Ceritasilat Novel Online

Sepasang Rajah Naga 30


Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 30



"Hei kau yang berada di sana, minggirlah kalau tidak mau tertabrak!"

   Ouw Yang Hui tadi sudah melihat pemuda itu dan ia merasa girang sekali ketika mengenal pemuda itu.

   "Kakak Song Bu..."

   La berseru nyaring. Pemuda itu memang Tan Song Bu. Seperti kita ketahui, Song Bu berpencar dari Ouw Yang Lan dan kekebetulan dia bertemu dengan Ouw Yang Hui yang dilarikan Pangeran Yorgi. Dia bertanding dengan Pangeran Yorgi, mampu mendesaknya sehingga Pangeran Yorgi melarikan diri, akan tetap selagi dia bertanding dengan penculik itu, Ouw Yang Hui dilarikan orang lain. Song Bu menjadi penasaran sekali karena kehilangan jejak penculik baru itu. Dia lalu mencari terus. Dia merasa telah jatuh hati kepada Ouw Yang Hui yang lembut dan cantik jelita. Maka dia berjanji dalam hatinya bahwa dia tidak akan berhenti mencari sebelum dia bisa menemukan kembali Ouw Yang Hui yang diculik.

   Dia harus menyelamatkan gadis yang dulu menjadi sumoinya (adik seperguruannya) dan yang sekarang telah menjatuhkan hatinya itu. Secara kebetulan ketika dia sudah tiba di tempat yang tidak begitu jauh lagi dari Kotaraja, dia melihat rombongan wanita berpakaian merah yang menunggang kuda itu. Dia menjadi Curiga dan sengaja menghadang di tengah jalan untuk meneliti siapa adanya rombongan itu. Ketika para anak buah Ang I Tok-Tin itu berseru agar dia minggir agar tidak tertabrak, Song Bu sudah bergerak ke pinggir, akan tetapi pada saat itu dia mendengar seruan, Ouw Yang Hui yang memanggil namanya. Ia mengenal suara itu dan dia melihat bahwa Ouw Yang hui berada di atas kuda yang terakhir diboncengkan seorang wanita. Dia menjadi marah dan menduga bahwa enam orang wanita berpakaian merah ini tentu penculik gadis itu.

   Maka sambil bergerak ke pinggir, kedua tangannya didorongkan ke arah dua orang penunggang kuda terdepan. Dua orang wanita baju merah terkejut dan berseru sambil melompat dan berjungkir balik dari atas kuda. Kalau mereka tidak melakukan gerakan ini tentu mereka akan terjungkal dari atas kuda karena dorongan tangan itu mengandung hawa pukulan yang amat kuat! Melihat ini, Ang Hwa terkejut sekali. Apa lagi ia melihat pemuda itu mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan sinar biru. Ang Hwa menghentikan kudanya, demikian pula tiga orang anak buahnya yang masih menunggang kuda. Seperti biasa, Ang Hwa hendak menggunakan nama Pek-Lian-Kauw untuk menghindari dari perkelahian. la mengeluarkan bendera kecil bergambar teratai putih itu dan memperlihatkan kepada Song Bu.

   "Sobat, kami tidak mencari permusuhan, Harap minggir dan biarkan kami lewat!"

   Katanya. Biasanya, orang yang berniat buruk setelah melihat bendera itu tentu akan mundur karena jerih untuk bermusuhan dengan Pek-Lian-Kauw. Akan tetapi, begitu melihat bendera itu makin yakinlah hati Song Bu bahwa orang-orang ini memang telah menculik Ouw Yang Hui. Bukankah menurut cerita Ibu Ouw Yang Hui bahwa yang menculik gadis itu mengenakan baju yang ada tanda gambar teratai putih?

   "Bagus! Kalian orang-orang Pek-Lian-Kauw telah menculik orang! Hayo bebaskan adikku Ouw Yang Hui itu atau terpaksa aku tidak akan bersikap sungkan lagi terhadap wanita-wanita jahat macam kalian!"

   Bentak Song Bu sambil mengelebatkan pedangnya. Mendengar ini, Ang Hwa terkejut dan maklum bahwa perkelahian melawan orang itu tidak akan dapat dihindarkan lagi. Maka ia lalu menotok pundak Ouw Yang Hui sehingga tubuh wanita itu menjadi lemas tidak mampu bergerak. Setelah menurunkan Ouw Yang Hui dan membiarkan tubuhnya terkulai roboh, ia lalu memberi isarat kepada lima orang anak buahnya dan mereka semua berloncatan dan mengepung Song Bu dengan sepasang pisau belati beracun di tangan masing-masing.

   "Agaknya engkau sudah bosan hidup"

   Kata Ang Hwa yang memindahkan pisau di tangan kirinya ke tangan kanan sehingga tangan kanan itu memegang dua batang pisau sedangkan tangan kirinya mengambil sesuatu dari kantung di pinggangnya.

   "Hemm, kalau kalian tidak mau membebaskan gadis itu, kalianlah yang bosan hidup"

   "Katakan siapan namamu agar jangan mati tanpa nama dan kami dapat melaporkan ke atasan kami!"

   Kata pula Ang Hwa, tangan kirinya telah membawa segenggam paku kecil beracun.

   "Memang sebaliknya kalian ketahui siapa yang telah mengalahkan dan membunuh kalian, Namaku Tan Song Bu dan orang-orang menyebut aku Hek-Liong Tahiap (Pendekar Besar Naga Hitam)!"

   Baru saja Song Bu berhenti bicara, Ang Hwa sudah menggerakkan tangan kirinya dan serangkum sinar hitam menyambar kearah tubuhnya. Paku-paku kecil beracun itu menyambar ke arah muka, leher dada dan perut! Sungguh berbahaya sekali serangan ini. Paku-paku meluncur cepat sekali karena digerakkan tenaga Sinkang yang kuat dan sebatang paku saja sudah cukup untuk mencabut nyawa karena mengandung racun yang amat berbahaya! Akan tetapi sejak Ang Hwa mengambil senggaman paku dalam tangan dari dalam saku kirinya tadi, Song Bu telah mengetahuinya dan dia telah waspada. Maka ketika Ang Hwa menggerakkan tangan dan Sinar sinar hitam menyambar, tubuhnya telah meloncat ke atas, melalui atas kepala para pengepungnya dan dia turun di dekat Ouw Yang Hui. Cepat dia membebaskan totokan gadis itu hingga dapat bergerak lagi.

   "Bu-Ko, hati-hatilah."

   Ouw Yang Hui memperingatkan.

   "Mereka berbahaya sekali."

   "Tenangkan hatimu, Hui-moi, berdirilah didekat batang pohon besar itu. Aku akan melindungimu dan akan kubasmi perempuan perempuan iblis ini."

   Kata Song Bu sambil mendorong pundak Ouw Yang Hui dengan lembut ke arah sebatang pohon besar yang tumbuh di tepi jalan. Gadis itupun segera berlindung di bawah pohon. Song Bu memutar tubuhnya menghadapi enam orang anak buah Ang I Tok-Tin dengan pedang di tangan.

   "Serbuuu...!"

   Ang Hwa memberi aba-aba dan enam orang gadis berpakaian merah itu menggerakkan tangan kiri mereka. Banyak sinar hitam lembut menyambar kearah Song Bu. itu adalah senjata rahasia berupa jarum dan paku yang kesemuanya mengandung racun.

   Akan tetapi dengan tenang Song Bu memutar pedangnya, Pedang itu lenyap bentuknya dan berubah menjadi gulungan sinar yang menjadi perisai, menjadi benteng sinar yang melindungi tubuhnya. Semua senjata rahasia itu terpental dan runtuh ketika bertemu dengan gulungan sinar itu. melihat betapa serangan mereka gagal, Ang Hwa lalu memberi isarat dan enam orang itu serentak menyerang dengan sepasang pisau belati mereka. Gerakan enam orang itu, terutama sekali Ang Hwa, amat cekatan dan setiap serangan pisau mereka didorong oieh tenaga yang cukup kuat. Akan tetapi, keistimewaan dan andalan regu pengawal Kim Niocu itu adalah penggunaan racun, maka mereka disebut Ang I Tok-Tin (Barisan Racun Berbaju Merah). IImu silat mereka tidak sehebat Hek I Kiam-Tin (Barisan Pedang Berbaju Hitam) yang memang memiliki keistimewaan bermain silat pedang.

   Maka, pengeroyokan mereka itu tidak ada artinya bagi Song Bu. Ilmu pedang Coat-Beng Tok-Kiam (ilmu Pedang Racun Pencabut Nyawa) yang dimainkan amat hebat, pula ujung pedangnya juga mengandung racun yang ampuh. Gerakan pedang di tangan kanannya sudah lihai sekali, apa lagi dia masih menyelingi dengan pukulan tangan kirinya yang menggunakan Ang-Tok-Ciang (Tangan Racun Merah). Ang Hwa terkejut bukan main ketika mengenal pukulan ampuh dari telapak tangan yang berubah merah itu. Maklumlah ia bahwa keadaan mereka terancam maut. Kalau masih lengkap sembilan orang sekalipun, rasanya tidak akan mungkin menandingi pemuda lihai ini. la teringat akan Wong Sin Cu, pemuda yang juga amat lihai itu. Pemuda yang dikeroyok bersama lima orang kawannya inipun tidak kalah tangguhnya.

   "Wirrrr... singggg..."

   Angin menyambar-nyambar ketika gulungan sinar pedang Song Bu bergerak semakin cepat, dan seorang pengeroyok menjerit karena pahanya tergores ujung pedang. Dari luka paha itu menjalar rasa gatal dan ngilu ke tubuh dan anggauta Ang I Tok-Tin itu terjungkal roboh! Melihat ini, Ang Hwa cepat membanting sesuatu ke atas tanah, Terdengar suara ledakan keras dan asap hitam tebal mengepul. Song Bu cepat melompat ke dekat pohon, menarik tangan Ouw Yang Hui dan mengajaknya menjauhi asap tebal karena dia khawatir kalau asap itu mengandung racun. Terdengar derap kaki kuda dan enam orang anggauta Ang I Tok-Tin itu sudah melarikan diri dengan menunggang kuda mereka, tersembunyi oleh asap hitam tebal.

   "Bu Ko...!"

   Ouw Yang Hui terisak. Song Bu cepat memeluknya. Ouw Yang Hui menangis sambil bersandar di dada yang bidang itu dan Song Bu merasa berbahagia sekali. Dia membiarkan gadis itu menangis di atas dadanya. Air mata yang hangat itu menembus baju dan membasahi dadanya. Terasa olehnya seolah air mata itu meresap ke dalam dada membasahi dan menghangatkan jantungnya. Tanpa disadarinya, dia menggunakan lengannya untuk mendekap kepala gadis itu dengan perasaan kasih sayang yang berkembang.

   "Hui-moi! Jangan menangis lagi, jangan takut, bahaya telah lewat dan aku akan melindungimu."

   Ouw Yang Hui menahan tangisnya dan ia merasa betapa kuat dan mesranya rangkulan Song Bu kepadanya, betapa lembut dan hangatnya kata-kata yang keluar dari mulut pemuda itu. Perlahan-lahan ia melepaskan diri dari rangkulan Song Bu. Mereka berdiri berhadapan, saling pandang.

   "Bu-Ko, aku bersukur sekali dapat bertemu denganmu di sini sehingga engkau dapat membebaskan aku dari tangan orang-orang Pek-Lian-Kauw. Akan tetapi bagaimana engkau dapat begini kebetulan muncul di sini?"

   "Bukan kebetulan, Hui-moi. Setelah kau diculik orang ketika aku bertanding melawan orang bergigi emas itu, aku terus mencarimu. Hampir aku putus asa karena hampir dua bulan sudah aku mencari-cari tanpa hasil. Sukur saat ini aku dapat menolongmu dan engkau berada dalam keadaan sehat."

   Ouw Yang Hui merasa hatinya perih. Rasanya baru kemarin ketika Song Bu menolongnya dari tangan Pangeran Yorgi dan pada waktu itu ia masih seorang gadis yang belum ternoda. Akan tetapi sekarang, Ia telah diperisteri Bhong Lam, bahkan ia telah mengandung anak keturunan Bhong Lam yang kini telah tewas secara mengerikan. la menuding ke arah batu-batu yang berada di bawah pohon itu.

   "Mari kita duduk dan bicara, Bu-Ko, Kita belum sempat bicara ketika engkau menemukan aku lalu bertanding melawan penculikku dulu. Ceritakanlah semua pengalamanmu, Bu-Ko. Aku ingin sekali mendengarnya."

   "Baik, akan kuceritakan. Akan tetapi setelah aku bercerita, engkaupun harus menceritakan pengalamanmu, Hui-moi."

   Setelah gadis itu mengangguk, Song Bu melanjutkan.

   "Aku merasa menyesal sekali bahwa setelah pertemuan antara kita di Nam-Po dahulu, aku memberitahu kepada Suhu tentang dirimu sehingga Suhu bertindak kejam, membunuh Cia-Ma dan berusaha keras untuk membunuhmu pula. Setelah aku mendengar bahwa Suhu membunuh Cia-Ma dan mencari hendak membunuhmu, aku bercerita tentang dirimu dan tentang kebaikan Cia-Ma yang telah membesarkanmu, menyayangmu, sebagai anak sendiri. Suhu menyadari kesalahakan dan kekeliruannya, lalu menyuruh aku untuk pergi mencarimu sampai dapat dan membawamu ke Kotaraja."

   "Aku tidak mau ikut Ayah. Dia seorang yang berhati kejam, hendak membunuh Ibu ketika dulu Ibu kembali ke Pulau Naga diantar oleh pendekar Gan Hok San yang kini menjadi Ayah tiriku. Pada hal Ibu tidak bersalah apa-apa."

   "Aku tidak akan membawamu kepada Suhu, Hui-moi."

   "Terima kasih, Bu-Ko. Sekarang lanjutkan ceritamu."

   "Ketika aku menerima perintah Suhu itu, aku merasa girang sekali. Hal itu amat kebetulan bagiku karena aku merasa tidak suka akan sikap Suhu terhadap dirimu. Juga aku tidak suka melihat kenyataan bahwa dia membawa aku mengabdi kepada Thaikam Liu Cin yang jahat. Aku tidak suka pula melihat rekan-rekan sekerja yang terdiri dari orang-orang kang-ouw golongan sesat walaupun dari mereka aku banyak menerima petunjuk tambahan ilmu. Maka, aku lalu cepat berangkat meninggalkan mereka untuk memenuhi perintah Suhu. Akan tetapi sampai lama aku mencari, tak juga aku menemukanmu, bahkan bertemu dengan adik Ouw Yang Lan."

   "Ahh, enci Lan...!"

   Ouw Yang Hui berseru girang.

   "Bagaimana dengan ia, Bu-Ko?"

   "Nasibnya tidaklah seburuk nasibmu Hui-moi. Lan-moi dan Ibunya, Bibi Lai Kim, dibawa penculiknya, yaitu Thai-Lek-Kui Ciang Sek. Akhirnya, Bibi Lai Kim menjadi isteri Ciang Sek yang duda dan yang bersikap baik sekali terhadap Ibu dan anak itu. Lan-moi dilatih ilmu silat sehingga kini ia menjadi seorang gadis yang lihai sekali."

   "Sukurlah kalau begitu. Biarlah aku saja yang menderita kesengsaraan ini,"

   Kata Ouw Yang Hui.

   "Lalu bagaimana, Bu-Ko?"

   "Lan-moi dan aku membantu Ciang Sek ketika Suhu Ouw Yang Lee dan kawannya yang sakti bernama Tho-Te-Kong hendak membunuh Paman Ciang Sek dan Bibi Lai Kim. Setelah berhasil mengusir mereka, aku dan Lan-moi lalu pergi untuk mencari engkau dan Ibumu. Kami berhasil mengetahui bahwa Ibumu ditolong oleh Pendekar Siauw-Lim-Pai bernama Gan Hok San, maka kami lalu pergi ke Siauw-Lim-Si untuk mencari keterangan di mana tempat tinggal pendekar itu. Dan ketika kami tiba di sana, kami bertemu dengan bibi Sim Kui Hwa"

   "Memang benar, aku telah bertemu dengan Ibuku dan Ayah tiriku, dan karena terancam oleh Ayah yang hendak membunuh mereka, kami melakukan perjalanan ke Siauw-Lim-Si dan Ayah Ibu bermaksud pindah ke dekat Siauw-Lim-Si agar terlindung. Akan tetapi baru saja kami tiba di depan Kuil, aku sudah diculik orang."

   "Aku mendengar dari Ibumu akan hal itu. Maka, aku dan Lan-moi lalu melakukan pengejaran dan pencarian dengan berpencar. Akhirnya aku dapat bertemu dengan engkau yang diculik si gigi emas itu. Akan tetapi ketika kami sedang bertanding engkau lenyap dilarikan orang lain. Aku berhasil mengusir si gigi emas dan mencarimu tanpa hasil. Akhirnya aku dapat bertemu dengan engkau di sini dan berhasil membebaskanmu dari tangan wanita-wanita Pek-Lian-Kauw itu. Aku merasa beruntung sekali Hui-moi. Nah... sekarang giliranmu untuk bercerita tentang apa yang kau alami."

   Mendengar pertanyaan Song Bu, Ouw Yang Hui terkenang akan pengalamannya yang telah menghancurkan kebahagiaannya dan tak dapat ditahan lagi ia menangis tersedu-sedu. la berusaha untuk menahan tangis dan menutupi mukanya dengan kedua tangan, akan tetapi air matanya membanjir keluar melalui celah-celah jari tangannya. Pundaknya bergoyang-goyang dan tangis yang ditahan-tahannya itu mengguguk. Song Bu terkejut sekali dan dia mengerutkan alisnya. Timbul perasaan iba besar terhadap gadis itu dan saat itu juga Ia merasa bahwa dia telah jatuh cinta kepada Ouw Yang Hui. Sebetulnya perasaan ini telah dirasakannya ketika untuk pertama kali dia bertemu dengan Ouw Yang Hui di Nam-Po, di rumah Cia-Ma.

   Akan tetapi pada saat ini perasaan cinta itu terasa benar olehnya. Melihat gadis yang ketika kecil dianggapnya seperti seorang adiknya itu menangis sesenggukan, begitu menyedihkan, Song Bu tidak dapat menahan keharuan hatinya dan diapun merangkul gadis itu. Ouw Yang Hui yang sedang hancur hatinya itu, ketika dirangkul, tangisnya semakin sedih dan sejenak ia menyandarkan mukanya di dada Song Bu seolah menemukan sandaran dan perlindungan. Beberapa saat lamanya mereka berada dalam keadaan seperti itu. Ouw Yang Hui berada dalam pelukan Song Bu dan menangis terisak-isak. Setelah membiarkan gadis itu menangis dan tangisnya agak mereda, Song Bu menggunakan tangan kirinya mengelus rambut kepala Ouw Yang Hui penuh kasih sayang dan berkata dengan lembut, suaranya menggetar penuh perasaan.

   "Hui-moi..., sudahlah, jangan menangis. Semua itu sudah lewat, kini tidak ada bahaya lagi yang mengancammu. Ada aku di sini, Hui-moi dan aku akan melindungimu, akan membelamu dengan taruhan nyawaku. Aku mencintamu Hui-moi, aku ingin engkau menjadi isteriku agar selamanya aku dapat melindungi dan membelamu..."

   Mendengar ucapan yang penuh getaran kasih sayang ini, Ouw Yang Hui terkejut. Dengan lembut ia melepaskan dirinya dari pelukan Song Bu, mundur dua langkah dan tangisnya mendadak berhenti karena pernyataan cinta pemuda itu benar-benar mengejutkan hatinya. Setelah melepaskan diri dari pelukan dan melangkah mundur, Ouw Yang Hui memandang wajah Song Bu dengan wajah pucat dan kedua pipi masih basah air mata, akan tetapi ia tidak terisak lagi. la menggeleng kepala.

   "Tidak... tidak, jangan... jangan mencinta aku, Bu-Ko. Jangan mencintai diriku...!"

   Song Bu memandang heran dan perasaannya terpukul.

   "Akan tetapi, kenapa, Hui-moi? Kenapa engkau melarang aku mencintamu? Aku sungguh cinta padamu, Hui-moi!"

   "Tidak! Jangan, Bu-Ko. Maafkan, aku tidak dapat menerima cintamu."

   Ouw Yang Hui menundukkan mukanya dan dia menjadi sedih sekali.

   "Akan tetapi kenapa, Hui-moi? Apakah engkau... hendak mengatakan bahwa engkau tidak cinta padaku?"

   "Bukan begitu, Bu-Ko, akan tetapi ketahuilah bahwa aku... aku sudah bertunangan dengan Koko Sin Cu..."

   Song Bu merasa seolah dadanya terpukul. Wajahnya berubah pucat dan suaranya terdengar lirih tak bersemangat,

   "Sin Cu... Siapa dia?"

   "Cu-Ko adalah seorang pemuda yang telah menolongku ketika aku hendak dibunuh Ayah Ouw Yang Lee dahulu setelah ia membunuh Cia-Ma, Bu-Ko. Koko Sin Cu pula yang mengantarkan aku mencari Ibuku dan akhirnya aku dapat bertemu dengan Ibu dan Ayah tiriku Gan Hok San. Dia juga membantu kami ketika Ayah Ouw Yang Lee bersama seorang wanita jahat bernama Cui-Beng Kui-Bo datang menyerang kami. karena merasa terancam, Ayah tiriku lalu mengajak kami pindah ke dekat Kuil Siauw-Lim-Si. Cu-Ko juga ikut mengantar setelah kami merayakan pertunangan kami, akan tetapi di depan Kuil itu, aku diculik orang bergigi emas itu."

   Hati Song Bu merasa terpukul dan kecewa sekali mendengar gadis yang cintanya ini ternyata telah bertunangan dengan laki-laki lain. Akan tetapi dia menekan perasaan kecewanya. Dia harus dapat melihat kenyataan itu, kenyataan yang tidak mungkin diubah pula.

   "Engkau bertunangan dengan Sin Cu itu karena suka rela dan tidak dipaksa, Hui-moi?"

   Ouw Yang Hui mengangguk, maklum akan kekecewaan hati bekas Suhengnya itu.

   "Dan engkau dengan dia? engkau saling mencinta?"

   Kembali Ouw Yang Hui mengangguk.

   "Hemm, kalau begitu aku hanya mendoakan semoga engkau hidup berbahagia dengan tunanganmu itu kelak, Hui-moi. Selanjutnya bagaimana ceritamu? Ketika aku berkelahi dengan si gigi emas, engkau dilarikan orang lain dan bagaimana akhirnya dapat terjatuh ketangan enam orang wanita itu?"

   (Lanjut ke Jilid 28)

   Sepasang Rajah Naga (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 28

   Mendengar ucapan Song Bu itu, Ouw Yang Hui teringat akan semua pengalamannya selama ia menjadi tawanan Kim Niocu sehingga ia menjadi seorang gadis yang ternoda dan kini bahkan mengandung, maka tak dapat ia menahan kesedihannya dan ia menangis lagi dengan hati terasa diremas-remas. Song Bu memandang dengan iba dan haru, akan tetapi kini dia tidak berani menyentuh Ouw Yang Hi setelah ia mendengar bahwa Ouw Yang Hui mencinta pria yang bernama Sin Cu, bahkan menjadi tunangannya, calon isterinya. Dia hanya dapat menghibur dengan kata-kata.

   "Sudahlah, Hui-moi tenangkan hatimu. Semua itu telah berlalu, dan kalau ada yang merisaukan hatimu dan membuatmu penasaran, aku yang akan membantumu mengatasi persoalan yang kau hadapi."

   Ouw Yang Hui berusaha sekuatnya untuk menahan tangisnya.

   "Bu-Ko, aku... aku... orang yang paling sengsara di dunia ini. aku mengalami hal yang telah menghancurkan kebahagiaanku."

   Song Bu mengerutkan alisnya.

   "Apa yang telah terjadi, Hui-moi? Ceritakanlah! Aku orangnya yang akan membelamu kalau ada hal penasaran menimpa dirimu. Aku yang akan membalas dendam kalau ada orang yang membuatmu sengsara!"

   Setelah menenteramkan hatinya yang penuh kesedihan, Ouw Yang Hui dapat melanjutkan ceritanya.

   "Yang melarikan aku ketika engkau bertanding dengan Pangeran Yorgi itu adalah seorang pemuda bernama Bhong Lam atau panggilannya Bhong-Kongcu. Dia adalah putera Bhong Pangcu, ketua cabang Pek-Lian-Kauw. Oleh Bhong Lam itu aku diserahkan kepada Kim Niocu, puteri Ketua Umum Pek-Lian-Kauw yang mempunyai kekuasaan besar. Juga Pangeran Yorgi itu ternyata bersekutu pula dengan Pek-Lian-Kauw, Kim Niocu itu mewakili Pek-Lian-Kauw mengadakan hubungan dengan Thaikam Liu Cin di Kotaraja. la hendak membawa aku dan beberapa orang gadis tawanan lain ke Kotaraja, dengan maksud menyerahkan kami kepada Thaikam Liu Cin untuk dibagi-bagikan kepada para pembesar yang menjadi sekutunya. Aku sendiri tentu saja akan diserahkan kepada Ayah Ouw Yang Lee. Kemudian muncullah Cu-Ko! Aku tahu bahwa sejak aku diculik oleh Pangeran Yorgi yang bergigi emas itu, tentu Ayah tiriku Gan Hok San dan Koko Wong Sin Cu akan berusaha untuk mencariku. Akan tetapi dia dijebak dan tertawan pula..."

   Song Bu tertarik sekali.

   "Lalu, apa yang terjadi dengan tunanganmu itu, Hui-Moi. Ouw Yang Hui menghela napas dan memejamkan matanya seolah ingin menghapus pemandangan yang selalu mengganggunya kalau diingatnya tentang Sin Cu.

   "Dia disiksa, disiksa dengan kejam sekali oleh Kim Niocu dan aku dibawa Bhong-Kongcu untuk menyaksikannya dengan bersembunyi. Dapat kau bayangkan betapa hancur dan sakitnya rasa hatiku menyaksikan Cu-Ko disiksa seperti itu. Aku tidak tahan lagi untuk melihatnya. Pada saat itulah Bhong-Kongcu berjanji kepadaku untuk menolong dan membebaskan Cu-Ko dengan syarat bahwa aku harus mnau menjadi isterinya...

   "Si keparat!"

   Song Bu mengepal tinju dan mukanya berubah merah karena marah.

   "Pada saat itu aku hanya memikirkan keselamatan Cu-Ko. Aku yakin bahwa tanpa pertolongan Bhong-Kongcu, Cu-Ko tentu akan disiksa sampai mati oleh Kim Niocu. Aku bersedia berkorban apa saja, bahkan kalau perlu nyawaku, untuk menolong Cu-Ko!"

   "Hemm, Sin Cu itu beruntung sekali mendapatkan cintamu, Hui-moi. Kemudian, apa yang terjadi?"

   "Malam itu, Bhong-Kongcu benar-benar berhasil membebaskan Cu-Ko dengan berkorban menjadi musuh Kim Niocu. Aku melihat Cu-Ko dibebaskan, maka akupun tidak dapat menolak ketika Bhong-Kongcu mengajak aku minggat dari tempat tinggal Kim Niocu karena kalau puteri Pek-Lian-Kauw itu mengetahui bahwa Cu-Ko telah dibebaskan Bhong-Kongcu, pemuda itu tentu akan dibunuh. Kami berdua melarikan diri dan dan ketika dia menagih janji, aku... aku... tak dapat berbuat lain kecuali menyerahkan diri sebagai pengorbananku untuk keselamatan Koko Sin Cu..."

   Sampai di sini kembali Ouw Yang Hui menangis. Song Bu membelalakkan matanya dan melihat pohon di dekatnya seolah merupakan laki-laki yang telah memaksa Ouw Yang Hui menyerahkan diri.

   "Jahanam kamu! Mampus kamu!"

   Bentaknya dan sekali dia mengayun tangan kanannya ke arah pohon itu, terdengar bunyi keras dan pohon itupun tumbang.

   "Hui-moi, katakan, di mana jahanam she Bhong itu sekarang! Aku akan menghancurkan kepalanya! Akan kupecahkan dadanya!"

   Teriak Song Bu marah.

   "Bu-Ko, dia dia telah tewas..."

   "Apa? Dia telah mati?"

   "Kami berdua dapat ditemukan para anak buah Kim Niocu. Bhong-Kongcu dikeroyok dan tewas. Aku lalu dibawa para wanita anak buah Kim Niocu itu sampai bertemu denganmu."

   Song Bu mengerutkan alisnya, hatinya kecewa karena dia ingin sekali membunuh pria yang telah menodai Ouw Yang Hui itu dengan kedua tangannya sendiri.Akan tetapi dia lalu teringat akan tunangan Ouw Yang Hui yang bernama Wong Sin Cu itu. Ouw Yang Hui celaka dan ternoda karena melindungi Sin Cu! Pemuda tunangannya itulah yang sesungguhnya menjadi penyebab terjadinya malapetaka yang menimpa diri Ouw Yang Hui!

   "Kalau begitu, mari kubantu engkau mencari Wong Sin Cu! Dia harus bertanggung jawab karena engkau sampai ternoda gara-gara dia! Kalau dia tidak tertawan dan engkau tidak mengorbankan diri untuknya, tentu engkau tidak akan ternoda. Maka, sekarang dia harus secepatnya menikahimu!"

   Ouw Yang Hui yang teringat bahwa ia tidak hanya sudah ternoda, bahkan ia telah mengandung anak dari mendiang Bhong Lam!

   "Aku tidak berharga lagi, Bu-Ko, Aku tidak dapat menjadi isterinya, bahkan aku tidak mau lagi bertemu dengan dia!"

   Gadis yang malang itu menangis lagi. Song Bu mengerutkan alisnya.

   "Akan tetapi, dia harus bertanggung jawab, Hui-moi! Engkau menjadi begini karena dia! Dia harus bertanggung jawab dan aku yang akan memaksanya untuk menikahimu dan kalau dia menolak aku akan membunuhnya!"

   Sambil menangis Ouw Yang Hui berlutut di depan kaki Song Bu.

   "Tidak...! Bu-Ko... demi Tuhan, jangan lakukan itu...! Aku tidak mau bertemu lagi dengan Wong Sin Cu! Bu-Ko, kasihanilah aku jangan ganggu dia, dia sama sekali tidak bersalah. Jangan pertemukan aku lagi dengan dia...!"

   "Akan tetapi, mengapa, Hui-moi? Sudah sepatutnya kalau dia bertanggung jawab bahkan berterima kasih kepadamu. Engkau yang menyelamatkan nyawanya dengan mengorbankan dirimu!"

   "Bu-Ko... kalau engkau kasihan kepadaku.., bawalah aku pergi ke mana saja, asal jangan pertemukan aku dengan Cu-Ko. Kalau engkau tidak mau, biarlah aku pergi dan kita berpisah di sini saja...!"

   Sambil menangis Ouw Yang Hui lalu bangkit berdiri dan melangkah pergi. Song Bu menggeleng-geleng kepalanya. Lalu sekali melompat dia sudah berada di depan gadis itu menghadang.

   "Baiklah, Hui-moi, baiklah. Aku tidak akan memaksamu bertemu dengan Sin Cu. Akan tetapi, engkau selalu akan terancam oleh Ouw Yang Lee dan kawan-kawannya. Apa lagi Sekarang sudah terbukti bahwa Thaikam Liu Cin dan para jagoannya itu bersekutu dengan Pek-Lian-Kauw. Engkau membutuhkan tempat yang aman agar terlindung dan hanya ada satu tempat di mana engkau akan terlindung dan terlepas dari ancaman mereka. Aku akan membawamu ke sana."

   Lega rasa hati Ouw Yang Hui. la tidak ingin Song Bu memusuhi Sin Cu yang tidak bersalah apa-apa. la sendiri tidak berani bertemu lagi dengan tunangannya itu. la bukan hanya telah ternoda, bahkan sudah mengandung. Bagaimana ia dapat bertemu muka dengan pemuda it"? Apa lagi minta dinikahi? Sungguh tidak mungkin dan hanya akan mendatangkan aib dan malu saja. Bahkan kepada Song Bu saja ia merasa malu untuk mengaku bahwa ia telah mengandung. Kini mendengar Song Bu menawarkan kemungkinan lain, ia merasa lega dan tertarik.

   "Di manakah tempat itu, Bu-Ko?"

   "Di Istana, Hui-moi. Engkau masih ingat kepada Sribaginda Kaisar yang dulu pernah datang berkunjung dan menonton engkau bermain musik? Nah, engkau akan kuajak menghadap Sribaginda Kaisar dan tentu beliau akan suka menerimamu tinggal untuk sementara di Istana agar terlindung dari pengejaran Ouw Yang Lee dan kawan-kawannya."

   "Istana Kaisar?"

   Ouw Yang Hui lupa Akan tangisnya dan memandang pemuda itu dengan mata terbelalak, mata yang masih basah air mata dan agak merah karena tangis. la terkejut mendengar usul Song Bu tadi.

   "Akan tetapi, bagaimana mungkin Sribaginda Kaisar sudi menerimaku dalam Istana?"

   "Aku yakin beliau akan menerima dengan senang hati, Hui-moi. Pertama, aku pernah beliau anggap sebagai seorang pengawal pribadi ketika aku masih berada di Kotaraja. Beliau percaya sepenuhnya kepadaku. Dan kedua, beliau juga kagum kepadamu, Hui-moi. Apalagi kalau nanti aku menghadap dan memperkenalkan engkau sebagai adik seperguruanku, tentu beliau akan menerimamu dengan senang hati."

   "Akan tetapi, Bu-Ko. Aku khawatir Sekali. Sudah banyak aku mendengar tentang kehidupan para wanita dalam Istana, mereka hanya menjadi permainan para Pangeran dan pembesar yang berkuasa di Istana. Aku takut mendapat gangguan di sana..."

   "Jangan takut! Kalau mereka mengetahui bahwa engkau adalah adik seperguruanku dan dilindungi oleh Sribaginda Kaisar, siapa yang akan berani mengganggumu? Orang yang berani mengganggu selembar rambutmu akan berhadapan dengan aku!"

   Song Bu mengepal tinju. Pada saat itu hati Ouw Yang Hui merasa perih dan terasa sekali olehnya betapa pemuda bekas Kakak seperguruannya ini amat mencintanya. Wong Sin Cu sudah menjadi korban karena mencintanya, demikian pula Bhong Lam dan kini agaknya Tan Song Bu akan menjadi korban ke tiga karena mencintanya. Pada hal ia sudah tidak berharga lagi, baik bagi Sin Cu maupun bagi Song Bu. Akan tetapi ia tidak melihat jalan lain. Bahkan untuk kembali kepada Ibunya dan Ayah tirinya di Siauw-Lim-Si pun ia tidak berani dan malu. la sudah ternoda, bahkan mengandung. la tidak ingin Ibunya ikut terpercik noda, ikut mendapat aib dan malu. Agaknya Song Bu dapat melihat keraguannya.

   "Atau engkau lebih senang untuk pulang saja ke Siauw-Lim-Si, ke tempat Ibumu?"

   Dia memandang penuh selidik dan menyambung.

   "Aku akan mengantarmu ke sana kalau engkau menghendaki begitu."

   
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ouw Yang Hui menggeleng kepalanya dengan sedih.

   "Tidak, Bu-Ko, aku tidak mau pulang kepada Ibuku. Aku malu dan aku tidak ingin membuat Ibu ikut menderita malu. Baiklah, aku ikut denganmu ke Kotaraja kalau engkau memang hendak ke sana."

   "Aku harus ke Kotaraja, Hui-moi. Aku sudah muak melihat sepak terjang Suhu Ouw Yang Lee yang membantu Thaikam Liu Cin menguasai Istana dan mempengaruhi Sribaginda Kaisar. Padahal Thaikam Liu Cin itu mempunyai niat yang jahat, tega membunuhi para pejabat dan bangsawan yang menentangnya dan yang hendak menyadarkan Sribaginda Kaisar. Bahkan sekarang lebih gila lagi, Thaikam Liu Cin berani bersekongkol dengan pihak Pek-Lian-Kauw yang jelas memusuhi Kerajaan. Aku harus membongkar persekutuan itu dan mengingatkan Sribaginda Kaisar akan bahaya besar yang mengancam Kerajaan ini."

   "Ba?klah, kalau begitu aku ikut denganmu, Bu-Ko."

   Sepasang orang muda itu lalu berjalan menuju Kotaraja yang sudah tidak jauh lagi dari situ.

   Sepasang orang muda itu berjalan mendaki bukit itu, mereka merupakan pasangan yang serasi. Si pemuda yang berusia sekitar dua puluh satu tahun itu bertubuh sedang, mukanya bulat telur, rambutnya hitam, alisnya berbentuk golok, matanya mencorong namun lembut, hidungnya mancung dan mulutnya yang agak kecil itu terhias senyum, kulitnya putih. Sedangkan gadis itu cantik jelita. Mukanya bulat seperti bulan purnama, kulitnya putih kemerahan, matanya lebar dan jeli mengandung sinar yang tajam, hidungnya kecil mancung, mulutnya manis menggairahkan dan ada tahi lalat kecil di dagunya menambah manis.

   Tubuhnya agak montok. Gadis berusia sekitar sembilan belas tahun itu memang cantik menarik dan juga sikapnya tampak gagah perkasa. ia adalah Ouw Yang Lan atau kini berganti nama marga menjadi Ciang Lan menurut marga Ayah tirinya seperti yang diceritakan di bagian depan. Maka, selanjutnya lebih baik kita menyebutnya Ciang Lan seperti yang dikehendakinya sendiri. Adapun pemuda itu adalah Wong Sin Cu. Seperti kita ketahui, sepasang orang muda ini saling bertemu dan berkenalan. Sin Cu akhirnya mengetahui bahwa gadis yang telah menolongnya ketika dia terluka parah akibat penyiksaan Kim Niocu ini adalah puteri Ouw Yang Lee dan Kakak tiri Ouw Yang Hui.

   Akan tetapi dia tidak menceritakan bahwa Ouw Yang Hui adalah tunangannya. Sebaliknya Ciang Lan mengetahui bahwa Sin Cu adalah seorang pemuda yang telah membantu Ouw Yang Hui dan Ibu serta Ayah tirinya ketika diserang oleh Ouw Yang Lee dan kawan-kawannya. Mereka berdua melakukan perjalanan bersama menuju ke Kotaraja dalam usaha mereka mencari Ouw Yang Hui. Dan selama dalam perjalanan ini, sikap yang lembut dan sopan dari Sin Cu semakin menarik hati Ciang Lan yang memang sudah jatuh hati ke pada pemuda ini. Mereka berjalan menyusuri sungai menuju ke hilir dan pada saat itu mereka mendaki bukit yang berada di tepi sungai. Dari atas bukit itu mereka memandang ke bawah.

   "Lihat di sana ada dusun yang cukup besar, Cu-Ko"

   Kata Ciang Lan sambil menunjuk ke bawah. Sin Cu memandang dan benar saja. Di kaki bukit sebelah depan tampak banyak rumah orang. Dusun itu agaknya cukup besar melihat banyaknya rumah dan di sungai dekat dusun itu tampak banyak perahu.

   "Bagus! Kita dapat membeli perahu di sana, Lan-moi,"

   Kata Sin Cu girang.

   "Ya, aku akan menjual perhiasanku dan Kita dapat membeli bekal pakaian dan juga sebuah perahu. Dengan perahu kita akan dapat lebih cepat tiba di Kotaraja."

   Mereka cepat menuruni bukit itu menuju ke dusun yang sudah kelihatan dari situ dan harus berlumba dengan matahari. Mereka harus dapat lebih dulu tiba di dusun itu sebelum matahari yang sudah condong ke barat itu menghilang di kaki langit. Karena keduanya merupakan orang-orang muda yang berkepandaian tinggi, maka dengan menggunakan ilmu berlari cepat mereka meluncur menuruni bukit dan tak lama kemudian mereka sudah masuk ke dalam sebuah dusun di tepi sungai yang cukup ramai itu. Ciang Lan menjual perhiasannya, dan dari pedagang yang banyak terdapat di dusun yang merupakan pasar bagi dusun-dusun di sekitarnya, ia dan Sin Cu dapat membeli beberapa potong pakaian baru. Juga mereka membeli sebuah perahu nelayan, sebuah perahu yang kecil saja namun cukup kokoh.

   Mereka juga melewatkan malam itu di rumah suami isteri nelayan tua yang menjual perahunya kepada mereka. Ciang Lan membeli makanan, nasi dan masakan, dan makan malam bersama suami isteri nelayan. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berdua sudah meninggalkan rumah nelayan dan melanjutkan perjalanan mereka dengan perahu kecil. Karena mereka menuju ke hilir, maka perahu yang terbawa arus air ditambah gerakan dayung yang kuat dari Sin Cu, perahu meluncur cepat. Ciang Lan merasa gembira, Mereka dapat melakukan perjalanan cepat tanpa terlalu lelah, dan pemandangan di sepanjang perjalanan itu indah sekali. Mereka berdua sama sekali tidak pernah mengira bahwa orang yang mereka sedang cari, yaitu Ouw Yang Hui, pada saat yang sama juga sedang melakukan perjalanan ke Kotaraja melalui darat, bersama Tan Song Bu.

   Para bajak sungai yang biasanya merajalela di daerah itu telah mendapatkan pelajaran dari dua orang muda ini. Karena itu, ketua mereka, Ho-Coa-Ong Ci Song tidak berani lagi mengganggu. Perjalanan Sin Cu dan Ciang Lan lancar dan tidak menemukan halangan sehingga mereka tiba di luar Kotaraja yang tinggal kurang lebih tiga puluh mil lagi jauhnya. Pagi itu perahu mereka meluncur tenang, setelah malam tadi terpaksa melewatkan malam di tepi sungai karena tidak melewati dusun. Mereka membuat api unggun, makan bekal makanan yang mereka bawa dan melakukan penjagaan secara bergantian. Sin Cu tidur lebih dulu dan setelah tengah malam, dia bangun dan berganti jaga, sedangkan Ciang Lan tidur sampai pagi. Setelah membersihkan badan, mereka melanjutkan perjalanan dan perahu mereka meluncur tenang di tengah sungai. Tiba-tiba terdengar bentakan dari arah belakang.

   "Minggir! Perahu kecil yang di depan minggir!"

   Sin Cu dan Ciang Lan cepat menengok dan mereka melihat sebuah perahu besar meluncur dari belakang. Orang-orang yang mengemudikan perahu besar itu berteriak memperingatkan agar tidak sampai menabrak perahu kecil. Sin Cu cepat mendayung perahunya minggir. Baginya kejadian itu biasa saja dan dia tidak mengatakan apa-apa, akan tetapi tidak demikian dengan Ciang Lan. Gadis ini mengerutkan alisnya dan menjadi marah. Apa lagi ketika perahu besar itu meluncur lewat dan ia melihat belasan orang yang berpakaian seperti kaum bangsawan berada di atas perahu itu. la berdiri di atas perahunya dan mengamang-amangkan tinju ke arah orang-orang yang berada di atas perahu besar itu.

   "Heii..., orang-orang sombong! Mentang-mentang kalian bangsawan dan kaya raya, kalian sewenang-wenang hendak menabrak perahu kami!"

   Di pinggir perahu besar itu muncul dua orang laki-laki yang usianya sekitar lima puluh tahun. Melihat sikap Ciang Lan yang marah-marah, dua orang itu tersenyum. Mereka mengeluarkan masing-masing segulung tali yang ujungnya ada kaitannya seperti mata kail yang besar. Tanpa berkata apapun dua orang itu menggerakkan tangan mereka. Dua gulung tali itu menyambar dan tahu-tahu dua buah mata kail menancap di bagian depan dan belakang perahu kecil Yang ditumpangi Sin Cu dan Ciang Lan dan sebelum dua orang muda itu berbuat Sesuatu, tiba-tiba perahu mereka terangkat ke atas! Kiranya dua onang laki-laki yang melepas mata kail itu mengangkat perahu itu seolah mereka mendapatkan seekor ikan besar pada mata kail mereka! Dan melihat cara mereka menarik tali itu sehingga perahu terangkat ke atas, menunjukkan bahwa dua orang itu memiliki tenaga yang kuat sekali!

   Perahu kecil itu terangkat dan jatuh ke atas dek perahu besar. Sin Cu dan Ciang Lan cepat melompat keluar dari perahu kecil dan berdiri di atas dek perahu besar, berhadapan dengan dua orang laki-laki setengah tua yang tadi menarik perahu mereka ke atas perahu besar. Setelah berhadapan, Sin Cu dan Ciang Lan melihat bahwa dua orang laki-laki itu bertubuh tinggi besar dan Kokoh kuat, pakaian mereka menunjukkan bahwa mereka adalah dua orang perwira pasukan Kerajaan. Kalau Sin Cu masih bersikap tenang dan sabar karena belum tahu apa maksud kedua orang itu menarik perahunya ke atas perahu besar, Ciang Lan sebaliknya menjadi marah sekali dan ia melangkah maju sampai dekat menghadapi dua orang perwira itu. Tangan kirinya bertolak pinggang dan telunjuk kanannya menuding ke arah muka kedua orang perwira yang tinggi besar itu sambil membentak marah.

   "Hei, kalian ini dua ekor monyet besar bercelana! Mau apa kalian menarik perahu kami ke atas perahu ini?"

   Dua orang perwira tinggi besar itu saling pandang. Seorang diantara mereka, yang matanya lebar, tersenyum berkata kepada orang kedua yang jenggotnya tebal.

   "Gak-Ciangkun, benar-benar galak sekali wanita ini!"

   Si Jenggot tebal juga tersenyum dan berkata,

   "Wanita seperti ini tentu anggauta gerombolan bajak sungai!"

   Sepasang mata yang indah itu terbelalak. Kulit pipi yang putih kemerahan itu kini menjadi merah sekali karena marahnya. la dikatakan wanita galak dan anggauta bajak sungai! Ciang Lan tidak dapat menahan kemarahannya lagi.

   "Kalau aku bajak sungai, engkau buayanya!"

   Bentaknya dan ia langsung saja menerjang dengan pukulan tangan kirinya, menampar ke arah muka si jenggot tebal. Karena Ciang Lan sudah marah dan ia mengerahkan tenaga, maka tamparan itu datangnya cepat dan kuat sekali sehingga angin pukulannya saja menyambar dahsyat. Si jenggot tebal terkejut bukan main. Sebagai seorang ahli silat yang pandai dan berpengalaman, dia mengenal pukulan yang mengandung tenaga sakti itu. Cepat dia mengangkat tangan kanan untuk menangkis sambil mengerahkan tenaganya pula.

   "Wuuuuuttt... dukkkk!!"

   Dua lengan bertemu, sebatang lengan kecil mungil berkulit lembut dan sebatang lengan yang besar berotot, Akan tetapi akibatnya, perwira berjenggot tebal itu terdorong mundur tiga langkah. Dia terbelalak heran dan penasaran. Bagaimana mungkin seorang gadis muda seperti itu mampu membuat dia terdorong ke belakang seperti itu?

   "Bagus! Engkau hendak berkelahi melawan aku? Nah, sambutlah!"

   Perwira itu lalu menyerang dengan dahsyat sekali. Pukulannya cepat dan kuat, namun tiga kali pukulannya beruntun dapat dielakkan dengan mudah oleh Ciang Lan, bahkan gadis itu tidak mau bertahan saja, melainkan segera membalas dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Kedua orang ini segera terlibat dalam pertandingan silat yang seru dan menegangkan.

   Belasan orang yang tadinya duduk mengitari meja besar dan yang berpakaian seperti pejabat atau bangsawan, tertarik dan semua berdiri menonton. Para anak buah perahu yang berpakaian seperti perajurit-perajurit masih tetap di tempat masing masing. Mereka tidak berani mencampuri karena yang bertanding adalah perwira yang menjadi komandan mereka. Tanpa diperintah, mereka tidak berani mencampuri. Perwira ke dua yang bermata lebar berberdiri sambil bertolak pinggang dan menonton perkelahian itu dengan mulut tersenyum karena dia yakin bahwa rekannya pasti akan mampu menundukkan wanita yang dianggap liar itu. Sementara itu, Sin Cu jug? hanya berdiri menonton, tidak mau turun tangan karena sejak awal pertandingan, dia sudah dapat mengetahui bahwa Ciang Lan tidak membutuhkan bantuan dan gadis itu akan mampu keluar sebagai pemenang.

   Demikianlah, pertandingan antara perwira jenggot tebal melawan gadis cantik itu menjadi semacam tontonan yang menarik di atas perahu besar itu. Ternyata perwira itu lihai juga. Dia memiliki ilmu silat yang bersumber dari ilmu silat Siauw-Lim-Pai. Gerakannya mantap dan teguh, pertahanannya rapat dan kokoh sehingga sampai hampir tiga puluh jurus dia masih mampu bertahan terhadap serangan serangan Ciang Lan. Hal ini adalah karena Ciang Lan mendengar bisikan Sin Cu yang dilakukan pemuda itu dengan pengerahan tenaga khikang sehingga bisikan itu hanya terdengar oleh Ciang Lan seorang. Bisikan yang menyuruh ia agar jangan bertindak kejam terhadap lawannya itu. Hal ini membuat Ciang Lan membatasi tenaganya sehingga lawannya mampu menangkis semua serangannya.

   Akan tetapi perwira itu diam-diam mengakui bahwa gadis muda yang menjadi lawannya itu bukan main lihainya dan dia selalu terdesak hebat. Akan tetapi, biarpun ia mematuhi nasihat Sin Cu agar tidak berbuat kejam terhadap lawannya, berarti ia tidak boleh membunuh atau membuat lawan terluka berat, Ciang Lan merasa jengkel juga karena sampai hampir tiga puluh jurus lamanya ia belum juga mampu mengalahkan lawannya. Karena itu, tiba-tiba ia mengubah gerakannya dan kini ia menyerang dengan kedua kakinya. Kedua kaki itu secara bergantian dan bertubi mencuat dengan tendangan Soan-Hong-Tui yang cepat sekali. Menghadapi serangkaian tendangan itu, si perwira menjadi kewalahan dan bingung sehingga akhirnya sebuah tendangan kaki kanan Ciang Lan mengenai dadanya dan dia terjengkang dan terbanting roboh.

   Masih untung baginya bahwa Ciang Lan membatasi tenaganya sehingga dia hanya terbanting keras saja, tidak sampai patah-patah tulang iganya! Perwira itu mengeluh dan merangkak bangun. Perwira kedua yang matanya lebar melompat ke depan Ciang Lan dan sekali tangan kanannya bergerak dia telah mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Dari cara dia mencabut pedang saja tahulah Sin Cu bahwa perwira ini agaknya lebih lihai daripada perwira yang dikalahkan Ciang Lan tadi. Akan tetapi pada saat itu, terdengar tepuk tangan dan ketika dia memandang, kiranya yang bertepuk tangan adalah belasan orang yang berpakaian seperti bangsawan itu. Agaknya mereka gembira menyaksikan pertandingan tadi dan kini mereka bertepuk tangan memuji gadis cantik yang dapat merobohkan perwira tinggi besar dan kuat itu.

   "Nona, kiranya engkau seorang yang memiliki ilmu kepandaian silat yang tangguh! Karena itu, aku menantangmu untuk bertanding ilmu silat dengan mempergunakan pedang. Kulihat engkau memiliki pedang pula. Nah, perlihatkanlah ilmu pedangmu!"

   Sebelum Ciang Lan menjawab, Sin Cu sudah lebih dulu berseru,

   "Lan-moi, mundur dan mengasolah. Biarkan aku yang menghadapinya!"

   Mendengar ucapan Sin Cu, Ciang Lan terpaksa mundur, walaupun hatinya belum merasa puas. Sin Cu tidak khawatir kalau gadis itu akan kalah, melainkarn khawatir kalau-kalau gadis yang dia tahu berwatak, keras itu akan melukai atau bahkan membunuh orang dengan pedangnya. Setelah Ciang Lan mundur, Sin Cu berhadapan dengan perwira bermata lebar itu dan dia mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan lalu berkata dengan tenang dan lembut.

   "Ciangkun, di antara kita tidak pernah ada permusuhan, Karena itu kami harap Ciangkun suka mengembalikan perahu kami dan membiarkan kami melanjutkan perjalan kami tanpa diganggu!"

   "Hemm, temanmu telah mengalahkan rekanku. Karena itu, mari layani aku bermain pedang sebentar untuk melihat apakah benar-benar kalian ini orang-orang muda yang lihai,"

   Kata perwira bermata lebar itu dengan penasaran. Sin Cu melirik ke arah belasan orang bangsawan itu. Mereka itu menonton dengan wajah berseri, mulut tersenyum dan mata bersinar gembira, agaknya mereka ingin sekali menonton bertandingan selanjutnya. Sin Cu dapat menilai dari sikap mereka bahwa mereka itu bukanlah orang-orang jahat. Juga perwira di depannya bukan macam orang yang biasa mengandalkan kepandaian untuk menekan orang lain. Mungkin mereka hanya ingin menguji saja, pikirnya.

   "Baiklah, Ciangkun. Kalau begitu, biarkan aku yang akan melayanimu bermain-main sebentar,"

   Kata Sin Cu.

   "Bagus, cabut pedangmu orang muda,"

   Perwira itu menantang.

   "Sudah kukatakan bahwa di antara kita tidak ada permusuhan. Karena itu aku akan menghadapi pedangmu dengan tangan kosong. Kalau keselamatanku terancam, baru aku akan mempergunakan pedang, Ciangkun."

   Ucapan Sin Cu ini bernada lembut dan tidak mendatangkan kesan sombong atau memandang ringan. Akan tetapi tetap saja membuat perwira itu mengerutkan alisnya.

   "Orang muda, pedang tidak mempunyai mata. Kalau sampai engkau terluka oleh pedangku, jangan salahkan aku!"

   Katanya.

   "Terluka atau mati sekalipun dalam pertandingan adalah hal biasa, Ciangkun. Tidak ada yang akan dipersalahkan. Mulailah, aku telah siap!"

   "Baik kalau begitu. Lihat pedangku!"

   Perwira itu menggerakkan pedangnya membacok ke arah leher Sin Cu. Akan tetapi dengan sedikit menundukkan kepala dan merendahkan tubuh, pedang yang menyambar itu lewat di atas kepalanya. Secepat kilat tangan kiri Sin Cu bergerak menotok dengan It-Yang-Ci ke arah siku kanan lawan dan tangan kanannya menyambar ke arah tangan yang memegang pedang. Perwira itu mengeluarkan seruan kaget. Tangan kanannya lumpuh sehingga pedangnya mudah sekali dirampas. Di lain saat pedangnya telah berada dalam tangan Sin Cu!

   "Ohhhh...!"

   Belasan bangsawan itu mengeluarkan seruan kagum dan heran. Bagaimana mungkin dalam segebrakan saja, perwira bermata lebar yang mereka tahu seorang yang lihai sekali, kini telah kehilangan pedangnya yang berpindah ke tangan pemuda yang diserangnya.

   "Maafkan aku, Ciangkun!"

   Kata Sin Cu sambil mengembalikan pedang itu, dipegang pada ujungnya dan menyodorkan gagang pedang kepada pemiliknya. Perwira itu menerima pedangnya dan sejenak mengamati pedangnya seolah tidak dapat percaya akan apa yang baru saja terjadi.

   "Engkau menggunakan ilmu siluman, orang muda! Aku masih belum puas. Lawanlah dengan ilmu silat!"

   Katanya.

   "Ciangkun, aku sama sekali tidak paham ilmu siluman. Tadi aku menggunakan ilmu totok It-Yang-Ci untuk merampas pedangmu."

   "Hemm, aku masih belum puas karena aku hampir tidak merasakan akibat totokan itu. Mari kau sambut lagi serangan pedangku, orang muda!"

   "Baiklah, Ciangkun. Akan kuperlihatkan kepadamu. Seranglah"

   Kata Sin Cu sambil berdiri santai saja, tidak memasang kuda-kuda.

   "Lihat pedang!"

   Bentak perwira itu dan kini dia menusukkan pedangnya, akan tetapi waspada menjaga agar lengannya tidak sampai tertotok dan siap membalikkan pedangnya kalau pemuda itu hendak menotoknya. Pedang meluncur ke arah dada Sin Cu. Pemuda itu cepat menggunakan ilmu langkah Chit-Seng Sin-Po. Tubuhnya melangkah ke sana sini dengan aneh, akan tetapi hebatnya, diserang dari manapun, dengan tusukan atau bacokan pedang, selalu luput. Gerakan langkah itu seolah mendahului gerakan pedang sehingga pada saat pedang menyambar, tubuh pemuda itu telah lebih dulu mengelak! Perwira itu penasaran sekali dan dia mengamuk dengan pedangnya. Setelah lewat belasan jurus, Sin Cu merasa sudah cukup.

   "Ciangkun, sambutlah serangan It-Yang-Ci ini!"

   Secepat kilat tubuhnya bergerak sehingga bagi lawannya, dia seperti berubah menjadi bayangan yang sukar sekali diikuti oleh pandang mata. Karena itu, perwira itu tidak dapat menjaga diri karena tidak tahu dari arah mana Sin Cu melakukan penyerangan. Tahu-tahu ia merasa kedua pundak dan dadanya tertotok dan seketika dia tidak mampu bergerak. Dia berdiri dengan sikap hendak menyerang, pedangnya diangkat ke atas, seperti sebuah patung yang indah sekali ukirannya Sin Cu mengambil pedang dari tangan kanan perwira itu, kemudian dia membebaskan totokan sambil berkata,

   "Maafkan aku, Ciangkun!"

   Perwira itu dapat bergerak kembali dan Sin Cu, seperti tadi, mengembalikan pedangnya. Perwira itu kini menjura kepada Sin Cu dan berkata kagum,

   "Orang muda,aku kagum dan mengaku kalah!"

   Kembali terdengar tepuk tangan dari belasan orang bangsawan itu dan pada saat itu terdengar seruan nyaring,

   "Hai...! Bukankah engkau ini Taihiap (Pendekar Besar) Wong Sin Cu yang pernah menyelamatkan keluarga kami?"

   Sin Cu terkejut dan memandang ke arah rombongan orang bangsawan itu. Dia melihat seorang laki-laki berpakaian bangsawan, wajahnya tampan perawakannya sedang dan sikapnya lemah lembut, usianya sekitar tiga puluh lima tahun atau tiga puluh enam tahun. Sin Cu tidak mengenalnya walaupun wajah itu serasa tidak asing baginya. Gurunya seringkali menasihatinya bahwa dia harus melupakan atau tidak mengingat-ingat lagi apa yang telah dia lakukan untuk membantu orang lain. Karena itu, biarpun laki-laki itu mengatakan bahwa dia pernah menyelamatkan keluarganya, dia tidak mengenalnya karena sudah lupa.

   "Maaf, saya lupa lagi, rasanya saya tidak mengenal Taijin (Pembesar),"

   Kata Sin Cu sambil memberi hormat.

   "Ah, apakah engkau sudah lupa akan peristiwa Bukit Teratai? Lupakah engkau kepada anak kami Ceng Loan Cin? la sangat kagum kepadamu dan seringkali menanyakanmu."

   Sin Cu segera teringat. Dia kagum dan suka sekali kepada gadis kecil Ceng Loan Cin yang berwatak pemberani dan gagah itu. Tentu saja dia ingat kepada Loan Cin yang kini menjadi murid Thian Li Nikouw kepala Kuil Kwan-Im-Bio di Bukit Teratai dekat dusun Kui-Chung itu. Dan sekarang diapun teringat kepada pria yang berdiri di depannya. Ayah gadis itu. Pangeran Ceng Sin, Kakak dari Sribaginda Kaisar Ceng Tek yang dimusuhi Thaikam Liu Cin, bahkan hampir saja dibunuh oleh kaki tangan pembesar lalim itu yang dipimpin oleh Im Yang Tojin.

   "Ah, Paduka tentu Pangeran Ceng Sin!"

   Kata Sin Cu dan Pangeran itu tersenyum girang. Dia merasa girang bukan main setelah mengenal Sin Cu karena dia tahu bahwa Sin Cu tentu akan berdiri di pihaknya.

   "Sungguh, Thian (Tuhan) agaknya telah mempertemukan kita di sini sehingga akan tercapailah rencana Yang kita cita-citakan untuk menyelamatkan Kerajaan! tetapi sebelum kita bicara, perkenalkan kami dengan nona yang lihai sekali ini, Wong-Taihiap!"

   Sin Cu menoleh kepada Ciang Lan.

   "Pangeran, nona ini adalah seorang pendekar wanita, sahabat saya yang bernama Ciang Lan. Lan-moi, aku pernah bercerita kepadamu tentang Pangeran Ceng Sin dan keluarganya yang dimusuhi Thaikam Liu Cin. Inilah dia Pangeran Ceng Sin!"

   Sin Cu memperkenalkan. Ciang Lan memberi hormat kepada Pangeran Ceng Sin.

   "Terimalah hormat saya, Pangeran,"

   Kata gadis itu dengan sikap biasa karena ia memang tidak mau merendahkan diri terhadap siapapun juga.

   "Ciang-Lihiap, kami merasa beruntung sekali dapat berkenalan dengan Lihiap yang gagah perkasa. Mari, Wong-Taihiap dan Ciang-Lihiap, mari silakan duduk dan kami perkenalkan dengan para sahabat dan rekan ini."

   Sin Cu dan Ciang Lan lalu duduk di atas kursi menghadapi meja yang besar itu. Para bangsawan itu duduk mengelilingi meja dan jumlah mereka termasuk Pangeran Ceng Sin adalah empat belas orang. Pangeran Ceng Sin memperkenalkan mereka seorang-seorang. Ternyata mereka merupakan orang-orang yang berkedudukan tinggi. Selain Pangeran Ceng Sin, terdapat pula dua orang Pangeran lain yang menjadi Kakak-Kakaknya. Ada pula tiga orang Pangeran tua, yaitu Paman-Paman dari Kaisar Ceng Tek. Selebihnya adalah pejabat-pejabat tinggi, ada dua orang Panglima dan enam orang pejabat sipil yang berkedudukan tinggi setingkat Menteri dan kepala bagian. Setelah saling diperkenalkan, Ciang Lan berkata dengan suara tegas.

   "Pangeran, sebelum kita bicara, biarpun Cu-Ko telah lama mengenal Paduka, akan tetapi saya ingin sekali mendapat penjelasan lebih dahulu mengapa kami berdua dipaksa naik ke perahu ini seperti yang dilakukan dua orang Perwira tadi. Kalau rnemang berniat baik, mengapa kami diperlakukan seperti itu?"

   Sin Cu terkejut mendengar ucapan yang berani dan lancang itu, akan tetapi ucapan itu sudah dikeluarkan, maka dia tidak dapat mencegahnya dan pada saat itu diapun ingin sekali tau bagaimana jawaban Pangeran Ceng Sin. karena sebenarnya diapun merasa heran mengapa tadi perahunya ditarik secara paksa oleh dua orang perwira tinggi besar itu. Mendengar pertanyaan Ciang Lan ini Pangeran Ceng Sin tersenyum dan dia menggapai tangan memberi isarat kepada dua orang perwira yang telah dikalahkan Ciang Lan dan Sin Cu tadi untuk datang mendekat. Dua orang perwira itu melangkah maju menghadap sang Pangeran.

   "Wong-Taihiap dan Ciang-Lihiap, perkenalkan. Mereka berdua ini adalah pimpinan pengawal yang mengawal kami di perahu ini. Yang seorang ini adalah Gak-Ciangkun (Perwira Gak) dan yang itu adalah Su-Ciangkun. Nah, kalian sekarang boleh minta maaf dan jelaskan kepada dua orang pendekar muda ini mengapa tadi kalian menarik perahu mereka ke atas perahu dan menantang mereka untuk mengadu kepandaian."

   Su-Ciangkun dan bermata lebar mewakili temannya dan dia menjura kepada dua orang muda itu, diikuti oleh Gak-Ciangkun yang berjenggot tebal.

   "Taihiap dan Lihiap, kami berdua mohon maaf yang sebesarnya. Perbuatan kami tadi adalah karena salah sangka. Ketahuilah bahwa kami bertugas menjaga keselamatan para Taijin di perahu ini dan sungai ini terkenal sering diganggu bajak sungai yang membajak para penumpang perahu. Karena itu, ketika perahu kami hendak menabrak perahu kecil ji-wi (anda berdua), kemudian kami mendengar kemarahan, Ciang-Lihiap, kami mengira bahwa ji-wi adalah golongan mereka. Karena itulah kami berdua berani lancang tangan menarik perahu ji-wi naik ke atas perahu ini dan kami sengaja menantang ji-wi. Sekali lagi kami mohon maaf. Andaikata kami mengetahui bahwa ji-wi mengenal Yang Mulia Pangeran Ceng Sin, sampai matipun kami tidak akan berani bersikap seperti itu."

   "Wah! Kalian mengira aku ini seorang bajak sungai? Sialan!"

   Ciang Lan membentak dan melotot, matanya galak memandang kepada dua orang perwira itu sehingga mereka menundukkan muka mereka yang berubah kemerahan.

   

Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini