Ceritasilat Novel Online

Si Rajawali Sakti 15


Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 15



"Mana bisa percaya..."

   Kui Lin hendak membantah akan tetapi Han Lin mengangkat tangan menyuruh gadis itu diam. Kui Lin menutup mulutnya akan tetapi masih cemberut sambil mengerling galak kepada Bu Eng Hoat.

   "Nah, sekarang tiba giliran kalian, Liu Cin dan Hui Lan."

   "Aku girang sekali dapat bertemu denganmu di sini, Han Lin. Akan tetapi biarlah dia yang bercerita karena aku tadi hanya mengikuti Liu Cin untuk melerai perkelahian itu."

   Kata Hui Lan.

   Liu Cin bercerita.

   "Sebelumnya kami ingin berterima kasih padamu, Han Lin. Kami telah menemui Thian-te Siansu dan berhasil mendapatkan petunjuk beliau. Terima kasih. Sekarang akan ku ceritakan tentang campur tangan kami tadi. Kami berdua kebetulan menyewa dua buah kamar di hotel Lok Koan ini dan tadi kami mendengar ribut-ribut. Ketika kami keluar, kami melihat saudara ini sedang dituduh sebagai pembunuh dan hendak ditangkap. Aku pernah bertemu dengan dia, yaitu ketika dia beberapa waktu yang lalu menyerang Ang-hwa Niocu dan hendak membunuh wanita itu. Sayang sekali ketika itu aku membela Ang-hwa Niocu karena aku condong membela seorang wanita yang hendak dibunuh seorang pria. Akhirnya baru aku mengetahui bahwa wanita itulah yang jahat dan saudara ini adalah seorang pendekar yang menentang kejahatan. Maka, melihat dia dituduh sebagai penjahat dan pembunuh, aku tidak percaya lalu mengajak Hui Lan untuk melerai. Akan tetapi, kami berdua yang hanya ingin melerai disangka penjahat pula lalu dikeroyok pasukan."

   "Habis, kalian melindungi tersangka pembunuh, tentu saja aku menjadi curiga"

   Kata Kui Lin yang masih cemberut karena Han Lin agaknya tidak mau membelanya.

   "Lin-moi, tenang dan bersabarlah. Mari kita semua menghadap Pangeran Chou Kuan Tian dan biarlah beliau yang memutuskan Saudara Bu Eng Hoat ini bersalah ataukah tidak."

   "Bagus, kami berdua juga ingin sekali menghadap Pangeran Chou Kuan Tian karena ada hal-hal penting perlu kami laporkan kepada beliau."

   Liu Cin dan Hui Lan hanya mengangguk menyetujuinya.

   "Mari, Saudara Bu, agaknya kita semua masih segolongan yang suka menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Kalau memang engkau merasa tidak bersalah, tentu engkau bersedia untuk menghadap Pangeran Kuan Tian yang bijaksana."

   Kata Han Lin kepada Bu Eng Hoat.

   

   "Tentu saja aku bersedia karena memang tidak merasa membunuh."

   Jawab Bu Eng Hoat dengan sikap gagah. Kui Lin melirik padanya dan cemberut, tetapi Bu Eng Hoat yang menganggap gadis ini lucu, tersenyum simpul.

   Mereka berlima lalu meninggal tempat itu dan menuju ke istana. Karena mereka datang bersama Kui Lin yang sudah dikenal baik para perajuritt pengawal, maka mereka dapat masuk tanpa halangan

   (Lanjut ke Jilid 15)

   Si Rajawali Sakti (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 15

   dan langsung menghadap Pangeran Chou Kuan Tian yang sudah menanti untuk menerima mereka di ruangan tamu yang luas. Sang pangeran tentu saja sudah menerima laporan para pembantunya tentang hasil penangkapan atas diri pemuda di Hotel Lok Koan yang disangka sebagai pembunuh Menteri Liong itu. Dia hanya dilapori bahwa penangkapan itu tidak jadi ditakukan dan para pemuda perkasa itu mengadakan perundingann yang tidak didengarkan orang lain.

   Melihat Kui Lin datang berlima dan antara mereka terdapat pula Si Han Lin, Pangeran Chou Kuan Tian menjadi girang dan melihat pemuda yang sudah dia kenal kelihaian dan kebijaksanaannya , hatinya merasa lega. Dengan singkat Kui Lin melaporkan apa yang terjadi ketika ia hendak menangkap Bu Eng Hoat sampai muncul Liu Cin dan Ong Hui Lan yang melerai, kemudian muncul pula Si Han Lin yang menghentikan pertempuran. Han Lin lalu memperkenalkan mereka satu demi satu. Tadi dalam perjalanan dia sudah mendengar pengakuan Bu Eng Hoat bahwa dia adalah murid Thian Leng Losu.

   "Pangeran, kami berlima sesungguhnya masih orang-orang sealiran, karena antara guru-guru kami terdapat jalinan persahabatan yang erat, bahkan guru kami semua merupakan pendukung kerajaan baru Sung yang setia. Bu Eng Hoat ini adalah murid Locianpwe Thian Leng Losu, seorang pendeta Lama . yang berilmu tinggi dan bijaksana. Liu Cin ini adalah murid tunggal dari Ceng Hosiang, tokoh Siauwlimpai yang lihai. Adapun Ong Hui Lan ini adalah murid Locianpwe Tiong Gi Cinjin datuk berjuluk Tung-kiam-ong (Raja Pedang Timur) dan ia adalah puteri dari bekas Kepala Kebudayaan Kerajaan Chou tinggal di Nan-king."

   Pangeran Chou Kiang Tian mengangguk-angguk senang. Tentu saja dia ngengenal Ong Su, ayah dari Ong Hui Lin. Setelah Pangeran Chou mendengar kesaksian Bu Eng Hoat tentang pembunuhan atas diri Menteri Liong yang dia sakikan dan yang dia tidak mampu menolongnya, pangeran itu mengerutkan alisnya.

   "Nanti dulu, Bu Eng Hoat. Menteri Liong terkenal sebagai seorang pejabat tinggi yang bijaksana dan baik budi, tidak pernah mengganggu rakyat, bahkan hati dan tangannya selalu terbuka untuk membantu rakyat. Dari mana engkau mendengar bahwa dia seorang pembesar lalim yang pantas dibunuh?"

   Bu Eng Hoat menghela napas panjang.

   "Saya sendiri masih bingung, Pangeran, begini ceritanya. Ketika saya memasuki kota raja, di jalan saya melihat seorang perwira dengan pasukannya menyiksa seorang anak perempuan dan ayahnya yang dianggap menghalang jalan. Saya lalu menghajar pasukan itu dan datang seorang panglima yang baik hati. Dia yang memintakan maaf dan dia mengajak saya naik ke dalam keretanya. Dari pembicaraannya, saya menilai bahwa dia seorang panglima yang bijaksana. Dialah yang memberitahu kepada saya bahwa banyak pejabat tinggi yang lalim di raja, di antaranya yang paling jahat adalah Menteri Liong. Karena itu, saya mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada Menteri Liong itu. Akan tetapi, ternyata sekarang bahwa Menteri Liong malah seorang pejabat tinggi bijaksana. Saya tidak tahu siapa pembunuh yang amat lihai itu. Sungguh merasa menyesal telah percaya keterangan panglima itu."

   

   "Hemmm, ada satu hal yang kuanggap aneh dan sampai sekarang masih membangkitkan kecurigaanku kepadamu, Bu Eng Hoat. Engkau seorang perantau melihat keadaanmu engkau bukan seorang yang kaya raya. Akan tetapi ternyata engkau dapat menyewa sebuah kamar loteng Hotel Lok Koan yang paling besar dan paling mahal di kota raja!"

   Wajah Bu Eng Hoat menjadi kemerahan. Hatinya merasa mendongkol sekali kepada gadis yang galak itu, walaupunwajahnya yang manis sejak semula amat menarik hatinya.

   "Panglima itu pula yang telah menyewakan sebuah kamar untukku." "Siapakah panglima yang amat baik hati terhadapmu itu, akan tetapi yang menceritakan keterangan yang menyesatkan tentang Menteri Liong?"

   "Namanya adalah Panglima Chou Ban Heng"

   Mendengar disebutnya nama ini, Pangeran Chou Kuan Tian tersenyum.

   "Aih, pantas kalau begitu!"

   Seru Song Kui Lin juga Liu Cindan Ong Hui Lan saling pandang penuh arti.

   "Pangeran, Chou Ban Heng itu adalah orang yang merencanakan pemberontakan. Kami yakin bahwa yang menyuruhbunuh Menteri Liong dan para pejabat yang menjadi korban pembunuhan itu bukan lain adalah dia orangnya!"

   Pangeran Chou Kuan Tian mengangguk-angguk.

   "Bu Eng Hoat, jelas bahwa engkau telah dijebak agar engkaulah yang dituduh sebagai pembunuh yang selama ini kami cari-cari. Ketahuilah bahwa Panglima Chou Ban Heng itu diam-diam mengusahakan pemberontakan dan dia mendalangi pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di antara para pejabat tinggi di kota raja. Nah, sekarang kita semua mengetahui bahwa kita merupakan segolongan orang yang menentang pemberontakan itu. Sekarang harap kalian Liu Cin dan Ong Hui Lan, menceritakan pengalaman kalian yang berhubungan dengan Pangeran Chou Ban Heng."

   Ong Hui Lan menceritakan betapa diutus ayahnya, Ong Su, untuk membntua Jenderal Chou Ban Heng.

   "Karena ayah dahulu merupakan Kepala Kebudayaan Kerajaan Chou, maka ayah mempunyai hubungan baik dengan Jenderal Chou Ban Heng yang dahulu merupakan seorang pangeran. Ayah saya tidak tahu bahwa Jenderal Chou Ban Heng berkhianat terhadap Kerajaan Sung dan hendak memberontak, maka dia bukan saja menyuruh saya membantu, bahkan ayah menerima pula ketika Pangeran atau Jenderal Chou Ban Heng menjodohkan saya dengan puteranya yang bernama Chou Kian Ki. Akan tetapi, setelah saya mengetahui bahwa Jenderal Chou Ban Heng hendak memberontak, apalagi setelah saya kenal Chou Kian Ki sebagai seorang pemuda yang bertabiat kurang baik, saya lalu melarikan diri meninggalkan keluarga Chou Ban Heng."

   Liu Cin juga menceritakan pengalamannya.

   "Ketika saya bertemu dan berkenalan dengan Ang-hwa Niocu, saya tertipu dan mengira bahwa ia seorang pendekar wanita yang gagah dan baik. la yang membawa saya pergi menghadap Jenderal Chou Ban Heng dan bekerja kepadanya. Akan tetapi setelah berada di sana, saya baru mengetahui bahwa Ang-hwa Niocu adalah seorang iblis betina dan bahwa keluarga jenderal itu bukan orang baik-baik, maka saya lalu pergi meninggalkannya. Saya bertemu dengan nona Ong Hui Lan dan bersama-sama memperdalam ilmu silat. Kami kembali ke kota raja memang dengan niat menentang rencana pemberontakan Jenderal Chou Ban Heng, dan melihat Bu Eng Hoat dikeroyok perajurit, kami melerainya karena saya tahu bahwa dia seorang pendekar yang gagah dan penentang kejahatan."

   Pangeran Chou Kuan Tian mengangguk-angguk.

   "Kita semua kini sudah mengetahui dengan jelas bahwa Jenderal Chou Ban Heng berkhianat dan hendak memberontak. Dia pula yang mendalangi semua pembunuhan itu. Hal itu sudh kuduga ketika kami berhadapan dengan Hongsan Siansu yang menjadi guru Kallon tokoh Khitan, dan Ang-hwa Niocu. Akan tetapi kini tiga orang itu tidak berada lagi di kota raja. Lalu siapakah pembunuh yang lihai itu?"

   "Saya dapat menduga siapa adanya para pembunuh itu, Pangeran."

   Kata Hui Lan.

   "Selain Hongsan Siansu, Jenderal Chou Ban Heng masih mempunyai orang pembantu yang lihai, yaitu Kanglam Sinkiam Kwan In Su, dan Im Yang Tosu. Mereka berdua adalah orang-orang yang lihai sekali ilmu silatnya. Akan tetapi masih ada seorang yang lebih lihai lagi, yaitu puteranya sendiri yang bernama Chou Kian Ki. Dia ini lebih lihai dibandingkan semua pembantu Jenderal Chou!"

   "Benar sekali. Pangeran. Kalau ada pembunuh yang amat lihai sehingga Bu Eng Hoat sendiri tidak mampu menantanginya ketika pembunuh itu membunuh Menteri Liong, dia tentulah Chou Kian Ki"

   Kata Liu Cin memperkuat pendapat Hui Lan.

   "Saya pernah menghadapi Chou Kian Ki dan harus saya akui bahwa belum pernah saya melawan orang setangguh itu, Pangeran."

   

   Pangeran Chou Kuan Tian mengangguk-angguk. Dia lalu minta ketegasan tiga orang muda yang baru dia jumpai, yaitu Liu Cin, Bu Eng Hoat, dan Ong Hui Lan, apakah mereka benar-benar sanggup membantu pemerintah untuk menghadapi Jenderal Chou Ban Heng dan para pendukungnya. Orang-orang muda yang berjiwa pendekar dan yang oleh guru masing-masing memang sudah dipesan agar mereka bertindak sebagai pendekar untuk membantu negara dan bangsa, segera menyatakan kesanggupan mereka. Pangeran Chou Kuan Tian merasa lega dan girang sekali. Dia telah mendapatkan bantuan lima orang muda yang gagah perkasa, yang membela pemerintah menentang para pemberontak karena dorongan jiwa kepahlawanan mereka, sama sekali tidak mempunyai pamrih untuk mendapatkan imbalan balas jasa berupa kedudukan atau harta benda.

   Pendekar-pendekar muda seperti ini yang dapat dipercaya. Dia menganjurkan agar mereka berlima tinggal di istana seperti Song Kui Lin yang memang sudah tinggal di situ. Hui Lan yang segera akrab dengan Kui Lin tentu saja merasa senang karena ia ingin berlindung dari ancaman Chou Kian Ki. Juga Liu Cin dan Bu Eng Hoat menerima tawaran Pangeran Chou dan masing-masing mendapatkan sebuah kamar di bagian istana di mana Pangeran Chou Kuan Tian tinggal. Hanya Si Han Lin yang tetap tinggal di luar istana karena pemuda ini ingin menyendiri dan dapat bergerak bebas juga dia dapat melakukan pengamat lebih teliti dan leluasa.

   Pangeran Chou Kuan Tian diam-diam telah melaporkan kepada kakaknya, Kaisar Sung Thai Cu tentang sepak terjang Jenderal Chou Ban Heng yang secara rahasia melakukan pemberontakan dengan jalan membunuhi para pejabat setia, bahkan pernah berusaha membunuh Pangeran Mahkota. Akan tetapi Kaisar Sung ku Cu melarang dia untuk turun tangan menangkap jenderal itu karena semua perbuatanya itu tidak dapat dibuktikan

   "Sekarang sebaiknya begini,"

   Kata Kaisar yang selalu bijaksana dan penuh perhitungan itu.

   "Engkau melakukan penjagaan yang ketat agar keluarga kita tidak ada yang terancam bahaya. Sementara itu, biarkan pengkhianat itu merasa bahwa perbuatannya belum kita ketahui sehingga dia berani bertindak lebih jauh lagi. Nah, kalau dia bertindak, baru kau tangkap dia dan kaki tangannya sehingga penangkapan itu bukan atas dasar tuduhan tanpa bukti dan kita kelihatan tidak adil. Kumpulkan orang-orang yang berkepandaian tinggi dan amati semua gerak-geriknya sehingga kalau dia bertindak kita tidak sampai kecolongan dan menangkap basah dia dan anak buahnya."

   Perintah Kaisar ini ditaati Pangeran Chou Kuan Tian.

   Dia menyebar para penyelidiknya agar diam-diam mengamati dan membayangi gerak-gerik Panglima Chou Ban Heng dan terutama puteranya yang bernama Chou Kian Ki dan juga dua orang pengawalnya, yaitu Kanglam Sinkiam Kwan In Su dan Im-yang Tosu. Juga mengamati siapa saja yang datang dan berhubungan dengan jenderal itu. Demikian pula lima orang muda yang membantunya, hanya diperbolehkan melakukan pengamatan dan tidak boleh turun tangan, kecuali kalau ada pembunuh yang hendak melakukan pembunhan terhadap pejabat yang setia ke Kaisar. Juga kepada para pejabat setia, Pangeran Chou Kuan Tian menasehatkan agar berhati-hati dan jaga keamanan diri dan keluarga masing-masing dengan ketat, menambah jumlah pengawal.

   Jenderal Chou Ban Heng merasa terkejut dan menyesal akan gagalnya usaha pembunuhan terhadap Pangeran Mahkota maupun Pangeran Chou Kuang Tian, akan tetapi dia merasa lega karena sebegitu jauh dirinya belum dicurigai. Buktinya pihak pemerintah masih belum mengadakan tindakan apa pun terhadap dirinya. Para penyelidiknya melaporkan bahwa Liu Cin dan Ong Hui Lan kini muncul dan berada di istana bersama Pangeran Chou Kuan Tian. Hal ini tentu saja menimbulkan kekhawatirannya karena Ong Hui Lan yang tadinya menjadi calon mantunya tentu telah tahu banyak niatnya untuk menggulingkan Kaisar Sung dan merebut tahta. Akan tetapi agaknya gadis itu tidak melaporkannya, mungkin takut kalau ayahnya terlibat. buktinya belum ada tanda bahwa dirinya dicurigai.

   Akan tetapi Jenderal Chou Ban Heng kini menjadi hati-hati dan waspada. Melihat betapa para pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar kini menjaga diri dengan perlindungan ketat, dia maklum bahwa lambat laun tentu pihak pemeritah akan mencurigai dan menindaknya. Sebelum hal itu terjadi, lebih kalau dia turun tangan lebih dulu! Secara rahasia, Panglima Chou Ban Heng lalu mengundang para pembantu dan pendukungnya, baik yang berada luar kota raja maupun beberapa orang perwira tinggi yang berada di kota raja untuk mengadakan pertemuan rahasia dalam hutan di bukit terpencil sebelah Utara kota raja. Dia sendiri tidak mungkin pergi memimpin pertemuan karena dia tahu bahwa dirinya selalu diawasi secara diam-diam oleh mata-mata pemerintah. Maka dia mengutus puteranya, Chou Kian Ki untuk memimpin pertemuan itu.

   

   Bagi Chou Kian Ki, walaupun dia juga tidak luput dari pengawasan, namun dengan ilmunya yang tinggi, dengan mudah dia mampu lolos dari istana ayahnya tanpa diketahui seorang pun yang diam-diam mengawasi keluarganya siang malam. Dengan gerakan yang cepat seperti terbang, di suatu malam dia berhasil keluar dari gedungnya, bahkan keluar dari kota raja menuju ke hutan di mana pada keesokan harinya telah ditentukan menjadi tempat pertemuan persekutuan pemberontak itu.

   Sekali ini Chou Ban Heng hendak mengerahkan semua kekuatan para pendukung dan sekutunya. Yang diundang datang menghadiri pertemuan yang dipimpin oleh Chou Kian Ki sebagai wakil ayahnya itu merupakan yang paling lengkap dan paling besar jumlahnya semua pertemuan yang pernah diadakan. Sejak malam sampai keesokan nya, di dalam hutan itu telah berkumpul tidak kurang dari tiga puluh orang penting. Mereka adalah para tokoh kangouw yang sakti, yang sejak semula memang telah membantu Chou Ban Heng, sebagian pula adalah para perwira tinggi yang dapat terbujuk oleh jenderal itu karena mereka adalah para bekas pejabat pemerintah Kerajaan Chou yang sudah jatuh.

   Di antara para tokoh kangouw adalah Kanglam Sinkiam Kwan In Su, Im-yang Tosu, Hongsan Siansu, Kallon, Ang-hwa Niocu, Tung-hai Tok, Ban-tok Moko, Cui beng Lokui. Mereka ini pernah kita kenal dalam peristiwa-peristiwa yang lalu. Malam itu muncul pula seorang pendeta Lama jubah merah yang berjuluk Thong Thian Lama, seorang pendeta Lama dari Tibet yang datang ke kota raja Kerajaan Sung dengan niat mencari sutenya (adik seperguruannya), yaitu Thong Leng Losu yang dianggap berkhianat dan menjadi buruan para pendeta Lama. Secara kebetulan dia bertemu dengan Chou Kian Ki dan dapat dibujuk untuk membantu gerakan mereka dengan imbalan akan membantu mencari Thong Leng Losu. Karena rnemang para pendeta Lama di Tibet tidak suka akan munculnya Dinasti Sung dan mereka kehilangan hubungan baik dengan Kerajaan Chou yang jatuh, maka Thong Thian Lama tanpa ragu lagi menerima ajakan kerja sama itu.

   Tung-hai Tok diikuti pula muridnya, yaitu Boan Su Kok si muka hitam yang pernah menjadi juara dalam perebutan kejuaraan jago silat di puncak Thaisan. Guru dan murid ini bahkan mempersiapkan anak buah mereka, yaitu para anggota Tung-hai-pang yang kini berjumlah sekitar seratus orang! Juga Kallon, utusan dari suku Khitan itu telah mempersiapkan ratusan orang anak buahnya yang sewaktu-waktu dapat digerakkan untuk bertempur! Tentu saja demikian juga dengan para perwira tinggi yang siap dengan pasukan masing-masing, walaupun sebagian besar dari mereka masih ragu dan belum yakin benar bahwa seluruh perajurit mereka akan menaati bila digerakkan untuk menyerbu dan menyerang pasukan kerajaan yang membela Kaisar Sung Thai Cu.

   Karena itulah, dalam perundingan yang dipimpin Chou Kian Ki pagi itu sampai siang, kebanyakan para perwira tinggi tidak setuju kalau pemberontakan itu dimulai dengan penyerbuan dan mengandalkan kekuatan pasukan yang mereka pimpin. Karena mereka pun tahu bahwa pihak pemerintah memiliki pasukan-pasukan besar dan kuat yang pemimpinnya setia kepada Kaisar. Karena harus dilumpuhkan dulu, demikian para pembantunya yang setia. Kalau pasukan pemerintah kehilangan para pemimpinnya, barulah penyerbuan dapat dilakukan dan harapan untuk berhasil pasti lebih besar.

   Akhirnya rencana ini diterima dan diputuskan bahwa Chou Kian Ki dan ayahnya, Chou Ban Heng akan mencari cara untuk menguasai Kaisar. Untuk itu diperlukan bantuan para pendukung yang sakti. Dengan diam-diam dan rahasia, mereka yang akan menyusup masuk kota raja dan bersembunyi di istana Chou Ban Heng untuk membantu pelaksanaan rencana itu adalah Tung-hai Tok, Ban-Moko, Cui beng Lokui, dan Tong Thian Lama karena empat orang tokoh ini belum dikenal di kota raja. Tentu saja Kwan In Su dan Im-yang Tosu juga bersama mereka karena dua orang ini sejak dulu menjadi pengawal keluarga Chou Ban Heng. Hongsan Siansu, Kallon dan Ang-hwa Niocu yang sudah dikenal Pangeran Chou Kuan Tian sebagai tiga orang yang mengirim dua orang pembunuh yang berusaha membunuh Pangeran Mahkota, tentu saja tidak berani memasuki kota raja. Mereka bertiga hanya bersembunyi di luar kota raja, siap membantu kalau pasukan pemberontak menyerbu masuk kota raja.

   Pertemuan rahasia itu dilakukan dengan amat teliti sehingga para penyelidik yang disebarkan Pangeran Chou Kuan Tian tidak ada yang dapat mengetahuinya. Bahkan Si Han Lin yang seperti biasa secara diam-diam melakukan perondaan di atas wuwungan rumah-rumah di kota raja, tidak menemukan sesuatu. Dia hanya melihat pada keesokan harinya, sore hari, Kwan In Su Im-yang Tosu berjalan memasuki pintu gerbang kota raja dan menuju ke istana Jenderal Chou Ban Heng. Hal ini tidaklah luar biasa karena memang dua orang itu merupakan pengawal sang jenderal. Dia juga melihat seorang pendeta Lama tua berjalan pada malam hari itu pendeta itu menghilang dalam kegelapan malam. Karena tidak mengenalnya tidak menaruh curiga Han Lin tidak mengikutinya, tidak tahu bahwa pendeta itu adalah Thong Thian Lama, seorang antara mereka yang secara rahasia memasuki gedung Chou Ban Heng untuk membantunya.

   

   Betapapun pandai dan penuh rahasia jenderal Chou Ban Heng mengatur rencana sehingga semua pembantunya telah siap, namun Pangeran Chou Kuan Tian dan para pembantunya tidak kalah cerdik, mereka memang tidak dapat mengetahui bahwa Jenderal Chou Ban Heng telah menyelundupkan tambahan empat orang yang berilmu tinggi untuk membantunya, namun Pangeran Chou Kuan Tian sudah dapat menduga bahwa Jenderal Chou Ban Heng tentu akan. mengadakan gerakan yang amat membahayakan keselamatan kaisar dan keluarganya. Oleh karena itu, dibantu para pendekar muda dan para panglima yang setia, dia pun menyusun penjagaan dan pertahanan yang amat ketat secara rahasia pula sehingga di luarnya seolah pihak Kerajaan tidak mencurigai Jenderal itu dan tidak melakukan penjagaan apapun!

   Pada suatu malam yang gelap. Kota raja diselimuti mendung tebal sehingga langit hanya tampak hitam tanpa sebuah pun bintang. Kilat menyambar-nyambar diselingi suara guntur menggelegar. Tidak ada tampak orang di jalan malam itu karena semua merasa lebih aman berada dalam rumah. Agaknya hujan lebat segera akan turun. Istana pun tampak sunyi, agaknya semua penghuninya telah tidur di kamar masing-masing. Bahkan para pengawalpun yang sedang bertugas jaga lebih suka duduk bergerombol di pos penjagaan masing-masing. Hanya ada beberapa pasangan saja yang melakukan perondaan, itupun dengan sikap ogah-ogahan.

   Di antara para perajurit pengawal yang malam itu melakukan penjagaan yang jumlahnya sekitar lima puluh orang dan tersebar di seluruh bagian istana terdapat sepuluh orang perajurit pengawal yang sudah "dibeli"

   Dan menjadi anak buah Jenderal Chou Ban Heng. Tentu saja sudah berbulan-bulan dia menggunakan sepuluh orang perajurit pengawal kerajaan ini sebagai mata-mata sehingga dia dapat mengetahui gerak-gerik di dalam istana. Dari mereka pula dia mendengar bahwa keadaan penjagaan di istana mempunyai kelemahan-kelemahan. Jenderai Chou Ban Heng mendengar pula bahwa selama beberapa pekan ini Kaisar memiliki kebiasaan yang ganjil, yaitu dia suka tidur di sebuah kamar menyendiri tidak ditemani permaisuri maupun selirnya dan kalau sudah memasuki kamar, sama sekali tidak ingin diganggu, bahkan pengawal pun tidak diperbolehkan mendekati kamar dan tidak boleh ada suara berisik di luar kamar itu. Mendengar ini, Jenderal Chou Ban Heng yang sudah bernafsu sekali untuk menguasai tahta kerajaan, segera menyusun rencana yang akan dilakukan pada malam gelap itu.

   Dia sudah mengatur rencana siasat dengan para pembantunya. Dia akan menguasai kaisar, menyandera kaisar dan memaksa kaisar untuk menyerahkan kerajaaan dan mengangkat dia menjadi penggantl. Adapun semua pendukung dan pembantunya harus sudah siap di luar kota raja, juga para panglima siap dengan pasukan mereka, untuk menyerbu kalau kaisar melawan dan tidak mau menyerahkan kekuasaan.

   Demikianlah, dengan bantuan sepuluh orang perajurit pengawal, tanpa diketahui para perajurit lainnya. Jenderal Chou Ban Heng, puteranya, Chou Kian Ki, Tung-hai Tok, Ban-tok Moko, Cuibeng Lokui, dan Thong Thian Lama, enam orang ini menutupi pakaian mereka dengan pakaian perajurit lalu mereka menyelundup masuk ke istana dan langsung saja menuju ke kamar Istimewa di mana Kaisar Sung Thai Cu tidur.

   Suasana amat sunyi. Selagi enam orang perajurit palsu itu berindap menghampiri kamar itu, muncul lima orang perajurit pengawal yang bertugas menjaga kamar itu dari jauh karena mereka dilarang mendekat oleh Kaisar. Melihat enam orang itu menghampiri kamar, mereka segera mengejar dan menegur dengan suara lirih.

   "Hei, kalian tidak boleh mendekat kamar itu!"

   Ketika enam orang itu membalikkan tubuh mereka, lima orang perajurit itu terkejut karena tidak mengenal mereka, apalagi ketika melihat bahwa yang seorang di antara enam orang perajurit itu adalah Jenderal Chou Ban Keng. Akan tetapi, Chou Kian Ki, Tung-hai Tok. Bantok Moko, Cuibeng Lokui dan THong Thian Lama sekali menggerakkan tangan, lima orang perajurit pengawal itu roboh tewas tanpa sempat mengeluarkan suara. Mereka lalu menyeret lima mayat itu dan melemparkannya ke bawah pohon, tertutup bayangan pohon yang gelap, kemudian mereka kembali berindap menghampiri kamar itu dan Jenderal Chou Ban Heng sendiri lalu membuat lubang di jendela dengan pedang lalu mengintai ke dalam.

   Kamar itu diterangi lampu meja yang remang-remang. Bukan kamar yang terlalu mewah, hanya ada sebuah dipan berkelambu, sebuah meja dengan empat kursi, dan sebuah almari berisi kitab-kitab. Di atas dipan itu, tertutup kelambu tipis, tampak tubuh seorang laki-laki tidur telentang. Jenderal Chou Ban Heng yang sudah mengenal baik Kaisar, yakin bahwa yang tidur itu adalah Kaisar Thai Cu. Dia lalu mengangguk ke puteranya dan Chou Kian Ki medekat daun pintu kamar. Dengan pengerahan tenaga saktinya yang amat kuat, dia mendorong dan berhasil membuka pintu kamar tanpa perlu merusak atau mengeluarkan suara gaduh. Dengan mudahnya daun pintu terbuka. Ayah anak ini lalu cepat melompat ke dalam kamar, sedangkan empat orang sakti pembantu mereka berjaga di luar kamar.

   

   Melihat tubuh yang rebah miring, membelakangi mereka itu bergerak, jenderal Chou Ban Heng segera berseru "Jangan bergerak atau berteriak, Sribaginda, atau kami terpaksa akan membunuhmu!"

   Mendengar ancaman ini, kaisar itu lalu menutupi kepalanya dengan selimut dan menggigil ketakutan. Jenderal Chou Ban Heng tersenyum mengejek. Kiranya kaisar kerajaan baru itu hanya seorang pengecut yang ketakutan, pikirnya.

   "Dengar baik-baik, Sribaginda. Engkau menaati kami atau kami bunuh sekarang juga. Tulis pernyataan bahwa engkau menyerahkan tahta kerajaan kepadaku, akulah yang berhak melanjutkan Kerajaan Chou, bukan engkau! Tulislah dengan tangan dan cap kebesaranmu, dan tahta kerajaan akan pindah ke tanganku tanpa adanya pertempuran. Kalau engkau tidak menaati, kami akan membunuhmu dan akan mengobarkan perang yang akan, menghancurkan seluruh negeri "

   Akan tetapi pada saat itu, terdengar bentakan di luar kamar, seolah merupakan jawaban dari ucapan Chou Ban Heng tadi.

   "Chou Ban Heng, menyerahlah, kalian sudah terkepung"

   Mendengar ini, Chou Ban Heng terkejut, akan tetapi dia

   tidak merasa gentar.

   "Kian Ki, jaga Kaisar jangan sampai lolos, akan tetapi jangan bunuh, tunggu perintahku!"

   Setelah memesan demikian kepada puteranya, dia dengan cepat melompat keluar. Dia melihat empat orang pembantunya itu sudah berdiri tegak membawa senjata masing-masing dan siap melawan mereka yang berada di situ dengan banyak perajurit yang mengepung tempat Itu. Dia melihat Pangeran Chou Kuan Tian berada di depan bersama dua orang pemuda dan dua orang gadis, Dia segera mengenal Liu Cin dan Bu Eng Hoat, juga mengenal Ong Hui Lan calon mantunya. Dia lalu berseru nyaring pada Pangeran Chou Kuan Tian.

   "Chou Kuahg Tlan, jangan kalian berani bergerak! Ketahuilah, Kaisar Thai Cu telah berada di tangan kami kalau kalian membuat gerakan, dia akan lebih dulu kami bunuh. Dan ketahui juga bahwa para panglimaku sudah siap dengan pasukan mereka, juga para pendukungku sudah siap dengan anak buah mereka di luar pintu gerbang. Kalau kalian menentangku, pertama Kaisar akan kami bunuh dan pasukan-pasukan pendukungku akan bergerak menyerbu istana."

   Garang bagaikan lima ekor singa Chou Ban Heng, Tung-hai Tok, Bantok Moko, Ciu-beng Lokui, dan Tong Thian Lama berdiri berjajar menghadapi Pangeran Chou Kuan Tian yang didampingi Liu Cin, Bu Eng Hoat, Song Kui Lin, dan Ong Hui Lan. Mereka agaknya merasa yakin bahwa lawan-lawan mereka tidak akan berani menyerang selama Kaisar berada dalam tawanan mereka dan menjadi sandera. Chou Ban Heng bahkan merasa yakin bahwa gertakannya itu pasti berhasil karena tidak mungkin Pangeran Chou Kuan Tian mau mengorbankan nyawa kakaknya Sung Thai Cu, kaisar pertama dinasti Sung. Akan tetapi sungguh sama sekali tidak disangkanya, mendengar ucapannya yang penuh semangat kemenangan, Pangeran Chou Kuan Tian tersenyum tenang, lalu berkata.

   "Chou Ban Heng, pengkhianat pemberontak, manusia tak mengenal budi. Engkau diberi kedudukan tinggi oleh Kakanda Kaisar, sekarang malah memberontak! gertakanmu itu hanya gentong kosong belaka. Dengar baik-baik, tiga belas orang panglima yang dapat kau bujuk menjadi pengikutmu kini sudah kami tangkap semua sehingga tidak akan ada pasukan yang memberontak tanpa pimpinan. Juga para gerombolan penjahat luar kota kini sedang diserbu oleh pasukan pemerintah. Nah, sebaiknya kalian berlima cepat membuang senjata menyerah, rnungkin Kakanda Kaisar yang bijaksana dan murah hati masih mengampunimu."

   Chou Ban Heng kalah gertak, merasa gentar juga, akan tetapi dia masih mengandalkan kenyataan bahwa kaisar berada di tanganrnya. Melihat Pangeran Chou Kuan Tian agaknya bersungguh-sungguh dan dia bersama para pendekar muda itu melangkah maju, dia berseru.

   "Berhenti! Selangkah lagi kalian maju akan kusuruh puteraku mermbunuh Kaisar yang berada di dalam kamar!"

   Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara yang datangnya dari atas.

   "Chou Ban Heng, ambisimu itu akan menghancurkan dirimu sendiri!"

   Mendengar suara itu, Chou Ban Heng terkejut bukan main dan dia segera memandang ke atas dan di sana, di sebuah loteng yang menjulur di depan kamar itu tampak Sribaginda Kaisar Sung Thai Cu berdiri dengan sikap tenang dan agung.

   "Ahhh..... bagaimana ini.....?"

   Chou Ban Heng berseru, terkejut dan heran dan pada saat itu terdengar suara gaduh beradunya senjata di dalam kamar dan sesosok bayangan melompat keluar dari kamar. Bayangan itu adalah Chou Kian Ki yang membawa Hek-kong-kiam (Pedang Sinar Hitam), dengan mata terbelalak memandang ayahnya dan berkata.

   "Kita terjebakl Dia bukan Kaisar!"

   Bayangan putih berkelebat dan Han Lin telah berada pula di luar.

   Ternyata di ketika Chou Ban Heng mengintai, yang rebah di pembaringan tertutup kelambu memang Kaisar, akan tetapi kemudian pembaringan yang sudah dipasangi alat rahasia itu turun ke bawah dan di ruangan bawah kaisar turun, digantikan Han Lin. Kemudian pembaringan itu naik lagi dan kini yang berada di pembaringan adalah Si Han Lin yang sengaja menutupi kepalanya dengan selimut dan tubuhnya mengigil agar disangka kaisar yang ketakutan. Setelah dia mendengar suara kaisar di luar, Han Lin membuka selimutnya. Melihat bahwa yang berada disitu adalah pemuda lihai yang pernah bertanding dengannya. Kian Ki terkejut dan menyerang. Akan tetapi serangan pedang sinar hitamnya dapat ditangkis oleh Han Lin. Tahu bahwa mereka terjebak, Kian Ki melompat keluar memberi tahu ayahnya dan teman-temannya.

   "Serang.....!!"

   Pangeran Chou Ban Heng yang sudah nekat mengandalkan kelihaian puteranya dan empat orang jagoannya, lalu menerjang maju. Mereka disambut oleh Han Lin dan kawan-kawannya, dikepung para panglima dan pasukan nya. Maklum akan kelihaian Chou Kian Ki, Si Han Lin menyambut putera jenderal ini dan mereka bertanding dengan seru. Tadinya Ong Hui Lan yang ingin membalas dendam kepada Kian Ki, hendak menyerangnya dan ia sudah didampingi Liu Cin karena mereka berdua maklum bahwa hanya kalau mereka berdua maju menggunakan ilmu Thian-te Im-yang Kun-hoat, dapat diharapkan mereka akan mampu menandingi dan mengalahkan Chou Kian Ki.

   Akan tetapi melihat Han Lin sudah menyambut putera jendra itu, Hui Lan dan Liu Cin tidak ingin mengeroyok dan mereka menghadapi yang lain. Kian Ki tidaklah senekat ayahnya, melihat betapa para pendekar muda itu rata-rata lihai, terutama sekali pemuda pakaian putih yang menyambutnya, dan di belakang mereka masih ada para panglima dan ratusan perajurit, Kian Ki maklum bahwa ayahnya dan para pembantunya tidak mungkin akan mampu menang.

   

   Akan tetapi Jenderal Chou Ban Heng berseru.

   "Larilah engkau, Kian Ki dan kelak, balaskan sakit hati ayahmu!!"

   Kian Ki beberapa kali berteriak, akan tetapi Chou Ban Heng tetap tidak mau melarikan diri, bahkan mengamuk dan mati-matian menyerang Pangeran Chou Kuan Tian yang dibencinya karena dia anggap pangeran itulah yang menjadi pimpinan lawan sehingga usaha pemberontakannya gagal. Akan tetapi, Pangeran Chou Kuan Thian adalah seorang ahli silat yang tangguh dan setelah mereka bertanding selama tiga puluh jurus lebih, seorang panglima yang membantu pangeran Chou Kuan Tian berhasil menusuk lambungnya dari kiri dan robohlah Chou Ban Heng.

   Melihat ayahnya roboh, Chou Kian Ki berteriak.

   "Ayah....!"

   Pangeran Chou Kuan Tian membiarkan pemuda itu menubruk ayahnya dan ia malah memberi isarat mencegah mereka yang hendak menyerang pemuda itu. Kian Ki merangkul ayahnya dan melihat ayahnya terluka parah, dia lalu mengangkat tubuh ayahnya, dipondong lalu dipanggul di atas pundaknya. Dengan wajah beringas dia lalu menerjang ke depan dengan pedang hitamnya dan mengamuk. Demikian hebat gerakan Kian Ki sehingga para perajurit mundur menjauh. Han Lin juga merasa tidak tega untuk menghalangi pemuda itu membawa pergi ayahnya yang terluka parah dan membiarkan saja pemuda itu melarikan diri, apalagi setelah melihat Pangeran Chou Kuan Tian tadi juga melarang para perajurit menyerang pemuda yang mungkin sekali kematian ayahnya melihat luka tusukan tombak yang menembus dari lambung kiri ke lambung kanan.

   Melihat Pangeran Chou Ban Heng roboh dan Chou Kian Ki melarikan ayahnya yang terluka, empat orang datuk yang membantu mereka itu pun mencari jalan keluar mengikuti Chou Kian Ki melarikan diri sambil mengamuk di panjang jalan.

   Pangeran Chou Kuang Tlan memang tadinya mencegah perajurit-perajurit dan pembantunya mendesak pihak lawan setelah melihat Chou Ban Heng, biang keladinya, telah roboh. Akan tetapi melihat betapa Chou Kian Ki diikuti empat orang datuk sakti itu melarikan diri, dia teringat bahwa mereka itu tetap merupakan bahaya bagi negara. Maka dia segera memberi aba-aba kepada para pendekar muda dan para panglima.

   "Kejar mereka!"

   Pengejaran dilakukan. Lima orang itu melarikan diri keluar dari pintu gerbang keluar kotaraja sebelah utara, Apa yang diktakan Pangeran Chou Kuan Tian tadi tidak bohong karena pada saat itu, di luar pintu gerbang telah terjadi pertempuran antara ratusan orang anak buah rombongan pendukung pemberontak dan pasukan kerajaan yang memang ditugaskan untuk menggempur mereka. Biarpun pihak gerombolan pemberontak kalah besar jumlahnya, namun mereka dipimpin oteh orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Di antara mereka terdapat Hongsan Siansu, Ang-hwa Niocu, Kanglam Sinkiam Kwan In Su, Im-yang Tosu, Kallon dan Boan Su Kak murid Tung-hal tok. Mereka mengamuk dengan ganas dan banyak perajurit yang roboh di tangan mereka.

   Ketika tiba di tempat itu, Chou Ban Heng tewas dalam pondongan puteranya. Kepada Chou Kian Ki dia hanya meninggalkan pesan dengan suara terputus-putus "Kian Ki... selamatkan dirimu. agar kelak dapat membalas dendam terutama kepada..... Pangeran Kuan Tian "

   Melihat ayahnya tewas, Kian Ki Jadi marah bukan main. Dia melihat betapa tiga orang gurunya, Hongsan Si su, Kwan In Su, dan Im-yang Tosu mengamuk, maka dia lalu meletakan jenazah ayahnya di bawah sebatang pohon besar yang agak jauh dari tempat pertempuran, lalu dia terjun ke dalam pertempuran dan ikut mengamuk. Ketika para pengejar dari istana tiba di situ, mereka segera terjun dalam pertempuran yang dahsyat itu. Si Han Lin segera menghadapi Chou Kian Ki yang sedang mengamuk dengan Hek-kong-kiam (Pedang Sinar Hitam) dan meroboh banyak perajurit.

   "Cringgg!!"

   Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pedang hitam itu ditangkis pedang Pek-sim-kiam (Pedang Sinar Putih) yang bersinar putih di tangan Si Han Lin. Ketika itu cuaca sudah mulai terang karena malam telah terganti pagi sehingga mereka dapat saling melihat dengan jelas. Kian Ki terkejut karena pedangnya terpental akan tetapi dia segera memandang dengan mata melotot ketika melihat bahwa penangkisnya adalah pemuda yang pernah ditandinginya dua kali. Pertama kali ketika pemuda itu melindungi Ong Hui Lan, dan ke dua kalinya ketika semalam pemuda itu menyamar sebagai Kaisar Sung Thai Cu dalam kamar. Dia menjadi marah sekali, apalagi ketika diingat bahwa pemuda ini memiliki ilmu yang sama seperti yang pernah dipelajarinya dari mendiang Thian Beng Siansu.

   "Keparat, siapakah engkau sebenarnya? Dan dari mana engkau mencuri Imu Keluarga Kok?"

   Dengan tenang Si Han Lin menjawab.

   "Chou Kian Ki, aku bernama Si Han Lin dan guruku adalah Thai Kek Siansu, pewaris ilmu silat Keluarga Kok. Sebaliknya bagaimana engkau dapat mempelajari ilmu warisan Keluarga Kok?"

   
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku belajar dari guruku, Thian Beng Siansu "

   "Ah, kiranya engkau murid Su couw (Paman Kakek Guru) Thian Siansu?"

   Si Han Lin terkejut.

   "Hemmm, kalau mendiang guru susiok-couwmu, berarti engkau murid keponakanku. Mengapa memusuhiku?"

   "Aku tidak memusuhimu, Chou Kian Ki, aku menentang segala bentuk perbuatan jahat seperti yang diajarkan guruku. Engkau dan ayahmu hendak merampas tahta kerajaan, membunuh banyak pejabat tinggi dan menimbulkan perang yang mengakibatkan tewasnya banyak orang. Itu kejahatan besar, maka aku harus menentangnya!"

   "Huh, tahu apa engkau tentang kejahatan? Chou Kuan Yin (kini Kaisar Sung Thal Cu) itulah pemberontak penjahat besar. Kami hanya memperjuangkan hak-hak kami Engkau membantunya, berarti engkau juga pengkhianat yang patut dibunuh! Hailiiittttt...l"

   Bagaikan angin badai Kian Ki menyerang dengan pedang di tangan kanannya diseling tamparan tangan kirinya yang mengandung tenaga sakti amat kuat.

   

   Han Lin cepat menangkis sambaran sinar hitam dan mengelak dari tamparan, karena dia mengenal baik serangan lawan, maka tidak sukar baginya untuk menghindarkan diri dan Han Lin seperti masih banyak mengalah. Dia berkelahi hanya untuk melindungi dirinya, dan dia membalas serangan hanya untuk meemahkan serangan lawan. Kedua orang itu bertanding dengan cepat sehingga yang tampak hanya gulungan sinar hitam melawan sinar putih yang saling desak dan saling himpit. Sementara itu, para pendekar muda yang membantu Pangeran Chou Kuan Tian juga menemukan lawan-lawan yang amat tangguh sehingga terjadilah pertempuran antara orang-orang yang berani mendekati mereka. Para perajurit itu bertempur melawan gerombolan dan karena jumlah para perajurit jauh lebih besar, dan mereka mulai dapat mendesak para buah gerombolan yang Kini tidak dibantu oleh para pimpinan mereka yang sibuk sendiri menghadapi para pendekar muda.

   Orang ke dua dari para datuk pembantu Chou Ban Heng yang paling lihai setelah Chou Kian Ki adalah Thong Lama. Pendeta gundul jubah merah Tibet yang tinggi besar bermuka hitam ini bersenjatakan seuntai tasbih biji hitam dan sepak terjangnya dahsyat kali. Melihat kehebatan pendeta Lama ini, Liu Cin segera melompat maju menghadapinya. Liu Cin sekarang jauh berbeda dengan Liu Cin dulu sebelum dia bersama Hui Lan mempelajari ilmu dari kitab Thian-te Im-yang Sin-kun. Biar ilmu itu baru tampak kedahsyatann kalau dimainkan berdua dengan Hui Lan namun latihan itu menambah kuat tenaga dalamnya, juga terdapat banyak jurusnya yang dapat dimainkan seorang diri dengan daya serang yang amat dahsyat.

   Dia melompat sambil memainkan senjatanya yang terdiri dari dua buah tongkat pendek yang dimainkan seperti sepasang pedang, dapat memukul dan menotok. Melihat lawannya seorang pemuda baju kuning yang memiliki Ilmu silat dengan dasar aliran silat Siauwlimpai Thong Thian Lama tertawa bergelak. Sejak dulu para pendeta Lama rnemandang rendah ilmu silat Siauwlimpai karena mereka menganggap bahwa ilmu silat itu didasari ilmu peninggalan Tat Mo Couwsu yang datang dari India dan dianggap kalah tua dibandingkan ilmu yang merupakan aliran Ilmu silat para pendeta Lama di Tibet. Mereka tidak menyadari bahwa ilmu silat Siauwlimpai telah berkembang pesat berbaur dengan ilmu-ilmu dari lain daerah. Apalagi Lui Cin telah memperkaya ilmu silatnya dengan ilmu Thian-te Im-yang Sin-kun, sebuah ilmu yang langka dan luar biasa.

   

   Begitu mereka berdua saling serang Thong Thian Lama tidak dapat meneetawakannya lagi karena ia mendapat kenyataan bahwa lawannya yang masih muda ini benar-benar amat tangguh, melihat sambaran tasbihnya selalu dapat ditangkis dan dielakkan lawan, dia menjadi marah, melompat ke belakang dan lontarkan tasbih itu ke udara. Tasbih itu mengeluarkan bunyi "wirrr.."

   Dan berputar-putar di udara, lalu melayang dan menyambar ke arah kepala Liu Cin bagaikan seekor burung menyambar-nyambar dengan kekuatan dahsyat kepala orang dapat pecah kalau disambar tasbih dengan biji besi atau baja hitam itu!

   Sebagai murid Ceng In Hosiang tokoh Siauwlimpai, Liu Cin maklum bahwa lawannya menggunakan kekuatan sihir untuk menggerakkan tasbih itu. Para pendeta Lama memang terkenal dengan Ilmu sihirnya. Namun dia tidak menjadi gentar. Di Siauwlimpai (Kuil Siauwlimsi) selain ilmu silat juga mempelajari ilmu agama Siauwlim dan dia dapat mengerahkan tenaga batinnya untuk menolak pengaruh sihir itu dan menggunakan tongkatnya untuk menangkis sambaran tasbih. Thong Thian Lama kini maju menyerang dengan kaki tangannya sehingga Liu Cin merasa dikeroyok oleh pendeta itu dan oleh tasbih yang bergerak sendiri menyerang dari atas. Diserang secara demikian, Liu Cin menjadi terdesak juga, akan tetapi berkat meningkatnya tenaga sakti yang diperolehnya dari latihan ilmu Thian-te Im-yang Kun-hoat, dia masih dapat melindungi dirinya dengan baik.

   Hongsun Siansu Kwee Cin Lok amat lihai dan karena tadi dia mengamuk di dekat Thong Thian Lama, kini Ong Hui Lan yang ingin bertarung melawan musuh dekat dengan Liu Cin segera menyerangnya. Gerakan Hui Lan kini juga cepat dan kuat sekali berkat latihan Thian-te Im-yang Kun-hoat. pedangnya Cheng-hwa-kiam yang bersinar hijau berkelebat menyambar ke arah leher Hongsan Siansu. Ketua Hongsanpai ini tersenyum mengejek ketika melihat siapa yang menyerangnya. Tentu saja dia mengenal Hui Lan yang pernah tinggal istana Jenderal Chou Ban Heng, bahkan telah menjadi tunangan Chou Kian Ki. Dia pun telah mengetahui sampai dimana tingkat kepandaian gadis itu, maka ia memandang rendah dan merasa yakin bahwa dalam beberapa jurus saja dia akan mampu mengalahkan gadis itu. Dia malah mendapat gagasan untuk menangkap Hui Lan hidup-hidup karena dia tahu benar bahwa Chou Kian Ki amat mencinta gadis itu dan sipemuda itu pasti akan girang dan berterima kasih sekali padanya kalau dia dapat menangkap gadis itu hidup-hidup dari diserahkan pada pemuda itu.

   Maka begitu dia menghindar dari serangan Hui Lan dengan lompatan ke belakang, dia menggunakan ilmu sihirnya, melontarkan pedangnya ke atas menjadi sinar kuning dan Hui-kiam (pedang terbang) itu meluncur dan menyerang ke arah kepala Hui Lan. Niatnya adalah membuat gadis itu repot menangkis serangan pedang terbangnya sehingga dia dapat menggunakan kedua tangannya untuk menotok dan menangkap gadis itu tanpa melukainya.

   "Trang-trang-cringgg!"

   Tiga kali pedang sinar hijau di

   tangan Hui Lan menangkis dan menghantam pedang terbang itu sedemikian kuatnya sehingga pedang itu akhirnya terpental dan kembali kepada Hongsan Siansu! Ketua Hongsanpai ini menjadi bengong, terkejut dan memandang terbelalak. Rasanya tidak mungkin! Baru beberapa bulan saja kepandaian dan tenaga sakti gadis itu sudah meningkat demikian hebat sehingga bukan hanya mampu menangkis pedang terbangnya, bahkan dapat membuat Hui-kiam itu terbang kembali kepadanya! segera menangkap gagang pedangnya dan dengan marah dia menerjang ke depan tidak ingat lagi untuk menangkap hidup-hidup gadis itu. Sekarang tujuannya nya satu, yakni membunuh gadis yang merupakan lawan cukup berbahaya itu. Akan tetapi dia benar-benar kecelik. Serangannya yang dahsyat dan gencar itu dapat ditangkis dengan baik oleh Hui Lan, bahkan gadis itu pun dapat membalas dengan serangan yang cukup berbahaya. Mereka segera bertanding dengan seru, saling serang dan biarpun Hui Lan masih kalah pengalaman dan kalah tinggi tingkatnya, namun gadis itu melawan dengan gigih dan dapat bertahan walaupun agak terdesak.

   Song Kui Lin yang melihat Ang-hwa Niocu Lau Cu Yin tak dapat menahan kemarahannya. Ia pernah bertanding melawan gadis yang cantik dan galak ini, maka ia segera berseru mengejek.

   "Wah, ini nenek-nenek jelek dan jahat muncul! juga di sini. Nah, sekarang nonamu tidak akan melepaskanmu lagi. Kepalamu yang jelek dan tua itu tentu akan menggelinding putus!"

   Ang-hwa Niocu segera mengenal Kui Lin yang dulu mengaku berjuluk Hek I Lihiap. Biarpun gadis muda yang cantik ini cukup lihai, namun dulu ia mampu mendesaknya dan kalau tidak ada Si Han Lin yang amat lihai, tentu ia dapat mengalahkannya. Maka, kini mendengar ejekannya, ia hanya mampu berseru marah.

   "Bocah setan, mampuslah!"

   Pedangnya yang mengeluarkan sinar merah Itu sudah menyerang dengan dahsyat. Kui Lin memutar pedangnya menangkis, pedang tipis yang biasa ia pakai sebagai sabuk.

   "Tranggg.....!"

   Bunga api berpijar keduanya segera saling serang dengan mati-matian. Bu Eng Hoat yang berada dekat Kui Lin melihat pula Ang-hwa Niocu. dulu dikejarnya karena dia tahu betapa jahatnya iblis betina itu. Dia ingin membantu Kui Lin, akan tetapi baru saja memutar toyanya hendak membantu, Kui Lin sudah berseru marah.

   "Aku tidak butuh bantuan, cari lawan lain!"

   Eng Hoat mengerutkan alisnya. Entah bagaimana, sejak pertemuan pertama hatinya amat tertarik kepada gadis yang lincah Jenaka dan galak namun cukup lihai itu. Dia sendiri berhati keras akan tetapi terhadap Kui Lin dia tidak dapat memperlihatkan kemarahannya walaupun hatinya mendongkol mendengar teguran itu. Selagi dia meragu, tampak seorang kakek tinggi besar bermuka merah dengan kumis jenggot dan rambut masih hitam, mukanya persegi dan bengis.

   "Heh-heh, orang muda, apa engkau sudah bosan hidup dan mencari kematian. Mari kuantar engkau ke alam baka!"

   Kakek itu mencabut senjatanya siangkiam (Sepasang pedang).

   "Karena engkau membantu pemberontak dan berada di pihak yang jahat, engkau lah yang akan mati!"

   Kata Bu Eng Hoat sambil maju menyerang dengan tongkatnya. Pemuda murid Thong Leng Siansu ini selain memiliki ilmu toya gaya Tibet, juga memiliki tenaga yang kuat sehingga biarpun belum lama dia berkecimpung dalam dunia persilatan, dia dikenal sebagai Sin-tung Tai-hiap (Pendekar Tongkat Sakti) karena permainan toya atau tongkatnya yang luar biasa.

   Namun sekali ini Bu Eng Hoat bertemu tangan lawan yang amat tangguh karena kakek muka merah itu adalah Tung-hai Tok (Racun Laut Timur) yang sakti! Dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua jurus simpanannya untuk dapat melindungi tubuhnya dan bertahan terhadap desakan lawan.

   

   Di pihak pemberontak masih ada enam orang lagi yang lihai yaitu Kwan In Im-yang Tosu, Kallon, Bantok Moko, Cuibeng Lokui, dan Boa Su Kok. Meski ini dikeroyok oleh para panglima perwira, dibantu para perajurit. tetapi mereka adalah orang-orang yang amat lihai sehingga banyak perajurit yang roboh ketika mengeroyok mereka. Para panglima dan perwira juga sukar untuk dapat merobohkan enam orang yang mengamuk itu.

   Pertempuran itu berlangsung seru mati-matian, terutama perkelahian antara para tokoh yang mendukung pemberotak dan para pendekar muda yang membantu Pangeran Chou Kuan Tian. Pangeran itu sendiri tidak ikut bertempur, hanya mengatur pasukannya untuk membasmi para anak buah pemberontak dan dalam ini dia mulai berhasil mendesak para pemberontak. Banyak sudah anak pemberontak yang tewas dan terluka , kini sisanya mulai merasa gentar sehingga bertempur tidak seganas tadi, bahkan kurang semangat.

   Perkelahian yang hebat terjadi antara Chou Kian Ki dan Si Han Li. Kian Ki rasa penasaran bukan main karena semua serangannya selalu dapat dihindarkan Han Lin dengan tangkisan maupun gerakan. Betapapun kuat dan cepat dia menyerang dengan pedangnya, selalu dapat ditangkis dengan sama kuatnya dan dielakkan dengan sama cepatnya.

   "Hyaaahhhhh.....!"

   Kini dia merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lututnya, tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka didorongkan ke arah Han Lin dengan mengerahkan seluruh tenaga sinkangnya. Rupanya rasa penasaran dan marah membuat Kian Ki menyerang dengan niat mengakhir pertarungan itu. padahal dia tahu benar bahwa pukulannya seperti itu kalau bertemu dengan tenaga yang lebih kuat. dapat membuat tenaganya membalik dan akan melukai atau merusak isi dadanya!

   Han Lin juga maklum akan serangan maut yang amat berbahaya itu. Dia melihat telapak tangan Chou Kian Ki menjadi merah seperti berlumur darah. Dia teringat akan keterangan gurunya. Thai Kek Siansu, bahwa di antara pukulan-pukulan jarak jauh yang ampuh dan mematikan. terdapat pukulan yang disebut Ang-hiat ciang (Tangan Merah Darah) dan pukulan itu kalau mengenai korban yang kurang tenaga saktinya, dapat membuat korban tewas seketika! Bahkan pukulan ini kabar nya lebih jahat daripada Hek-tok-ciang ( Tangan Racun Hitam) atau Pek-tok-Ciang (Tangan Racun Putih), karena kalau pukulan itu membuat orang terluka dan kalau diikhtiarkan masih ada obat penawarnya sebaliknya Ang-hiat-cian membuat korban tewas seketika dan tidak disembuhkan lagi.

   Han Lin segera menenggelamkan diri di dalam penyerahan kepada Thian Yang Maha Kuasa, menyimpan semua perlawanan dan yang mengalir dari tangan klrinya hanyalah hawa murni yang Adi Kodrati yang timbul dari jiwa manusia yang berserah diri dan terbimbing sepenuhnya oleh Kekuasaan Tuhan. Dia menjulurkan telapak tangan kirinya untuk menyambut pukulan lawan.

   "Wuuttt wesss!!"

   Kian Ki terkejut tenaganya, yang kuat itu bertemu dengan hawa yang lunak dan lentur, membuat tangan kirinya terpental dan dia sendiri terdorong dan terhuyung ke belakang sampai enam langkah! Dia bernapas panjang dan merasa lega karena tidak menderita luka. Dia pun maklum bahwa lawannya ini benar-benar tangguh. Dia harus bertanding mati-matian melawan Si Han Lin.

   "Engkau atau aku yang mati di sini!!"

   Ia membentak dan hendak menerjang.

   

   "Sayang sekali kalau engkau membuat jenazah ayahmu terlantar tidak ada yang mengurusnya dengan baik,"

   Kata Han Lin tenang.

   Tiba-tiba Kian Ki teringat akan jenazah ayahnya yang dia tinggalkan di bawah pohon besar. Kalau dia bertanding sampai napas terakhir dan mati di situ, bukan saja jenazah ayahnya tidak ada yang mengurus dengan semestinya, bahkan siapa yang akan membalaskan dendam sakit hati ayahnya? Teringat akan Ini Kian Ki mengeluarkan pekik melengking dan dia lalu melompat jauh melampaui kepala para perajurit yang bertempur dan menghampiri mayat ayahnya, dipanggulnya dan dibawanya meninggalkan tempat itu sambil nangis! Han Lin tidak mau mengejar cepat dia membantu para panglima terdesak hebat oleh enam orang yang mengamuk dan membunuhi bannyak perajurit. Pertama-tama dia menyerbu arah Cuibeng Lokui yang bersama Bantok Moko merupakan dua orang golong sesat yang membantu pemberontakyang paling kejam membunuhi para perajurit.

   Begitu dia menyerbu, Cuibeng Loku terkejut dan segera mengenal Han Li yang pernah membuat dia kewalahan dan melarikan diri ketika dia ikut murid muridnya menyerbu rumah Nyonya Kak, ibu Song Kui Lin, di Cin-an. sebuah tamparan dari Han Lin yang di tangkisnya membuat tubuhnya terhuyung ke belakang. Kakek tinggi besar muka codet yang berpedang biru ini menjadi semakin gentar dan ini membuat gerakan nya kacau dan ketika tiga orang panglima menyerangnya, dia hanya mampu menangkis dua batang pedang. Pedang panglima ke tiga mengenai lehernya Cui-beng Lo-kui roboh mandi darah tewas. Bantok Moko yang sedang mengamuk dengan tongkat ularnya yang beracun, membunuhi banyak perajurit, tiba-tiba lihat bayangan putih berkelebat dan tongkat ularnya disambar sinar putih.

   "Crakkk.....!!"

   Tongkat ularnya terpotong menjadi dua! Dia terkejut dan hampir tidak percaya.

   Tongkat saktinya yang mampu menandingi segala macam senjata pusaka itu demikian mudah patah, hanya sekali bertemu dengan pedang sinar putih. Ketika dia melihat siapa ng menangkis dan membikin patah, dia terkejut bukan main. Dia segera mengenal pemuda yang dulu bersama seekor burung rajawali telah membuat dia dan Murid serta anak buahnya lari ketika mereka menangkap Ong Hui Lan! Hatinya menjadi gentar sekali dan keadaannya itu membuat dia tidak mampu menghindarkan diri ketika empat orang perwira, menyerangnya dengan berbareng. Sebuah tombak menembus dari punggung ke dadanya dan dia pun roboh dan tewas seketika!

   Han Lin segera membantu para perwira lain dan kini pihak pemberontak menjadi semakin kacau. Sementara itu, Hui Lan yang melawan Hongsan Siansu terdesak hebat, demikian pula Liu Cin yang melawan Thong Thian Lama juga kewalahan. Hui Lan cerdik lalu sengaja menggeser diri mendekati Liu Cin, dikejar oleh Hongsan Siansu. Setelah dekat, tiba-tiba Hui berseru.

   "Thian-te Im-yang!"

   Tiba-tiba la melompat dan menyerang Thong Thian Lama dan Liu Cin yang segera maklum yang dikehendaki Hui Lan juga melompat dan berbalik menyerang Hongsan Siansu.

   Dua orang kakek sakti itu terkejut! ketika tahu-tahu mereka telah berganti lawan dan mulailah Liu Cin dan Hui La bersama-sama memainkan Ilmu Thian-te Im-yang Sin-kunl Tubuh mereka seolah dikendalikan satu pikiran, bergerak sekali ketika merasakan betapa tenaganya yang kuat itu bertemu dengan hawa yang lunak dan lentur, membuat tangan kirinya terpental dan dia sendiri terdorong dan terhuyung ke belakang sampai enam langkah. Dia bernapas panjang dan merasa lega karena tidak menderita luka. Diapun maklum bahwa lawannya ini benar-benar tangguh. Dia harus bertanding mati-matian melawan Si Han Lin. sikap tenang karena gerakan gadis dan pemuda yang berselang-seling itu sungguh membuat mereka bingung.

   

Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini