Pendekar Cengeng 17
Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 17
Pemuda ini berseru "Bagus!"
Dan ranting yang tadi terselip di pinggang sudah dicabutnya dan mulailah ia menghadapi pengeroyokan enam orang perwira yang bersenjata pedang dan golok itu.
"Curang......! Curang ......!"
Teriak Siok Lan. Tidak perduli pemuda itu A-liok si pelayan atau bukan, namun sudah jelas bahwa antara pemuda itu dan dia ada tali percintaan yang membuat ia siap membelanya. Dengan pedang di tangan ia hendak menyerbu, akan tatapi tiba-tiba lengannya di pegang kakeknya yang berbisik.
"Jangan bergerak, kau lihat saja. Dia tidak akan kalah......"
Siok Lan melihat ke sekelilingnya dan semua pejuang menonton pertandingan itu dengan wajah tenang, ia menoleh kepada kakeknya dan berkata,
"Kong-kong, apakah aku mimpi? Apakah dia itu bukan A-liok pelayanku?"
"Sssttt, kau lihat saja dan kau akan mengerti."
Siok Lan menyimpan pedangnya kembali lalu menonton dengan jantung berdebar tegang.
Pelayannya ini benar-benar hebat bukan main sungguh jauh dari dugaannya. Memang pernah ia mengira bahwa sedikit banyak A-liok tentu memiliki kepandaian ilmu silat sebagai bekas pelayan keluarga Dewa Pedang Yu. Akan tetapi tidak dengan tingkat setinggi itu!
Kini mengertilah ia bahwa A-liok dahulu itu bukan secara kebetulan saja dapat mempermainkan Cui Hwa Hwa, dan mulailah ia mengerti pula yang memundurkan para tokoh pengemis Ang-kin Kai-pang bahkan yang mengundurkan ketuanya yang sekarang sudah tewas di tangan Ouw Beng Tat, bukan lain adalah pelayannya ini. Itulah pelayannya tentu telah membantunya secara diam-diam dan teringat akan ini semua otomatis bulu kuduk Siok Lan meremang dan ia merasa malu kepada diri sendiri!
Kemudian teringat ia betapa A-liok pernah menciumnya di atas kuda, dan kini bukan hanya bulu tengkuknya yang meremang, bahkan semua bulu tubuhnya bangkit dan pipinya berubah menjadi merah sekali sampai leher dan telinganya!
Selain ini Yu Lee harus benar-benar mengeluarkan kepandaiannya. Ia tahu bahwa kalau ia tidak mampu merobohkan enam orang pengeroyoknya dalam waktu singkat. Panglima Ouw Bang Tat akan memandang rendah kepadanya dan usahanya menolong para pejuang akan gagal. Ouw Beng Tat adalah seorang yang gagah perkasa yarg tentu akan memegang janjinya asal saja ia dapat memperlihatkan bahwa dia cukup lihai dan patut untuk menandingi panglima itu. Ia harus mendatangkan kesan tinggi dalam pandangan panglima itu.
Oleh karena ini begitu melihat enam orang pengeroyoknya maju menerjangnya tanpa banyak aturan lagi karena marah menyaksikan kematian seorang kawan mereka, Yu Lee lalu mengeluarkan suara melengking nyaring tubuhnya mendadak lenyap berubah menjadi bayangan putih yang melengking-lengking, tongkat ranting di tangannya menjadi gulungan sinar kehijauan yang melingkar-lingkar dan mengurung para pengeroyoknya. Bagaikan beruntun terdengar jeritan-jeritan disusul robohnya keenam orang pengeroyoknya. Ketika orang melihat, masih pening oleh gerakan yang amat cepat itu, ternyata enam orang perwira itu telah mati karena totokan-totokan maut dan Yu Lee berdiri memegang ranting memandang ketujuh orang korbannya dengan pipi basah air mata!
"Pendekar Cengeng......"
Seruan ini mengandung rasa takut dan gentar, keluar dari mulut para anak buah pasukan Mongol.
Pucat wajah Siok Lan. Ia berdiri dengan jari-jari...... di depan bibir, mata terbelalak memandang ke arah "A-liok", jantung berdebar tidak karuan. Akhirnya ia terisak dan bibir mengeluarkan bisikan lirih "Dia...... dia...... A-liok....... dia Pendekar Cengeng......!"
"Siok Lan...... Siok Lan ......!"
Thian-te Sin-kiam memanggil, akan tetapi gadis itu telah lenyap menerobos diantara kepungan tentara musuh yang tidak menghalanginya karena mereka semua sedang tegang memandang ke arah Pendekar Cengeng. Thian-te Sin-kiam hendak mengejar, akan tetapi ia terhuyung dan tentu roboh terguling karena luka di pahanya kalau saja lengannya tidak cepat-cepat disambar oleh Dewi Suling.
"Harap locianpwe tenang, kita menghadapi urusan yang lebih gawat. Biarkanlah, adik Siok Lan sedang bingung dan kaget, kalau sudah beres akan kususul dia."
Thian-te Sin-kiam mengangguk dan menghela napas panjang, memandang lagi ke arah Yu Lee yang kini berhadapan dengan Panglima Ouw Beng Tat. Suara pemuda itu halus akan tetapi penuh wibawa ketika ia berkata kepada panglima tinggi besar itu.
"Terpaksa aku merobohkan pembantu-pembantumu, Ouw-ciangkun. Engkau telah menewaskan tujuh orang teman kami, dan aku telah menewaskan tujuh orang pembantumu, berarti keadaan kita seri, tidak ada yang lebih unggul."
Ouw Beng Tat memandang dengan sinar mata penuh kekaguman, juga penasaran. Ia mengangguk-angguk dan berkata.
"Hemm, tidak apa. Mereka mati sebagai orang-orang gagah seperti juga teman-temanmu. Jadi kiranya engkau ini Pendekar Cengeng? Engkau cucu Yu Tiang Sin yang terlepas dari cengkeraman maut yang disebar oleh Hek-siauw Kui-bo? Hemm, bocah, siapa namamu?"
"Nama saya Yu Lee, di waktu kecil pernah kong-kong bercerita tentang kegagahan Ouw-ciangkun. Karena itu, bisalah saya mewakili mendiang kong-kong, mohon kebijaksanaan ciangkun untuk membebaskan semua pejuang yang ada di sini."
"Ha-ha-ha! Jangan terkebur, orang muda! Apa kaukira setelah berhasil mengalahkan tujuh orang pembantuku yang masih bodoh, kau dapat membuat hati Ouw Beng Tat menjadi jerih? Ha-ha-ha biar ada lima orang muda seperti engkau aku masih belum mau tunduk dan tetap mempertahankan perintahku, yaitu menawan kalian semua yang memimpin pemberontakan ini, termasuk engkau Pendekar Cengeng."
Berkerut alis Yu Lee sudah ia duga bahwa panglima yang keras hati ini tidak akan mudah dapat ditundukkan dengan kata-kata. Maka iapun lalu berkata, suaranya nyaring tegas.
"Kalau begitu, terpaksa aku menantangma Ouw-ciangkun!"
"Bagus! Memang keadaan kita masih seri bukan? Nah, sekarang tinggal pertandingan terakhir. Engkau cukup berharga untuk menjadi lawanku. Kalau sekali ini engkau kalah olehku mati atau hidup, maka pihakmu harus tunduk dan taat kepada perintahku tadi."
"Baik, kami berjanji!"
Tiba-tiba Thian-te Sin-kiam berseru.
"Akan tetapi, bagaimana kalau kau yang kalah oleh Pendekar Cengeng Ouw Beng Tat?"
"Ha-ha-ha! Tak mungkin sekali itu! Akan tetapi seandainya aku kalah, kalian semua boleh bebas, aku akan menarik mundur tentaraku?"
Ouw Beng Tat masih memandang rendah lawannya sehingga ia katakan bahwa kalau ia kalah ia masih mampu menarik mundur tentaranya, berarti ia kalah dalam keadaan seri, ia tidak percaya bahwa orang muda itu mampu menewaskannya!
"Kalau begitu mulailah, ciangkun omongan orang gagah sudah dikeluarkan, sekali keluar, biar dunia kiamat takkan dilanggarnya!"
Kata Yu Lee.
"Aku sudah mulai awas......."
"Cet-cet-cet-cet-cet.......!!"
Sinar berkilauan menyambar-nyambar dari kedua tangan panglima tua itu, bagaikan kilat berkelebat menyerang Yu Lee, disusul suara berkerincingan nyaring memenuhi udara. Sedikitnya ada tigapuluh batang piauw menyambar secara bertubi-tubi tidak hanya ke arah belasan jalan darah di sebelah depan tubuh Yu Lee, bahkan sebagian pula menyambar ke kanan kiri dan atas menutup jalan keluar jika pemuda itu hendak mengelak. Satu-satunya jalan mengelak bagi Yu Lee hanyalah masuk ke dalam bumi, akan tetapi, bagaimana mungkin hal ini ia lakukan? Bahaya maut mengancam diri pemuda itu, kuku-kuku cengkeraman maut menjangkaunya dari segenap penjuru.
Thian-te Sin-kiam sendiri sampai menahan napas menyaksikan hebatnya serangan piauw ini, jauh lebih hebat daripada yang pernah ia saksikan selama hidupnya. Juga Dewi Suling sampai menjadi pucat mukanya karena wanita ini cukup maklum betapa sukarnya menyelamatkan diri dari sambaran piauw yang susul menyusul itu.
Yu Lee bukan tidak tahu akan kelihaian senjata rahasia lawan, juga ia tidak berani memandang rendah. Pemuda ini sudah sejak tadi mengerahkan sinkang di tubuhnya sampai tubuhnya mengeluarkan getaran, hawa sakti yang dahsyat, terutama sekali pada kedua lengannya. Tangan kanan yang memegang ranting bergerak cepat memukul atau memecut ke arah piauw-piauw yang berdatangan sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka melakukan gerakan sakti Sin-kong-ciang di dorongkan ke arah depan.
Hebat sekali kesudahannya. Barang kecil yang bergerak cepat itu ujungnya menyambut setiap piauw yang menyambar dan begitu terpukul ujung ranting, piauw-piauw itu membalik dengan kecepatan lebih cepat lagi ada yang membentur piauw-piauw lainnya ada pula yang terus menyerang Ouw Beng Tat. Sedangkan piauw-piauw lainnya yang terkena hawa pukulan tangan kiri Yu Lee runtuh dan mencelat ke kanan kiri!
Ouw Beng Tat memandang terbelalak sambil menyambar beberapa piauw yang di "retour"
Oleh Yu Lee. Mukanya berubah dan ia berkata seperti diluar kehendaknya.
"Ilmu silat Tu-kui-tung-hoat...... ilmu pukulan Sin-kong-ciang ....... Hei, Pendekar Cengeng ada hubungan apa engkau dengan Han-ongya (sebutan untuk Raja Muda Han It Kong )?"
"Sin-kong-ciang Han It Kong adalah suhuku yang mulia,"
Jawab Yu Lee.
Panglima itu menggerakkan alisnya, wajahnya menjadi agak pucat.
"Ah......! Kiranya begitu? Sungguh tidak kebetulan bagiku! Han-ongya adalah bekas junjunganku, juga setengah guruku karena beliaulah yang memberi banyak petunjuk dan bimbingan kepadaku. Andaikata Han-ongya sendiri yang kini datang menghadapikn, aku Ouw Beng Tat bukan seorang yang tak kenal budi. Aku akan menyerahkan jiwa ragaku kepada beliau......"
Terkejut juga Yu Lee mendengar pengakuan ini. Gurunya dahulu tidak pernah bicara tentang panglima yang kosen ini. Yu Lee seorang pemuda cerdik, ia hendak menggunakan kesempatan itu demi keuntungan teman-temannya, maka cepat ia menjura dan berkata,
"Ah, kalau begitu, kita adalah orang-orang sendiri, bahkan ciangkun masih terhitung suheng (kakak seperguruan) dariku. Mengingat akan budi suhu, hendaknya ciangkun sudi mengalah dan membebaskan semua pejuang agar diantara kita tidak usah ada pertentangan lagi."
Ouw Beng Tat termenung sampai agak lama. Semua orang menanti dengan hati cemas dan penuh harapan. Akan tetapi panglima itu menggeleng kepala dan berkata, suaranya tegas dan parau.
"Tidak bisa! Tidak bisa! Pertama, kalau aku membatalkan pertandingan, orang akan menyangka bahwa aku Ouw Beng Tat takut bertanding melawan Pendekar Cengeng! Kedua, aku berhutang budi kepada Han-ongya, bukan kepada muridnya. Ketiga aku masih belum yakin karena belum ada bukti bahwa engkau adalah murid Han-ongya."
"Ouw-ciangkun, engkau sudah menyaksikan Tu-kui-tung-hwat dan Sin-kong-ciang, bukti apa lagi yang engkau kehendaki?"
"Hemm, belum meyakinkan. Kalau engkau benar murid tersayang Han-ongya, engkau tentu akan dapat mengalahkan aku, barulah aku akan percaya bahwa engkau murid Han-ongya!"
Panas juga hati Yu Lee. Orang ini tak mungkin dapat diajak berunding secara damai lagi, pikirnya, maka dengan sikap dingin ia berkata.
"Begitukah kehendakmu? Nah menunggu apa lagi? Aku sudah siap menghadapimu Ouw-ciangkun."
"Singgg......!"
Pedang yang tercabut itu mengeluarkan suara mendesing keras dan nyaring.
Baru sekarang Ouw Beng Tat benar-benar hendak menggunakan kepandaiannya, tadi semua lawan ia robohkan hanya dengan serangan senjata rahasianya yang ampuh saja. Pedang itu masih menggetar ujungnya ketika ia pegang dengan tangan kanan di atas kepala dengan lengan melengkung adapun tangan kiri meraba dada sendiri, dekat kantong piauw, kedua kaki memasang kuda-kuda, siap menerjang maju, sepasang matanya memandang tajam ke arah Yu Lee.
Pendekar Cengeng yang maklum akan kelihaian lawan, juga tidak mau memandang rendah. Ia segera memasang kuda-kuda, ranting yang dipegang tangan kanan itu melintang di dada, tangan kiri dengan jari-jari terbuka miring di depan dahi, kedua kaki di pentang lebar depan belakang, matanya memandang tajam ke depan, dicurahkan kepada gerakan lawan yang akan datang. Melihat tangan kiri lawan, pemuda ini maklum bahwa betapapun berbahaya pedang panjang lawan itu namun yang lebih berbahaya lagi adalah tangan kiri yang setiap saat, dalam detik-detik tak terduga, dapat menyambitkan piauw dari kantong itu.
Di lain pihak, Ouw Beng Tat kini tidak lagi berani memandang rendah pemuda ini. Kalau benar pemuda ini murid terkasih Han It Kong akan sukarlah baginya untuk mencapai kemenangan, ia sudah tahu betapa hebatnya ilmu-ilmu Sin-kong-ciang dan Ta-kui-tung-hoat yang tak mungkin ia dapat tandingi. Dia pernah digembleng Han It Kong ketika menjadi anak buah raja muda perkasa itu, akan tetapi karena bukan muridnya, maka raja muda itu tidak menurunkan kepadanya kedua macam ilmu kesaktian yang menjadi inti dari pada Han It Kong itu. Ia tahu bahwa ranting kecil itu lebih berbahaya dari pada senjata macam apapun juga, maka ia tidak mau memandang ringan apa lagi tangan kiri yang terbuka itu karena ilmu pukulan Sin-kong-ciang amat dahsyat dan sudah mengangkat tinggi nama besar Han It Kong di dunia kang-ouw.
Semua orang menahan napas menyaksikan kedua orang jago, yang seorang muda yang seorang tua dan saling berhadapan memasang kuda-kuda tanpa bergerak atau berkedip sedikit pun. Ouw Beng Tat maklum bahwa pemuda itu amat hati-hati, tentu tidak akan suka menyerangnya terlebih dahulu ia menanti saat yang baik menanti pemuda itu berkedip atau bergerak salah satu bagian syarafnya. Namun betapa kagum hatinya menyaksikan pemuda itu diam tak bergerak seperti arca batu sikapnya (Lanjut ke Jilid 20)
Pendekar Cengeng (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 20
tenang sekali dan teguh kokoh kuat sukar dicari kelemahannya. Maka ia lalu berteriak keras sekali dan mulailah ia menerjang dengan gerakan dahsyat pedangnya berdesing-desing ketika ia gerakkan dalam penyerangan berantai, yaitu pedangnya itu berputaran seperti kitiran angin, demikian cepatnya sehingga membentuk segulung sinar yang berkeredepan dan bertubi-tubi menyambar ke arah tubuh Yu Lee.
Pemuda itu menggunakan keringanan tubuhnya bergerak lincah mengelak setiap kali gerakan-gerakan sinar pedang itu menyambar ke arahnya, akan tetapi karena pedang itu berputar cepat maka tiap kali dielakkan sudah datang lagi, membuat pemuda itu sibuk dan terdesak dalam usahanya menghindarkan diri ini. Yu Lee maklum bahwa tidak baik bagi kedudukannya kalau mengelak terus, maka bergeraklah rantingnya, bukan langsung menangkis pedang melainkan pada sepersepuluh detik setelah pedang menyambar lewat pengelakannya, rantingnya meluncur menotok pergelangan tangan yang memegang pedang. Totokan bukan sembarangan totokan, melainkan totokan dari jurus ilmu Tongkat Ta-kui-tung-hoat sehingga kalau mengenai sasaran, biarpun orang selihai Ouw Beng Tat tentu akan melepaskan pedangnya karena urat nadinya putus!
Ouw Beng Tat mengenal bahaya. Cepat ia menarik tangannya dan berhentilah putaran pedangnya. Namun tidak berhenti serangannya. Sambil menarik tangan ia menggerakkan pergelangan tangan dan pedangnya dari atas menyambar ke bawah, mengancam leher Yu Lee dengan bacokan dahsyat yang mengeluarkan suara berdesing. Kembali Yu Lee dengan mudahnya mengelak cepat dan sinar bergulung-gulung dari gerakan rantingnya yang melakukan serangan balasan bertubi-tubi mengurung semua gerakan tubuh Ouw Beng Tat. Kini panglima itulah yang menjadi sibuk sekali, mengelak dan menangkis karena ia maklum betapapun kecilnya ranting itu, namun sekali ia tersentuh, akan celakalah dia. Ia menggertak gigi dan memutar pedang melindungi tubuh, pedangnya seolah-olah berubah menjadi benteng baja yang menyelimuti dirinya.
Makin lama makin seru pertandingan itu, makin dahsyat dan berjalan cepat sekali sehingga dalam waktu tidak berapa lama mereka saling serang sebanyak limapuluh jurus! Keduanya diam-diam merasa kagum dan harus mengakui bahwa baru sekali ini mereka menghadapi lawan yang benar-benar hebat. Bagi Yu Lee, baru pertama kali ini ia menghadapi lawan yang benar-benar tangguh, yang dapat menandingi Ta-kui-tung-hwat sampai limapuluh jurus. Sebaliknya Ouw Beng Tat yang melakukan pertandingan entah berapa ribu kali selama ia hidup, harus mengakui pula bahwa belum pernah ia menghadapi lawan semuda Pendekar cengeng dengan kepandaian sehebat itu.
Makin lama Ouw Beng Tat menjadi makin penasaran. Betapapun lihai pemuda lawannya ini bahkan biarpun dia murid Han It Kong sekalipun, pemuda ini belum lahir ketika ia sudah jagoan! Masa ia tidak mampu mengalahkannya? Dengan hati penuh kemarahan dan penasaran Ouw Beng Tat mengeluarkan seruan nyaring dan menerjang dengan mempercepat gerakannya. Tubuhnya yang tinggi besar sampai lenyap terbungkus gulungan sinar pedangnya yang membentuk lingkaran-lingkaran lebar! Yu Lee mengimbanginya dan terdengarlah lengking panjang kemudian lenyap pula bentuk tubuh pendekar sakti ini, terbungkus sinar kehijauan dari ranting yang diputar cepat.
Yang tampak kini hanya dua gulungan sinar saling belit, saling tindih saling himpit dan hanya kadang-kadang tampak bayangan tubuh mereka atau berkelebatnya kaki yang menginjak tanah menimbulkan debu mengebul di sekeliling tempat itu. Saking hebatnya hawa sakti yang keluar dari dua gulungan sinar itu daun-daun pohon yang berdekatan melayang-layang turun dengan gagang yang cepat seperti dibabat dengan senjata yang tajam!
"Siingggg...... plakkkk...... Plakkkk...... Brettt......!!"
Tidak ada yang dapat mengikuti jalannya pertandingan dengan jelas, bahkan dua orang sakti seperti Dewi Suling dan Thian-te Sin-kiam juga menjadi pening menyaksikan pertandingan itu dan berusaha mengikuti dengan pandangan mata.
Tahu-tahu kini keduanya mencelat ke belakang gulungan sinar lenyap dan tampak Ouw Beng Tat menyumpah dan meraba paha kirinya. Belakang pahanya tampak karena celananya telah robek kulit paha itu terdapat guratan membiru. Kiranya ranting dengan ilmu tongkat Ta-kui-tung-hwat telah membuktikan keampuhannya, yaitu dapat menerjang tubuh belakang lawan dari depan.
Biarpun hanya terobek celananya dan tergurat kulitnya namun hal ini cukup mengagetkan Ouw Beng Tat sehingga ia meloncat ke belakang yang diturut pula oleh Yu Lee. Pemuda ini amat hati-hati, tidak mau sembarangan mendesak karena loncatan musuh ke belakang itu dapat juga dijadikan perangkap. Kini mereka saling berhadapan agak jauh, terpisah kurang lebih sepuluh meter. Kembali separti tadi pada saat awal pertandingan mereka saling pandang dengan sinar mata tajam. Hanya tampak perbedaan pada keduanya. Yu Lee agak berubah wajahnya, agak pucat tetapi sikapnya masih tenang, tidak tampak napasnya terengah, juga hanya pada leher dan dahinya saja agak basah oleh peluh. Di lain pihak, Ouw Beng Tat kelihatan merah sekali mukanya, merah karena marah, muka penuh dengan keringat yang masih menetes-netes turun, napasnya agak terengah-engah.
"Kau hebat, Pendekar Cengeng. Akan tetapi jangan tertawa dulu, kau lihat seranganku!"
Tiba-tiba panglima itu mengeluarkan suara gerengan yang seperti harimau marah, keluar dari perut melalui kerongkongannya. Tubuhnya melayang ke atas, lalu menukik ke depan, tangan kirinya bergerak cepat.
"Cat-cat-cat-cat!"
Tujuh batang piauw mengeluarkan suara berkerincingan ketika menyambar ke bawah ke arah Yu Lee yang menjadi terkejut sekali. Di serang dari jarak begitu dekat dengan ancaman piauw dan pedang musuh, benar-benar tidak boleh dibuat main-main. Ia mengelak, lalu menjatuhkan diri bergulingan, akan tetapi setiap saat menghadap ke atas, mengelak lagi dan ketika pedang lawan datang menyambar, ia menangkis dari samping dengan rantingnya, meminjam tenaga lawan ini untuk mencelat ke atas bangun berdiri dan pada saat terakhir, dengan pukulan Sin-kong-ciang ia berhasil meruntuhkan sebatang piauw yang menyusul paling akhir.
Serangan hebat itu gagal dan dengan seruan kecewa, tiba-tiba panglima itu menggulingkan diri, terus kini bergulingan ke arah Yu Lee, tangan kirinya tetap bergerak dan.
"cat-cat-catt......!"
Kembali tujuh batang piauw menyambar ke arah pemuda itu, kini dari bawah menyambar ke arah bagian-bagian tubuh terpenting lalu disusul tubuhnya sendiri mencelat ke atas menyusul serangan tujuh batang piauw itu dengan babatan pedangnya!
Hebat bukan main serangan tujuh batang piauw itu, lebih berbahaya dari pada jurus pertama yang menyerang dari atas tadi. Yu Lee maklum bahwa ia menghadapi saat yang gawat, terutama sekali oleh susulan serangan pedang yang membabat, cepat mengerahkan sinkang, disalurkan ke arah ranting di tangannya lalu dari samping ia menangkis, terus menggunakan tenaga menempel dan mendorong pedang lawan, menambah tenaga luncuran pedang sehingga pedang itu menyeleweng ke kiri dan membabat lengan Ouw Beng Tat yang kiri!
Cepat bukan main terjadinya sehingga sukar diduga dan sukar pula diikuti dengan pandangan mata. Tujuh batang piauw dapat dielakkan oleh Yu Lee dan dikebut dengan pukulan Sin-kong-ciang, akan tetapi kiranya panglima tua itu masih menyembunyikan sebatang piauw lagi yang dengan jari-jari tangan kiri disentil sedemikian rupa sehingga piauw itu menyambar ke dada Yu Lee! Yu Lee yang sedang mengerahkan tenaga menempel pedang dan mendorong, kaget dan miringkan tubuhnya.
"Capp...... crokk......!!"
Ouw Beng Tat mengeluarkan teriakan serak seperti suara binatang liar, tangan kirinya sebatas pergelangan tangan telah terbabat putus oleh pedangnya sendiri sehingga ia terhuyung-huyung ke belakang, wajahnya pucat memandang lengannya yang sudah buntung, darah muncrat-muncrat. Sebaliknya, biarpun sudah miringkan tubuh, Yu Lee masih tak dapat menghindarkan piauw itu yang menancap di bahu kanannya. Pemuda inipun terhuyung-huyung ke belakang, mencabut piauw dan membuangnya. Darah mengucur dari bahunya, akan tetapi tentu saja keadaannya tidak sehebat Ouw Beng Tat.
"Tangan kirimu terlalu jahat...... terpaksa dilenyapkan...... ciangkun......!"
Kata Yu Lee terengah-engah menahan rasa nyeri di bahunya.
"Apakah ciangkun masih belum mau mengalah?"
Sejenak Ouw Beng Tat diam, melotot dan menggereng-gereng perlahan, kemudian ia membungkuk menyambar tangan kirinya yang menggeletak di atas tanah itu dengan tangan kanan setelah menggigit pedangnya, memandang tangan itu sebentar lalu mengantonginya. Setelah itu, dengan darah dingin ia menotok jalan darah di lengan kirinya menghentikan aliran darah sehingga tidak mengucur keluar dan menotok jalan darah yang mengurangi rasa nyeri, kemudian mengambil pula pedangnya di tangan kanan.
"Belum......! Aku belum kalah...... hayo teruskan......!"
Setelah berkata demikian, ia menggunakan pedangnya menubruk maju.
"Luar biasa sekali engkau ciangkun!"
Seru Yu Lee. Pemuda ini, seperti juga semua orang yang menyaksikan pertandingan hebat itu memandang penuh kagum kepada panglima tua itu yang benar-benar amat gagah perkasa.
Terpaksa pemuda ini menghadapi lawannya dengan tenang. Setelah kini lawannya tak dapat lagi menggunakan tangan kiri untuk menyerang dengan piauw tentu saja dia jauh lebih unggul. Biarpun pundaknya terluka piauw tadi namun Yu Lee masih cukup kuat untuk menggerakkan ranting menangkis pedang, kemudian tangan kirinya menyusul dengan pukulan Sin-kong-ciang. Pukulan yang tidak menyentuh kulit lawan, namun hawa pukulan sakti itu cukup hebat sehingga Ouw Beng Tat terjengkang dan terguling-guling!
"Masih belum cukupkah ciangkun?"
Tanya Yu Lee, suaranya sungguh-sungguh, sama sekali tidak mengandung maksud mengejek.
"Aku belum kalah......"
Ouw Beng Tat sudah meloncat bangun lagi sambil menyerang hebat. Panglima tua ini merasa betapa tubuhnya lemas, separoh tubuh bagian kiri sakit menusuk- nusuk jantung, akan tetapi sesuai dengan wataknya yang pantang mundur dan pantang menyerah selama ia masih mampu melawan, ia terus nekad menerjang, Yu Lee merasa kagum juga penasaran. Kakek ini benar-benar keras hati dan keras kepala, pikirnya, ia maklum bahwa kalau kakek ini belum dibikin tak berdaya, tentu takkan mau mengaku kalah.
Pedang yang panjang itu menyambar dengan kekuatan dan kecepatan dahsyat yang sukar untuk dihindarkan oleh lawan pandai sekalipun. Namun Yu Lee yang bersikap tenang itu sengaja berlaku lambat. Baru setelah pedang menyambar dekat leher ia secara tiba-tiba merendahkan tubuhnya dan tongkat ranting di tangannya menyambar, tetapi sekali ini menotok ketiak kanan lawan hingga pedang yang dipegang tangan yang tertotok ini terlepas. Tangan kirinya cepat mendorong dengan Sin-kong-ciang dan hanya menyentuh sedikit dada Ouw Beng Tat, namun sekali ini cukuplah. Pedang panglima itu terampas dan tubuh yang tinggi itu terjengkang lalu terbanting ke atas tanah!
Ouw Beng Tat mengeluh perlahan, berusaha bangkit akan tetapi tidak sanggup, sehingga ia hanya mampu duduk sambil mengelus-elus dadanya dengan tangan kanan. Napasnya serasa terhenti oleh sentuhan pukulan Sin-kong-ciang tadi. Setelah napasnya agak normal kembali, ia memandang Yu Lee dan berkata suaranya tersendat-sendat.
"......kau hebat...... Sin-kong-ciang dan Ta-kui-tung-hwat benar-benar hebat...... engkau benar muridnya...... murid Han-ongya...... aku mengaku kalah......."
Yu Lee menjura dengan hormat.
"Ouw-ciangkun juga hebat, gagah perkasa sukar dicari bandingannya. Apakah sekarang ciangkun suka membebaskan teman pejuang yang berada di sini ini?"
Ouw Beng Tat menarik napas panjang.
"Aku seorang panglima, membebaskan para pemberontak berarti sebuah kedosaan terhadap pemerintah dan biarlah aku akan hadapi hukumannya karena akupun seorang yang menjunjung kegagahan dan tidak akan menjilat ludah kembali. Aku telah berjanji...... aku sudah kalah ...... orang muda, kau ajaklah teman-temanmu pergi dari sini....... kubebaskan kalian......"
"Terima kasih, Ouw-ciangkun."
Yu Lee menjura lalu ia menghampiri teman-temannya dan minta kepada mereka supaya cepat-cepat pergi meninggalkan hutan ini.
Ketika para pejuang itu dengan pimpinan masing-masing membawa teman yang terluka dan jenazah pemimpin mereka meninggalkan tempat itu, ditonton dan didiamkan saja oleh pasukan Mongol.
Yu Lee ditegur oleh Thian-te Sin-kiam.
"Mengapa engkau mengaku sebagai A-liok kepada Siok Lan? Ah, apa pula artinya sandiwara itu......."
Yu Lee yang sejak tadi mencari dengan matanya tidak menjawab pertanyaan ini karena memerlukan jawaban panjang lebar, bahkan ia balas bertanya,
"Liem locianpwe, di mana dia?"
"Hemm, dia telah pergi melarikan diri ke selatan sana setelah mendapat kenyataan bahwa pelayannya A-liok itu ternyata adalah Pendekar Cengeng, Dewi Suling tadi telah menyusulnya......
"
"Ah, maaf locianpwe. Saya harus mengejarnya!"
Setelah berkata demikian, tubuh Yu Lee berkelebat dan lenyap dari depan kakek itu.
Thian-te Sin-kiam Liem Kwat Ek menggeleng geleng kepala sambil menarik napas panjang. Teringat ia akan semua pengalamannya di masa muda dahulu dan tahulah ia apa yang sedang dirasakan oleh orang-orang muda itu, maka sambil berjalan perlahan agak terpincang meninggalkan tempat itu bersama para pejuang lainnya ia berkata perlahan seorang diri.
"
Hem ...... orang muda...... dan cinta......"
Sian-li Eng-cu Liem Siok Lan lari secepatnya sambil menangis terisak-isak, air matanya bercucuran seperti air hujan menuruni kedua pipinya tanpa ia perdulikan. Ada butir-butir air mata yang setiba di pipi, di kanan kiri mulut, menyeleweng mengikuti lekuk pipi terus ke ujung bibirnya, terasa asin, tetapi inipun tidak ia perdulikan dan ia lari terus.
Hatinya terasa tidak keruan. Dia sendiri tidak tahu mengapa ia menangis dan melarikan diri! Kalau ia meneliti perasaan hati dan jalan pikirannya, ia bisa gila! Betapa tidak? Dia seharusnya merasa girang mendapat kenyataan bahwa A-liok pemuda yang dicintainya itu ternyata bukanlah seorang pelayan biasa saja, dan juga bukan seorang bodoh, melainkan dialah pendekar sakti yang dikagumi semua orang, yaitu Pendekar Cengeng, itulah sebetulnya pribadi A-liok yang hanya sebuah nama samaran saja. Dan Yu Lee atau pendekar Cengeng ini jelas mencintainya, sudah pernah menciumnya sudah beberapa kali melindunginya, membelanya, berkorban untuknya, membiarkan dadanya terluka untuknya.
Sementara ia girang dm bahagia. Akan tetapi, Pendekar Cengeng adalah oraug yang selama ini ia benci sekali karena telah menganggap dan memandang rendah kepadanya sebagai seorang calon jodoh. Mengapa Yu Lee berpura-pura menjadi A-liok? Apakah semua itu bukan untuk mempermainkannya? Untuk mengejek? Dan terhadap A-liok ia sudah mengungkapkan semua perasaan bencinya kepada Yu Lee! Alangkah memalukan hal ini! Dia merasa girang, juga marah juga malu!
Beberapa kali Siok Lan berhenti dan membanting-banting kaki sambil menangis, lalu teringat kalau-kalau ia dikejar "pelayan"
Itu maka ia lari lagi secepatnya. Ia lari tanpa tujuan dan tidak lagi lurus menuju ke selatan, melainkan membelok-belok tidak karuan karena dia sendiri tidak tahu harus pergi ka mana, pokoknya asal lari pergi menjauhi laki-laki yang dicinta dan dibencinya, yang menimbulkan gembira dan marah itu.
Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam keadaan kacau perasaan dan pikirannya seperti itu, Siok Lan kehilangan kewaspadaannya. Ia tidak tahu bahwa sejak tadi ada belasan pasang mata memandangnya dan ada belasan orang mengikuti setiap gerak geriknya lalu membayanginya. Ia tidak tahu bahwa makin lama ia tersesat makin jauh di daerah yang sama sekali tidak dikenalnya, tanpa tujuan. Ia terus berlari dan berjalan sampai hari menjadi hampir gelap dan daerah yang dilaluinya makin lama makin liar dan tidak tampak seorangpun manusia.
Sesungguhnya gadis ini bagaikan seekor katak telah memasuki guha sarang ular berbisa. Daerah itu menjadi tempat rahasia di mana orang-orang yang bertugas sebagai mata-mata pemerintah Mongol bersarang.
Memang pemerintah Mongol amat pandai. Selain mengandalkan pasukan-pasukannya yang besar dan kuat, juga pemerintah berhasil menarik hati orang-orang pandai. Diantara orang-orang pindai ini ada yang diangkat menjadi petugas sipil maupun militer seperti halnya Ouw Beng Tat, akan tetapi ada pula yang diberi tugas untuk bekerja sebagai penyelidik dan mata-mata rahasia sehingga tidak saja pemerintah penjajah ini dapat mengetahui semua peristiwa dan keadaan para pejuang yang mereka sebut pemberontak juga dapat mengetahui keadaan sehingga mudah untuk kelak menindasnya.
Diantara sekian banyak pasukan mata-mata yang bekerja secara rahasia ada kelompok yang bersarang di daerah yang kini dimasuki Siok Lan tanpa disadarinya itu! Semenjak ia masuk daerah ini, ia telah diikuti secara diam-diam oleh belasan orang yang bergerak ringan dan gesit, tanda bahwa mereka itu memiliki kepandaiannya yang tinggi juga. Akan tetapi agaknya mereka ini menerima tugas rahasia sehingga tidak turun tangan menangkap atau menawan Siok Lan hanya mengikuti dari jauh dan meneliti untuk mendapat kepastian bahwa gadis ini memasuki daerah itu seorang diri saja tidak membawa kawan-kawan seperjuangan.
Siok Lan merasa lelah dan lapar. Hari sudah mulai gelap, ia memasuki hutan dan bermaksud mencari pengisi perut dan air minum. Selagi ia celingukan mencari-cari dengan pandang matanya, dari jauh tampak berkelebat bayangan dua orang dan terdengar orang memanggil.
"Sian-li Eng-cu......!"
Siok Lan meraba gagang pedangnya, siap menghadapi segala kemungkinan. Akan tetapi setelah dua sosok bayangan itu mendekat, ia melepaskan gagang pedangnya dan memandang dengan hati lega. Kiranya yang muncul itu adalah seorang pemuda tampan berbaju biru, berusia duapuluh sembilan tahun, yaitu Pui Tiong murid Kim-hong-pay yang pernah ia temui dalam perjamuan di tempat Huang-ho Sam-liong. Adapun orang kedua adalah Can Bwee, suci pemuda itu yang berusia tigapuluh tahun, pendiam dan cantik.
"Ah, kiranya ji-wi (kalian) yang memanggil, sampai terkejut hatiku. Eh, bagaimana ji-wi dapat tiba-tiba muncul di tempat sunyi ini? Dan kenapa ji-wi tidak muncul ketika kami para pejuang menghadapi musuh dan hampir saja terbasmi habis?"
Pui Tiong menjura dan berkata.
"Ah, nona tidak tahu barangkali. Memang kami dan kawan-kawan seperjuangan menjadikan tempat ini markas kami. Kami mendengar tentang pertempuran-pertempuran di sana, akan tetapi karena kami sendiri menghadapi musuh disebelah sini, kami belum dapat membantu."
Can Bwee menggandeng tangan Siok Lan.
"Marilah, adik yang gagah. Mari singgah di tempat kami, makan minum sambil bercerita. Aku ingin mendengar bagaimana keadaan teman-teman seperjuangan di sana. Aku mendengar di sana pasukan pejuang diperkuat oleh Pendekar Cengeng dan Dewi Suling? Apakah mereka banyak berhasil mengacau Thian-an-bun? Dan setelah Thian-an-bun dipimpin Ouw-ciangkun, mengapa tidak ada gerakan lagi?"
Siok Lan adalah seorang gadis yang masih belum dapat meneliti dan mengenal watak orang, ia tidak merasa heran melihat betapa Can Bwee yang biasanya pendiam itu kini dapat bersikap ramah dan sekaligus menghujankan pertanyaan demikian banyak seperti lagak seorang penceloteh yang cerewet.
Ia membiarkan dirinya ditarik karena kata-kata "makan minum"
Tadi membangkitkan seleranya dan membuat perutnya makin lapar, lehernya makin haus.
"Memang di sana ada...... Pendekar Cengeng dan Dewi Suling, tapi....... tapi baru saja kami disergap dan dikurung oleh pasukan besar yang dipimpin sendiri oleh Ouw Beng Tat."
"Ahhh??"
Enci adik seperguruan itu saling pandang kemudian Can Bwee mempercepat langkahnya sambil menggandeng Siok Lan.
"Adik Siok Lan marilah kita cepat-cepat ke markas dan di sana kau ceritakanlah semuanya tentu amat menarik ceritamu. Marilah."
Mereka bergegas memasuki hutan yang gelap dan di tengah hutan itu terdapat sebuah pondok besar. Ke pondok itulah mereka ini masuk. Hanya ada tiga orang yang bersikap seperti pelayan berada di pondok dan melayani mereka makan minum. Siok Lan memandang ke kanan kiri.
"Di mana teman-teman seperjuanganmu?"
"Ah, pasukan kami tidak berapa besar dan mereka itu berpencaran di dalam hutan. Biarlah kupanggil mereka yang kebetulan berada dekat pondok ini!"
Kata Pui Tiong sambil berdiri. Dia membawa dua buah jari ke dalam mulutnya lalu bersuit keras sekali tiga kali kemudian ia baru duduk lagi.
Tak lama kemudian, bermunculan belasan orang dari pintu pondok. Mereka ini rata-rata masih muda, dan delapan orang laki-laki dan empat orang wanita yang usianya antara duapuluh lima sampai tigapuluh tahun sikap mereka rata-rata gagah dan tangkas sehingga Siok Lan memandang kagum. Ia bangkit berdiri dan memberi hormat yang dibalas oleh semua orang. Seorang diantara mereka berkata,
"Harap Sian-li Eng-cu banyak baik dan silakan mengaso dan makan minum."
Siok Lan tersenyum dan duduk kembali.
Belasan orang itu lalu mengaso di dalam pondok. Ada yang berdiri bersandar ke dinding ada yang jongkok, dan duduk di mana saja dan ada pula yang rebahan.
"Silakan, nona!"
Kata Pui Tiong
"Eh bagaimana aku bisa makan minum sendiri? Hayo kalian semua menemani aku!"
"Kami semua sudah makan. Biarlah suci dan aku saja menemanimu. Marilah."
Siok Lan bukanlah seorang pemalu! Karena memang ia lapar dan haus, ia segera mulai menyikat hidangan di atas meja dan mendorongnya masuk ke perut dengan arak atau minuman teh yang disediakan di situ. Pui Tiong dan Can Bwee menemaninya hanya minum saja karena sudah makan.
Sambil makan minum, mulailah Siok Lan menceritakan keadaan pertempuran di hutan yang dijadikan sarang pejuang. Ia menceritakan betapa para pejuang suka akan perubahan peraturan yang diadakan Ouw Beng Tat maka tidak mengacau di Thian-an-bun lagi. Kemudian dia menceritakan munculnya Ouw Beng Tat dengan pasukan besar yang mengurung pasukan pejuang, kemudian tentang pertandingan perorangan di mana Ouw Beng Tat menewaskan tujuh orang pemimpin pejuang. Diceritakan pula tentang munculnya Pendekar Cengeng dan dalam menceritakan sepak terjang Pendekar Cengeng ini, Siok Lan mengandung kebanggaan!
"Hebat sekali Pendekar Cengeng jauh lebih hebat dari pada Ouw Beng Tat!"
Kata Siok Lan dengan mata bersinar-sinar karena pada saat ia berkata itu ia menganggap bahwa Pendekar Cengeng adalah tunangannya.
"Dengan kesaktiannya yang hebat ia membalas dan membunuh tujuh orang perwira pembantu Ouw Beng Tat dalam waktu singkat! Kemudian Pendekar Cengeng menantang Ouw Beng Tat untuk bertanding dengan taruhan bahwa jika Ouw Beng Tat kalah, panglima itu harus membebaskan semua pejuang yang terkurung.
"Aiihhh......!"
Can Bwee mengeluarkan seruan kaget, akan tetapi cepat disambungnya dengan kata-kata berlawanan.
"Bagus sekali! Pendekar Cengeng benar-benar hebat sekali! Kemudian bagaimana? Siapa yang kalah......?"
"Tentu saja Pendekar Cengeng menang. Akan tetapi aku tidak tahu, aku lalu pergi meninggalkan tempat itu, hanya aku yakin dia pasti menang......."
Mereka telah selesai makan dan Siok Lan merasa amat lelah dan mengantuk. Dua kali ia menguap, ditutupnya mulut dengan punggung tangan.
"Selain Pendekar Cengeng dan Dewi Suling, siapa lagi di antara tokoh pejuang yang hadir di sana?"
Pertanyaan Pui Tiong ini mengandung desakan, seolah-olah pemuda ini tidak perduli bahwa Siok Lan sudah amat lelah dan mengantuk, akan tetapi Siok Lan tak memperhatikan ini hanya menganggap bahwa ceritanya amat menarik hati dan orang muda yang baik hati itu.
"Kakekku juga datang bersama Siauw-bin-mo dan Tho-tee-kong yang menjadi korban......"
"Thian-te Sin-kiam juga di sana......???"
Ucapan ini terdengar dari luar pondok dan masuklah seorang tosu yang tinggi kurus dan bermuka kuning Siok Lan tidak mengenal tosu itu dan memandang tak acuh mengira bahwa ini tentu seorang diantara teman seperjuangan yang berada di situ.
Akan tetapi Pui Tiong dan Can Bwee bangkit dan menjura sambil berkata hormat.
"Suhu......"
Siok Lan terkejut dan memandang penuh perhatian. Dia sudah pernah bertemu dengan tosu ini ketika tosu ini berkunjung kepada kakeknya, akan tetapi hal itu sudah terjadi tujuh tahun yang lalu sehingga ia sudah hampir upa. Kini barulah ia tahu bahwa tosu ini adalah Gwat Kong Tosu dan ia mulai teringat. Sudah banyak ia mendengar perihal tosu bekas murid Kun-lun-pai yang pernah "menyeleweng"
Ini dari kakeknya dan segera ia berbangkit untuk menjura dan berkata,
"Harap totiang banyak baik......"
Akan tetapi tiba-tiba Siok Lan mengeluh, tubuhnya menjadi lemas dan ia terhuyung.
Can Bwee cepat memeluknya dan Siok Lan sudah lemas dipelukan Can Bwee, setengah pingsan, kepalanya pening sekali dan segala apa tampak berputaran sehingga cepat-cepat ia meramkan mata. Biarpun ia sudah lemas, akan tetapi lapat-lapat telinganya masih dapat menangkap percakapan mereka. Terdengar suara tosu itu.
"Bagus, kalian sudah dapat merobohkannya. Masukkan di dalam sumur kering, akan tetapi jaga jangan sampai mati kelaparan. Dengan dia sebagai umpan, kita akan dapat mengangkap Thian-te Sin-kiam dan terutama sekali Pendekar Cengeng!"
"Baik, suhu. Memang tujuan kita adalah menangkap Thian-te Sin-kiam dan terutama Pendekar Cengeng."
Terdengar Pui Tiong berkata.
Kemudian Siok Lan yang menjadi terkejut mendengar ini berusaha meronta, akan tetapi tahu-tahu ia merasakan tubuhnya tak dapat bergerak karena ditotok oleh Can Bwee. Kini mengertilah ia bahwa di dalam makanan itu dicampuri obat bius, dalam keadaan tertotok dan setengah pingsan Siok Lan masih dapat mengetahui dia dibawa ke sebelah belakang pondok dan setelah dimasukan sebuah karung, tubuhnya lalu dikerek masuk ke dalam sumur yang amat dalam. Akhirnya ia pingsan setelah tubuhnya menyentuh dasar sumur yang gelap sekali.
Ketika Siok Lan siuman dari pingsan, ternyata malam telah berganti pagi. Ada sedikit sinar matahari pagi memasuki sumur itu sehingga ia dapat memperhatikan keadaan di mana ia berada. Tubuhnya sudah dapat digerakkan, kepalanya tidak pening lagi ini tandanya bahwa obat bius yang tercampur dalam makanannya malam tadi tidaklah berbahaya, dan bahwa totokan itu sudah buyar sendiri ketika ia tidur setengah pingsan. Di dekatnya tampak sebuah panci tertutup berisi makanan dan sebuah botol berisi air minum. Akan tetapi ia tidak perdulikan makanan dan minuman ini, lalu meloncat bangun. Pedangnya sudah tidak ada, tentu dirampas.
"Keparat jahanam.......!"
Ia mengutuk, tahu sekarang bahwa Pui Tiong dan Can Bwee adalah pengkhianat-pengkhianat yang berpura-pura menjadi pejuang. Juga guru mereka itu. Dan ia dapat menduga bahwa orang-orang muda yang mengaku pejuang itu tentulah anak murid Kim-hong-pai dan bahwa Kim-hong-pai tentu membantu pemerintah Mongol! Kiranya kehadiran Pui Tiong dan Can Bwee sebagai "anggauta"
Pejuang yang baru itu hanyalah penyeludupan belaka. Dan ia kini ditawan sebagai umpan untuk menjebak kakeknya dan Pendekar Cengeng.
"Terkutuk tujuh turunan!"
Kembali ia memaki sambil memperhatikan dasar sumur. Ternyata biarpun di atasnya tidak begitu lebar hanya bergaris tengah satu setengah meter, namun dasar sumur ini amat lebar, bergaris tengah tidak kurang dari empat meter. Mungkin sumur buatan yang sengaja dipergunakan untuk mengeram tawanan.
Amat dalam sumur itu entah berapa meter sukar ditaksir, akan tetapi dari bawah tampak tinggi sekali mulut sumur itu sehingga keadaannya mengerikan. Hanya seekor burung saja yang agaknya akan dapat keluar dari dalam sumur!
"Pengkhianat terkutuk! Pengecut jahanam!"
Siok Lan memaki-maki dengan suara keras sambil mendongak memandang ke mulut sumur di atas, kemudian menghela napas panjang dan duduk bersila di tengah dasar sumur untuk memulihkan tenaga dan menenteramkan hati. Ia perlu memulihkan tenaganya, perlu ia menenteramkan hatinya karena ia tahu bahwa ia menghadapi bahaya maut. Seluruh dinding sumur itu di bagian bawahnya, setinggi empat meter lebih, terlapis besi sehingga tidak mungkinlah baginya untuk menggali, pendeknya tidak ada jalan keluar lagi baginya! Akan tetapi ia yakin bahwa ia tidak akan dibunuh, setidaknya dalam beberapa lama ini karena kalau mereka menghendaki nyawanya, tentu dengan mudah ia sudah dibunuh ketika pingsan. Pula, ia ditawan untuk memancing Thian-te Sin-kiam dan Pendekar Cengeng, maka ia belum putus asa.
Demikianlah dengan amat tekunnya Siok Lan bersamadhi dan perlahan napasnya menjadi normal kembali dan tubuhnya terasa hangat dan segar, pikirannya tidak kacau balau lagi. Kini yang dipikir olehnya hanya mencegah agar kedua orang itu terutama sekali kakeknya tentu saja, tidak sampai terjebak. Ia harus dapat memperingatkan kedua orang itu apabila mereka muncul di mulut sumur.
Setelah hatinya tenang ia membuka tutup panci dan mulailah ia mengisi perutnya dengan makanan dan minuman air. Ia perlu menjaga kesehatannya dan tidak perdulikan apakah makanan dan minuman itu diberi racun. Dan ternyata tidak, karena memang apa perlunya meracuni seorang tawanan yang sudah tak berdaya apa-apa lagi?
Yu Lee menggunakan kepandaiannya untuk berlari cepat. Hatinya terasa tidak enak karena ia belum dapat menyusul Siok Lan. Kini ia tahu bahwa ia tidak akan dapat menyembunyikan rahasia dirinya lagi. Kinilah tiba saatnya harus berterus terang kepada gadis yang dicintainya itu. Dahulupun ia sama sekali tidak bermaksud membohong dan mempermainkan Siok Lan, hanya untuk mencegah agar gadis yang keras hati itu tidak memusuhinya, maka terpaksa ia terus menggunakan nama samaran di depan Siok Lan.
Semalam suntuk Yu Lee tak pernah berhenti mencari. Karena tidak ada tanda-tanda yang ditinggalkan sebagai jejak gadis itu, ia tersesat jauh, kembali lagi mencari di sekeliling tempat yang ia duga dapat dicapai oleh Siok Lan pada malam itu, namun sia-sia belaka. Barulah pada pagi harinya, ketika mata hari telah bersinar, ia melihat sesuatu yang amat mengguncangkan hatinya. Pedang Siok Lan menggeletak diatas tanah, di luar sebuah hutan!
"Lan-moi......!"
Ia berbisik.
Jantungnya berdebar sambil dipungutnya pedang itu diteliti. Tak salah lagi. inilah pedang kekasihnya. Sudah lama ia berdekatan dengan gadis itu sehingga hafal olehnya semua benda milik nona itu. Dari pakaiannya sampai pita rambutnya, sepatu dan pedang perak serta jarum peraknya. Ia mengenal bahwa kalau nona itu sudah melepaskan pedang, berarti dia telah kalah dalam menghadapi lawan. Ia meloncat bangun, mencari-cari dengan pandang matanya.
"Akhh......!"
Ia melihat sebatang jarum, jarum perak berkilauan di atas tanah tertimpa sinar matahari pagi. Cepat ia meloncat dan dipungutnya jarum itu. Jarum milik Siok Lan!
Ternyata bukan hanya sebatang, disebelah depan ada lagi dan terus ada lagi terpisah kira-kira sepuluh meter. Jarum itu seperti tercecer atau memang sengaja dilempar-lempar untuk meninggalkan jejak! Makin berdebar jantung Yu Lee. Ia tahu betapa cerdiknya kekasihnya itu. Mungkin Siok Lan kalah oleh musuh, tertawan dan sengaja melempar-lemparkan jarumnya agar dia dapat mengikuti jejaknya.
Jejak itu masuk ke dalam hutan yang besar! Akhirnya jarum itu habis dan sebagai gantinya tampaklah sehelai kain, robekan kain yang kecil sekali hanya setengah jari lebarnya! Yu Lee meneliti dan hatinya gelisah. Robekan kain dari baju Siok Lan! Tidak salah lagi. Siok Lan ditahan musuh dan meninggalkan jarum-jarumnya dan kemudian setelah jarum-jarumnya habis, gadis ini mulai merobek-robek bajunya dan meninggalkan robekan-robekan baju ini di sepanjang jalan!
"Lan-moi......!"
Kembali ia mengeluh dan kini ia dapat maju dengan lebih cepat karena robekan-robekan kain itu lebih mudah ditemukan. Jejak itu membawa masuk sampai ke tengah hutan dan tiba-tiba tampaklah olehnya pondok di tengah hutan itu dan robekan kain pun habis sampai di depan pondok.
Yu Lee menjadi marah dan juga timbul harapannya untuk menemukan Siok Lan di dalam pondok ia mengerahkan sinkangnya kemudian telah meloncat, ia telah meluncur ke depan, ditendangnya pintu pondok dan ia melompat masuk. Pondok itu kosong, dan di sekitar pondokpun kosong, tidak ada bayangan seorang pun manusia. Ia menjadi kecewa dan penasaran.
Ditelitinya tanah di sebelah belakang dan tampak olehnya jejak-jejak kaki manusia. Jejak sepatu dan kaki itu besar tanda bahwa itu adalah jejak kaki seorang pria. Jelas jejak itu yang terus ia ikuti. Jejak itu berhenti sampai di dekat sebuah sumur dan di tempat sunyi itu di dekat sumur, terdapat segulung tali.
Yu Lee cepat menghampiri mulut sumur dan menjenguk ke bawah. Ia merasa ngeri. Alangkah dalamnya sumur ini pikirnya, tidak seperti sumur biasa sempit dan amat dalam lima-enam kali sedalam sumur biasa. Akan tetapi mengapa tidak ada airnya? Tiba-tiba ia bergidik. Tentu tempat tahanan!
"Siok Lan......!!"
Ia berteriak memanggil ke dalam sumur, dan alangkah girangnya ketika ia melihat bayangan manusia di bawah, di tengah dasar sumur kemudian dari dalam sumur itu terdengar suara Siok Lan nyaring sekali akan tetapi terbungkus gema suara yang membuat suara itu tidak dapat terdengar jelas oleh Yu Lee dari atas sumur. Dari atas, Yu Lee hanya melihat bayangan manusia di bawah itu, tidak begitu jelas hanya tampak warna hijau pupus dan hal ini saja sudah meyakinkan hatinya ia tahu warna itu adalah warna kesayangan Siok Lan sehingga boleh dibilang semua pakaian gadis itu berwarna hijau pupus. Juga robekan-robekan kain yang menuntunnya ke tempat itu juga berwarna hijau pupus.
"Tunggulah dan tenangkan hatimu, moi-moi...... Aku akau menolongmu......!"
Yu Lee meneliti keadaan d sekeliling tempat itu. Ia harus berhati-hati dan menghindarkan jebakan musuh ia meloncat ke atas pohon yang tertinggi di situ dan dari atas puncak ia melakukan pemeriksaan. Sunyi sekitar tempat itu tidak tampak bayangan manusia, hanya berkelebatnya binatang-binatang hutan yang mencari makan dan burung-burung beterbangan di antata pohon-pohon.
Ia merasa lega lalu meloncat turun kembali, kemudian tanpa ragu-ragu sedikitpun, ia mengambil gulungan tali dan mengikatkan ujungnya ke batang pohon yang tumbuh dekat sumur. Dilepasnya gulungan tali memasuki sumur dan ternyata bahwa tali itu panjang sekali, namun tidak cukup panjang untuk mencapai dasar sumur.
"Lan-moi......! Dapatkah kau mencapai ujung tali?"
Yu Lee berseru keras dan nyaring, akan tetapi ia sendiri tidak dapat mendengar suaranya karena segera tersusul suara gema yang riuh rendah.
Dilihatnya bayangan kecil di bawah itu bergerak-gerak dan meloncat-loncat akan tetapi tetap saja tidak dapat mencapai ujung tali yang tergantung itu, Yu Lee kembali mencari-cari dengan paandang matanya Tidak ada benda untuk menyambung tali itu, dan kalau ia harus mencari lebih dulu, akan terlalu lama, Siok Lan harus cepat-cepat ditolong, dikeluarkan dari dalam sumur. Ia harus memasuki sumur itu. Melihat dinding sumur ia percaya bahwa dengan ilmu Sin-kong-ciang ia dapat merayap ke atas kembali sampai dapat mencapai tali, atau kalau perlu, sampai ke mulut sumur. Siapa tahu di bawah sana Siok Lan terancam bahaya maut!
Tanpa ragu-ragu Yu Lee lalu menyambar tali yang tergantung ke dalam sumur itu dan cepat merayap turun melalui tali itu. Terdengar olehnya betapa suara-suara dari bawah makin nyaring, seolah-olah gadis di bawah itu berkata-kata dalam keadaan tegang. Akan tetapi telinganya yang penuh dengan gema suara yang tidak karuan itu membuat ia tidak dapat menangkap kata-kata Siok Lan dan mengira bahwa gadis itu menyuruh ia cepat-cepat menolongnya. Karena berpikir demikian, Yu Lee mempercepat gerakannya meluncur turun sehingga ia tiba di ujung tali.
Kiranya ujung tali itu masih agak jauh dari dasar sumur. Pantas saja Siok Lan tidak dapat mencapainya. Kini mulailah ia mendengar ucapan gadis itu.
"Ah, kiranya engkau...... Kukira kong-kong......! Kau pergilah......! Cepat kau kembali ke atas...... kau sedang terjebak.......!"
Yu Lee terkejut. Selagi ia tidak tahu harus kembali ke atas atau terus ke bawah, tiba-tiba terdengar suara ketawa terbahak dari atas.
Sesosok bayangan kelihatan di mulut sumur dan sekali bayangan itu menggerakkan tangan, tali itu putus dan tuhuh Yu Lee melayang ke bawah. Yu Lee cepat mengerahkan ginkangnya dan ia berhasil menusukkan jari-jari tangannya ke dinding sumur, kemudian ia merayap turun sambil menyelidiki keadaan dinding yang ternyata di bagian bawah kurang lebih empat meter tingginya dilapisi baja. Ia meloncat dan berada di dasar sumur, berhadapan dengan Siok Lan.
Mereka saling pandang, kini sinar matahari sudah cukup banyak memasuki sumur sehingga mereka dapat saling pandang dengan jelas. Sejenak mereka lupa bahwa mereka berada di dasar sumur, lupa bahwa mereka berada dalam ancaman bencana dan maut. Yang teringat dan tampak hanya orang yang berdiri di depannya. Akhirnya, Siok Lan terisak dan membanting-bantingkan kakinya, mulutnya berkata gemetar.
"Kau......! Kau......! Ah, betapa benciku padamu!"
Yu Lee menundukkan mukanya.
"Adik Siok Lan kau maafkanlah aku......, hanya karena terpaksa aku telah...... telah membodohimu seolah-olah mempermainkanmu......"
Makin marah tampaknya gadis itu. Kini dua titik air mata meloncat ke atas pipinya yang kemerahan. Ia mengertak gigi dengan gemas lalu melangkah maju, tangan kanannya menyambar,
"Plakk-plakk-plakk......!!!"
Tiga kali pipi Yu Lee ditamparnya dengan keras sehingga ada bekas tapak tangan merah membayang di pipi pemuda itu.
"Kau......! Kau......! Tidak hanya memandang rendah keluargaku, mengingkari janji orang tua, acuh tak acuh karena merasa sebagai seorang berderajat tinggi dan berkepandaian tinggi. Semua itu masih ditambah dengan mempermainkan aku, diam-diam menertawakanku, membuat aku seperti seorang badut menggelikan! Kau......! kau......!"
Siok Lan lalu menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis!
Sejenak Yu Lee memandang bengong. Pipinya yang kini masih terasa panas akan tamparan keras tadi, akan tetapi hatinya mencair melihat Siok Lan menangis seperti itu. Gadis yang keras hati ini, yang seperti api, kiranya dapat menangis seperti seorang wanita yang cengeng. Hatinya mencair dan terharu sehingga tak dapat tahan lagi air matanya pun berhamburan turun.
"Lan-moi...... engkau tidak tahu, engkau telah keliru menduga. Aku sama sekali tidak pernah memandang rendah keluargamu, apalagi mengingkari janji. Aku bersumpah, sebelum bertemu dengan engkau, sebelum engkau menceritakan tentang hubungan keluargamu dengan keluargaku aku tidak tahu! Agaknya keluargaku tidak sempat menceritakan hal itu kepadaku keburu terbasmi habis......!"
Yu Lee berhenti dan menyusut air matanya.
Kini Siok Lan sudah melepaskan tangannya dan dengan muka basah memandang kepadanya.
"Setelah mendengar dari penuturanmu, aku mencari keluargamu, aku menghadap ayah dan kong-kongmu kuceriterakan semua....... dan aku minta maaf...... kong-kongmu tahu akan semua hal. Lan moi, sungguh aku Yu Lee biarlah dikutuk Thian kalau tadinya mengetahui akan ikatan jodoh itu dan mengabaikanmu. Adapun tentang A-liok....... tadinya aku tidak sengaja mempermainkanmu...... kita bertemu di kuburan keluargaku, terhadap para musuh aku mengaku pelayan, kau datang membantuku...... kemudian kau menyatakan bencimu terhadap Yu Lee, tentu saja aku terus menyamar sebagai A-liok, karena aku....... karena aku mencintaimu moi-moi."
Berubah pandangan Siok Lan. Matanya redup setengah terpejam. Pipinya masih basah dan seperti tadi ketika ia menampar, kini iapun melangkah maju dan merangkul leher Yu Lee Diusapnya pipi yang masih merah bekas tamparan tadi, kemudian ia menarik leher yang diraihnya itu mencium pipi yang tadi ditamparnya.
"A-liok...... kau maafkan aku...... aku pun mencintaimu, A-liok......"
Yu Lee mengeluarkan suara setengah menangis setengah tertawa. Ia memeluk dan mendekap kepala gadis iiu, diangkatnya muka itu dan diciumnya mata yang terpejam, mulut yang masih menahan isak.
"Siok Lan, jangan kau menggodaku terus aku sudah minta ampun...... kau adalah Liem Siok Lan dan aku adalah Yu Lee. Engkau tunanganku calon isteriku...... bagaimana mungkin kau tergila-gila kepada A-liok......?"
Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo