Ceritasilat Novel Online

Sepasang Rajah Naga 7


Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



"Akan tetapi, putera saya baru berusia lima belas tahun dan belum berpengalaman Bagaimana dia akan mampu melakukannya?"

   Bantah Ouw Yang Lee.

   "Pangeran Ceng Sin tidak mempunyai pasukan pengawal yang kuat. Membunuhnya bukan merupakan pekerjaan berat dan kami melihat bahwa pemuda ini sudah memiliki ilmu kepandaian yang tangguh. Kalau dia tidak sanggup melakukan tugas sederhana ini, apa perlunya dia diajak ke sini? Lebih baik engkau seorang diri saja, Ouw Yang Sicu, dan tidak mengajak anakmu kalau dia penakut."

   "Ayah, saya sanggup melakukan itu!"

   Tiba-tiba Ouw Yang Song Bu berseru tegas kepada Ayahnya.

   "Taijin, saya sanggup melakukan perintah itu!"

   "Bagus, begitulah sepatutnya sikap seorang putera datuk besar seperti Tung-Hai-Tok Ouw Yang Lee majikan Pulau Naga! Nah, bagaimana pendapatmu. Sicu?"

   Ouw Yang Lee menghela napas.

   "Saya tidak meragukan kemampuan putera saya, Taijin. Kalau tadi saya ragu-ragu adalah karena mengingat usianya yang masih muda dan belum berpengalaman. Akan tetapi kalau dia sudah menyatakan tekadnya untuk melaksanakan perintah itu, sayapun hanya menyetujuinya."

   "Bagus kalau begitu. Tidak percuma kami mengundang Sicu ke sini. Nah, Ouw Yang Song Bu, bersiaplah engkau. Nanti kami akan menyuruh seorang pengawal untuk mengantarmu sampai di luar rumah Pangeran Ceng Sin. Setelah itu engkau harus bertindak sendiri, menyerbu masuk dan membunuh Pangeran itu. Kalau engkau berhasil menyingkirkan Pangeran Ceng Sin, berarti engkau telah membuat jasa besar dan jasarnu akan kami catat."

   Ayah dan anak itu mendapatkan sebuah kamar di bagian belakang gedung itu, kamar yang luas dan lengkap dengan perabot kamar yang serba mewah. Setelah membuat persiapan, mengenakan pakaian serba hitam yang ringkas, dengan kain pengikat rambut berwarna hitam pula, membawa sebatang pedang yang digantung di punggung, sepatunya dari kain ringan dan hitam, Song Bu tampak tampan dan gagah.

   "Berhati-hatilah, bawa dua buah alat peledak ini untuk Kau pergunakan melarikan diri kalau terkepung. Cepat bunuh Pangeran itu dan cepat pergi, hindarkan diri dari pengeroyokan yang membahayakan. Jangan ragu untuk menggunakan Ang Tok Ciang (Tangan Racun Merah) kalau sampai bertemu

   dengan lawan tangguh,"

   Pesan Ouw Yang Lee kepada puteranya itu.

   Song Bu mengangguk. Biarpun selama ini dia belum pernah membunuh orang, bahkan belum pernah terlibat dalam perkelahian, namun dia sama sekali tidak merasa gentar dan merasa yakin bahwa dia akan mampu melaksanakan tugasnya. Setelah dia siap, seorang prajurit pengawal lalu mengantarnya keluar dari kompleks atau daerah Istana. Dengan adanya prajurit pengawal ini, Ouw Yang Song Bu dapat melalui para penjaga di pintu gerbang kompleks Istana itu dengan mudah. Mereka berdua lalu ke luar dan menuju ke sebuah jalan besar di Kotaraja, kemudian prajurit itu berhenti di depan sebuah gedung yang tidak berapa besar dan dari luar tampak sederhana saja. Di pintu pekarangan itu terdapat dua orang laki-laki yang agaknya merupakan penjaga gedung itu. Inilah rumah Pangeran Ceng Sin, Ouw Yang Kongcu,"

   Kata prajurit itu.

   "Tugas saya hanya mengantar Kongcu sampai di sini kernudian menunggu Kongcu di sini setelah Kongcu selesai melaksanakan tugas itu. Saya akan bersembunyi di balik pohon ini, Kongcu."

   Prajurit pengawal itu lalu menyelinap di balik batang pohon. Song Bu berdiri di bawah bayangan pohon yang gelap. Matanya memandang ke arah rumah itu dengan tajam menyelidik. Malam telah agak larut dan tentu para penghuni rumah itu sudah tidur, pikirnya. Di luar hanya ada dua orang penjaga dan tidak tampak ada penjaga lain di sekitar pekarangan itu. Dia menyapu sekitar pekarangan dengan pandang matanya dan melihat betapa pagar yang mengelilingi rumah itu tidaklah begitu tinggi dan di sebelah kanan rumah itu terdapat sebuah taman bunga kecil.

   Semua ini dapat dilihat dari bawah pohon karena adanya beberapa lampu gantung di bagian depan dan sebelah kanan rumah itu. Setelah memperhitungkan dengan pandang matanya, Song Bu lalu bergerak cepat menyelinap di antara kegelapan bayang pohon menuju ke bagian kanan rumah itu, Ia telah yakin bahwa di situ tidak terdapat penjaga, dia lalu melompati pagar dan turun di dalam taman bunga. Dia mendekam sebentar untuk memperhatian keadaan. Setelah menanti beberapa saat dan tidak melihat berkelebatnya orang atau mendengar suara yang mencurigakan, Song Bu lalu berloncatan dan menyelinap di antara tanaman bunga, menghampiri rumah gedung itu. Tak lama kemudian dia sudah melompat ke atas wuwungan rumah itu dam mengintai dari atas. Di sebelah dalam rumah itu sudah sepi. Dia lalu melayang turun ke dalam.

   Akan tetapi baru saja kakinya hinggap di atas tanah, terdengar bentakan nyaring dan lima orang sudah mengepungnya. Mereka memegang golok dan ternyata mereka ini adalah lima orang yang bertugas mengawal keluarga Pangeran itu, di samping dua orang lagi yang sedang berjaga di pintu pekarangan. melihat ada seorang pemuda berpakaian hitam-hitam memasuki rumah itu, lima orang yang sedang melakukan perondaan itu merasa terkejut dan segera tahu bahwa pendatang ini tentu bermaksud buruk. Maka tanpa banyak kata lagi mereka sudah menyerang dengan golok mereka. Song Bu melihat serangan mereka dan tahu bahwa biarpun tampaknya tangkas, lima orang ini hanya menguasai ilmu silat yang biasa saja. Maka, diapun bergerak lincah menghindarkan diri dari serangan lima batang golok itu dan di lain saat dia telah mencabut pedangnya. Pertempuran terjadi, namun tidak lama.

   Dengan gerakannya yang lincah dan permainan pedangnya yang amat cepat dan kuat, Song Bu membuat lima orang itu roboh satu demi satu dan tidak mampu bergerak lagi, mendengar suara rIbut-rIbut itu telah membangunkan para penghuni rumah itu. Pangeran Ceng Sin, isterinya dan seorang anaknya terbangun demikian juga dua orang pelayan wanita setengah tua. Mereka berlari ke luar dan terkejut melihat pertempuran itu. Mereka semua berlari menuju ke ruangan belakang dan berkumpul disitu dengan ketakutan. Setelah merobohkan lima orang pengeroyoknya, Song Bu lalu melakukan pengejaran. Dia tadi melihat betapa orang-orang itu melarikan diri melalui lorong ke bagian belakang, maka diapun berkelebat cepat masuki lorong itu. Setelah tiba di ruang belakang, dua orang pelayan wanita menghadahg di depan pintu.

   "Minggir kalian!"

   Bentak Song Bu dan begitu kakinya bergerak menendang dua kali, dua orang wanita pelayan itu terlempar ke kanan-kiri.

   Song Bu melompat masuk kedalam ruangan itu yang cukup terang karena ada dua lampu gantung menerangi ruangan itu. Dia melihat seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, berwajah tampan bertubuh sedang dan biarpun pakaiannya tidak mewah namun dapat diketahui bahwa dia seorang bangsawan. Seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun berdiri di sampingnya, dengan mata terbelalak dan wajah pucat memandang kepada Song Bu, dan di samping wanita itu terdapat seorang gadis muda berusia belas tahun, cantik jelita, alisnya berkerut, matanya memandang berani dan nampaknya ia marah sekali. Song Bu tidak memperdulikan dua orang wanita yang memandangnya dengan mata terbelalak itu. Dia menujukan pandang matanya kepada laki-laki itu dan suaranya tegas ketika dia bertanya,

   "Engkau kah yang bernama Pangeran Ceng Sin?"

   Pangeran itu menjawab, wajahnya pucat namun suaranya tetap tenang,

   "Benar, aku Pangeran Ceng Sin. Siapakah engkau, orang muda dan mau apa datang ke tempat kami membuat kekacauan?"

   "Tidak penting siapa aku. Aku datang untuk membunuhmu. Bersiaplah untuk mati!"

   Dia mengangkat pedangnya, siap untuk menyerang.

   "Tidak...! Engkau tidak boleh membunuh suamiku"

   Teriak wanita cantik berusia tiga puluh tiga tahun itu dan ia sudah berdiri di depan suaminya seolah hendak melindunginya. Song Bu tertegun melihat ini. Sama sekali dia tidak menduga akan ditentang oleh seorang wanita. Kalau ada jagoan atau pengawal yang maju menghalanginya, tentu akan diserang jagoan itu. Akan tetapi kini yang menentang adalah seorang wanita cantik. Dia tertegun dan tidak tahu harus berbuat atau berkata apa. Tiba-tiba gadis remaja berusia tiga belas tahun itu melompat ke depan Ibunya dan merentangkan kedua lengan kekanan-kiri seperti hendak menghalangi Song Bu.

   "Pemuda kejam! Tak berprikemanusiaan! Rendah seperti binatang! Engkau tidak boleh membunuh Ayah Ibuku. Bunuhlah aku lebih dulu sebelum engkau membunuh Ayah dan Ibuku! Hayo bunuh, engkau pemuda pengecut yang beraninya hanya terhadap orang-orang yang lemah tak berdosa!"

   Suara gadis remaja itu lantang dan sedikitpun tidak membayangkan rasa takut, bahkan marah sekali. Sekali ini Song Bu bukan hanya tertegun, melainkan terpesona! Sama sekali tidak pernah dia dapat membayangkan akan berhadapan dengan seorang gadis remaja seperti ini, yang menantangnya seperti seekor singa betina yang liar dan buas! Timbul kekaguman dalam hatinya. Hatinya tergetar oleh suatu perasaan aneh yang mengalahkan sikap tak acuhnya, mencairkan kekerasan hatinya dan dia menarik napas panjang untuk menenteramkan hatinya.

   "Aku... aku hanya melaksanakan perintah..."

   Akhirnya dia dapat membuka mulut dan bicara seperti seorang kanak-kanak mendapat teguran karena kenakalannya! Akan tetapi tiba-tiba dia mendapatkan sebuah pikiran yang dianggapnya baik, maka dia segera berkata kepada laki-laki itu.

   "Pangeran Ceng Sin, aku tidak akan membunuhmu, akan tetapi cepat-cepatlah bawa keluargamu melarikan diri keluar dari Kotaraja. Sekarang juga! Cepat sebelum terlambat karena kalau orang lain yang datang, sudah pasti engkau akan dIbunuhnya. Cepat!"

   Tanpa banyak cakap Pangeran Ceng Sin sudah dapat menduga siapa yang menyuruh pemuda ini menyerbu rumahnya dan hendak membunuhnya. Dia tahu akan bahaya yang mengancam diri dan keluarganya, maka diapun menarik tangan isteri dan anaknya.

   "Hayo kita pergi!"

   Mereka keluar dari ruangan itu dan menuju ke bangunan di bagian belakang. Song Bu mengikutinya. Ternyata Pangeran Ceng Sin membawa anak dan isterinya itu menuju ke istal kuda di mana terdapat sebuah kereta dan beberapa ekor kuda. Pangeran itu lalu mengeluarkan dua ekor kuda dan memasang sendiri dua ekor kuda itu di depan kereta. Kesempatan ini dipergunakan oleh gadis remaja itu untuk mendekati Song Bu yang masih berdiri mengamati semua itu.

   "Siapakah namamu?"

   Tanya gadis itu.

   "Engkau telah berbaik hati tidak membunuh kami, maka aku perlu tahu namamu."

   Seperti dengan sendirinya dan wajar pengakuan itu meluncur dari mulut Song Bu.

   "Namaku Song Bu."

   Dia menahan diri untuk tidak memperkenalkan nama marganya.

   "Aku bernama Ceng Loan Cin,"

   Kata gadis itu seperti menjawab pertanyaan. Lalu ia berlari membantu Ibunya yang mengumpulkan barang-barang penting yang hendak mereka bawa melarikan diri.

   Aneh sekali Song Bu merasa betapa nama itu terngiang-ngiang dalam telinganya seperti diulang ulang. Setelah berkemas secara tergesa-gesa, hanya membawa barang yang berharga dan diperlukan benar, keluarga Pangeran itu lalu berangkat. Kereta dikusiri sendiri oleh Pangeran Ceng Sin karena malam itu kusirnya pulang ke rumahnya sendiri. Kereta berjalan melalui pintu depan di mana terdapat terdapat dua orang prajurit yang menjaga. Dua orang prajurit ini tidak tahu apa yang telah terjadi di dalam dan mereka hanya dapat memberi hormat dan memandang heran melihat Pangeran Ceng Sin dan anak isterinya naik kereta yang dikusiri sendiri oleh bangsawan itu. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani bertanya. Song Bu sengaja membiarkan kereta itu pergi sampai agak lama. Barulah dia berlari keluar. Tentu saja dua orang penjaga itu segera menegur dan menghadangnya.

   "Berhenti! Siapa Kau!"

   Mereka membentak. Akan tetapi sebagai jawaban Song Bu menyerang mereka dengan pukulan tangan. Dia sengaja bergerak lambat sehingga dapat dielakkan oleh dua orang itu yang kemudian menggunakan golok mengeroyoknya. Song Bu melayani mereka sampai belasan jurus, barulah dia menggunakan Ang Tok Ciang memukul mereka. Dua kali dia memkul dengan ilmu pukulan beracun merah itu dan dua orang itupun terpelanting roboh dan tidak mampu bangun kembali. Song Bu lari ke arah pohon di mana prajurit pengawal yang mengantarnya tadi menunggu. Dia tadi sengaja bertindak lambat agar prajurit ini menyaksikan dari bawah pohon sehingga tidak timbul kesan bahwa dia sengaja membiarkan keluarga itu lolos dan melarikan diri.

   "Ouw Yang Kongcu, engkau telah merobohkan dua orang penjaga itu. Akan tetapi saya tadi melihat Pangeran Ceng Sin melrikan diri dengan kereta!"

   "Ah, di dalam tadi aku dikeroyok banyak pengawal yang lihai sehingga agak lama aku baru dapat merobohkan mereka. Jadi Pangeran itu telah lari dengan kereta? Ke mana? Biar aku mengejar dan membunuhnya!"

   "Jangan, Kongcu. Kalau sudah keluar dari rumah, akan berbahaya sekali. KerIbutan tentu akan menarik datangnya pasukan dan sebelum Kongcu berhasil membunuh Pangeran itu, orang-orang akan melihat Kongcu. Pada hal, Kongcu harus bekerja dengan rahasia, tidak boleh terlihat orang lain agar tidak membawa-bawa nama Liu Taijin. Mari kita pulang saja membuat laporan."

   Diam-diam Song Bu merasa girang mendengar ucapan prajurit pengawal yang menemaninya itu. Memang itulah yang dia harapkan, yaitu agar dia tidak usah melakukan pengejaran, tidak usah membunuh Pangeran Ceng Sin, demi isterinya, derni anak gadisnya. Rasanya tidak mungkin dan tidak sampai hati kalau dia harus membunuh ketiganya.Ternyata setelah tiba di gedung tempat tinggal Liu Thaikam, pembesar ini belum tidur. Dia sengaja menanti kembalinya, bersama Ayahnya duduk di ruangan dalam. Song Bu bersama prajurit pengawal itu masuk ke ruangan itu dan menghadap. Belum juga Song Bu duduk, Liu-Thaikam telah menyambutnya dengan pertanyaan penuh gairah.

   "Bagimana, Ouw Yang Song Bu? Berhasil baikkah engkau membunuh Pangeran Ceng Sin?"

   Song Bu duduk di atas sebuah kursi dan prajurit pengawal itu tetap berdiri den sikap hormat.

   "Maafkan saya, Taijin. Ketka saya berhasil memasuki gedung tempat tinggal Pangeran itu, lima orang jagoan mengepung dan mengeroyok saya. Kepandaian lima orang itu cukup tangguh sehingga setelah lama bertanding dan bersusah pAyah akhirnya saya dapat merobohkan mereka berlima. Akan tetapi ketika saya cari-cari kedalam rumah itu, saya hanya menemukan seorang wanita pelayan yang saya robohkan sedangkana, Pangeran itu dan keluarganya tidak di dalam rumah. Agaknya ketika saya bertanding melawan lima orang jagoan itu, dia telah melarikan diri dengan kereta seperti terlihat oleh prajurit pengawal ini. Ketika saya ke luar, kembali saya dihadang oleh dua orang pengawal yang menjaga pintu pekarangan. Kami bertanding dan saya dapat merobohkan dua orang itu. Akan tetapi kereta itu telah lama pergi, menurut keterangan prajurit pengawal ini.

   "Maafkan saya, Taijin. Tadinya saya hendak melakukan pengejaran terhadap Pangeran yang lari dengan kereta, akan tetapi prajurit pengawal itu mencegah karena khawatir kerIbutan itu memancing datangnya pasukan dan saya akan dilihat orang."

   "Herm, benarkah itu?"

   Tanya Liu-Thaikam kepada prajurit pengawal itu. pengawal itu mengangguk membenarkan dan Liu-Thaikam mengangguk-angguk.

   "Sudahlah, Song Bu. Biarpun engkau gagal membunuhnya, setidaknya engkau telah membunuh para jagoannya dan hal ini tentu membuat dia ketakutan. Kalau dia melarian diri dan tidak berani kenbali lagi ke Kotaraja, hal itu sudah baik sekali. Jasamu cukup besar dan engkau boleh beristirahat. Ayahmu sedang hendak melaksanakan tugasnya."

   Song Bu memandang kepada Ayahnya dan Ouw Yang Lee memberi isyarat dengan gerakan kepalanya agar pemuda itu pergi dan tidur di kamar mereka. Song Bu lalu mengundurkan diri. Prajurit pengawal itupun disuruh pergi oleh Liu-Thaikam.

   "Nah, sekarang tiba saatnya bagimu untuk memperlihatkan kesungguhan hatimu dan kesetiaanmu, Ouw Yang-Sicu. Puteramu sudah bekerja dengan baik dan aku menghargainya sekali. Sekarang tengah malam lewat dan kiranya saat seperti ini yang paling baik bagimu untuk bergerak. Sudah kukatakan bahwa rumah Panglima Koan tentu terjaga ketat, jauh lebih kuat dibandingkan dengan penjagaan di rumah Pangeran Ceng Sin. Engkau sudah tahu benar tentang letak gedung tempat tinggal Panglima Koan Tek bukan?"

   "Sudah, Taijin. Keterangan dan gambaran tadi sudah jelas dan saya kira saya akan dapat menemukan rumah itu dengan mudah. Dan harap Paduka jangan khawatir. Saya sudah berpengalaman, tidak seperti anak saya yang masih hijau. Paduka dengar saja, sebelum matahari terbit, tentu Panglima Koan Tek telah kehilangan nyawanya."

   "Bagus, mudah-mudahan berhasil, Ouw Yang-Sicu. Panglima Koan Tek itu merupakan seorang yang amat berbahaya bagi kami dan bukan tidak mungkin pembunuh yang pernah menyerbu ke sini itu adalah dia orangnya. Hati-hati, dia mempunyai banyak kaki tangan yang lihai. Kami akan menanti kembalimu, Ouw Yang-Sicu dan tidak akan dapat tidur sebelum engkau kembali membawa berita yang menyenangkan."

   Ouw Yang Lee lalu bersiap-siap. Seperti juga Song Bu tadi, diapun mengenakan pakaian serba hitam yang sudah dipersiapkan oleh Liu-Thaikam. Bahkan dia mengenakan topeng dari kain hitam untuk menutupi mukanya. Tidak seperti Song Bu yang sama sekali belum terkenal, Ouw Yang Lee adalah seorang yang sudah amat terkenal di dunia kang-ouw. Kalau dia ber tindak tentu dia akan dikenal orang dan hal ini sama sekali tidak dikehendaki oleh Liu Thaikam. Karena itulah Ouw Yang Lee menggunakan kedok kain hitam. Kemudian, bagaikan sesosok bayangan iblis dia berkelebat lenyap di antara kegelapan malam. Ouw Yang Lee tidak perlu diantar prajurit pengawal karena untuk dapat keluar dari kormpleks Istana tanpa diketahui penjaga merupakan hal yang mudah baginya,

   Dan untuk mencari rumah gedung tempat tinggal Koan-Ciangkun juga bukan merupakan pekerjaan sukar karena dia sudah hafal akan keadaan Kotaraja yang dulu sering dikunjunginya. Apa lagi dia sudah mendapat petunjuk dan gambaran dari Liu-Thaikam bahwa rumah tempat tinggal Panglima itu berada di sebelah selatan Jembata Bulan Merah. Suasana sudah amat sepi karena malam telah larut, tengah malam telah lewat. jalan-jalan sudah ditinggalkan orang dan Kotaraja tampaknya sudah tidur, Bayangan hitam itu berkelebat cepat sekali dan andaikata ada orang melihatnya, tentu tidak akan mengira bahwa yang berkelebat itu adalah bayangan orang. Ouw Yang Lee mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan seperti terbang cepatnya. Sebentar saja sudah tiba di tempat yang dituju, yaitu di depan sebuah gedung besar, gedung yang terletak di sebelah selatan Jembatan Bulan merah.

   Jalan di depan gedung itupun sunyi sekali, tidak tampak seorangpun lewat. Akan tapi pandang mata yang tajam dari Ouw Yang Lee dapat melihat belasan orang perjurit melakukan penjagaan di dalam dan gardu penjagaan yang berada di pinggir halaman gedung yang luas. Dia mendekam di balik semak yang tumbuh di bawah pohon, mengamati dan memperhitungkan keadaan. Besar sekali bahayanya dia akan gagal kalau dia menyerbu lewat pintu halaman itu. Biarpun dia akan manampu merobohkan belasan orang penjaga itu, namun kerIbutan itu pasti akan memancing keluarnya lebih banyak lagi prajurit pengawal dan juga jagoan-jagoan yang menjaga keselamatan Panglima itu. Tidak, dia harus dapat masuk tanpa diketahui oleh penjaga. Akan tetapi dia harus dapat menguasai seorang karyawan dalam gedung itu. Akan sukarlah baginya untuk dapat menemukan kamar sang Panglima tanpa ada orang yang memberi petunjuk.

   Setelah mempertimbangkan baik-baik, dia lalu bergerak cepat menyelinap di dalam bayangan-bayangan yang gelap mengitari pagar tembok yang cukup tinggi menuju ke belakang gedung. Dia menunggu sebentar dan benar saja, lima orang prajurit pengawal lewat di luar pagar tembok itu, agaknya mengadakan perondaan di sekeliling pagar tembok. Setelah lima orang peronda itu lewat, barulah Ouw Yang Lee menggunakan kepandaiannya. Dia mengeluarkan segulung tali hitam yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya. Di ujung tali itu terikat sebuah kaitan tiga cabng dari besi. Dia tidak berani menggunakan ginkang untuk melompat ke atas pagar tembok yang tinggi itu. Selain pagar itu amat tinggi, juga andaikata dia dapat melompat ke atasnya, dia khawatir di atas pagar tembok itu dipasangi alat rahasia yang akan memberi tanda akan kedatangannya, atau dipasangi jebakan.

   Menggunakan tali lebih aman. Sekali lontaran saja, kaitan besi itu telah mengait puncak pagar tembok dan dia pun mulai memanjat tembok itu menggunakan tali. Cepat seperti seekor kera tubuhnya sudah tiba di atas. Dengan hati-hati dia mengintai ke sebelah dalam. Sunyi saja. Aman keadaannya, apa lagi diapun dilindungi kegelapan malam. Dia naik ke atas pagar tembok, menarik tali yang menggantung di luar tembok, kemudian dengan hati-hati dia turun ke sebelah dalam, juga melalui tali itu. Melompat begitu saja kebawah juga berbahaya karena keadaan gelap dan siapa tahu di bawah terdapat jebakan. Setelah tiba di bawab, dia menarik tali itu sehingga kaitannya di atas terlepas. Dia menggulung tali dan mengikat kan di pinggangnya, kemudian dia mulai mengamati keadaan sekelilingnya. Dari lampu yang dipasang di tempat itu dia melihat bahwa dia berada di sebuah taman yang cukup luas.

   Taman ini penuh tanaman bunga sehingga memudahkan dia untuk menyusup diantara tanaman bunga menghampiri gedung. Dengan mudah Ouw Yang Lee membuka daun pintu sebuah kamar yang kecil tanpa menimbulkan suara sehingga laki-laki setengah tua yang tidur di atas dipan dalam kaar itu tidak terbangun. Dari pakaiannya, ketika dia mengintai dari jendela tadi, dia tahu bahwa orang itu tentu seorang pelayan, maka dia mengambil keputusan untuk memilih orang itu sebagai penunjuk jalan agar dia dapat menemukan kamar sang Panglima. Bagaikan seekor kucing saja, dia melompat memasuki kamar melalui jendela yang sudah terbuka dan dengan hati-hati dia cepat menutupkan lagi daun jendela dari dalam agar jangan sampai menarik perhatian orang. Sekali meloncat, dia sudah berdiri di depan pembaringan.

   Untung baginya bahwa pelayan itu memiliki kebiasaan tidur tanpa memadamkan lampunya, walaupun lampu itu bernyala kecil saja sehingga dia dapat melihat dengan jelas keadaan laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun itu. Ouw Yang Lee menggerakkan tangan kanannya dengan cepat dan dia sudah menotok kearah pundak dan tenggorokan orang itu. Orang itu tersentak kaget dan terbangun dari tidurnya. Akan tetapi dia hanya mampu membelalakkan kedua. matanya, sama sekali tidak dapat dapat bergerak lagi dan tidak dapat mengeluarkan suara. Ouw Yang Lee mencabut pedangnya yang berkilauan terkena sinar lampu yang redup dalam kamar, lalu menempelkan pedang itu di leher pelayan yang sudah tidak mampu bergerak dan bersuara itu. Dia hanya menjadi pucat dan seluruh tubuhnya gemetar, tanda bahwa dia berada dalam keadaan ngeri dan takut sekali.

   "Kalau engkau masih ingin hidup, engkau harus menunjukkan kepadaku di mana Panglima Koan Tek berada. Kalau dia sudah tidur, dia tidur di kamar yang mana? Awas, kalau engkau menipu dan membohongiku, kepalamu akan kupisahkan dari badanmu!"

   Dia menekan pedangnya sehingga orang itu menjadi semakin ketakutan dan tanpa dapat ditahan lagi, basahlah celananya! Ouw Yang Lee menepuk pundaknya sehingga dia dapat bergerak kembali akan tetapi tetapi masin tidak dapat mengeluarkan suara. Dia tidak mampu berteriak dan untuk melawan, tentu saja dia tidak berani. Dia hanyalah seorang pelayan biasa yang lemah. Maka dia hanya dapat mengangguk-angguk tanda bahwa ia akan mematuhi perintah orang bertopeng hitam yang menempelkan pedang di lehernya itu.

   "Hayo kita ke luar dan tunjukkan kamarnya!"

   Bisik Ouw Yang Lee dengan suara mengancam. Orang itu bangkit dan berjalan ke pintu, diikuti Ouw Yang Lee yang masih menodongkan ujung pedangnya di punggung orang itu.

   Pelayan itu membuka daun pintu dan melangkah menuju ke ruangan tengah melalui pintu tembusan yang menghubungkan rumah induk dengan rumab para pelayan di bagian belakang itu. Kini mereka tiba di Bundaran terbuka yang luas dan di sekeliling Bundaran itu terdapat kamar-kamar yang pintu dan jendelanya tertutup. Tanpa petunjuk, alangkah sukarnya mencari tempat di mana Panglima Koan Tek berada. Tidak mungkin harus memasuki semua kamar itu satu demi satu. Pasti akan menimbulkan kerIbutan sebelum dia berhasil menemukan orang yang dicari, besar kemungkinannya dia sudah dikepung dan dikeroyok. Perhitungannya memang tepat. Pelayan itu ketakutan setengah mati dan tentu tidak akan berani menipunya. Tiba-tiba dia mendengar langkah kaki di sebelah kiri dan secepat kilat dia menyambar pundak pelayan itu dan tariknya bersembunyi di belakang sebuah pilar yang besar.

   Dia mengintai dari pilar dan melihat dua orang melangkah perlahan-lahan sambil bercakap-cakap. Yang seorang bertubuh tinggi besar, berumur kurang lebih tiga puluh lima tahun dan dan dari pakaiannya Ouw Yang Lee tahu bahwa orang itu tentu seorang perwira. Orang kedua bertubuh kurus tinggi dan rambutnya digelung ke atas, pakaiannya seperti yang biasa dipakai para Tosu (Pendeta To), punggungnya terdapat sebatang pedang dan usianya sekitar lima puluh tahun. Ouw Yang Lee mencatat dalam hatinya. Dua orang itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi, hal ini dapat dilihat dari langkah dan sikap tubuh mereka. Terutama sekali Tosu itu. Matanya mencorong dan dia pasti seorang ahli tenaga dalam yang tangguh dan kuat. Setelah dua orang itu lewat dan menghilang ke dalam sebuah pintu tembusan, Ouw Yang Lee berbisik kepada tawanannya

   "Hayo cepat tunjukkan, di mana kamar Panglima Koan Tek!"

   Pelayan itu menunjuk dengan telunjuk kanannya ke arah sebuah kamar yang berada di tengah-tengah deretan banyak kamar itu. Ouw Yang Lee memandang.

   "Yang di atas pintunya terdapat kertas (jimat) berwarna kuning dengan huruf merah itu?"

   Orang itu mengangguk mernbenarkan.

   Setelah mendapat keterangan ini, Ouw Yang Lee hendak membunuhnya, akan tetapi dia scgera teringat. Dia masih membutuhkan orang ini. Andaikata ternyata orang ini menipunya dan kamar itu bukan kamar Panglima, dia dapat mengancamnya lagi. Kalau sudah dIbunuh tidak akan ada gunanya lagi. ia lalu menotoknya lagi dan orang itu roboh terkulai, tidak mampu bergerak. Ouw Yang Lee mencengkeram baju di punggung pelayan itu dan mengangkatnya, menyembunyikan tubuh pelayan itu di balik sebuah pot besar sehingga tidak akan mudah terlihat kalau ada orang lewat di Bundaran itu. Kemudian dia berkelebat cepat ke arah kamar yang ditunjuk. Setelah memandang ke sekeliling dan mendapat kenyataan bahwa keadaan di tempat itu sunyi, tak tampak atau terdengar ada orang lain, dia mengetuk daun pintu dengan kuat beberapa kali.

   "Koan-Ciangkun... Koan-Ciangkun...!"

   Serunya dan dengan pengerahan tenaga dari pusar dia dapat membuat suaranya seperti menembus daun pintu itu sehingga terdengar lantang di sebelah dalam kamar.

   "Siapa di luar?"

   Terdengar pertanyaan suara yang berat dari dalam kamar. Saya, Ciangkun, seorang prajurit pengawal. Saya ingin menyampaikan laporan yang penting sekali. Keadaan berbahaya dan gawat, Ciangkun!"

   Kata Ouw Yang Lee.

   "Tunggu dulu...!"

   Suara dari dalam menjawab dan tak lama kemudian daun pintu terbuka dan tampak seorang laki-laki tinggi besar, usianya kurang lebih empat puluh tahun, berdiri di ambang pintu dengan sebatang pedang di tangannya. Pakaiannya masih kusut karena dipakai tidur. Di belakangnya tampak seorang wanita muda yang cantik, juga pakaian dan rambutnya kusut seperti baru bangun tidur. Tai-Ciangkun (Panglima besar) Koan.

   "Ya, ada apa? Siapa engkau?"

   Balas tanya Panglima bertubuh tinggi besar itu. Dia memandang dengan alis berkerut melihat seorang berpakaian hitam-hitam dan mukanya ditutup topeng kain hitam pula.

   "Mampuslah!"

   Bentak Ouw Yang Lee sambil menyerang dengan pedangnya. Serangan kilat ini selain cepat juga kuat sekali, meluncur dan mengarah dada Panglima itu. Akan tetapi Panglima Koan Tek bukan seorang lemah dan diapun sudah siap membela diri dengan pedang di tangan. Dia menggerakkan pedangnya menangkis dengan pengerahan tenaga.

   "Tranggg""

   Bunga api berpijar dan Panglima itu terhuyung ke dalam kamar. Ternyata dia tidak mampu menandingi tenaga Ouw Yang Lee yang amat kuat itu. Ouw Yang Lee menerjang masuk ke kamar dan wanita muda itu menghalanginya seperti hendak melindungi Panglima yang terhuyung kebelakang, Ouw Yang Lee menendang...

   "Desss...!!,"

   Tubuhnya mencelat jauh membentur dinding dan iapun roboh terkulai dalam keadaan pingsan. Ouw Yang Lee menyerang lagi pada Panglima yang sudah dapat mengendalikankan keseimbangan tubuhnya.

   Melihat serangan yang hebat ini, Panglima Koan melompat ke samping untuk mengelak sambil berteriak memanggil para pengawalnya. Suaranya lantang ketika dia berteriak dan hal membuat Ouw Yang Lee marah dan khawatir. Maka dia lalu menyerang lagi dengan pedangnya. Ketika Panglima Koan tek menangkis dan sekali lagi terhuyung, Ouw Yang Lee mengejar dan tangan kirinya yang telah berubah kemerahan karena sejak tadi dia sudah mengerahkan ilmu Ang Tok Ciang (Tangan Beracun Merah) mendorong dengan kuat dan cepatnya ke arah dada kiri Panglima. Pahglima Koan Tek tidak dapat menghindarkan dirinya dari pukulan itu karena tubuhnya sedang terhuyung. Biarpun dia menggerakkan lengan kiri ke depan untuk menangkis dan melindungi tubuhnya, tetap saja tangan kiri Ouw Yang Lee mengenai dadanya.

   "Plakk...!"

   Tubuh Panglima itu tersentak dan terjengkang roboh, tidak mampu bergerak lagi karena dadanya telah terkena pukulan Ang Tok Ciang yang amat ampuh dan beracun. Merasa yakin bahwa pukulan Ang Tok Ciang tadi pasti membunuh korbannya, Ouw Yang Lee lalu melompat keluar dari kamar itu karena khawatir bahwa teriakan Panglima tadi akan mendatangkan para prajurit. Dugaannya benar, karena begitu tiba diluar kamar, dia disambut serangan pedang yang cepat dan kuat sekali datangnya. Dia menggerakkan pedangnya menangkis.

   "Trangg...!"

   Bunga api berpijar dan dia melihat bahwa penyerangnya adalah perwira muda yang tadi dilihatnya berjalan bersama seorang Tosu. Tenaga perwira ini kuat sekali, biarpun pedangnya terpental namun perwira itu tidak goyah.

   "Penjahat busuk! Menyerahlah Kau!"

   Bentak perwira itu dan diapun menyerang diturut oleh belasa? orang yang sudah.di tempat itu. Hujan senjata tertuju kepada tubuh Ouw Yang Lee. Datuk ini mengerahkan tenaganya, memutar pedang dengan gerakan panjang dan lebar sehingga terdengar suara senjata berkerontangan dan banyak golok dan pedang terpental dan terlepas dari pegangan pemiliknya yang mengeroyok. semua orang terkejut. Ouw Yang Lee mempergunakan kesempatan ini untuk melompat jauh ke depan, lalu dengan beberapa lompatan saja tubuhnya sudah melayang keatas wuwungan bangunan yang mengelilingi Bundaran terbuka itu. Perwira itu mengejarnya dan juga melompat ke atas genteng.

   "Jahanam, hendak ke mana Kau?"

   Serunya dan ketika tangan kirinya bergerak, tiga batang piauw (senjata rahasia yang dilontarkan) meluncur ke arah tubuhnya. Mendengar berkesiurnya angin yang dibawa tiga batang senjata rahasia itu, Ouw Yang Lee terpaksa menahan langkahnya, membalik dan dengan miringkan tubuh menarik tubuh atas ke samping, dia telah dapat menghindarkan diri dari sambaran tiga batang senjata piuw itu. Akan tetapi perwira itu sudah tiba di situ dan sudah menerjangnya dengan serangan pedangnya secara bertubi-tubi.

   "Trang-trang-trang...!"

   Bunga api berpijar di kegelapan malam yang telah larut sekali itu dan terjadilah perkelahian adu pedang yang amat seru di atas genteng. Semntara itu di bawah terdengar teriakan teriakan para pengawal dan banyak di antara mereka yang membawa obor sehingga keadaan menjadi terang. Ouw Yang Lee maklum bahwa kalau sampai banyak jagoan naik dan mengepungnya, akan sukar baginya untuk dapat meloloskan diri dari tempat itu. Maka diapun mempercepat gerakan pedangnya, diselingi dengan pukulan Ang Tok Ciang yang dilontarkan tangan kirinya.

   Biarpun perwira itu dapat bermain pedang secara bagus dan kuat, namun menghadapi pukulan-pukulan Ang Tok Ciang, dia menjadi terkejut dan segera terdesak. Dia mengenal pukulan berbahaya, maka dia selalu mengelak. Ketika dia mendapat kesempatan, pedangnya membacok ke arah leher Ouw Yang Lee dengan amat cepatnya. Tidak ada waktu bagi datuk itu untuk mengelak. Dia mempergunakan kesempatan itu untuk keuntungannya. Dia menangkis dan mengerahkan Sinkang (tenaga sakti) untuk menyedot dan menempel pedang itu. Ketika dua pedang bertemu, kedua senjata itu saling melekat. Perwira itu berusaha untuk melepaskan pedangnya yang ditempel, akan tetapi pada saat itu, tangan kiri Ouw Yang Lee melancarkan pukulan Ang Tok Ciang dari jarak dekat selagi pedang mereka saling melekat.

   (Lanjut ke Jilid 07)

   Sepasang Rajah Naga (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07

   Perwira itu terkejut dan terpaksa menggerakkan tangan kirinya menyambut. Dua buah lengan kiri bersilat dan kedua telapak tangan bertemu di udara.

   "Dess...!!"

   Tubuh perwira itu terpental dan terjatuh dari atas wuwungan! Dia telah tewas seketika ketika menyambut pukulan Ang-Tok-Ciang tadi dan ketika tubuhnya terbanting ke atas tanah, nyawanya sudah melayang. Ouw Yang Lee tidak membuang banyak waktu lagi. Cepat dia melompat dan tiba di luar bangunan, ke dalam taman. Dia lalu berlari cepat ke arah pagar tembok dari mana tadi dia masuk,

   Menggunakan tali dan kaitan untuk memanjat tembok dan sebentar saja dia sudah melewati tembok itu dan tiba diluar pagar tembok. Para pengejarnya hanya terdengar suaranya saja yang gemuruh di sebelah dalam pagar tembok. Ouw Yang Lee sudah merasa lega dapat lolos dan berada di luar pagar tembok lalu melarikan diri melewati Jembatan Merah yang kedua sisinya dIbuat bulat bercat merah sehingga dinamakan Jembatan Bulan Merah, Akan tetapi baru saja dia tiba di atas jembatan itu, berkelebat sesosok bayangan orang lalu tiba-tiba di depannya telah berdiri seorang lelaki tua dengan pakaian Tosu. Di bawah sinar dua buah lampu yang dipasang di kanan-kiri jembatan, Ouw Yang Lee segera mengenal orang itu sebagai Tosu yang tadi dilihatnya di gedung Koan-Ciangkun, berjalan bersama perwira yang baru saja dia robohkan

   "Pembunuh jahat"

   Jangan harap engkau dapat melarikan diri dari depan Im Yang Tojin"

   Kata Kakek itu dan sekali tangan kanannya meraih ke belakang punggung, dia sudah meraih sebatang pedang yang berkilauan sinarnya.

   Diam diam Ouw Yang Lee terkejut juga. Dia memang belum pernah bertemu dengan Im Yang Tojin, akan tetapi dia sering mendengar akan nama besar Tosu ini. Im Yang Tojin adalah seorang tokoh dari perkumpulan agama Im Yang Kau w yang berpusat di Kim-San, Tokoh besar ini dikabarkan terusir keluar dari Im Yang Kau w karena dia melakukan pelanggaran dan dia terkenal sebagai seorang diantara mereka yang tingkat ilmunya sudah mencapai tertinggi di Im Yang Kau w. Ouw Yang Lee tidak mengira akan bertemu dengan Tosu yang agaknya kini telah menjadi jagoan atau pengawal dari Panglima Koan Tek. karena merasa dia berhadapan dengan orang yang tangguh, Ouw Yang Lee tidak ingin bicara lagi, dia harus dapat meloloskan diri dan untuk itu dia harus cepat merobohkan lawan ini, sebelum para pengejar lain berdatangan ke tempat itu.

   "Hyaaaattt...!"

   Ouw Yang Lee berseru nyaring dan pedangnya sudah meluncur dalam serangan yang dahsyat.

   "Hemmm...!!"

   Im Yang Tojin mengelak kesamping dan mengelebatkan oedangnya untuk membalas, terjadilah pertandingan pedang yang amat seru, demikian cepat gerakan pedang mereka sehingga yang tampak hanyalah dua gulungan sinar yang lebar dan dari gulungan sinar itu membuat sinar sinar yang saling serang. Dan saking kuatnya gerakan pedang itu, maka terdengarlah bunyi mendesing dan mendengung.

   
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Juga diseling bunyi berdEncingan dan tampak bunga api berpijar kalau dua batang pedang itu saling beradu. Dalam pertandingan pedang ini, Ouw Yang Lee agak mengalami kesukaran. Hal ini adalah karena Tosu itu bersilat pedang dengan tangan kirinya. Agaknya dia adalah seorang kidal. Gerakan tangan kiri itu yang kadang mengecohnya membuat Ouw Yang Lee agak sukar untuk mengikuti atau menduga perkembangan gerakan pedang lawan. Akan tetapi karena dia sendiripun seorang yang ahli bermain pedang dan ilmu silatnya sudah tinggi, dia masih dapat mempertahankan diri, walaupun dia sama sekali tidak mampu mendesak lawan. Keadaan mereka hanya berimbang saja. Pertandingan itu sudah berlangsung hampir lima puluh jurus dan Ouw Yang Lee belum mampu mendesak lawan dan tidak memperoleh kesempatan untuk melarikan diri.

   Pada saat itu terdengarlah teriakan banyak orang. Mereka adalah para prajurit pengawal yang berlari serabutan ke luar dari pintu pekarangan rumah gedung Panglima Koan Tek. Tentu saja Ouw Yang Lee menjadi makin khawatir. Tiba-tiba setelah menangkis pedang lawan sehingga terpental, dia mengerahkan tenaga dan memukul dengan tangan kirinya menggunakan ilmu pukulan Ang-Tok-Ciang! Pukulan itu dilakukan dari jarak dekat dan Tosu itu terkejut. Tak disangkanya "Pembunuh"

   Itu memiliki ilmu pukulan sedemikian dahsyat. Sekali pandang saja tahulah dia bahwa dia menghadapi sebuah pukulan maut yang mengandung hawa beracun hebat sekali. Maka, cepat diapum mendorongkan telapak tangan kanannya menyambut pukulan itu sambil mengerahkan tenaga sakti! Im Yang Sinkang (Tenaga Sakti Berlawanan).

   "Wuuutt"

   Daarrr..."

   Kedua orang itu terdorong ke belakang dan hampir terjengkang. Namun, keduanya dapat mengatur seimbangan mereka sehingga tidak sampai jatuh, melainkan hanya terhuyung. Ouw Yang Lee terkejut bukan main. Jelas, dalam pertemuan tenaga sakti tadi, lawannya dapat mengimbanginya dan biarpun dia yakin bahwa lawannya terluka, dia sendiripun menderita luka dalam tubuhnya karena dia merasa betapa dadanya sesak dan panas.

   Padahal, pada saat itu, puluhan orang prajurit telah datang dekat! Ouw Yang Lee lalu mengambil dua buah benda bulat yang tergantung di pinggangnya dan berturut-turut dia melontarkan dua buah benda itu ke arah puluhan orang prajurit yang datang berlarian. Dua kali ledakan keras itu disusul megepulnya asap hitam yang tebai sehingga penerangan yang hanya tidak seberapa besar dari lampu-lampu jembatan itu tertutup sama sekali dan keadaan menjadi gelap gulita. Ketika perlahan-lahan asap menghilang, Ouw Yang Lee telah pergi jauh dan telah memasuki kompleks Istana lalu langsung menuju ke gedung tempat tinggal Thaikam Liu. Ternyata ketika Ouw Yang Lee sudah memasuki gedung tempat tinggal Liu-Thaikam, pembesar itu masih belum tidur, sengaja menunggunya sampai waktu hampir fajar itu.

   "Bagaimana, Ouw Yang Sicu?"

   Pembesar itu menyambut dengan pertanyaan setelah Ouw Yang Lee duduk di depannya. Ouw Yang Lee tersenyum.

   "Beres, Taijin. Saya telah berhasil membunuh Panglima Koan Tek."

   Tiba-tiba datuk ini mengeluh dan memejamkan mata, menarik napas panjang karena dia merasa nyeri dalam dadanya.

   "Ah, ada apakah, Sicu? Apakah engkau terluka?"

   Sambil menahan rasa nyeri, Ouw Lang Lee berkata,

   "Saya berhasil membunuh Koan-Ciangkun dan merobohkan banyak prajurit pengawal, akan tetapi saya bertempur melawan orang yang amat lihai. Dia adalah Im Ya Tojin yang menjadi pengawal Koan Ciangkun, kami sama-sama terluka. Masih untung saya dapat meloloskan diri."

   Dengan singkat namun jelas Ouw Yang Lee lalu menceritakan semua pengalamannya ketika membunuh Panglima Koan Tek. Setelah menceritakan semuanya, Ouw Yang Lee lalu mengaso dalam kamarnya dan mengobati luka dalam dadanya dengan samadhi dan mengatur pernapasan. Adapun Liu-Thaikam dengan girang baru dapat masuk kamar dan tidur, setelah memerintahkan Giam tit, kepala pasukan pengawalnya untuk mencari berita tentang kematian Panglima koan Tek, dan juga tentang keadaan keluarga Pangeran Ceng Sin.

   Pada keesokan harinya, dengan hati girang sekali Liu-Thaikam mendengar berita yang disampaikan Giam Tit tentang Koan tek, Panglima yang menjadi musuhnya itu, benar-benar semalam telah terbunuh orang jahat bertopeng. Juga dia mendengar bahwa Pangeran Ceng Sin bersama anak isterinya melarikan diri ke luar Kotaraja dan tidak di ketahui pergi ke mana dan di rumah Pangeran itu juga terdapat seorang penjahat yang mengamuk dan membunuh banyak prajurit pengawal Tentu saja Liu-Thaikam merasa girang sekali. Dua orang di antara musuh-musuhnya yang berbahaya kini tidak akan mengganggunya lagi dan dia merasa telah mendapatkan dua orang pembantu yang selain tangguh juga telah membuktikan kesetiaannya pada malam hari tadi.

   Mendengar akan kelihaian Im Yang Tojin, Liu-Thaikam lalu mempergunakan harta kedudukkannya, mengirim orang untuk membujuk Tosu itu agar suka bekerja kepadanya. Dengan janji dan hadiah yang besar, akhirnya Liu-Thaikam berhasil menarik Im Yang Tojin menjadi pembantunya! Hal ini mudah dia lakukan karena Tosu itu kehilangan majikannya. Panglima Koan Tek telah tewas, maka tidak mungkin lagi dia bekerja menjadi pengawal keluarga Panglima itu. Maka, ketika datang penawaran dari Liu-Thaikam, tanpa ragu lagi dia menerimanya. Ketika Im Yang Tojin sudah diterima oleh Liu-Thaikam dan diperkenalkan kepada Ouw Yang Lee, dia memandang kepada datuk majikan Pulau Naga ini dengan penuh perhatian.

   "Sian-cai... (damai)...! Kiranya Tung-Hai-Tok Ouw Yang Lee juga berada di sini?"

   Katanya.

   "Ouw Yang-Sicu (orang gagah Ouw Yang), Ang-Tok-Ciang darimu sungguh amat hebat, membuat aku merasa kagum sekali. Biarpun bagi orang lain ucapan itu hanya merupakan pujian kepada orang yang pernah didengar namanya, namun bagi Ouw Yang Lee berarti lain, Tadinya dia merasa terkejut, mengamati wajah Tosu itu dengan tajam, akan tetapi melihat Tosu itu tertawa diapun lalu tertawa. Tahulah dia bahwa Im Yang Tojin sudah mengenal ilmu pukulan Ang-Tok-Ciang dan sudah tahu pula bahwa dialah orang yang bertopeng dan membunuh Panglima Koan Tek! Ah, Im Yang Tojin terlalu memuji Im Yang Sinkang yang Kau miliki itupun hebat luar biasa!"

   Katanya sambil tertawa.

   Karena masing-masing sudah tahu akan kelihaian lawan, kedua orang tokoh besar itu saling menghormati dan karena sekarang telah menjadi rekan, mereka menjadi sahabat baik. Selain dua orang datuk ini, pada suatu hari datang pula dua orang laki-laki berusia lima puluhan tahun. Mereka berdua ini memiliki bentuk tubuh yang tinggi kurus, akan tetapi keadaan wajah dan pakaian mereka sungguh aneh dan mencolok. Seorang di antara mereka mengenakan pakaian serba putih, akan tetapi yang aneh adalah wajahnya yang juga putih seperti diberi bedak tebal dan rambutnya juga sudah putih semua. Seorang manusia yang serba putih dari rambut,muka, kaki tangan dan pakaiannya! Adapun orang kedua menjedi kebalikannya. Orang kedua ini semuanya serba hitam seperti arang! Rambutnya, mukanya, kaki tangan dan pakaiannya.

   Hitam semua! Karena si serba hitam ini muiutnya selalu tersenyum menyeringai, maka kalau berada di tempat gelap yang tampak hanya giginya yang putih. Sebaliknya, si serba putih itu selalu cemberut. Bagi yang tidak mengenal mereka tentu akan menganggap kedua ini badut-badut atau orang-orang yang miring otaknya. Akan tetapi Ouw Yang Lee dan Im Yang Tojin yang berada di ruangan itu ketika Liu-Thaikam menyambut kedua orang itu, terkejut karena mereka berdua mengenal nama besar kedua orang ini. Dua orang "tu dikenal di dunia kang-ouw (sungai telaga, persilatan) sebagai Hek Pek Moko (Manusia Iblis Hitam Putih). Tidak ada yang mengetahui nama mereka yang sebetulnya, dan juga mereka itu dikenal sebagai Pek-Moko (Manusia Iblis Putih) dan Hek-Moko (Manusia lblis Hitam). Sebetulnya mereka merupakan Kakak beradik, si iblis putih yang tertua dan si iblis hitam itu adiknya.

   Mereka menjadi serba putih dan serba hitam sebagai akibat mempelajari ilmu-ilmu sesat. Akan tetapi kedua orang ini terkenal sekali kelihaiannya. Setelah ada empat orang datuk ini menjadi kaki tangan Liu-Thaikam, kekuasaan Thaikam ini menjadi semakin besar. Dia semakin ditakuti dan tidak ada lagi pihak musuh yang mencoba-coba untuk mengirirm pembunuh. Bahkan sebaliknya, setelah empat orang datuk itu bekerja kepadanya, banyak pembesar yang membEnci Liu-thaikan, satu demi satu mengalami malapetaka. Ada yang mati secara aneh dan rahasia, ada yang terpaksa melarikan diri untuk mengungsi dan melarikan diri dari ancaman maut. Mereka yang tadinya menentang kekuasaan Liu-Thaikam menjadi ketakutan dan pihak mereka menjadi semakin lemah. Sebaliknya, kekuasaan Liu-Thaikam semakin besar. Song Bu merasa beruntung sekali diajak Ayahnya dan tinggal di gedung Liu-Thaikam.

   Selain dia menjadi seorang pemuda yang disegani dan terhormat, diapun berkenalan dengan para pemuda bangsawan di lingkungan Istana, bahkan sebentar saja dia menjadi akrab dengan beberapa orang pemuda bangsawan, putera Pangeran atau puteri pejabat-pejabat tinggi dan yang menduduki pangkat penting di Kotaraja. Bahkan Kaisar Ceng Tek sendiri yang juga merupakan seorang pemuda yang selalu mengejar kesenangan dan suka berkeliaran sesuka hati, ketika mendapat kesempatan bertemu dengan Song Bu, segera menjadi akrab dan Song Bu seolah menjadi pengawalnya yang tidak resmi. Kaisar itu tahu bahwa Ouw Yang Song Bu adalah orang pemuda yang memliki ilmu silat yang tinggi dan lihai sekali, maka seringlah Song Bu diajak oleh Kaisar untuk mengawalnya kalau dia sedang pergi bersenang-senang bersama para Pangeran muda.

   Selain dapat menikmati kehldupan yang penuh kemewahan dan kesenangan, juga Song Bu mempergunakan kesempatan baik itu untuk mendekati tiga orang rekan Ayahnya, yaitu Im Yang Tojin, Pek Moko dan Hek Moko. Dia seorang pemuda yang pandai membawa diri dan mengambil hati sehingga tiga orang datuk inipun merasa suka kepadanya. Tidak mengherankan kalau mereka tidak keberatan untuk menurunkan sebagian ilmu-ilmu mereka kepada Song Bu yang melatih diri dengan tekun sehingga perlahan lahan dla menyerap ilmu-Ilmu dari tiga 0rang datuk itu, disamping gemblengan Ayahnya sendiri. Keberadaannya di Kotaraja sungguh amat dimanfaatkan oleh Song Bu yang cerdik. Diapun pandai mcnjaga diri. Biarpun dia berfoya-foya dan bersenang-senang, pesta pora dan berkeliaran sampai jauh malam, namun dia tidak terperosok ke dalam perbuatan-perbuatan rendah.

   Memang dia suka keluar masuk rumah-rumah pelesir di Kotaraja, namun dia sendiri tidak pernah mau membiarkan dirinya terjatuh ke dalam pelukan para pelacur. Dia tahu benar bahwa hal itu akan merugikannya dan merusak kesehatannya. Memang dia terbawa hanyut 0leh pergaulan dan keadaan sehingga Song Bu menjadi soorang pemuda yang tinggi hati dan sombong. Akan tetapi dia tidak pernah mau bertindak sewenang-wenang mempergunakan kekuatan, kedudukan dan kekuasaan. Bahkan tidak jarang dia menegur dan memperingatkan dengan halus apa bila di antara para pemuda bangsawan itu ada yang berbuat sewenang-wenang seperti memaksa gadis atau isteri orang untuk melayani nafsu binatang mereka. Di samping itu, dia terus tekun memperdalam ilmu-ilmunya sehingga beberapa tahun kemudian Song Bu menjadi seorang pernuda yang benar-benar lihai sekali.

   Matahari itu tampak sebagai bulatan merah yang besar sekali, tersembul dari permukaan laut di ujung sana, muncul dari garis ujung lautan dan perlahan~lahan namun pasti bulatan marah yang amat besar itu muncul dan akhirnya terlepas dari garis itu, tampak terapung di udara dan ukuran besar itu makin berkurang, makin mengecil. Akan tetapi warna merahnya makin memudar, menjadi kuning dan mulai tak tertahankan lagi mata memandangnya karena sinarnya semakin cemerlang.

   Sinar matahari pagi itu mEnciptakan jalan emas di permukaan air laut yang tenang, jalan emas yang berkilauan makin lama jalan itu semakin panjang ketika matahari naik semakin tinggi. Langit berdasar biru, dengan hiasan awam awan putih dan ada sebagian awan yang ikut terbakar oleh sinar matahari menjadi kemerahan. Di sekeliling matahari terbentuk Istana yang amat luas dan yang beraneka ragam bentuknya, ada menara-rnenara menjulang tinggi, ada benteng-benteng yang besar sekali. Kesemuanya itu bergerak, perlahan hampir tidak tampak, namun bentuk bentuk itu perlahan berubah, mengingatkan kita bahwa kesemuanya itu bergerak dan berubah. Perlahan-lahan jalan emas itupun berubah keperakan, kuning putih mcnyilaukan mata. Dan air di permukaan laut itupun mulai bergerak, mula-mula beriak lembut.

   Seperti kain berkeriputan, namun makin tinggi matahari naik, air mulai bergerak lebih kuat dan akhirnya berombak. Ombak bertemu dan bergabung menjadi alun yang berkejaran dan berlarian menuju ke pantai. Mulailah suasana yang tenang itu diisi suara gemuruh lautan yang mulai hidup, mula-mula gemersik air yang menjilat pasir di pantai, makin lama semakin gemuruh dengan suara mendesis dan berdebur pecahnya kepala alun yang terhempas ke air. Udara di atas lautan mulai dipenuhi burung-burung camar yang cecowetan mulai bekerja mencari makan ada yang sudah mulai menyambar-nyambar di permukaan air lalu naik kembali sambil membawa seekor ikan di paruhnya. Margsatwa di hutan tepi pantai juga mulai sIbuk dan riuh rendah suaranya. Pemuda berusia lima belas tahun dan Juga Kakek berusia enam puluh tahun lebih itu duduk berdampingan di atas pantai berpasir putih,

   Tanpa bicara dan sejak tadi, sudah ada sejam lebih lamanya, mereka berdua menyaksikan keadaan sekeliling, terpesona atau takjub akan semua keindahan dan kebesaran alam itu. Pemuda itu berusia kurang lebih lima belas tahun. Wajahnya berbentuk bulat telur perawakannya sedang dan rambutnya hitam gemuk, alisnya seperti bentuk golok, matanya mencorong lembut, hidungnya mancung dan mulutnya kecil manis penuh senyum, kulitnya putih. Kakek berusia enam puluh tahun lebih itu bertubuh sedang agak kurus, pakaiannya dari kain kuning yang amat sederna, dilibat-libatkan begitu saja menutup tubuhnya, rambutnya yang sudah bercampur putih itu digelung ke atas dan diikat kain putih. Wajah itu tidak berkeriput dan masih membayangkan bekas ketampanan dengan mulutnya yang selalu tersenyum cerah dan sepasang matanya yang mencorong.

   Pemuda dan Kakek itu bukan lain adalah Wong Sin Cu dan Gurunya, Bu Beng Siauwjin. Dalam perantauan mereka, mereka tiba di pantai laut timur itu dan untuk sementara tinggal di situ, membuat sebuah pondok kayu dan bambu yang berada di pmggir hutan tepi pantai. Pada pagi hari itu mereka berdua duduk menghadapi lautan, menyaksikan matahari terbit dan tenggelam dalam keindahan pagi itu.

   Setelah tenggelam ke dalam keindahan itu dan terpesona selama lebih dari satu jam, Sin Cu menghela napas panjang. Dia menyedot hawa udara yang sejuk dan jernih, kaya akan cahaya matahan pagi itu sampai dadanya penuh sampai turun ke perutnya yang menggembung, berkumpul dipusar, kemudian perlahan-lahan.dia menghembuskan udara yang sudah meninggalkan sarinya dalam tubuh pemuda itu, dan mulutnya berkata lirih penuh ketakjuban.

   "Aduh... alangkah indahnya alam, alangkah besarnya kekuasaan Tuhan, alangkah mendalamnya kasihNya...!"

   Bu Beng Snauw-jm tersenyum dan tampaklah deretan gigmya yang masih utuh,belum ompong dan putuh rapi terawat. Sin Cu, kenapa engkau melakukan penilaian akankah tadi Kau rasakan seperti yang kuraskan juga, kita berada di dalam keindahan itu, karena memjadi satu dengan keindahan kita menjadi bagian dari keindahan itu? Dengan menilai, berarti engkau teiah keluar dari keindahan itu, engkau memisahkan diri dan mengukur keindahan itu dengan akal piklranmu. Dengan demikian, maka itu semua kemudahan itu menjadl suatu kesenangan! Kalau keindahan itu sudah menjadi kesenangan, maka kelanjutan dari itu tentulah timbulnya keinginan untuk mengulang-ulang kesenangan itu dan akhirnya akkan timbul kebosanan karena semua bentuk kesenangan pasti berakhir dengan kebosanan.

   "Kalau begitu, apa yang Teecu harus lakukan dalam keadaan seperti ini Suhu?"

   "Jangan Iakukan apa-apa, Sin Cu. Biarkan saja dirimu tenggelam kedalam keindahan dan kebesaran ini, rasakan saja akan kebesaran dan kasih Tuhan yang berlimpahan dengan penuh rasa syukur dan puja puji. Dengan demikian. setiap saat akan ada keindahan baru yang menyelimutimu, keindahan hidup ini sendiri yang tidak pernah dirasakan oleh sebagian besar manusia di dunia ini. Kebahagiaan itu sudah ada pada diri manusia. tidak pernah meninggalkan manusia seperti juga Kekuasaan Tuhan tidak pernah meninggalkan manusia, akan teapi siapakah yang menyadari akan hal itu? Berkah Tuhan telah diberikan kepada seluruh manusia di dunia ini tanpa kecuali, berkah yang diberikan sebelum diminta. Akan tetapi bagaimana sambutan manusia terhadap kasih yang sedalam itu? Manusia pada umumnya tidak merasakan adanya berkah yang telah melimpah ruah itu sehingga manusia masih selalu memgajukan permohonan kepada Tuhan, minta berkah seolah olah Tuhan belum pernah menurunkan berkah kepadanya! Sungguh seperti seekor ayam yang merasa kelaparan pada fajar dia berada di dalam sebuah gudang beras! Dari pada. merasakan dan menikmati berkah yang berlimpahan itu, manusla lebih suka berkeluh kesah karena derita yang da akibatkan oleh perbuatannya sendiri."

   Sin Cu mendengarkan dengan penuh perhatian. Sudah sering Gurunya itu pada saat tertentu, mengeluarkan kata-kata yang sulit dimengerti. Hanya dengan pencurahan perhatian saja dia dapat menangkap akan maksud ucapan itu. Kesempatan ini dia pergunakan untuk mengorek keterangan Gurunya semakin dalam.

   "Suhu mengatakan bahwa kebahagiaan itu sudah ada pada diri setiap orang manusia; akan tetapi mengapa jarang sekali manusia yang berbahagia di dunia ini? Yang ada hanya kesenangan sekilas yang segera berganti menjadi kesusahan sehingga Senang susah salingberganti higgap dalam hati manusia? Bahkan lebih banyak susahnya dari pada senangnya yang dirasakan manusia di dunia ini?"

   

Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini