Pendekar Cengeng 11
Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
Sambil berkata demikian, kembali dengan sengaja dan penuh tantangan Cui Hwa Hwa mengerling ke arah meja Siok Lan. Kemudian dengan sikap memandang rendah, ia mengangsurkan pedang kepada Pui Tiong yang menerimanya dan yang segera mengundurkan diri dengan muka pucat.
Tadinya ia marah, akan tetapi ketika bertemu pandang dengan sucinya, ia melihat Can Bwee berkedip maka ia lalu mengundurkan diri tanpa berkata sesuatu.
Seperti telah diharap-harapkan orang banyak dengan pancingan tantangan Cui Hwa Hwa terhadap tamu istimewa Sian-li Eng-cu yang dianggap telah memusuhi Ang-kin Kai-pang sebagai teman-teman seperjuangan mereka ini Siok Lan bangkit berdiri.
Akan tetapi Yu Lee yang sudah siap menghindarkan Siok Lan daripada bahaya, juga cepat bangkit berdiri bahkan berlari-lari mendahului nona itu ke tengah lapangan di mana Cui Hwa Hwa masih berdiri. Sambil tertawa-tawa ia berkata, mendahului Siok Lan yang sudah hendak menegurnya.
"Eh, nona! Bukankah ilmu yang dipertontonkan tadi, menjepit pedang, sama benar dengan ilmu yang pernah nona ajarkan kepada saya? Namanya juga hampir sama! Heran sekali kenapa bisa begitu sama, bukankah yang nona ajarkan itu hanya untuk tontonan anak-anak di tengah pasar?"
Hanya beberapa detik saja wajah Siok Lan tercengang keheranan, akan tetapi dasar ia cerdik dan jenaka, segera saja wajahnya yang cantik jelita itu berubah, berseri-seri dan mulutnya tersenyum simpul manis sekali.
"Kau betul, A-liok! Baiknya kau ingatkan aku, hampir aku lupa. Memang sudah pernah kuajarkan padamu. Leher tidak luka oleh bacokan pedang itu namanya ilmu leher kepala batu. Dan ilmu menjepit pedang dengan jari itu namanya jurus Hek-mauw-phok-ci (Kucing Hitam Sambar Tikus)!"
Jelas sekali apa yang diperbuat dan dipercakapkan antara nona dan pelayannya ini menyinggung peristiwa tadi. Lebih-lebih nama jurus itu! Kalau jurus lihai dari Cui Hwa Hwa tadi bernama Cakar Garuda Sambar Pedang, kini jurus kedua orang ini bernama Kucing Hitam Sambar Tikus! Justeru muka Cui Hwa Hwa memang agak kehitaman karena bekas penyakit cacar, jadi sama saja dengan menyamakan dia dan memakinya kucing hitam!
Para tamu memandang dengan wajah tegang, dan hal yang lucu ini membuat mereka ingin tertawa akan tetapi tidak berani maka banyak yang menutup mulutnya agar tidak kelihatan tertawa.
Wajah Cui Hwa Hwa sebentar merah sebentar makin hitam. Kemarahannya hampir tak dapat ditahannya lagi. Akan tetapi ia tidak tahu harus berkata atau berbuat apa karena dua orang itu tidak terang-terangan menyinggung namanya. Pada saat itu, tiba-tiba Siok Lan mencabut pedangnya dengan gerakan indah dan cepat. Semua orang tertegun kagum menyaksikan sinar pedang putih kemilau dari pedang perak itu.
"Awas, A-liok. Mari kita perlihatkan apa yang telah kita latih dahulu. Aku akan bacok lehermu, keluarkan ilmu leher kepala batu kemudian kau cakar pedang ini dengan ilmu Hek-mouw-phok-ci!"
Mata Yu Lee berseri. Pemuda ini merasa geli, akan tetapi juga gembira dan kagum Siok Lan benar-benar seorang gadis yang selain berani dan jenaka, juga berotak tajam sekali sehingga dapat mengerti ajakannya untuk bergurau dan "memukul"
Kesombongan Cui Hwa Hwa.
"Baiklah, nona! Biar semua orang melihat bahwa saya, biarpun hanya seorang pelayan, akan tetapi adalah pelayan dari Sian-li Eng-cu dan tentu saja mengenal ilmu kucing ini!"
Ia mengatakan ilmu kucing untuk mengimbangi ucapan Cui Hwa Hwa yang mengatakan bahwa kepandaian Siok Lan tadi seperti anak kecil.
Siok Lan memainkan pedangnya, memutar-mutar ke atas dan berteriak.
"Hiaaaatt!"
Pedang itu menyambar leher Yu Lee. Pemuda ini maklum bahwa nonanya sudah tahu akan keadaannya yang tidak pandai silat, maka ia pun sengaja membuat gerakan takut-takut sehingga tampak lucu.
Pedang itu meluncur dan berhenti tepat setelah menyentuh kulit leher Yu Lee! Dari situ saja para ahli yang hadir di situ maklum bahwa Sian-li Eng-cu benar-benar seorang ahli pedang yang hebat!
Karena pandainya Yu Lee bersandiwara. Siok Lan berlaku hati-hati sekali agar pedangnya jangan sampai melukai pelayannya, maka ia tadi telah mengukur tenaganya dan tepat sekali pedangnya sudah terhenti ketika menyentuh kulit leher pelayan itu.
Dengan lagak dibuat-buat Yu Lee lalu mengangkat tangannya, ditekuk jari-jarinya seperti yang dilakukan Cui Hwa Hwa tadi, lalu perlahan-lahan ia menggerakkan jari-jarinya menjepit pedang. Ia sengaja membuat jari-jarinya seperti tidak kuat dan takut-takut menghadapi mata pedang yang tajam, maka ia lalu menggunakan pula tangan kirinya membantu, barulah jari-jari kedua tangannya dapat menjepit pedang dan diangkatnya ke atas.
"Inilah jurus Kucing Hitam Sambar Tikus......? Ciiiieet ......ciiieeet......!"
Kata Yu Lee sambil berjingkrak-jingkrak dan berputaran di lapangan itu menjinjing pedang.
Sorak sorai meledak menyaksikan pertunjukan yang lucu ini. Apalagi A-bouw, dia sampai hampir terjungkal dari bangku yang didudukinya saking terpingkal-pingkal, kemudian ia bangkit dan menghampiri Yu Lee, menjura sampai dalam dan berkata mengacungkan jempolnya.
"Wahh, siapa kira, nona telah memberi pelajaran begini hebat. Siapa duga saudara A-liok ini ternyata seorang pendekar yang hebat! Ha-ha-ha!"
Yu Lee mengembalikan pedangnya kepada Siok Lan yang menyimpannya, kemudian berkata kepada A-bouw.
"Engkau sendiri, sudah dipilih menjadi tukang perahu Sian-li Eng-cu, tentulah bukan orang sembarangan pula. Ini aku ketahui benar!"
Pada saat itu, suara ketawa mereda dan terdengar bentakan nyaring. Inilah suara Cui Hwa Hwa yang menjadi marah bukan main. Wanita ini tak dapat menahan kemarahannya lagi sampai hampir meledak rasa dadanya.
"Keparat laknat! Berani kalian memandang rendah kepada nyonya besarmu? Kalau kalian sudah bosan hidup, hayo maju. Baik nona majikannya, maupun pelayannya, apa lagi tukang perahunya semua akan kupatahkan batang lehernya satu persatu! Kalau tidak bisa, jangan sebut namaku Cui Hwa Hwa lagi!"
Wanita itu menghadapi Siok Lan bertiga sambil bertolak pinggang, matanya seakan-akan membakar mereka bertiga.
"Nah, paman A-bouw. Kau ditantang orang! Beranikah?"
"Aku...... aku......!"
Tentu saja A-bouw tidak berani dan mukanya pucat matanya terbelalak, kedua kakinya menggigil. Di sana sini sudah terdengar orang tertawa Cui Hwa Hwa tersenyum mengejek dan memandang rendah sekali.
Akan tetapi Yu Lee sudah mendapat akal. Ia menghadapi wanita itu dan bertanya.
"Kau tadi benar-benar menantang kami? Termasuk paman A-bouw tukang perahu ini?"
"Betul! Bujang hina dina!"
"Aduh aku...... aku......!"
"Tahan, paman A-bouw mengapa begitu merendahkan diri? aku tahu bahwa dalam mengadu kepandaian, kau jauh lebih menang dari pada Toanio ini, kenapa kau pura-pura khawatir?"
Sebelum sempat A-bouw membantah. Yu Lee berkedip kepadanya lalu bertanya lagi kepada Cui Hwa Hwa.
"Cui Toanio, di sini banyak saksi. Benarkah kau berani menantang paman A-bouw untuk mengadu kepandaian? Siapa yang kalah harus lekas-lekas angkat kaki dari sini? Beranikah Kau?"
"Boleh! Suruh dia maju akan kupatahkan batang lehernya!"
Yu Lee lalu menghampiri A-bouw yang masih gemetaran, lalu mendekatkan mulut di telinga tukang perahu itu berbisik-bisik. Seketika cerah wajah A-bouw dan sambil mengangkat dada, ia melangkah maju menghampiri Cui Hwa Hwa. Akan tetapi betapapun juga masih tampak jelas kedua kakinya (Lanjut ke Jilid 13)
Pendekar Cengeng (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 13
menggigil sehingga keadaan yang lucu ini membuat semua orang tertawa geli.
Hanya Huang-ho Sam-liong yang memandang marah karena mereka sendiri merasa terhina olen pelayan-pelayan Sian-li Eng-cu yang menganggap tempat itu sebagai panggung sandiwara di mana mereka boleh membadut seenaknya!
"Toanio!"
Kata si tukang perahu dengan suara lantang.
"Seorang gagah tidak akan menjilat ludahnya sendiri. Betul?"
"Betul!"
Bentak Cui Hwa Hwa dengan keras sehingga tukang perahu itu kelihatan kaget.
"Kau menantang aku A-bouw untuk mengadu kepandaian. Betul?"
"Betul. Mulailah!"
Bentak lagi Cui Hwa Hwa yang sudah mengepal tinju gatal-gatal kedua tangannya untuk mematahkan leher tukang perahu.
"Dan aku yang akan menentukan apa macam pertandingan. Betul?"
"Betul dan boleh kau pilih. Tangan kosong atau bersenjata!"
Tukang perahu itu mengangkat alisnya.
"Siapa bilang tentang tangan kosong? Siapa bilang pula bersenjata? Tentu saja dua macam pertandingankan, Toanio! Pertama dengan tangan kosong, kedua dengan senjata!"
"Baik, awaslah serangan tangan kos......!"
"Heeeeiiit......! Stop dulu!"
Si tukang perahu cepat mundur ketakutan.
"Toanio, mengapa kau begini ceroboh? Aku belum menyatakan cara dan pilihanku kau sudah buru-buru saja. Bernafsu sekali kau agaknya! Yang kumaksudkan dengan tangan kosong bukan sekali-kali uatuk memukul orang! Toanio jangan curang!"
Saking takutnya kalau kalau ia dipukul A-bouw mundur-mundur seperti orang hendak melarikan diri. Akan tetapi punggungnya di dorong maju dari belakang oleh Yu Lee yang berkata mengejek.
"A-bouw, jangang takut, banyak saksi hidup di tempat ini. Kau harus memberi kuliah kepada Toanio itu, agaknya Toanio itu mengira bahwa Tuhan mnciptakan manusia diberi tangan hanya untuk memukul orang!"
"Manusia-manusia pengecut!"
Cui Hwa Hwa sudah memaki lagi, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan menudingkan telunjuk ke arah muka A-bouw.
"Kalau memang tidak berani, mundur saja dan biarkan nonamu yang maju! Mulutmu yang buruk tadi menantang dengan tangan kosong, kemudian dengan senjata! Apakah engkau hendak menjilat ludah sendiri?"
"Sama sekali tidak Toanio. Aku tetap dengan tantanganku kepadamu. Pertama dengan tangan kosong, kita berdua boleh mengadu kepandaian, terjun ke sungai dan menangkap ikan dengan tangan kosong siapa lebih cepat dapat menangkap ikan, dia menang! Nah siapa bilang peraturan ini tidak adil? Dan kedua dengan senjata dayung, kita berlomba memutari sungai melawan arus. Kalau aku kalah aku akan pay-kui (berlutut menyembah) sampai duapuluh tujuh kali di depan Toanio!"
Semua orang tercengang mendengar ini kemudian meledak suara tawa mereka. Cui Hwa Hwa makin hitam mukanya dan ia membanting-banting kakinya.
"Bedebah! Siapa sudi main-main dengan engkau? Kalau tidak ada kepandaian hayo menggelinding pergi, atau...... hemm, kuhancurkan kepalamu!"
.
Melihat wanita itu sudah gatal tangan hendak menerjang maju Yu Lee khawatir dan cepat ia melangkah maju.
"Eh, eh, Cui Toanio sebagai seorang pendekar wanita yang besar, benar-benarkah tidak malu untuk memukul orang yang tak bersalah? Apalagi orang yang tidak melawan? Toanio sendiri yang salah sebaliknya paman A-bouw ini benar seratus prosen! Dia tadi menantang Toanio mengadu kepandaian bukan? Nah berenang menangkap ikan dan mendayung perahu tentu saja merupakan kepandaiannya, kepandaian seorang tukang perahu! Masa ia diharuskan mengadu pukulan? Dia bukan tukang pukul! Kalau memang Toanio tidak berani menghadapi tantangannya, bilang saja terus terang dan mengaku kalah, itu baru sikap orang gagah. Kalau memang merasa kalah lalu hendak meggunakan kekerasan dan memukul, itu namanya sewenang-wenang seperti perbuatan tukang pukul bayaran yang kasar!"
Setelah berkata demikian Yu Lee memandang ke arah ruangan tamu dan bertanya,"
Cuwi eng-hiong sekalian yang mulia, kalau perkataan saya tadi ada yang keliru, harap betulkan!"
Semua tamu menjadi geli dan juga kagum akan kelihaian mulut pelayan Sian-li Eng-cu ini. Jarang ada orang berani main-main terhadap Cui Hwa Hwa, akan tetapi sekali ini nyonya yang galak itu dipermainkan dan terpojok dalam keadaan serba salah! Maka mereka lalu berteriak.
"Betul......betul......!"
Mata Cui Hwa Hwa sampai menjadi merah. Wanita ini tidak tahu apakah ia harus menangis atau tertawa. Ingin ia sekali pukul menghancurkan kepala pelayan ini, akan tetapi kalau ia melakukan hal ini tentulah namanya akan menjadi tercemar sebagai seorang pejuang yang gagah. Ia menggertak gigi lalu berkata.
"Biarlah aku mengaku kalah terhadap tukang perahu. Akan tetapi sekarang menantang engkau pelayan hina dina! Aku memaki engkau sebagai pengecut rendah, seorang penakut yang hanya berlindung kepada lidah tak bertulang! Engkau laki-laki tidak berharga, hayo aku tantang kepadamu untuk bertanding mengadu ilmu silat......"
"Boleh! Dengan tangan kosong!"
Yu Lee cepat-cepat menyambung dengan sikap petentang petenteng seperti lagak seorang jagoan besar, mengangkat dada menggoyang kibul.
"Memang lidahku tidak bertulang seperti lidah semua orang, akan tetapi agaknya lidahmu bertulang Toanio. Pantas saja begitu tegang dan kaku, suka memaki orang. Memang aku tidak berharga, tidak ada harganya. Kalau engkau berharga berapakah Toanio? Tentu tidak mahal karena bekas bopeng itu......"
"A-liok!"
Siok Lan berseru dan meloncat dekat pelayannya.
Sementara itu, dengan alis berdiri Cui Hwa Hwa seperti hendak menelan pelayan itu dengan pandang matanya, sedangkan para tamu menjadi tegang. Ucapan-ucapan pelayan itu benar-benar amat menghina dan mereka kini akan maklum bahwa tentu Cui Hwa Hwa hari ini akan melakukan pembunuhan!
"Mundurlah A-liok, biarkan aku menghadapinya,"
Kata Siok Lan suaranya penuh kekhawatiran.
Melihat sikap dan mendengar suara nona ini, jantung Yu Lee berdebar tidak karuan saking girangnya. Benarkah ini? Benarkah nona ini begini mengkhawatirkan keselamatannya? Adakah ini tanda-tanda bahwa nona yang dipuja di dalam hatinya ini diam-diam...... ada rasa suka kepadanya?
"Harap nona jangan khawatir,"
Bisiknya.
"biarpun saya tidak pandai Silat akan tetapi pandai mengelak dengan akal. Nanti setelah saya memberi hajaran, baru nona......"
"Kau......? Memberi hajaran......?"
Siok Lan bertanya dengan mata terbelalak, agaknya takut kalau-kalau pelayannya telah menjadi miring otaknya.
Ia tahu bahwa Cui Hwa Hwa lihai sekali, sedangkan dia sendiri belum tentu akan mendapat kemenangan kalau melawan wanita itu, apalagi A-liok yang tidak pandai silat! Tentu dalam segebrakan saja A-liok akan terpukul sampai mati.
A-liok tertawa dan sengaja mengeraskan suaranya.
"Nona, toanio ini mengingatkan saya akan bibi Bhu saya di dusun. Bibi saya itu pantatnya amat besar dan juga seringkah bibi yang gemuk itu mengejar dan hendak memukuli saya! Hal ini membuat saya menjadi pembenci pantat besar dan selalu ingin memukul kalau melihat orang yang berpinggul besar seperti toanio ini."
"A-liok............!"
Siok Lan khawatir sekali. Akan tetapi pada saat itu. Cui Hwa Hwa sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Serasa hendak meledak kepala dan dadanya yang terasa panas, apalagi mendengar betapa para tamu berusaha keras membendung suara ketawa yang hendak terbahak keluar.
"Hayo yang mana ini yang akan maju? Nona majikannya ataukah pelayannya? Jangan kasak kusuk separti sepasang kekasih di sini!"
Mendengar ejekan ini, merah muka Siok Lan dan terpaksa ia mundur karena maklum bahwa percuma saja ia membujuk A-liok. Akan tetapi Siok Lan tidak lagi duduk. Tak dapat ia duduk enak menyaksikan betapa pelayannya terancam maut. Ia sudah siap-siap untuk menggunakan jarum peraknya menyelamatkan nyawa pelayannya kalau terancam nanti.
Begitu Siok Lan mundur, Cui Hwa Hwa sudah menerjang maju.
"Eeeeiit............ eeeiit...... jangan curang!"
Kata Yu Lee sambil mundur-mundur.
Karena takut dikatakan curang, Cui Hwa Hwa menunda serangannya.
"Curang apa? Kau hendak lari? Tidak mungkin, bujang hina. Kali ini engkau harus mampus, tidak peduli siapa yang akan kehilangan pelayan tampan!"
Kembali wanita yang galak itu mengejek Siok Lan.
"Boleh-boleh, mau bikin mampus aku, boleh saja. Akan tetapi pertandingan ini harus diatur sebaiknya. Bukankah kita semua ini tergolong orang-orang gagah dan kalian ini pejuang-pejuang? Apakah kau hendak membikin malu Huang-ho Sam-liong sebagai tuan rumah?"
"Sudahlah, hayo katakan apa kehendakmu jangan terlalu cerewet!"
"Begini, toanio, kita boleh bertanding mengadu ilmu kepandaian......."
"Ilmu kepandaian silat!"
Sambung Cui Hwa Hwa yang sudah kapok tidak mau ditipu lagi.
Yu Lee tersenyum lebar.
"Aku tidak bisa silat bagaimana mungkin mengadu ilmu silat? Sekarang begini saja. Toanio tadi bilang mau membunuh aku, bolehlah. Aku sih tidak begitu kejam seperti toanio yang sudah haus. Aku hanya ingin satu kali menampar...... pinggul yang besar itu. Kalau sampai dapat kutampar, berarti aku menang. Sebaliknya, kalau sampai Toanio berhasil membunuhku, sudah tentu saja aku mengaku kalah......? Eh, tentu saja kalau aku masih mampu mengaku, kalau sudah mati, mana mungkin mengaku......? Wah, aku jadi bingung............"
Para tamu sudah tertawa lagi dan suara ketawa ini merupakan minyak pembakar yang memperbesar api kemarahan Cui Hwa Hwa.
"Baik! Nah, kita mulai......!"
Ia menerjang maju dengan amat ganasnya memukul bertubi-tubi dengan kedua tangan yang mengandung hawa sakti sehingga setiap pukulan merupakan maut, disusul tendangan mengarah bagian-bagian berbahaya.
"Ayaaaaa......!!"
Yu Lee membuat gerakan kacau balau seperti seekor kera ketakutan menghadapi ancaman pukulan. Ia berloncatan mundur, mengangkat kedua tangan ke atas, dan terus berloncatan, akhirnya ia lari-lari berputaran di tempat itu! Tentu saja Cui Hwa Hwa tidak mau bersikap gila-gilaan seperti pemuda itu. Ia mengejar dengan langkah-langkah teratur, langkah-langkah diseret sehingga terdengar jejaknya,
"Sett...... Sett...... sett ......!"
Terus mengikuti Yu Lee sambil kadang-kadang ia melancarkan satu dua pukulan. Biarpun wanita ini memandang rendah, namun ia bukanlah seorang bodoh. Seorang pelayan pendekar wanita yang sudah berani bersikap seperti itu tak mungkin kalau tidak memiliki kepandaian ilmu silat, demikian pikirnya, maka ia tidak mau berlaku sembrono.
Siok Lan mungkin merupakan orang yang paling gelisah menyaksikan pelayannya berlari-larian seperti itu.
"A-liok! Kau mengaku kalah saja, biar aku menggantikanmu!"
Ia berseru.
Yu Lee merasa kasihan kepada Siok Lan. Betapa tersiksanya hati gadis itu, pikirnya bangga.
"Nanti dulu nona, biarkan aku menggaplok pantatnya dulu!"
Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia berkata.
Pada saat ini Cui Hwa Hwa datang memukul. Semua orang, termasuk Siok Lan menjadi pucat karena pukulan tangan kanan wanita itu amat cepat datangnya. Seorang lawan yang pandai ilmu silat sekalipun akan sukar menghindarkan diri dari pukulan seperti itu, apalagi seorang yang tidak pandai silat seperti A-liok!
Pukulan itu cepat menyambar ke arah dada Yu Lee. Pemuda ini maklum bahwa kalau ia tidak cepat-cepat mengakhiri pertandingan ini tentu rahasianya akan terbuka, maka ia sengaja seperti tidak tahu akan datangnya pukulan ini.
"A-liok, awas......!"
Teriak Siok Lan.
Namun terlambat, biarpun A-liok yang bingung itu menggerakkan tubuh, tetap saja pukulan menyambar pundaknya. Tubuh A-liok terbanting ke atas tanah, bergulingan dan secara aneh tubuh itu terguling ke belakang Cui Hwa Hwa yang sudah kegirangan dan mengira bahwa pukulannya tentu akan menewaskan pelayan kurang ajar itu.
Dan sebelum ada yang tahu apa terjadi, juga Cui Hwa Hwa sendiri tidak tahu mengapa kedua kakinya tiba-tiba tak dapat digerakkan. A-liok sudah merangkak bangun, lalu tangan kanannya, diayun menampar pinggul Cui Hwa Hwa yang memang besar seperti membengkak itu.
"Plakkkk......!"
Karena tempat itu agak kering sehingga tadi ada debu mengebul ketika tangan Yu Lee yang terbuka itu menghantam daging pinggul, tampak debu mengebul di baju yang menutupi pinggul. Yu Lee berjingkrak dan mengangkat tangan kanannya ke atas sambil berseru nyaring.
"Waaahhh...... panas......!!"
Kemudian ia menari-nari dan bersorak.
"Aku menang......!"
Cui Hwa Hwa berusaha untuk menggerakkan kedua kakinya, namun tetap tidak dapat digerakkan. Yu Lee yang menari sengaja mendekatinya dan menyentuh punggungnya tiga kali dengan gerakan yang cepatnya tak dapat terlihat orang lain sambil berkata.
"Cui Toanio kau harus mau mengaku kalah......!"
Cui Hwa Hwa yang seketika dapat bergerak kembali, tak dapat menahan kemarahannya. Ia mengira bahwa tentu Sian-li Eng-cu yang diam-diam secara rahasia membantu pelayannya, maka kini ia mendelik dan mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar hijau.
"Aku Cui Hwa Hwa menantang Sian-li Eng-cu!"
Bentaknya nyaring.
Yu Lee pura-pura ketakutan dan lari mendekati nonanya.
"Waduh, dia galak sekali nona. Kau hati-hatilah!"
Siok Lan tadi melongo ketika tadi menyaksikan betapa secara aneh pelayannya berhasil benar-benar menampar pinggul wanita itu dan pukulan yang mengenai pundaknya tidak menewaskannya.
"A-liok, kau terpukul tadi...... tidak apa-apakah?"
"Tidak nona!"
Jawab Yu Lee dengan suara keras disengaja.
"Pukulannya lunak seperti tahu. Harap nona suka balaskan dengan goreskan pedang nona pada pinggulnya!"
Siok Lan tidak melayani kelakar pelayannya karena ia sendiri merasa tegang, Cui Hwa Hwa sudah mencabut pedang, sudah menantangnya. Tak dapat ia menghindarkan pertandingan yang tentu akan terjadi seru dan mati-matian karena ia tahu kelihaian lawannya.
"Cui Hwa Hwa, berkali-kali engkau sengaja menghinaku, sikapmu sungguh tidak patut menjadi sikap seorang yang mengaku gagah dan pejuang. Sepatutnya engkau dilayani pelayanku dan tukang perahu, bahkan ternyata menghadapi kedua orang pembantu itupun kau sudah kalah. Sekarang engkau menantangku, sungguh tak tahu diri,"
Kata Siok Lan. Sikapnya angkuh seperti sikap seorang tingkat atasan terhadap orang yang lebih rendah.
"Tak usah banyak cakap, lihat pedang!"
Bentak Cui Hwa Hwa dan segulung sinar hijau menyambar ke arah dada Siok Lan.
Gerakannya cepat dan kuat, namun tidaklah secepat yang disangka Siok Lan sehingga nona ini dengan mudahnya miringkan tubuh mengelak sambil menggerakkan pedang peraknya menangkis. Terdengar suara nyaring dan pedang hijau di tangan Cui Hwa Hwa terpukul miring.
Kejadian ini kembali tidak disangka-sangka oleh Siok Lan dan tentu saja ia menjadi girang mendapat kenyataan bahwa lawannya ini tidaklah selihai yang ia sangka, bahkan ia yakin bahwa dia lebih cepat dan lebih kuat.
Di lain pihak, Cui Hwa Hwa terkejut setengah mati. Bukan karena Sian-li Eng-cu itu memiliki tenaga yang lebih kuat, sama sekali bukan. Ia tadi sudah merasa yakin bahwa ia akan dapat mengatasi kepandaian gadis remaja ini.
Akan tetapi begitu ia menggerakkan pedangnya terasa betapa punggungnya, dari bawah sampai ke tengkuk, panas dan nyeri seperti ditusuk.
Hal inilah yang membuat gerakannya terlambat dan tenaganya berkurang banyak sekali. Dia sendiri tidak mengerti mengapa begini, karena sebagai seorang ahli silat tinggi, keadaan seperti yang dideritanya itu hanya berarti bahwa ia mengalami luka dalam yang perlu cepat diobati. Bagaimana ia sampai dapat terluka? Ia tidak mengerti sama sekali dan karena keheranan dan keraguan ini, maka ilmu silatnya menjadi makin kacau.
Apalagi pada saat itu, Siok Lan sudah berseru nyaring dan membalasnya dengan serangan-serangan hebat sekali. Terpaksa ia menggunakan pedangnya menangkis dan melindungi diri sedapat mungkin.
Yang mengerti akan hal ini tentu saja hanya Yu Lee. Pemuda ini berdiri dengan tenang tersenyum-senyum karena yakin bahwa Siok Lan tidak akan terancam bahaya lagi.
Tidak percuma tadi ia menggunakan kesaktiannya, menotok dengan sentuhan sebanyak tiga kali di punggung Cui Hwa Hwa ketika menari-nari kegirangan. Ia sengaja menotok untuk menutup jalan hawa sakti sehingga kecepatan dan tenaga wanita itu lenyap setengahnya lebih! Hal itu akan diderita Cui Hwa Hwa selama kurang lebih tiga jam serta tak perlu diobati, dalam waktu tiga jam akan lenyap sendiri pengaruhnya.
Ilmu pedang Siok Lan adalah ilmu pedang Kun-lun-kiam-sut yang gerakannya cepat sekali, dsamping amat indah dipandang. Apalagi karena dara remaja ini memainkan sebatang pedang perak, maka pedang itu berubah menjadi sinar putih berkilauan yang bergulung-gulung menyelimuti tubuh lawan. Di lain pihak sinar pedang hijau menjadi terdesak dan makin sempit gerakannya.
Kurang lebih tigapuluh jurus kemudian, Cui Hwa Hwa tidak dapat menahan lagi. Makin cepat ia bergerak, makin besar tenaga ia kerahkan makin sakit punggungnya sehingga ia hampir-hampir menangis dan pada saat yang amat baik itu, Siok Lan menendang, tepat mengenai pergelangan tangan kanannya yang memegang pedang.
Pedang hijau terlepas dan secepat kilat Siok Lan melesat ke depan, pedangnya bergerak dan terdengar Cui Hwa Hwa menjerit menyusul kain robek.
Ketika Siok Lan meloncat mundur sambil tersenyum dan semua orang memandang, kiranya baju yang menutup pinggul terobek lebar dan pada bukit pinggul yang kiri terdapat goresan merah bekas ujung pedang Siok Lan! Kulit pinggul yang menonjol besar dan putih itu terluka!
Cui Hwa Hwa hampir menangis saking malunya. Ia menggunakan tangan mencoba menutupi pinggul yang tampak ini, namun karena robeknya terlalu besar, tetap saja bukit pinggul kiri yang menonjol amat besarnya itu tampak. Tersipu-sipu ia menyambar pedangnya yang terlepas tadi, lalu tanpa berkata sesuatu ia melompat dan lari secepatnya meninggalkan tempat itu!
Yu Lee melangkah maju dan dengan suara lantang ia berkata.
"Saya harap cuwi sekalian yang gagah perkasa tidak lagi mengganggu nona majikanku! Sudah jelas bahwa biarpun nona majikanku berkali-kali dihina oleh Cui Toanio, namun nonaku masih mengampuninya. Hal ini saja membuktikan bahwa nonaku bukan mencari permusuhan dengan siapapun juga. Memang nonaku telah bentrok dengan beberapa orang dari Ang-kin Kai-pang. Akan tetapi hal itu adalah karena kesalahan mereka sendiri yang mengganggu nonaku, minta sumbangan secara paksa. Karena itu, saya harap sukalah Huang-ho Sam-liong dapat berpemandangan luas, tidak memancing keributan yang hanya akan mendatangkan malapetaka bagi cuwi sekalian. Harap suka mempersilakan nonaku melanjutkan perjalanan dengan aman."
Siok Lan berdiri sampai bengong ketika, menyaksikan sikap dan mendengarkan ucapan pelayannya ini, sikap dan ucapan yang amat teratur serta berpengaruh. Ah, tidak percuma menjadi bekas pelayan keluanga si Dewa Pedang Yu-kiam-sian, pikirnya bangga. Dan sekarang menjadi pelayannya.
Memang ucapan Yu Lee tadi besar pengaruhnya apalagi karena Huang-ho Sam-liong dan para tamu tadi sudah gentar menyaksikan kelihaian Sian-li Eng-cu. Mereka semua mengenal siapa Cui Hwa Hwa, dan boleh dibilang di antara mereka yang berkumpul di situ, Cui Hwa Hwa termasuk orang yang tingkat kepandaiannya paling tinggi.
Namun, terbukti wanita perkasa itu mati kutunya menghadapi Sian-li Eng-cu! Apalagi kalau mereka ingat bahwa Sian-li Eng-cu adalah cucu Thian-te Sin-kiam Liem Kwat Ek yang sama sekali tidak boleh dianggap sebagai musuh golongan, mereka menjadi lebih segan. Ditambah ucapan pelayan si nona yang cukup cengli, hati mereka makin tunduk.
"Maaf, maaf......!"
Kata Ie Cu Lin si alis putih sambil menjura ke arah Siok Lan.
"Memang bukan maksud kami untuk memusuhi nona Liem. Hanya karena mendengar bahwa nona telah merobohkan beberapa orang sahabat dari Ang-kin Kai-pang maka kami menjadi penasaran dan ingin membuktikan kelihaian Sian-li Eng-cu. Kini telah terbukti dan memang nona amat lihai, membuat kami jadi kagum. Kamipun percaya bahwa nona tidak memusuhi Ang-kin Kai-pang, apalagi memusuhi golongan kami yang menentang penindasan pemerintah penjajah Mongol. Mengingat akan perjuangan Thian-te Sin-kiam yang gagah perkasa, nona sebagai cucunya tentu berjiwa patriot pula. Oleh karena itu, biarlah dalam kesempatan ini kami mengharap dan mengundang nona, sudilah membantu perjuangan kami membela rakyat tertindas."
Liem Siok Lan adalah seorang gadis yang tabah dan lincah jenaka, akan tetapi sebagai keturunan pendekar besar, iapun dapat bersikap sebagai seorang pendekar.
Kini menyaksikan sikap Huang-ho Sam-liong dan para tamu, iapun cepat menjura dan berkata, suaranya gagah.
"Terima kasih atas pengertian lo-enghiong. Saya dapat menghargai perjuangan cuwi (tuan sekalian) dan saya menjunjung tinggi cita-cita mulia itu. Mungkin kelak kalau sudah tiba waktunya, saya sendiripun tidak akan mendiamkan segala penindasan yang diderita rakyat. Bahkan sekarangpun, setiap kali melihat penindasan, tentu saja berdaya upaya sekuat mungkin untuk turun tangan. Akan tetapi untuk berjuang langsung bersama cuwi pada waktu ini saya belum mempunyai kesempatan karena saya ada tugas lain urusan pribadi yang amat penting. Oleh karena itu, harap suka maafkan."
Ie Cu Lin mengangguk-angguk, kemudian berkata.
"Baiklah, kami dapat menghargai urusan pribadi seseorang. Kami persilakan kalau nona hendak melanjutkan perjalanan, hanya kami peringatkan agar nona tidak melanjutkan perjalanan melalui sungai karena belasan lie di sebelah depan terdapat pasukan pemerintah yang amat kuat, ratusan orang jumlahnya, menjaga di sekitar tepi sungai. Amatlah berbahaya kalau nona melanjutkan pelayaran dan juga untuk itulah sebetulnya kami menghentikan nona di sini. Mulai dari sini, sebaiknya nona mengambil jalan memutar melalui darat, dan untuk itu kami menyediakan dua ekor kuda, harap nona sudi menerimanya dengan baik!"
Kepala bajak itu memberi tanda, anak buahnya sebanyak dua orang datang menuntun dua ekor kuda besar-besar dengan perbekalan lengkap, Siok Lan yang berwatak angkuh merasa sungkan menerima hadiah ini, akan tetapi Yu Lee yang tahu akan pentingnya kuda tunggangan melalui daerah gawat itu, cepat maju mendahuluinya menyambut dua ekor kuda sebagai layaknya seorang pelayan sambil berkata.
"Aduh, kuda bagus! Twa-ongya (sebutan kepala bajak) sungguh baik hati, nonaku tentu berterima kasih sekali!"
Siok Lan mengerling tajam ke arah pelayannya, akan tetapi karena pelayannya sudah terlanjur menerima ia lalu mengangkat kedua tangan menghaturkan terima kasih.
"Terima kasih dan saya harap cuwi sekalian suka membiarkan tukang perahuku kembali dengan aman. Sekarang saya mohon diri, selamat tinggal!"
Dengan gerakan ringan sekali Siok Lan meloncat naik ke punggung seekor kuda yang disediakan, kemudian mengangguk lagi dan membedal kudanya meninggalkan tempat itu.
"Eh, nona...... tunggu saya......!"
Yu Lee berteriak dan dengan susah payah "memanjat"
Naik ke punggung kuda kedua.
A-bouw memegang lengannya.
"Sahabat A-liok yang baik, selamat jalan."
"Selamat tinggal, paman A-bouw!"
"Eh, ada satu hal saya ingin sekali tahu."
"Apa itu?"
"Mengapa engkau begitu membenci pinggul besar?"
Yu Lee mengangkat alis membelalakkan mata, lalu tak tahan lagi ia tertawa bergelak sampai kudanya menjadi kaget. Tanpa disadari, Yu Lee menggunakan tenaga di dalam ketawanya sehingga bukan saja kudanya yang kaget, juga Huang-ho Sam-liong dan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian menjadi heran dan kaget sekali. Mereka merasai getaran tenaga khikang yang dahsyat dalam suara ketawa itu.
"Satu lagi...... sahabat A-liok......."
"Apa lagi? "
Yu Lee menahan kendali kuda, ingin cepat-cepat pergi karena tadi tanpa disadari ia telah membuka rahasianya.
"Apakah engkau...... benar-benar seorang pelayan tulen......?"
Pertanyaan ini agaknya berkenan di hati semua orang sehingga mereka semua mendengarkan penuh perhatian. Yu Lee tersenyum dan berkata.
"Tentu saja!"
Lalu ia membedal kudanya membalap dan mengejar Siok Lan yang sudah melarikan kudanya jauh di depan.
"Suci (kakak perempuan seperguruan) kita mengaso di sini dulu, sinar matahari teriknya bukan main!"
Kata seorang pemuda tampan sekali kepada seorang gadis cantik ketika mereka berdua memasuki sebuah hutan kecil, pemuda itu usianya paling banyak sembilanbelas tahun, ganteng dan tampan sekali, juga gagah karena gerak geriknya gesit, sikapnya tabah dan gagang sepasang pedang tampak di punggungnya.
Adapun gadis itu yang usianya satu dua tahun lebih tua, cantik jelita dan sikapnya tenang, namun membayangkan kegagahan. Pakaiannya serba hijau dan di pinggangnya tengantung sebatang pedang panjang.
"Baiklah sumoi", jawab si gadis.
Kalau ada orang mendengar jawaban ini tentu dia akan terkejut dan heran. Bagaimana seorang pemuda disebut sumoi (adik perempuan seperguruan)? Akan tetapi kalau orang itu memandang "si pemuda"dengan teliti, maka ia akan sadar bahwa pemuda itu sesungguhnya adalah seorang gadis juga.
Kulitnya begitu halus, mukanya begitu tampan sehingga mendekati cantik, tubuhnya juga lunak halus tidak ada tanda-tanda kaku seperti terdapat pada tubuh pria. Yang membuat orang akan percaya dia pria adalah sikapnya yang begitu wajar dalam pakaian pria.
Memang sesungguhnyalah.
"Pemuda"
Itu bukan lain adalah Tan Li Ceng, murid perempuan Tho-tee-kong Liong Losu yang semenjak kecil selalu berpakaian seperti pria, dan setelah dewasa masih suka berpakaian pria, apalagi sebagai seorang pendekar, pakaian ini lebih memberi keleluasaan dan kebebasan padanya, menjauhkan hal-hal tidak enak yang selalu mengganggu wanita di perjalanan, apalagi wanita muda remaja dan cantik jelita! Adapun gadis cantik yang disebut suci olehnya itu tentu saja adalah Lauw Ci Sian, karena memang murid Tho-tee-kong Liong Losu hanya ada dua orang inilah.
Telah diceritakan di bagian depan betapa kedua orang gadis perkasa ini bersama dengan murid-murid Siauw-bin-mo Hap tojin secara kebetulan telah bekerja sama dengan Yu Lee si Pendekar Cengeng mengadakan penyerbuan di Istana Air tempat tinggal Hek-siauw Kui-bo dan muridnya, yaitu Si Dewi Suling atau Cui-siauw Sianli Ma Ji Nio sehingga akhirnya Hek-siauw Kui-bo tewas di tangan Yu Lee dan anak buah nenek iblis itu dapat dibasmi. Betapa kemudian guru mereka, Tho-tee-kong Liong Losu mengusulkan untuk menjodohkan dua orang muridnya ini dengan dua orang murid pria dari Siauw-bin-mo Hap Tojin yang merupakan pemuda-pemuda gagah perkasa dan tampan.
Namun dua orang gadis ini menolak karena mereka merasa berat untuk dijodohkan dengan orang lain setelah mereka mengalami hal yang bagi mereka amat memalukan, yaitu bahwa mereka telah tertolong oleh Yu Lee dari pada ancaman bahaya ngeri dalam keadaan telanjang bulat!
Hal ini amat menggetarkan perasaan kedua orang dara ini yang menganggap bahwa tidak mungkin mereka dapat bersuamikan orang lain setelah Yu Lee melihat mereka dalam keadaan seperti itu!
Tan Li Ceng adalah puteri tunggal seorang pemilik kedai obat di kota An-keng, adapun Lauw Ci Sian adalah seorang gadis yatim piatu maka setelah tamat belajar dari guru mereka, Ci Sian ikut bersama sumoinya ke An-keng. Tidak ada peristiwa penting terjadi selama kurang lebih setahun, ketika Ci Sian tinggal bersama dengan sumoinya di rumah Li Ceng di An-keng itu.
Kemudian dua orang gadis ini mendengar akan sepak terjang Pendekar Cengeng yang menggemparkan dunia kang-ouw. Selain ini juga mereka mendengar akan kekejaman penindasan yang dilakukan oleh pemerintah penjajah terhadap rakyat yang diharuskan bekerja paksa membuat saluran atau terusan.
Betapa dalam kesempatan ini para pembesar menggunakan wewenang mereka dan kekuatan mereka untuk memancing di air keruh, melakukan pemerasan dan perampasan secara keji.
Tergeraklah hati dua orang gadis pendekar ini. Guru mereka, Tho-tee-kong Liong Losu dahulunya juga seorang pejuang besar, penentang pemerintah Goan (Mongol) maka sedikit banyak tentu saja guru ini menanamkan semangat kepahlawanan kepada dua orang muridnya.
Karena inilah maka Li Ceng dan sucinya Ci Sian lalu berangkat meninggalkan An-keng dan pada hari itu mereka tiba di sebuah hutan. Mereka mempunyai tujuan ke Propinsi Kian-su sebelah barat di mana saluran air dikerjakan untuk menyambung Sungai Yang-ce dengan Sungai Huang-ho.
Mereka tidak tahu bahwa pada saat itu mereka telah berada di daerah lembah Yang-ce bagian utara, dan dengan demikian mereka telah memasuki wilayah tempat penjagaan para pasukan pemerintah yang ditempatkan di sekitar terusan, menjaga keamanan para pekerja paksa.
Di dalam hutan kecil itu mereka berdua duduk di bawah pohon besar, menanggalkan topi dan mengebut-ngebut leher mengeringkan keringat. Dua orang gadis ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak mereka memasuki hutan, banyak pasang mata mengikuti gerak gerik mereka mata yang memandang penuh gairah ke arah Ci Sian. Pada saat itu, Ci Sian dan Li Ceng saling pandang penuh keheranan ketika tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi! Suara orang laki-laki yang nyaring dan besar, bernyanyi dengan kata-kata yang terdengar jelas dan agaknya tidak jauh dari tempat mereka beristirahat.
Hanya Tuhan yang memilih Raja
untuk memilih memimpin manusia.
Seorang gagah akan setia selalu
kepada Raja tanpa memandang bulu
Mendengar nyanyian seperti itu, kakak beradik seperguruan ini saling pandang dengan kening berkerut. Sebagai murid-murid seorang bekas pejuang seperti Tho-tee-kong, tentu saja mereka sama sekali tidak dapat menyetujui pendapat yang dikemukakan dalam nyanyian itu. Pada waktu itu, tanah air dijajah oleh bangsa Mongol, kerajaan bangsa sendiri dihancurkan dan yang masih ada disudutkan oleh pengaruh bangsa penjajah sehingga makin suram.
Kalau semua orang gagah berpendirian seperti penyanyi itu maka tentu tidak akan ada perlawanan terhadap penjajah, dan hanya mengelus dada menganggap bahwa raja penjajah itu adalah pilihan "Tuhan"! Sungguh merupakan nyanyian yang bagi dua orang dara perkasa itu dianggap nyanyian yang amat rendah dan juga berbahaya! Dengan sigapnya mereka lalu melompat bangun, lalu melangkah ke arah terdengarnya suara nyanyian.
Tampaklah kini oleh mereka si penyanyi. Seorang laki-laki berasia empatpuluh tahunan, berpakaian sebagai panglima atau perwira pengawal pemerintah kerajaan Goan, pakaian kebesaran yang terlindung sisik baja, pakaian perang yang mewah dan indah. Topi perwira ini dihias bulu indah pula.
Melihat ini, Tan Li Ceng menjadi gemas dan tanpa dapat dicegah lagi ia lalu berpantun suara dibesarkan seperti suara pria,
"Seekor anjing yang diberi tulang
akan menggoyang ekor menjilat tangan
tanpa memperdulikan siapa pemberinya.
Seorang gagah mempunya pendirian mulia
lebih baik mati dari pada menjadi pengkhianat bangsa!
Mengabdi raja penjajah menindas rakyat
lebih hina dari pada anjing laknat"
Laki-laki tinggi besar yang berpakaian perwira pengawal itu menjadi merah mukanya, matanya yang besar melotot ke arah Li Ceng dan terdengar membentak keras.
"Serbu dan tangkap pemberontak!"
Li Ceng dan Ci Sian menggerakkan tangan dan mereka sudah mencabut pedang masing-masing Li Ceng mencabut siang-kiam (pedang sepasang) dan menyilangkan kedua pedang itu di depan dada, sedangkan Ci San mencabut pedang panjang yang dilonjorkan di depan mukanya. Dua orang ini tidak tampak gentar, pada saat itu dari balik pohon-pohon dan semak belukar bermunculan banyak sekali orang, yaitu pasukan penjaga yang bertugas menjaga di wilayah itu.
Tidak kurang dari tigapuluh orang perajurit mengepung dua orang gadis itu, dikepalai oleh laki-laki yang bernyanyi tadi, yang kini tersenyum-senyum memandang kepada Ci Sian, pandang matanya liar dan seperti hendak menelanjangi pakaian gadis itu.
"Nona yang cantik dan muda, sungguh sayang sekali kalian sampai ikut terbasmi dengan gerombolan pemberontak lain yang kami kejar-kejar. Lebih baik engkau menyerah dan menakluk, nona, dan aku Twi-sin-to (si Golok Besar Sakti) Kui Mo Yo yang menjamin bahwa engkau akan diampuni dan memperoleh kedudukan mulia. Kawanmu si mulut lancang inipun kalau engkau yang mintakan ampun, tidak akan kami bunuh asal dia mau membantu pekerjaan di saluran......"
"Anjing, pengkhianat bangsa, tak usah banyak cerewet!"
Li Ceng memaki dan ia sudah menerjang maju, memutar sepasang pedangnya. Terdengar teriakan kesakitan dan dua orang pengepung yang paling dekat dengannya telah roboh mandi darah.
Ci Sian yang berdiri lebih dekat dengan perwira itu, tanpa banyak berkata lagi menerjang maju pula, pedangnya berkelebat cepat dan kuat, sinarnya menyilaukan mata.
Mulailah dua orang kakak beradik seperguruan itu dikeroyok. Ketika perwira yang bernama Kui Mo Yo tadi menangkis pedang Ci Sian dan terkejut oleh kenyataan bahwa nona cantik itu lihai sekali pedangnya dan kuat tenaganya sehingga tangkisan goloknya membuat ia terhuyung dan hampir melepaskan senjatanya, lenyaplah nafsu birahinya dan kini ia memberi aba-aba untuk mengeroyok dan membunuh dua orang pemberontak ini!
Li Ceng dan Ci Sian boleh jadi adalah dua orang gadis perkasa yang meniliki ilmu silat tinggi dan merupakan dara-dara muda yang sukar dicari tandingannya dan sukar pula dirobohkan. Akan tetapi kini mereka menghadapi pengeroyokan tigapuluh orang lebih pasukan penjaga kerajaan Goan yang terdiri dari orang-orang yang kuat dan liar, sudah biasa bertempur, dan dipimpin oleh Kui Mo Yo yang memiliki ilmu golok cukup lihai.
Betapapun dua orang dara perkasa ini mengamuk, namun mereka segera terkurung rapat dan terdesak hebat. Rapatnya pengurungan musuh, banyaknya senjata yang datang menyerbu, membuat mereka ini sukar sekali untuk mencurahkan perhatiannya merobohkan lawan, melainkan hampir semua perhatian harus ditujukan untuk melindungi tubuh sendiri dari pada ancaman puluhan batang senjata tajam yang datang bagaikan hujan itu.
Pasukan penjaga itu mengeroyok sambil bersorak hiruk pikuk, seperti sekumpulan pemburu mengepung dua ekor harimau betina. Namun di antara suara hiruk pikuk para pengeroyok itu, masih terdengar teriakan dan bentakan nyaring kedua orang gadis itu terutama sekali Li Ceng yang mengikuti setiap serangan balasan.
Setelah lewat seratus jurus dua orang gadis itu sudah berhasil robohkan masing-masing empat orang pengeroyok lagi, akan tetapi mereka telah menjadi lelah dan pening, napas terengah-engah dan tubuh basah oleh keringat. Melihat keadaan kedua orang lawan yang makin lemah ini Kui Mo Yo berkali-kali mendesak anak buahnya untuk memperketat pengepungan.
"Ha-ha-ha, kiranya mereka berdua semua adalah wanita cantik! Hayo tangkap, siapa dapat menangkap mereka akan menerima hadiah besar. Kalau tidak bisa ditangkap hidup-hidup boleh juga bunuh saja!"
Pengepungan makin kuat dan dalam suatu desakan hujan senjata Li Ceng terluka paha kirinya, sedangkan Ci Sian kena hantam pundak kirinya, dengan gagang tombak. Kedua orang gadis itu terluka, namun mereka menggertak gigi dan melawan terus.
Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ha-ha-ha, kedua orang nona manis, masih tidak mau menyerah?"
Perwira itu tertawa mengejek, akan tetapi terdengar bentakan nyaring dan tubuh Li Ceng yang terkepung itu tiba-tiba menyambar dengan sebuah loncatan tinggi, langsung terjun menyerang Kui Mo Yo. Perwira ini kaget dan berusaha menangkis dengan goloknya.
Namun yang menyerangnya adalah sepasang pedang yang gerakannya susul menyusul. Ia berhasil menangkis pedang kiri, namun pedang kanan membabat lehernya! Kui Mo Yo cepat membuang diri ke samping.
"Haiiitt!"
Li Ceng melengking nyaring.
"Aduhhh......!"
Kui Mo Yo menggulingkan tubuh dan terus bergulingan untuk menghindarkan serangan susulan. Anak buahnya sudah cepat-cepat mengurung lagi gadis berpakaian pria yang lihai itu.
Kui Mo Yo menyumpah-nyumpah, pundaknya terluka pedang, untung hanya daging di pangkal lengan saja yang terkupas sehingga darahnya bercucuran. Setelah menempelkan obat dan dibalut, Kui Mo Yo menggunakan tangan kiri memegang goloknya, maju lagi untuk memimpin anak buahnya.
"Bunuh mereka! Bunuh......!"
Bentaknya marah sekali.
"Bunuh mereka......! Bunuh anjing-anjing Mongol......!"
Bentakan Kui Mo Yo tadi mendapat sambutan suara yang gemuruh dan muncullah orang-orang yang pakaiannya tidak keruan, compang camping bahkan ada yang bertelanjang dada, rata-rata mereka adalah laki-laki yang tubuhnya kurus dan pucat, akan tetapi mereka itu dipimpin dua orang dua pemuda gagah perkasa dan tampan yang mengamuk bagaikan dua ekor naga.
Juga limapuluh orang laki-laki kurus pucat itu biarpun melihat gerak gerik mereka tidak dapat disebut sebagai ahli-ahli pertempuran, namun ternyata mereka itu bertempur dengan semangat tinggi dan kenekadan yang luar biasa. Jelas bahwa kebencian mereka terhadap para penjaga Mongol ini meluap-luap dan karena inilah maka cara mereka bertanding amatlah dahsyat dan mengerikan.
"Ji-wi siocia (nona berdua) jangan khawatir kami datang membantu!"
Teriak seorang diantara dua orang pemuda gagah yang memimpin penyerbuan pasukan laki-laki kurus pucat itu.
Ci Sian dan Li Ceng segera mengenal dua orang pemuda itu. Biarpun dua orang pemuda tampan itu kini juga berpakaian tidak karuan kotor compang camping namun wajah Owyang Tek tetap tampan dan gagah perkasa, tubuhnya tetap tinggi besar kuat berbeda dengan pasukan yang dipimpinnya. Juga Gui Siong masih tampan sekali, dengan gerak gerik yang halus namun pedang di tangannya tidak kalah dahsyatnya dari pada pedang di tangan suhengnya.
Dua orang pemuda ini adalah murid-murid terkasih Siauw-bin-mo Hap Tojin. Tentu saja hati kedua orang gadis yang sudah terluka dan tadinya tidak melihat harapan untuk dapat lolos dari kepungan itu menjadi girang sekali, bangkit kembali semangat mereka dan kini mereka mengamuk lebih hebat lagi.
Pertempuran kini menjadi berat sebelah. Mengalahkan dua orang gadis perkasa itu saja sudah amat sukar, apalagi kini ditambah dua orang pemuda yang tidak kalah lihainya daripada kedua orang nona itu, masih ada lagi pasukan sebanyak limapuluh orang yang bertempur tanpa memperdulikan keselamatan sendiri!
Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Kui Mo Yo dan pasukan penjaganya. Mereka itu roboh seorang demi seorang, dan Si Golok Sakti itu sendiripun akhirnya roboh mandi darah. Entah pedang siapa yang membunuhnya, namun setidaknya, di tubuhnya terdapat bekas tusukan dan bacokan pedang keempat orang muda perkasa itu! Akhirnya pasukan laki-laki kurus pucat itu menghabiskan semua musuh, tidak ada seorangpun dapat meloloskan diri semua tewas dibawah hujan senjata orang-orang yang meluap-luap kebenciannya.
"Ji-wi terluka? Ah, sayang...... kami agak terlambat datang......!"
Kata Gui Siong setelah dua pasang orang muda itu saling berhadapan.
Ouwyang Tek yang tidak pandai bicara itu tanpa membuka mulut sudah mengeluarkan bungkusan obat luka dan kain pembalut, menyerahkan semua ini kepada Ci Sian yang menerimanya dengan mengangguk tanda terima kasih akan tetapi tanpa berkata-kata pula itu.
Mulailah kedua orang gadis itu saling bantu mengobati dan membalut luka masing-masing sambil bercakap-cakap dengan kedua orang pemuda yang telah menolong mereka.
"Banyak terima kasih atas bantuan ji-wi twako (kakak berdua)!"
Kata Li Ceng sederhana. Memang dalam soal bantu membantu melawan musuh dalam dunia pendekar merupakan hal biasa dan lumrah.
"Akan tetapi bagaimana ji-wi twako bisa tiba-tiba muncul di sini dan...... siapakah mereka yang ji-wi pimpin?"
Ouwyang Tek yang kini sudah tidak begitu sungkan dan malu lagi menghadapi dua orang gadis cantik jelita yang selama ini menjadi buah mimpi dan buah percakapan mereka berdua, menghela napas panjang dan berkata.
"Kasihan mereka itu, menjadi korban kelaliman raja penjajah, menjadi buruh paksa......!"
Ci Sian memandang pemuda tinggi besar itu, terheran.
"Mereka itu buruh yang disuruh bekerja paksa menggali terusan?"
Ouwyang Tek memandang gadis itu. Dua pasang mata melekat sejenak dan tiba-tiba muka pemuda tinggi besar itu menjadi merah, jantungnya berdebar dan ia tidak dapat bicara lagi, hanya dapat mengangguk-angguk saja! Melihat keadaan suhengnya ini, Gui Siong yang sudah mengikuti setiap gerak gerik kakak sepenguruannya, lalu cepat menolongnya dan berkata,
"Betul, nona. Mereka ini adalah pekerja-pekerja paksaan yang bekerja dalam neraka dunia, menggali terusan sampai mati!"
"Tapi...... tapi bagaimana mereka dapat datang menolong kami? Dan bagaimana ji-wi dapat memimpin mereka!"
Ci Sian bertanya lagi.
"Nanti dulu, Gui-twako (kakak Gui)!"
Tan Li Ceng memotong cepat.
"Sungguh tidak enak mendengar kalian berdua menyebut kami ji-wi siocia. Apa perlunya nona-nonaan terhadap kami? Guru kita saling bersahabat, karenanya di antara kita juga terdapat tali persahabatan. Mengapa bersikap sungkan seperti orang asing? Harap saja kalian suka menganggap kami sahabat sehingga tidak ada sikap sungkan seperti itu."
Ouwyang Tek makin menunduk, akan tetapi wajah Gui Siong yang tampan berseri.
"Terima kasih, Tan...... siauw-moi (adik). Sungguh merupakan kehormatan besar bagi kami."
"Nah, sekarang kau ceritakanlah bagaimana mereka itu dapat lolos dan bagaimana kalian dapat memimpin mereka sehingga hari ini dapat menolong kami,"
Kata pula Li Ceng sambil tersenyum manis sehingga Gui Siong yang memandangnya tak dapat menahan diri lagi, menelan ludah. Begitu manisnya gadis berpakaian pria di depannya ini!
"Kami mentaati pesan suhu agar membantu para orang-orang yang dijadikan kuli-kuli paksa di sini. Sudah setengah tahun kami berkeliaran di daerah ini dan berkali-kali kami mengacau para penjaga, membunuh mereka apabila ada kesempatan. Akan tetapi, karena jumlah mereka amat banyak, kedudukan mereka terlalu kuat juga dengan jalan mengacau saja kami masih belum dapat meringankan beban para pekerja yang hidup seperti dalam neraka, maka kami lalu mengambil keputusan untuk menyamar dan masuk sebagai pekerja paksa."
"Ahhh......!"
Dua orang gadis itu berseru kaget dan memandang kagum.
"Hanya itu satu-satunya jalan agar dapat berdekatan dengan mereka yang hidup dalam neraka dunia itu. Dan kami berusaha membangkitkan semangat mereka, membunuh banyak penjaga yang terlalu kejam terhadap para buruh kerja paksa, akhirnya, limapuluh orang lebih ini bertekad ikut dengan kami melarikan diri, membentuk pasukan untuk melawan pemerintah penjajah yang membikin sengsara kehidupan rakyat."
Dua orang gadis itu menjadi makin kagum. Kini pandangan mata mereka terhadap pasukan orang-orang kurus pucat itu berobah. Kiranya mereka itu adalah orang-orang yang telah mengalami penderitaan dan penghinaan sehingga hati mereka menjadi keras dan semangat mereka meluap.
Padahal mereka semua itu bukanlah orang-orang yang memiliki kepandaian! Kalau mereka yang hidup sebagai rakyat petani di dusun-dusun kini telah menjadi pejuang penentang kerajaan penjajah, apakah orang-orang gagah di dunia kang-ouw tinggal memeluk tangan saja. Sungguh memalukan!
Li Ceng dan Ci Sian melihat betapa pasukan itu kini sedang melucuti pakaian dan senjata mayat-mayat musuh untuk mereka pergunakan karena memang mereka amat membutuhkan pakaian sebagai pengganti pakaian mereka yang compang camping, dan senjata untuk melanjutkan perjuangan mereka mementang para penjaga yang kejam.
"Bagus sekali!"
Berseru Tan Li Ceng dengan wajah gembira.
"Kami berdua datang ke tempat inipun dengan tujuan yang sama, menentang kekejaman penjajah!"
"Kalau begitu......!"
Kata Gui Siong gembira sambil memandang wajah Li Ceng penuh harap, akan tetapi tidak berani melanjutkan ucapannya.
"Kita sudah tiba di sini dan bertemu dengan pasukan pejuang. Kalau kalian masih membutuhkan pembantu......"
Kata Ci Sian.
"Pembantu ......?"
Ouwyang Tek berseru keras dan nyaring.
"Ji-wi...... siauw-moi memiliki ilmu kepandaian yang hebat, lebih dari kami. Mari kita berjuang bersama sampai dihentikannya kekejaman oleh penjajah!"
"Tepat sekali ucapan suheng!"
Sorak Gui Siong.
"Kita berempat memimpin pasukan pekerja paksa, bergerak dari luar dan di dalam dengan cara menyelundupkan pekerja untuk menghasut mereka yang masih takut melawan dan berada di dalam neraka itu. Hancurkan penjajah!"
Gui Siong mengepal tinju ke atas.
"Hancurkan penjajah!"
Ouwyang Tek, Lauw Ci Sian dan Tan Li Ceng mengikuti teriakan ini sambil mengacungkan tinju ke atas.
"Hancurkan penjajah!!"
Suara gemuruh ini keluar dari mulut puluhan orang bekas pekerja itu yang amat gembira menyaksikan empat orang muda gagah perkasa itu meneriakkan suara yang sudah lama bergema di hati mereka.
Penindasan melahirkan pemberontakan. Hal ini sudah lajim sebagai akibat timbal balik. Telah tercatat dalam sejarah selama ribuan tahun betapa kaisar besar, raja-raja yang berkuasa, pemerintah-pemerintah yang kuat, satu-satu roboh oleh pemberontakan rakyatnya sendiri, bukan oleh musuh dari negara lain. Dan sebab utama daripada kehancurannya adalah karena para penguasa terlalu (Lanjut ke Jilid 14)
Pendekar Cengeng (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 14
mementing-kan dirinya pribadi. Mabok akan kemuliaan dan benda, berenang dalam pengum-baran nafsu duniawi.
Mereka itu, terutama sang raja lupa bahwa dia dapat menjadi raja karena ada rakyat, dia dapat menikmati kemuliaan dan kekayaan karena rakyat pula. Bahkan setiap butir nasi yang mengisi perut raja dan penguasa, adalah hasil cucuran ke-ringat rakyat kecil! Lupa bahwa waktu memperebutkan kekuasaan dalam perang adalah para perajurit kecil yang berarti rakyat kecil pula, yang mempertaruhkan nyawa untuk memperebutkan kedudukan bagi sang raja.
Kalau hanya lupa masih mending, akan tetapi kalau dalam kelupaan ini mereka mabok dan timbullah perbuatan sewenang-wenang mengandalkan kekuatannya. Rakyat yang berada di bawah diinjak, diperas dan dihimpit. Rombongan semut yang begitu kecil menggigit kalau diinjak, apalagi manusia. Adalah wajar dan tidak mengherankan apabila rakyat yang ditindas dan dihimpit para penguasa yang korup dan sewenang-wenang ini makin lama makin mendendam sehingga akhirnya diletuskan dalam pemberontakan-pemberontakan.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, hanya kaisar-kaisar yang arif bijaksana saja yang dapat menenteramkan negara, dan hal yang terutama yang dilakukan kaisar-kaisar bijaksana ini adalah mendahulukan kepentingan rakyat, memper-hatikan penghidupan rakyat dan mencurahkan seluruh perhatian dan kepandaian untuk mendatangkan kehidupan dan aman tenteram dan makmur bagi rakyat jelata.
Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo