Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemabuk 18


Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Bagian 18



"Benar-benar bangsat gundul tak tahu malu!"

   Tin Eng memaki gemas.

   "Tentu semenjak tadi dia mengintai kita,"

   Kata Kui Hwa.

   "Melihat kita mengeroyok Badasingh tanpa keluar membantu, Hmmm, benar-benar hwesio itu bukan seorang baik-baik dan kita harus berhati-hati menghadapi dia. Siapa tahu dia mempunyai maksud buruk terhadap kita,"

   Kata Pui Kiat.

   "Akan tetapi, tanpa sebab tak perlu kita bentrok dengan dia. Kepandaiannya tinggi. Di perahu dulu, ia telah mendemonstrasikan ilmunya Jeng-kin-cui, sekarang ia mendemonstrasikan ginkangnya,"

   Kata Pui Hok.

   Memang hebat benar ilmu lari cepat hwesio itu. Empat orang muda itu hanya melihat bayangannya berkelebat dan sebentar saja lenyaplah hwesio itu. Kalau bukan empat orang itu yang melihatnya, orang lain bahkan takkan tahu siap adanya bayangan yang berkelebat bagaikan setan itu.

   Terpaksa keempat orang muda itu menanti lagi, menanti datangnya Gwat Kong karena mereka tidak berdaya dan tidak tahu harus berbuat apa. Hwesio itu kadang-kadang kelihatan mendekati mereka tanpa mengeluarkan sepatah kata, hanya memandang ke arah Kui Hwa dan Tin Eng dengan pandang kurang ajar dan mulut menyeringai. Akan tetapi oleh karena dia tidak melakukan atau mengucapkan sesuatu, kedua orang dara itu pura-pura tidak melihatnya dan tidak mau meladeninya.

   Diam-diam Tin Eng merasa heran, mengapa rombongan perwira kerajaan yang hendak mencari harta pusaka itupun belum nampak muncul di tempat itu. Hatinya makin gelisah. Mengapa Gwat Kong belum juga datang? Ia tidak tahu bahwa Gwat Kong harus pergi dahulu ke Hoasan dan kemudian sebagaimana dituturkan di bagian depan pemuda itu pulangnya mampir lagi ke Kiang-sui sehingga ia bertempur dengan Seng Le Hosiang.

   Marilah kita menengok dulu keadaan Cui Giok, gadis yang malang itu. Apakah dia telah mati? Apakah ia tewas karena terjerumus ke dalam jurang yang amat dalam dan tidak kelihatan dasarnya itu?

   Syukur sekali tidak demikian. Ketika dara perkasa itu melompat ke dalam guha Kilin untuk mengejar Badasingh, ia merasa kedua kakinya menginjak tempat kosong dan tak dapat dicegahnya lagi. Tubuhnya melayang turun ke tempat kosong yang amat gelap. Cui Giok mengerahkan ginkangnya dan juga segera menggunakan ilmu Pik-hu-hiat, menutup hawa dan melindungi jalan darahnya serta mengerahkan lweekangnya agar tubuhnya tidak terluka kalau tertumbuk batu karang.

   Akan tetapi aneh sekali, ketika tubuhnya terbentur pada dinding sumur itu, ia merasa betapa dinding itu lembek dan empuk lagi basah, sedangkan tubuhnya terus melayang turun lama sekali. Makin lama makin cepat dan beberapa kali tubuhnya terbentur dinding, melayang-layang ke kanan kiri di tempat kosong. Kepalanya menjadi pening, pengerahan tenaganya makin mengurang dan akhirnya lenyap ketika tak dapat ditahannya lagi. Ia menjadi pingsan di waktu tubuhnya masih melayang-layang turun ke bawah. Kedua pedangnya juga terlepas dari genggaman dan melayang turun pula di tempat yang gelap itu.

   Kalau ada orang yang melihat tubuh Cui Giok melayang jatuh sampai sekian lamanya di tempat yang demikian dalamnya, tentu ia takkan ragu-ragu lagi menyatakan bahwa gadis itu pasti akan tewas. Akan tetapi kenyataan tidak demikian, karena ketika tubuh Cui Giok dengan kerasnya terbanting ke dasar jurang atau sumur itu, tubuhnya tidak remuk dan gepeng, melainkan melesak ke bawah karena tanah di mana ia jatuh itu merupakan tanah lembek berlumpur.

   Hanya sebuah kenyataan yang membuktikan bahwa Tuhan belum menghendaki tewasnya gadis itu, yakni bahwa kebetulan sekali jatuhnya dalam keadaan setengah berdiri sehingga yang masuk ke bawah lumpur hanya kaki dan tubuh bagian bawah. Kalau kepalanya yang masuk lebih dulu ke dalam lumpur, biarpun bantingan itu tidak menewaskannya, tentu gadis itu akan mati juga karena tak dapat bernapas.

   Ada setengah hari gadis itu diam tak bergerak, tak sadarkan diri bagaikan sudah mati. Akan tetapi ia membuka matanya. Ia melihat bahwa ruang itu cukup terang, sungguhpun hanya suram-suram saja. Ia melihat bahwa dirinya terbenam separuh di dalam lumpur, maka dengan susah payah karena seluruh tubuhnya terasa sakit, ia merangkak keluar dari lumpur itu. Ternyata bahwa ruang itu amat luas dan di kanan kiri terdapat tanah keras yang berdinding batu karang yang mengeluarkan cahaya terang.

   Cui Giok merangkak dan duduk di atas tanah keras. Tubuhnya yang terasa sakit-sakit itu menandakan bahwa ia mendapat luka-luka di dalam tubuh karena bantingan dari tempat tinggi itu. Maka dengan tangan gemetar, ia lalu mencari bungkusan dan sepasang pedangnya di tempat tak jauh dari situ, untungnya tidak jatuh di dalam lumpur pula.

   Jari-jari tangannya menggigil ketika ia membuka bungkusan pakaiannya. Ia teringat akan obat-obat yang diberikan kepadanya oleh Lo Han Cinjin. Tangkai daun merah itu masih ada, bahkan tidak layu, satu hal yang benar-benar luar biasa. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu memetik sehelai daun dan makan daun itu yang rasanya asam sekali.

   Benar-benar manjur daun itu, karena tak lama kemudian ia merasa tubunya segar dan rasa sakit-sakit itu lenyap. Mulailah Cui Giok memperhatikan keadaan di sekitarnya. Ketika ia memandang ke atas, ia melihat betapa sinar terang masuk bagaikan benang-benang emas, akan tetapi sinar itu tertutup oleh awan putih yang bergerak-gerak. Itulah embun atau halimun yang memenuhi sumur itu.

   Anehnya dari atas mengalir masuk angin sejuk yang membuat dasar sumur itu mempunyai hawa udara yang bersih dan segar. Dasar itu merupakan guha yang amat luas, semacam bilik terkurung batu-batu karang yang bersinar-sinar.

   Cui Giok mulai memeriksa ke sekeliling ruangan itu dan mencari jalan keluar. Akan tetapi hatinya bagaikan disayat pisau ketika ia mendapat kenyataan betapa tempat ini merupakan kurungan baginya untuk selama hidupnya. Tidak ada terowongan atau jalan keluar sama sekali dan memanjat ke atas merupakan sebuah ketidak mungkinan yang tak dapat dibantah lagi. Batu-batu karang itu selain tajam, juga amat licin, maka tak dapat dipanjat. Sedangkan dinding pada tempat ia jatuh, terdiri dari tanah lembek yang lebih sukar lagi untuk digunakan sebagai jalan keluar.

   Ia memandang lagi ke atas ke arah sinar-sinar itu lalu berteriak memanggil sambil mengerahkan seluruh khikangnya. Akan tetapi, ketika suaranya kembali lagi ke bawah meninggalkan gema suara yang amat menyeramkan dan aneh.

   Cui Giok menjadi putus asa dan tak terasa lagi ia menjatuhkan diri di atas tanah yang berpasir lalu menangis.

   "Ibu ..... ibu, bagaimana jadinya dengan anakmu ini ....?"

   Ia menangis sambil menjambak-jambak rambutnya.

   "Apakah aku harus tinggal di tempat ini sampai mati?"

   Sampai lama Cui Giok menangis sambil berlutut di atas tanah. Akan tetapi siapakah yang akan dapat mendengar semua ratapannya? Sampai kering air matanya ditumpahkan. Sampai parau suaranya karena banyak meratap tangis. Akhirnya timbullah semangat kegagahannya. Ia duduk dan menetapkan hatinya. Sudah jelas bahwa ia harus mati di tempat ini, karena siapakah yang dapat menolongnya? Pada saat bahaya maut berada di depan mata terbayanglah semua peristiwa yang pernah dialami selama hidupnya.

   Ia teringat betapa ayahnya meninggal dunia sewaktu ia masih kecil dan kemudian bersama ibunya ia tinggal di kota Cang-bun di propinsi Ciang-si, tinggal bersama kakeknya, Sie Cui Lui. Teringat pula ia betapa semenjak kecilnya ia dilatih ilmu silat oleh kakeknya sehingga ia dapat mewarisi ilmu silat Im-yang-kiam-hoat.

   Pada saat itu Cui Giok membayangkan semua ini, terbayanglah wajah ibunya yang amat buruk nasibnya. Ayahnya meninggal dunia ketika ibunya masih amat muda dan selanjutnya ibunya hidup dalam kesunyian. Terbayanglah wajah ibunya yang cantik dan halus, dan aneh sekali, bayangan wajah ibunya itu terdesak oleh bayangan wajah lain, yakni bayangan .... Gwat Kong. Makin sedihlah hati Cui Giok teringat kepada Gwat Kong, maka kembali ia menangis tersedu-sedu.

   "Gwat Kong ... aku cinta padamu .... aku cinta padamu ...., aku takkan dapat bertemu lagi dengan kau, Gwat Kong .....!!"

   Hebat sekali penderitaan batin Cui Giok di dalam dasar sumur itu. Namun imannya masih cukup kuat sehingga ia tidak membunuh diri dengan pedangnya. Memang ada keinginan ini memasuki otaknya. Daripada menderita dan bersedih terlebih lama lagi di tempat ini, lebih baik sekarang juga mati agar terbebas dari penderitaan, demikianlah bisikan di dalam otaknya.

   Akan tetapi Cui Giok dapat menekan perasaannya, dan sebagai seorang gadis yang telah digembleng kegagahan semenjak kecil oleh kakeknya yang sakti, ia mempunyai keteguhan iman dan tidak mudah menyerah kalah terhadap kesengsaraan yang bagaimanapun juga hebatnya. Ia lalu melepaskan pakaiannya yang penuh lumpur, lalu mengganti pakaian dengan pakaian bersih yang diambil dari buntalan pakaiannya.

   Sementara itu, di dunia luar matahari mulai condong ke barat dan senja hari tiba. Di dalam sumur itu cahaya yang sedikit menerangi tempat itu mulai menyuram dan kemudian hilang sama sekali sehingga tempat itu menjadi gelap segelap-gelapnya.

   Belum pernah selama hidupnya Cui Giok berada di dalam tempat yang segelap itu. Kegelapan ini membuat membuat ia bingung dan kepalanya menjadi pening sekali. Akhirnya ia tidak kuat menahan lagi dan dengan sepasang pedang di tangan ia lalu bersilat di dalam gelap. Bagaikan orang gila Cui Giok mainkan ilmu pedang Im-yang-kiam-hoat, membacok, menusuk, dan memutar kedua pedangnya sehingga angin gerakan pedangnya menimbulkan bunyi yang aneh.

   Tiba-tiba tanpa disengaja ujung pedangnya membacok dinding batu karang yang siang tadi mengeluarkan cahaya.

   "Prak!"

   Dan silaulah mata Cui Giok ketika tiba-tiba pertemuan antara ujung pedang dan batu karang itu menimbulkan cahaya api yang besar seakan-akan bintang dari langit, tiba-tiba jatuh masuk ke dalam sumur itu.

   Cui Giok terkejut dan menghentikan permainannya. Akan tetapi ia menjadi girang karena ternyata bahwa batu karang itu adalah semacam batu api yang mudah mengeluarkan api apabila terpukul oleh logam keras. Ia dapat membuat api. Api amat perlu baginya, terutama untuk penerangan di tempat yang amat gelap itu.

   Sambil meraba-raba, Cui Giok membuka buntalannya dan mengeluarkan sebuah bajunya yang terbuat daripada bulu. Baju itu amat disayanginya, karena selain mahal, baju ini adalah pemberian ibunya dan hanya satu-satunya, dipakai kalau sedang hawa amat dingin.

   Akan tetapi pada saat dan keadaan seperti itu, Cui Giok tidak kenal lagi akan sayang kepada pakaiannya. Ketika ia menggerakkan kedua tangannya, maka "bret!"

   Dirobeklah pinggir baju itu yang berbulu. Lalu ia memukulkan ujung pedangnya pada dinding batu karang lagi dengan keras sambil mendekatkan robekan baju bulu.

   Sampai dua kali api memancar, akan tetapi belum cukup besar untuk membakar robekan baju. Pada pukulan yang ketiga kalinya dan yang dilakukan dengan tenaga besar, maka baju bulu itu terbakarlah. Cui Giok menjadi girang sekali melihat betapa keadaan di situ menjadi amat terang.

   Ia menengok ke kanan kiri dan melihat betapa dinding batu karang itu bersinar-sinar terkena cahaya api yang membakar robekan baju. Dengan terkejut dan amat tertarik ia melihat sinar yang paling terang di ujung kanan, sinar yang beraneka warna dan amat indahnya.

   Akan tetapi sebentar saja robekan baju itu terbakar habis dan jari tangannya terasa panas. Maka ia cepat membuang robekan baju yang tinggal sedikit itu dan sebentar saja padamlah api tadi dan keadaan menjadi gelap lagi, bahkan lebih gelap daripada tadi sebelum ada api menyala. Lenyaplah segala sinar berikut sinar yang indah di ujung kanan itu.

   Cui Giok hendak menggunakan seluruh bajunya untuk membuat penerangan, akan tetapi tiba-tiba ia teringat bahwa apabila bajunya itu habis terbakar, ia takkan dapat membuat api lagi. Baju-baju yang lain hanya terbuat daripada kain biasa dan akan sukarlah terbakar oleh percikan api dari batu karang itu.

   Ia berpikir sebentar, kemudian merobek lagi bajunya di bagian kiri, agak panjang. Sebelum membuat api lagi, ia menggunakan tenaganya untuk memilin robekan itu menjadi semacam sumbu panjang. Dengan cara demikian, maka robekan baju itu akan lebih awet dan tahan lama menyala.

   Kemudian ia membuat api lagi dan benar saja, kini robekan baju yang berupa sumbu itu terbakar dengan baik dan lebih tahan lama, sungguhpun nyalanya tidak begitu besar. Dengan cerdiknya, Cui Giok lalu membasahi sumbu bagian bawah dengan tanah yang basah agar api tidak menyala cepat.

   SUMBU ini menyala agak lama dan selama itu Cui Giok masih terheran-heran melihat sinar indah di ujung kanan itu. Ia mendekati dan mencongkel tanah dengan pedangnya. Makin indahlah sinarnya dan tiba-tiba ujung pedangnya menyentuh benda keras yang ternyata adalah batu-batu sebesar telur ayam yang mengeluarkan cahaya luar biasa. Ia tertegun dan maklum bahwa inilah yang dimaksudkan Gwat Kong dahulu itu. Inilah harta pusaka yang tak ternilai harganya.

   Batu-batu permata yang masih aseli dan besar-besar. Banyak sekali jumlahnya. Untuk sesaat Cui Giok merasa girang sekali, akan tetapi perasaan itu segera terganti dengan kepahitan ketika ia teringat bahwa ia tak mungkin dapat keluar dari situ.

   Setelah api dari sumbunya padam, Cui Giok tidak membuat api lagi dan menanti datangnya siang sambil merebahkan tubuhnya di atas pasir dekat pendaman harta itu. Karena ia merasa amat lelah, maka tak lama kemudian ia tertidur.

   Pada keesokan harinya ketika sinar-sinar matahari telah memasuki sumur dan mendatangkan cahaya suram, ia lalu mengeduk batu-batu permata itu. Dengan girang dan heran ia melihat bahwa tempat terpendamnya batu permata itu terdiri dari tanah pasir yang mudah digali dan merupakan terowongan.

   Setelah batu-batu itu digali habis dan merupakan tumpukan batu-batu permata yang banyak sekali, ia menggali terus. Terowongan itu menembus tempat kosong. Dengan hati berdebar ia lalu merangkak memasuki terowongan itu dan alangkah herannya ketika ia mendapatkan dirinya berada di tempat terbuka yang terang.

   Ia keluar dari terowongan itu dan ketika ia memandang ke depan dan ke bawah, ia merasa pening dan ngeri. Ternyata bahwa tembusan ini membawanya ke lereng gunung yang curam sehingga tanah di bagian bawah merupakan pemandangan yang luar biasa.

   Pohon di bagian bawah itu kelihatan seperti rumput saja. Untuk turun dari lereng ini tidak mungkin sama sekali, karena lereng itu dari batu-batu karang yang licin dan tajam, juga terjal sekali. Akan tetapi hatinya agak terhibur karena di dekat lereng itu terdapat banyak tumbuhan, di antaranya bahkan ada pohon-pohon yang berbuah. Hatinya agak terhibur dan penemuan ini merupakan penyambungan umurnya, karena ia tidak akan kelaparan lagi.

   Memikirkan tentang kelaparan, ia tiba-tiba teringat akan pel pemberian Lo Han Cinjin dan ia lalu masuk kembali ke dalam guha itu untuk makan sebuah pel. Benar saja, rasa laparnya lenyap dan perutnya terasa hangat dan enak.

   Kini Cui Giok tidak begitu sedih lagi. Ia mulai bekerja, yakni memperlebar lubang yang menembus ke lereng bukit itu. Cahaya penerangan masuk dari lubang itu membuat dasar sumur itu makin terang dan hawa masuk makin banyak. Tentang penerangan di waktu siang dan hawa udara, ia tidak usah khawatir lagi. Juga tentang makanan, ia tak perlu takut kekurangan. Hanya kegelapan malam masih membuat ia bingung.

   Akan tetapi ia mendapat akal juga. Ia melihat burung-burung beterbangan di lereng itu, bahkan ada yang hinggap di pohon-pohon sekitar lereng itu. Dengan mudah ia dapat menangkap burung itu mempergunakan kepandaiannya menyambit dengan batu. Gajih burung itu dapat dipergunakan sebagai bahan bakar yang akan mengawetkan sumbuh buatannya, sehingga ia bisa membuat penerangan di waktu malam.

   Demikianlah, dengan ketabahan yang luar biasa sekali, Cui Giok hidup di tempat yang aneh itu sampai berhari-hari, tiada hentinya berusaha mendapatkan jalan keluar, akan tetapi selalu tak berhasil.

   Kita tinggalkan dulu dara perkasa yang harus dikasihani ini dan marilah kita melihat keadaan Kui Hwa, Tin Eng, Pui Kiat dan Pui Hok. Empat orang muda yang kegelisahaannya mungkin tak kalah besar dari pada kegelisahan yang diterima Cui Giok.

   Mereka ini menanti kedatangan Gwat Kong dengan hati tidak keruan. Apalagi kalau teringat akan nasib nona pendekar yang telah menolong mereka.

   Akan tetapi, dua hari kemudian, kegelisahaan mereka itu lenyap ketika tiba-tiba Gwat Kong muncul di situ. Pada waktu itu, mereka sedang berjalan di pinggir sungai. Tiba-tiba terdengar suara orang memanggil dengan suara girang,

   "Tin Eng ........!"

   Gadis itu menengok dan ....... alangkah girangnya melihat bahwa yang memanggil itu bukan lain ialah Gwat Kong.

   "Gwat Kong ...."

   Serunya dan kalau saja di situ tidak ada Kui Hwa dan kedua orang suhengnya, tentu ia telah berlari menghampiri pemuda itu.

   "Bun-taihiap!"

   Kui Hwa juga berseru dengan bibir terkatup erat dan mata memandang tidak enak, karena bukankah pemuda ini adalah putera dari Bun-tihu yang difitnah oleh ayahnya?

   Gwat Kong datang berlari-lari dan karena Tin Eng bukan berada seorang diri, maka pemuda ini lalu menjura kepada mereka yang dibalas sebagai mestinya.

   "Mengapa kalian masih berkumpul di sini? Bagaimana tentang ......tempat itu?"

   Ia menengok ke arah puncak Hong-san yang nampak dari situ.

   "Sssttt ......"

   Kata Tin Eng. Tidak leluasa bicara di sini. Mari kita pergi ke perahu itu!"

   Ia menunjuk ke sebuah perahu restoran yang besar dan kebetulan kosong.

   Mereka berlima lalu berjalan menuju ke perahu itu. Wajah Tin Eng kemerah-merahan dan matanya berseri-seri tanda bahwa pertemuan ini benar-benar amat menggembirakan hatinya. Kui Hwa ketahui hal ini dan diam-diam ia membenarkan pilihan hati Tin Eng yang amat tampan dan gagah itu. Akan tetapi, Dewi Tangan Maut ini masih saja merasa tidak enak hati.

   Perahu besar itu kosong dan Tin Eng lalu memesan kepada pelayan untuk menyediakan makanan dan minuman. Mereka duduk mengelilingi dua meja yang dijejerkan. Tin Eng duduk di sebelah kanan Gwat Kong, sedangkan Kui Hwa mengambil tempat duduk di depan pemuda yang baru datang itu.

   "Bagaimana keadaan di sini?"

   Tanya Gwat Kong begitu mereka duduk.

   "Mengapa kalian masih berada di sini?"

   "Gwat Kong,"

   Kata Tin Eng yang tak dapat merobah sebutannya terhadap pemuda itu, biarpun di sini ada orang lain.

   "Sebelum kami menuturkan lebih jauh, lebih dulu perkenalkanlah dengan kawanku ini!"

   Ia menunjuk kepada Kui Hwa.

   "Dia ini adalah enci Tan Kui Hwa Dewi Tangan Maut!"

   Berobahlah wajah Gwat Kong mendengar nama orang yang sudah lama diharapkannya untuk bertemu ini. Ia segera bangkit berdiri mengangkat kedua tangannya memberi hormat kepada Kui Hwa.

   "Ah, sudah lama aku mendengar nama lihiap yang menggemparkan dunia kang-ouw. Sungguh kebetulan bahwa saat ini aku dapat bertemu muka."

   Kui Hwa juga sudah berdiri dan dengan senyum dingin ia berkata,

   "Tentu saja taihiap mengharapkan pertemuan untuk dapat melampiaskan dendam dan sakit hati taihiap, bukan?"

   "Enci Kui Hwa! Jangan berkata begitu!"

   Kata Tin Eng yang bangkit berdiri.

   Gwat Kong tersenyum lalu duduk kembali.

   "Tan-lihiap, kalau urusan lama di bongkar dan permusuhan lama dibangkit-bangkit, maka kiranya dari pihakmulah datangnya, bukan dari pihakku. Aku sudah menganggap habis persoalan lama itu dan sudah kupendam."

   Kui Hwa memandang kepada wajah yang tampan itu dengan sinar mata kurang percaya dan terharu, lalu menjadi kagum dan bertitiklah dua butir air mata dari kedua matanya. Ia menundukkan matanya dan berkata perlahan,

   "Bun-taihiap, ternyata kau bijaksana sekali, seperti mendiang ayahmu, tidak seperti aku yang jahat seperti mendiang ayahku. Aku hanya bisa mohon ampun atas dosa-dosa ayahku terhadap ayahmu ...."

   "Ah, Tan-lihiap, mengapa berkata begitu? Urusan orang tua kita bukanlah urusan kita. Kalau ayahmu masih hidup, itu lain lagi barangkali. Akan tetapi antara kau dan aku tidak ada sesuatu, bahkan ada pertalian persahabatan seperti buktinya sekarang kita bertemu di antara kawan-kawan di tempat ini. Duduklah dan jangan sungkan-sungkan, kita di antara kawan sendiri."

   "Sumoi, kata-kata Bun-taihiap benar. Alangkah baiknya kalau permusuhan lama dirobah menjadi persahabatan!"

   Kui Hwa duduk kembali, menyusut air matanya lalu tersenyum dan berkata.

   "Maaf, aku telah berlaku seperti anak kecil."

   Pada saat itu, kembali perahu itu miring dan bergoyang dan masuklah Tong Kak Hwesio sambil tersenyum-senyum. Ia mengerling ke arah lima orang muda yang duduk bercakap-cakap. Kemudian tanpa banyak cakap, ia lalu mengambil tempat duduk di meja dekat mereka, di sebelah belakang kursi yang diduduki oleh Gwat Kong. Di situ ia duduk memesan makanan lalu bersedakap sambil tersenyum menyeringai dan kedua matanya memandang kepada Kui Hwa dan Tin Eng berganti-ganti, seakan-akan anak kecil memandang dua barang permainan yang indah menarik.

   Gwat Kong mengerutkan alis matanya dan memandang kawan-kawannya. Akan tetapi kawan-kawannya tidak memberikan reaksi apa-apa atas kehadiran hwesio itu. Maka Gwat Kong lalu menggunakan ibu jari tangannya digerakkan ke arah di mana hwesio itu duduk sambil bertanya kepada kawan-kawannya,

   "Apakah kalian kenal dia?"

   Kui Hwa yang duduk di depannya menjawab,

   "Tidak, dan sudah lama dia selalu mendekati kami. Akan tetapi karena dia tidak berkata atau melakukan sesuatu, maka kami mendiamkannya saja."

   "Kalau begitu, biarlah jangan perhatikan dia dan anggap saja dia seperti patung penjaga keselamatan kita!"

   Kata Gwat Kong dengan suara mengejek.

   Hwesio itu masih duduk diam, akan tetapi tidak menyeringai lagi dan mukanya menjadi merah, sedangkan matanya memancarkan cahaya merah. Tiba-tiba Gwat Kong merasa betapa tempat duduknya terdorong dari belakang. Ia tahu bahwa ini adalah perbuatan hwesio itu.

   Tempat duduknya menempel pada kaki meja yang berada di depan hwesio itu. Dan agaknya hwesio itu menggunakan kekuatan lweekangnya yang disalurkan pada kaki untuk mendorong meja di depannya sehingga kaki meja itu mendorong bangku yang diduduki Gwat Kong.

   Tenaga dorongan itu besar sekali dan kalau didiamkan saja tentu Gwat Kong akan terdorong ke depan dan meja di depannya akan terguling menimpa kawan-kawannya. Akan tetapi dengan tenang dan masih tersenyum, Gwat Kong mengerahkan lweekangnya sehingga bangku yang didudukinya itu sampai berbunyi bagaikan ditindih oleh benda yang amat berat.

   Tong Kak Hwesio terkejut sekali ketika tiba-tiba meja yang didorong dengan kakinya itu berhenti bergerak, bahkan tenaganya mental kembali. Ia merasa penasaran dan memperkuat tenaganya. Akan tetapi makin keras ia mendorong, makin besar pula tenaganya mental kembali. Dan tiba-tiba "krek!"

   Meja di depannya patah membuat meja itu terdorong hendak menimpanya.

   "Meja bobrok!"

   Katanya sambil menekan meja itu sehingga pecah. Kemudian tanpa berkata sesuatu, ia meninggalkan ruangan itu.

   Kui Hwa, Tin Eng dan kedua saudara Pui menjadi heran sekali melihat kejadian ini, akan tetapi Gwat Kong hanya tersenyum saja.

   "Nah, sekarang ceritakanlah semua pengalamanmu!"

   Kata Gwat Kong kepada Tin Eng. Ia merasa heran dan khawatir ketika tiba-tiba melihat wajah Tin Eng menjadi muram.

   "Telah terjadi malapetaka hebat sekali,"

   Kata gadis itu.

   "Gwat Kong, benarkah kau menyuruh seorang gadis cantik untuk mewakilimu datang membantu kami?"

   (Lanjut ke Jilid 20)

   Pendekar Pemabuk/Kanglam Tjiu Hiap (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 20

   "Benar!"

   Kata Gwat Kong tanpa ragu-ragu lagi.

   "Dia adalah nona Sie Cui Giok ahli pedang Im-yang Siang-kiam-hoat. Di mana dia sekarang?"

   "Dia ... dia ..."

   
Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dan tiba-tiba Tin Eng menangis.

   Bukan main kagetnya hati Gwat Kong melihat hal ini.

   "Tin Eng! Apa yang telah terjadi dengan Cui Giok?"

   Kalau Tin Eng tidak sedang terharu memikirkan nasib Cui Giok, tentu ia akan cemburu juga mendengar betapa pemuda itu menyebut nama Cui Giok begitu saja dan melihat betapa pemuda itu menjadi pucat karena mengkhawatirkan keselamatan gadis itu. Akan tetapi ia sendiri sedang amat terharu dan dengan suara terputus, kadang-kadang dibantu oleh Kui Hwa, Tin Eng lalu menceritakan semua pengalamannya.

   Mendengar betapa Cui Giok terjerumus ke dalam jurang pada seminggu yang lalu oleh seorang raksasa liar bernama Badasingh, Gwat Kong menjadi terkejut sekali.

   "Celaka!"

   Serunya dengan pucat.

   "Dia datang ke sini karena aku minta padanya. Kalau ia tewas, berarti aku yang mendatangkan kematiannya. Tin Eng, aku harus pergi ke sana sekarang juga untuk mencekik leher siluman raksasa itu."

   Sambil berkata demikian, Gwat Kong bangkit berdiri dari bangkunya, akan tetapi Pui Kiat dan Pui Hok lalu menyambarnya.

   "Tenang dulu, Bun-taihiap. Memang kita harus berusaha membunuh raksasa jahat itu. Tidak saja untuk membalaskan dendam Sie-lihiap, akan tetapi juga untuk menghindarkan rakyat dari bencana. Badasingh ini benar-benar jahat."

   Kemudian mereka menceritakan betapa raksasa hitam itu telah menculik wanita dan kalau saja tidak datang mereka dan Huang-ho Sam-kui, entah bagaimana jadinya dengan nasib wanita itu.

   "Bahkan sumoi dan Liok-lihiap inipun hampir saja celaka ditangannya, kalau saja tidak datang Sie-lihiap yang bernasib malang itu."

   Maka kembali mereka menceritakan pengalaman mereka ketika Cui Giok datang membantu.

   "Guha Kilin adalah guha yang amat berbahaya, Bun-taihiap. Di dalamnya terdapat sumur yang tak terukur dalamnya. Dan di situlah Sie-lihiap terjerumus karena tertipu oleh Badasingh. Kalau tidak bisa memancing keluar raksasa itu, sukar untuk mengalahkannya. Apabila ia telah berada di dalam guha Kilin, tak mungkin menyerangnya."

   Mereka lalu menceritakan betapa sia-sia mereka yang dibantu oleh Huang-ho Sam-kui mengeroyok setelah raksasa itu bersembunyi di guha Kilin.

   Sementara itu, makanan yang dipesan dihidangkan oleh pelayan, akan tetapi sukar sekali bagi Gwat Kong untuk menelan nasi melalui kerongkongannya. Hatinya penuh kesedihan karena mengingat akan nasib Cui Giok. Terbayanglah semua pengalamannya ketika ia masih bersama-sama dengan gadis pendekar itu.

   Teringatlah ia akan kata-kata nelayan tua yang menceritakan betapa Cui Giok merawat dan menjaganya sampai tiga malam tidak tidur dan hampir tidak makan ketika ia jatuh sakit. Teringat akan hal ini semua, sambil menghela napas Gwat Kong menunda sumpitnya dan duduk termenung dengan wajah muram.

   "Aku harus bunuh jahanam Badasingh itu. Aku harus membunuhnya sekarang juga!"

   Sambil berkata demikian, Gwat Kong lalu bangkit berdiri dari tempat duduknya dan melompat ke darat.

   "Gwat Kong ....!"

   Tin Eng berseru memanggil dengan isak tertahan.

   Mendengar suara ini, Gwat Kong menahan kakinya, berpaling dan berkata,

   "Tin Eng, marilah kau ikut ke puncak Hong-san. Kita bersama membalas sakit hati yang hebat ini!"

   Keduanya lalu berlari cepat dan tiga orang anak murid Hoa-san-pai itu setelah membayar makanan juga lalu berlari menyusul.

   Lima orang muda itu tidak tahu bahwa pada saat itu, mereka telah didahului oleh Tong Kak Hwesio yang berlari-lari seorang diri naik ke puncak Hong-san, kemudian oleh tiga Huang-ho Sam-kui yang juga berlari naik ke puncak sambil membawa senjata dayung mereka.

   Mengapa Tong Kak Hwesio berlari-lari cepat menuju ke puncak Hong-san? Dan mengapa pula Huang-ho Sam-kui berlari-lari naik ke Hong-san sambil membawa dayung mereka dan dengan muka kelihatan marah?

   Sebetulnya ketika Gwat Kong bercakap-cakap dengan kawan-kawannya di perahu tadi, Tong Kak Hwesio tidak pergi jauh dan masih memasang telinga mendengarkan di luar pintu. Ia mendengar tentang harta pusaka dan tentang Badasingh yang menjaga guha itu, maka timbullah hati ingin mencari sendiri harta pusaka itu.

   Di dalam kesombongannya ia tidak memandang sebelah mata kepada Badasingh yang dianggapnya seorang kasar yang liar dan bertenaga besarnya. Maka ia ingin mendahului rombongan Gwat Kong itu, mendahului naik ke Hong-san dan kalau mungkin mendapatkan harta pusaka.

   Sementara itu, Huang-ho Sam-kui, tiga kepala bajak dari sungai Huang-ho itu, juga mempunyai alasan yang kuat untuk naik ke Hong-san dengan marah-marah karena malam tadi Badasingh yang merasa sakit hati kepada mereka atas penyerangan mereka bersama Kui Hwa dan kawan-kawannya, diam-diam mendatangi sarang mereka dan berhasil menculik isteri Louw Lui dan di bawa lari ke puncak Hong-san.

   Tong Kak Hwesio, bekas murid Kun-lun-pai itu, ketika tiba di depan guha Kilin, segera berteriak dengan sombongnya,

   "Badasingh, siluman keparat! Keluarlah kau untuk berlutut di depan tokoh Kun-lun-pai, baru pinceng mau memberi ampun!"

   Badasingh sedang berada di guha sebelah guha Kilin. Ketika mendengar suara tantangan ini segera keluar menyeret rantai bajanya. Melihat seorang hwesio muda berdiri dengan hanya bersenjata sehelai sabuk sutera, ia menjadi marah sekali.

   "Bangsat gundul, kuremukan kepalamu yang licin!"

   Serunya dan ia segera menyerbu.

   Sementara itu, ketika menyaksikan kehebatan raksasa itu, diam-diam Tong Kak Hwesio menjadi terkejut sekali dan lenyaplah sebagian besar kesombongannya. Akan tetapi, ia terpaksa menyambut serangan raksasa itu dengan sabuknya. Biarpun senjatanya hanya sabuk lemas, akan tetapi berkat lweekangnya yang tinggi, sabuk itu bisa digerakkan menjadi sebatang senjata yang kaku. Juga ia tidak takut untuk menangkis senjata lawannya yang berat karena sabuk sutera itu takkan rusak terkena rantai.

   Akan tetapi, ia segera merasa terkejut sekali karena serangan lawannya benar-benar hebat sekali. Ternyata raksasa ini bukanlah sebagaimana yang ia sangka, bukan hanya seorang yang mengandalkan tenaga besar akan tetapi memiliki ilmu silat tinggi yang aneh gerakannya. Oleh karena itu, ia mengeluh di dalam hati dan terpaksa mengerahkan seluruh kepandaiannya dan mainkan ilmu silat Kun-lun-pai yang hebat. Namun, betapapun juga ia masih terdesak hebat sebelum melakukan perlawanan dua puluh jurus, bahkan terpaksa ia main mundur.

   Akan tetapi Badasingh agaknya tidak mau memberi ampun kepadanya dan mengurungnya dengan rantai baja itu sehingga Tong Kak Hwesio menjadi kewalahan sekali. Ketika rantai baja itu bergerak bagaikan seekor naga menyambar ke arah lehernya, Tong Kak Hwesio mengebutkan sabuknya menangkis dan ketika kedua senjata bertemu, hwesio itu lalu melepaskan sabuknya yang segera melibat rantai itu.

   Mereka saling betot, tidak ada yang mau mengalah dan dalam keadaan yang amat berbahaya itu Tong Kak Hwesio mengirim pukulan dengan tangan kiri sambil melangkahkan kakinya maju. Tangan kirinya dengan gerak tipu Pai-in-chut-sui (Dorong awan keluar puncak) menghantam sekerasnya ke arah dada lawannya. Akan tetapi, Badasingh sama sekali tidak mau berkelit, bahkan lalu memukul pula dengan tangan kirinya dari atas ke arah kepala Tong Kak Hwesio.

   "Blukkk! .....

   "Krakk!"

   Dua suara terdengar dan tanpa dapat menjerit lagi, Tong Kak Hwesio yang kepalanya pecah terpukul oleh Badasingh itu roboh tak bernyawa lagi. Adapun pukulannya yang mengenai dada Badasingh hanya membuat raksasa itu meringis kesakitan saja, akan tetapi tidak terluka. Ternyata raksasa ini memiliki kekebalan yang luar biasa sekali.

   Badasingh tertawa bergelak-gelak dan bagaikan orang gila ia lalu mengangkat rantai bajanya dan berkali-kali memukul tubuh hwesio ini sehingga remuk semua tulangnya. Kemudian sambil tertawa-tawa ia menendang tubuh itu sehingga melayang dan masuk ke dalam jurang di dekat guha.

   Pada saat itu, datanglah Huang-ho Sam-kui di tempat itu. Mereka tidak melihat lagi apa yang menyebabkan iblis itu tertawa-tawa, hanya melihat Badasingh berdiri bertolak pinggang sambil tertawa bergelak-gelak.

   "Badasingh, manusia iblis. Kembalikan isteriku!"

   Teriak Louw Lui dengan marah.

   Badasingh menundukkan kepala dan memandang kepada tiga kepala bajak itu. Kemudian ia tertawa dan berkata keras,

   "Eh, eh, ..... datang lagi tiga orang yang sudah bosan hidup? Ha ha ha! Hari ini aku benar-benar berpesta pora! Anjing-anjing serigala dibawah jurang yang akan kenyang makan bangkai manusia."

   Setelah berkata demikian, ia lalu mengayun rantai bajanya dan menyerang dengan hebatnya.

   Huang-ho Sam-kui lalu menggerakkan senjata mereka dan sebentar saja Badasingh dikeroyok tiga oleh Huang-ho Sam-kui yang marah dan menyerang dengan nafsu membunuh itu.

   Biarpun dahulu Huang-ho Sam-kui mengeroyok Badasingh bukan hanya mengandalkan tenaga sendiri, akan tetapi dalam keroyokan campuran itu mereka tidak dapat bergerak dengan leluasa. Kini karena hanya bertiga, mereka dapat menjalankan pengepungan lebih rapi lagi, disesuaikan dengan kepandaian mereka. Mereka mengambil kedudukan segi tiga berdasarkan ilmu silat Sha-kak-kun-hoat (ilmu silat segi tiga) dan menyerang dengan teratur sekali. Tiap kali Badasingh mendesak seorang pengeroyok, dua orang lain lalu menyerbu dari kanan kiri. Dengan demikian perhatian raksasa itu terpecah menjadi tiga bagian.

   Pertempuran kali ini benar-benar hebat sekali. Badasingh mengamuk bagaikan harimau terluka. Rantai bajanya berputar-putar merupakan pencabut nyawa yang mengerikan. Tiap kali ujung rantainya menyambar lawan yang dapat mengelak, maka ujung rantai itu menyambar batu karang yang pecah berantakan atau kalau mengenai tanah, maka mengebullah debu tebal ke atas.

   Ketiga Huang-ho Sam-kui itu jarang berani mengadu senjata. Karena biarpun dayung mereka cukup kuat, akan tetapi tiap kali terbentur oleh rantai baja, selalu telapak tangan mereka tergetar dan panas sehingga banyak bahayanya senjata mereka itu akan terlepas dari pegangan.

   Pada saat mereka bertempur dengan seru mati-matian, Gwat Kong dan rombongannya tiba di tempat itu. Mereka berhenti dan menonton pertempuran itu dan Gwat Kong berkata perlahan,

   "Hmm, tiga orang itu takkan dapat menang!"

   "Mereka adalah Huang-ho Sam-kui yang pernah kuceritakan padamu,"

   Kata Tin Eng. Sedangkan kawan-kawan yang lain masih berlari-lari di belakang karena mereka kalah cepat larinya sedangkan Tin Eng karena digandeng tangannya oleh Gwat Kong ketika lari tadi, dapat lari lebih cepat dari biasanya.

   "Gwat Kong, lihatlah, guha yang di kiri itu adalah guha Kilin. Di situlah Cui Giok terjerumus. Maka hati-hatilah kau. Jangan sampai Badasingh bersembunyi ke dalam guha itu, karena kalau ia sudah masuk ke situ, sukarlah untuk menyerangnya."

   Gwat Kong mengangguk.

   "Kau tunggulah saja di sini bersama kawan-kawan lain dan jangan membantuku. Juga Huang-ho Sam-kui itu lebih baik kau panggil saja apabila aku sudah berhadapan dengan raksasa itu."

   Setelah berkata demikian, Gwat Kong mencabut pedang dan sulingnya. Tiba-tiba Tin Eng memegang tangannya dan ketika ia menengok, gadis itu sambil memandang mesra berkata,

   "Gwat Kong, hati-hatilah kau!"

   Pemuda itu tersenyum dan mengangguk, kemudian sekali ia berkelebat, tubuhnya telah melompat dan berdiri di depan guha Kilin.

   "Badasingh, akulah lawanmu dan aku pulalah yang akan menamatkan riwayatmu yang penuh dosa!"

   Katanya nyaring.

   Sementara itu, Tin Eng berseru kepada tiga orang pengeroyok itu,

   "Sam-wi Tay-ong! Tinggalkanlah siluman itu, biar dihadapi sendiri oleh Kang-lam Ciu-hiap!"

   Karena mereka memang sudah merasa kewalahan dan payah menghadapi Badasingh yang benar-benar kosen, ketiga kepala bajak itu lalu melompat mundur dan berdiri di pinggiran menonton. Hendak mereka lihat siapa orangnya yang akan berani menghadapi Badasingh seorang diri saja.

   Sementara itu, ketika melihat seorang pemuda dengan pedang di tangan kanan dan suling di tangan kiri berdiri di depan guha Kilin, Badasingh menjadi marah sekali.

   "Bangsat kecil! Kau akan kubunuh lebih dahulu!"

   Sambil berkata demikian ia menggerakkan rantai bajanya untuk menghantam kepala Gwat Kong dengan maksud mendesak pemuda itu mundur ke dalam guha agar terjeblos pula ke bawah jurang. Akan tetapi, seperti taktik Cui Giok dulu, pemuda ini tidak mengundurkan diri, bahkan mengelak ke kiri sambil menggeser kaki ke depan lalu menyerang dengan pedangnya.

   Badasingh terkejut sekali karena tahu-tahu pedang itu telah menyambar di depan dadanya, maka ia lalu melompat ke samping dan memutar rantainya sehingga senjata yang bergerak bagaikan ular itu menyambar tubuh Gwat Kong dari belakang. Namun kini Badasingh benar-benar menghadapi seorang lawan yang lebih tinggi ilmu kepandaiannya. Disambar oleh rantai dari belakang arah kakinya itu, Gwat Kong tidak menjadi gugup. Dengan ringan sekali, ia melompat ke atas dan terus menyerang lagi. Kini menggunakan sulingnya menotok pundak kiri lawannya.

   Badasingh melihat datangnya totokan itu hanya dilakukan dengan sebatang suling bambu yang bolong dan tipis. Di dalam hati mentertawakan lawannya dan sambil mengerahkan tenaga dalamnya ke arah pundak, ia hendak menyambut suling itu dengan kekebalannya agar supaya suling itu menjadi patah atau pecah. Akan tetapi ia kecele kalau memandang rendah suling itu.

   Ketika ujung suling itu menotok pundaknya, Badasingh mengeluarkan seruan kaget, karena ia merasa betapa suling itu mendatangkan rasa sakit pada pundaknya sehingga menembus ke hulu hatinya. Ia cepat melangkah mundur dan tangan yang memegang rantai baja itu meraba pundaknya yang sakit sekali.

   Sebaliknya, Gwat Kong juga terkejut dan diam-diam memuji karena biarpun sulingnya telah menotok jalan darah dengan jitu akan tetapi hanya dapat mendatangkan rasa sakit saja dan tidak mempengaruhi tubuh tinggi besar itu.

   Namun Badasingh telah mendapat pelajaran keras dan ia tidak berani memandang rendah lagi. Ilmu silat pemuda ini benar-benar lihai sekali, bahkan lebih lihai dari pada ilmu pedang gadis cantik yang telah terjerumus ke dalam jurang. Maka ia berseru keras sambil putar rantai bajanya untuk mengurung dan membikin jerih lawannya.

   Badasingh mendesak Gwat Kong sedemikian rupa dengan maksud agar supaya pemuda itu merobah kedudukannya sehingga ia dapat berputar dan melompat ke dalam guha. Oleh karena kalau ia sudah bisa masuk ke dalam guha Kilin, ia dapat memancing pemuda itu mengikutinya dan menjebaknya ke dalam sumur atau jurang yang dalam itu. Atau setidaknya, kalau usahanya menjebak tidak berhasil, ia dapat bersembunyi di situ tanpa dapat diganggu atau diserang oleh lawannya yang amat lihai ini.

   Akan tetapi Gwat Kong telah dapat maklum akan maksud ini karena ia telah diberi tahu tentang rahasia guha itu oleh Tin Eng. Maka sambil mainkan Sin-eng Kiam-hoat dan Sin-hong Tung-hoat di kedua tangannya, ia memutar pedang dan sulingnya sedemikian rupa sehingga Badasingh tak berdaya sama sekali. Tubuh pemuda ini bagaikan segulung asap bergulung-gulung dan menyelinap di antara sambaran rantai bajanya, mengirim serangan-serangan maut ke arah bagian tubuh yang berbahaya.

   Pertempuran sudah berjalan ratusan jurus dan Badasingh yang luar biasa kuatnya itu biarpun sejak tadi didesak hebat, namun masih belum menyerah dan melakukan perlawanan mati-matian. Sudah beberapa kali suling Gwat Kong menotok jalan darahnya dan ujung pedang Sin-eng-kiam melukainya, akan tetapi tubuhnya benar-benar kebal dan kuat sekali sehingga luka-lukanya itu merupakan luka di luar saja yang tidak berbahaya. Pakaiannya telah penuh dengan darahnya sendiri dan kini ia bertempur sambil menggereng-gereng bagaikan seekor binatang buas.

   Setelah kehabisan daya dan maklum bahwa kalau dilanjutkan ia akan kalah. Badasingh lalu mengambil keputusan nekad untuk mengajak pemuda ini mati bersama. Ia menyerang dengan sambaran rantainya sedemikian rupa dan ketika Gwat Kong mengelak, ia lalu menubruk sambil pentangkan kedua tangannya.

   Gwat Kong terkejut sekali dan cepat menjatuhkan diri ke kiri sambil menggunakan pedangnya masuk ke dalam lambung lawannya. Akan tetapi Badasingh masih dapat miringkan tubuh dan dengan nekad tangannya mencengkeram. Pundak kanan Gwat Kong kena dicengkeram oleh jari-jari tangannya yang berkuku panjang dan raksasa yang telah mendapatkan luka parah itu hendak menyeretnya untuk bersama-sama masuk ke dalam sumur. Gwat Kong berlaku tenang dan cepat mengirim tusukan dengan sulingnya ke arah sambungan tulang pundak lawan.

   "Pletak!"

   Remuklah tulang itu dan cengkeraman tangan Badasingh terlepas. Tubuh raksasa itu terhuyung-huyung ke kiri dan roboh di atas tanah tanpa dapat berkutik pula.

   Huang-ho Sam-kui dan lain-lain orang menonton pertempuran dahsyat itu sambil menahan napas. Louw Lui telah mencari isterinya dan mendapatkan isterinya yang malang itu rebah pingsan di dalam guha, maka Louw Lui lalu memondongnya dan turun gunung terlebih dulu.

   Kini Louw Tek dan Louw Siang serta Tin Eng dan kawan-kawannya berlari menghampiri Gwat Kong. Ternyata Badasingh telah tewas tak bernyawa pula.

   TANPA sungkan-sungkan lagi, Tin Eng memegang tangan Gwat Kong.

   "Gwat Kong, kau terluka?"

   Tanyanya sambil memeriksa pundak pemuda itu. Baju Gwat Kong di bagian pundak itu robek dan kulit pundaknya matang biru akan tetapi tidak terluka parah.

   "Jahanam ini benar-benar kuat,"

   Kata Gwat Kong menghela napas.

   "Akan tetapi aku puas, sakit hati Cui Giok telah terbalas!"

   Louw Tek dan Louw Siang menyatakan kekagumannya terhadap Gwat Kong yang dipuji-pujinya. Kemudian untuk menyatakan kegemasan mereka terhadap Badasingh, dengan dayung mereka sehingga hancur dan mayatnya mereka lemparkan ke dalam jurang di dekat guha, di mana tadi Badasingh melemparkan tubuh Tong Kak Hwesio. Setelah itu, kedua kepala bajak itu lalu pamitan dan meninggalkan tempat itu untuk menyusul adik mereka.

   "Kita harus bekerja cepat,"

   Kata Gwat Kong kepada Tin Eng.

   "Rombongan perwira dari kerajaan tentu akan menyusul kemari dan kalau sampai mereka melihat kita, tentu kita akan menghadapi pertempuran lagi. Pihak mereka itu bukan lawan ringan, karena di antara mereka terdapat Liok-te Pat-mo yang lihai."

   Sambil berkata demikian, Gwat Kong terkenang kepada Cui Giok karena tadinya gadis itu bermaksud mencari Liok-te Pat-mo untuk mengadu kepandaian. Kini gadis itu takkan tercapai pengharapannya, pikirnya sambil menghela napas sedih.

   Mereka lalu mengadakan perundingan dan Tin Eng yang hafal akan isi peta yang dibakarnya, lalu memberi keterangan.

   "Menurut peta itu,"

   Katanya sambil membuat coretan-coretan di atas tanah.

   "Memang ditunjukkan bahwa harta terletak di dalam guha Kilin. Akan tetapi ada petunjuk yang menyatakan bahwa jalan masuk untuk mengambil harta itu adalah dari atas, melalui batu karang kembar di sebelah kanan guha Kilin. Melihat keadaan guha ini yang isinya hanya sumur amat dalam, maka tentu jalannya bukan dari situ. Sekarang kita harus mencari batu karang kembar itu."

   Ketika mereka mengambil jalan memutar ke sebelah kanan guha itu, benar saja di situ terdapat sepasang batu karang yang sama bentuk dan ukurannya, maka mereka lalu memanjat batu karang itu terus ke atas. Gwat Kong dan Tin Eng berjalan di depan, yang lain di belakang.

   Oleh karena petunjuk peta itu menyatakan bahwa tempat harta terletak tepat di guha Kilin, maka dari atas itu mereka lalu merayap naik ke atas guha Kilin. Aneh sekali, tepat di atas guha itu terdapat alang-alang yang hijau dan tinggi, seakan-akan merupakan jambul atau rambut Kilin dan guha itu merupakan mulutnya. Gwat Kong menyingkap rumput alang itu dan di situlah terdapat sebuah batu licin yang bentuknya bulat.

   Ia mencoba mengangkat batu itu, akan tetapi amat beratnya sehingga setelah kawan-kawannya membantu, barulah batu itu dapat digeser. Dan ternyata bahwa di bawah batu terdapat sebuah lubang yang lebarnya kira-kira dua kaki persegi. Karena lubang itu tidak seberapa dalam, Gwat Kong lalu turun ke bawah dan kakinya menginjak batu karang pula sedangkan dalamnya lubang itu sampai sebatas lehernya. Ia memandang ke bawah dan disekelilingnya. Akan tetapi di situ hanya batu karang semua dan tidak terlihat tanda-tanda lain yang menarik perhatian.

   "Tidak ada apa-apa di sini!"

   Kata Gwat Kong.

   "Kalau begitu, mari kita pergi saja dari sini,"

   Kata Tin Eng.

   "Hatiku tidak enak sekali untuk berada di tempat aneh ini lebih lama lagi. Tempat ini seakan-akan terkutuk dan sudah banyak orang tewas di sini. Apalagi kalau rombongan perwira kerajaan datang, tentu akan terjadi hal-hal yang mengerikan."

   "Jangan khawatir, Tin Eng!"

   Kata Gwat Kong tersenyum menghibur.

   "Kita sudah sampai di sini, masa harus pulang dengan tangan kosong? Bagaimana nanti kau akan menjawab kepada kedua saudara Phang yang menyerahkan kepercayaan kepadamu? Soal para perwira, jangan takut, ada aku di sini dan saudara-saudara yang gagah inipun tentu akan membantu."

   Gwat Kong merasa penasaran lalu menggenjot-genjot tubuhnya dan ia berseru heran.

   "Ah, lantai yang kuinjak ini dapat bergoyang!"

   Ia meraba-raba ke kanan kiri.

   "Tentu ada rahasianya di sini!"

   Pemuda itu menggunakan jari-jari tangannya meraba-raba di sekitar dinding batu karang, sedangkan kawan-kawannya yang di atas yang tak dapat melihat apa-apa kecuali kepalanya, memandang sambil menahan napas.

   Tiba-tiba jari tangan Gwat Kong meraba sesuatu yang keras dan ternyata benda itu adalah sebuah gelang besi yang dipasang di dinding itu.

   "Ada gelang besi di sini!"

   Katanya gembira. Karena gelang besi itu letaknya agak di bawah lutut, terpaksa ia merendahkan tubuh dan menekuk lututnya agar tangannya dapat mencapai gelang itu. Ia memegang erat-erat dan menarik keras. Benda itu tidak bergerak. Ia mengumpulkan tenaga dan menarik lagi dan .... benda itu dapat bergerak sedikit.

   "Aku hampir dapat membuka gelang ini!"

   Katanya dari bawah sambil menahan napas lalu menarik lagi sekuat tenaga.

   Terdengar suara keras dan tiba-tiba batu karang yang diinjaknya itu nyeplos ke kanan sehingga tubuhnya yang kini tidak menginjak sesuatu lagi, lalu nyeplos ke bawah. Gelang besar itu terlepas dan Gwat Kong melayang ke bawah. Ia melihat bahwa tubuhnya melayang terus melalui mulut guha Kilin dan dalam kengeriannya ia berteriak,

   "Tin Eng .....!"

   Akan tetapi tubuhnya terus melayang turun dengan kecepatan hebat yang tak dapat ditahannya lagi.

   "Gwat Kong ....! Gwat Kong .....!"

   Tin Eng berteriak-teriak, menjerit-jerit memanggil nama pemuda itu bagaikan seorang gila dan dengan nekad ia lalu melompat ke dalam lubang itu. Akan tetapi tiba-tiba sepasang tangan menangkapnya dan ia meronta-ronta dalam pelukan Kui Hwa.

   "Biarkan aku menyusulnya. Lepaskan aku, .... lepaskan!"

   Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia meronta-ronta bahkan memukul Kui Hwa, akan tetapi kedua saudara Pui membantu Kui Hwa dan memegang kedua tangan Tin Eng yang menjadi kalap bagaikan orang gila itu.

   "Gwat Kong ...! Gwat Kong .... kau dimana??"

   Suara Tin Eng makin lemah, tangisnya tersedu-sedu menyayat hati Kui Hwa dan kedua saudara Pui. Kemudian Tin Eng roboh pingsan tak sadarkan diri lagi.

   "Celaka ......!"

   Kata Pui Kiat yang menjenguk ke dalam lubang. Lubang itu sekarang tak berdasar lagi dan ternyata menembus ke dalam sumur di guha Kilin itu.

   Kui Hwa hanya menangis tersedu-sedu sambil memeluki tubuh Tin Eng. Juga Pui Hok tak dapat menahan air matanya lagi yang mengalir turun. Mereka lalu mengangkat tubuh Tin Eng, dibawa turun ke depan mulut guha Kilin yang kini merupakan mulut iblis maut yang haus akan nyawa manusia.

   Pada saat itu, serombongan orang berlari naik ke tempat itu. Ketika Kui Hwa dan kedua suhengnya menengok, ternyata bahwa mereka itu adalah rombongan perwira yang dikepalai oleh Liok-taijin sendiri. Selain Liok Ong Gun, nampak juga Gan Bu Gi, Liok-te Pat-mo, Seng Le Hosiang, Bong Bi Sianjin dan perwira-perwira lain yang jumlahnya semua dua puluh orang.

   Mereka memburu ke arah guha itu dan ketika melihat Tin Eng rebah dipangkuan seorang gadis dalam keadaan tak bergerak seperti mayat. Liok Ong Gun cepat memburu sambil bertanya gugup,

   "Dia kenapakah ......? Anakku Tin Eng ..... kenapakah dia .....?"

   Juga lain orang datang mengepung dan memandang dengan heran. Gan Bu Gi dan Bong Bi Sianjin yang mengenal kepada murid-murid Hoa-san-pai itu, memandang dengan amat terheran-heran.

   "Taijin, jangan khawatir. Anakmu hanya pingsan saja,"

   Kata Kui Hwa dengan tenang sambil mengerling ke arah Gan Bu Gi dengan pandang mata yang membuat pemuda itu cepat membuang muka dengan wajah tiba-tiba menjadi merah.

   "Nona siapa dan mengapa anakku berada di sini dalam keadaan pingsan?"

   "Dia mencari tempat harta pusaka. Kami membantunya juga Kang-lam Ciu-hiap Bun Gwat Kong."

   "Bangsat itu berada di sini? Mana dia?"

   Tanya Liok Ong Gun.

   "Orang yang taijin maki sebagai bangsat itu kini telah tewas dalam membela anakmu. Baru saja Bun-taihiap memasuki lubang di atas itu, dan ia menyeplos ke bawah, di dalam sumur maut itu. Tidak ada harta pusaka di sini, yang ada iblis maut telah makan banyak nyawa."

   Setelah berkata demikian, dengan singkat Kui Hwa menuturkan tentang tewasnya Cui Giok, juga diceritakannya serba singkat tentang Badasingh. Semua orang mendengarkan dengan penuh keheranan dan kengerian.

   "Inilah anakmu, kami tidak ada keperluan lagi di sini!"

   Kata Kui Hwa yang lalu berdiri dan memberi isyarat kepada kedua suhengnya untuk meninggalkan tempat itu.

   "Taijin, mereka ini adalah murid-murid Hoa-san-pai. Kita Harus bunuh mereka!"

   Kata Gan Bu Gi tiba-tiba ketika melihat tiga orang itu hendak pergi.

   Mendengar ucapan ini, tiba-tiba Kui Hwa berhenti dan memutar tubuh, memandang kepada pemuda itu dengan mata tajam,

   "Orang she Gan, manusia berhati binatang. Kalau kau menghendaki kematianku, cabutlah pedangmu. Mari kita sama lihat, siapa yang akan mampus di ujung pedang!"

   Akan tetapi Liok Ong Gun melangkah ditengah-tengah dan berkata kepada Gan Bu Gi.

   "Gan-ciangkun, betapapun juga, kalau tidak ada nona ini, entah bagaimana nasib anakku."

   Ia menoleh kepada Kui Hwa dan berkata dengan muka menunjukkan betapa kesal dan rusuh hati serta betapa bosannya menghadapi permusuhan antara kedua cabang persilatan itu.

   "Nona, harap kau suka pergi bersama kedua kawanmu. Hatiku sudah cukup menderita."

   Kui Hwa dan kedua suhengnya lalu pergi dari situ. Akan tetapi tiba-tiba Seng Le Hosiang berkata kepada mereka,

   "Hei, anak-anak murid Hoasan. Beritahukan kepada guru-gurumu terutama si sombong Sin Seng Cu agar mereka jangan lupa untuk pergi ke puncak Thaysan pada permulaan musim Chun!"

   Kui Hwa dan kedua suhengnya belum sempat mendengar cerita Gwat Kong bahwa pemuda itu telah menemui Pek Tho Sianjin di Hoasan, maka Kui Hwa lalu menjawab,

   "Baik, jangan khawatir! Akan kami sampaikan pesan itu!"

   Mereka bertiga lalu turun gunung dengan hati mendongkol.

   Setelah Tin Eng siuman dari pingsannya dan melihat ayahnya dan para perwira, ia menangis terisak-isak dengan amat sedihnya.

   "Sudahlah, Tin Eng. Jangan menangis. Katakan saja di mana Gwat Kong terjerumus karena mungkin di situlah tempat harta itu,"

   Kata ayahnya.

   Mendengar betapa ayahnya hanya meributkan soal harta terpendam saja dan sama sekali tidak memperdulikan nasib Gwat Kong, makin hebatlah tangis Tin Eng.

   Seng Le Hosiang dapat mengerti perasaan gadis ini, maka ia lalu berkata.

   "Tidak saja harta itu, akan tetapi mungkin kita dapat menolong atau setidaknya menemukan jenazahnya."

   Mendengar ucapan ini, terbangunlah semangat Tin Eng. Ia lalu mendekati guha Kilin dan menuding ke arah sumur.

   "Disitulah ..... disitulah Cui Giok dan Gwat Kong terjerumus!"

   Jari tangannya menggigil dan suaranya gemetar.

   "Biar aku memeriksa ke bawah!"

   Kata Ang Sun Tek. Mereka segera mengeluarkan tambang yang kuat dan amat panjang. Memang rombongan ini sudah mempersiapkan segalanya. Tambang itu lalu dilepas ke bawah dan diganduli batu. Panjangnya tambang itu tidak kurang dari seratus kaki. Akan tetapi setelah habis diulur ke bawah, ternyata batu yang mengandulinya masih dapat digerakkan ke kanan kiri yang berarti bahwa tambang itu masih belum mencapai dasar sumur.

   "Bukan main dalamnya!"

   Kata Ang Sun Tek membelalakkan matanya dengan penuh kengerian. Sedangkan Tin Eng mendekap mukanya sambil menangis lagi. Tak dapat diragukan lagi nasib Gwat Kong. Orang yang terjatuh ke dalam tempat sedemikian dalamnya tentu akan putus nyawanya.

   Dibantu oleh kawan-kawannya yang memegang tambang itu di luar sumur, Ang Sun Tek lalu turun ke bawah melalui tambang. Bagi seorang yang tidak memiliki kepandaian tinggi, pekerjaan ini amat berbahaya karena tambang itu panjang sekali dan sekali saja pegangan tangan terlepas sudah jelaslah nasibnya.

   Akan tetapi, Ang Sun Tek adalah seorang yang memiliki tenaga daam yang cukup besar. Maka dengan cepat bagaikan seekor kera, ia meluncur melalui tambang itu ke bawah. Ketika ia memandang ke bawah, yang nampak hanyalah halimun gelap keputih-putihan dan makin dalam hawa udara makin dingin sehingga Ang Sun Tek menggigil kedinginan. Akhirnya ia tiba di ujung tambang karena kakinya menginjak batu kekar pada akhir tambang itu. Benar saja, batu itu masih tergantung di udara.

   Karena keadaan gelap sama sekali dan bukan main dinginnya, Ang Sun Tek tidak mau berdiam lebih lama lagi di tempat itu, lalu memanjat kembali ke atas dengan cepat. Ia merasa tak enak dan ngeri sekali. Ketika tiba di atas dan dihujani pertanyaan oleh kawan-kawannya, ia menarik napas panjang,

   

Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini