Si Tangan Halilintar 8
Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
Melihat ini, Nyonya Bu otomatis juga memperhatikan dan menyedot-nyedot dengan hidungnya untuk dapat mencium apa yang agaknya menarik hati nenek itu. Akhirnya ia mencium bau sedap dari daging dibakar dan tahulah ia mengapa nenek itu berhenti. Agaknya bau daging dibakar itulah yang membuat nenek itu berhenti. Kalau tidak, agaknya ia tidak akan pernah menghentikan larinya yang seperti terbang.
"Aduh-aduh"!"
Tiba-tiba Pek- sim Kui-bo terbungkuk-bungkuk dan menekan perutnya dengan kedua tangannya dan mukanya tampak seperti orang kesakitan. Melihat ini, Nvona Bu terkejut dan cepat menghampiri "Kui-bo, ada apakah? Apamu yang sakit?" "Aduh"". aduh"". perutku!"
Nenek itu mengeluh.
"Ada apa dengan perutmu? Sakitkah?"
Nenek itu mengangguk sambil menekan perutnya.
"Sakit apakah, Kui-bo? Mulas?" "Tidak, akan tetapi perih sekali""", lapar"".!"
Mendengar ini, tak tertahankan lagi.
Nyonya Bu tertawa terkekeh-kekeh saking gelinya melihat ulah nenek itu mencium bau daging bakar mendadak perutnya terasa lapar dan ia mengerang kesakitani. Nenek itu begitu mendengar orang tertawa lalu tertawa bergetak, akan tetapi segera tawanya berubah menjadi tangis dan ia berteriak-teriak.
""".lapar! Lapar"".!" "Mari, Kui-bo, kita datangi orang yang memanggang daging itu. Mungkin dia mau membagi sedikit untuk kita."
Kata Nyonya Bu yang tiba-tiba juga merasa betapa lapar perutnya. Menurutkan nalurinya sebagai seorang ibu yang menghadapi seorang anaknya yang rewel,. Nyonya Bu juga menggandeng tangan Pek-sim Kui-bo dan menariknya, rnengajaknya memasuki hutan menuju ke arah dari mana datangnya bau sedap daging panggang itu. Pek-sim kui-bo menurut saja dengan lagak manja. Seperti anak kecil merengek kepada ibunya Ketika mereka tiba disebuah lapangan rumput yang terbuka di tengah hutan itu.
Mereka melihat asap mengepul dan ternyata memang ada seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun duduk menghadapi api unggun dan memanggang dua ekor kelenci gemuk yang sudah dikuliti. Agaknya laki-laki itu memberi bumbu kepada dua ekor kelenci yang dipanggangnya maka tercium bau yang sedap seperti bau bawang dimasak. Bahkan Nyonya Bu sendiri yang juga merasa lapar itu terpaksa menjilat bibir dan menelan ludah melihat daging yang kemerahan dan mengeluarkan bau sedap itu. Ketika mendengar langkah orang laki-laki itu menoleh dan melihat dengan heran kepada dua orang wanita itu. Tentu saja ia merasa heran melihat dua orang wanita tiba-tiba muncul dalam hutan lebat itu. Apalagi melihat nyonya Bu yang dalam usia kurang lebih empat puluh tahun masih tampak cantik jelita dengan bentuk tubuh yang menggairahkan.
Melihat laki-laki itu menengok dan tampak wajahnya yang berkumis, berjienggot dan bercambang tebal, Nyonya Bu lalu melangkah maju dan merangkap kedua tangan depan dada sambil mem)ungkuk sebagai penghormatan.
"Sobat, kami berdua sedang merasa lapar sekali. Kalau boleh kami ingin minta sedikit daging yang kau panggang itu."
Kata Nyonya Bu dengan halus dan sopan. Laki-laki itu bangkit berdiri menghadapi Nyonya Bu, mengamati wanita itu dari rambut sampai ke kakinya, kemudian nenyeringai lebar, tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan meraba-raba jenggotnya.
"Nona yang baik, apakah kalian hanya datang berdua saja?"
Nyonya Bu mengangguk, tidak perduli walaupun orang menyebutnya nona" "Tidak ada laki-laki yang mengantar kalian?"
Kembali Nyonya Bu menjawab dengan gelengan kepala saja. Laki-laki itu tampak gembira, lalu melirik ke arah Pek-sim Kui-bo dan dia lalu berkata.
"Nona, makanan tidak dapat diberikan dengan cuma-cuma begitu saja."
"Aku mau membelinya, menukamya dengan cincin ini"".."
Nyonya Bu hendak mencabut sebuah cinci kecil dari jari manisnya.
"Wah, aku tidak ingin cincinnya. Yang kuinginkan adalah jarinya!"
Kata laki-laki itu. Nyonya Bu mengerutkan alisnya dan memandang heran.
"Jarinya? mana mungkin jariku ini kuberikan padamu?"
Tanyanya, masih tidak mengerti.
"Ha-ha-ha, kalau jarinya tidak bisa diberikan karena menempel pada tangannya, berikan saja tanganrnu kepadaku!" "Tapi". tapi"""
Nyonya Bu membantah sambil memandang kirinya. Mana mungkin"..? diberikan? "Ha-ha-ha-ha, tangan yang menempel pada tubuhmu. Semua anggauta tubuhmu tidak dapat dipisah-pisahkan, maka berikan saja seluruh tubuhmu padaku, nona."
Wajah Nyonya Bu menjadi merah.
"Apa maksudmu?"
Tanyanya ketus.
"Masa engkau tidak tahu? Mari makan bersamaku, nona manis, kemudian kita berdua pergi bersenang-senang.
Adapun nenek ini"". nenek buruk gila seperti setan ini, biar saja ia kelaparan dan masuk ke neraka".. heiii! Apa yang kau lakukan itu? Kembalikan dagingku!"
Laki-laki bertubuh tinggi besar itu nelihat betapa Pek-sim Kui-bo tiba-tiba maju dan menyambar sekor kelenci panggang yang langsung menggigit dan nemakan. Tentu saja dia marah sekali dan cepat dia menerjang maju hendak nerampas kembali daging kelenci itu. Akan tetapi sekali kakinya mencuat, laki-laki itu tertendang dan terlempar ke belakang lalu terbanting roboh! Laki-laki itu menjadi marah sekali dan dia sudah mencabut sebatang golok dari ikat pinggangnya, kemudian sambil menggereng seperti sekor binatang dia berlari ke arah Pek-sim Kui-bo lalu menyerangnya dengan golok di tangan. Golok itu menyambar ke arah kepala nenek itu. Nenek itu masih memegang kelinci panggang di tangan kiri, lalu menggunakan tangan kanannya menyambut golok yang menyambar ke kepalanya.
Dengan tangan kosong ia menyambut golok tajam yang membacok itu. Golok bertemu dengan tangan yang kurus danJ jari-jari tangan nenek itu telah dapat menangkap golok. Laki-laki itu tentu saja merasa heran dan penasaran melihat goloknya ditangkap begitu mudah oleh tangan si nenek. Dia mengerahkan tenaga untuk menarik dan mengiris tangan nenek itu agar terbabat putus. Akan tetapi, ia sarna sekali tidak mampu menggerakkan goloknya. Golok itu seperti menempel pada tangan itu, sama sekali tidak dapat ditarik kembali. Bahkan nenek itu menarik dengan sentakan dan sekali tangannya merenggut, golok itu telah terlepas dari pegangan pemiliknya Kemudian, sambi! Terkekeh membawa golok ke mulutnya dan nenggigit lalu makan golok itu seperti yang dilakukan kepada daging kelenci tadi. Terdengar suara krek-krek berkerontokan seperti orang makan krupuk!
Laki-laki itu, juga Nyonya Bu sampai bengong terlongong melihat nenek itu makan golok. Hanya sebentar laki-laki itu terbengong, karena ia segera maklum bahwa lia berhadapan dengan seorang nenek yang memiliki kesaktian seperti iblis. Maka dia menjadi takut sekali. Tanpa pamit lagi dia memutar tubuhnya dan nelompat hendak melarikan diri meninggalkan nenek yang berbahaya itu. Akan tetapi, Pek Sim Kui-bo tiba-tiba menyemburkan pecahan-pecahan golok dari mulutnya ke arah tubuh laki-laki yang melarikan diri itu. Tampak beberapa sinar kecil meluncur dan nengenai punggung laki-laki itu. Orang tu menjerit kesakitan lalu roboh tertelungkup, berkelojotan sebentar lalu terdiam, mati karena potongan-potongan golok itu menancap dalam sekali di tubuhnya. Nenek itu membuang sisa golok lalu bersila dekat api unggun, melanjutkan makan daging kelinci dan berkata kepada Nyonya Bu.
"Hayo, Nyonya Bu. Kau menunggu apa lagi? Bukankah tadi kau bilang mau makan. Nih, kelencinya masih seekor.
Makan dan duduklah di sini!"
Nyonya Bu memang tadi tertegun. Bukan saja melihat kehebatan ilmu kepandaian nenek itu yang amat luar biasa, akan tetapl juga melihat betapa nenek itu demikian mudahnya membuhuh orang. Ia tidak berani membantah, lalu duduk di dekat si nenek, menghadapl apl unggun dan ia mengambil kelinci ke dua dan makan daglng kelinci sambil berusaha keras melupakan mayat orang yang menggeletak tak jauh di belakangnya. ia tidak mau banyak bertanya tentang peristiwa tadi karena ia tahu bahwa nenek itu tentu akan menjawab dengan kacau dan malah membingungkan hatinya. Ia ingin memikirkan dan mengambil kesimpulan sendiri. Laki-laki itu memang bukan Orang baik-baik, pikirnya. Jelas bahwa laki-laki itu hendak kurang ajar kepadanya, dan andaikata dilanjutkan, mungkin saja laki-laki yang kelihatan kasar itu akan mempergunakan kekerasan untuk memperkosa atau memaksanya menuruti semua kehendaknya yang mesum.
Seperti yang dilakukan Pangeran Abagan! Betapa banyaknya laki-laki macam itu. Kalau melihat wanita yang menarik hatinya, selalu berusaha sekuatnya untuk memilikinya, untuk memuaskan nafsu-nafsunya, kalau perlu menggunakan cara apapun, cara kasar, keji dan jahatpun akan dilakukannya demi tercapai keinginan hatinya yang terdorong nafsu birahi. Akan tetapi, mengapa harus dibunuh'? Tiba-tiba nenek itu terkekeh.
"Heheh-heh, engkau menyayangkan bahwa anjing jantan itu kubunuh?"
Ditanya secara tiba-tiba demikian, padahal ia memang sedang memikirkan tentang laki-laki itu, tentu saja ia terkejut sekali.
"Ah, sama sekali aku tidak menyayangkan hal itu, Kui-bo. Hanya aku tidak mengerti mengapa dia harus dibunuh?" "Ooo, begitu, ya? Jadi engkau, suka melihat laki-laki itu hidup, memperkosamu dan membunuhku? Begitu maumu?"
Nyonya Bu terkejut. Hal ini sam.a sekali tidak ia bayangkan.
"Oh, tidak!
Tidak! Ah, kalau begitu memang engkau yang benar. Sebaiknya dia dibunuh seratus kali dibunuh!"
Nenek itu tidak berkata-kata lagi, hanya terkekeh-kekeh sambil menggerogoti daging kelinci yang gemuk dan meneteskan gajih yang berminyak. Setelah makan kenyang, Nyonya Bu mengajak Pek-sim Kui-bo mencari air c.untuk minum. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan seperti tadi, Pek-sim Kui-bo rnenggandeng tangan Nyonya Bu dan membawanya lari seperti terbang cepatnya. Pek-sim Kui-bo membawa Nyonya Bu ke lereng dekat puncak gunung Kui san dan di sanalah ia menggembleng Nyonya Bu yang mempelajari ilmu silat dengan amat tekunnya serta dapat mewarisi semua kesaktian Pek-sim kui-bo. Akan tetapi celakanya, Nyonya Bu tidak hanya mewarisi kesaktiannya, akan tetapi ia juga mewarisi atau ketularan gilanya!
Bu Kui Siang menunggang kuda yang dijalankan perlahan-lahan. la tidak mau melarikan kudanya cepat-cepat karena merasa kasihan kepada Ma Giok yang berjalan di samping kudanya. Perjalanan ke Thai-san merupakan perjalanan yang amat jauh dan selama ini, Ma Giok hanya ber jalan kaki dan ia menunggang kuda.
"Paman Ma, apakah Thai-san yang menjadi tujuan kita itu masih jauh?"
Tanya Kui Siang. Mereka sudah melakukan perjalanan hampir sehari suntuk hari itu dan saat itu sudah hampir senja.
"Masih, Kui Siang. Mungkin satu bulan lagi kita baru akan tiba di sana..""Satu bulan lagi? Ah, betapa jauhnya. Engkau yang berjalan kaki tentu lelah sekali, paman!" "Ah, tidak. Aku sudah biasa berjalan. Oya, di depan sana terdapat sebuah dusun yang cukup besar. Kalau aku tidak salah ingat, itu dusun Lian-ki-jung dan di sana terdapat rumah penginapan berikut rumah makan. Kita dapat beristirahat, mandi dan makan enak malam ini"
Kui Siang merasa bahwa pria ini, sengaja mengalihkan perhatiannya tentang perjalanan jauh yang harus ditempuh dengan jalan kaki.
"Paman Ma, di dusun itu tentu ada orang menjual kuda!" "Ya, memang ada. Akan tetapi kuda kita ini masih kuat dan belum perlu diganti." "Bukan untuk mengganti kuda ini, paman. Akan tetapi kita harus membeli sekor kuda untukmu." "Ah, tidak periu, Kui Siang. Aku masih kuat berjalan." "Tidak, paman. Aku masih mempunyai gelang dan perhiasan, masih berlebihan kalau hanya untuk membeli sekor kuda yang baik!"
Ma Giok menggeleng kepalanya.
"Tidak perlu membeli kuda, Kui Siang. Biarlah aku berjalan saja."
Kui Siang mengerutkan alisnya.
"Kalau begitu, setibanya di dusun itu, lku mau menjual saja kuda ini, paman." "Eh? Dijual? Kenapa? Kuda ini pemting sekali untuk tungganganmu!" "Kalau paman ber jalan kaki, akupun ngin berjalan saja. Kita ini hanya berdua, paman. Kita melakukan perjalanan bersama sehingga sepatutnya kalau berat sarna dipikul dan ringan sama dijinjing. Mana mungkin aku enak-enakan saja menunggang kuda dan engkau bersusah payah berjalan kaki?
Nah, pendeknya aku sudah mengambil keputusan tetap untuk senasib sependeritaan denganmu, paman. Kalau aku menunggang kuda, engkaupun harus menunggang kuda. kalau engkau berjalan kaki, akupun harus lerjalan kaki! Ma Giok dapat menangkap keputusan yang tidak dapat diubahlagi dalam ucapan Kui Siang itu dan dia merasa senang. Wanita muda ini memiliki watak yang baik, tidak ingin senang dan enak sendiri, juga mengenal budi.
"Baiklah, Kui Siang. Biarlah aku juga akan menunggang kuda. Tidak mungkin membiarkan engkau berjalan kaki. Kandunganmu sudah besar, jalan kaki terlalu jauh amat tidak baik bagi engkau dan bagi anak dalam kandunganmu."
Mereka memasuki dusun Lian-ki- jung. Siang telah berganti sore dan begitu memasuki dusun itu, mereka mendengar suara ribut-ribut di depari sana. Rumah-rumah penduduk di kanan kiri jalan tampak tertutup pintu dan jendelanya dan di luar rumah tampak sepi.
Agaknya semua orang telah bersembunyi dalam rumah masing-masing. Akan tetapi di sana, di depan sebuah mewah, sedang terjadi keributan dan agaknya sedang terjadi perkelahian banyak orang.melihat ini, Ma Giok berkata kepada Kui Siang.
"Engkau berhenti dulu di siri, Kul Siang. Bawa kudamu masuk pekarangan rumah di sebelah kiri itu."
Setelah melihat Kui Siang dan kudanya bersembunyi, Ma giok lalu berlari cepat ke depan. Setelah tiba di depan rumah gedung tu, di pekarangan rumah dan juga di atas jalan raya depan rumah, banyak orang sedang berkelahi menggunakan senjata tajam. Dia melihat dua belas orang berpakaian seperti perajurit pemerintah sedang melawan pengeroyokan lebih dari tiga puluh orang. Dia cepat nendekati dan karena dia tidak tahu sebab perkelahian dan tidak mengenal siapa puluhan orang itu, dia merasa ragu untuk berpihak siapa. Tentu saja dia akan membantu orang-orang yang pakaiannya menunjukkan bahwa mereka rakyat biasa yang melawan seregu pasukan perajurit Mancu, kalau saja dia mengenal orang-orang itu.
Akan tetapi dia rnelihat betapa orang-orang itu sikapnya buas. Empat orang perajurit Mancu telah menggeletak mandi darah dan yang delapan orang lagi sudah terdesak hebat. Tiba-tiba Ma Giok mendengar jeritan beberapa orang wanita. Dia memasuki pekarangan dan melihat beberapa orang berwajah bengis sedang memondongtiga orang wanita dan dibawa lari. Dan juga ada lima orang sedang mengangkut barang-barang berharga dari dalam rumah itu. Ma Giok mengerutkan alisnya. Kalau mereka itu pejuang, tentu tidak akan menculik wanita dan merampok. Alisnya berkerut. Dia sudah sering melihat penjahat-penjahat yang memakai kedok pejuang untuk melakukan perampokan dan penculikan wanita. Orang-orang seperti itu lebih jahat dari pada perampok dan lebih merugikan daripada musuh yang sebenarnya. Perbuatan mereka itu mencemarkan kehormatan para pejuang dan mngotori arti perjuangan mempertahan nusa dan bangsa.
Ma Giok tidak ragu-ragu lagi. Dia melompat dan menghadang tiga orarg yang memondong tiga orang wanita yang menjerit-jerit itu. Kaki tangannya bergerak cepat dan tiga orang itu berpelantingan. Tiga orang wan ita yang tadinya mereka pondong itu terlepas dari pondongan dan ikut jatuh pula. Mereka menjerit dan segera melarikan diri lagi ke dalam gedung. Ma Giok tidak berhenti di situ. Cepat dia menerjang lima orang yang mengangkut barang-barang dan seperti tiga orang tadi, lima orang inipun berpelantingan jatuh ketika Ma Giok menyerang mereka dengan gerakan cepat sekali. Melihat ini, mereka yang masih bertempur meiawan deiapan orang perajurit itu menjadi panik dan kacau karena di antara delapan orang yang dirobohkan Ma Giok itu terdapat tiga orang pemimpin mereka. Maka, setelah deiapan orang itu bangkit dan memberi tanda suitan-suitan, mereka semua lalu berloncatan dan melarikan diri meninggalkan pekarangan rumah gedung itu.
Para perajurit menolong empat orang rekan mereka yang terluka parah, dan sebagian lagi ada yang memberi hormat kepada Ma Giok dan mengucapkan terima kasih. Akan tetapi pada saat itu terdengar jerit tangis dari dalam gedung. Beberapa orang perajurit cepat lari masuk gedung dan tak lama kemudian mereka keluar lagi. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang tampak bingung dan sedih keluar bersama para perajurit tadi. Dari pakaiannya, tahulah Ma Giok bahwa orang itu tentu seorang pembesar pemerintah baru Mancu. Rasa tidak suka memenuhi hati Ma Giok. Sebagai seorang pejuang yang setia kepada kerajaan Beng yang sudah jatuh dan yang memusuhi orang Mancu yang menjajah, tentu saja dia merasa tidak suka kepada pembesar Mancu ini. Agaknya pembesar Mancu itu sudah mendengar laporan para perajurit.
Dia segera memberi hormat kepada Ma Giok dengan mengangkat kedua tangan depan dada "Tai-hiap (pendekar besar), banyak terima kasih atas pertolonganmu. Akan tetapi""
Harap tai-hiap tidak kepalang menolong kami. Putera kami""
Dan isterinya, yang baru sepekan menikah".
"'tadi dilarikan penjahat lewat pintu belakang. Tolonglah, tai-hiap""
Tolong selamatkan mereka"""
Dia memberi hormat berulang-ulang, mengangkat kedua tangan dan memmbungkuk-bungkuk. Mendengar ini, Ma Giok mengerutkan alisnya.
"Aku titip keponakanku di sini!"
Katanya.
"Di mana keponakanmu, tai-hiap? Kalian cepat ikut tai-hiap dan mengawal keponakannya ke sini!! perintah pembesar itu kepada para perajurit. Lima orang perajurit lalu mengikuti Ma Giok yang kembali ke tempat di mana Kui Siang menanti.
Kui Siang girang melihat Ma Giok muncul, akan tetapi ia memandang kepada lima orang perajurit Mancu dengan alis berkerut. Melihat mereka, teringatlah ia akan para perajurit pengawal ayah tirinya. Betapa dahulu para perajurit Mancu bersikap sangat hormat kepadanya karena ia adalah puteri Pangeran Abagan dan isteri Lauw Heng San, komandan dari pasukan Garuda Sakti yang terkenal.
"Kui Siang, engkau ikut mereka dan menunggu aku di rumah pembesar itu. Aku harus mengejar para penjahat yang menculik putera dan mantu sang pembesar itu"
Kata Ma Giok dan tanpa menanti jawaban dia sudah melompat dan berlari cepat mengejar ke arah larinya para penjahat tadi. Karena sudah dipesan Ma Giok, pula karena bagi ia sendiri, para perajurit Mancu tidak mendatangkan kesan buruk karena biasanya mereka itu bersikap baik kepadanya.
Kui Siang mengangguk ketika lima orang itu memberi hormat kepadanya dan mempersilahkan ia menjalankan kudanya menuju ke rumah gedung pembesar itu. Lima orang perajurit itu mengawalnya dan Kui Siang bertanya kepada perajurit yang berjalan di dekat kudanya.
"Siapakah nama pembesar atasan kalian itu? Dan apa pangkatnya?"
Perajurit itu menjawab dengan sikap hormat.
"Beliau adalah seorang pembesar pemungut pajak dan bernama Souw Bu Lai, baru beberapa bulan datang dari kota-raja Peking."
Kui Siang dapat menduga bahwa pembesar yang bernama Souw Bu Lai itu tentu nama aselinya Sabulai, nama Mancu. Setelah tiba di depan gedung itu, pembesar Souw Bu Lai yang bertubuh jangkung kurus bersama isterinya menyambut Kui Siang. Melihat Kui Siang adalah seorang wanita muda yang sedang mengandung, Nyonya Souw lalu membantunya turun dari kuda, dibantu pula oleh dua orang pelayan.
"Marilah, nak, mari istirahat di dalam."
Kata nyonya gemuk itu dengan ramah, sambil mengandeng tangan Kui lang. Juga Souw-taijin (pembesar Souw) memberi hormat dan bersikap ramah.
"Maafkan kami kalau kami mengganggu, sehingga perjalananmu dengan pamanmu menjadi terganggu, toanio (nyonya)."
Kata Souw-taijin. Melihat sikap mereka yang ramah dan horrmat itu, senang juga hati Kui Siang dan iapun ikut memasuki gedung. Karena memang sejak kecil sudah terbiasa bergaul dengan keluarga bangsawan, maka Kui Siang tidak merasa canggung. Melihat sikap Kui Siang yang pandai menyesuaikan diri dan tidak malu-malu, keluarga itu juga merasa suka kepada nyonya muda itu. Ketika Kui Siang diajak makan dan berbincang-bincang di ruangan daJam, keJuarga pembesar itu bertanya tentang keadaan keluarganya. Tentu saja pertanyaan yang wajar ini tidak dapat dihindarkan Kui Siang dan terpaksa ia harus menjawab dan menceritakan riwayatnya.
Akan tetapi, ia tidak mau bercerita tentang ayah tirinya, Pangeran Abagan atau pembesar Thio Ci Gan, juga ia tidak menceritakan bahwa mendiang suaminya adalah seorang perwira yang memimpin pasukan Garuda Sakti yang terkenal.
"Nama saya Bu Kui Siang,"
Ia memperkenalkan diri dengan suara lembut.
"suami saya sudah meninggal dunia terbunuh orang-orang jahat. Pamanku Ma Giok yang kini mengejar penjahat menyelamatkan diriku sehingga tidak ikut terbunuh." "Ah"".., kasihan sekali engkau, nak!"
Kata Nyonya Souw sambil memegang lengan Kui Siang. Menerima sikap mereka yang akrab dan mengasihaninya itu, Kui Siang menjadi terharu dan ia tidak dapat menahan menetesnya beberapa butir air mata.
"Hemm, penjahat-penjahat itu harus dihukum berat!"
Geram Souw-taijin gemas, teringat akan keadaannya sendiri yang diganggu penjahat.
"Mereka sudah dihajar oleh Paman Ma Giok dan sahabat-sahabatnya."
Kata Kui Siang, teringat betapa pangeran Mancu yang menjadi ayah tirinya dan para anak buahnya telah terbunuh oleh mendiang suaminya dan para pendekar, termasuk Ma Giok.
"Dan sekarang, engkau dan pamanmu hendak pergi ke manakah?"
Tanya Nyonya Souw.
"Karena saya tidak mempunyai keluarga lain lagi, Paman Ma Giok mengajak saya untuk pergi ke Thai San, di mana dia akan tinggal."
Kata Kui Siang dengan suara sedih karena ia teringat akan ibu kandungnya yang tidak ketahui ke mana lari atau perginya.
"Sudahlah, toa-nio, harap kuatkan hati dan jangan terlalu menuruti hati sedih, terlalu berduka amat tidak baik bagi kandunganmu."
Kata Souw-taijin.
"Benar, Kui Siang"". eh, kupanggil namamu begitu saja, ya? Aku merasa dekat denganmu seolah engkau anggauta keluarga kami sendiri. Jangan terlalu bersedih.
Kalau engkau sudah tidak mempunyai keluarga lagi, anggaplah kami sebagai keluargamu dan engkau tinggallah saja di sini bersama kami."
Kata Nyonya Souw dengan ramah.
"Wah, usul yang baik sekali itu!"
Kata, Souw-taijin.
"Aku setuju, Kui Siang., Tinggallah di sini bersama kami, kalau tidak selamanya ya sampai engkau melahirkan dan anakmu menjadi besar. Kami tidak tega melihat engkau yang sedang mengandung begini melakukan perjalanan jauh yang amat melelahkan."
Kata-kata ini terdengar wajar, tidak dibuat-buat atau sekedar pemanis bibir belaka. Kui Siang menjadi terharu sekali. Kembali, setelah Pangeran Abagan yang menjadi ayah tirinya, la bertemu dengan pembesar Mancu dan isterinya yang amat baik hati la semakin yakin bahwa tidak semua orang Mancu itu jahat, juga tidak semua orang Han itu baik. Yang jahat adalah para penguasa Mancu, pemerintahnya, yang menjajah tanah air bangsa Han.
"Terima kasih kepada Souw-taijin dan Souw-hujin (Nyonya Souw) berdua. Soal itu harus dibicarakan dengan Paman Ma, karena dialah yang berhak memutuskan apa yang harus saya lakukan. Hanya dialah (Lanjut ke Jilid 07)
Si Tangan Halilintar (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 07
pelindung saya dan saya akan mentaati segala petunjuknya."
Souw-taijin mengangguk-angguk.
"Dia seorang pendekar sakti yang pantas kautaati. Mudah-mudahan dia dapat menyelam atkan putera dan mantu kami."
Putera pembesar Souw yang ditawan gerombolan itu bernama Souw Cln, berusia dua puluh lima tahun, berwajah tampan dan sikapnya lembut, seorang yang telah lulus dalam pelajaran kesusasteraan. Baru sepekan yang lalu Sduw Cin melangsungkan pernikahannya dengan Lui In, isterinya yang baru berusia delapan belas tahun, yang kini ikut pula terculik bersamanya. Pernikahan itu menghebohkan di kalangan para pejabat bangsa Mancu, juga menggegerkan para pejuang karena Souw Cin adalah seorang bangsa Mancu aseli, sedangkan Lui In adalah seorang gadis bangsa Han aseli.
Akan tetapl Souw-taijin yang bijaksana tidak memperdulikan perbedaan. ras ini. Dia menyetujui pernikahan itu karena dia tahu benar bahwa perjodohan itu berdasarkan cinta kasih kedua pihak. Akan tetapi ternyata perkawinan itu mendatangkan akibat buruk, yaitu diserangnya keluarga pembesar Souw pada hari itu, bahkan sepasang pengantin yang baru sepekan menikah itu sempat diculik dan dilarikan gerombolan. Sepasang suami isteri muda itu dilarikan naik ke sebuah bukit kecil yang permukaannya penuh dengan hutan lebat. Baik Souw Cin maupun Lui In, keduanya tidak mampu meronta atau berteriak karena mereka telah lemas oleh totokan dua orang pimpinan gerombolan yang kini memanggul mereka sambil lari bersama kawan-kawannya yang kesemuanya berjumlah tiga puluh orang. Akhirnya mereka tiba di puncak bukit, dalam sebuah hutan cemara. Di tempat terbuka, di mana pohon-pohonnya sudah. ditebang, terdapat beberapa buah rumah darurat terbuat dari kayu dan bambu.
Mereka membentuk lingkaran yang besar dan dua orang tawanan itu diturunkan di tengah-tengah lingkaran. Souw Cin diturunkan dengan kasar, setengah dibanting sehingga pemuda Mancu itu terguling. Akan tetapi Lui In diturunkan perlahan-lahan.
"Kalian berlutut, beri hormat kepada para pimpinan kami!"
Bentak seorang anak buah gerombolan yang tinggi besar dan brewok. Yang disebut pimpinan itu adalah orang yang memondong tawanan tadi, ditambah seorang lagi. Mereka bertiga duduk di sebuah bangku, sedangkan para anak buah berjongkok atau duduk di atas tanah. Di sebelah mereka terdapat pula tiga bangku kosong, yaitu tempat duduk tiga orang pemimpin lain yang tadi dirobohkan Ma Giok dan sekarang berada di dalam rumah untuk mengobati luka-luka mereka.
"Hayo berlutut!"
Bentak lagi si brewok kemuka Souw Cin dan Lui In yang duduk bersimpuh di atas tanah depan para pimpinan itu tidak segera berlutut memberi hormat.
"Kalian ingin disiksa, ya?"
Si brewok yang agaknya menjadi algojo Itu melangkah maju dan menampar muka Souw Cin.
"Plakk! Tubuh Souw Cin terguling dan pipi kirinya membengkak. Lui In menubruknya dan menangis. Akan tetapi mereka berdua tetap tidak mau berlutut, hanya duduk sambil berangkulan. Tiga orang pimpinan lain yang tadi merawat l1.1ka mereka klni mune1.1l dan a tas bangku-bangku yang kosong. Seorang di antara mereka, yang bertubuh. tinggi kurus dan mukanya kuning, melihat algojo hendak menjambak rambut panjang Lui In, cepat mengangkat tangan.
"Hentikan! Aku akan memeriksa mereka!"
Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Algojo itu tidak jadi menyiksa dan melepaskan rambut panjang Lui In.
"Heh, kalian berdua! Tidak tahukah Kalian siapa kami? Siapa aku?"
Bentak pemimpin gerombolan bermuka kuning itu. Souw Cin dan Lui In mengangkat muka memandang ke arah si muka kuning, lalu kepalanya menggeleng sebagai jawaban bahwa mereka tidak mengenal mereka.
"Hemm, orang-orang Mancu memang sombong dan bodoh! Ketahuilah engkau, heh Souw Cin orang Mancu keparat, kami adalah para pejuang, orang-orang Han yang membela kerajaan Beng dan menentang kalian para penjajah Mancu! Dan aku adalah Ui-bin-houw (Harimau Muka Kuning), satu di antara Enam Harimau yang memimpin pasukan pejuang ini!"
Mendengar ucapan itu, Souw Cin menatap dengan muka berubah pucat karena dia maklum bahwa nyawanya tidak akan tertolong lagi. Dia hanya mempererat rangkulannya kepada isterinya siap untuk mati bersama isterinya.
"Dan engkau, Lui In, perempuan rendah dan hina tak tahu malu! Engkau adalah seorang wanita Han, bagaimana mau merendahkan diri diperisteri seorang penjajah Mancu? Engkau pengkhianat! Kalian berdua harus dihukum dan dengarlah keputusan hukuman bagi kalian! Souw Cin, isterimu akan dlperkosa beramai-ramai di depan matamu, baru kaml akan membunuhmu!"
"Tidak....!!"
Souw Cln bangkit berdiri sehingga Lui In yang didekapnya dengan erat itu terbawa berdiri pula.
"Kalau kalian mau membunuhku, lakukanlah! Akan tetapi jangan mengganggu Lui In, Ia tidak bersalah apa-apa dan bukankah ia itu sebangsa dengan kalian?"
Pada saat itu ternyata totokan yang membuat Souw Cin dan Lui In tidak mampu bicara telah habis pengaruhnya dan mereka mampu menggerakkan semua anggauta tubuh dan dapat mengeluarkan suara.
"Ha-ha-ha!!"
Kepala gerombolan nomor satu yang berjuluk Harimau Muka Kuning itu tertawa.
"Justeru kami ingin engkau melihat isterimu diperkosa beramai-ramai itulah sebagian dari hukumanmu!" "Tidak! Tidak, jangan ganggu isteriku!"
Souw Cln memeluk isterinya yang mulai menangis tersedu-sedu. Ui-bin-houw menjulurkan tangannya, menangkap lengan Lui In dan menariknya dengan kuat agar wanita itu terlepas dari rangkulan suaminya.
Akan tetapi suami isteri itu berangkulan sedemikian eratnya sehingga ketika Lui In tertarik, Souw Cin juga ikut terbetot. Agaknya mereka tidak dapat dipisahkan lagi. Si Harimau Muka Kuning marah dan memerintahkan kepada algojonya yang brewok ltu.
"Pisahkan mereka!"
Sang algojo nampaknya gembira dengan perintah ini. Sambil menyeringai lebar dia menghampiri suami isteri itu.
"Heh-heh, kalau perlu kupatah-patahkan semua jari tanganmu, orang Mancu, agar engkau tidak dapat lag! memegangi isterimu. Ha-ha-ha!"
Algojo yang tinggi besar dan brewok itu menggerakkan tangannya yang besar dan panjang, menangkap lengan Souw Cln dan agaknya ia hendak melaksanakan ancamannya, yaitu mematah-matahkan semua jari tangan pemuda Mancu itu. Pada saat itu terdengar bentakan nyaring.
"Lepaskan tanganmu!"
Dan sebuah kerikil menyambar, tepat mengenai tangan algojo yang mencengkeram tangan Souw Cin.
"Takk""
Aduuhh""!"
Algojo itu melepaskan pegangannya dan menyeringai kesakitan. Punggung tangannya terasa nyeri sekali dan ketika dia memandangnya, temyata punggung tangannya itu luka berdarah. Sesosok bayangan berkelebat melewati kepala anak buah gerombalan yang membuat lingkaran, tahu-tahu sudah berhadapan dengan algojo itu. Sang algojo terkejut akan tetapi juga marah sekali. Dengan mata melotot lebar menghardik.
"Kamu yang menyambit tanganku tadi?"
Penyambit yang kini masuk ke dalam lingkaran itu adalah Ma Giok. Dia mencari dan mengejar para gerombolan dan dengan mudah dapat menemukan mereka di puncak bukit itu dan menolong Souw Cin yang terancam algojo itu.
"Benar, aku yang melakukannya!"
Kata Ma Giok dengan Iantang.
"Jahanam, engkau sudah bosan hidup!"
Teriak algojo itu yang cepat mencabut sebatang golok besar dari pinggangnya dan tanpa banyak kata lagi dia menyerang dengan sambaran goloknya ke arah leher Ma Glok.
Agaknya dia akan memenggal leher Ma Giok dengan sekali sabetan. Akan tetapi dengan mudah Ma Giok menundukkan kepalanya sehingga golok itu menyambar lewat di atas kepalanya dan sebelum algojo itu tahu apa yang terjadi, tiba-tiba saja dia sudah diserang seperti sambaran kilat.
"Wuutt""
Krekk!"
Tulang lengan kanannya patah dan golok itu terlepas dan tangan kanan Ma Giok menyusul ke arah tengkuknya.
"Desss""!"
Tubuh aIgojo yang tinggi besar itu terpelanting dan dia tidak mampu bangun kembali.! Melihat ini, enam orang pimpinan yang disebut Enam Harimau itu sudah berloncatan bangkit. Mereka segera mengenal Ma Giok yang tadi membuat mereka melarikan diri. Enam orang pemimpin gerombolan itu menjadi marah sekali. Mereka sudah mencabut golok mereka dan menyerang sambil mengepung Ma Giok. Pendekar ini sudah pula mencabut sebatang pedang dari punggungnya dan begitu dia menggerakkan pedang itu, tampak gulungan sinar berkelebatan menyambut serangan enam batang golok itu.
Terdengar suara berkerontangan berulang-ulang disusul patahnya golok dan robohnya enam orang pimpinan gerombolan, lima orang di antaranya terluka parah, hanya seorang saja yang terluka ringan pada pundaknya karena dia memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada tingkat teman-temannya. Dia adalah Ui-bin-houw yang terluka pundak kanannya. Ma Giok sudah menyarungkan pedangnya kembali dan dia bertolak pinggang, membentak dengan suara nyaring berpengaruh.
"Hayo, siapa lagi yang hendak mencari kematian! Aku, Lam-liong (Naga Selatan) Ma Giok yang akan mengakhiri kejahatan kalian!" "Lam-liong"".!!??"
Banyak suara menyebut julukan ini dan mereka nampak gentar. Bahkan Ui-bin-houw segera berlutut, diturut oleh semua anak buahnya.
"Maafkan kami, tai-hiap. Karena tidak mengenal, maka kami berani lancang menyerang tai-hiap. Akan tetapi, kalau tai-hiap benar Lam-liong, kenapa taihiap membela jahanam Mancu ini?
Dia adalah Souw Cin, putera Souw-taijin, pembesar Mancu yang sudah sepatutnya kita basmi! Bukankah tai-hiap terkenal sebagai pemimpin para pejuang? Kami juga pejuang yang menentang penjajah Mancu, tai-hiap!"
Ma Giok mengerutkan alisnya yang hitam tebal.
"Hemm, pejuang macam apa kalian ini? Merampok harta, menculik wanita, semua untuk kesenangan kalian. Pejuang sejati tidak melakukan, kekejian seperti ini. Kalian hanya segerombolan perampok keji dan jahat yang menggunakan kata perjuangan sebagai kedok! Orang-orang macam kalian ini bahkan mencemarkan nama dan kehormatan para pejuang sejati. Penjahat-penjahat macam kalian sudah sepatutnya dibasmi habis!"
Semua anggauta gerombolan menjadi pucat ketakutan. Ui-bin-houw cepat berlutut dan memberi hormat.
"Ampun, taihiap. Ampunkan kami yang bodoh. Mulai saat ini kami berjanji akan menjadi pejuang-pejuang yang baik!"
Ma Giok sudah terbiasa dengan janji orang-orang macam ini.
Dalam perjalanannya sebagai pejuang yang sudah bertahun-tahun berjuang menentang penjajah semenjak bangsa Mancu berkuasa, dia sudah bertemu dengan banyak gerombolan yang membonceng nama perjuangan untuk melakukan kejahatan demi kesenangan mereka sendiri. Dia tersenyum mengejek dan berkata singkat,"
Kita sama lihat saja nanti!"
Setelah berkata demikian, dia memberi isyarat kepada Souw Cin dan Lui In yang masih saling berangkulan.
"Mari, kuantar kalian pulang."
Suami isteri in1 merasa lega sekali. Sama sekali mereka tidak menyangka akan dapat lolos demikian mudahnya dari ancaman maut. Mereka cepat bergandeng tangan pergi meninggalkan tempat itu, diikuti oleh Ma Giok yang menjaga agar mereka tidak diganggu atau diserang. Akan tetapi gerombolan itu agaknya sudah kehilangan nyali mereka dan tidak berani mengganggu Naga Selatan yang amat lihai itu. Tentu saja kedatangan mereka bertiga disambut dengan keharuan dan kegembiraan.
Souw-taijin menyuruh puteranya dan mantunya untuk berlutut di depan Ma Giok dan menghaturkan terima kasih. Dia sendiri bersama isterinya berulang kali menjura dan mengucapkan terima kasih. Ma Giok cepat mengangkat bangun suami isteri muda itu., Lalu dia memandang kepada Kui Siang yang ikut menyambut dengan girang.
"Kui Siang, mari kita lanjutkan perjalanan."
Kata Ma Giok. Kui Siang mengangguk, akan tetapi Souw-taijin dan isterinya cepat menjura kepada Ma Giok dan berkata.
"Ma-taihiap, kami rnengharap dengan sangat agar taihiap dan Kui Siang tinggal saja di sini. Kami akan merasa senang sekali."
Kata pembesar Mancu itu. Ma Giok menggeleng kepala keraskeras. Bagaimana mungkin dia tinggal di rumah seorang pembesar Mancu? Dia yang biasanya memimpin para pejuang yang menentang pemerintah Mancu! "Tidak, Souw-taijin. Saya harus pergi melanjutkan perjalanan sekarang juga."
Katanya.
Tiba-tiba Nyonya Souw berkata.
"Kalau tai-hiap tidak bisa, biarkanlah Kui Siang tinggal di sini, taihiap. Kami merasa kasihan kepadanya. Kandungannya besar dan perjalanan jauh akan buruk sekali terhadap kesehatannya. Setidaknya biarkan ia sampai melahirkan anaknya di sini. Ma Giok hendak menolak, akan tetapi dia teringat akan keadaan Kui Siang. Bagaimanapun juga, dia tidak berhak memutuskan dan diapun maklum bahwa apa yang dikatakan nyonya pembesar itu benar. Kui Siang akan menderita kalau harus melakukan perjalanan jauh dengan kandungan yang telah besar. Maka, dia lalu memandang kepada Kui Siang dan bertanya.
"Bagaimana pendapatmu, Kui Siang?"
Wanita itu balas memandang dan tersenyum, senyum manis penuh kepasrahan kepada pendekar itu, lalu berkata lirih.
"Aku hanya menurut dan menaati apa yang kauputuskan, paman. Terserah kepada keputusanmu. Ma Giok menghela napas lega.
Biarpun dia tidak akan menghalangi kalau Kui Siang memilih tinggal di rumah pembesar Mancu itu, namun di dalam hatinya dia akan merasa kecewa.
"Nah, Souw-taijin dan Souw-hujin, kami berdua memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sekarang juga dan terima kasih atas kebaikan hati ji-wi (kalian berdua}."
Souw-taijin dan isterinya merasa kecewa sekali, akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat memaksa kalau kedua orang itu memang bermaksud untuk melanjutkan perjalanan. Setelah menghela napas panjang, Souw Bu Lai berkata.
"Kalau ji-wi (kalian berdua) hendak melanjutkan perjalanan, kami tidak dapat menahan. Akan tetapi, kulihat kuda tunggangan Kui Siang sudah lemah karena kelelahan. Karena itu terimalah sumbangan dua ekor kuda dari kami agar ji-wi dapat melanjutkan perjalanan dengan lancar. Kami harap jiwi tidak akan menolak pemberian kami ini karena hal itu akan membuat hati kami menderita sekali."
Karena khawatir kalau-kalau Ma Giok yang pemimpin pejuang itu akan berkeras menolak, Kui Siang mendahului.
"Baiklah, kami terima pemberian tai-jin dengan rasa syukur dan terima kasih. Akan tetapi tai-jin sekeluarga harap berhati-hati karena banyak orang jahat yang dapat mengganggu tai-jin." "Jangan khawatir, Kui Siang. Kami telah minta bala bantuan dari kota Jiangli dan sebentar lagi tentu datang sepasukan perajurit yang akan bertugas sebagai penjaga keamanan di sini."
Ma Giok tentu saja tidak dapat menolak lagi pemberian itu karena Kui Siang sudah mendahuluinya menerima. Dua ekor kuda yang besar dan kuat diberikan kepada mereka, bahkan Souw-taijin membekali dengan sekantung emas yang diselipkan di sela kuda. Setelah berpamit, berangkatlah Ma Giok dan Kul Siang, melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Gunung Thai-san. Dua ekor kuda itu ber jalan perlahan di jalan sunyi itu. Sudah tiga hari mereka meninggalkan dusun Lian-ki-jing.
Kesunyian itu membuat Kui Siang mendapat kesempatan untuk mengeluarkan gagasan yang membuat ia bingung semenjak ia meninggalkan keluarga Souw di Lian-ki-jing itu.
"Paman Ma, aku merasa heran sekali dan tidak mengerti"""
Ma Giok yang menunggang kuda di sebelah kiri Kui Siang, menoleh dan memandang wanita itu sambil tersenyum.
"Apa yang kauherankan dan tidak kau mengerti itu?"
Kui Siang memandang lagi ke depan dan menjalankan kudanya perlahan-lahan.
"Ketika aku masih menjadi puteri Pangeran Abagan yang. menyayangku, aku menganggap bahwa dia seorang yang baik dan para pejuang yang kuanggap sebagai penjahat dan pengacau adalah orang-orang jahat. Kemudian, setelah terjadi keributan yang mengakibatkan tewasnya suamiku, aku melakukan perjalanan bersamamu, aku sering mendengar paman bercerita ten tang para pejuang yang gagah perkasa, pembela nusa bangsa yang budiman dan tentang orang-orang Mancu yang menjadi pembesar sebagai orang-orang jahat.
Aku mulai merasa kagum kepada para pendekar pejuang dan mulai merasa benci kepada orang-orang Mancu. Akan tetapi apa yang kualami semenjak melarikan diri dari gedung Pangeran Abagan, aku melihat kenyataan yang sungguh amat berlawanan dengan apa yang kau ceritakan, paman. Aku menjadi bingung dan ragu. Beberapa kali aku bertemu dengan para pejuang yang merampok dan jahat, suka memperkosa wanita. Sebaliknya, bukan hanya Pangeran Abagan yang baik hati, melainkan juga Pembesar Souw Bu Lai itupun seorang Mancu yang baik hati."
Wanita itu berhenti bicara dan menoleh, memandang kepada Ma Giok dengan sinar mata bertanya. Sebelum menjawab Ma Giok menarik napas panjang.
"Akupun seringkali melihat kenyataan yang memuakkan dan membuat aku marah, Kui Siang. Mereka yang jahat itu sebetulnya bukan pejuang sejati, melainkan pejuang palsu, hanya. orang-orang jahat yang berkedok perjuang untuk menutupi kejahatan mereka.
Mereka itu adalah orang-orang yang mencemarkan kehormatan para pejuang sejati.
"Dan paman tentu akan menentang orang-orang jahat yang menggunakan nama pejuang itu, bukan?" "Tentu saja! Mereka orang jahat dan sebagai seorang pendekar aku harus membela kebenaran dan keadilan, menentang yang jahat dan membela yang benar namun lemah tertindas!" "Dan engkau juga menentang pembesar Mancu, walaupun pembesar itu baik hati?"
Ma Giok meragu, lalu menghela napas kembali.
"Di sini kadang terjadi pertentangan batin dalam hatiku, Kui Siang. Sebagai seorang patriot pejuang pembela tanah air dan bangsa, aku harus menentang setiap orang Mancu karena mereka menjajah tanah air kita. Akan tetapi sebagai seorang pendekar, aku harus membela yang benar dan menentang setiap orang penjahat, tidak peduli bangsa dan dari golongan apa penjahat itu. Seperti Souw-taijin itu, kalau aku ingat bahwa dia seorang pembesar Mancu, seharusnya aku menentangnya.
Akan tetapi di lain pihak aku melihat dia seorang yang baik hati dan diganggu oleh orang-orang jahat, maka aku harus membela dan menolongnya. Aku sendiri menjadi bingung kalau menghadapi kenyataan seperti itu."
Kui Siang mengerutkan alisnya yang keci1 panjang dan hitam. Ia ikut memikirkan persoalan yang dihadapi Ma Giok. Kemudian ia berkata.
"Aku mempunyai pendapat dan gagasan, paman. Akan tetapi sebelum kukatakan itu, kuharap lebih dulu agar paman suka memaafkan kelancanganku ini."
Ma Giok tersenyum.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kui Siang. Dan sama sekali tidak lancang kalau engkau mempunyai gagasan. Mungkin pendapatmu itu dapat menjadi bahan pertimbangan untuk aku. Katakanlah bagaimana pendapatmu dan apa gagasanmu itu?" "Begini, paman. Bangsa Mancu menjatuhkan kerajaan Beng dengan perang. Kalau para pejuang hendak mengusir penjajah Mancu, tentu harus melalui periempuran, berarti perang yang melibatkan banyak orang.
Karena ltu, seyogyanya paman dapat memisahkan antara tugas patriot yang berjuang dan tugas pendekar yang membela kebenaran dan keadilan. Untuk berperang mengusir penjajah, paman membutuhkan pasukan yang besar dan kuat. Akan tetapi kalau paman berada seorang diri seperti sekarang inl, tidakkah lebih baik kalau paman menempatkan diri sebagai seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan? Paman dapat menentang siapa saja yang jahat, baik dia orang Han, orang Mancu, atau orang berbangsa apapun juga. Dan paman membela mereka yang benar akan tetapi lemah tertindas, juga tidak perduli orang itu dari golongan manapun. Paman sekarang menjadi pendekar. Kelak, kalau saatnya tiba dan dapat dihimpun pasukan besar untuk memerangi penjajah, baru paman sebagai pahlawan patriot. Bagaimana pendapat paman?""
Mendengar ucapan itu, Ma Giok mengerutkan alisnya dan matanya setengah dipejamkan, dia berpikir keras dan menimbang-nimbang.
Akhirnya dia membuka matanya dan mengangguk-angguk, lalu menoleh kepada Kui Siang dan berkata lantang bernada gembira.
"Bagus! Tepat sekali pendapat dan gagasanmu itu, Kui Siang. Tadinya ada juga pikiran seperti itu menyelinap dalam benakku, akan tetapi aku masih ragu-ragu. Sekarang, mendengar pendapatmu, aku menjadi lega dan hatiku menjadi tetap. Baik, mulai saat ini aku akan berpikir dan bertindak sebagai pendekar dan kelak, kalau saatnya tiba, kalau ada pasukan besar dan kuat yang siap bertempur, baru aku akan bertindak sebagai seorang pejuang." "Terima kasih kalau paman setuju dengan pendapatku, aku merasa girang sekali!"
Kata Kui Siang. Wanita itu semakin kagum kepada Ma Giok yang ternyata adalah seorang pendekar yang sakti, berwibawa, dan dapat menerima pendapat orang lain yang berarti bahwa dia memiliki kerendahan hati. Juga selama dalam perjalanan ini Ma Giok selalu bersikap ramah, sabar, penuh pengertian dan selalu menjaganya dengan penuh perhatian.
Diam-diam ia merasa berhutang budi dan berterima kasih sekaIi. Kalau tidak ada perlindungan Ma Giok, tentu ia sudah celaka dan bukan mustahil kalau sekarang ia telah tewas. Perjalanan mereka kini semakin lambat. Kandungan Kui Siang sudah tua dan hal ini menghalangi ia me!akukan perjalanan cepat. Kuda yang ditungganginya hanya berjalan perlahan saja. Ma Giok tidak memperkenankan ia membedal kudanya, karena kalau kudanya berlari congklang, tentu tubuh Kui Siang akan terguncang-guncang dan hal ini akan berbahaya sekali bagi kandungannya. Pada suatu senja mereka tiba di sebuah hutan. Ma Giok menghentikan perjalanan, lalu melompat naik ke atas pohon yang paling tinggi, melihat ke sekelilingnya. Dia merasa girang melihat sebuah dusun tak jauh di luar hutan, maka cepat dia melompat turun kembali.
"Di luar hutan ini, tidak terlalu jauh, terdapat sebuah dusun. Aku melihat banyak atap rumah, menunjukkan bahwa dusun itu cukup besar.
Sebelum gelap kita akan dapat tiba di sana. Mari kita lanjutkan perjalanan ke dusun itu, Kui Siang."
Akan tetapi, tiba-tiba dua ekor kuda tunggangan mereka meringkik. Ma Giok cepat me lompat turun karena melihat kuda tunggangan Kui Siang mengangkat kedua kaki depan ke atas. Dia khawatir kalau Kui Siang terjatuh. Dengan sigap dia menangkap kendali di moncong kuda sehingga kuda itu tenang kembali. Kui Siang juga segera turun dari atas punggung kuda.
"Ada apakah dengan kuda kita?"
Tanya wan ita itu.
"Mereka tentu mencium bahaya, entah ada. harimau atau ada orang."
Kata Ma Giok dan dengan penuh kewaspadaan dia berdiri tegak dalam keadaan siap menghadapi bahaya. Tak lama kemudian, telinganya mendengar jejak langkah orang-orang menghampiri tempat itu. Kemudian muncullah dua belas orang, dipimpin oleh seorang laki-laki bermuka hitam yang bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat. Dia tampak.gagah perkasa dan usianya sekitar tiga puluh lima tahun.
Di punggungnya terselip senjata siang-kiam (sepasang pedang). Ketika Ma Giok memperhatikan, tahulah dia bahwa dua belas orang itu adalah orang-orang yang pernah mengeroyoknya ketika mereka menyerbu rumah Pembesar Souw di dusun Lian-ki-jing tempo hari. Akan tetapi yang memimpin mereka ini adalah seorang. yang belum pernah dilihatnya. Dua belas orang itu menuding ke arah Ma Giok dan berkata kepada laki-laki muka hitam yang memimpin mereka.
"lnilah orangnya, Can-taihiap (pendekar Can)."
Pria muda itu bernama Can Ok dan dia terkenal sebagai seorang tokoh kangouw yang membenci dan memusuhi penjajah Mancu, walaupun ia juga dikenal sebagai seorang tokoh sesat yang tidak pantang melakukan bermacam kejahatan. Mendengar dari gerombolan itu betapa Ma Giok yang tadinya dikenal sebagai pimpinan para pejuang menentang Mancu ini, kini malah membela Pembesar Souw, seorang Mancu, dia menjadi marah dan bersama dua belas orang anggauta gerombolan itu dia mencari dan mengejar Ma Giok.
Pada sore hari itu rombongan ini berhasil menemukan Ma Giok dan Kui Siang di dalam hutan itu. Can Ok melangkah maju menghadapi Ma Giok dan sejenak kedua orang itu saling pandang dengan penuh perhatian seperti dua ekor ayam jago hendak berlaga.
"Hemm, jadi inilah yang bernama Ma Giok berjuluk Lam-liong, yang tadinya terkenal sebagai seorang pejuang akan tetapi sekarang menjadi pengkhianat dan membela penjajah Mancu?"Suara Can Ok besar dan lantang, telunjuk kirinya menuding ke arah muka Ma Giok dan tangan kanannya bertolak pinggang. Ma Giok tersenyum mengejek. Orang ini memimpin para anggauta gerombolan penjahat itu, tentu bukan orang baik-baik dan hal ini kentara pula dad sikapnya yang sombong.
"Benar, aku Ma Giok Siapakah engkau, sobat dan apa maksud kalian menghadang perjalananku?" "Pengkhianat! Ketahuilah bahwa aku Can Ok yang terkenal sebagai tokoh pejuang yang selalu menentang penjajah Mancu.
Guruku adalah Hui-kiam Lo-mo (Iblis Tua Pedang Terbang) yang juga seorang pejuang kenamaan dan datuk Sungai Huang-ho! Karena engkau telah membunuh dan melukai para, pejuang, membela pembesar Mancu, maka berarti engkau. menjadi pengkhianat dan aku datang untuk membunuh pengkhianat bangsa seperti engkau, Lam-liong Ma Giok!"
Setelah berkata demikian, Can Ok mencabut sepasang pedang dari punggungnya, menyilangkan sepasang pedang mengkilap itu di de pan dada, siap untuk menyerang. Ma Giok tersenyum.
"Can Ok, kalau engkau sudah tahu bahwa gerombolan yang kau pimpin sekarang ini adalah. gerombolan perampok dan penculik wanita, maka berarti engkau sarna saja dengan mereka, yaitu penjahat keji yang berkedok pejuang! Tidak perlu kita bica'rakan tentang perjuangan karena orang-orang macam kalian tidak akan mengerti. Sekarang kalian adalah penjahat-penjahat yang berhadapan dengan aku sebagai seorang pendekar yang tugasnya menentang kejahatan dan membasmi para penjahat!"
"Keparat sombong! Mampuslah!"
Can Ok mengeluarkan bentakan nyaring dan ia sudah menyerang dengan sepasang pedangnya, pedang kiri menusuk ke arah dada disusul pedang Kanan menyambar untuk memenggal leher Ma Giok. Akan tetapi pendekar ini melompat ke belakang, sehingga dua serangan itu tidak menyentuh dirinya. Ketika Can Ok mengejar ke depan, Ma Giok sudah mencabut pedangnya. Kembali Can Ok menyerang dengansepasang pedangnya dengan jurus Siang-liong-sin-yauw (Sepasang Naga Memutar Tubuh). Pedangnya menyambar dari Kanan kiri dengan cepat dan dahsyat. Melihat gerakan ini, maklumlah Ma Giok bahwa lawannya ini cukup hebat ilmu pedangnya. Dia memang sudah lama mendengar nama guru pemuda ini, yaitu Hui-kiam Lo-mo. yang terkenal sebagai datuk Sungai Huang-ho (Sungai Kuning) dan Hhai sekali ilmu pedangnya maka dijuluki lblis Tua Pedang Terbang.
Dengan hati-hati namun tidak kalah cepatnya dia menggerakkan pedangnya sehingga tampak sinar pedangnya bergulung-gulung dan berkelebatan ke kanan kiri menangkis serangan lawan.
"Trangg".. cringgg""!"
Tampak bunga api berpijar ketika sepasang pedang itu ditangkis dan Can Ok terkejut bukan main ketika merasa betapa kedua tangannya yang memegang pedang tergetar hebat dan terasa panas. Tahulah dia bahwa Lam-Liong Ma Giok Si Naga Selatan itu memiliki tenaga sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat, jauh lebih kuat daripada tenaganya sendiri. Akan tetapi dasar dia memiliki watak tinggi hati dan mengagulkan kepandaian sendiri, Can Ok tidak menjadi gentar dan rnenyerang lebih hebat lagi. Ma Giok juga mengeluarkan ilmunya dan selain rnengelak dan menangkis, diapun membalas serangan dan setelah lewat belasan jurus, rnulailah Can Ok terdesak hebat. Gulungan sinar pedang Ma Giok sernakin melebar dan dua gulungan sinar pedang Can Ok menyempit dan terhimpit.
Biarpun dia memegang dua batang pedang, tetap saja Can Ok kini hanya mampu memutar sepasang pedangnya untuk menangkis dan melindungi tubuhnya, sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Sementara itu, cuaca mulai menjadi gelap, malam menjelang datang menggantikan cuaca senja yang remang. Karena lawannya cukup tangguh sehingga Ma Giok harus mencurahkan semua perhatiannya untuk merobohkannya dan kini sudah mampu mendesaknya, maka pendekar itu kurang memperhatikan Kui Siang yang masih berdiri di bawah pohon dan menonton dengan hati khawatir. Tiba-tiba Ma Giok mendengar Kui Siang menjerit. Dia terkejut sekali dan cepat melompat ke belakang menjauhi Can Ok lalu menoleh ke arah Kui Siang lagi. Alangkah kagetnya melihat tempat itu kosong. Kui Siang tidak lagi berada di situ, dan dia melihat dia di antara selusln orang tadi melarikan dIri sambil memegangi kedua lengan Kui Siang.
Melihat ini, Ma Giok mengeluarkan seruan nyaring melengking dan tubuhnya melesat kedepan, mengejar dua, orang yang melarikan Kui Siang itu. Akan tetapi sepuluh orang anggauta gerombolan menghadangnya dan menye- rangnya dengan golok mereka. Juga Can Ok mengejar dan menyerang dengan sepasang pedangnya. Ma Giok marah bukan main. Pedangnya berkelebat menyambar-nyambar, sinarnya bergulung-gulung seperti sekor naga mengamuk. Terdengar teriakan-teriakan dan dalam waktu beberapa detik saja empat orang anggauta gerombolan sudah roboh mandi darah menjadi korban pedang di tangan Ma Giok! Kemarahan Ma Giok kini dltujukan kepada Can Ok yang dianggapnya menjadi sebab terculiknya Kui Siang, maka sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatannya, dia menyerang Can Ok. Can Ok mencoba menangkls dengan sepasang pedangnya, akan tetapi kaki kiri Ma Giok mencuat dan Can Ok berteriak, roboh tertendang.
Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo