengan sebelah tangan kalian dan pertahankan dirimu, jangan sampai kalian terdorong jatuh. Kalau kalian sampai terjatuh, berarti tenaga sinkang masih kurang kuat untuk mempelajari ilmu itu. Akan tetapi kalau dapat bertahan sehingga tidak sampai jatuh, berarti kalian boleh mempelajarinya. Nah, bersiaplah!"
Karena ingin sekali mempelajari ilmu silat tinggi, Hui Lan dengan penuh semangat sudah berdiri di sebelah kanan Liu Cin. la dan pemuda itu menyatukan jari-jari sebelah tangan mereka, lalu dengan tubuh sedikit merendah mereka memasang kuda-kuda dan menyatukan tenaga sinkang mereka kemudian Hui Lan menjulurkan tangan kanannya ke depan sedangkan Liu Cin menjulurkan tangan kirinya ke depan, siap menyambut serangan dorongan nenek yang hendak menguji mereka itu.
Dengan masih duduk bersila di atas batu, Thian Te Siankouw berkata.
"Majulah lagi agar tangan kalian dapat bertemu kedua tanganku."
Dua orang itu melangkah dekat dan kini berdiri dekat sehingga kedua telapak tangan Thian Te Siankouw yang dijulurkan ke depan itu dapat bertemu dengan dua telapak tangan mereka.
"Kalian sudah siap?"
Dua orang muda itu mengangguk. Tiba-tiba mereka merasa betapa dari telapak tangan nenek itu ada hawa yang panas dan kuat sekali mendorong mereka. Mereka segera mengerahkan dan menyatukan tenaga melalui kedua tangan mereka menahan dorongan itu sekuatnya. Tak lama kemudian, kedua tangan nenek yang amat panas itu seketika berubah dingin seperti es! Dua orang muda itu terkejut, akan tetapi dengan penuh semangat mereka tetap bertahan walaupun perubahan hawa dari amat panas menjadi amat dingin itu menyusup ke dalam tubuh dan membuat tubuh mereka terasa ngilu. Mereka tetap bertahan walaupun Thian Te Siankouw mengubah-ubah hawa sin-kangnya.
"Pertahankan ini!"
Nenek itu membentak dan tiba-tiba ia mendorongkan-kedua telapak tangannya itu sepenuh tenaganya. Bagaikan disambar badai, sepasang muda mudi itu terdorong mundur, akan tetapi kaki mereka tetap menginjak tanah, tak pernah diangkat walaupun mereka terdorong mundur sampai hampir dua tombak jauhnya! Dan mereka tidak sampai roboh!
Thian Te Siankouw bangkit berdiri lalu melompat turun dari atas batu. Tubuhnya ternyata tampak ramping ketiak ia turun dan berdiri. Wajahnya berseri memandang dua orang muda itu.
"Bagus, kalian berdua memenuhi tiga syarat, agaknya kalian memang berjodoh dengan Ilmu Thian-te Im-yang Sin-ku yang luar biasa itu."
Hui Lan melangkah maju dan berlutut di depan kaki nenek itu, diikuti oleh Li Cin.
"Subo (Ibu guru)!"
Mereka berdua memberi hormat.
"Eiiittt eittttt! Jangan, aku bukan gurumu, bangkitlah, aku bukan! gurunmu dan jangan sekali-kali menyebut Subo kepadaku. Duduklah di atas batu-batu di luar itu dan tunggu aku sebentar."
Liu Cin dan Hui Lan saling pandang, akan tetapi biarpun, merasa heran mereka tidak berani membantah. Mereka bangkit dan menghampiri batu-batu di luar gua dan duduk di situ. Sementara itu, Thian Te Siankouw memasuki gua besar itu dan tak lama kemudian ia sudah keluar lagi membawa sebuah buntalan kain kuning. Ia lalu duduk bersila di atas batu yang berhadapan dengan dua orang muda itu dan setelah menatap wajah mereka berdua, ia menghela napas panjang lalu berkata.
"Ketika muda, aku bertemu dengan seorang nenek tua renta yang sudah mendekati ajalnya. Ia meninggalkan sebuah kitab kepadaku, yaitu kitab pelajaran ilmu silat yang disebut Thian-te Im-yang Sin-kun dengan pesan bahwa isi kitab itu harus dipelajari sepasang pria dan wanita yang saling mencinta dan yang sudah memiliki dasar tenaga dalam yang kuat. la mengatakan pula bahwa kalau dipelajari seorang saja, baik pria maupun wanita, dapat membahayakan orang itu sendiri. Pada waktu itu aku mempunyai seorang sahabat baik, yaitu Lo Tiong Gi yang kini menjadi Tiong Gi Cinjin gurumu itu, Hui Lan. Aku menawarkan untuk mempelajari dan melatih ilmu dalam kitab itu bersama, akan tetapi dia menolak menganggap aku sebagai sahabat baik, tidak lebih! Kami saling berpisah dengan perasaan tidak enak. Aku sendiri tersiksa dan memilih hidup sebagai pertapa. Aku sudah mencoba untuk memperdalam ilmuku dan sudah pernah aku memberanikan diri berlatih seorang diri menurut isi kitab ini. Akan tetapi hampir saja aku menjadi gila atau mungkin mati tersiksa sebagai akibatnya. Untung aku tidak terlambat menghentikannya. Nah, sekarang, mendengar bahwa engkau murid Lu Tiong Gi dan engkau ingin sekali mempelajari ilmu silat yang tinggi, aku berikan kitab ini kepada dan engkau dapat mempelajari dan melatihnya bersama Liu Cin. Akan tetap aku tidak mau kalian anggap sebagai guru karena gurumu adalah penulis kitab ini yang tidak kuketahui siapa orangnya. Bahkan nenek yang dulu memberikan kitab ini kepadaku juga tidak sempat kukenal namanya."
Dengan girang Hui Lan menerima kitab itu. Sambil berlutut ia mengucapkan terima kasih, diturut oleh Liu Cin.
"Banyak terima kasih kami ucapkan"
Siankouw. Biarpun kami tidak boleh menyebutmu sebagai guru, namun di dalam hati kami akan selalu menganggapmu sebagai guru."
"Hemmm, sekarang kuanjurkan kalian pergi ke sebelah selatan bukit ini. Disana ada sebuah bukit yang oleh para penduduk dusun disebut Bukit Siluman. Terdapat sebuah gua besar di puncaknya dan tak seorang pun penduduk berani mendaki puncak itu karena mereka beranggapan bahwa di sana merupakan tempat tinggal siluman. Kalian dapat melatih diri dengan tenang. Inti pelajaran kitab ini ditekankan kepada latihan ilmu sinkang. Gerakan silatnya hanya ada tujuh jurus, maka kalau memang kalian tekun dan berbakat, dalam waktu sebulan saja kalian sudah dapat merampungkan latihan kalian. Nah, pergi dan carilah Bukit Siluman itu."
Hui Lan dan Liu Cin kembali mengucapkan terima kasih, lalu mereka pergi mencari bukit itu. Setelah menemukannya dan memasuki gua besar di puncaknya, mereka berdua mulai mempelajari isi kitab Thian-te Im-yang Sin-kun. Ternyata benar seperti yang dikatakan Thian-te Siankouw, inti pelajarannya adalah bersamadhi, mengatur pernapasan dan menghimpun tenaga sakti yang dilakukan berdua! Mereka harus duduk bersila berhadapan, terkadang mempertemukan kedua telapak tangan mereka satu sama lain dan mempersatukan tenaga sakti lalu mengendalikan tenaga itu bersama-sama.
Ada kalanya mereka melatih gerakan silat yang hanya tujuh jurus itu. Namun tujuh jurus yang luar biasa dan dilakukan secara berpasangan pula! Setelah kurang lebih satu bulan, mereka berdua dapat menguasai ilmu Thian-te Im-yang Sin-kun dan mendapat kenyataan bahwa biarpun masing-masing memperoleh kemajuan besar sehingga tenaga sakti mereka bertambah kuat sekali, namun kepandaian dan kekuatan yang mereka dapatkan itu harus mencapai puncak kehebatannya kalau mereka melakukan berdua untuk menghadapi lawan yang tangguh. Ilmu itu adalah ilmu berpasangan antara unsur Im (positive) dan Yang (negative) Kedua unsur yang saling berlawanan ini, seperti tenaga Bulan dan Matahari, atau Wanita dan Pria, kalau dipersatukan memang akan menghasilkan kekuatan yang amat dahsyat.
Setelah merasa telah menamatkan pelajaran itu. Hui Lan dan Liu Cin kelluar dari gua di puncak Bukit Silumai dan hendak menuruni Bukit Siluman. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan ada angin yang kuat sekali mengguncang pohon-pohon di depan mereka. Mereka terkejut dan cepat memandang ke depan dan siap siaga. Tak lama kemudian muncullah makhluk yang menyeramkan. Sepasang orang muda itu maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang manusia, namun keadaan manusia itu sungguh menyeramkan. Tubuhnya tinggi besar sekitar tujuh kaki sehingga tinggi Liu Cin hanya sampai pundak raksasa itu.
Tubuh dengan pakaian pertapa yang sudah banyak robek itu juga amat kekar, dengan otot-otot seperti kawat besar melibat-libat lengan, dan dadanya, tonjolan-tonjolan otot yang membayangkan tenaga yang mengerikan. Mukanya seperti muka singa, penuh brewok, sepasang matanya yang lebar itu mencorong. Liu Cin dan Hui Lan saling pandang. Agaknya inilah yang membuat bukit itu disebut Bukit Siluman. Tentu mahluk ini yang dianggap siluman oleh penduduk, sukar menaksir usianya, akan tetapi tentu sudah setengah abad lebih. Liu Cin yang berhati-hati segera maju dan mengikat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan dan dia berkata.
"Maaf, Sobat. Kami hanya ingin lewat dan menuruni bukit ini, harap engkau tidak menghalangi kami."
Akan tetapi orang atau makhluk itu hanya menggereng-gereng seperti orang sambil menuding-nuding ke arah yang berlawanan, seolah mengusir mereka agar kembali dan mengambil jalan lain.
"Kami tidak mencari permusuhan, akan tetapi minggirlah dan biarkan kami lewat!"
Bentak Liu Cin dan dia lalu mendorongkan tangannya untuk membuat makhluk itu minggir. Akan tetapi orang liar itu dapat mengelak cepat dan lengannya yang besar bergerak, tangannya menampar ke arah pundak Liu Cin! Merasa betapa tamparan Itu mendatangkan angin pukulan yang amat dahsyat, Liu in mengelak dan dia balas memukul lawannya memapaki dengan telapak tangan.
"Desssss....!!"
Demikian kuatnya tenaga dorongan makhluk itu sehingga tubuh Liu Cin terjengkang dan dia tentu akan roboh kalau saja tidak cepat membuat poksai (salto) ke belakang sampai tiga kali sehingga terhindar dari bantingan. Hui Lan marah melihat Liu Cin terdorong mundur.
"Haittttt....."
Ia maju menyerang dan memukul ke arah dada raksasa itu. Kembali makhluk itu menyambut dengan telapak tangannya yang lebar.
"Desssss..!"
Tubuh Hui Lan juga terlempar ke belakang. Seperti yang dilakukan Liu Cin ia pun berjungkir balik beberapa kali sehingga tidak sampai terbanting roboh.
Setelah latihan selama satu bulan menurut petunjuk kitab Thian-te Im yang Sin-kun, bukan hanya dikerahkan kalau ia menggabungkan tenaganya dengan tenaga Liu Cin yang menjadi pasangannya berlatih. Kini makhluk yang memiliki tenaga amat besar itu sudah lari lagi mendekati mereka. Hui Lan dan Liu Cin tahu apa yang harus mereka lakukan.
"im-yang Sin-kang."
Keduanya berseru dan tangan kanan Liu Cin kini bersatu dengan tangan kiri Hui Lan. Ketika makhluk itu menyerang dengan kedua telapak tangan yang dipukulkan ke depan, mereka menyambut dengan kedua tangan mereka.
"Blarrr..."
Tubuh makhluk liar Itu terlempar dan roboh. Akan tetapi dia memang tangguh sekali. Begitu terbanting jatuh, dia bergulingan lalu melompat bangun dan melarikan diri sambil mengeluarkan teriakan-teriakan liar, agaknya lari ketakutan.
Hui Lan dan Liu Cin merasa girang sekali. Mereka kini dapat memperoleh bukti kehebatan ilmu yang mereka latih selama sebulan di gua puncak Bukit Siluman itu. Mereka kini mendaki Bukit Tengkorak. Dalam perjalanan menuruni Bukit Siluman lalu mendaki Bukit Tengkorak ini pun mereka merasa betapa mereka dapat berlari lebih cepat daripada sebelum melatih ilmu dari kitab pemberian Thian Te Siankouw.
Thian Te Siankouw duduk di atas batu depan guanya seperti biasa ketika dua orang muda itu datang menghadapnya, Hui Lan dan Liu Cin segera menjatuhkan diri berlutut di depan pertapa wanita itu karena hati mereka merasa girang dan berterima kasih sekali kepadanya. Mereka melaporkan bahwa mereka telah melatih diri menurut kitab itu dan memperoleh kemajuan yang nyata. Hui Lan juga mengembalikan kitab Thian-te Im-yang Si kun itu kepada Thian Te Siankouw sambil mengucapkan terima kasih. Kemudian ia menceritakan tentang makhluk liar yang menghadang mereka dan yang dapat mereka kalahkan.
"Siancai..,..! Dia bertemu dengan kalian dan dengan Thian-te Im-yang Si kun kaitan dapat mengalahkannya? Kalau begitu kalian benar-benar telah berhasil!"
"Akan tetapi siapakah makhluk liar itu, Siankouw? Dia itu manusia ataukah siluman?"
Tanya Liu Cin.
Thian Te Siankouw menghela napa panjang.
"Kasihan sekali dia Liu Cin. Dia itu seorang manusia yang lihai dan dahulu dia seorang Saikong (sebangsa pendeta To). Agaknya dia merupakan seorang yang menjadi korban cinta tidak mendapat sambutan sehingga wataknya menjadi aneh.Dia bertapa dan tidak pernah meninggalkan Bukit Siluman, makan dari tumbuh-tumbuhan dan binatang hutan di bukit itu. Dan semenjak dia tinggal di situ, maka bukit itu disebut Bukit Siluman oleh penduduk dusun. Saikong itulah yang dianggap silumannya. Akan tetapi dia tidak pernah mengganggu orang, asal dia tidak diganggu. Tadi kukira dia mengira bahwa kalian akan mengganggunya, maka dia menjadi marah."
Hui Lan merasa terpukul perasaannya mendengar ucapan pertapa itu.
"Siankouw, apakah selalu cinta itu mendatangkan derita batin kepada manusia?"
Ia teringat akan keadaannya sendiri.
Thian Te Siankouw tersenyum.
"Ada dua macam cinta, Hui Lan, Cinta yang suci murni tidak mementingkan diri sendiri dan cinta ini mendatangkan kebahagiaan. Yang seringkali mendatangkan derita adalah cinta nafsu yang selalu haus akan kesenangan bagi dirinya sendiri sehingga seringkali menimbulkan kekecewaan dan duka."
Setelah menerima nasehat dari Thian Te Siankouw agar mereka berdua tetap menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan dan membela orang-orang lemah yang tertindas, Hui Lan dan u Cin lalu turun dari Bukit Tengkorak dan melanjutkan perjalanan mereka menuju ke kota raja!. Perjalanan ke kota raja sekali ini bagi Hui Lan bukan sekadar ingin membalas dendamnya kepada Chou Kian Ki, akan tetapi terutama sekali karena ia ingin membela Kaisar Sung Thai Cu dan menentang Keluarga Jenderal Chou yang merencanakan pemberontakan dengan membunuhi para pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar!
Di antara anggauta keluarga Kaisar Sung Thai Cu yang dulunya bernama Chou Kuang Yin, yang paling dekat dengan Sri baginda Kaisar adalah Chou Kuang Tian, adik Chou Kuang Yin yang setelah kakaknya menjadi kaisar lalu memperoleh sebutan Sung Thai Cung. Pangeran Sung Thai Cung ini berusia kitar empat puluh lima tahun. Sewaktu mudanya dulu, seperti juga kakaknya, menjadi tentara dan sudah memperoleh kedudukan cukup tinggi dalam angkatan perang sebagai seorang perwira tinggi Setelah kakaknya menjadi kaisar, Kuang Tian atau Pangeran Sung Cung tidak memegang jabatan tertentu akan tetapi dia dekat dengan kakak nya yang menjadi kaisar dan terkadang bertindak sebagai penasehat kaisar dan melakukan pengawasan terhadap para pejabat tinggi kota raja.
Pangeran Chou Kuang Tian atau Sung Pwi Cung bertubuh tinggi tegap dan gagah. Sebagai bekas perwira tinggi yang sudah berpengalaman tentu saja dia seperti juga kakaknya, ahli dalam ilmu perang dan memiliki iimu silat yang cukup tangguh. Dia seorang ahli panah pandai dan ilmu tombaknya juga kuat. Selain gagah, pangeran ini juga amat setia dan patuh kepada kakaknya yang kini menjadi Kaisar Sung Thai Cu kaisar pertama pendiri Kerajaan Sung. Selain menjadi pena sehat kakaknya tinggal pula di dalam istana, di bahagian timur bersama keluarga Pangeran Sung Thai Cung ini pun diberi tugas untuk mendidik dan melindungi keponakannya yaitu Pangeran Thian Cu, putera Kaisar Sung Thai Cu yang ketika itu berusia lima tahun.
Biarpun sebagai putera Kaisar yang dapat juga sebut Putera Mahkota karena Pangeran Thian Cu merupakan putera permaisuri, Pangeran Thian Cu memiliki pasukan pengawal khusus yang menjaganya, namun tetap saja Kaisar minta bantuan adiknya untuk mengamati dan menjaga keselamatan puteranya. Juga biarpun di istana terdapat banyak ahli sastra dan ahli tatanegara yang dapat mendidik Pangeran Thai Cu, Tetap saja Kaisar Sung Thai Cu minta kepada Chou Kuang Thian, adiknya itu, untuk mendidik puteranya soal kemiliteran dan mengawasi pendidikan sastra dan tatanegara yang diberikan oleh guru-guru yang pandai. Oleh karena itu Pangeran Thian Cu yang masih kecil itu lebih banyak tinggal di bagian istana sebelah Timur yang menjadi tempat tinggal Pangeran Chou Kuang Tan. Pada suatu sore. Pangeran Thian Ci bermain-main di taman bunga yang berada di samping bangunan tempat tinggi Pangeran Chou Kuang Tian, bersama dua orang putera Pangeran Chou Kuang Tian yang usianya tujuh dan sembilan tahun.
Yang mengawasi dan menjaga Pangeran Thian Cu saat itu adalah tiga orang pengawal dari pasukan pengawal khusus yang diperbantukan kepada Chou Kuang Tian untuk menjaga keselamatan Pange-Mahkota Thian Cu. Mereka bertiga duduk dengan santai di atas bangku sambil menonton tiga orang anak bangsawan bermain-main.
Tiba-tiba datang dua orang berpakaian perajurit pengawal memasuki taman itu. Tiga orang perajurit yang menjaga keselamatan Pangeran Mahkota Thian Cu memandang dengan heran. Mereka tidak mengenal dua orang perajurit pengawal itui padahal tentu saja mereka mengenai semua perajurit yang bertugas di situ. Tiga orang pengawal itu menjadi curiga dan cepat mereka berlari, mengejar karena dua orang perajurit yang tidak mereka kenal itu mendekati anak-anak yang sedang bermain-main.
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hei kalian berdua, berhentilah!"
Bentak mereka. Tiba-tiba dua perajurit tak dikenai itu mencabut pedang. Setelah tiga orang penjaga itu dekat, langsung saja mereka berdua menyerang dengan pedang mereka, tiga orang perajurit sudah mencabut golok dan melawan.
Seorang di antara dua perajurit palsu itu berkata kepada kawannya.
"Cepat laksanakan tugas, biar aku yang menahan tiga ekor anjing ini!"
Pangeran Mahkota Thlan Cu dan dua orang saudara sepupunya melihat perkelahian itu dan melihat pula betapa seorang di antara dua orang perajurit menghampiri mereka dengan pedang di tangan Pangeran Thian Cu yang baru berusia lima tahun itu sama sekali tidak measa takut, bahkan dia berdiri tegak, bertolak pinggang dan membentak perajurit palsu yang menghampirinya dengan sikap mengancam.
"Siapa engkau dan mau apa engkau?"
Pembunuh yang menyamar sebagai perajurit itu tiba-tiba tersentak dan tercengang karena dalam bentakan anak kecil itu terkandung wibawa yang amat besar. Sejenak dia berdiri diam seperti patung dan hal ini menyelamatkan nyawa pangeran kecil itu karena pada saat itu muncul Pangeran Chou Kuang Tian. Dia melihat perajurit itu menggerakkan pedangnya akan menyerang Pangeran Thian Cu.
"Jahanam!"
Chou Kuang Tian melompat dan kakinya menendang. Pembunuh itu terpaksa mengelak dan tidak jadi membacok Pangeran Thian Cu. Chou Kuang Tian sudah menerjangnya dengan pedang dan mereka berdua segera berkelahi dengan seru. Akan tetapi, pembunuh itu tidak mampu menandingi kelihaian Chou Kuang Tian dan setelah lewat belasan jurus, pedang di tangan Chou Kuang Tian atau Pangeran Sung Thai Cung itu telah menembus dadanya dan dia pun terkulai roboh dan tewas.
Sementara itu, pembunuh ke dua masih dikeroyok tiga orang perajurit pengawal dan dia bahkan telah merobohkan seorang perajurit dan perajurit yang dua orang lagi sudah terdesak, tidak mampu mengimbangi kelihaian penjahat itu. Melihat ini, Chou Kuang Tian melompat dan menyerang dengan pedangnya. Pembunuh itu hanya mampu bertahan sepuluh jurus. Tiba-tiba lengan kirinya terbabat pedang dan putus sebatas pergelangan tangannya. Pedangnya terlepas dan sebelum dia dapat melarikan diri, kaki Chou Kuang Tian menendang lututnya dan dia pun roboh.
Chou Kuang Tian menodongkan pedangnya ke leher orang itu dan menghardik.
"Hayo cepat katakan siapa yang mengutusmu membunuh Pangeran Mahkota Kaiau tidak mau mengaku, akan kupotong potong sedikit demi sedikit bagian tubuhmu "
Pembunuh itu agaknya hendak bunuh diri dengan menelan sesuatu karena tangan kirinya mengeluarkan sebuah pil dari saku bajunya.
"Crakkk"
Putuslah tangan kirinya terbabat pedang Chou Kuang Tian.
"Cepat katakan atau aku mulai memotong telinga dan hidungmu!"
Diancam demikian, pembunuh itu ketakutan. Kalau dibunuh mati dia tidak takut, akan tetapi disiksat dipotong sedikit-sedikit, sungguh amat nyeri dan tersiksa setengah mati.
".... ampunkah hamba... yang mengutus.... ada tiga orang..... mereka menanti di luar tembok gerbang sebelah selatan....."
Pedang di tangan Chou Kuang Tian berkelebat dan pembunuh itu pun tewas, beberapa orang perajurit pengawal berlari-lari ke dalam taman.
"Lindungi Pangeran dan bawa ke dalam gedung. Urus mayat-mayat ini!"
Katanya dan cepat Pangeran Sung Thai Cung lari ke istal lalu tak lama kemudian kudanya sudah membalap keluar dari kota raja melalui pintu gerbang selatan.
Setelah tiba di luar tembok kota raja, di jalan umum yang sudah sepi di tepi persawahan, dia melihat tiga orang berdiri di tepi jalan. Dia segera menahan kudanya dan setelah kuda itu berhenti tak jauh dan mereka, Chou Kuang Tian dapat melihat mereka dengan jelas. Saat itu sudah menjelang senja, namun sinar matahari sore masih cukup terang. Dia melihat seorang kakek berusia sekitar enam puluh tahun, bertubuh tinggi kurus berpakaian seperti tosu akan tetapi pakaiannya dari sutera halus dan mewah, berpedang di punggungnya, dan orang ke dua juga seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun, tinggi besar berkulit kehitaman wajahnya brewok menyeramkan dan pinggangnya digantungi sebatang golok besar dan di punggungnya tampak sebatang gendewa dan tempat anak panah. Orang ini dari pakaiannya dapat diketahui bahwa dia bukan Pribumi Han, melainkan dari Suku Khitan, suku yang terkenal gagah berani, pandai menunggang kuda dan
pandai pula mempergunakan anak panah.
Orang ke tiga membuat Chou Kuang Tian merasa heran
karena ia adalah seorang gadis muda, paling banyak dua puluh lima tahun usianya. Gadis itu cantik manis, senyum dan gerakan matanya mengandung daya tarik yang amat kuat. Pakaiannya indah dan di rambutnya terdapat tiga batang bunga merah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Pinggangnya ramping sekali dan biarpun la berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang lembut seperti pohon yang-liu tertiup angin sepoi-sepoi.
Chou Kian Tian merasa sangsi. Inikah orang-orang yang mengirim dua orang penjahat untuk membunuh Pangeran Mahkota tadi? Akan tetapi siapa mereka dan mengapa mereka menyuruh orang membunuh Pangeran Mahkota? Satu-satunya yang mungkin melakukannya adalah orang berpakaian Khitan itu. Tidak terlalu mengherankan kalau bangsa Khitan hendak membunuh Pangeran Mahkota karena mereka memang selalu merupakan pihak yang ingin menguasai Cina. Tiba-tiba Chou Kuang Tian teringat. Kakek tinggi kurus itul Dia cepat melompat turun dan atas punggung kudanya, lalu menghampiri tiga orang yang memandangnya dengan sikap tak acuh.
Chou Kuang Tian langsung saja menghadapi kakek tinggi kurus berpakaian seperti tosu itu.
"Maaf, kalau tidak salah Totiang (Bapak pendeta) adalah pembantu dari Jenderal Chou Ban Heng, dan berjuluk Hong-san Siansu, benarkah?".
Kakek itu memang Hongsan Siansu Kwee Cin Lok adanya, dua orang temannya adalah Kallon tokoh Khitan dan Ang-hwa Niocu Lai Cu Yin yang menjadi pembantu-pembantu atau sekutu-sekutu Jenderal Chou Ban Heng. Jenderal Chou Ban Heng memang cerdik. Dia mulai dengan rencananya, yaitu antara lain membunuh Putera Mahkota Thian Cu akan tetapi dia tidak begitu bodoh untuk turun tangan sendiri menyuruh pembunuh melakukan pembunuhan itu. Maka mengutus tiga orang tokoh sakti itu untuk melaksanakan pembunuhan terhadap Putera Mahkota Thian Cu di tempat tinggal Pangeran Chou Kuang Tian di kompleks istana. Hong San Siansu mengutus dua orang anggota Hong-sanpang yang sudah memiliki tingkat silat cukup tinggi untuk melakukan pembunuhan itu dengan menyamar sebagai perajurit sehingga dengan mudah memasuki kompleks istana.
Hong San Siansu memesan kepada mereka berdua bahwa kalau tugas mereka berhasil, mereka akan memperoleh hadiah besar. Kalau gagal agar mereka membunuh diri dengan pil yang diberikan kepada mereka. Akan tetapi kalau mereka terpaksa mengaku agar membuat pengakuan bahwa yang menyuruh adalah tiga orang yang menanti di luar kota raja. Hal ini dilakukan untuk memancing Chou Kuan Tlan yang menjaga, keamanan keponakannya itu agar mau dari kota raja.
Kini, melihat Chou Kuang Tian berdiri di depan mereka seorang diri, Hong San Soansu tertawa dan seperti sudah diatur sebelumnya, yang menjawab pertanyaan Chou Kuang Tian adalah Kallon, adalah Khitan yang tinggl besar dan brewok itu.
"Huh, engkau Chou Kuang Tian, panglima Kerajaan Chou yang berkhianat, memberontak dan kini menjadi adik Kaisar Sung, bukan? Kebetulan, kita adalah musuh lama. Ingat aku. Kallon panglima bangsa Khitan? Terimalah kematianmu!!"
Kallon segera menerjang maju dan menyerang dengan goloknya. Chou Kuang Tian cepat mengelak ke kiri dan balas
Setelah lewat belasan jurus. Hong San Siansu turun tangan membantu Kallon yang mulai terdesak walaupun belum tentu Chou Kuang Tian akan dapat mengalahkannya karena tingkat kepandaian mereka seimbang. Begitu Hong San Siansu yang amat lihai itu maju mengeroyok, tentu saja Pangeran Chou Kuang Tian menjadi repot dan terdesak hebat. Melawan Hong San Siansu saja dia tidak mungkin dapat menang apalagi dikeroyok dua!
Sementara itu, Ang-hwa Niocu Lai Cu Yin yang juga berada di situ, hanya berdiri dan menonton saja. Ia tidak membantu dua orang rekannya dan yang menjadi penyebabnya mudah diduga. Gadis ini sudah tertarik sekali dan timbul gairahnya melihat Pangeran Chou Kuang Tian yang gagah perkasa itu. Belum pernah ia bercinta dengan seorang pangeran tulen, maka kini pandang matanya terhadap Chou Kuang Tian seperti mata seekor kucing melihat ikan! Akan tetapi, bagaimanapun juga tentu saja ia tidak berani untuk membela pangeran itu dan menentang dua orang rekannya yang lihai.
Keadaan Pangeran Chou Kuang Tian benar-benar gawat dan dia sudah mandi keringat karena kini tombaknya yang masih dapat dia pergunakan untuk menyerang Kallon kini hanya dapat diputar menjadi perisai melindung diri dari hujan serangan pedang dan golok kedua orang pengeroyoknya. Dia sama sekali tidak dapat balas menyerang dan agaknya dia tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring "Hanya pengecut yang suka main keroyokan!."
Dan tampak bayangan hitam berkelebat. Ternyata yang datang adalah Song Kui Lin.
Mendengar bentakan ini. Hong San Siansu sebagai seorang datuk besar tentu saja merasa malu dan tidak enak, maka dia menghentikan serangannya. Kallon juga menahan goloknya karena dia rasa agak jerih kalau maju sendiri. Melihat yang datang seorang gadis remaja berusia sekitar delapan belas tahun, Ang-hwa Niocu Lai Cu Yin tertarik dan ia memandang penuh selidik. Ia melihat gadis muda yang cantik jelita, wajahnya bulat telur, sepasang matanya bersinar indah dan mulutnya yang kecil mungil dan manis itu dihias senyum simpul mengandung ejekan. Tubuhnya sintal padat dengan pinggang kecil ramping. Pakaiannya serba hitam dengan ikat pinggang merah. Ikat pinggang ini sebenarnya adalah sarung pedangnya yang dapat dibelitkan sebagai ikat pinggang saking tipis dan lemasnya. Rambutnya panjang dikuncir ke belakang.
"Hei, engkau anak kecil jangan mencampuri urusan orang tua. Siapa engkau, lancang sekali mulutmu. Hayo pergi kalau tidak ingin kuhajar!"
Bentak Ang Hwa Niocu galak karena seperti biasa ia merasa iri kalau melihat seorang gadis yang lebih muda dan tampak begitu cantik jelita, membuat ia merasa kalah menarik. Kui Lan memandang Ang Hwa Niocu Lai Cu Yin dari kaki yang bersepatu hitam sampai ke rambut kepala yang dihias tiga bunga merah itu, lalu tertawa nakal.
"Hi-hik, aku memang anak kecil. Akan tetapi engkau ini nenek-nenek tua kenapa masih begini genit, pakai tiga tangkai bunga merah di rambut segala? Aih, sungguh tampak semakin jelek menggelikan dan engkau tidak malu, nenek tua!"
Mendengar ucapan itu, Cu Yin merasa isi kepalanya seperti dibakar. Sepasang matanya mendelik seperti mengeluark api dan tangan kanannya bergerak.
"Singgg....."
La telah mencabut pedangnya dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Kui Lin.
"Bocah keparat bosan hidup! Katakan dulu siapa namamu agar engkau tidak mati tanpa nama!"
Bentaknya.
"Hari ini nonamu Ang Hwa Niocu akan membunuhmu!"
"Mau tahu aku siapa? Jangan gemetar ketakutan kalau engkau tahu julukanku. Aku adalah Hek I-Lihiap yang sudah terkenal di seluruh dunia sebagai tukang membunuh nenek-nenek jelek dan jahat"
"Jahanam busuuuuuukkk!"
Ang Hwa Niocu yang biasanya pandai bicara itu sekali ini mati kutu karena ia sudah terbakar isi hati dan kepalanya sehingga tidak mampu membalas ucapan pedas yang amat menghina itu. Ia sudah menyerang dengan pedangnya, menusuk arah dada yang mulai membusung itu.
"Eiiittttt! Nenek-nenek ini galak juga!"
Kata Kui Lin yang diam-diam terkejut sekali melihat serangan yang demikian ganas dan cepat. la melompat ke belakang dan cepat menghunus pedangnya yang dipakai sebagai sabuk. Dua orang wanita yang sama-sama cantik ini segera saling serang dan gerakan mereka yang indah dan ringan membuat tubuh mereka berubah menjadi bayang-bayang yang terselimuti dua gulungan sinar pedang yang saling menekan dan saling menolak.
Melihat Ang Hwa Niocu sudah saling serang dengan gadis remaja yang datang memaki-maki tadi, Hong San Siansu berkata kepada Pangeran Chou Kuang Tian.
"Nah sekarang bersiaplah untuk mampus, Chou Kuang Tian!"
Setelah berkata demikian, Hong San Siansu menyerang lagi, diikuti oleh Kallon sehingga terpaksa Chou Kuang Tian memutar tombaknya sambil mundur.
Akan tetapi tampak bayangan putih kelebat dan ada angin menyambar dahsyat ke arah dua orang itu. Hong Siansu terkejut sekali karena sambaran angin itu membuat dia tertahan dan tidak dapat maju. bahkan Kalion sampai terhuyung ke belakang! Ternyata di situ telah berdiri seorang pemuda berpakaian putih yang bukan lain adalah Sin-tiaw Eng-hiong Si Han Lin!
Hong San Siansu yang berpengalaman tidak memandang rendah pemuda ini, karena dari dorongannya yang mendatangkan angin dahsyat itu saja membuat dia menyadari bahwa pemuda itu adalah seorang yang amat tangguh. Dia tidak mau berpanjang kata lagi karena kalau gagal membunuh Pangeran Mahkota dan gagal pula membunuh Pangeran Chou Kuang Tian, tentu dia akan mendapat teguran keras dari Pangeran Chou Ban Heng yang kini berpangkat Jenderal. Maka dia segera menyerang Han Lin dengan pedangnya yang dia lontarkan atas dan menggunakan kekuatan sihir untuk mengendalikan pedang itu. Pedang itu terbang dan berubah menjadi sinar yang menyambar ke arah leher Han Lin, Pemuda ini juga maklum akan datangnya serangan seorang lawan berat, maka cepat bagaikan kilat tangannya sudah mencabut Pek-sin-kiam. Cahaya putih berkelebat ketika dia menggunakan Pek-sin-kiam untuk membacok ke arah pedang terbang itu sambil mengerahkan naga saktinya.
"Hyaaattttt"!"Dia berseru dan sinar putih pedangnya menyambar ke arah sinat kuning dari pedang terbang lawan.
"Trakkk""
Pedang terbang itu patah menjadi dua dan jatuh ke atas tanah. Sepasang rnata Hong San Siansu terbelalak. Pedangnya patah oleh pedang pemuda itu.
Hampir dia tidak dapat percaya dan dia melihat betapa pemuda itu dengan tenangnya menyarungkan kembali pedangnya. Gerakan ini memanaskan perutnya, jelas bahwa pemuda itu memandang rendah dirinya. Setelah pedangnya dibikin patah, pemuda itu agaknya merasa tak perlu menggunakan senjata lagi untuk melawan dia yang senjatanya sudah patah! Tentu saja sebagai seorang tokoh besar dunia kangouw yang juga berdudukan sebagai Ketua Hong-sanpang, Hongsan Siansu Kwee Cin Lok menjadi penasaran dan marah sekali. Masa tidak mampu menandingi seorang yang usianya baru dua puluh tahun dan yang pantas menjadi cucunya? Akan tetapi, dia juga ingin sekali mengetahui siapa adanya pemuda ini.
"Bocah sombong, siapa engkau berani melawan aku Hongsan Siansu ketua Hong san-pang?"
"Hongsan Siansu, namaku SI Han Lin. Pergilah dan ajak dua orang temanmu itu. Tidak pantas rasanya seorang yang berjuluk Siansu sepertimu mengeroyok dan hendak membunuh orang!"
Kata Han Lin dengan tenang.
Dia memang tidak tahu mengapa ada perkelahian di situ akan tetap! melihat orang dikeroroyok tentu saja dia dan Kui Lin turun tangan membantu pihak yang dikeroyok karena mereka berdua melihat betapa para pengeroyok itu berusaha sungguh sungguh untuk membunuh orang yang dikeroyok. Han Lin tidak ingin membuat permusuhan dia mengalah dan hanya menyuruh mereka pergi. Akan tetapi Hongsan Siansu sudah tidak dapat mengendalikan dirinya lagi yang dikuasai oleh kemarahan karena merasa dipandang remeh oleh pemuda ingusan itu.
"Haiiiittt".!"
Dia berteriak lantang dengan kedua tangannya secara bergantian dia memukul dengan pukulan jarak jauh Thai-tek-jiu!. Sebelum memukulkan kedua telapak tangannya, dia tadi menggosok-gosok kedua telapak tangannya sehingga tampak asap mengepul dan terdengar suara berkeritikan disusul munculnya bunga api!. Itulah ilmu pukular Thai-tek-jiu (Pukulan Halilintar) yang amat ampuh.
Han Lin memang sudah siap sejak tadi. Dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan tangguh, maka dia bersikap hati-hati dan waspada. Begitu melihat kakek itu menggosok-gosok kedua telapak tangannya yang mengeluarkan bara api dan asap, dia pun mengetahui bahwa Hongsan Siansu memiliki pukulan yang berhawa panas melebihi api dan kalau pukulan itu mengenai tubuh yang tidak memiliki kekebalan yang kuat, kulit tubuh dapat hancur terkelupas seperti terkena air mendidih. Dia cepat menyambut dengan kedua tangannya didorongkan ke depan sambil mengerahkan sin-kang yang berhawa dingin,
"Wuuuttttt."
Wessssshhhhb...!"
Desis itu berkepanjangan seperti bara dimasukkan ke dalam air dan tampak dari kedua tangan Hongsan Siansu mengebulkan banyak asap. Tadinya Hongsan Siansu yang ingin membuat lawan roboh, menyerang sambil menerjang maju sehingga kedua tangannya bertemu dengan kedua tangan Han Lin. Akan tetapi akibatnya membuat dia kaget setengah mati karena hawa panas dari kedua telapak tangannya seperti api yang disiram air. Seluruh tubuhnya menggigil dan ketika Han Lin melepaskan tenaganya, barulah Hongsan Siansu dapat menarik kembali kedua tangannya yang tadi seolah melekat pada telapak tangan pemuda itu. Dia terhuyung ke belakang dan segera melompat berlindung di balik asap putih tebal.
Kini Han Lin yang tidak mempedulikan lawannya, cepat mengibaskan tangannya ke arah Ang Hwa Niocu dan Kallon yang membuat Kui Lin dan Pangeran Chou Kuang Tian terdesak. Sambaran angin yang keluar dari kibasan tangannya pun terasa berat bagi Ang Hwa Niocu dan Kallon sehingga mereka terdorong kebelakang. Mereka terkejut, apalagi melihat betapa Hongsan Siansu sudah melarikan diri. Mereka juga segera berlompatan pergi mengejar ketua Hong-san-pang Itu. Pangeran Chou Kuang Tian kini berhadapan dengan Han Lin dan Kui Lin. Memandang kagum sekali dan amat bersyukur karena dia tahu bahwa tanpa adanya dua orang muda itu dia pasti tidak akan mampu meloloskan diri dari terkaman maut di tangan tiga orang yang berkepandaian tinggi itu. Maka biarpun dia seorang pangeran adik Kaisar, namun Pengeran Chou Kuang Tian mendahului memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap di depan dada dan menjura.
"Terima kasih atas pertolongan ji-wi (Anda berdua) yang menyelamatkan saya dari tangan orang-orang jahat tadi"
"Ah, tidak perlu berterima kasih pada kami, Sobat. Sudah menjadi kewajiban kami untuk membantu orang-orang yang terancam oleh orang-orang jahat. Akan tetapi mengapa engkau dikeroyok oleh dua orang sakti itu. Siapakah engkau?"
Tanya Han Lin sambil mengamati wajah yang gagah dan pakaian yang terbuat dan sutera halus itu.
Tanpa ada nada membanggakan di Pangeran Chou Kuang Tian menjawab "Saya adalah Pangeran Chou Kuang Tian."
Tentu saja Han Lin dan Kui Lin terkejut bukan main. Bahkan Kui Lin cepat, berlutut di depan pangeran itu.
"Aih, ampunkan saya, Pangeran, saya tidak nengenal Paduka sehingga bersikap kurang hormat."
"Pangeran? Sungguh mengejutkan dapat berjumpa dengan Paduka di tempat ini."
Kata Han Lin sambil memberi hormat dan membungkuk.
Pangeran Chou Kuang Tian tertawa.
"He..he.. jangan bersikap berlebihan. Nona. Di hutan seperti ini kita tidak perlu pergunakan banyak upacara peradatan. siapakah kalian dua orang pemuda yang lihai?" "Pangeran, sayabernama Si Han Lin ini adalah Song Kui Lin. Kebetulankami dapat bertemu dengan Pangeran disini karenasesungguhnya kami berdua juga sedang dalam perjalanan menuju ke kota raja dan hendak menghadap Paduka."
"Ah, benarkah? Kalian berdua hendak menemuiku di kota raja?"
"Benar, Pangeran. Sebetulnya, Adik Song Kui Lin inilah yang hendak menghadap Paduka dan saya hanya mengantarkannya. la membawa surat dari ayah tirinya untuk disampaikan kepada Paduka." "Ah, benarkah itu,Nona Song? Siapakah ayahmu dan di mana dia tinggal?"
"Ayah tiri saya bernama Kwa Siong dan dia menjadi perwira kepala keamanan kota Cin-an, Pangeran."
"Perwira Kwa Siong, kepala keamanan di Cln-an? Ahhh, ya, aku ingat dan engkau ini anaknya, Nona?"
"Anak tirinya. Pangeran. Perwira Kwa Siong seorang duda, ibuku seorang janda maka"..mereka..... eh, kini Pewira Kwa menjadi ayah tiri saya. Ini surat untuk Paduka."
Pangeran Chou Kuang Tian menerima surat itu, membuka dan membaca. Dia mengangguk-angguk dan alisnya berkerut.
"Hemmm, agaknya Perwira Kwa Siong lebih tahu akan pengkhianatan Jenderal Chou Ban Heng. Aku memang sudah curiga ketika melihat Hongsan Siansu tadi karena dia adalah orang kepercayaan Jenderal Chou Ban Heng! Bagus sekali. Ayahmu menganjurkan agar engkau membantu kami memperkuat Kerajaan Sung dari pemberontakan sisa-sisa orang yang berniat mendirikan kembali Kerajaan Chou. Mari, engkau ikut denganku ke istana, Song Kui Lin. Dan engkau juga Si Han Lin. Aku menyebut nama kalian begitu saja karena bagaimanapun juga kalian masih muda dan pantas menjadi anak atau keponakanku. Mari kita berangkat."
"Silakan Paduka pergi ke istana bersama Adik Kui Lin, Pangeran. Saya sendiri siap sedia membantu, akan tetapi saya ingin bebas dan akan tinggal di rumah penginapan saja."
Pangeran Chou Kuang Tian maklum akan watak para pendekar kangouw yarig tidak suka terikat, maka ia menawarkan kudanya untuk ditunggangi Kui Lin. Dia sendiri berjalan kaki ditemani Han Lin. Sikap ini saja membuat Han Lin dan Kui Lin kagum sekali. Pangeran adik kaisar ini benar-benar seorang yang bijaksana dan sama sekali tidak sombong, mau mengalah kepada seorang wanita, menyuruh Kui Lin menunggangi kudanya sedangkan dia sendiri malah berjalan kaki.
Jenderal Chou Ban Heng tentu saja segera mendengar betapa usahanya menyuruh bunuh Pangeran Mahkota melalui tiga orang sekutunya telah gagal, bahkan dua orang anggota Hong-san-pang yang melaksanakan tugas pembunuhan itu telah tewas di tangan Pangeran Chou Kuang Tian. Diam-diam dia telah mendenar berita ini dari gurunya, yaitu Hongsan Siansu yang menceritakan betapa Hongsan Siansu, Kallon, dan Ang Hwa Niocu juga gagal membunuh Pangeran Chou Kuang Tian karena munculnya Si Han Lin dan seorang gadis berjuluk Hek I Lihiap. Peristiwa ini dengan sendirinya membuat Jenderal Chou Ban Heng berhati hati dan dia memesan agar Hongsan Siansu jangan kembali ke kota raja melainkan siap di luar kota raja menunggu perintah darinya. Demikian pula dengan Kallon dan Ang Hwa Niocu karena mereka telah dikenal oleh Pangerai Chou Kuang Tian sebagai tiga orang yang menyuruh bunuh Pangeran Mahkota Thian Cu.
Akan tetapi kegagalan itu sama sekali tidak membuat Jenderal Chou Ban Heng gentar atau mundur. Dia tetap bersemangat untuk menjatuhkan Kerajaan Sung yang baru berdiri selama sebelas tahun dan membangun kembali Kerajaan Chou yang telah jatuh. Cita-citanya untukmerampas tahta kerajaan ini bukan sekadar ambisi pribadi, melainkan terutama sekali karena perasaan dendam terhadap Kaisar Sung Thai Cu, kaisar pertama Kerajaan Sung. Kaisar Sung Thai Cu dahulu adalah bernama Chou Kuang Yin, masih semarga dengannya, karena merupakan keluarga jauh dari Kaisar Chou Ong. Chou Kuang Yin tadinya seorang panglima yang kemudian memberontak, merampas tahta kerajaan, bahkan mengganti Dinasti Chou menjadi Dinasti Sung. Padahal dia merupakan keponakan semarga dengan mendiang Kaisar Chou Ong. Jadi, sepantasnya dialah yang menggantikan kaisar itu dan melanjutkan Dinasti Chou. Dendam inilah yang membuat Jenderal Chou Ban Heng bersemangat dan nekat untuk menggulingkan Kaisar Sung Thai Cu, bahkan membunuh Putera Mahkota Thian Cu yang kemudian gagal Itu.
Tentu saja Jenderal Chou Ban Heng bukan hanya mengandalkan bantuan Hongsan Siansu, Kallon, dan Ang Hwa Niocu untuk mencapai niatnya menggulingkan Kaisar Sung Thai Cu. Dia masih mempunyai banyak pembantu pendukung yang lihai, di antaranya Kanglam Sinkiam Kwan In Su, Im Yang Tosu dan terutama sekali puteranya sendiri Chou Kian Ki yang kini memiliki kesaktian melampaui tiga orang gurunya yaitu Hongsan Siansu, Kanglam Sinkiang dan lm Yang Tosu, setelah dia menerima gemblengan dari manusia sakti mendiang Thian Beng Siansu. Di samping dua orang sakti dan terutama puteranya sendiri itu. Jenderal Chou Ban Heng masih mempunyai belasan orang perwira yang dahulu merupakan bekas perwira Kerajaan Chou dan dapat dibujuknya untuk membangun kembali Kerajaan Chou dan memusuhi kerajaan baru Sung Itu.
Di sini terbukti bahwa tidak ada sesuatu yang seluruhnya baik atau seluruhnya buruk. Yang baik mendatangkan yang buruk, sebaliknya yang buruk mendatangkan yang baik. Sikap Chou Kuang Yin setelah menjadi kaisar pertama Dinasti Sung dengan nama Kaisar Sung Cu adalah sikap lunak terhadap bekas keluarga dan bangsawan Kerajaan Chou. Hal ini mungkin karena dia sendiri terhitung sanak keluarga Chou. Dia merima mereka yang menakluk, bahkan memberi kedudukan terhormat kepada pejabat tinggi Kerajaan Chou. Bahkan dia mengangkat Jenderal Chou Ban Heng yang dahulu merupakan keluar dekat kaisar, menjadi Penasehat Angkatan Perang dari Kerajaan Sung.
Dahulu, pada waktu Kerajaan Chou, dia adalah panglima yang bertugas di daerah itu tentu saja sikap Kaisar Sung Thai Cu mengandung maksud agar para bangsawan bekas pejabat tinggi Kerajaan Chou itu akan merasa senang dan setia kepada kerajaan baru Sung karena mereka sama sekali tidak dihukum atau dikucilkan, bahkan diberi pangkat dan kehormatan. Akan tetapi segi buruknya segera muncul. Karena mereka itu berada di pihak kerajaan yang dikalahkan dan dijatuhkan, mereka masih mendendam kepada kerajaan baru dan setelah mereka diberi kedudukan tinggi. Justru mereka mendapatkan peluang untuk membalas dendam mereka kepada pemerintahan baru. Kalau saja Kaisar Sung Thal tidak bersikap demikian, melainkan sikap keras kepada bekas para petinggi Kerajaan Chou, kiranya mereka tidak mempunyai kesempatan untuk menghimpun kekuatan karena gerakan mereka sedikit saja akan ketahuan mudah ditumpas!
Biarpun usahanya membunuh Pangeran Mahkota gagal dan kini tidak ada sempatan lagi karena keamanan Pangeran Mahkota dijaga kuat oleh Pangeran Chou Kuang Tian, namun Pangeran Chou Ban Heng tidak mundur. Dengan kepandaiannya yang tinggi, kini bahkan Chou Kian Ki sendiri diam-diam mengamuk dalam dua atau tiga hari sekali tentu ada pejabat tinggi pemerintah yang setia kepada Kaisar Sung Thai Cu dibunuhnya. Dia tidak meninggalkan bekas dan sang pejabat tinggi terbunuh di dalam kamarnya tanpa ada yang melihat siapa pembunuhnya. Tentu saja bukan hanya dia yang melakukan pembunuhan ini, melainkan juga Kanglam Sinkiam dan Im Yang Tosu yang keduanya setia kepada Keraja-Chou yang sudah jatuh. Kota raja menjadi gempar setelah ada belasan orang pejabat tinggi tewas terbunuh dan tidak ada yang tahu atau menduga siapa pelaku pembunuhan itu.
Pangeran Chou Kuang Tian tentu saja sudah menduga atau setidaknya dia curiga terhadap Jenderal Chou Ban Heng. Akan tetapi tidak mungkin dia menuduh begitu saja tanpa ada buktinya. Bahkan usaha Hongsan Siansu untuk membunuhnya Itu pun tidak dapat dia jadikan sebagai bukti terlibatnya Jenderal Chou Ban Heng karena dari para penyelidiknya dia mendengar bahwa kini Hongsan Siansu tidak lagi berada di istana Jenderal Chou Ban Heng. Pada suatu pagi yang cerah, seorang pemuda melangkah lebar memasuki pintu gerbang kota raja bagian selatan, pemuda itu berusia sekitar dua puluh tiga tahun, bertubuh tinggi besar, pakaiannya sederhana terbuat dari kain kasar kuat. Wajahnya jantan dan gagah dari sepasang mata yang membayangkan kejujuran dan keberanian. Biarpun usia masih muda, namun pemuda itu tidak malu atau ragu untuk berjalan sambil membawa tongkat! Sebetulnya, tentu saja dia tidak membutuhton bantuan tongkat untuk berjalan.
Langkahnya tegap lebar seperti seekor harimau.Yang dibawanya itu bukan sembarang tongkat melainkan sebatang toya yang menjadi senjata andalannya. Tiba-tiba dia melihat orang-orang yang berlalu lalang di jalan raya minggir ke tepi jalan. Ternyata dari depan datang serombongan perajurit kuda, dipimpin oleh seorang perwira gagah yang rnenunggang kuda paling depan. Agaknya sang perwira ini bangga sekali menunggang kuda yang tinggi dan dengan pakaian gemerlapan dia merasa seolah seorang panglima besar. Wajahnya penuh senyum bangga melihat di kanan jalan orang-orang berdiri dan memandangnya dengan kagum. Pasukan itu terdiri dari dua losin orang perajurit.
Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo