Wanita Iblis Pencabut Nyawa 5
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
"Ah, patok-patokmu ternyata terlampau lemah!"
Ling Ling berkata dan sebagai lanjutan kata-kata ini, ia mulai menyerang dengan sebuah lompatan tinggi. Kedua tangannya diulur kearah pundak Pek Thian Ji yang cepat melompat ke patok lain. Kini keduanya harus mengerahkan tenaga ginkang seluruhnya karena untuk bertempur sambil berlompatan dari patok ke patok yang jauhnya enam kaki, bukan hal yang amat mudah dilakukan. Pek Thian Ji menjadi marah sekali. Ia maklum bahwa gadis muda yang cantik jelita ini lihai sekali. Demonstrasi tenaga Jian-kin-cui tadi saja sudah menunjukkan betapa hebatnya tenaga lweekang dari gadis itu dan kini setelah patok-patoknya diratakan tinggal separohnya, maka rencananya barisan patok ini menjadi gagal.
Mereka kini berdiri di atas patok-patok yang sama sekali asing bagi keduanya dan boleh dibilang keadaan mereka menjadi sama, hanya mengandalkan kepandaian dan ginkang. Akan tetapi Pek Thian Ji tidak takut dan ia membalas dengan serangan hebat pula. Pertandingan ini benar-benar seru dan indah ditonton. Mereka tak dapat menyerang sambil berdiri di atas patok karena jarak mereka satu dengan yang lain terlalu jauh. Maka untuk melakukan serangan, mereka melompat dan saling serang di tengah udara, pada saat mereka belum turun kembali ke atas patok lain. Demikianlah mereka saling sambar bagaikan sepasang burung berkelahi, mengandalkan ginkang sepenuhnya, karena sekali saja kaki meleset menginjak patok, berarti yang terpeleset ini akan dianggap kalah.
Ilmu silat Ling Ling masih lebih tinggi dari pada Pek Thian Ji sungguhpun ginkang mereka hampir sama. Sedikit saja bedanya, yakni bahwa Ling Ling lebih lincah dan gesit, hal ini karena memang tubuhnya lebih lemas dan ringan. Ling Ling mengeluarkan ilmu silat Kim-gan-liong-na-hoat, yakni ilmu serangan yang dilakukan dengan pukulan, cengkeraman, dan tangkapan. Pada saat Pek Thian Ji melompat dan menerkamnya, Ling Ling membarenginya dan melompat pula. Dua tubuh bertemu di udara, dan Ling Ling berhasil mencengkeram pergelangan tangan Pek Thian Ji yang memukul tadi. Pendeta itu merasa betapa lengannya sakit sekali dan ketika ia mengerahkan tenaga untuk membetot lengannya, Ling Ling sudah mendahuluinya turun dan berdiri di atas sebuah patok,
Kemudian gadis ini berseru keras sambil melontarkan tubuh pendeta yang tangannya masih dipegangnya itu keluar dari lingkungan patok. Saking beratnya tubuh pendeta yang mengerahkan lweekangnya, maka patok yang diinjak oleh Ling Ling sampai melesak ke dalam dan rata dengan tanah, akan tetapi tubuh pendeta itu terlempar ke atas dan agaknya akan jatuh di atas tanah. Bukan main hebatnya kepandaian meringankan tubuh dari Pek Thian Ji. Biarpun tubuhnya sudah terlempar dan melayang ke atas, namun terdengar ia memekik keras dan tahu-tahu tubuhnya itu sudah berpoksai (berjungkir balik) di udara dan dengan gerakan kaki tangannya yang dikembangkan seperti sayap burung, ia dapat mengatur tubuhnya dan kini ia melayang kembali ke bawah, tepat di atas patok yang paling pinggir.
Kalau Pek Thian Ji merasa amat terkejut dan keringat dingin membasahi jidatnya, adalah Ling Ling sampai mengeluarkan seruan memuji saking kagumnya menyaksikan pertunjukkan ginkang yang benar-benar hebat ini. Diam-diam ia mengakui bahwa ilmu ginkang dari Pek Thian Ji ini hebat sekali. Akan tetapi, gadis ini tidak mau memberi kesempatan kepada lawannya dan sebelum pendeta itu dapat melompat ke tengah, ia telah mendahuluinya dan menyerang sambil mengeluarkan serangan-serangan yang paling lihai dari Kim-gan-liong-na-hoat. Pek Thian Ji berdiri di patok paling pinggir, tentu saja sukar baginya untuk mempertahankan diri lagi menghadapi serangan hebat ini dan untuk menjaga dirinya agar jangan sampai terkena cengkeram gadis yang lihai seperti iblis ini, terpaksa ia melompat ke belakang, turun di atas tanah dan dengan jujur ia mengaku sambil menjura.
"Kau lihai sekali, nona. Silakan terus masuk ke dalam!"
Ling Ling menjadi lega dan bersama ibunya ia berjalan masuk ke dalam. Ia mulai merasa khawatir dan diam-diam ia mengakui kelihaian para pendeta Pek-sim-kauw ini. Baru dua orang saja sudah sedemikian sukar dirobohkan, apalagi masih ada tiga orang lain yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi. Pek Yang Ji, murid ketiga dari Liang Gi Cinjin, pernah menghadapi Ling Ling, maka ahli lweekang ini maklum bahwa dalam hal ilmu silat atau ilmu pedang, sukarlah baginya untuk dapat menangkan iblis wanita ini. Oleh karena itu, ia telah bersiap menghadapi gadis itu dalam pertandingan tenaga lweekang. Ia telah berdiri di atas sebuah batu besar yang berat dan keras, sedangkan pada jarak satu tombak di depannya, terdapat sebuah batu yang sama besarnya. Ia menyambut kedatangan Ling Ling sambil tersenyum dan berkata langsung.
"Nona, aku telah tahu betapa kau mengalahkan kedua suteku. Karena semenjak dulu aku tidak suka bertempur yang membahayakan jiwa orang, maka marilah kau mencoba mendorongku roboh dari batu ini. Kita saling memukul dengan hawa pukulan saja dan siapa yang turun dari batu, ia terhitung kalah!"
Ling Ling dan ibunya maklum akan kelihaian pendeta ini, karena pernah Ling Ling merasakan pukulan Thai-lek-kim-kong-jiu dari Pek Yang Ji. Ia maklum bahwa pendeta ini tentu akan mempergunakan ilmu pukulannya ini untuk merobohkannya dari atas batu. Pukulan Thai-lek-kim-kong-jiu yang mengandung tenaga lweekang luar biasa besarnya itu tidak perlu memukul dari dekat. Tak usah kepalan tangan mengenai tubuh orang, baru mendorong dengan angin pukulan saja sudah dapat melukai tubuh orang bagian dalam. Maka dapat dibayangkan betapa berbahayanya menghadapi angin pukulan ini dari jarak satu tombak, dengan berdiri di atas sebuah batu. Akan tetapi, sebagai seorang gadis gagah, Ling Ling tidak mungkin mundur atau menolak.
"Ling Ling, biarlah aku yang maju menghadapinya!"
Kata Sui Giok kepada puterinya, karena nyonya ini khawatir kalau-kalau puterinya akan terluka oleh pukulan lawan yang lihai. Dalam hal ilmu silat dan ilmu pedang, memang Sui Giok sudah tertinggal jauh oleh puterinya, juga dalam hal ginkang, ia sudah kalah setingkat. Akan tetapi, tenaga lweekang nyonya ini agaknya tidak berada di sebelah bawah tingkat Ling Ling. Betapapun juga, tentu saja hati Ling Ling tidak mengijinkan ibunya yang menghadapi lawan tangguh ini, akan tetapi, untuk menyatakan kekhawatirannya dihadapan lawan, ia merasa malu. Ia lalu mendekati ibunya dan berbisik perlahan.
"Ibu, aku takut kau akan terpukul dan luka!"
Akan tetapi Sui Giok tersenyum dan berbisik kembali,
"Jangan khawatir, aku mempunyai akal untuk mengalahkannya!"
Sebelum Ling Ling dapat membantah, nyonya yang cantik itu telah melompat ke atas batu menghadapi Pek Yang Ji. Pendeta ini tertawa bergelak dan bertanya,
"Tidak tahu apakah toanio ini Toat-beng Mo-li ataukah Cialing Mo-li?"
"Apa sajapun boleh! Bagiku lebih baik disebut iblis daripada disebut seorang yang hanya kedoknya saja nampak sebagai pendeta namun hatinya busuk. Nah, silahkan kau mencoba untuk menurunkan aku dari batu ini!"
Pek Yang Ji tertawa mengejek, lalu ia menggerak-gerakkan kedua lengannya ke atas dan ke bawah, mengumpulkan tenaga lweekang. Tulang-tulangnya sampai berbunyi berkerotokan dan kedua lengannya nampak berkilat penuh peluh, tanda bahwa seluruh tenaga telah berkumpul di kedua lengannya. Kemudian, ia memandang dengan mata mencorong ke arah Sui Giok, lalu mendorongkan kedua lengannya dengan sekuat tenaga, memukul dengan tenaga Thai-lek-kim-kong-jiu.
Hawa pukulan yang luar biasa kuatnya menyambar ke arah dada Sui Giok, akan tetapi nyonya ini cepat berjongkok di atas batu dan berbareng mengirim dorongan dengan kedua lengannya ke arah lawan itu. Ia bergerak dengan ilmu pukulan "Dewi Mendorong Batang pohon", mengumpulkan tenaga lweekangnya untuk mendorong roboh lawannya. Inilah yang ia katakan sebagai akalnya untuk mengalahkan lawan. Benar-benar Pek Yang Ji tidak mengira akan kecerdikan nyonya ini dan hampir saja ia terkena tipuan ini. Hawa pukulannya sendiri tidak mengenai sasaran, sebaliknya pukulan Sui Giok dengan tepat menyambar dari bawah ke arah lambungnya. Akan tetapi, ahli lweekeh ini mengerahkan tenaganya dan ketika hawa pukulan menyambar, tubuhnya hanya menjadi miring saja, tidak sampai terdorong roboh. Sui Giok terkejut sekali.
Tadinya ia merasa girang karena akalnya telah berhasil, akan tetapi siapa kira lawannya demikian kuat sehingga dapat mempertahankan pukulannya yang dapat merobohkan sebatang pohon tadi. Kembali Pek Yang Ji memukul, kini ke arah perut Sui Giok sehingga nyonya ini cepat melompat ke atas menghindarkan angin pukulan dan membalas dengan pukulan dari atas. Berkali-kali mereka main pukulan, dan kalau Sui Giok selalu berusaha mengelak, adalah pendeta itu dengan beraninya menerima hawa pukulan lawan tanpa terpukul roboh. Bahkan ia lalu mengirimkan serangan pukulan bertubi-tubi sehingga sukar bagi Sui Giok untuk mengelak di atas batu yang tidak berapa luas itu. Hampir saja nyonya ini terpukul roboh dan hanya masih dapat menjaga keseimbangan badannya dengan melancarkan hawa pukulan dari samping untuk menolak dan mengurangi tenaga pukulan lawan.
Ling Ling memandang pertandingan ini dengan wajah pucat. Ia merasa pasti bahwa kali ini ibunya akan kalah, maka ia memandang dengan jidat berkerut dan hati berdebar. Akan tetapi, Sui Giok adalah seorang yang cerdik sekali dan telah banyak mempelajari ilmu dari Bu Lam Nio, di samping kesukaannya membaca buku-buku ketika dulu ia masih berada dengan suaminya. Banyak buku-buku ilmu perang dibacanya sehingga ia menjadi cerdik dan penuh akal. Kini ia memutar otaknya untuk mencari jalan mengalahkan lawannya yang benar-benar tangguh ini. Tenaga lweekangnya sudah mulai lemah karena banyak dipergunakan dan kini peluh telah memenuhi jidatnya. Tiba-tiba ia mendapat akal dan dengan keras sekali ia berseru.
"Pendeta busuk, kau rebahlah!"
Sambil berkata demikian, ia cepat mendorong dengan gerak tipu "Dewi Mendorong Batang Pohon"
Lawannya seperti tadi, akan tetapi pukulkannya ini bukan ditujukan ke arah tubuh pendeta itu melainkan ke arah batu besar yang diinjak Pek Yang Ji. Sui Giok telah mengerahkan tenaga terakhir dan batu yang berat itu terkena dorongannya tak dapat bertahan dan bergerak lalu menggelundung ke belakang. Serangan seperti ini sama sekali tak pernah terduga oleh Pek Yang Ji sehingga pendeta ini terkejut sekali. Terpaksa ia lalu melompat turun kalau tidak mau ikut menggelinding dan jatuh terjengkang. Merahlah mukanya dan dengan tersenyum pahit ia lalu menjurah ke arah Sui Giok sambil berkata,
"Toanio, otakmu yang cerdik telah membuat aku yang tolol tertipu! Aku mengaku kalah."
Akan tetapi Sui Giok tidak dapat membalas penghormatan ini karena nyonya ini telah menggunakan terlalu banyak tenaga dan setelah akalnya berhasil, ia berdiri sambil memeramkan mata dan menghatur napas. Setelah ia membuka mata kembali, ternyata pendeta itu telah mengundurkan diri ke dalam pos penjagaannya dan Ling Ling telah membimbing tangannya.
"Ibu, kau hebat sekali!"
Gadis itu memuji.
"Kalau tadi aku yang maju, belum tentu aku dapat mengalahkan pendeta yang kuat itu."
Sementara itu, seorang pendeta tingkat dua dari Pek-sim-kauw menghadap Liang Gi Cinjin dangan wajah pucat.
"Sucouw, celaka, orang yang datang telah mengalahkan Sam-suhu, Si-suhu, dan Ngo-suhu!"
Akan tetapi Liang Gi Cinjin yang mendengar laporan ini tersenyum saja. Ia melambaikan tangannya menyuruh murid itu pergi sambil berkata,
"Pergilah keluar dan biarkan orang yang menang sampai ke sini!"
Kakek yang sakti ini lalu duduk bersila dan dengan hati gembira ia mengira bahwa "Orang yang datang"
Itu tentulah Liem Sian Lun, muridnya yang baru. Kini Ling Ling dan ibunya telah berhadapan dengan penjaga keempat, yakni Pek Hong Ji. Murid kedua dari Liang Gi Cinjin ani adalah ahli senjata rahasia dan ia memiliki kepandaian melepas senjata rahasia yang disebut Pek-lian-ci (Bijih Teratai Putih). Begitu berhadapan dengan Ling Ling dan Sui Giok, pendeta ini menantang.
"Kalian baru boleh masuk menemui suhu apabila dapat menghadapi senjata rahasiaku!"
Ling Ling dan Sui Giok terkejut sekali. Mereka belum pernah mempelajari tentang senjata rahasia, dan biarpun mereka tidak takut akan serangan senjata rahasia akan tetapi bagaimana mereka akan dapat mengalahkan lawan ini apabila mereka tidak mempunyai senjata rahasia? Mungkin dengan ginkang dan gerakan mereka yang gesit, mereka dapat menghindarkan diri, akan tetapi itu bukan berarti menang. Sui Giok yang banyak akal lalu berkata dengan suara penuh ejekan.
"Totiang, senjata rahasia hanya dipergunakan oleh penjahat-penjahat dan manusia-manusia curang, maka kata-katamu tadi amat mengherankan hatiku. Bagaimana seorang pendeta dengan hatinya yang putih tega hati untuk melakukan serangan kepada orang lain secara menggelap? Bukankah itu perbuatan curang yang termasuk perbuatan hitam, tidak sesuai dengan hati yang putih?"
Merahlah wajah Pek Hong Ji mendengar ejekan ini. Belum pernah ada orang mengejeknya tentang penggunaan senjata rahasianya, maka ia bertanya menyindir.
"Apakah kalian takut menghadapi Pek-lian-ci di tanganku?"
Kini Ling Ling yang melangkah maju dan menjawab,
"Siapa takut menghadapi senjata rahasiamu? Aku tidak mengharapkan pendeta palsu seperti kau untuk berlaku jujur. Majulah dan berbuatlah curang dengan senjata gelapmu, aku akan menghadapimu dengan kaki dan kepalan tangan. Terus terang saja, aku tidak bisa menggunakan senjata gelap seperti kau. Aku tidak sudi berlaku seperti monyet yang tidak berani melawan manusia secara jujur, melainkan naik ke atas pohon dan melempari manusia dengan buah busuk! Hayo, majulah!"
Bukan main sakit hatinya Pek Hong Ji mendengar ucapan gadis muda yang cantik ini.
"Bocah bermulut jahat!"
Teriaknya sambil melempar kantong Pek-lian-ci ke atas tanah.
"Apa kau kira aku tidak dapat merobohkan kau dengan sepasang kepalanku?"
Setelah berkata demikian, ia lalu menyerang dengan tangan kosong.
Ling Ling menjadi girang melihat sindiran mereka berhasil dan dengan waspada ia lalu menghadapi dan menyambut serangan itu. Ia tidak tahu bagaimana ia harus menghadapi lawan ini apabila pendeta ini benar-benar mempergunakan senjata rahasianya. Dengan sengit sekali Pek Hong Ji lalu menyerang dan mengeluarkan ilmu silatnya Pek-sim-ciang-hoat yang lihai. Kalau saja ia sudah mewarisi ilmu silat ini sepenuhnya, agaknya takkan mudah bagi Ling Ling untuk mendapat kemenangan. Akan tetapi seperti juga empat orang saudaranya, pendeta ini baru mewarisi delapan bagian saja dari Pek-sim-ciang-hoat. Betapapun juga, ilmu silatnya sudah lebih masak dari pada kepandaian Pek Yang Ji dan dua adik seperguruannya yang lain dan setiap pukulannya mendatangkan angin berdesir sedangkan gerakannya cepat sekali.
Juga di dalam tiap pukulan, ia mempunyai variasi lebih banyak dari pada adik-adiknya. Pendeta ini biarpun bertangan kosong, akan tetapi ia seperti memiliki empat lengan. Tidak hanya sepasang kepalannya yang menyerang, akan tetapi juga dua ujung lengan bajunya ikut menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Kalau Sui Giok yang menghadapi Pek Hong Ji, nyonya ini tentu takkan dapat menang. Hal ini diketahui baik oleh Sui Giok yang menonton pertandingan itu dengan hati berdebar. Akan tetapi, menghadapi Ling Ling, Pek Hong Ji mendapatkan lawan yang amat berat. Ilmu silat keturunan dari keluarga Kam sudah merupakan ilmu silat yang luar biasa kuatnya, apalagi ilmu silat Kim-gan-liong-ciang-hoat, bukan main hebatnya.
Gerakan-gerakan dua tangan Ling Ling sedemikian cepatnya sehingga nampak seakan-akan gadis ini mempunyai enam buah tangan. Bagaimanapun juga, setelah bertempur selama lima puluh jurus, barulah Ling Ling berhasil mendesak lawannya. Pada saat itu, Pek Hong Ji menyerang dengan gerak tipu "Harimau Sakti Menubruk Bulan", kedua tangannya dengan jari-jari terbuka menyerang ke arah kepala Ling Ling, sedangkan dua ujung lengan bajunya yang panjang meluncur ke arah leher gadis itu, melakukan totokan dari kanan kiri. Bukan main berbahayanya serangan ini yang merupakan serangan maut. Akan tetapi Ling Ling yang bersikap tenang, memperlihatkan kepandaiannya yang luar biasa. Ia merendahkan tubuhnya sehingga serangan kedua tangan itu tidak mengenai kepalanya dan dengan gerak cepat, kedua tangannya bergerak ke depan mencengkeram ke arah ujung lengan baju itu.
"Brett!!"
Ketika Pek Hong ji yang serangannya gagal itu melompat ke belakang, ternyata bahwa ujung lengan bajunya telah terobek oleh cengkeraman tangan Ling Ling dan kini robekan baju itu berada di tangan gadis itu.
"Hebat, hebat!"
Kata pendeta itu sambil menghela napas.
"Kau cukup pandai untuk menghadapi twa-suheng, nona!"
Pendeta ini diam-diam berterima kasih atas kemurahan hati Ling Ling, oleh karena kalau gadis itu mau, bukan ujung lengan bajunya yang robek, akan tetapi bagian lain yang berbahaya dari tubuhnya. Ling Ling sudah nampak lelah sekali, dan ibunya mengetahui akan hal ini.
"Ling Ling, biarlah rintangan terakhir ini aku yang menghadapinya. Kau perlu mengumpulkan tenaga untuk menghadapi Liang Gi Cinjin, ketua mereka!"
Ling Ling dapat menyetujui pendapat ibunya ini, akan tetapi ia merasa khawatir oleh karena dapat menduga bahwa ilmu kepandaian murid pertama itu tentulah lebih lihai lagi. Pada saat itu mereka telah maju sampai di pintu ruangan dalam dan di situ telah menanti Pek Im Ji yang berdiri dengan gagah sambil memegang pedang.
"Totiang,"
Kata Sui Giok sambil maju menghadapi tosu itu.
"belum cukupkah kami mengalahkan empat orang saudaramu? Lebih baik kau mempersilahkan gurumu keluar agar dapat bertemu dengan kami."
Pek Im Ji terkenal paling sabar di antara semua saudaranya. Ia tersenyum dan memandang kagum.
"Sungguh sukar dapat dipercaya bahwa kalian dua orang wanita lemah ini dapat mengalahkan empat orang suteku. Ketahuilah bahwa kami telah diberi tugas oleh suhu untuk menjaga di sini, maka sebelum kau mengalahkan pedangku ini, jangan harap akan dapat bertemu dengan suhu. Aku telah mendengar bahwa kalian orang-orang yang dijuluki iblis wanita di lembah sungai Cialing, dan mengapakah kalian masih mendesak terus kepada kami? Suhu telah menganggap habis urusan dengan kalian berdua, mengapa kalian datang mencari penyakit? Seandainya kalian bisa menangkan aku, apakah kalian dapat melawan suhu?"
Mendengar ucapan ini, Sui Giok lalu berkata,
(Lanjut ke Jilid 05)
Wanita Iblis Pencabut Nyawa/Toat Beng Mo Li (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 05
"Totiang, kau keliru. Kami datang bukan hendak berlaku kurang ajar terhadap Liang Gi Cinjin, kecuali kalau orang tua itu masih merasa penasaran atas kematian murid-muridnya dan hendak menyerang kami, terpaksa kami takkan mundur demi membela kebenaran. Ketahuilah bahwa sampai saat inipun, kami tidak merasa salah dan bahkan kami hendak mengadukan perbuatan para pendeta Pek-sim-kauw kepada orang tua itu untuk minta pertimbangan yang adil. Kamipun bukan orang-orang yang mencari permusuhan, dan kami takkan mengganggu apabila tidak diganggu lebih dulu. Maka, kau mundurlah dan biarkan kami bertemu dengan suhumu."
"Enak saja kau bicara! Apakah kau suruh aku melalaikan kewajibanku menjaga di sini? Tidak bisa, kalian harus mencoba dulu pedangku!"
Pendeta itu berkeras.
"Baiklah, kau yang mencari perkara, bukan aku!"
Sui Giok lalu mencabut pedangnya dan sebentar kemudian kedua orang ini bertempur dengan sengit. Pada saat itu, seorang pendeta tingkat dua, kembali melaporkan kepada Liang Gi Cinjin,
"Sucouw, celaka, Ji suhu juga telah kalah dan sekarang iblis-iblis wanita itu bertempur melawan twa-suhu!"
Terbelalak mata kakek itu ketika mendengar disebutnya "iblis wanita",
"Apa katamu? Siapa yang datang?"
"Mereka adalah dua orang iblis wanita itu, Sucouw."
"Yang disebut Cialing Mo-li dan Toat-beng Mo-li?"
"Benar Sucouw. Mereka mengamuk hebat!"
Mendengar ini, Liang Gi Cinjin lalu bertindak keluar dan benar saja, ia melihat betapa muridnya yang tertua, yakni Pek Im Ji, sedang terdesak hebat oleh ilmu pedang yang dimainkan secara luar biasa sekali oleh seorang gadis muda yang cantik jelita. Tadi ketika melihat gerakan Pek Im Ji, Ling Ling maklum bahwa ibunya takkan dapat menang, maka ia lalu mencabut pedangnya dan berseru.
"Ibu, silakan mundur, biar anak yang memberi rasa kepada pendeta ini!"
Sui Giok memang merasa betapa tangguhnya lawan ini, maka terpaksa ia melompat mundur, digantikan oleh anaknya. Setelah Ling Ling maju dan mainkan pedangnya Pek Im Ji merasa terkejut sekali.
Ilmu pedang yang dimainkan oleh gadis ini masih sama dengan ilmu pedang yang dimainkan oleh nyonya cantik itu, akan tetapi jauh lebih cepat, lebih kuat, dan lebih aneh gerakannya. Sebentar saja ia terdesak hebat dan terkurung oleh sinar pedang di tangan Ling Ling. Melihat gerakan ilmu pedang gadis itu, Liang Gi Cinjin berdiri dengan mulut sedikit terbuka. Hampir ia tidak percaya kepada pandangan matanya sendiri. Ia memandang dengan penuh perhatian, dan mengikuti setiap gerakan ilmu pedang Kim-gan-liong-kiam-hoat dengan kening berkerut. Tidak salahkah penglihatannya? Dalam jurus keempat puluh dengan gerakan "Cam" (melibat) dan dilanjutkan dengan gerakan "Coan" (memutar), Ling Ling berhasil mengurung pedang lawan dan sekali ia berseru keras sambil menyontek dengan pedangnya, Pek Im Ji berseru keras dan melompat mundur sedangkan pedangnya terpental ke atas udara.
"Bagus sekali!"
Liang Gi Cinjin berseru dengan heran dan girang. Kakek ini menyambut pedang Pek Im Ji yang melayang turun kembali, kemudian sambil memegang pedang itu ia menyerang Ling Ling sambil berkata.
"Hayo ulangi lagi gerakan Kim-gan-liong-jio-cu (Naga Mata Emas merebut Mustika) tadi!"
Ling Ling terkejut sekali ketika kakek tua berambut putih ini menyebut nama gerakannya yang telah dipergunakan untuk mengalahkan Pek Im Ji tadi. Melihat gerakan serangan pedang kakek ini, ia dapat menduga bahwa ini tentulah Liang Gi Cinjin.
Gerakan pedangnya demikian hebat dan kuat. Akan tetapi ia tidak mau memperlihatkan kelemahannya. Biarpun menurut suara di kalangan kang-ouw ketika ia dan ibunya keluar dari hutan, nama Liang Gi Cinjin dianggap sebagai tokoh tinggi dalam dunia persilatan, termasuk kaum locianpwe, namun kini kakek itu telah menyerangnya. Ling Ling lalu mempergunakan ilmu gerakan Kim-gan-liong-jio-cu dan seperti tadi, ia berusaha menempel pedang lawan, melakukan gerakan memutar, lalu mengerahkan lweekangnya untuk membuat pedang lawannya terpental. Akan tetapi, sungguh luar biasa sekali, biarpun dengan cara yang berbeda. Ling Ling merasa betapa kakek itupun melakukan gerakan yang sama, menempel, memutar dan mengerahkan tenaga. Dua tenaga bertemu, getaran pedang secara luar biasa beradu dan terdengar suara nyaring sekali.
"Traaang...! Krek!!"
Pedang di tangan kakek itu patah menjadi dua potong, akan tetapi pedang di tangan Ling Ling patah menjadi tiga potong.
"Ha, ha, ha!"
Liang Gi Cinjin tertawa.
"Tak salah lagi...! Eh, nona, apakah kau seorang she Kam?"
"Bukan,"
Jawab Ling Ling.
"Teecu she Kwee. Apakah teecu berhadapan dengan Liang Gi Cinjin yang terhormat?"
Kembali Liang Gi Cinjin tertawa.
"Aneh, aneh, kau she Kwee, akan tetapi telah mewarisi ilmu pedang dari Kam-ciangkun (Panglima she Kam). Mari kalian masuklah ke dalam, aku ada pembicaraan penting sekali!"
Tanpa ragu-ragu lagi Liang Gi Cinjin lalu memegang tangan Ling Ling dan membawa gadis itu bersama ibunya masuk ke ruang dalam. Kakek itu berjalan sambil tertawa-tawa senang seakan-akan bertemu dengan seorang kawan lama. Tentu saja para pendeta memandang peristiwa itu dengan melongo. Juga Ling Ling merasa heran, sedangkan Sui Giok diam sambil mengerutkan kening. Kelakuan kakek ini benar-benar aneh baginya. Setelah berada di dalam, Liang Gi Cinjin mengubah sikapnya dan kini nampak keras dan marah,
"Hayo, katakan dari mana kalian mencuri ilmu pedang Kim-gan-liong Kiam-hoat, pusaka dari sahabat baikku Kam Kok Han itu!"
Mendengar bahwa kakek ini adalah sahabat baik Panglima Besar Kam Kok Han, suami dari Bu Lam Nio, Sui Giok lalu memegang tangan Ling Ling dan menjatuhkan diri berlutut di depan Liang Gi Cinjin.
"Memang teecu dua beranak telah mewarisi ilmu silat dari keluarga Kam, akan tetapi sekali-kali bukan dengan jalan mencuri."
Sui Giok lalu menuturkan bahwa dia dan puterinya menerima pelajaran dari Bu Lam Nio, pelayan dan juga bini muda Panglima Kam Kok Han. Liang Gi Cinjin mengangguk-angguk, kemudian ia berkata,
"Jadi demikianlah kalian dapat mewarisi kepandaian itu? Hm, aku sudah menduga bahwa kitab rahasia kawanku yang bernasib malang itu tentu dilarikan oleh seorang pelayannya yang setia. Syukurlah, kau mempunyai bakat baik sekali, nona kecil, dan patut menjadi ahli waris sahabatku Kam Kok Han yang malang. Dan di manakah adanya bini muda sahabatku itu? Apakah dia masih hidup?"
Mendengar pertanyaan ini, Sui Giok lalu menangis, teringat kepada Bu Lam Nio yang dikasihinya. Ling Ling memeluk ibunya dan menghiburnya.
"Locianpwe,"
Kata Ling Ling.
"Sungguh mengherankan sekali kalau locianpwe tidak mengetahui hal itu. Yang disebut iblis wanita dan yang dibunuh oleh anak murid locianpwe, sesungguhnya adalah Bu Lam Nio itulah!"
"Apa...!"
Liang Gi Cinjin merasa lemas tubuhnya dan ia menjatuhkan diri duduk di atas bangkunya. Ia merasa menyesal sekali dan hendak marah kepada anak muridnya, akan tetapi apa hendak dikata? Hal itu terjadi dan sesungguhnya bukan salah pihak murid-muridnya.
"Coba ceritakan tentang Bu Lam Nio itu, mengapa ia menjadi begitu galak dan menyeramkan keadaannya?"
Sui Giok lalu menceritakan tentang kesengsaraan Bu Lam Nio dan kakek itu mengangguk-angguk sambil mengelus-elus jenggotnya.
"Kasihan sekali wanita itu,"
Katanya.
"Akan tetapi sudahlah. Sesungguhnya semua peristiwa itu terjadi karena salah mengerti. Akan tetapi, yang amat mengecewakan hatiku adalah keadaanmu, terutama sekali puterimu yang masih muda ini. Ilmu silat keluarga Kam adalah ilmu silat dari keluarga patriot, dari keluarga pendekar besar yang rela mengorbankan nyawa demi nusa dan bangsa. Akan tetapi, sungguh harus disesalkan bahwa ilmu silat itu akhirnya jatuh kepada orang yang tidak tahu sama sekali tentang kepahlawanan. Kalian menuntut penghidupan liar di dalam hutan, sehingga oleh orang-orang disebut iblis-iblis wanita, bukankah ini amat merendahkan nama baik keluarga Kam? Negara sedang kacau balau, rakyat sedang sengsara mengalami penindasan dari kaisar yang lalim. Mengapa kau tidak mau membela rakyat? Rakyat di mana-mana sedang bergerak untuk maksud yang mulia, mengapa kalian bahkan menakut-nakuti rakyat? Ah, sayang sekali, kalau ilmu silat itu masih berada di tangan Kam Kok Han, tentu ia dapat berbuat banyak untuk kepentingan rakyat. Sayang ilmu itu berada di tangan seorang bocah perempuan yang masih hijau, bodoh dan bisanya hanya marah-marah saja."
Bukan main panasnya hati Ling Ling mendengar ucapan ini. Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan berkata dengan mata terbelalak,
"Liang Gi Cinjin! Aku bersikap hormat terhadapmu, akan tetapi sebaliknya kau memaki-makiku sesuka hatimu! Kau kira aku ini orang macam apakah? Apa kau kira hanya orang-orang laki seperti kau saja yang bisa berjasa terhadap tanah air dan bangsa? Apakah kau kira hanya kalian saja yang telah merasai kesengsaraan akibat kelaliman kaisar? Aku sendiri, bersama ibuku ini, telah menjadi korban "Kelaliman kaisar"! Aku sendiri akan mengambil kepala kaisar! Kau dengar ini? Aku akan mengambil kepala kaisar! Dan kau harus menarik kembali omonganmu tadi, kalau tidak, aku akan menganggap kau sebagai musuh besarku dan pada suatu hari aku pasti akan membuat perhitungan denganmu!"
Aneh sekali, melihat gadis itu marah dengan muka merah dan mata terbelalak berdiri dengan mengangkat dada dan mengedikkan kepala sehingga Sui Giok menjadi kaget, malu, dan tidak enak hati, kakek itu bahkan menjadi terharu sekali. Akan tetapi, ia tersenyum puas dan dari kedua matanya menitik air mata.
"Kau? Kau hendak mengambil kepala kaisar? Ha, ha! Kau hanya bisa membuka mulut besar! Menarik kembali omonganku? Gampang saja kau buktikan dulu kesombonganmu tadi! Kalau sudah terbukti bahwa kau adalah seorang dara perkasa yang benar-benar pendekar, barulah aku orang tua pikun hendak menarik kembali omongan tadi! Ha, ha, ha!"
Kakek ini lalu berjalan ke arah sebuah peti, mengeluarkan sebatang pedang berikut sarungnya, lalu berkata.
"Aku tidak main-main, benar-benar aku menantangmu untuk memenuhi ucapanmu yang sombong tadi. Kau hendak mengambil kepala kaisar? Nah, terimalah pedang ini. Aku mau bukti, bukan omongan besar yang kosong melompong! Pedang ini bernama Pek-hong-kiam, dulu menjadi saudara dari pedang Oei-hong-kiam yang dipegang oleh Kam Kok Han dan yang lenyap entah di mana adanya! Buktikan omonganmu tadi, dan baru aku percaya kalau tercium olehku darah kaisar pada pedang ini!"
Baik Sui Giok maupun Ling Ling terkejut dan terharu sekali mendengar bahwa pedang itu adalah pedang yang sejajar dengan Oei-hong-kiam, pedang yang dirampas oleh pembunuh Kam Kok Han sebagaimana yang dipesankan oleh Bu Lam Nio. Nenek itu dulu berpesan agar supaya Ling Ling mencari pemegang pedang Oei-hong-kiam, karena pedang ini adalah pedang Kam Kok Han yang dirampas oleh pembunuhnya sehingga siapa saja yang memegang pedang Oei-hong-kiam tentu mempunyai hubungan dengan pembunuh Panglima Kam itu. Ling Ling masih marah sekali, akan tetapi ia menerima pedang itu berkata,
"Baiklah kita sama lihat saja. Setelah selesai tugasku, aku akan mengembalikan pedang ini sebagai bukti, dan kau orang tua harus menarik kembali omonganmu yang amat menghina!"
Setelah berkata demikian, Ling Ling memegang tangan ibunya dan membawanya lari keluar dari tempat itu. Kembali para pendeta memandang dengan melongo ketika melihat dua orang wanita ini berlari cepat sekali dari ruang Liang Gi Cinjin. Adapun kakek itu, setelah Ling Ling dan ibunya pergi, berkata seorang diri,
"Mudah-mudahan ia berhasil! Ia seorang murid yang amat baik, bahkan... belum tentu kalah baik oleh Sian Lun!"
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba wajahnya berseri karena ia teringat akan sesuatu.
"Alangkah baiknya, alangkah cocoknya! Benar, bagus sekali! Ah, semoga keduanya akan dapat melewati masa kacau ini dengan selamat sehingga akan tercapai maksudku!"
Ucapan ini adalah akibat dari pikiran kakek itu yang melihat betapa baiknya apabila terikat tali perjodohan antara gadis tadi dengan Sian Lun. Memang benar sebagaimana yang terdengar dalam percakapan antara Liang Gi Cinjin dan Beng To Siansu, kaisar Yang Te yang lalim dan hanya mengingat untuk melampiaskan nafsunya sendiri itu, telah membuat rakyat amat tergencet dan sengsara.
Mulailah timbul pemberontakan-pemberontakan di mana-mana. Pertama-tama pemberontakan timbul di propinsi Santung dan Hopak, setelah kaisar memimpin balatentara menyerang Korea. Seorang patriot besar bernama Wang Po telah menulis sajak yang membongkar semua keburukan pemerintah Sui, dan ia lalu memimpin barisan pemberontak yang terdiri dari para petani di pegunungan Cingpai di propinsi Santung. Juga di sepanjang lembah Yang-ce-kiang dan sungai kuning, timbullah pemberontakan yang besar jumlahnya. Makin lama barisan pemberontak ini makin meluas sehingga mereka mulai menduduki kota-kota dan dusun-dusun. Seorang pemimpin pemberontak lain bernama Li Mi memimpin barisan pemberontak di Honan.
Memang tadinya para pemberontak yang terpisah-pisah dan berkelompok-kelompok ini seringkali kena pukul mundur oleh tentara kerajaan Sui akan tetapi mereka ini makin lama makin besar jumlahnya dan mulai bersatu dengan barisan lain. Ketika tentara kerajaan dari utara hendak menyerang barisan pemberontak yang dipimpin oleh Li Mi, seorang pemimpin lain yang bernama Tou Cian Tek memimpin pasukan pemberontak yang besar bergerak dari Santung ke Hopak dan memotong pasukan kerajaan yang hendak menyerang barisan pemberontak Li Mi. Demikianlah, mulai ada kerja sama antara barisan pemberontak sehingga tentara kerajaan dapat dipukul di sana sini. Seorang pemimpin pemberontak lain yang penting untuk disebut adalah Tu Fu Wi, yang memimpin barisannya di sebelah selatan sungai Huai dan yang menyerang tentara Sui di Yangkou.
Masih banyak lagi jumlahnya barisan-barisan pemberontak yang dipimpin oleh orang-orang gagah dan pandai, semua dengan tujuan sama, yakni menumbangkan pemerintah korup dari kerajaan Sui di bawah pimpinan kaisar Yang Te yang lalim. Akhirnya, seorang jenderal besar yang amat gagah perkasa dan terkenal, yakni jenderal kerajaan Sui yang bernama Li Goan, yang sudah lama merasa tidak suka dengan pemerintahan Kaisar Yang Te, memberontak pula. Jenderal ini berkedudukan di Taigoan dan ia memimpin ratusan ribu tentara menyerang dan menduduki Tiang-an. Hal ini terjadi pada tahun 617 (Masehi). Sebelum Jenderal Li Goan memberontak, terjadilah peristiwa yang hebat di kota Taigoan. Liem Siang Hong, panglima yang berkepandaian tinggi dan gagah perkasa itu, adalah seorang panglima kepercayaan Li Goan.
Biarpun Liem Siang Hong menjadi orang bawahan jenderal Li Goan, akan tetapi perhubungan mereka seperti sahabat-sahabat baik saja. Mereka saling kunjung-mengunjungi dan dalam segala hal mereka sependapat. Juga Kwee Siong, yang kini telah pindah ke kota raja, kenal baik dengan jenderal Li Goan dan panglima ini amat suka kepada Kwee Siong yang berotak cerdas dan berpemandangan luas. Pada suatu hari, beberapa bulan sebelum Li Goan memberontak, jenderal ini memanggil Panglima Liem Siang Hong untuk mengadakan perundingan penting. Ketika Liem Siang Hong sudah tiba, jenderal Li Goan membawanya ke kamar kerjanya dan menutup semua pintu dan jendela. Liem Siang Hong merasa heran melihat sikap rahasia ini, dan ia tidak merasa heran lagi ketika mendengar jenderal itu berbicara.
"Saudara Liem, kau tentu sudah mendengar tentang keadaan yang makin buruk dari pemerintah Sui. Sungguh menggemaskan mengapa kaisar masih saja menulikan telinga terhadap semua nasehat para tiong-sin (menteri setia dan jujur), sebaliknya bahkan mendengarkan hasutan-hasutan para kan-sin (menteri durna)! Tenaga rakyat diperas habis-habisan, dan selagi keadaan negara masih kalut dan lemah, bahkan melakukan penyerangan mati-matian ke utara!"
Liem Siang Hong menarik napas panjang.
"Memang hal ini amat buruk dan patut disesalkan, Goanswe (bapak jenderal). Akan tetapi apakah yang harus dan dapat dilakukan oleh orang-orang militer seperti kita? Kita hanya menanti perintah, dan para menteri dorna yang lemah itu bahkan berkuasa untuk memegang kendali pemerintahan, mengatur segala urusan dengan maksud memenuhi kantong sendiri. Sungguh menyebalkan!"
"Kau, keliru, Liem ciangkun! Dalam keadaan seperti ini, biarpun kita tidak memegang jabatan sebagai pengurus-pengurus negara, namun kita harus menghadapi kenyataan dengan pikiran tenang dan matra waspada. Kalau negara terancam oleh barisan tentara asing, serahkanlah kepada kita yang akan menghancurkan mereka atau mengorbankan nyawa dalam perang. Akan tetapi, jangan menyuruh aku melakukan penyembelian terhadap tentara pemberontak yang sesungguhnya adalah rakyat jelata yang sudah tidak sudi lagi dijadikan landasan kaki para menteri dorna berikut kaisar yang lalim. Aku masih cukup setia dan selama ini aku mengendalikan nafsu agar jangan ikut memberontak. Akan tetapi, aku sekarang hendak menghadap kaisar dan memberi nasihat terakhir. Kalau beliau tidak menurut nasehatku, menarik mundur barisan dari timur dan memperbaiki keadaan rakyat yang sengsara, aku akan memihak kepada pemberontak!"
Liem Siang Hong mengerutkan alisnya.
"Berbahaya sekali tindakan ini, goanswe. Untuk memberi nasehat kepada kaisar, rasanya tidak perlu goanswe berangkat sendiri. Biarlah aku yang mewakili goanswe dan membawa surat untuk disampaikan kepada kaisar."
Jenderal itu memandang dengan mata tajam kepada Liem Siang Hong,
"Saudaraku, tahukah kau betapa bahayanya tugas ini?"
"Tentu saja aku tahu!"
Jawab panglima itu dengan gagah.
"Akan tetapi, perasaan takut merupakan pantangan besar bagi seorang perajurit seperti aku!"
"Bagus! Ketahuilah, memang terkandung maksud dalam hatiku menyuruh seorang mewakiliku menghadap kaisar, dan kalau ada orang itu, hanya engkaulah, saudaraku! Bukan aku tidak berani menghadap sendiri, akan tetapi kalau sampai di kota raja aku terkena malapetaka dari para dorna, habis siapakah yang akan dapat memimpin pasukan-pasukan untuk menyerbu dan meruntuhkan kerajaan yang sudah bobrok itu? Kau berangkatlah, bawalah surat nasehatku kepada kaisar dan jangan khawatir, aku telah siap dengan seluruh anak buahku. Kalau ada yang berani mengganggu selembar rambutmu di kotaraja, aku bersumpah untuk mengganti kerugian dengan menduduki Tiang-an dan membasmi para dorna!"
Demikianlah, setelah menerima surat dari jenderal itu, Liem Siang Hong lalu pulang ke rumahnya. Ia tidak berani menceritakan tugasnya yang penting dan rahasia ini kepada isterinya, akan tetapi ia merasa terharu juga. Pertemuan dengan isterinya ini mungkin sekali untuk yang terakhir. Ia merasa rindu kepada puteranya yang masih berada di Kun-lun-san belajar ilmu kepada Beng To Siansu.
"Isteriku!"
Katanya pada malam hari itu.
"besok pagi aku akan pergi melakukan tugas pekerjaanku. Tak usah kau tahu ke mana, karena memang belum ada ketentuan. Akan tetapi mungkin sekali agak lama. Keadaan negara sedang kalut seperti ini dan siapa tahu kalau di kota inipun akan ada huru-hara yang besar. Pesanku kepadamu, kalau sampai terjadi sesuatu dan aku belum kembali, kau mintalah tolong kepada jenderal Li Goan dan apabila kelak kau berada dalam keadaan yang membutuhkan pertolongan, kau dan putera kita berlindunglah kepada saudara kita Kwee Siong. Hanya dia seoranglah yang akan dapat menerima kau dan anakmu sebagai keluarga sendiri!"
Isterinya memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan suaranya gemetar ketika bertanya.
"Suamiku, mengapa kau berkata demikian? Seakan-akan kau berpamit untuk pulang ke alam baka saja. Apakah yang terjadi, dan kau hendak pergi kemanakah?"
Melihat wajah isterinya menjadi pucat, Liem Siang Hong lalu menghiburnya dan tersenyum untuk membikin tenang hati isterinya.
"Soal mati hidup, siapa yang tahu? Aku hanya bicara sebagai penjagaan dan persiapan saja. Siapa yang akan tahu perkembangan keadaan yang makin lama makin panas ini. Aku bukan maksudkan kalau aku mati, akan tetapi misalnya kalau perjalananku ini menjadi terputus oleh kerusuhan dan pemberontakan sehingga kita terpisah jauh. Nah, kepada Kwee Siong dan jenderal Li Goan saja kau boleh dan dapat berlindung."
Pada keesokkan harinya, pagi-pagi sekali, di antar oleh lima orang perwira, berangkatlah Liem Siang Hong ke kota raja. Panglima yang gagah berani ini telah berhasil menghadap kaisar dan menyampaikan surat dari jenderal Li Goan yang isinya mengecam pedas kepada Kaisar, mengajukan tuntutan-tuntutan agar supaya kaisar suka insaf dan jangan menuruti bujukan dan hasutan para pembesar dorna. Sebelum menghadap kepada kaisar, Liem Siang Hong menyuruh kelima orang perwira yang mengawaninya itu untuk bersembunyi di rumah gedung Kwee Siong dan kepada adik angkatnya ini ia memberi surat. Kwee Siong menerima lima orang perwira dari Tai-goan yang sudah dikenalnya itu dan alangkah kagetnya ketika ia membaca surat Liem Siang Hong yang berbunyi singkat.
Adikku Kwee Siong yang baik,
Aku sengaja tidak berhenti di rumahmu agar kau jangan ikut terbawa-bawa dalam perkara ini. Aku sedang menjalankan tugas membawa surat Jenderal Li Goan kepada kaisar dan karena isi surat ini merupakan kecaman dan nasehat, tidak terlalu dilebihkan apabila aku mungkin takkan kembali dengan selamat dari dalam istana.
Hanya satu pesanku, apabila aku benar-benar sampai binasa oleh kaisar dan para pembesar dorna, kau peliharalah baik-baik isteriku dan puteraku.
Selamat Tinggal.
Kakakmu,
Liem Siang Hong
Bukan main sedihnya hati Kwee Siong. Ia maklum dan telah yakin akan nasib kakak angkatnya itu, oleh karena pada masa itu.
"Menasehati"
Kaisar merupakan pantangan besar bagi mereka yang masih ingin hidup. Telah banyak para pembesar jujur yang menasehati kaisar dan mereka ini dicap sebagai pemberontak dan hanya satulah hukuman bagi mereka yang berani lancang menasehati kaisar, yakni hukuman mati. Kwee Siong lalu berkemas dan ia memerintahkan seorang perwira pengiring Liem Siang Hong untuk diam-diam membawa isteri dan puteranya, yakni Kwee Cun yang baru berusia sembilan tahun, untuk diam-diam melarikan diri ke Tai-goan.
Benar saja, tak lama sesudah Liem Siang Hong menyerahkan surat itu kepada kaisar, kaisar ini dan beberapa orang menteri dornanya menjadi marah sekali dan pada saat itu juga Liem Siang Hong ditangkap dan dihukum penggal kepala. Empat orang perwira pengikut Liem-ciangkun, ketika mendengar akan hal ini, bersama Kwee Siong lalu melarikan diri secepatnya keluar dari kotaraja, kembali ke Tai-goan. Ketika mendengar bahwa Kwee Siong melarikan diri, kaisar menjadi marah sekli dan menyuruh para pengawal mengejarnya, akan tetapi Kwee Siong dan empat orang perwira itu telah jatuh dan tidak dapat dikejar lagi. Jenderal Li Goan mengepal-ngepal tinju, menggigit-gigit bibir dan air matanya tak tertahan lagi, terutama setelah mendengar laporan tentang dibunuhnya Liem Siang Hong.
"Kaisar lalim, pembesar-pembesar dorna! Kalian benar-benar telah buta dan telah kemasukkan iblis. Saudaraku Liem Siang Hong, jangan mati penasaran, lihat saja betapa tak lama lagi aku akan menghancur leburkan Tiang-an!"
Jenderal besar ini lalu menghimpun seluruh balatentaranya, ditambah pula dengan rakyat jelata yang menyokong pemberontakannya dan segera memimpin ratusan ribu balatentara menyerbu Tiang-an. Kita tinggalkan dulu barisan Jenderal Li Goan yang mengamuk dan berusaha menggulingkan pemerintahan kaisar yang lalim itu, dan marilah kita mengikuti perjalanan Liem Sian Lun, putera tunggal dari Liem Siang Hong yang gugur sebagai seorang patriot bangsa yang gagah perkasa itu. Setelah setahun melatih diri, dengan tekunnya dan telah dapat menguasai ilmu silat yang diajarkan oleh Liang Gi Cinjin dengan sempurna, Liem Sian Lun mendapat izin dari Beng To Siansu untuk turun gunung.
"Muridku, pertama-tama kau harus pergi menghadap suhumu Liang Gi Cinjin sebagaimana telah ia pesan dulu. Kemudian, kau harus membuka matamu baik-baik dan melihat keadaan dunia di sekelilingmu. Kalau aku tidak salah tafsir, kerajaan yang sekarang telah mendekati keruntuhannya dan sepanjang pendengaranku, di mana-mana telah timbul pemberontakan hebat. Ayahmu adalah seorang panglima, maka kau harus dapat mempertimbangkan keadaan ayahmu. Kemudian sudah menjadi tugasmu pula untuk membantu perjuangan, hanya harus kau berhati-hati dan dapat memilih pihak yang benar! Nah, kau berangkatlah."
Setelah menerima banyak nasehat dari gurunya, Sian Lun lalu turun dari Kun-lun-san dan langsung menuju ke kota Ceng-tu. Tidak sukar baginya untuk mencari rumah perkumpulan Pek-sim-kauw, karena rumah ini merupakan sekelompok bangunan yang besar dan banyak, terkurung pagar tembok warna kuning yang tinggi.
Sian Lun maklum bahwa ia akan menghadapi ujian suhunya, akan tetapi ia tidak takut karena selama ini ia telah melatih diri dengan rajin dan sepanjang ingatannya semua pelajaran ilmu silat dan ilmu pedang dari Liang Gi Cinjin telah dipelajari dan dilatihnya dengan baik. Dengan tabah ia melangkah memasuki pintu gerbang di depan dan ia melihat banyak sekali pendeta yang berpakaian dengan gambar hati putih di dada, akan tetapi semua pendeta ini seakan-akan tidak melihatnya sehingga ia menjadi heran dan melangkah terus. Ketika ia tiba di tengah halaman yang luas itu, tiba-tiba dari dalam keluar lima orang pendeta tua yang berwajah angker. Pendeta-pendeta ini menghadang di tengah jalan, lalu seorang di antara mereka bertanya garang.
"Saudara siapakah dan ada keperluan apakah masuk ke dalam rumah kami?"
Melihat lima orang pendeta yang memakai tusuk konde perak ini, Sian Lun yang sudah mendapat keterangan dari Beng To Siansu, dapat menduga bahwa mereka ini tentulah lima orang murid suhunya yang disebut Pek-sim Ngo-lojin. Ia cepat memberi hormat dan menjawab,
"Siauwte adalah Liem Sian Lun dan siauwte datang mohon bertemu dengan suhu Liang Gi Cinjin."
Lima orang pendeta itu memang Pek-sim Ngo-lojin. Mereka ini masih merasa amat penasaran dan marah karena telah dikalahkan oleh Ling Ling dan ibunya pada tiga hari yang lalu. Mereka masih merasa mendongkol terhadap suhu mereka karena mereka telah mendapat marah dan teguran, akan tetapi suhu mereka masih memesan agar supaya mereka menjaga di tempat penjagaan masing-masing dan menyerang orang yang ingin menghadap Liang Gi Cinjin.
"Kalau ada orang datang mencariku, kalian harus mencoba dan menguji ilmu kepandaiannya, akan tetapi berhati-hatilah. Jangan sampai melukai orang itu sehingga kalian menanam permusuhan lagi dengan orang lain. Aku hanya ingin kalian menguji kepandaiannya saja."
Kini datanglah orang muda ini yang ingin bertemu dengan Liang Gi Cinjin. Lima orang pendeta itu baru tiga hari yang lalu telah menderita kekalahan, maka kini setelah saling pandang dengan kawan-kawan sendiri, serentak mereka mencabut pedang dan berkatalah Pek Thian Ji yang galak.
"Mau bertemu dengan guru kami! Tidak mudah, anak muda. Kalau kau tidak dapat mengalahkan pedang kami, kau lebih baik pergi saja dan jangan mencoba untuk mengganggu suhu!"
Sian Lun tidak merasa heran mendengar ini dan ia memang telah bersiap untuk menghadapi ujian ini. Hanya ia merasa heran pendeta-pendeta yang menjadi murid gurunya ini nampak galak dan agaknya hendak maju semua mengeroyoknya. Ia lalu mencabut keluar pedang pemberian Beng To Siansu dan sambil memalangkan pedang di depan dada, ia berkata.
"Kalau ngo-wi hendak menghalangiku, terpaksa siauwte akan berlaku kurang ajar!"
Lima orang pendeta Pek-sim-kauw itu lalu maju mengepungnya dan berytempurlah mereka dengan ramai. Akan tetapi baru saja mereka bertempur sepuluh jurus, bukan main kaget dan herannya Pek-sim Ngo-lojin ketika melihat bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh pemuda tampan ini bukan lain adalah ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat. Kalau saja kelima orang pendeta itu menghadapi Sian Lun dengan ilmu silat lain, mungkin pemuda itu akan repot juga menghadapi keroyokan lima orang pendeta yang lihai itu. Akan tetapi Pek-sim Ngo-lojin menyerangnya dengan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat yang baru mereka miliki delapan bagian, sedangkan pemuda itu sudah mewarisi sepenuhnya, maka tentu saja Sian Lun dapat melayani mereka dengan baik sekali.
Bahkan ketika ia mainkan bagian akhir dari ilmu pedang itu, yang paling sulit dan paling lihai sehingga pedangnya berkelebatan bagaikan segulung awan putih menyelimuti tubuh kelima pengeroyoknya, murid-murid Liang Gi Cinjin ini menjadi terkejut dan bingung sekali. Pada jurus ke dua puluh dengan gerak tipu Halilintar Menyambar Ombak, Sian Lun memperhebat gerakan pedangnya dengan sepenuh tenaga. Terengar suara nyaring dan keras sekali dan tahu-tahu lima batang pedang dari pendeta-pendeta itu terlepas dari pegangan dan terlempar jauh. Tentu saja lima orang pendeta itu berdiri dengan melongo saking herannya. Hanya suhu mereka saja yang dapat mainkan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat sedemikian hebatnya.
"Dari manakah kau mencuri ilmu pedang kami?"
Pek Im Ji berseru sambil memandang tajam. Akan tetapi, Sian Lun tidak menjawab, hanya lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke kiri sambil berseru,
"Suhu...!"
Lima orang pendeta itu terkejut dan cepat menengok ke kiri dan benar saja, Liang Gi Cinjin telah berdiri di situ sambil tersenyum. Hal ini menunjukkan pula betapa tajam pemandangan mata dan pendengaran pemuda ini, jauh lebih lihai dari pada mereka yang tidak mengetahui bahwa suhu mereka telah berada di situ. Cepat mereka lalu menjatuhkan diri berlutut pula dihadapan Liang Gi Cinjin.
"Kembali kalian berlima telah menurutkan nafsu untuk maju mengeroyok pemuda ini. Baiknya kalian ketahui bahwa tiada baiknya mempergunakan kekerasan karena di dunia ini masih banyak orang yang lebih pandai dari pada kita. Ketahuilah bahwa pemuda ini adalah muridku sendiri, atau juga sute (adik seperguruan) kalian yang jauh lebih berhasil dalam mempelajari ilmu silat daripada kalian berlima."
Sian Lun lalu berpaling kepada suheng-suhengnya dan berkata,
"Mohon suheng sekalian sudi memberi maaf kepadaku yang kurang ajar!"
"Tidak apa, sute, bukan salahmu karena kami berlimalah yang menyerangmu lebih dulu."
Liang Gi Cinjin menjadi girang sekali melihat kemajuan Sian Lun. Ia benar-benar merasa puas dan tidak sia-sialah ia mewariskan ilmu kepandaiannya kepada pemuda ini. Ia lalu mengajak semua muridnya masuk ke dalam dan berkatalah Liang Gi Cinjin kepada Sian Lun,
"Muridku, menururt berita yang sampai di sini, di kotamu, yakni Tai-goan, telah mulai ada pergelokan. Agaknya jenderal Li Goan telah bergerak pula dan menurut pendengaranku, jenderal ini adalah seorang bijaksana dan gagah perkasa. Kau pulanglah dan coba kau perhatikan sepak terjang para pejuang itu dari dekat. Kalau aku tidak salah, Li Goan inilah orangnya yang patut kita bantu."
Kemudian ia memberi perintah kepada Pek-sim Ngo-lojin untuk memberitahukan semua anggauta Pek-sim-kauw agar supaya di manapun juga cabang mereka berada, suka membantu pergerakan untuk menumbangkan kekuasaan kaisar dan kaki tangannya yang lalim dan kejam.
Maka setelah kakek sakti ini selesai memberi wejangan, bubarlah enam orang muridnya itu. Sian Lun langsung melanjutkan perjalanan ke Tai-goan, sedangkan kelima orang pendeta itu lalu berpencar untuk menghubungi anak buah mereka di berbagai kota. Kemudian ternyata bahwa bantuan para pendeta Pek-sim-kauw ini merupakan dorongan yang besar sekali, dan tenaga mereka benar-benar amat berjasa dalam perjuangan menumbangkan pemerintah Sui yang sudah tak disukai rakyat lagi. Adapun Liem Sian Lun segera keluar dari kota Ceng-tu dan menuju ke timur. Akan tetapi, baru saja ia keluar dari kota, tiba-tiba berkelebat bayangan yang gesit sekali dan tahu-tahu Liang Gi Cinjin telah berada di sampingnya. Sian Lun cepat memberi hormat kepada gurunya ini sambil memandang heran.
"Sian Lun, sesungguhnya dalam keadaan kacau seperti ini, tidak semestinya aku memberitahukan ini. Akan tetapi sukarlah bagiku untuk menahan keinginan hatiku ini. Aku telah bertemu dengan seorang gadis yang ilmu kepandaiannya luar biasa sekali dan ia adalah ahli waris dari seorang yang dulu amat kuhormati. Ia telah mewarisi ilmu silat dari sahabatku, Panglima Besar Kam Kok Han dan tentang ilmu pedangnya, mungkin hanya dia yang akan dapat menghadapi Pek-sim-kiam-hoat. Melihat keadaan gadis itu, sebelum kau datang, telah timbul niat dalam hatiku untuk menjodohkan kau dengan dia. Hal ini tentu saja terserah kepadamu dan kepada orang tuamu, akan tetapi aku yakin bahwa kalau ayahmu mendengar bahwa gadis itu adalah ahli waris Panglima Kam Kok Han yang besar dan terkenal, pasti ia akan setuju juga. Nah, puaslah hatiku telah menyampaikan hal ini kepadamu, muridku. Ketahuilah bahwa aku telah memberikan pedangku Pek-hong-kiam kepadanya, maka mudah saja kau mengenalnya apabila kau melihat pedangnya."
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Sian Lun, kakek itu berkelebat pergi. Sampai beberapa lama Sian Lun berdiri dengan muka merah, dan ia heran sekali melihat sikap suhunya ini. Benar-benar orang-orang tua di dunia kang-ouw ini mempunyai watak yang luar biasa anehnya.
Kemudian Sian Lun melanjutkan perjalanan. Ia melihat berbondong-bondong rakyat mempersatukan diri dan ikut dalam perjuangan menyerang tentara Sui yang berada di daerah mereka. Di mana-mana orang memegang pedang dan tombak sehingga suasana menjadi panas sekali. Hal ini membuat Sian Lun makin ingin lekas-lekas tiba di rumah dan ia mempercepat perjalanannya. Apalagi setelah ia tiba di daerah Tai-goan dan mendengar bahwa kini Tai-goan sudah bergolak dan Jenderal Li Goan sudah mengumpulkan balatentara untuk menyerang kota raja. Akan tetapi, bukan main kagetnya ketika ia tiba di depan pintu rumah keluarganya, ia melihat di depan tergantung kain putih dan di ruangan depan nampak duduk banyak sekali tamu. Ibunya sedang bersembahyang, menyembayangi meja tanpa ada peti matinya. Sian Lun melompat maju dan memeluk ibunya.
"Ibu..., ada apakah...? Siapa... siapa yang...?"
Nyonya yang sedang menangis itu menengok dan melihat Sian Lun, ia menubruk puteranya sambil menangis tersedu-sedu. Di antara tangis dan sedu sedan, nyonya Liem menceritakan kepada anaknya betapa Liem Siang Hong telah dihukum mati oleh kaisar. Bukan main seduh dan marahnya hati Sian Lun mendengar ini. Dengan air mata bercucuran ia berlutut di depan meja sembahyang itu dan tanpa memperdulikan pandangan semua mata yang berada di situ, ia bersumpah keras-keras.
"Ayah, aku bersumpah untuk membalaskan sakit hati ini, untuk membantu perjuangan menumbangkan pemerintahan yang lalim dan untuk mencari serta membunuh kaisar jahat itu."
"Anak muda, bangunlah! Berlakulah tenang. Ucapanmu tadi lebih mudah dikeluarkan dari mulut dari pada dilaksanakan!"
Terdengar suara yang berpengaruh dan sebuah tangan yang amat kuat memegang pundaknya. Sian Lun merasa terkejut sekali karena merasa betapa tangan ini telah mengerahkan tenaga menekan pundaknya dengan kekuatan yang sedikitnya ada delapan ratus kati beratnya. Ia cepat mengumpulkan lweekang untuk menahan tekanan ini dan dengan gerakan pundak yang gesit ia berhasil melepaskan pundaknya lalu bangun berdiri. Ternyata di depannya telah berdiri seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah sekali. Orang ini berpakaian sebagai seorang panglima, seperti pakaian ayahnya dan untuk beberapa lama Sian Lun tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa.
Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo