Wanita Iblis Pencabut Nyawa 2
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
Akan tetapi ketika Tan-wangwe melihat enam orang penjaganya, nyalinya menjadi besar dan sambil berseru keras ia lalu menubruk dan membacokkan pedangnya ke leher Sui Giok. Nyonya muda ini sambil tersenyum melihat betapa gerakan ini lambat dan lemah sekali, maka kedua tangannya lalu bergerak dengan tipu Kwan-im siu-kiam (Dewi Kwan-im Mencabut Pedang). Tangan kirinya menyambar ke arah pergelangan tangan kanan Tan-wangwe sedangkan tangan kanannya dengan amat cepatnya mendahului serangan lawan mengirim totokan ke arah lambung lawan. Tan-wangwe tidak sempat menjerit karena tahu-tahu ia merasa betapa lambungnya sakit sekali dan tubuhnya menjadi lemas. Tanpa dapat dicegah lagi, tangan kiri Sui Giok telah berhasil merampas pedangnya. Tan-wangwe limbung dan roboh ke atas tanah bagaikan sehelai kain lapuk. Barulah keenam orang penjaga itu terkejut. Sementara itu, para bini muda Tan-wangwe dengan tubuh gemetar lalu berlutut dan berseru,
"Siluman wanita... dia... dia adalah Cialing Mo-li!"
Enam penjaga itu merasa betapa bulu tengkuk mereka meremang. Mereka pernah mendengar tentang Cialing Mo-li ini sebagai seorang siluman yang amat mengerikan dan buruk rupa, dan pula belum pernah siluman itu muncul di siang hari. Mana ada siluman berani muncul di tengah hari? Akan tetapi, siapa tahu kalau-kalau siluman yang mengerikan itu telah berganti rupa, karena bukankah siluman-siluman pandai sekali pian-hoa (berganti bentuk)?
Dengan serentak mereka lalu menerjang maju dengan golok mereka. Akan tetapi, tingkat ilmu silat Sui Giok sudah amat tinggi dan sudah terang sekali jauh lebih tinggi dari pada para penjaga yang kasar ini. Apalagi ia sekarang telah memegang sebatang pedang dan biarpun masih jauh daripada sempurna, baru paling banyak dua bagian saja, akan tetapi ia telah melatih ilmu pedang Kim-gan-liong Kiam-sut, maka begitu ia menggerakkan pedang itu, bergulunglah sinar putih yang menutup seluruh tubuhnya. Melihat gerakan ini, bukan main takutnya para penjaga itu. Bagaimana orang dapat menghilang di balik gulungan sinar pedang? Belum pernah mereka menyaksikan hal seaneh ini, maka tentu saja mereka menyerang dengan lutut lemas dan kaki menggigil. Dengan amat mudahnya ketika Sui Giok menggerakkan pedangnya, terdengar suara keras dan enam batang golok terlempar jauh.
Sui Giok menggerakkan tangan kirinya dan robohlah para penjaga itu seorang demi seorang. Tiga orang roboh karena tamparan tangan kiri Sui Giok, adapun yang tiga orang lagi roboh karena ketakutan dan lemas kakinya. Saking girangnya melihat hasil jerih payahnya selama sepuluh tahun mempelajari ilmu silat, dan saking puasnya dapat membalas dendamnya kepada hartawan yang mata keranjang itu, Sui Giok lalu tertawa. Suara ketawanya ini bebas dan lepas sehingga terdengar merdu akan tetapi nyaring sekali menyakitkan anak telinga. Karena tanpa disadarinya, ia telah mengerahkan khikangnya ketika tertawa sehingga terdengar keras sekali, bahkan dapat terdengar oleh orang-orang yang berada di tempat agak jauh sehingga banyak orang di saat itu berdiri bengong dan saling pandang dengan terheran-heran.
Sui Giok lalu menjambak rambut Tan-wangwe dan sekali ia melompat, ia telah berada di atas genteng lalu lenyap membawa tubuh hartawan Tan itu. Gegerlah keadaan di pekarangan Tan-wangwe. Perempuan-perempuan itu menjerit-jerit dengan tubuh gemetar dan masih berlutut, menangis dan menyebut-nyebut nama Thian untuk mengusir siluman jahat itu. Orang-orang datang melawat dan ketika mereka mendengar bahwa Tan-wangwe dibawa pergi oleh siluman wanita, mereka menjadi gempar. Sebelum melakukan serangan terhadap Tan-wangwe, Sui Giok telah mendengar dari Bu Lam Nio bahwa yang mengkhianati Sui Giok dan suaminya dahulu memang Tan-Wangwe adanya. Hal ini dapat didengar oleh Bu Lam Nio dalam pekerjaannya mencuri harta benda para hartawan di malam hari. Oleh karena itu, bukan main sakit hatinya Sui Giok terhadap Tan-wangwe.
Memang tadinya ia telah menaruh curiga, karena tanpa diberitahu oleh orang lain, bagaimana rombongan serdadu itu bisa mencari ke dalam hutan? Kalau saja ia tidak mendengar hal ini dari Bu Lam Nio, ia pasti tidak akan mengganggu nyawa Tan-wangwe dan cukup memberi hajaran pedas saja. Kini sakit hatinya terlampau besar dan Tan-wangwe dianggap menjadi biang keladi nomor satu dari penderitaannya. Pada senja harinya, ketika empat puluh lebih penduduk laki-laki dari Tai-kun-an yang dipimpin oleh kepala kampung menyusul ke pinggir hutan, mereka ini melihat tubuh seorang laki-laki tergantung pada pohon dengan kaki di atas dan kepala di bawah. Ketika mereka mendekat, ternyata bahwa laki-laki ini bukan lain adalah Tan-wangwe, akan tetapi muka dan kepalanya telah tidak keruan macamnya, rusak dan hancur bekas cakaran dan gigitan.
Dan di bawah pohon itu nampak jejak-jejak kaki harimau yang terbenam di dalam tanah lumpur. Memang, Sui Giok sengaja menggantung Tan-wangwe pada kakinya di atas pohon dan meninggalkannya begitu saja. Seekor harimau yang kelaparan melihat seorang manusia tergantung, lalu melompat dan berusaha untuk menangkapnya. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan Tan-wangwe yang ketakutan. Harimau itu tidak dapat mencapai korbannya yang digantung terlampau tinggi, akan tetapi kedua kaki depannya masih juga berhasil merobek muka dan kepala Tan-wangwe sampai hancur dan nyawanya melayang. Dengan wajah pucat, orang-orang kampung itu lalu menurunkan jenazah Tan-wangwe dan membawanya pulang ke dusun. Orang-orang yang tua lalu berlutut ke arah hutan itu dan berkatalah seorang yang tertua di antara mereka,
"Toat-beng Mo-li (iblis Wanita Pencabut Nyawa), mohon Mo-li sudi mengampuni kami sekalian dan harap sudah puas dengan korban yang seorang ini. Kami akan membakar dupa wangi setiap malam untuk menghormat Mo-li!"
Semenjak peristiwa ini, sebutan untuk "Siluman"
Di dalam hutan itu menjadi dua, pertama Cialing Mo-li (Iblis Wanita Sungai Cialing) dan kedua Toat-beng Mo-li (Iblis Wanita Pencabut Nyawa). Sebutan yang kedua ini adalah karena Sui Giok menyatakan hendak mencabut nyawa Tan-wangwe ketika ia bertemu dengan hartawan itu dan karena banyak orang yang mendengar ucapannya, maka lalu julukan kedua itu timbul. Benar saja, semenjak para penduduk membakar dupa wangi setiap malam, tak pernah ada gangguan lagi. Hal ini adalah karena Sui Giok melarang kepada Bu Lam Nio untuk mencuri barang-barang para hartawan di dusun itu.
"Mencuri adalah perbuatan yang memalukan,"
Kata Sui Giok kepada Lam Nio.
"Biarpun yang dicuri itu adalah barang-barang para hartawan pelit dan kejam. Aku dan anakku tidak suka memakai barang-barang curian."
Bu Lam Nio memang seorang yang pernah tinggal dengan orang-orang bangsawan, maka tentu saja ia tidak membantah dan bahkan di dalam hati mengakui kebenaran ucapan ini.
(Lanjut ke Jilid 02)
Wanita Iblis Pencabut Nyawa/Toat Beng Mo Li (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02
Pada suatu hari, secara kebetulan Sui Giok mendapatkan banyak mutiara di antara tumpukan kulit kerang di pinggir sungai. Bukan main girangnya karena ia tahu bahwa mutiara-mutiara ini amat mahal harganya. Ia lalu mencoba membawa beberapa butir mutiara ke kota Kong-goan, dan betul saja, orang berani membayar mahal untuk sebutir mutiara. Padahal yang ia dapatkan itu tidak kurang dari seratus butir. Semenjak saat itu, Bu Lam Nio tidak perlu mencuri lagi karena dengan persediaan mutiara sebanyak itu, mereka dapat membeli apa saja yang mereka kehendaki. Biarpun Ling Ling tinggal di tengah hutan yang sunyi, akan tetapi ia tidak terasing sama sekali dari dunia ramai. Sui Giok mengerti bahwa hal ini tidak baik bagi puterinya, maka sedikitnya sepekan sekali ia tentu mengajak Ling Ling ke dusun atau kota yang agak jauh dari tempat itu.
Tentu saja ia tidak berani mengajak puterinya ke dusun Tai-kun-an, karena ia telah dikenal oleh penduduk di situ sebagai Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li. Akan tetapi, setelah Ling Ling berusia delapan tahun, anak ini merasa kurang puas dengan ajakan ibunya yang hanya kadang-kadang itu. Anak ini rindu akan kawan-kawan bermain dan ibunya serta Bu Lam Nio yang disebut "Nenek Lam"
Mulai percaya kepadanya dan membolehkan dia bermain di dalam hutan seorang diri. Menurut pendapat Sui Giok dan Lam Nio, kini Ling Ling telah memiliki kepandaian yang cukup untuk menjaga diri dari serangan binatang buas. Memang, gadis yang amat berbakat ini baru saja berusia delapan tahun telah memiliki gerakan yang luar biasa gesitnya, memiliki ginkang yang amat mengagumkan.
Oleh karena rasa rindunya akan kawan-kawan bermain tak dapat ditahan lagi, maka tidak heran apabila pada suatu pagi, ketika belasan orang anak-anak dusun Tai-kun-an sedang bermain-main, tiba-tiba mereka melihat seorang anak perempuan yang cantik dan manis berada ditengah-tengah mereka. Anak perempuan ini rambutnya dikuncir dua dan kuncir-kuncirnya diberi pita warna merah, wajahnya segar dan munggil, selalu tersenyum-senyum dan sepasang matanya cemerlang bagaikan bintang pagi. Pakaiannyapun berbeda dengan anak-anak dusun, bersih dan dari sutera berwarna indah. Tentu saja anak-anak itu menjadi terheran-heran. Mereka memandang kepada anak perempuan yang tiba-tiba saja muncul di tengah-tengah mereka itu. Seorang anak laki-laki di antara mereka bertanya,
"Eh, kau siapakah?"
"Aku?"
Ling Ling menjawab sambil bibirnya tersenyum manis dan matanya memandang penuh seri kegembiraan.
"Namaku Ling Ling!"
Dia amat senang mendengar suara anak-anak ini dan melihat wajah mereka. Inilah yang dikehendakinya selama ini, inilah yang dirindukannya. Ia sudah merasa bosan berada di tempat yang sunyi, hidup hanya dengan ibu dan neneknya itu.
"Nama yang bagus!"
Kata seorang anak perempuan memuji.
"Pitanya lebih bagus!"
Kata lain orang anak perempuan sambil memegang-megang pita itu.
"Kau mau ini?"
Tanya Ling Ling yang segera melepaskan dua pita rambutnya.
"Ambillah!"
Ia memberikan sehelai pita merah kepada anak itu dan yang sehelai lagi ia berikan kepada seorang anak perempuan lain. Karena pitanya diambil, maka kini rambut Ling Ling menjadi terurai dan rambut itu memang amat bagus, lemas, hitam dan panjang.
"Kau anak dari manakah?"
Tanya lagi anak laki-laki tadi memandang kagum dan juga heran.
"Kami tidak pernah melihatmu. Di mana rumahmu?"
"Di sana!"
Kata Ling Ling sambil menunjuk ke arah hutan di luar dusun. Anak-anak itu hanya mengira bahwa rumah Ling Ling di jurusan yang ditunjuk, yakni di ujung dusun sebelah utara. Tiba-tiba terdengar anak perempuan yang tadi diberi pita oleh Ling Ling menangis.
"Pitaku...! Jangan ambil pitaku...! Kembalikan!"
Ling Ling cepat menengok dan ternyata bahwa pita yang tadi diberikan kepada anak perempuan itu telah dirampas oleh seorang anak laki-laki yang usianya sudah lebih dari sepuluh tahun. Anak perempuan yang paling banyak berusia enam tahun itu menangis dan menjatuhkan diri di atas tanah sambil menangis.
"Eh, kau!"
Tiba-tiba Ling Ling berseru keras sekali sehingga mengejutkan semua anak-anak itu.
"Kembalikan padanya!"
Anak laki-laki yang merampas pita itupun terkejut, akan tetapi ketika ia menengok dan memandang kepada Ling Ling, ia menghampiri sambil tertawa menyeringai.
"Ha, ha, ha! Kau seperti pemain sandiwara yang kutonton dulu itu. Galak dan berlagak seperti permaisuri raja. Kau anak baru hendak memerintah aku? Hm, kalau kau laki-laki tentu sudah ku jotos hidungmu!"
Bukan main marahnya Ling Ling mendengar ucapan itu dan kini sepasang matanya yang indah dan bening itu mengeluarkan cahaya berapi sehingga tidak saja semua anak-anak menjadi tercengang, bahkan anak laki-laki itu sendiripun melangkah mundur dua langkah.
"Kau... kau siapa? Matamu sungguh tidak sedap hatiku melihatnya. Seperti... seperti mata setan!"
"Plak!"
Tangan kanan Ling Ling dengan cepatnya menyambar dan menampar pipi anak laki-laki itu.
"Aduuuuhhh...!!"
Sungguh mengherankan semua anak-anak yang berada di situ, karena anak lelaki itu telah terkenal sebagai "jagoan"
Di antara semua anak-anak dusun Tai-kun-an, mengapa kini ditampar sekali saja lalu mengaduh-aduh dan berjingkrak-jingkrak sambil memegangi pipinya? Memang, anak laki-laki itu merasa sakit bukan main terkena tamparan tadi, pipinya terasa panas dan pedas sampai menembus ke dalam mulut. Setelah mengusap-usap pipinya dan menahan sakit sampai air matanya mengucur keluar ia menjadi marah sekali.
"Anak anjing! Kau berani memukul aku?"
Setelah berkata demikian, anak laki-laki ini lalu menyerang Ling Ling dengan pukulan ke arah kepala Ling Ling. Ling Ling semenjak baru bisa berjalan sudah menerima latihan-latihan silat tinggi di bawah bimbingan ibu dan neneknya, maka tentu anak lelaki itu bukan lawannya. Sekali mengangkat tangan menyaut, lengan tangan anak laki-laki itu telah ditangkapnya dan dengan gerakan amat cepatnya sehingga sukar diikuti oleh mata, tahu-tahu lengan tangan kanan anak itu telah ditekuk ke belakang sehingga anak laki-laki itu meringis kesakitan.
"Hayo, cepat kembalikan pita itu kepadanya!"
Ling Ling membentak dan kini semua anak melihat betapa sikap gadis cilik ini luar biasa keren dan gagahnya. Anak laki-laki itu hendak membangkang, akan tetapi ketika Ling Ling menguntir lengannya, ia berkaok-kaok kesakitan dan cepat mengembalikan pita yang masih berada ditangan kirinya kepada anak perempuan itu.
"Hayo kau berlutut dan minta ampun kepadanya!"
Kembali Ling Ling membentak sambil mendorong tubuh anak laki-laki itu yang terguling roboh di depan anak perempuan kecil yang diganggunya tadi.
Akan tetapi tentu saja anak laki-laki itu tidak sudi minta ampun dan begitu ia berdiri, dengan geramnya ia hendak menyerang Ling Ling lagi. Ia masih merasa penasaran sekali. Masa ia harus mengaku kalah terhadap seorang anak perempuan yang masih kecil ini? Namun kini Ling Ling menjadi marah sekali. Sebelum anak laki-laki itu dapat mengenainya dengan pukulan, Ling Ling telah mendahuluinya dengan sebuah tendangan yang mengenai perutnya. Baiknya Ling Ling tidak bermaksud mencelakainya, karena kalau tendangan ini dilakukan sekuat tenaga, mungkin sekali anak itu akan mati. Biarpun tendangan ini perlahan saja, akan tetapi anak itu menjerit-jerit sambil memegangi perutnya, bergulingan di atas tanah bagaikan seekor cacing terkena abu panas.
"Hayo berlutut dan minta ampun kepadanya! Lekas!"
Teriak pula Ling Ling. Karena tidak dapat menahan sakitnya lagi, anak laki-laki itu lalu merangkak dan berlutut di depan anak perempuan yang tadi diganggunya.
"Awas, jangan kau berani mengganggu anak-anak lain lagi, kalau aku melihat hal itu atau mendengar dari orang lain, aku akan mencabut nyawamu!"
Kata Ling Ling dengan sikap yang bengis sekali.
Kebetulan sekali pada saat itu ada seorang petani yang lewat di situ dan melihat anak-anak yang berkerumun, ia tertarik hatinya. Ia merasa terheran-heran melihat betapa anak laki-laki yang terbesar kini sambil menangis dengan muka pucat, sedang berlutut dihadapan seorang anak perempuan terkecil sedangkan semua anak memandang kepada seorang gadis cilik dengan mata terbelalak heran dan kagum. Petani ini sudah mengenal semua anak-anak di dusun itu, akan tetapi gadis cilik yang manis ini belum pernah dilihatnya. Ketika ia mendengar ucapan Ling Ling tentang "Mencabut nyawa", tiba-tiba ia terbelalak dan mukanya berobah pucat. Melihat sekelebatan saja, petani ini maklum bahwa anak laki-laki yang besar itu tentu telah kalah oleh anak perempuan yang aneh dan berpakaian indah itu.
"Toat-beng Mo-li... (Iblis Wanita Pencabut Nyawa)...!"
Katanya perlahan sambil memandang kepada Ling Ling dengan mata terbelalak. Ketika anak-anak perempuan mendengar ucapan ini, maka menjerit-jerit dan terutama anak laki-laki yang tadi diberi hajaran, kini memandang kepada Ling Ling lalu berlari terbirit-birit. Ling Ling telah mendengar dari ibunya betapa ibu dan neneknya dianggap iblis wanita. Hal ini amat menyebalkan hati Ling Ling dan menganggap sebutan itu sebagai hinaan. Kemarahannya timbul, akan tetapi ia tersenyum girang ketika melihat betapa anak perempuan kecil yang dibelanya tadi tidak ikut lari meninggalkannya. Anak perempuan itu bahkan mendekatinya dan sambil memegang tangannya, anak itu berkata,
"Enci Ling Ling, aku tidak percaya bahwa kau adalah seorang siluman!"
Ling Ling memandangnya dan tak terasa pula ia memeluk dan menciumi anak itu. Dia belum pernah merasakan bagaimana senangnya mempunyai seorang kawan, dan kini melihat anak ini ia merasa suka sekali.
"Kau tidak takut kepadaku?"
Tanyanya. Anak itu menggelengkan kepalanya.
"Mengapa mesti takut? Kau cantik dan baik, tidak seperti anak-anak lain yang suka menggangguku."
Pada saat itu, dari sebelah selatan datang serombongan orang dan ternyata mereka itu adalah orang-orang lelaki yang datang karena diberitahu oleh petani tadi bahwa di situ terdapat Toat-Beng Mo-li. Semua orang berlari-lari karena mengira bahwa Toat-beng Mo-li hendak mengganggu anak-anak mereka, akan tetapi ketika melihat bahwa di situ hanya terdapat seorang anak perempuan yang cantik mungil, mereka berhenti dan memandang heran.
"Itulah dia, anak perempuan yang cantik itu!"
Kata petani tadi sambil menuding ke arah Ling Ling. Semua orang memandang dengan mata tidak percaya dan ayah anak perempuan yang masih bergandengan dengan Ling Ling itu segera melangkah maju dan berkata kepada anaknya,
"A-cui, kau kesinilah!"
Anak perempuan itu memandang kepada Ling Ling dn berkata,
"Dia adalah ayahku, enci Ling Ling."
Sementara itu Ling Ling sudah timbul lagi amarahnya melihat orang-orang itu memandangnya dengan muka aneh. Ia merasa sebal sekali, maka ia menjawab kasar,
"Jangan pergi kepadanya!"
Mendengar suara Ling Ling yang nyaring, makin takutlah orang-orang itu, terutama sekali ayah A-cui, ia segera menjatuhkan diri berlutut dan dari jauh ia memberi hormat kepada Ling Ling sambil berkata,
"Harap jangan mengganggu anakku, biarlah aku akan bersembahyang tiap malam untuk menghormatimu!"
Ling Ling tentu saja tidak mengerti apakah arti kata-kata ini, maka ia hanya memandang dengan masih marah. Sementara itu, ketika A-cui melihat kemarahan Ling Ling dan melihat pandang matanya yang memancarkan cahaya berapi-api, ia mulai menjadi takut dan berkata,
"Enci Ling Ling, aku mau pergi kepada ayahku!"
Dan larilah A-cui kepada ayahnya. Ling Ling mengulurkan tangan hendak menangkap A-cui, akan tetapi orang-orang lelaki yang berdiri kurang lebih lima tombak darinya, ketika melihat ia mengulurkan tangan seakan-akan hendak menangkap A-cui, segera menyerbu dengan senjata tajam di tangan. Menurut kehendak hatinya yang marah, Ling Ling hendak melawan orang-orang ini,
Akan tetapi ia pernah mendengar pesanan ibunya bahwa ia dilarang berkelahi dengan orang-orang dusun, dan pernah pula mendengar neneknya berkata bahwa orang-orang dusun adalah orang-orang bodoh. Sebutan mereka yang dianggap iblis wanita oleh orang-orang kampung itu bukanlah penghinaan, melainkan sebutan yang timbul dari kepercayaan bodoh dan tahyul. Sungguhpun Ling Ling tak dapat mengerti jelas keterangan neneknya ini, namun melihat orang-orang kampung itu, dan melihat A-cui, Ling Ling merasa kasihan juga. Maka dengan hati mendongkol, kecewa, dan marah yang ditahan-tahan, ia lalu menggerakkan tubuhnya dan sekali ia melompat tubuhnya telah berkelebat jauh dan sebentar saja lenyap di antara pohon-pohon. Melihat gerakan ini, percayalah kini semua orang dusun itu dan terdengar seruan-seruan,
"Toat-beng Mo-li..."
Beberapa orang di antara mereka bahkan sudah menjatuhkan diri berlutut dengan mulut berkemak-kemik membaca doa. Semenjak saat itu, semua penduduk Tai-kun-an percaya bahwa Toat-beng Mo-li adalah iblis wanita yang amat sakti dan pandai pian-hoa, sebentar menjadi iblis yang buruk rupa dan tua sekali sebentar berobah menjadi seorang wanita yang cantik jelita seperti bidadari, kadang-kadang menjelma menjadi seorang anak perempuan yang manis dan mungil. Akan tetapi ketika mendengar penuturan A-cui, mereka berpendapat bahwa "iblis wanita"
Itu bukanlah iblis yang jahat dan agaknya tidak mau mengganggu orang, kecuali orang yang jahat.
Sepanjang pengetahuan mereka, yang pernah diganggu adalah Tan-wangwe dan tukang-tukang pukulnya dan semua orang sudah tahu akan kejahatan dan kekejaman hartawan ini beserta kaki tangannya. Orang kedua yang mengalami hajaran adalah anak laki-laki yang telah mengganggu A-cui. Maka, kini nama Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li dipergunakan oleh mereka untuk menakut-nakuti orang yang hendak berbuat jahat. Berkat ketahyulan inilah maka orang-orang yang berwatak jahat di dusun itu menjadi ketakutan dan mereka jarang berani melakukan kejahatan lagi. Sementara itu, Ling Ling kembali ketempat tinggal orang tuanya di dalam hutan sambil cemberut dan mendongkol sekali. Ketika ibunya melihatnya, ia ditegurnya,
"Ling Ling, kau datang dari manakah dan mengapa kau nampak marah?"
Ditanya demikian, Ling Ling lalu menangis dan menjatuhkan diri di atas pangkuan ibunya. Sui Giok terkejut sekali dan dengan penuh kasih sayang ia mengelus-elus rambut Ling Ling. Terlihat olehnya betapa rambut anaknya yang bagus itu terurai tanpa ikatan pita merah seperti biasa.
"Eh, kenapa kau menangis dan ke mana pula perginya pita rambutmu?"
Ling Ling lalu menceritakan pengalamannya yang didengar oleh ibunya dengan kening berkerut dan beberapa kali terdengar ia menarik napas panjang.
"Itulah sebabnya maka aku selalu melarang kau pergi ke dusun Tai-kun-an, anakku. Penduduk di situ menganggap kita sebagai iblis wanita, akan tetapi hal ini tidak perlu diributkan. Mereka adalah orang-orang bodoh yang patut dikasihani. Mereka sebetulnya tidaklah jahat."
"Ibu, aku sudah bosan tinggal di dalam hutan yang sunyi sepi ini. Mengapa ibu tidak pindah saja ke tempat ramai di mana aku bisa bermain-main dengan anak-anak lain?"
Sui Giok mencium pipi anaknya.
"Belum waktunya, Ling Ling. Kau belajarlah dengan rajin dan apabila kepandaianmu sudah cukup, tentu aku takkan selamanya menahanmu di sini, bahkan kalau kau sudah cukup pandai, kita akan bersama keluar dari sini, pergi kekota-kota besar dan kau akan gembira dan senang. Tunggulah sampai kau dewasa dan pandai, nanti kita akan pergi mencari ayahmu."
Mendengar disebutnya ayah, Ling Ling lalu bangkit dan duduk di depan ibunya. Ia menyusut air matanya dan dengan sepasang matanya yang bening itu dipandangnya muka ibunya.
"Ibu, dimanakah adanya ayah sekarang? Mengapa ia meninggalkan kita?"
Ia teringat akan ayah dari A-cui yang demikian menyinta anaknya. Sui Giok menghela napas. Memang ia belum menceritakan riwayatnya kepada Ling Ling, hanya memberitahukan tiap kali anaknya menanyakan ayahnya, bahwa ayahnya itu sedang pergi jauh dan bahwa kelak mereka akan menyusulnya.
"Ling Ling sudah berkali-kali kukatakan bahwa kalau kau sudah pandai dan sudah dewasa, tentu akan kuceritakan semua hal itu. Sekarang belum waktunya, nak, kau berjanjilah kepada ibumu untuk belajar ilmu kepandaian dengan tekun. Kau harus lebih memperdalam ilmu membaca agar kau dapat membaca kitab Kim-gan-liong-kiam-coan-si dan melatih ilmu pelajaran yang terdapat di dalam kitab itu."
Ling Ling adalah seorang anak yang berhati keras dan berotak cerdik, akan tetapi terhadap ibunya ia amat penurut dan berbakti, maka mendengar ucapan ini, ia sudah merasa puas dan tidak mau mendesak lagi. Semenjak saat itu, ia belajar makin giat dan tekun dan mulailah ia mempelajari kitab ilmu pedang itu bersama-sama ibunya. Seperti pernah dituturkan di bagian depan, Ling Ling mempunyai bakat yang luar biasa sekali dalam hal ilmu silat. Kitab Kim-gan-liong-kiam-coan-si yang sukar sekali dipelajari oleh ibunya itu, setelah Ling Ling pandai membaca atas ajaran ibunya, maka anak ini dapat menangkap inti sari ilmu pedang ini dan dapat mempelajari dan memainkannya jauh lebih cepat dan mudah daripada ibunya.
Pedang Tan-wngwe yang dulu dirampas oleh ibunya itu dipergunakan untuk berlatih ilmu pedang Kim-gan-liong-kiam-sut. Bukan main girangnya hati Sui Giok dan Bu Lam Nio. Ilmu pedang itu dapat dimainkan oleh Ling Ling sedemikian hebatnya sehingga ketika Sui Giok dan Bu Lam Nio mencoba untuk mengeroyok gadis itu, kedua orang tua ini tidak dapat bertahan lebih dari lima puluh jurus. Kitab Kim-gan-liong-kiam-coan-si selain memuat pelajaran ilmu pedang, juga di bagian terakhir dimuat pula pelajaran yang disebut "Mempersatukan pedang dengan diri", yakni bagian pelajaran yang paling sukar dan sulit. Pelajaran ini berdasarkan latihan lweekang yang amat tinggi dan disertai latihan siulan (samadhi) dan latihan napas.
Apabila tenaga lweekang yang khusus telah dimiliki oleh orang yang belajar dari kitab ini, maka barulah ia akan dapat memperoleh ilmu mempersatukan pedang dengan dirinya. Dengan ilmu ini, maka pedang yang dipegang di tangannya dan dimainkannya, baginya seakan-akan bukan merupakan pedang lagi, melainkan merupakan sebagian dari tubuhnya, merupakan anggauta tubuh seperti tangan atau kaki. Dengan penyaluran tenaga lweekang sampai ke ujung pedang, maka gerakan pedang lebih hebat dan tepat, serta tiap serangan atau tangkisan pedang mengandung tenaga lweekang sepenuhnya seakan-akan bukan pedang, melainkan lengan tangan yang menyerang atau menangkis. Sui Giok sendiri sudah bertahun-tahun mencoba untuk memahami bagian terakhir ini, namun tetap saja ia tidak berhasil.
Hal ini tidak mengherankan oleh karena untuk dapat memiliki bagian terakhir ini, tidak saja dibutuhkan bakat yang luar biasa, namun juga dibutuhkan otak yang cerdas, pikiran yang tenang, dan ketekunan yang luar biasa. Bagi Sui Giok, semua syarat ini ada walaupun tidak berapa kuat, akan tetapi tentang ketekunan dan ketenangan, bagaimana ia bisa tenang kalau hatinya selalu risau dan amat rindu kepada suaminya? Ia tidak tahu bagaimana nasib suaminya, dan sebagai seorang isteri muda yang baru setahun lebih menikah dan berkumpul dengan suaminya, tentu saja ia merasa amat rindu. Kegelisahannya memuncak apabila ia teringat akan nasib suaminya yang tercinta itu. Inilah yang menjadi penghalang besar baginya untuk dapat mencapai kemajuan ilmu pedang seperti yang telah dicapai oleh Ling Ling.
Selama sembilan tahun, tiada hentinya Ling Ling belajar. Ibunya sendiri kadang-kadang sampai berkhawatir melihat betapa gadis itu kadang-kadang berlatih ilmu pedang sampai sehari penuh, melakuan siulan sampai semalam penuh belum juga "Sadar"
Kembali dan lain-lain kegiatan yang benar-benar mengagumkan.sekali. Sembilan tahun lewat dengan cepatnya dan pada saat ini, kepandaian ilmu silat Ling Ling sudah jauh sekali melampaui kepandaian ibu dan neneknya, bahkan menurut pendapat Bu Lam Nio ilmu kepandaian pedang Ling Ling sudah melampaui kepandaian Panglima Kam Kok Han. Kerajaan Sui, yakni kerajaan yang dipimpin oleh kaisar Yang-te, demikian buruk keadaannya dan demikian kejam terhadap rakyat jelata cara pemerintahannya sehingga di sana-sini timbullah kesatuan-kesatuan orang-orang gagah yang sikapnya menentang alat-alat pemerintah.
Mereka ini, yakni orang-orang kalangan kang-ouw dan liok-lim, melakukan bermacam-macam usaha untuk mengurangi penderitaan rakyat. Ada yang bergerak perseorangan, merupakan hiapkek-hiapkek (pendekar-pendekar) penolong rakyat dan dengan mengandalkan ilmu kepandaiannya memusuhi pembesar-pembesar jahat. Ada yang bergerak merupakan persatuan-persatuan dan ada pula yang bergerak di bidang kebatinan untuk memberi hiburan dan penerangan kepada rakyat. Perkumpulan agama Pek-sim-kauw (Agama Hati Putih) sudah amat terkenal dan mempunyai banyak sekali anggautanya. Cabang-cabangnya dibuka sampai jauh ke kota-kota dan dusun-dusun. Pendeta-pendeta Pek-sim-kauw berpakaian seperti tosu (pendeta penganut Agama To), yakni dengan jubah panjang dan lebar berwarna kuning dengan sulaman gambar hati berwarna putih di dada.
Rambutnya dipelihara panjang, digelung di atas kepala dengan tusuk konde perak. Sepatunya berwarna hitam kaos kaki hitam pula. Yang membuat Pek-sim-kauw amat terkenal adalah sepak terjang mereka. Para pendeta Pek-sim-kauw terkenal amat gagah berani dan berkepandaian tinggi. Hal ini tidak mengherankan oleh karena ketua Pek-sim-kauw yang bernama Liang Gi Cinjin, adalah seorang tokoh persilatan dari pegunungan Kunlun-san. Dia adalah sute dari ketua Kunlun-pai dan ilmu silatnya sudah mencapai tingkat yang amat tinggi. Untuk memajukan dan menjaga nama baik Pek-simkauw, Liang Gi Cinjin telah menciptakan semacam ilmu silat yang disebutnya ilmu silat Pek-sim-ciang-hoat (Ilmu Pukulan Hati Putih) yang sesungguhnya masih berdasarkan Kunlun-kun-hoat.
Semua pendeta yang menjadi pengurus Pek-sim-kauw, mempelajari ilmu silat ini dan mereka ini mempunyai kedudukan yang disesuaikan dengan tingkat kepandaian dan pengetahuan mereka tentang ilmu silat dan kebatinan. Oleh karena Pek-sim-kauw menganut semacam agama yang sesungguhnya hanya pelaksanaan dari pada ajaran-ajaran To-kauw, maka perkumpulan ini mendapat banyak pendukung. Terutama sekali karena memang dalam kenyataannya, para pendeta Pek-sim-kauw adalah orang-orang yang gagah perkasa dan penolong-penolong rakyat jelata, maka perkumpulan ini makin dihormati dan disegani. Tentu saja semua ini terutama sekali karena kekuatan perkumpulan ini. Semua orang kangouw maklum akan kelihaian para pendeta Pek-sim-kauw dan tidak sembarang orang jahat berani mencoba-coba menentangnya.
Bahkan di mana saja Pek-sim-kauw membuka cabangnya, tentu para penjahat di tempat itu cepat-cepat pergi dan pindah ke tempat lain yang lebih aman bagi mereka. Saking banyaknya pendukung, di dalam waktu beberapa tahun saja, jumlah pendeta Pek-sim-kauw telah mencapai seratus orang lebih. Untuk membedakan tingkat mereka, maka diadakan perbedaan dalam warna tusuk konde mereka. Pendeta-pendeta tingkat satu, yakni anak murid Liang Gi Cinjin sendiri yang jumlahnya ada lima orang, memakai tusuk konde berwarna putih terbuat dari perak. Pendeta-pendeta tingkat dua memakai tusuk konde berwarna kuning terbuat daripada gading, dan pendeta-pendeta tingkat ketiga, yakni tingkat terendah bagi pendeta-pendeta Pek-sim-kauw, memakai tusuk konde berwarna hitam terbuat dari pada kayu hitam.
Pakaian mereka semua sama, tiada perbedaan sama sekali. Untuk memperkembangkan agama Pek-sim-kauw, para pendetanya lalu mendirikan cabangnya di kota Kong-goan dan seperti juga dilain tempat, sebentar saja perkumpulan ini telah melakukan banyak sekali hal-hal yang patut dipuji. Membasmi penjahat-penjahat, mempergunakan pengaruhnya untuk mengancam para pembesar yang suka berlaku sewenang-wenang, membujuk para hartawan dengan pengetahuan keagamaan untuk membuat para hartawan itu suka mengulurkan tangan menolong rakyat miskin, dan mengusahakan derma dan sumbangan untuk para penderita kemiskinan dan kelaparan. Tak lama kemudian, cabang di Kong-goan yang dipimpin oleh lima orang pendeta tingkat dua ini membuka pula ranting-rantingnya, di antaranya di dusun Tai-kun-an.
Pendeta yang bertugas di dusun ini adalah seorang pendeta tingkat tiga bernama Pek Kin Cu. Seperti semua pendeta Pek-sim-kauw, iapun menggunakan she (nama keturunan) Pek. Pek Kin Cu sudah berusia lima puluh tahun, ilmu silatnya tinggi dan ilmu pengetahuannya tentang agama Pek-sim-kauw sudah cukup dalam. Hanya sedikit disayangkan bahwa Pek Kin Cu ini berhati lemah dan kurang cerdik sehingga ia amat mudah terpengaruh oleh kata-kata manis dan mudah sekali tergerak hatinya apabila melihat orang bermuram durja di depannya. Para penduduk Tai-kun-an sudah seringkali mendengar tentang kegagahan pendeta-pendeta Pek-sim-kauw, maka kedatangan Pek Kin Cu tentu saja mereka sambut dengan girang sekali. Yang paling girang hatinya adalah keluarga hartawan Tan yang dulu terbunuh oleh Cialing Mo-li.
Mereka ini diam-diam menaruh hati dendam dan ingin sekali membasmi siluman itu, akan tetapi sudah belasan tahun mereka tidak berdaya karena siapakah yang berani melawan siluman? Sudah beberapa kali mereka mencari orang-orang gagah, akan tetapi tidak ada orang gagah yang berani mencoba-coba mengganggu siluman di dalam hutan yang demikian liar dan angkernya. Baru beberapa hari setelah pendeta Pek Kin Cu membuka cabang agamanya di Tai-kun-an, datanglah janda Tan-wangwe bersama beberapa orang keluarganya menghadap Pek Kin Cu. Dengan menangis mereka menceritakan tentang gangguan Iblis Wanita Sungai Cialing itu kepada pendeta ini dan minta bantuannya untuk mengusir atau kalau mungkin membinasakan iblis itu. Pek Kin Cu mengerutkan kening dan mengurut-urut jenggotnya yang panjang.
"Apa? Iblis wanita yang disebut Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li? Sungguh aneh. Benar-benarkah ada siluman yang berani membunuh manusia di siang hari pula? Belum pernah aku mendengar keanehan seperti ini."
Akan tetapi, ketika pendeta itu mencari keterangan di seluruh dusun, tak seorang pun yang menyangkal kebenaran cerita itu. Semua orang menyatakan bahwa memang di dalam hutan sebelah utara itu, di Lembah Sungai Cialing, terdapat iblis wanita yang disebut Toat-beng Mo-li (Iblis Wanita Pencabut Nyawa) dan Cialing Mo-li (Iblis Wanita Sungai Cialing). Tentu saja Pek Kin Cu percaya akan adanya siluman atau iblis. Ia percaya penuh akan kekuasaan Tao (kekuasaan tertinggi yang dipercaya oleh kaum agama Tao).
Apakah sukarnya bagi Tao yang maha kuasa untuk menciptakan mahluk seperti siluman? Tao yang berkuasa menggerakkan bulan dan matahari, yang berkuasa menghidupkan ikan-ikan di air, menerbangkan burung-burung di udara, menghidupkan mahluk-mahluk laksaan macamnya dipermukaan bumi, tentu saja mungkin sekali mengadakan mahluk-mahluk halus seperti iblis dan siluman. Tidak ada yang tidak mungkin bagi kekuasaan Tao. Betapapun juga, siluman itu harus dibasmi, harus dilenyapkan agar jangan mengganggu manusia lagi. Iblis wanita yang sudah membunuh Tan-wangwe, merupakan bahaya besar bagi penduduk Tai-kun-an. Demikianlah, dengan hati bulat dan penuh kemauan menolong penduduk Tai-kun-an, pek Kin Cu pada suatu pagi memasuki hutan di sebelah utara dusun itu. Hutan itu memang amat liar dan penuh semak-semak belukar.
Akan tetapi, yakin akan kepandaiannya, Pek Kin Cu tidak merasa gentar sedikitpun juga. Pendeta ini mencabut pedangnya dan bersiap sedia menghadapi serangan iblis itu sambil berlari cepat, mempergunakan ilmu ginkangnya yang sudah tinggi. Pohon-pohon kecil dan tumbuhan berduri yang menghalang perjalanannya, dibabatnya dengan pedang itu. Ia berlari terus di sepanjang pantai sungai Cialing. Matahari telah naik tinggi ketika ia tiba di dekat tempat tinggal Bu Lam Nio, Liem Sui Giok dan Ling Ling. Ketika ia tiba di bawah sebatang pohon pek yang besar sekali, tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar dari atas. Cepat sekali pendeta ini melompat mundur dan memalangkan pedangnya di depan dada sambil berdongak memandang ke atas. Tak terasa lagi Pek Kin Cu mengucapkan doa dan mantera ketika ia menyaksikan mahluk yang melompat turun dari atas pohon itu.
Tak salah lagi, pikirnya. Inilah siluman wanita itu. Ia melihat seorang yang tua sekali, berpakaian hitam, mukanya tidak karuan dan menyeramkan, tidak menyerupai manusia, melayang turun dengan gerakan yang luar biasa. Sesungguhnya, yang melompat turun itu adalah Bu Lam Nio, wanita tua yang berwajah buruk. Ia tadi tengah memetik buah ketika mendengar tindakan kaki pendeta itu datang dari jauh. Cepat Bu Lam Nio melompat naik ke dalam pohon Pek yang besar itu dan mengintai. Ketika melihat seorang pendeta dengan pedang di tangan mendatangi cepat sekali, ia lalu keluar dari tempat persembunyiannya. Ia tidak suka ada orang lain memasuki hutan itu dan melihat Sui Giok dan puterinya. Hatinya masih penuh kecurigaan kalau-kalau orang ini adalah suruhan dari kaisar menangkap Sui Giok.
"Kaukah siluman yang suka mengganggu penduduk dusun?"
Tosu itu membentak setelah dapat menenangkan hatinya yang tadi berdebar keras. Disebut siluman, Bu Lam Nio tertawa bergelak. Suara ketawanya keras, nyaring dan bergema di seluruh hutan, menyeramkan sekali. Akan tetapi ia tidak menjawab, hanya memandang kepada pendeta itu dengan matanya yang hampir tertutup oleh keriput mukanya.
"Eh, iblis wanita!"
Pek Kin Cu berseru keras untuk melawan suara ketawa yang menggetarkan hatinya itu.
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau tentu iblis yang disebut Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li. Jangan kau berlagak di depan Pek Kin Cu. Seorang pendeta Pek-sim-kauw tidak boleh dibuat permainan dan tidak takut menghadapi segala macam siluman jahat seperti kau."
Mendengar ucapan-ucapan yang dianggapnya tidak karuan itu, Bu Lam Nio berkata dengan suaranya yang parau karena ia sudah tua sekali.
"Kau boleh sebut aku apa saja, akan tetapi sekarang juga kau harus pergi dari sini. Pergi!"
Wanita itu menggerak-gerakan tangannya mengusir Pek Kin Cu.
"Aku tidak takut kepadamu dan tidak akan pergi. Aku memang sengaja datang untuk mengusir dan mengirimkan kau kembali ke neraka. Di nerakalah tempatmu, bukan di atas bumi tempat tinggal manusia. Kau telah membunuh seorang she Tan di dusun Tai-kun-an, dan karenanya kau harus menerima hukuman di bawah pedangku!"
Kalau Pek Kin Cu tidak menyebutkan nama Tan-wangwe, mungkin keadaannya akan masih baik baginya, akan tetapi sekali ia menyebut nama ini, marahlah Bu Lam Nio. Ia mengira bahwa pendeta ini tentulah seorang jagoan yang datang untuk membalaskan dendam Tan-wangwe.
"Keparat!"
Teriaknya marah sekali.
"Kau tadi menyebutku Iblis Wanita Pencabut Nyawa, memang aku akan mencabut nyawamu yang jahat!"
Sambil memekik seram ia lalu menyerang tosu itu. Pek Kin Cu sudah siap sedia dan begitu melihat tubuh wanita itu bergerak, ia segera memapak dengan bacokan pedangnya. Akan tetapi, dengan gesit sekali Bu Lam Nio mengelak ke kiri dan mengirim pukulan dengan tangan kanannya. Pek Kin Cu terkejut bukan main ketika merasa betapa angin pukulan itu telah mendahului tangan iblis itu, menyambar ke arah lambungnya dengan kekuatan yang mengherankan sekali. Ia cepat melompat ke belakang dan tahulah ia bahwa siluman ini benar-benar lihai sekali, memiliki kegesitan dan tenaga lweekang yang tinggi. Ia lalu memutar pedangnya dan mengeluarkan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat yang amat diandalkan.
Perlu diketahui bahwa murid-murid Pek-sim-kauw yang belum menguasai sedikitnya lima puluh bagian dari pada ilmu silat Pek-sim-ciang-hoat dan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat, tidak boleh mengaku sebagai murid Pek-sim-kauw dan tidak boleh pula di dalam pertempuran mempergunakan ilmu silat ini. Pendeknya mereka ini belum diakui sebagai murid. Kalau sudah menguasai lima puluh bagian atau setengahnya dari ilmu silat keluaran Pek-sim-kauw, barulah ia akan diaku sebagai murid dan mendapat tingkat ketiga. Oleh karena itu, biarpun tingkatnya hanya tingkat tiga, namun ilmu silat dan ilmu pedang Pek Kin Cu sudah hebat sekali. Kalau hanya ahli silat kebanyakan saja jangan harap akan dapat melawan pendeta ini. Bu Lam Nio maklum akan kelihaian Pek Kin Cu. Ilmu silat dan ilmu pedang pendeta itu memang amat tangguh dan hampir saja Bu Lam Nio sendiri sukar menghadapinya.
Akan tetapi, dalam hal ginkang dan lweekang, Bu Lam Nio masih menang setingkat dan inipun kalau wanita tua ini belum pernah mempelajari Kim-gan-liong-kiam-sut biarpun baru sedikit, agaknya iapun takkan dapat menang. Berkat pengetahuannya tentang Kim-gan-liong-kiam-sut yang benar-benar merupakan raja ilmu pedang itu, ia dapat mengikuti gerakan pedang lawannya dan dengan ginkangnya yang tinggi, ia dapat mengelak dan membalas dengan serangan-serangan maut. Memang hebat sekali pertempuran ini. Kalau pedang Pek Kin Cu boleh diumpamakan seekor naga, maka tubuh Bu Lam Nio merupakan segulung awan hitam yang mengelilingi naga itu. Telah lima puluh jurus lebih Pek Kin Cu menyerang, akan tetapi belum pernah ujung pedangnya dapat menyentuh baju Bu Lam Nio yang hitam. Sebaliknya, sudah beberapa kali pendeta ini terkena dorongan angin pukulan Bu Lam Nio sehingga terhuyung-huyung.
"Siluman wanita, kau jahat sekali!"
Pek Kin Cu membentak sambil memperhebat gerakkannya.
"Tosu palsu, kaulah yang jahat!"
Bu lam Nio juga bergerak makin cepat dan mendesak lawannya dengan pukulan-pukulan dari ilmu silat keturunan keluarga Kam.
Di dalam gebrakan selanjutnya, tiba-tiba terdengar Pek Kin Cu berteriak keras dan tubuhnya terkena pukulan Bu Lam Nio sehingga terpental jauh dan jatuh dalam keadaan pingsan. Pendeta ini telah terkena pukulan di bagian dadanya dan masih untung bahwa lweekangnya cukup tinggi dan tadi melihat sambaran pukulan tangan Bu Lam Nio yang istimewa, ia masih dapat cepat-cepat menutup jalan darah dan menahan napasnya yang dikumpulkan di dada untuk melindungi jantung dan paru-parunya, maka ia hanya jatuh pingsan karena kerasnya pukulan membuat kepalanya tergoncang hebat. Bu Lam Nio tertawa nyaring sekali sehingga suara ketawanya sekali ini bergema lebih keras lagi. Kemudian ia melompat mendekati pendeta itu, mengambil pedang yang terlepas dari tangan Pek Kin Cu, mengangkatnya ke atas hendak dipancungkan ke arah leher pendeta itu.
"Nenek Lam, jangan bunuh orang!"
Tiba-tiba terdengar seruan halus dan nyaring sekali dan belum hilang gema suara itu, bayangan orangnya telah berkelebat cepat dan berdiri di belakang Bu Lam Nio. Ternyata ia adalah seorang gadis yang luar biasa cantiknya, akan tetapi wajahnya nampak agung dan angkuh. Sekali saja gadis ini mengulur tangannya, pedang di tangan Bu Lam Nio telah dapat dirampasnya. Dapat dibayangkan betapa lihainya gadis ini yang dapat merampas pedang dari tangan nenek itu demikian mudahnya. Bu Lam Nio menengok dan berkata menegur,
"Ling Ling! Mengapa kau mencegahku? Pendeta ini datang hendak mencelakakan kita, patut dibunuh!"
"Jangan, nenek Lam. Membunuh orang tanpa sebab yang kuat dan beralasan adalah dosa yang besar. Sudah cukup merobohkan dia dan mengirim dia kembali ke luar hutan. Ibu akan menjadi marah kalau melihat nenek membunuh orang."
"Ayaaa...! Orang lemah!"
Nenek tua itu mencela, akan tetapi ia tidak berani membantah lagi. Dengan ringan dan mudah sekali ia lalu menangkap leher pendeta itu, mengempit tubuh itu dengan lengan kirinya dan berlari secepat terbang keluar dari hutan.
Ling Ling mengikuti nenek itu dengan gerakannya yang ringan dan cepat, bagaikan bayangan nenek yang menyeramkan itu. Di luar hutan terdapat banyak sekali penduduk Tai-kun-an yang menanti kembalinya Pek Kin Cu, mereka itu semua menaruh kepercayaan penuh kepada pendeta Pek-sim-kauw yang pergi hendak membasmi siluman wanita itu. Sambil menanti, mereka duduk di atas rumput dan bercakap-cakap, membicarakan perkumpulan Pek-sim-kauw yang terkenal dengan pendeta-pendetanya yang berilmu tinggi. Sudah menjadi kebiasaan manusia bahwa dalam percakapan seperti itu, orang selalu menambah-nambahkan dan melebih-lebihkan apa yang mereka pernah dengar dan menceritakan keanehan-keanehan pendeta Pek-sim-kauw seakan-akan mereka pernah menyaksikannya sendiri.
Seorang di antara mereka bahkan menceritakan betapa Liang Gi Cinjin, ketua dari Pek-sim-kauw, pernah menyelam ke dalam laut selama sepekan untuk mengadakan perundingan dengan Hai-liong-ong (Raja Naga Laut Pengatur Hujan) dan untuk menolong daerah timur yang kekurangan air. Setelah Liang Gi Cinjin keluar dari laut, maka segera turun hujan lebat di daerah yang kekurangan air itu. Ada pula yang bercerita betapa pendeta-pendeta Pek-sim-kauw telah mengusir siluman-siluman dengan ilmu gaib mereka. Masih banyak sekali dongeng-dongeng tentang perkumpulan agama Pek-sim-kauw sehingga hati mereka menjadi besar dan makin percayalah mereka kepada Pek Kin Cu yang masih berada di dalam hutan untuk mengusir Toat-beng Mo-li atai Cialing Mo-li, siluman yang telah bertahun-tahun merupakan gangguan dan yang mereka amat takutkan itu.
"Pek Totiang tentu akan dapat menangkap Cialing Mo-li,"
Kata seorang di antara mereka.
"Dan akan membawanya ke sini."
"Asal saja Toat-beng Mo-li tidak sedang menjelma menjadi anak kecil,"
Kata orang kedua.
"Sungguh tidak enak melihat seorang anak kecil tertangkap dan hendak dibunuh."
Ramailah kini mereka bicara tentang Toat-beng Mo-li, iblis wanita pencabut nyawa yang menyeramkan itu. Tiba-tiba terdengar suara di atas pohon besar tak jauh dari tempat mereka berkumpul sehingga semua orang menjadi terkejut dan ketakutan. Suara berkeresekan di pohon itu, lalu disusul oleh melayangnya tubuh orang yang yang jatuh di depan mereka. Alangkah kagetnya orang-orang ini ketika melihat bahwa yang dilemparkan ke arah mereka itu bukan lain adalah tubuh Pek Kin Cu, pendeta yang menjadi jagoan mereka yang kini menggeletak dalam keadaan pingsan. Ributlah orang-orang itu menolong Pek Kin Cu. Setelah kepalanya disiram air dan siuman dari pingsannya, pendeta itu menjawab pertanyaan orang-orang dusun dengan gelengan kepala dan suaranya amat sedih ketika ia berkata perlahan,
"Sungguh berbahaya. Iblis wanita itu sungguh lihai sekali..."
Bukan main kecewa rasanya hati orang-orang itu dan dengan lemas mereka lalu kembali ke Tai-kun-an. Setelah tiba di kampung, barulah Pek Kin Cu menceritakan pengalamannya, bahwa ia tidak kuat menghadapi iblis wanita yang benar-benar kuat sekali itu.
"Akan tetapi harap kalian jangan khawatir,"
Katanya menghibur orang-orang itu.
"Perkumpulan Pek-sim-kauw takkan membiarkan kejahatan merajalela, biarpun yang melakukan pengacauan adalah seorang iblis atau siluman, kami pasti akan bertindak untuk menolong kalian. Memang betul bahwa aku sendiri tidak dapat menangkap siluman itu, akan tetapi hari ini juga aku akan minta bantuan suheng-suhengku di kota Kong-goan."
Legalah hati semua penduduk Tai-kun-an mendengar ucapan ini, karena tadinya mereka merasa amat takut kalau-kalau iblis wanita itu akan menaruh dendam dan marah kepada mereka karena pendeta Pek-sim-kauw itu telah berani mengganggunya di hutan.
Pada keesokan harinya, nampak empat orang pendeta Pek-sim-kauw berjalan dengan ilmu silat cepat menuju ke dalam hutan itu. Mereka ini datang dari Kong-goan dan melihat dari tusukkonde mereka, dapat diketahui bahwa tiga orang yang memakai tusuk konde gading adalah pendeta-pendeta tingkat dua, sedangkan yang seorang lagi adalah Pek Kin Cu. Setelah dikalahkan oleh "Siluman wanita"
Itu, Pek Kin Cu cepat-cepat pergi ke kota Kong-goan dan menceritakan pengalamannya kepada suheng-suhengnya yang menjadi pemimpin cabang Pek-sim-kauw di kota itu. Pemimpin yang bertugas menyebar agama Pek-sim-kauw di kota Kong-goan ada lima orang banyaknya, semua pendeta-pendeta tingkat dua, dibantu oleh banyak pendeta-pendeta tingkat tiga yang datang berangsur-angsur dari pusat. Setelah lima orang pemimpin ini mendengar cerita Pek Kin Cu, mereka merasa marah sekali.
"Memang siluman itu harus dibasmi,"
Kata Pek Sui Cu yang tertua dan yang menjadi kepala cabang di Kong-goan.
"Ji-sute, Sam-sute dan Si-sute (adik kedua, ketiga, dan keempat) harap suka membereskan soal ini. Menurut pendapatku, iblis yang mengalahkan Pek Kin Cu bukanlah iblis tulen, melainkan seorang yang jahat atau seorang yang tidak waras otaknya, yang telah lama menyembunyikan diri di dalam hutan. Oleh karena itu, oleh karena dia tidak membunuh Pek Kin Cu kalau dapat tangkaplah saja dia, jangan dibunuh."
"Akan tetapi, twa-suheng (kakak terbesar), iblis itu telah membunuh seorang penduduk dusun Tai-kun-an yang bernama Tan-wangwe dan beberapa orang penjaganya. Ia berbahaya sekali dan kalau tidak dibunuh, akan mendatangkan banyak malapetaka pada rakyat kampung di sekitar hutan itu."
"Jangan, jangan sembarangan membunuh orang. Kalian berempat masa tidak mampu menangkapnya dan membawanya ke sini? Kalau memang kalian tidak dapat menangkap, barulah kalian boleh turun tangan,"
Berkata Pek Sui Cu. Demikianlah, sambil membawa senjata masing-masing, empat orang pendeta Pek-sim-kauw itu lalu berangkat dengan cepat memasuki hutan di sebelah utara dusun Tai-kun-an itu. Kepandaian tiga orang pendeta tingkat dua ini tentu saja lebih tinggi dari pada kepandaian Pek Kin Cu, karena mereka ini pernah mendapat latihan langsung dari Liang Gi Cinjin. Berbeda dengan pendeta-pendeta tingkat tiga seperti Pek Kin Cu yang hanya mendapat latihan dari pendeta tingkat satu dan dua.
Baru melihat cara mereka berlari saja, jelas sudah bahwa kepandaian ginkang dari Pek Kin Cu kalah jauh, akan tetapi oleh karena dia yang menjadi penunjuk jalan, maka ketiga orang suhengnya itu sengaja memperlambat larinya agar mereka dapat maju berbareng. Pada saat itu, Liem Sui Giok bersama puterinya Ling Ling, sedang bercakap-cakap di dalam gua tempat tinggal mereka. Bu Lam Nio tidak kelihatan di situ oleh karena seperti biasa, nyonya tua itu telah sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, mencuci pakaian, memasak nasi dan lain-lain. Sungguh amat mengharukan betapa nenek tua ini amat bersetia kepada Sui Giok dan Ling Ling. Dan biarpun Sui Giok sudah berkali-kali melarangnya melakukan semua pekerjaan itu, namun tetap saja ia berkeras, karena ia masih selalu menganggap diri sendiri sebagai seorang pelayan.
"Aku tidak akan merasa senang apabila aku tidak bekerja sebagai pelayan,"
Bantah nenek itu.
"Dengan pekerjaan-pekerjaan ini, aku dapat mengenang masa lalu yang penuh keindahan."
Pada hari itu, Sui Giok sedang menghadapi Ling Ling yang semenjak beberapa hari ini selalu rewel dan mendesaknya untuk memberi ijin. Gadis ini ingin sekali keluar dari hutan itu dan pergi ke dunia ramai.
"Ibu,"
Katanya setelah mendesak berkali-kali.
"Semenjak dahulu, aku sudah merasa amat bosan tinggal di dalam hutan yang sunyi ini, jauh dari kawan-kawan, jauh dari manusia lainnya. Dulu ibu menyatakan bahwa kalau aku sudah dewasa dan sudah memiliki kepandaian, ibu akan memperkenankan aku keluar dari hutan ini. Nah, bukankah sekarang aku sudah dewasa dan tentang kepandaian... apakah ibu masih menganggap kurang?"
Dengan air mata berlinang, Sui Giok memeluk anaknya.
"Ling Ling, tidak ada keinginan yang lebih besar di dalam hati ibumu selain melihat kau hidup seperti gadis-gadis lain di dunia ramai. Akan tetapi, aku tidak tega dan selalu akan merasa gelisah kalau kau merantau seorang diri, anakku. Bagaimana kalau kau sampai mendapat bencana di jalan? Dunia ini penuh dengan orang-orang jahat, Ling Ling."
"Ibu, mengapa susah-susah? kalau ibu tidak tega, marilah kita pergi berdua. Dengan kepandaian kita, apakah yang kita takutkan? Ibu, aku ingin sekali mencari ayah. Menurut penuturan ibu, ayah dahulu dibawah oleh para serdadu untuk bekerja paksa, mengapa kita tidak menyusul dan mencarinya? Alangkah akan bahagianya kalau kita dapat bertemu dengan ayah!"
Makin deras air mata mengalir dari mata Sui Giok mendengar disebutnya suaminya ini. Kemudian ia menggeleng kepala dan berkata perlahan,
"Ling Ling, hal ini tidak mungkin. Kalau kita pergi berdua, bagaimana dengan nenekmu? Dia adalah penolong ibumu, tanpa adanya nenek Lam, ibumu pasti sudah tewas dan kau takkan ada di muka bumi ini. Bagaimana aku bisa tinggalkan dia seorang diri di tempat ini?"
Belum sempat Ling Ling menjawab, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh bunyi pekik yang amat nyaring, seperti pekik seekor binatang buas yang dilukai.
"Nenenk Lam...!!"
Ling Ling berseru keras dan wajahnya tegang.
"Dia marah sekali!"
Akan tetapi Sui Giok sudah melompat berdiri dan menarik tangannya.
"Hayo cepat, nenekmu berada dalam bahaya!"
Keduanya lalu melompat dan berlari cepat sekali ke arah datangnya suara itu. Ternyata bahwa Bu Lam Nio telah bertemu di dalam hutan dengan empat orang pendeta Pek-sim-kauw itu. Melihat pendeta-pendeta itu, Bu Lam Nio mengenal Pek Kin Cu yang kemaren telah dirobohkan, maka meluaplah amarahnya.
"Pendeta-pendeta busuk, kalian sudah bosan hidup!"
Teriaknya dan langsung ia menyerang mereka dengan sebatang ranting pohon.
"Siluman jahat! Kau benar-benar ganas dan harus dibasmi!"
Teriak Pek Kin Cu sambil memutar pedangnya. Juga tiga orang pendeta tingkat dua dari Pek-sim-kauw lalu mencabut pedang dan mengeroyok.
Akan tetapi kebencian Bu Lam Nio telah ditumpahkan kepada Pek Kin Cu membuat nenek ini menyerang dengan hebat sekali kepada pendeta ini. Desakkannya bukan main dahsyatnya dan ia melakukan serangan bertubi-tubi dengan ilmu pedang Kim-gan-liong-kiam-sut yang baru sedikit dipelajarinya. Namun ini sudah cukup. Biarpun Pek Kin cu berusaha menangkis dan ketiga orang suhengnya menyerang hebat untuk menolongnya, tetap saja ujung ranting di tangan Bu lam Nio dengan tepat telah menusuk jalan darah pada lehernya. Pek Kin Cu terhuyung dan roboh tanpa dapat mengeluarkan suara lagi karena jalan darah pada lehernya telah pecah, membuat ia tak dapat bersuara dan tak dapat bernapas lagi. Ia tewas pada saat itu juga. Demikianlah kehebatan ilmu pedang Kim-gan-liong-kiam-sut. Bukan main terkejut dan marahnya tiga orang pendeta Pek-sim-kauw tingkat dua itu.
"Iblis wanita, kau benar-benar ganas dan kejam!"
Teriak mereka dan bergulung-gulunglah sinar pedang ketiga pedang ketiga pendeta ini ketika mereka mengeroyok dengan serangan-serangan maut kepada Bu Lam Nio. Bu Lam Nio sudah amat tua dan matanya sudah agak lamur, biarpun ilmu silatnya sudah mencapai tingkat yang mengherankan,
Akan tetapi menghadapi tiga orang lawan yang amat tangguh ini, ia menjadi sibuk juga. Dari tangkisan pedang mereka, ia maklum bahwa ketiga orang lawan ini bukanlah lawan yang empuk seperti Pek Kin Cu, dan jangankan dikeroyok tiga, baru menghadapi seorang di antara mereka saja, agaknya ia takkan mudah merobohkannya. Ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat yang dimainkan oleh tiga orang pendeta ini memang lihai. Kepandaian mereka sudah mencapai tujuh puluh bagian sehingga ketika pedang mereka berkelebat, terdengarlah bunyi mengaung seperti ribuan lebah pulang ke sarang. Sebentar saja Bu Lam Nio terkurung rapat oleh sinar pedang mereka dan tidak mempunyai jalan keluar lagi. Akan tetapi, Bu Lam Nio tidak menjadi gentar bahkan lalu memutar rantingnya makin cepat sambil melakukan serangan balasan membabi buta.
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo