Ceritasilat Novel Online

Si Rajawali Sakti 8


Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 8



Sejak kecil Lai Cu Yin juga dijejali perasaan benci terhadap pria. Pendeknya pria adalah musuh mereka dan harus dibenci, kalau perlu dihukum mati!

   Ketika Lai Cu Yin berusia dua puluh liga tahun dan Pek Bian Ci dua puluh delpan tahun, pada suatu hari Hwa Hwa moli Leng Kin meninggal dunia karena menderita sakit yang ditimbulkan oleh sakit hatinya terhadap pria. Setelah ia meninggal dunia, yang melanjutkan tinggal di Puncak Ang-hwa-san (Bukit Bunga Merah) adalah Pek Bian Ci yang setia kepada gurunya itu.Lai Cu Yin yang wataknya lebih lincah, tidak betah tinggal lebih lama di puncak bukit sunyi itu dan turun bukit untuk merantau. Sucinya (Kakak seperguruannya) memesan dengan keras agar sumoi (adik seperguruan) itu ingat akan sumpah dan pesan Ibunya, yaitu tidak boleh menikah dengan Laki-laki manapun!

   Akan tetapi, berbeda dengan watak Pek Bian Ci yang keras seperti batu, Lai Cu Yin memiliki watak lincah gembira, bahkan romantis. Ia tidak dapat menghilangkan rasa sukanya kepada pria, bahkan ia dicengkeram nafsu berahi yang berkobar. Karena itu, setelah ia turun gunung dalam usia dua puluh tiga tahun ia bagaikan seekor kuda binal lepas kendali! Ia suka bermain cinta dengan pemuda yang menarik hatinya. Akan tetapi ia pun memegang sumpah ibu kandungnya untuk tidak menikah dengan seorang laki-laki. Bahkan perasaan sakit hati dan bencinya terhadap pria masih tetap ada Maka mulailah Lai Cu Yin menjadi budak nafsu berahi dan sekaligus budak dendam kebencian! Mulailah ia dengan petualangannya yang mengerikan. Kalau ada seorang pemuda tampan yang menggairahkan hatinya, ia akan mengejar dan berusaha menjadikan pemuda itu kekasihnya. Kalau pemuda itu menolak, ia merasa terhina dan langsung membunuhnya. Akan tetapi kalau pemuda itu mau melayaninya dengan senang ia akan membebaskannya setelah bergaul beberapa hari dan merasa bosan. Bahkan ia memberi hadiah emas kepada pemuda itu! Selain itu, Lai Cu Yin juga tidak segan-segan untuk mengambil harta siapa saja kalau membutuhkannya!

   Setelah ia mulai dengan petualanganya, mulai terkenal pulalah julukannya, yaitu Ang-hwa Niocu. Ia disebut Ang hwa karena ia selalu memakai tiga tangkai bunga merah di rambutnya, bunga-bunga yang dapat dipergunakannya sebagai senjata rahasia. Sejak dulu ia senang memakai bunga merah sebagai hiasan rambut dan di bukit tempat tinggalnya memang terdapat banyak bunga merah, karena itu bukit itu dinamakan Ang-hwa-san. Suci-nya, Pek Bian Ci, adalah seorang ahli tentang racun dan jahat, dan gadis itu berhasil meramu obat

   yang dapat membuat setangkai bunga berrtahan sampai berbulan-bulan tanpa layu karena telah mengering namun masih tetap baik bentuk dan warnanya.

   Demikianlah riwayat singkat Ang-Hwa Niocu Lai Cu Yin. Akan tetapi ketika ia menceritakan riwayatnya kepada Liu Cin, ia tidak menceritakan hal-hal yang buruk dari ibunya maupun dirinya sendiri! Liu Cin hanya mendengar bahwa ibu gadis ini adalah gurunya sendiri, berbangsa Ko-le-kok dan sekarang sudah meninggal dunia.

   Setelah Cu Yin selesai bercerita, Liu Cin menghela napas panjang.

   "Ah, kasihan engkau, Yin-moi. Jadi Ayahmu yang di Ko-le-kok seorang jenderal dan sek rang sudah meninggal dunia, demikian pula Ibumu? Engkau masih begini muda sudah yatim piatu! Melihat ilmu silat yang demikian lihai, tentu mendiang Ibumu seorang wanita yang sakti!"

   "Ah, biasa saja, Cin-ko. Engkau seorang murid Siauwlimpai, tentu ilmu silatmu hebat karena aku mrndengar bahwa aliran Siauwlimpai merupakan aliran persilatan paling tua dan paling hebat. Sekarang giliranmu menceritakan riwayatmu, Cin-ko."

   Liu Cin merasa betapa pinggul dan dada gadis itu merapat pada tubuhnya sehingga terasa kelembutan kehangatannya. Dia menganggap hal itu terjadi karena guncangan kereta dan merasa senang sekali!

   "Aih, apa sih yang menarik tentu diriku, Yin-moi? Aku ini seorang anak yatim piatu yang miskin sejak kecili Kalau aku tidak bertemu Suhu Ceng Hosiang dan diambil murid, mungkin Aku sudah mati kelaparan atau tersiksa orang jahat. Orang tuaku yang juga miskin telah meninggal dunia sebagai korban perang, dan sejak kecil aku sudah hidup sebatang kara. Suhu menganjurkan aku merantau untuk menegakkankebenaran dan keadilan sebagai seorang pendekar dan disuruh mencari pekerjaan yang baik di kota raja. Itulah riwayatku, sama sekali tidak ada yang menarik."

   "Bagiku amat menarik, Cin-ko. Engkau seorang pendekar muda yang gagah perkasa, jujur dan sederhana. Sungguh aku senang sekali dapat melakukan perjalanan bersamamu."

   Dengan cerdik Ang-hwa Niocu dapat merasakan betapa pemuda itu mulai tertarik kepadanya, mulai merasa senang bersentuhan dan berdekatan dengannya. Akan tetapi ia tidak terlalu mendesak, khawatir kalau hal itu akan mengejutkan hati pemuda yang masih hijau ini. Akhirnya mereka memasuki kota Pao-ting yang ramai. Orang-orang di kota itu merasa heran melihat sepasang muda-mudi dengan kereta mereka, yang mengherankan adalah bahwa gadis itu amat cantik dan berpakaian mewah sebagai seorang gadis bangsawan kaya akan tetapi yang duduk di sampingnya walaupun juga seorang pemuda tampan gagah, namun pakaiannya sederhana dan dari kain kasar, menunjukkan bahwa dia bukan seorang pemuda hartawan.

   Ang-hwa Niocu Lai Cu Yin menyuruh Liu Cin menuju ke sebuah rumah penginapan besar bernama Ai-koan. Setelah menyerahkan kereta dan kuda agar diurus oleh pelayan, ia mengajak Liu Cin memasuki rumah penginapan merangkap rumah makan itu untuk menyewa kamar?

   "Cin-ko, kita sewa satu atau dua buah kamar?"

   Tanya Cu Yin sambil lalui seolah pertanyaan itu biasa saja dan tidak mempunyai maksud tertentu. Ia memandang wajah pemuda itu dengan sinar mata tajam penuh selidik.

   Liu Cin menjadi kebingungan. Dia memang masih mempunyai sedikit uang, akan tetapi tentu tidak akan cukup kalau untuk menyewa dua buah kamar berikut makan malamnya. Dan sebagai seorang prla, tentu amat memalukan kalau mengharapkan uang sewa kamar dan makan malam ditanggung oleh wanita! Akan tetapi dia berwatak jujur, maka biarpun mukanya merah dia menjawab.

   "Yin-moi, uangku tinggal sedikit. Tentu tidak cukup kalau untuk menyewa dua buah kamar, belum lagi nanti membayar makan malam."

   Cu Yin tersenyum.

   "Aih, Cin-ko, mengapa mengkhawatirkan hal itu? Aku yang akan membayarnya, jangan khawatir tentang uang. Aku membawa banyak. Nah, sebuah atau dua buah kamar?"

   Wanita itu mulai menguji hati pemuda itu.

   "Tentu saja dua buah kamar, Cin-moi. Akan tetapi........., kalau itu terlalu mahal........ biar sebuah kamar saja untukmu. Aku dapat tidur di dalam kereta."

   Melihat keraguan pemuda itu, Lai Cu Yin yang ingin memikat hati Liu Cin cepat berkata dengan sikap sopan dan tahu susila.

   "Wah, mana mungkin aku membiarkan engkau tidur di kereta, Cin-ko. Juga, kalau kita tinggal sekamar, hal itu tentu akan menimbulkan dugaan yang tidak-tidak dan melanggar kepantasan dan tata susila. Kita sewa dua buah kamar saja, seorang satu. Aku yang akan membayar semua pengeluaran selagi kita melakukan perjalanan berdua."

   Hati Liu Cin menjadi lega. Tadi mendengar mereka menyewa sebuah kamar sehingga mereka akan tinggal beli sama saja sudah membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Tak dapat dia membayangkan apa akan jadinya kalau mereka tidur sekamar.

   Kepada seorang pelayan setengah tua yang menyambut mereka, Cu Yin minta diberi dua buah kamar yang berdampingan. Pelayan itu agaknya mengenal C uYin. Dia memberi hormat dan berkata dengan gembira.

   "Selamat datang, Nona. Ketika Nona bermalam di sini dahulu, Nona masih meninggalkan sisa kembalian uang pembayarang Nona dan belum sempat kami berikan karena Nona terburu-buru pergi."

   "Ah, tidak mengapa, Paman. Sisa uang itu boleh untuk Paman saja, untuk tambah kebutuhan di rumah."

   Pelayan itu berulang-ulang memberi hormat.

   "Ah, banyak terima kasih, Nona. Nona telah memberi banyak hadiah kepada para pelayan di sini. Nona sungguh murah hati dan suka menolong kami yang miskin."

   "Sudahlah, Paman. Jangan ganggu kami, kami lelah dan ingin segera mandi lalu makan sore ini."

   (Lanjut ke Jilid 08)

   Si Rajawali Sakti (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08

   Pelayan itu mengundurkan diri setelah Menunjukkan dua buah kamar yang berdampingan. Diam-diam Liu Cin semakin Kagum. Dia mendapatkan bukti sebuah sifat baik lagi dari gadis itu, yaitu bahwa Lai Cu Yin ini suka menolong orang dan murah hati!

   Ketika mereka makan dalam rumah tuakan di bagian depan rumah penginapan Itu, setelah mereka mandi dan bertukar pakaian, dalam ruangan makan itu terlihat beberapa meja lain yang ditempati para tamu. Liu Cin maklum betapa pandang mata semua tamu pria di ruangan Itu, secara berterang atau pun diam-diam melirik, ditujukan kepada Cu Yin dengan sinar mata kagum. Diam-diam dia merasa bangga sekali karena dialah duduk dekat gadis itu, dialah yang jadi sahabat Cu Yin!

   Selagi mereka makan minum dengan hidangan yang bagi Liu Cin terlalu mewah karena belum pernahdia makan dengan hidangan lauk pauk sebanyak itu, tiba-tiba pandang mata Liu Cin yang tajam dapat menangkap sikap dua orang laki-laki yang mencurigakan. Mereka adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun dan yang lain seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Dari sikap mereka, juga dari pedang yang mereka bawa dan kini mereka letakkan di atas meja, Liu Cin dapat menduga bahwa dua orang itu tentulah orang kangouw yang melakukan perjalanan berhenti melewatkan malam di Pao-ting. Akan tetapi ketika mereka memandang ke arah Lai Cu Yin dengan sinar mata tajam kemudian saling berbisik-bisik sikap mereka jelas sedang membicarakan Cu Yin, Liu Cin menjadi curiga.

   "Yin-moi,"

   Dia berbisik.

   "Dua oral laki-laki di sana itu agaknya sedang membicarakanmu. Apakah engkau mengenal mereka7"

   Cu Yin sambil makan mengerling kearah dua orang itu, lalu ia melanjutkan makan dan berbisik pula.

   "Cin-ko, jangan pedulikan mereka. Kebanyakan laki-laki itu memang tidak baik dan jahat, setidaknya kurang ajar. Aku kecualikan engkau Cin-ko, akan tetapi jarang ada laki-laki sebaik engkau."

   Karena Cu Yin tidak mempedulikan lagi dua orang itu, maka Liu Cin juga melanjutkan makan dengan enak dan lahapnya. Setelah selesai makan, Cu Yin mengajak pemuda itu keluar berjalan-jalan. Ketika mereka keluar dari rumah makan, ternyata dua orang laki-laki tadi telah pergi.

   Biarpun Liu Cin merasa malu dan menolak, namun dengan sangat Cu Yin membujuk dan memaksanya agar suka menerima beberapa potong pakaian baru yang oleh gadis itu dibeli dari sebuah loko pakaian di kota itu.

   "Cin-ko, sudah kukatakan bahwa aku mempunyai banyak uang dan kulihat engkau perlu memiliki beberapa potong pakaian baru untuk bekal dalam perjalanan, Pakaian yang baik itu amat penting, Cin-ko karena orang-orang akan menilai tinggi dan menghargainya. Kalau kita mengenakan pakaian murah dan buruk, belum apa-apa orang sudah memandang rendah."

   Sebetulnya Liu Cin tidak setuju dengan pendapat ini, akan tetapi dia merasa tidak enak untuk membantah atau menolak. Pula, agaknya gadis itu tahu akan warna kesukaannya. Semua pakaian yang dibelinya berwarna serba kuning!

   Bagaikan seekor laba-laba mulai memasang jerat, Cu Yin mulai memikat hati Liu Cin dengan sikapnya yang baik sehingga pemuda itu menganggapnya seorang gadis yang cantik, ramah, baik budi, dan sopan!

   Malam itu, mereka tidur di kamar masing-masing dan tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan hati Liu Cin. Pemuda ini sama sekali tidak tahu betapa Lai Cu Yin gelisah tidak mudah pulas di kamarnya, membayangkan betapa di kamar sebelah pemuda yang menarik hatinya berada seorang diri dan ia membiarkannya tanpa diganggu.Belum pernah melakukan kesabaran seperti ini pada laki-laki lain.

   Pada keesokan harinya, setelah matahari naik cukup tinggi dan mereka sudah mandi, tukar pakaian dan sarapan, Lai Cu Yin dan Liu Cin melanjutkan perjalanan mereka menuju ke utara, ke ko raja. Liu Cin mengenakan pakaian baru yang semalam dibelikan Cu Yin dan dan tampak semakin ganteng.

   Ketika kereta sudah keluar dari ko Pao-ting dan tiba di jalan yang sepi tiba-tiba dari balik pohon-pohon berlompatan lima orang laki-laki dan mereka berdiri menghadang di tengah jalan dengan sikap bengis dan di tangan mereka terdapat senjata. Ada yang memegang toya sebanyak dua orang, dan tiga yang lain memegang pedang.

   "Berhenti!!"

   Bentak seorang di antar mereka yang paling tua.

   Liu Cin yang menjadi sais menghentikan kudanya. Dia memandang kepada Cu Yin dan gadis ini tersenyum mengejek.

   "Huh, gerombolan perampok menjemukan sudah bosan hidup!"

   Liu Cin kini mengamati lima orang itu. Dari pakaian mereka dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang kang-ouw, akan tetapi dia tidak setuju dengan pendapat Cu Yin bahwa mereka perampok. Mereka tidak tampak kasar dan kotor seperti para perampok. Ketika melihat dua orang di antara mereka, dia terkejut karena dia mengenal wajah mereka. Mereka itulah dua orang yang dia lihat di rumah makan dan mereka memandang dengan sinar mata marah kepada Cu Yin!

   Dengan sikap tenang Ang-hwa Niocu Lai Cu Yin sudah melompat turun dari atas kereta dengan gerakan ringan dan tanpa mencabut pedangnya.

   "Hei, siapa kalian dan apa maksud kalian menghadang kereta kami?"

   "Iblis betina! Tidak perlu banyak cakap lagi. Engkau telah membunuh adikku dua pekan yang lalu dan sekarang engkau harus menebusnya dengan nyawamu!' bentak seorang di antara mereka, yaitu laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahunyang dilihat oleh Liu Cin di rumah makan bersama laki-laki tertua yang kini agaknya memimpin rombongan lima orang itu.

   "Aih, betulkah? Yang mana adikm itu? Sudah terlalu banyak penjahat kubunuh maka aku tidak ingat satu persatu. Kalau adikmu itu terbunuh olehku berarti dia jahat dan kalau engkau hendak membelanya dan menyusulnya untuk menemaninya di neraka, majulah!"

   Tantang Ang-hwa Niocu sambil mencabut pedangnya. Ia tidak menjawab bohong karena memang ia tidak tahu siapa yang dimaksudkan mereka.

   "iblis betina keji, mampuslah engkau. Laki-laki tua yang bersenjata toya iti menyerang Cu Yin dengan gerakan cepat dan kuat. Namun Cu Yin yang sudah siap siaga dengan ringan melompat kesamping untuk menghindar. Akan tetapi pada saat itu, empat orang laki-laki lainnya sudah mengepung. Laki-laki berusia tiga puluh tahun yang tadi menuduh Cu Yin membunuh adiknya juga bersenjata toya dan dialah yang paling bernafsu, menyerang dengan sengit. Tiga orang lain yang bersenjata pedang kini juga mengeroyok. Cu Yin yang berada di tengah segera memutar pedangnya. Tampak sinar merah bergulung-gulung ketika ia memutar pedang melindungi dirinya yang dihujani serangan lima orang pengeroyok itu.

   Liu Cin yang tidak mengerti apa urusannya, tadinya diam saja. Akan tetapi melihat Cu Yin dikeroyok lima orang dan biarpun gadis itu dapat melindungi dirinya dengan gerakan pedangnya yang hebat, dia merasa tidak semestinya dia membiarkan sahabatnya dikeroyok seperti itu. Yang membuat dia tadi agak sangsi adalah karena dia melihat betapa dua orang yang semalam dia lihat di rumah makan dan yang keduanya menggunakan senjata toya, ternyata menyerang dengan permainan silat toya dari Siauwllmpai!

   "Tahan senjata!!"

   Akhirnya Liu berseru dan dia melompat dari atas kereta dan menyerbu ke dalam perkelahiai menggunakan dua batang tongkatn untuk membantu Cu Yin menangkisi senjata para pengeroyok.

   Merasa betapa tangkisan sepasang tongkat itu kuat sekali, para pengeroyok terkejut dan menahan senjata karena tidak mengenal pemuda ini tidak tahu dia akan berdiri di pihak si apa

   "Cuwi (Anda sekalian) adalah lima orang laki-laki gagah. Apakah tidak malu mengeroyok seorang gadis muda? Kalau ada urusan, sebaiknya dibicarakan baik-baik."

   Kata Liu Cin.

   "Bicara baik-baik dengan gadis muda Huh, ia ini iblis betina yang amat jahat pembunuh keji! Mau bicara apa lagi?"

   Bentak laki-laki yang menuduh Cu Yin membunuh adiknya lalu dia menyerang lagi, tidak peduli lagi kepada Liu Cin. Paman gurunya, yaitu laki-laki setengah tua yang juga bersenjata toya, cepat membantunya mengeroyok Cu Yin. Liu Cin terpaksa maju dan menyambut tiga orang lain yang bersenjata pedang. Terjadilah perkelahian yang hebat. Cu Yin dikeroyok dua orang bersenjata toya dan Liu Cin menghadapi pengeroyokan tiga orang yang bersenjata pedang.

   Liu Cin mendapat kenyataan bahwa tiga orang pengeroyoknya bukan merupakan lawan berat. Kalau dia menghendaki, dia akan dapat merobohkan mereka dengan cepat. Akan tetapi dia masih ragu dan merasa tidak enak untuk merobohkan tiga orang yang belum dia ketahui kesahannya itu. Dia tidak khawatir akan keselamatan Cu Yin karena tadi pun dia sudah melihat betapa Cu Yin dengan mudah menahan pengeroyokan lima orang. Gadis itu memiliki tingkat ilmu silat yang lebih tinggi daripada dua orang pengeroyoknya. Yang dia khawatirkan adalah kaiau-kalau Cu Yin melakukan pembunuhan. Dia harus tahu lebih dulu apa kesalahan dua orang murid Siauwlimpai Itu! Bagaimanapun juga, walaupun dia bukan murid dari Kuil Siauwlimsi, namun gurunya adalah tokoh Siauwlim maka dia pun dapat dibilang seorang murid Siauwlimpai itu pula. Ini sebabnya dia tidak mau melawan dua orang murid Siauwlimpai itu dan memilih melawan tiga orang yang lain, yang bersenjata pedang dan tidak memiliki ilmu silat aliran Siauwlimpai.

   "Yin-moi, jangan bunuh orang......!"

   Liu Cin berseru untuk ke dua kalinya kepada Cu Yin.

   Sebetulnya, kalau menuruti kehendaknya sendiri, Cu Yin ingin membunuh lima orang laki-laki yang berani menentangnya. Kalau ia tidak bersama Liu Cin semua pengeroyok itu tentu sudah di bunuhnya. Akan tetapi ia khawatir hal itu akan mendatangkan rasa tidak senang dalam hati Liu Cin, maka sampai sekian lamanya ia masih belum mau merobohkan dua orang lawannya.

   Kini mendengar seruan Liu Cin untuk ke dua kalian, ia lalu mencabut dua tangkai bunga merah dari rambut kepalanya dengan tangan kiri dan dua kali ia menggerakkan tangan kiri, sinar merh meluncur dan dua orang pengeroyoknya mengaduh lalu berlompatan ke belakang. Pundak mereka terkena bunga merah yang meluncur cepat tadi dan setangkai bunga itu menancap di pundak mereka, menembus baju dan kulit, terasa pedih dan panas. Sementara itu, melihat tiga orang temannya yang berpedang juga kewalahan dan terdesak oleh Liu Cin, dua orang murid Siauwlimpai itu berseru kepada tiga orang temannya yang segera berlompatan ke belakang.

   Laki-laki berusia lima puluh tahun itu kini memandang kepada Liu Cin dan bertanya.

   "Orang muda, bukankah engkau seorang murid Siauwlimpai? Siapa namamu?"

   "Namaku Liu Cin dan siapa guruku tidak perlu kukatakan."

   Jawab Liu Cin.

   "Sahabatku ini berjuluk Siauwlim Enghiong (Pendekar Siauwlim)!"

   Kata Cu Yin sambil tersenyum.

   Laki-laki setengah tua itu lalu berkata.

   "Sekali ini kami mengaku kalah, akan tetapi lain kali kami akan membuat perhitungan!"

   Setelah berkata demikian, dia membalikkan tubuhnya dan pergi diikuti empat orang yang lain.

   Setelah mereka pergi. Cu Yin dan Ll Cin kembali duduk di atas kereta yang segera dijalankan melanjutkan perjalanan mereka.

   "Yin-moi, mengapa engkau mengatakan kepada mereka bahwa aku seorang pendekar Siauwlimpai?"

   "Kenapa, Cin-ko? Tidak keliru, bukan Engkau memang seorang enghiong (pendekar) dari Siauwlimpai."

   Kata Cu Yi sambil tersenyum. Hatinya senang karena lagi-lagi pemuda ini membelanya ketika ia dikeroyok lima orang itu. Ini baginya merupakan pertanda bahwa Liu Cin mulai "ada hati"

   Kepadanya.

   "Dua orang itu juga murid Siauwilm pai, Yin-moi. Aku dapat mengenal llmu toya mereka ketika mereka mengeroyokmu."

   "Akan tetapi tingkat ilmu silat mereka masih rendah, Cin-ko."

   "Biarpun begitu, jelas mereka itu murid Siauwlimpai, maka aku merasa heran sekali bagaimana engkau dapat dimusuhi murid-murid Siauwlimpai. Hal Ini tentu saja membuat hatiku merasa tidak enak, karena bagaimanapun juga mereka adalah saudara-suadara seperguruan denganku, walaupun aku tidak mengenal mereka."

   "Hemmm, Cin-ko, agaknya engkau memang belum banyak pengalaman di dunia kangouw. Ketahuilah bahwa nama aliran tidak menjamin seorang murid itu mesti baik. Banyak saja murid perguruan besar yang menjadi penjahat dan biarpun saudara seperguruanmu kalau mereka jahat, apakah engkau juga akan membelanya?"

   Liu Cin memang tidak pandai bicara dan dia sudah mulai percaya sepenuhnya kepada Cu Yin, maka dia menerima semua keterangan gadis itu.

   Di sepanjang perjalanan menuju ke kota raja itu, Cu Yin selalu bersikap ramah, akrab dan terkadang mesra namun masih dalam batas kesopanan sehingga Liu Cin mulai merasa bahwa gadis itu mencintanya dan dia pun amat tertarik karena gadis itu bersikap demikian lembut, ramah, dan baik hati. Bahkan di sepanjang perjalanan, sering Cu Yin dengan sengaja membagi-bagi uang kepada penduduk dusun yang miskin sehingga pemuda itu menjadi semakin kagum!

   Pada suatu hari mereka berhenti sebuah dusun yang cukup ramai dan seperti biasa, kembali mereka bermalam di dalam sebuah rumah penginapan, menyewa dua buah kamar. Baru saja Liu Cin memasuki kamarnya dan melepas sepatu lalu merebahkan diri di atas pembaringan sambil membayangkan wajah Lai Cu Yin yang kini benar-benar telah memikatnya,daun pintu kamarnya diketuk orang dari luar.

   Dengan kaki telanjang Liu Cin turun dari pembaringan dan membuka dauri pintu. Cu Yin berlari masuk sambil menangis! Tentu saja Liu Cin menjadi terkejut, heran dan khawatir. Dia menutupkan daun pintu agar tangis gadis itu tidak terdengar atau terlihat orang lain dari luar. Kemudian dia menghampiri Cu Yin yang sudah duduk di tepi pembaringan sambil menutupi muka dengan kedua tangan, terisak-isak dan pundaknya bergoyang-goyang.

   Karena khawatir dan bingung, Liu Cin lupa akan kepantasan dan tanpa dia sadari dia pun duduk di sebelah Cu Yin, memegang pundaknya dan bertanya dengan halus dan khawatir.

   "Yin-moi, ada apakah? Kenapa engkau menangis, Yin-moi? Apa yang terjadi.............?"

   Mendengar suara pemuda itu dan merasa betapa pundaknya dipegang, dengan sentuhan mesra, tiba-tiba Cu Yin merangkul dan menangis di pundak pemuda itu. Tangisnya mengguguk dan sedih sekali. Liu Cin tentu saja terkejut dan juga rikuh dan bingung, akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat menolak?

   "Yin-moi, katakanlah, kenapa engkau menangis sesedih ini? Apa yang terjadi...........?"

   Dia merasa betapa air mata gadis itu merembes dan menembus bajunya, membasahi kulit pundaknya. Dia merasa terharu sekali.

   Cu Yin masih terisak-isak. Akan tetapi isaknya makin berkurang dan ia akhirnya melepaskan rangkulannya dan kedua tangan menggosok-gosok kedua mata dengan kedua tangannya. Ketik tangannya diturunkan Liu Cin melihat mata yang indah itu kini agak kemerahan dan pipinya masih basah.

   Kemudian Cu Yin menundukkan pandang matanya dan dengan suara masih diselingi isak tertahan ia berkata, suaranya gemetar dan lirih.

   "Cin-ko........ besok siang.......... besok siang kita sudah akan tiba di kota raja..........."

   Liu Cin menjadi semakin heran.

   "Kalau begitu, kenapa? Bukankah memang tujuan kita ke kota raja, Yin-moi? Mengapa engkau bersedih?"

   ".............. setelah tiba di sana.......... kita ............ kita akan berpisah.......... engkau akan ........... tinggalkan aku.............. hu-hu-hu-huuuh............"

   Kembali Cu Yin merangkul dan kini ia menangis tersedu-sedu di dada Liu Cin!

   Kembali Liu Cin gelagapan, akal tetapi dia merasa tidak tega untuk melepaskan rangkulan gadis itu yang membuat dia menjadi serba salah dan tida karuan rasanya. Jantungnya berdebar-debar, tubuhnya panas dingin ketika merasa betapa tubuh gadis itu melekat pada tubuhnya, pakaian penutup tubuh itu terasa seolah tidak ada.

   "Tapi....... tapi, Yin-moi, sudah semestinya kita berpisah. Akan tetapi persahabatan kita tidak akan pernah hilang........."

   Dia mencoba untuk menghibur, diam-diam merasa heran sekali mengapa perpisahan yang sudah semestinya terjadij itu demikian menyedihkan hati Cu Yin.

   """. uhu-huuuh....... aku........ aku akan mati kalau kau tinggalkan, Cin-ko.......... aku aku cinta padamu, Cin-ko.......... jangan kau tinggalkan aku........"

   Cu Yin menangis lagi.

   Jantung dalam dada Liu Cin semakin berdegup kencang "Yin-moi, aku juga sayang padamu........"

   "Cln-ko.......!!"

   Dan dengan tarikan kuat, Cu Yin merebahkan diri telentang di atas pembaringan sambil tetap merangkul leher Liu Cin sehingga pemuda itu pun ikut pula jatuh rebah di atas tubuh wanita itu. Sejenak mereka berdekapan, lalu tiba-tiba Liu Cin sadar bahwa perbuatan itu tidak layak dan tidak baik, melanggar tata susila yang diajarkan gurunya kepadanya. Maka cepat dia melepaskan rangkulan wanita itu dan bangkit duduk, menarik napas panjang untuk meredakan gelora dalam hatinya.

   "Cin-ko........."

   Cu Yin memanggil dengan suara yang merdu dan ruyu dan terengah-engah.

   Liu Cin menoleh dan memandang Wanita itu rebah telentang dengan gaya yang amat memikat sehingga dia cepat mengalihkan lagi pandang matanya dan memandang ke lain jurusan.

   "Cln-ko, kenapa engkau menjauhkan diri."

   "Yin-moi, apa yang kita lakukan ini tidaklah benar. Salah dan buruk sekali!"

   "Tapi, Cin-ko, bukankah engkau juga sayang padaku? Bukankah engkau mencintaku seperti aku mencintamu?"

   Suara wanita itu kini lebih keras dan mengandung tuntutan dan penasaran.

   "Yin-moi, cinta bukan berarti harus melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan."

   "Cin-ko!"

   
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Suara Cu Yin kini terdengar kaku dan ia pun bangkit duduk di sebelah Liu Cin.

   "Apa maksudmu dengan melanggar kesusilaan? Kita saling mencinta apa salahnya bermesraan dan melampiaskan perasaan cinta kita?"

   "Yin-moi, kita adalah sahabat, sama sekali tidak boleh melakukan perbuatan yang hanya boleh dilakukan suami isteri."

   "Kita bisa menjadi suami isteri! Aku mau menjadi isterimu, Cin-ko!"

   Liu Cin menghela napas dan bangkit berdiri, lalu pindah duduk di atas kursi tetap tidak berani menentang pandangan mata Cu Yin.

   "Yin-moi, pernikahan bukanlah urusan semudah itu. Harusdilakukan dengan persetujuan orang tua........."

   "Akan tetapi kita sudah yatim piatu Tidak perlu mendapat restu orang tua lagi. Kita dapat begitu saja menjadi suami isteri atas persetujuan kita sendiri!"

   Liu Cin bangkit berdiri.

   "Tidak, Yin moi. Aku masih mempunyai guruku yang menjadi wakil orang tuaku. Hal ini harus dibicarakan dulu dengan guruku, aku tidak berani melanggar. Nah, tidurlah, Yin-moi dan tenangkan hatimu. Jangan bicarakan hal itu lagi sekarang, tidurlah karena besok pagi pagi kita harus melanjutkan perjalanan ke kota raja. Selamat tidur, Yin-moi."

   Setelah berkata demikian, Liu Cin membuka daun pintu dan memberi isarat dengan sikap hormat agar gadis itu suka kembali ke kamarnya sendiri.

   Cu Yin hampir tidak percaya. Ia merasa sudah berhasil memikat Liu Cin dan yakin bahwa pemuda itu cinta padanya dan memiliki gairah terhadap dirinya. Akan tetapi setelah ia hampir yakin usahanya berhasil, tiba-tiba saja pemuda itu menolaknya! Bangkit kemarahan dalam hatinya. Kalau bukan Liu Cin yang bersikap menolak seperti itu, pasti ia sudah turun tangan membunuhnya. Akan tetapi, ia tidak mau membuat ribut di rumah penginapan yang tentu akan menarik perhatian karena pemuda itu tentu akan melawan dan tidak begitu mudah dibunuh. Selain itu, juga ia merasa sayang kalau pemuda itu dibunuh begitu saja. Sudah sekian lamanya ia bersabar dan berusaha menalukkannya. la berhasil membuat pemuda itu jatuh cinta kepadanya, akan tetapi sama sekali tidak berhasil merayunya untuk melayani nafsu berahinya.

   Tanpa bicara lagi la lalu berlari keluar dari kamar itu dan kembali ke dalam kamarnya. Liu Cin menghela napas panjang, setengah lega setengah menyesal harus smenolak ajakan Cu Yin yang telah menjatuhkan hatinya. Pelajaran tentang kesusilaan yang ditanamkan dalam batinnya telah tumbuh kuat sehingga menyelamatkannya dari perbuatan yang melanggar sendi-sendi kesusilaan yang dijunjung tinggi oleh gurunya. Akan tetapi, dia benar-benar terguncang karena hawa nafsu juga berkobar dalam dirinya, maka dia cepat bersila di atas pembaringannya untuk bersamadhi dan memadamkan api berahi itu.

   Pada keesokan harinya, ketika Liu Cin keluar dari kamarnya setelah mandil dan tukar pakaian, dengan heran dia melihat Liu Cin sudah duduk di ruangan depan, sudah mandi dan mengenakan pakaian baru, dan diam-diam dia merasa heran karena sejak tadi dia sendiri merasa gelisahdan salah tingkah merenuangkan pertemuannya pagi itu dengan Cu Yin, akan tetapi dia melihat Cu Yin berwajah cerah, bahkan berseri-seri, biasanya tersenyum manis dan matanya pun sama sekali tidak memperlihatkan tanda habis menangis. Ia tidak tampak sedih, marah, atau malu, seolah semalam tidak pernah terjadi sesuatu di antara mereka. Di samping rasa heran, juga Liu Cin diam-diam merasa lega dan bersukur karena sikap gadis itu benar-benar mengusir semua kegelisahannya.

   "Selamat pagi, Cin-ko."

   Katanya sambil tersenyum. Wajahnya tampak berseri seperti orang yang merasa puas dan serang.

   "Selamat pagi, Yin-moi. Sepagi ini engkau sudah selesai berkemas rupanya."

   Liu Cin melihat betapa buntalan pakaian dan pedang gadis itu sudah diletakkan di atas meja di dekatnya.

   "Kalau begitu, aku juga harus berkemas!"

   "Cepatlah, Cin-ko. Kita sarapan dulu di rumah makan sebelah timur penginapan ini, lalu kembali mengambil kereta dan melanjutkan perjalanan."

   Liu Cin mengemasi pakaiannya. Mereka berdua lalu pergi ke rumah makan yang pagi-pagi sudah buka karena biasa melayani orang-orang sarapan pagi di situ. Meja-mejanya penuh dan masih untung mereka mendapatkan sebuah meja kosong yang baru saja ditinggalkan tamu.

   Mereka makan bubur ayam dan minum teh hangat. Setelah selesai sarapai dan hendak membayar, tiba-tiba percakapan orang-orang dari meja sebelah menarik perhatian mereka.

   "Apa? Engkau belum mendengarnya Sungguh, semalam ada siluman rase (musang) mengambil korban dua orang pemuda!"

   Kata seorang laki-laki gemuk kepada temannya yang kurus.

   "Benar, kami juga mendengar berita menyeramkan itu "

   Kata seorang tamu lain yang duduk di meja sebelah kiri bersama dua orang temannya.

   "Aku yang menjadi saksi hidup bahwa berita itu memang benar, bukan kosong belaka!"

   Tiba-tiba seorang laki-laki tua kurus yang penuh keriput berkata sambil mengangguk-angguk. Semua orang, termasuk Liu Cin dan Lai Cu Yin, memandang kepada orang tua itu. Laki-laki tua itu tampak gembira. Dia adalah model orang tua yang suka berceloteh dan bangga kalau dapat menceritakan berita yang belum diketahui orang lain sehingga semua perhatian ditujukan kepadanya, seolah dia yang menjadi pahlawan dalam apa yang dia ceritakan.

   "Bagaimana ceritanya, Lo-pek (Paman tua)?"

   Tanya beberapa orang.

   Kakek itu memasang gaya ketika semua orang memandang kepadanya dengan penuh perhatian, seolah pandang mata mereka semua bergantung pada bibirnya yang kering.

   .

   "Malam tadi seperti kalian semua tahu, malam tidak hujan akan tetapi bulan sepotong memberi cahaya yang menyeramkan dan udaranya amat dingin sehingga aku sendiri tidak mempunyai niat untuk keluar dari rumah......"

   Aih, ceritakan tentang siluman rase itu, Lo-pek!"

   Cela seseorang.

   "Tidak sabaran benar sih, engkau!"

   Kakek itu cemberut.

   "Biarkan dia bercerita."

   Orang lain mencela orang yang memotong cerita tadi."Lanjutkan, Lo-pek!"

   "Akan tetapi pada tengah malam aku mendengar burung hantu terbang lewat rumahku dan mengeluarkan bunyi yang menyeramkan itu. Nah, pada keesokan paginya, pagi-pagi sekali sebelum fajar menyingsing, aku teringat bahwa saluran air ke sawahku belum dibuka bendungannya. Aku lalu pergi di bawah sinar bulan reman-remang menuju ke sawah di luar dusun. Nah, di sana, di dekat gubuk besar yang kita bangun bersama di tepi sawah itu, dalam keremangannya sinar bulan, aku melihat seorang wanita cantik sekali terbang......."

   "Ihhh!"

   Beberapa orang berseru ngeri. Pada jaman itu, semua orang percaya bahwa apa yang disebut siluman rase adalah siluman yang suka beralih rupa menjadi wanita yang sangat cantik dan biasanya suka menggoda laki-laki.

   "Lo-pek, bagaimana engkau tahu bahwa ia itu wanita cantik kalau cuacanya tidak begitu terang?"

   Tanya seseorang.

   Kakek itu tampak marah.

   "Hemmm, tua-tua begini mataku masih awas dan aku sudah biasa melihat dalam gelap. Tampak jelas ia seorang wanita, tubuhnya ramping menggairahkan dan wajahnya cantik jelita seperti dewi! Jelas ia seorang wanita muda yang cantik sekali, aku berani bersumpah! Wanita itu pergi seperti terbang saja. Tubuhnya seperti melayang di atas tanah dan tak lama kemudian ia sudah menghilang. Karena merasa ngeri, aku lalu berlari pulang, tidak jadi membuka bendungan air. Lalu tadi aku mendengar ramai-ramai orang meributkan bahwa di gubuk itu ditemukan mayat dua orang pemuda, yaitu Ang Kongcu (Tuan Muda Ang) putera kepala dusun kita dan seorang temannya, Si A-lok! Tentu dua orang pemuda itu menjadi korban Siluman Rase yang kulihat sebagai puteri cantik itu!"

   Tampak jelas betapa hampir semua orang bergidik dan ketakutan.

   Liu Cin saling pandang dengan Cu Yin dan melihat wajah gadis itu juga tampak ketakutan. Dia merasa penasaran.

   "Lo-pek, apa buktinya bahwa dua orang itu terbunuh oleh wanita yang kau anggap siluman rase itu?"

   Kakek Itu memandang kepada Liu Cin dan berkata.

   "Ah, agaknya engkau bukan penduduk sini, ya? Sudah jelas mereka menjadi korban siluman rase. Mendengar ribut-ribut itu aku segera berlari ke sana dan aku melihat sendiri dua mayat pemuda itu. Jelas mereka berdua dibunuh oleh siluman rase."

   "Bisa saja dia terbunuh oleh orang jahat seperti perampok misalnya."

   Bantah Liu Cin,

   "Tidak mungkin! Pakaian mereka masih lengkap berada di gubuk ita dan uang di saku baju Ang Kongcu masih utuh. Bukti lain yang tidak dapat diragukan lagi, dua orang pemuda itu mati dalam keadaan telanjang bulat"

   "Ihhh........!!"

   Banyak mulut berseru dan bergidiklah mereka yang berada di situ. Bahkan yang sedang makan membatalkan makannya karena merasa muak.

   "Tepat seperti dalam cerita tentang siluman rase. Mereka itu tentu diculik siluman yang menjadi wanita cantik, dipaksa untuk bercinta kemudian darah mereka dihisap sampai habis. Buktinya, dua orang pemuda itu mati tanpa ada luka sama sekalil"

   Kembali semua orang bergidik dan satu demi satu segera meninggalkan rumah makan karena merasa ngeri dan ada yang hendak membuktikan sendiri. Banyak orang berbondong menuju ke luar dusun di mana dua mayat itu ditemukan.

   Liu Cin dan Cu Yin juga keluar dari rumah makan itu. Mereka mengambil kereta dari rumah penginapan. Setelah kereta mereka keluar dari dusun itu, Cu Yin berkata.

   "lhhh, ngeri benar cerita mereka tadi..........!"

   "Mungkin dilebih-lebihkan,"

   Kata Liu Cin.

   "Bisa saja dibunuh orang yang balas dendam dengan pukulan mematikan, kemudian mereka ditelanjangi agar tersiar bahwa pembunuhnya adalah iblis."

   Cu Yin diam saja. Ia tidak merasa menyesal membunuh dua orang pemudi itu. Sejak bergaul dengan Liu Cin, ia telah menahan-nahan gelora nafsunya dan malam itu merupakan puncaknya ketika ia ditolak oleh Liu Cin. Maka kumatlah penyakitnya dan diam-diam ia mencari mangsanya. Sebetulnya dengan senang hati dua orang pemuda itu menuruti kemauannya. Ia terpaksa membunuh mereka pada keesokan paginya karena ia tidak ingin mereka itu membuka rahasianya sehingga terdengar oleh Liu Cin. Ia sudah terlanjur bersikap sebagai seorang gadis terhormat dan sopan di depan Liu Cin dan mengharapkan cintanya.

   Mereka melanjutkan perjalanan dani Liu Cin sama sekali tidak mencurigai Cu Yin walaupun hatinya merasa heran melihat Cu Yin yang malam tadi ia buat kecewa itu kini bersikap manis seperti biasa.

   Ong Hui Lan melangkah dengan tenang dan la melamun. Perjalanannya sudah tiba dekat tujuan, yaitu kota raja. Ia melakukan perjalanan dari Nan-king menuju ke kota raja untuk memenuhi perintah ayahnya.

   Ong Su, ayah Ong Hui Lan, adalah seorang bangsawan Kerajaan Chou yang dulu menjadi Kepala Kebudayaan Kerajaan Chou. Setelah Kerajaan Chou jatuh, dia tidak mau membantu pemerintah baru Kerajaan Sung dan pindah ke Nan-king di mana dia menjadi pengajar sastra bagi anak-anak para hartawan dan bangsawan.

   Ketika puteri tunggalnya, Ong Hui Lan, sudah selesai belajar ilmu silat dari Tiong Gi Cln-jin dan kini menjadi seorang gadis yang bukan saja ahli sastra akan tetapi juga ahli silat tingkat tinggi, Ong Su mengutus puterinya untuk pergi ke kota raja dan membantu perjuangan Pangeran Chou Bun Heng yang bercita-cita membangun kembali Kerajaan Chou!

   Sebetulnya Hui Lan tidak ingin membantu Pangeran Chou Ban Heng yang hendak memberontak terhadap pemerintah yang berkuasa, karena gurunya sudah menasihatnya agar ia jangan melibatkan diri dalam perang saudara yang dicetus kan orang-orang yang saling memperebut kan kekuasaan. Akan tetapi Ong Su marah melihat puterinya merasa ragu dan tidak ingin pergi.

   "Hui Lan, ingatlah! Agama kita meng ajarkan bahwa manusia hidup haruslah mengutamakan Hauw (Berbakti)! Bakti pertama kepada Thian (Tuhan) telah kau lakukan dengan selalu berusaha menjadi manusia yang baik budi. Bakti ke dua kepada orang tua dan ini dapat kau lakukan dengan menuruti semua pengarahan orang tua, mengangkat tinggi nama darah kehormatan orang tua dan menyenangkan hati orang tuamu. Kini bakti ke tiga yang belum kau lakukan, yaitu bakti kepada negara! Kita adalah warga dari Kerajaan Chou, karena itu bagi kita, negara adalah Kerajaan Chou yang telah dirampas oleh pemberontak yang sekarang mendirikan Kerajaan Sung. Sekarang! Pangeran Chou Ban Heng sedang berusaha untuk berjuang membangun kembali Kerajaan Chou dan menumbangkan kerajaan pemberontak Sung. Pangeran Chou Ban Heng adalah keponakan mendiang Kaisar Chou Ong, dan dengan kita masih ada hubungan saudara misan, biarpun agak jauh. Nah, sekarang, setelah engkau memiliki kepandaian bun (sastra) dan bu (silat), sudah menjadi tugasmu untuk berbakti kepada negara dengan membantu perjuangan Pangeran Chou Ban Heng dan sekaligus berbakti kepada orang tua karena menjunjung tinggi nama dan kehormatan ayahmu."

   "Akan saya taati perintah Ayah, akan tetapi dengan satu ketentuan bahwa kalau di kota raja saya disuruh melakukan perbuatan yang jahat dan menyimpang dari kebenaran, saya akan menolaknya, Ayah.,"

   "Tentu saja, anakku. Jangan khawatir, Pangeran Chou Ban Heng bukanlah seorang jahat. Dia seorang patriot yang setia terhadap Kerajaan Chou kita. Ini kuberi sesampul surat, berikanlah kepada Pangeran Chou Ban Heng dan engkau tentu akan diterima dengan senang."

   Demikianlah, Ong Hui Lan berangka ke kota raja. Setelah tiba di kota raja mudah saja dia menemukan tempat tinggal pangeran yang dicarinya, yang ketika itu telah menjadi seorang pejabat tinggi, yaitu Penasehat Angkatan Perang! Sebutannya kini bukan lagi pangeran, melainkan jenderal, yaitu Chou Coanswe (Jenderal Chou). Siang hari itu ia tiba di depan pintu gerbang pekarangan gedung Chou Goanswe. Dua orang perajurit pengawal yang berjaga di gardu dekat pintu gerbang segera menghadangnya. Karena belum tahu dengan siapa mereka berhadapan, dan melihat sikap gadis cantik itu yang demikian gagah, dua orang perajurit itu bersikap hati-hati dan sopan, tidak berani mengganggu walaupun mata mereka memandang kagum dan bagaikan pandang mata anjing kelaparan.

   "Siapakah Nona dan ada keperluan apa Nona datang ke sini?"

   Tanya seorang dari mereka.

   "Aku datang dari Nan-king, hendak menyampaikan surat dari Ayah Ong Su kepada Paman Pangeran Chou Ban Heng."

   "Pangeran Chou........? Ah, maksudmu Jenderal Chou Ban Heng, Nona?"

   "Benar, aku ingin menghadap Paman Jenderal Chou, membawa surat dari Ayah Ong Su di Nan-king, harap laporkan kepada beliau."

   Hui Lan sengaja tidak memperkenalkan namanya karena ia anggap tidak perlu memperkenalkan namanya kepada para perajurit.

   Mendengar gadis cantik itu menyebut kepada atasan mereka, dua orang perajurit jaga itu tentu saja tidak berani bertanya lebih lanjut. Mereka mempersilakan Hui Lan duduk menunggu di bangku depan gardu, dan seorang dari mereka lalu melaporkan tentang kedatangan gadis itu ke dalam gedung.

   Ketika itu, Pangeran Chou Ban Heng yang kini lebih umum disebut Jenderal Chou sedang berbincang-bincang dengan puteranya. Chou Kian Ki telah menyusul ayahnya di kota raja dan sudah sekitar dua pekan berada di gedung ayahnya. Juga tiga ofang gurunya, Kanglam Sin-kiam Kwan ln Su, Im Yang' Tosu, dan Hongsan Siansu Kwee Cin Lok kini telah berada dikota raja. tinggal di dalam gedung Jenderal Chou. Tiga orang tokoh kangouw ini pun duduk dalam ruangan itu, ikut membicarakan tentang cita-cita Jenderal. Chou untuk membangun kembali Kerajaan Chou, kini dengan mengambili siasat dan cara lain. Dulu dia terang-terangan memberontak dan menyusun pasukan, akan tetapi karena kalah dan gagal, kini dia sengaja mendekati Kaisar dan menerima pekerjaan menjadi Penasehat Angkatan Perang sambil menanti kesempatan untuk melaksanakan cita-citanya.

   Mendengar laporan perajurit jaga bahwa ada puteri Ong Su dari Nan-king hendak menghadapnya, Jenderal Chou menjadi girang. Tentu saja dia ingat akan Ong Su, bekas Kepala Kebudayaan Kerajaan Chou, seorang yang amat setia kepada: Kerajaan Chou sehingga kini lebih suka mengungsi ke Nan-king daripada harus bekerja pada pemerintahan baru Ong Su itu masih terhitung saudara misannya. Maka dia lalu menyuruh puteranya, Chou Kian Ki untuk keluar dan menyambut kedatangan puteri Ong Su itu.

   Kian Ki segera keluar dan setelah tiba di pintu gerbang, dia tercengang melihat seorang gadis yang cantik, pakaiannya rapi akan tetapi tidak mewah dan sikapnya agung, duduk di atas bangku.

   Kian Ki menghampiri dan segera bertanya.

   "Apakah Nona lni puteri Paman Ong Su dari Nan-king?"

   "Benar, saya puterinya. Siapakah Kong-cu (Tuan Muda)?"

   Tanya Hui Lan sambil bangkit berdiri dan memandang pemuda tinggi tegap berpakaian mewah dan berwajah jantan dan tampan itu.

   Kian Ki segera mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat.

   "Ah, kiranya Ong Siocia (Nona Ong). Selamat datang di rumah kami! Aku adalah Chou Kian Ki, putera Jenderal Chou. Mari, silakan masuk untuk bertemu dengan ayah, Nona."

   "Terima kasih,"

   Kata Hui Lan dan mereka berdua segera berjalan menuju gedung.

   Setelah memasuki ruangan yang luas itu dan berhadapan dengan Jenderal Chou Hui Lan segera memberi hormat dengan sikap lembut dan sopan.

   "Paman, saya Ong Hui Lan memenuh perintah ayah untuk menyampaikan surat ini kepada Paman."

   Katanya sambil menyerahkan surat itu.

   "Hui Lan, aku ingat pernah melihatmu di rumah ayahmu dahulu belasan tahun yang lalu. Engkau masih kecil ketika itu. Duduklah, Hui Lan."

   Kata Jenderal Chou, senang dan kagum melihat keponakannya yang kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik dan gagah.

   "Terima kasih, Paman."

   Kian Ki cepat mengambilkan sebuah kursi untuk gadis itu dan ditaruhnya kursi itu berhadapan dengan dia. Selagi ayahnya membaca surat, Kian Ki memperkenalkan tiga orang gurunya.

   "Nona............ eh, karena kita masih saudara misan, sebaiknya aku menyebutmu piauw-moi (adik misan perempuan), bagaimana pendapatmu, Lan-moi (Adik Lan)?"

   Hui Lan tersenyum. Kakak misannya ini selain gagah sekali juga ternyata bersikap sopan dan ramah. 'Tentu saja aku setuju, Ki-ko (Kakak Ki)."

   "Nah, Lan-moi, perkenalkan, mereka ini adalah tiga orang guruku. Ini Suhu Kanglam Sinkiam Kwan In Su, yang ini Suhu Im Yang Tosu, dan yang itu adalah Suhu Hongsan Siansu Kwee Cin Lok."

   Hui Lan segera memberi hormat kepada mereka bertiga yang mereka balas sambil tersenyum kagum. Gadis itu bukan hanya cantik, akan tetapi juga gagah. Dari gerak-geriknya yang lembut namun mengandung tenaga dan sinar matanya yang tajam itu saja dapat diketahui bahwa ia bukan seorang gadis sembarangan.

   Jenderal Chou tertawa senang setelah membaca surat dari Ong Su. Surat itu menyatakan bahwa Ong Su menawarkan puterinya yang telah selesai belajar ilmu silat untuk membantu Jenderal Chou mencapai cita-cita luhur mereka sebagai penerus bangsa Chou!

   "Bagus, bagus!"

   Dia tertawa dan berseru gembira sehingga yang selain menghentikan percakapan dan memandang jenderal itu.

   "Ong Hui Lan, menurut ayahmu engkau telah memiliki ilmu silat yang tinggi! Siapa yang melatihmu dan berapa lama engkau mempelajari ilmu silat?'

   "Guru saya adalah Tiong Gi Cinjin, Paman dan saya belajar selama sepuluh tahun."

   Jawab Hui Lan.

   Tiong Gi Cinjin yang berjuluk Tung-kiam-Ong (Raja Pedang Timur)?"

   Hongsan Siansu Kwee Cin L ok berseru.

   "Ah, kalau begitu Nona Ong tentu memiliki ilmu pedang yang hebat sekali!!"

   Juga Kanglam Sinkiam Kwan In Su dan Im Yang Tosu sudah mendengar akan nama besar Raja Pedang Timur itu, maka mereka juga memuji. Mendengar ini, tentu saja Jenderal Chou menjadi semakin gembira.

   "Ah, ingin sekali aku melihatnya!! Kian Ki, engkau uji ilmu pedang misanmu ini!"

   Kian Ki tersenyum senang. Pemuda ini setelah menerima gemblengan mendiang Thian Beng Siansu, bahkan menerima pengoperan tenaga sakti dari Thian Beng Siansu dan tiga orang gurunya, menjadi lihai bukan main. Bukan hanya lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga memiliki tenaga sinkang yang amat kuat. Wataknya yang pada dasarnya memang tinggi hati itu menjadi bertambah sombong. Akan tetapi di depan gadis ini dia tidak bermaksud menyombongkan kepandaiannya melainkan ingin memamerkannya. Sambil tersenyum dia menghampiri gadis itu.

   "Lan-moi, mari kita memenuhi keinginan ayahku, kau perlihatkan ilmu pedangmu yang tentu hebat sekali mengingat bahwa gurumu adalah Raja Pedang."

   Sebetulnya Hui Lan tidak ingin memamerkan Ilmu pedangnya. Kalau saja ayahnya tidak menyuruh ia membantu pangeran itu, dan kalau pangeran yang menjadi pamannya itu tidak menyatakan ingin melihat ilmu pedangnya, tentu ia tidak mau diajak menguji kepandaian oleh Kian Ki.

   Terpaksa la bangkit berdiri, lalu menjura kepada Jenderal Chou dan berkata.

   "Kemampuan saya masih terbatas dan dangkal, harap Paman tidak mentertawakan saya."

   Kemudian kepada Kian Ki ia berkata.

   "Ki-ko, harap jangan terlalu mendesakku."

   Kian Ki tersenyum dan mundur ke tengah ruangan yang lebih lebar.

   "Lan moi, jangan terlalu merendahkan diri. Siapa tahu, aku malah yang akan terdesak olehmu. Bagaimanapun juga, kita hanya main-main, bukan?"

   Pemuda itu lalu mencabut pedangnya dan tampak sinar hitam berkelebat. Kiranya pedangnya berwarna hitam legam. Itu adalah sebatang pedang pusaka yang bernama Hek-kang-kiam (Pedang Baja Hitam),! sebatang pedang pemberian kepala suku Khitan kepada Pangeran Chou yang kemudian diberikan kepada Kian Ki.

   Ong Hui Lan juga mencabut pedangnya dan tampak sinar hijau berkelebat. Ceng-hwa-kiam (Pedang Bunga Hijau) itu adalah pemberian Si Raja Pedang Tiong Ci Cinjin kepada muridnya ini.

   "Wah, itu pasti Ceng-hwa-kiam!"

   Seru Hongsan Siansu kagum.

   "Po-kiam (pedang pusaka) yang hebat. Kian Ki, hati-hati, jangan adukan pedang terlampau kuat, khawatir akan merusak kedua pedang pusaka itu!"

   Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Lan-moi, silakan!"

   Kata Kian Ki sambil memasang kuda-kuda yang kokoh, kedua kaki ditekuk, tubuh miring menghadapi gadis itu, tangan kiri digenggam dengan jari telunjuk dan tengah menuding ke depan, diletakkan tangan itu di depan dada, sedangkan tangan kanan mengangkat pedang ke atas, pedang hitamnya menunjuk ke bawah melalui atas kepala, dan matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum sehingga dia tampak gagah sekali.

   "Silakan, Ki-ko. Engkau yang manguji, bukan?"

   Kata Hui Lan yang juga sudah memasang kuda-kuda dengan tijbuh tegak, kaki kanan diangkat sebatas betis, tangan kiri menunjuk ke atas dan pedangnya menunjuk ke depan, menghadapi pemuda itu.

   "Akan tetapi aku laki-laki, Lan-moi, tidak pantas kalau aku menyerang dulu. Mulai dan seranglah!"

   Tantang Kian Ki.

   "Baik. maafkan aku. Ki-ko!"

   Kata Hul Lan dan ia pun bergerak dengan cepat sekali, mulai memainkan pedangnya untuk menyerang. Pedangnya berkelebatan membentuk gulungan sinar hijau ketika ia menyerang secara susul menyusul dan bersambung-sambung, membuktikan bahwa ilmu pedangnya memang Istimewa dan berbahaya sekali.

   "Bagus!"

   Seru Kian Ki memuji. Bukan pujian kosong karena dia memang kagum sekali. Ilmu pedang gadis itu memang hebat. Terpaksa dia menggerakkan tubuhnya mengelak akan tetapi karena pedang hijau itu menyerang secara sambung menyambung, tak mungkin dia mengelaki terus karena elakannya akan membuat serangan itu tidak pernah putus. Dia lalu menangkis, akan tetapi karena maklum akan kekuatan sendiri, dia membatasi tenaganya.

   "Cringgg ...........!"

   Bunga api berpijar dan Hui Lan terkejut ketika merasa betapa tangannya tergetar hebat sehingga serangannya terhenti.

   "Lihat seranganku, Lan-moi"

   Kian Ki Balas menyerang dan mereka lalu serang menyerang dengan hebat. Mula-mula pertandingan pedang itu masih dapat diikuti pandang mata dan tampak betapa keduanya memainkan pedang masing-masing dengan mahir sekali sehingga Jenderal Chou berkali-kali bertepuk tangan dan berseru memuji. Juga tiga orang tokoh kangouw itu memuji ilmu pedang Hui Lan. Si Pedang Sakti dari Kanglam sendiri, Kwan In Su, diam-diam harus mengakui bahwa dia sendiri belum tentu akan mampu menandingi ilmu pedang gadis itu!

   Gerakan keduanya makin lama semakin cepat sehingga lewat lima puluh jurus, bayangan mereka tidak tampak! tertutup oleh dua gulungan sinar pedang hijau dan hitam. Tampak indah sekali dan pasti akan menegangkan bagi mereka yang ilmu silatnya masih belum cukupi tinggi yang tidak dapat mengikuti gerakan mereka secara jelas dan mengira bahwa dua orang itu bertanding mati-matian. Akan tetapi tiga orang tokoh kangouw dan juga Jenderal Chou yang menyaksikan pertandingan itu melihat betapa walaupun ilmu pedang gadis itu memang hebat, namun kalau Kian Ki menghendaki dan menggunakan tenaga sakti sepenuhnya, tentu dia dapat mengalahkan Hui Lan. Mereka yang tahu akan kehebatan sinkang pemuda itu maklum bahwa dia memang mengalah terhadap Hui Lan. Hal ini membuat Jenderal Chou merasa girang dan timbul niat dalam hatinya untuk menjodohkan puteranya dengan gadis itu! Selain gadis itu cantik, juga putera bangsawan Chou yang setia, memiliki mantu seperti itu amat menguntungkan. Hui Lan dapat menjadi seorang pembantu yang boleh diandalkan!

   "Sudah cukup, berhentilah!"

   Jenderal Chou berseru dan dua gulungan sinar pedang itu pun menghilang, dua orang muda itu sudah melompat ke belakang.

   Kian Ki menyimpan pedangnya dan berkata kepada Hui Lan sambil tersenyum.

   "Hebat, Lan-moi! Kiam-hoatmu sungguh hebat, aku kagum sekali!"

   Hui Lan juga sudah menyimpan pedangnya dan ia menjawab sejujurnya.

   "Ki-ko, terima kasih, engkau hanya mengalah. Dibandingkan kepandaianmu apa yang kupelajari beium seberapa."

   Jenderal Chou memuji gadis itu lalu menyuruh Kian Ki mengajak Hui Lan kedalam untuk diperkenalkan dengan Nyonya Chou dan beberapa orang selir jenderal itu.

   Mulai saat itu, Hui Lan diterima sebagai anggauta keluarga dan juga pembantu yang memperkuat kedudukan Jenderal Chou, pangeran yang bercita-cita untuk merebut tahta kerajaan dan membangun kembali Kerajaan Chou itu.

   Keluarga Chou merasa senang melihat Hui Lan yang pandai membawa diri, tahu sopan santun dan terpelajar itu. Ketika] Chou Klan Ki menyatakan persetujuannya sepenuhnya akan niat ayahnya menjodohkan dia dengan Hui Lan karena ia memang telah tertarik dan jatuh cinta kepada gadis itu, seluruh keluarga menjadi semakin senang. Segera Jenderal Chou menyuruh isterinya untuk menyampaikan niat keluarga itu kepada Hui Lan.

   Baru dua pekan berada di gedung Jenderal Chou, pada suatu sore, Nyonya Chou memasuki kamar Hui Lan. Dengan hati-hati ia lalu menyampaikan keinginan hati keluarganya untuk menjodohkan Kian Ki dengan Hui Lan dan minta tanggapan gadis itu tentang niat keluarganya.

   Hui Lan yang duduk berhadapan dengan Nyonya Chou terkejut mendengar ini. Ia menundukkan mukanya yang berubah kemerahan. Ia sendiri merasa kagum terhadap kakak misannya itu, seorang pemuda yang memiliki ilmu silat yang tinggi, juga seorang pemuda yang telah menguasai ilmu bun (sastra). Akan tetapi tentu saja ia sama sekali tidak mengira bahwa keluarga Chou berniat untuk menjodohkan Chou Kian Ki dengan dirinya. Sebagai seorang gadis yang berbakti kepada orang tuanya, ditanya tentang tanggapannya terhadap niat itu, ia menjawab kepada Nyonya Chou sambil menundukkan muka.

   "Bibi, tentang perjodohan, tentu saja saya serahkan sepenuhnya kepada orang tua saya. Harap Bibi dan Paman membicarakan urusan itu kepada orang tua saya. Saya hanya menaati keputusan mereka."

   Jenderal Chou segera mengirim utusan ke Nan-king membawa suratnya kepada Ong Su untuk mengajukan pinangan secara kekeluargaan. Keluarga Ong tentu saja merasa senang dan bangga sekali langsung menyatakan persetujuan mereka Demikianlah, biarpun belum diresmikan dan belum diadakan pertemuan antara kedua pihak, setelah menerima persetujuan Ong Su, Hui Lan telah menjadi calon jodoh Chou Kian Ki! Akan tetapi karena belum dilakukan pinangan secara resmi, Kian Ki dan Hui Lan bersikap biasa seperti saudara misan, walaupun mereka tahu bahwa mereka adalah calon jodoh masing-masing.

   Kaisar Sung Thai Cu, pendiri Kerajaan Sung dan sebagai kaisar pertama ternyata merupakan seorang pemimpin sejati. Bekas panglima yang dulu bernama Panglima Chou Kuang Yin ini benar-benar memiliki sikap bijaksana dan melaksanakan politik yang lunak dan mengusahakan perdamaian. Dia sungguh berbeda dari para pimpinan sebelumnya.

   Sepanjang Jaman Lima Dinasti (907 -960) selama setengah abad negara menjadi ajang perebutan kekuasaan. Sampai lima kali terjadi penggantian kerajaan yang masing-masing hanya bertahan beberapa tahun saja. Hal ini adalah karena para pemimpin yang tadinya berjuang menumbangkan kekuasaan Kerajaan atau Kaisar yang dianggap tidak bijaksana dan lalim, semula memang mengajak rakyat jelata untuk berjuang menumbangkan Kaisar yang lalim. Setelah perjuangan berhasil baik walaupun mengorbankan banyak sekali nyawa rakyat dan menimbulkan banyak kejahatan, si pemimpin mendirikan kerajaan baru dan menjadi-Kaisar, maka sejarah pun berulang. Orapg yang tadinya menjadi pemimpin yang gagah, yang berjuang atas nama rakyat, setelah berhasil dan menjadi Kaisar, menjadi, lupa diri! Kekuasaan dan harta benda membuatnya lupa akan dasar perjuangan mereka semula. Mereka menjadi mabuk kekuasaan sehingga bertindak sewenang-wenang karena merasa paling berkuasa, mabuk kesenangan duniawi, menumpuk harta kekayaan. Orang-orang yang dekat dengan Kaisar yang baru sanak keluarganya dan sahabat-sahabat yang kesemuannya merupakan penjilat-penjilat, diberi kekuasaan. Maka berpesta poralah mereka itu, sekelompok orang yang berkuasa, menjilat atasan dan menekan bawahan. Maka, dalam beberapa tahun saja terjadi lagi pemberontakan untuk menggulingkan kekuasaan kaisar yang lalim itu.

   

Pendekar Tongkat Liongsan Karya Kho Ping Hoo Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini