Ceritasilat Novel Online

Pendekar Gila Dari Shantung 6


Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



Akan tetapi semenjak dikalahkan oleh kakek sakti itu, Bu Kam telah melatih diri dengan hebat sekali sehingga kini ilmu kipasnya jauh lebih tinggi dari pada dahulu. Ketika ia mendengar bahwa musuh besarnya membawa seorang murid datang lagi ke kota raja untuk mengacau, maka ia yang kebetulan berada di tempat penjagaan dan menerima laporan ini, segera datang membawa kipasnya dan sekali kebut saja ia berhasil membuat cambuk di tangan Tiong San terpental ujungnya! Sementara itu, ketika Thian-Te Lo-Mo melihat gerakan kipas Bu Kam, ia maklum bahwa muridnya takkan kuat menghadapi para pengeroyoknya, maka ia lalu tertawa terkekeh-kekeh dan tubuhnya melayang turun dan tahu-tahu sudah berada di depan Im-Yang Po-San Bu Kam.

   "Ha ha, kipas mustikamu itu ternyata makin lihai saja!"

   Katanya kepada Bu Kam yang memandang marah.

   "Orang tua gila! Kau masih belum mati? Kerjamu hanya mengacau saja. Sungguh-sungguh orang gila yang patut dibasmi karena berbahaya!"

   Mendengar ini, Thian-Te Lo-Mo tertawa makin keras dengan hati geli.

   "Memang, memang benar dan tepat sekali syair itu. Bu Kam, kau belum mendengar syair yang dikarang oleh muridku yang pandai ini? Dengar!

   Dunia penuh orang gila

   yang waras disebut gila

   yang gila merajalela

   "Kau memang benar-benar gila dan miring otakmu, Thian-Te Lo-Mo, kata Bu Kam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Memang, memang! Yang waras dimaki gila, demikianlah kelakuan orang gila! Im-Yang Po-San! Kau lihat, kawan-kawanmu yang gila ini datang-datang berusaha keras untuk membunuh aku dan muridku. Hanya orang-orang gila saja yang dapat berbuat demikian!"

   "Kau dan muridmu keduanya gila dan datang mengacau di gedung Ong-ya! Tentu saja kami berusaha menangkap atau membunuhmu!"

   "Kami datang bukan mengacau! Aku hanya ingin menikmati dan mengagumi masakan dan hidangan pangeran Ong yang ternyata sama sekali tidak enak karena terbuat dari pada bahan-bahan yang buruk dan busuk! Muridku datang untuk menjewer telinga Ong Tai Kun yang ternyata terbuat dari bahan yang lemah dan buruk pula sehingga menjadi putus! Sudah menjadi bagiannya karena ia terlampau banyak mengumpulkan kembang-kembang di tamannya. Tidak perduli betapa kembang-kembang yang seharusnya mekar dan semerbak mengharum di tempat lain itu menjadi layu dan rusak di dalam tamannya yang kotor. Kau masih mau bilang bahwa kami berdua hendak mengacau? Ha ha ha! Kau lihat hanya jenggotmu yang makin panjang akan tetapi pikiranmu makin pendek dan sempit saja, Bu Kam!"

   Bu Kam baru saja datang, tentu saja dia tidak mengerti maksud omongan kakek itu yang menyindir tadi sebelum ia datang, ia telah mendengar percakapan pangeran Ong Tai Kun dan pangeran Lu Goan Ong yang pada saat itu telah mendahului pulang ke gedungnya karena ketakutan. Maka kini mendengar ucapan kakek ini, ia membentak marah.

   "Dasar orang gila, omongannya juga tidak keruan. Thian-Te Lo-Mo, kau menyerahlah untuk kutangkap bersama muridmu, agar kau mendapat pengadilan negeri yang selayaknya."

   "Kau mau menangkapku? Ha ha ha! Aneh, aneh! Bagaimana kau mau menangkapku, coba hendak kulihat!"

   Kata Thian-Te Lo-Mo sambil mentertawakannya.

   "Kalau tak dapat menangkap hidup-hidup, aku pasti berhasil menangkapmu dalam keadaan tidak bernyawa!"

   Kata Bu Kam yang segera menyerang dengan kipas di tangan kirinya yang berwarna putih.

   Thian-Te Lo-Mo maklum akan lihainya kipas putih ini yang jauh lebih lihai dari kipas hitam, maka ia mundur dua langkah menghindarkan diri dari serangan lawan, lalu menggerakkan cambuknya membalas serangan lawan. Cambuknya bergerak-gerak di udara dan melingkar-lingkar bagaikan ular, lalu meluncur ke arah kipas putih di tangan kanan Bu Kam dengan mengeluarkan suara keras. Ujung cambuknya bertemu dengan batang kipas, bunga api memercik keluar dan Bu Kam merasa betapa tangannya agak gemetar! Diam-diam ia menarik napas panjang karena dari pertemuan senjata ini saja ia dapat mengetahui bahwa dalam hal tenaga lweekang ia masih harus mengaku kalah dengan kakek gila ini. Akan tetapi ia mengandalkan permainan kipasnya, maka ia lalu menerjang dan kedua kipas di tangannya bergantian melancarkan serangan kilat yang amat berbahaya.

   Sambil terkekeh-kekeh Thian-Te Lo-Mo menghadapi serangannya ini dan tak lama kemudian dua orang berilmu tinggi ini saling serang dengan hebatnya. Yang luar biasa adalah sepasang kipas Im-Yang Po-San Bu Kam, karena ia bergerak cepat dengan kedua kipas dikembangkan, maka di dalam ruangan itu angin menyambar-nyambar dengan hebat sehingga pakaian orang-orang yang berada di dekat tempat pertempuran itu berkibar-kibar! Bu Tong Cu dan Lee Siat lalu membentak hebat dan maju mengeroyok Tiong San lagi sehingga kini pertempuran menjadi lebih hebat dari pada tadi. Para perwira hanya menonton dan tidak berani membantu, sedangkan Ban Kong yang memiliki kepandaian agak tinggi, sungguhpun kini totokan ujung pecut pada jalan darah yan-goat-hiat yang dilakukan oleh Tiong San tadi telah pulih kembali dan ia telah mengambil kembali ruyungnya,

   Namun ia tidak berani maju lagi karena maklum bahwa tidak ada gunanya maju lagi setelah ia menerima pukulan tadi. Ia maklum bahwa pemuda murid kakek gila itu tidak berniat jahat, oleh karena kalau pemuda itu mempunyai maksud membunuh, tentu sabetan cambuk yang merupakan totokan tadi dapat diperkeras dan nyawanya takkan tertolong lagi! Setelah orang berlaku murah hati tidak hendak membunuhnya, apakah setelah dikalahkan ia ada muka untuk maju lagi? Setidaknya Te-Sam Tai Ciangkun Ban Kong adalah seorang gagah perkasa yang namanya telah menjulang tinggi dan ternama sekali sampai di seluruh bagian Tiongkok, maka tentu saja ia masih memiliki keangkuhan dan tidak mau berlaku rendah.

   Dengan bersungut-sungut ia duduk saja menonton pertempuran dengan pengharapan supaya kawan-kawannya dapat membalaskan kekalahannya. Akan tetapi pengharapan itu sia-sia dan ia dikecewakan oleh kenyataan bahwa setelah pertempuran lebih lima puluh jurus, nampak nyata betapa Im-Yang Po-San Bu Kam terdesak hebat oleh cambuk Thian-Te Lo-Mo. Memang kedua kakek ini mempunyai ilmu silat yang sama sifatnya, yakni keduanya berdasarkan sifat-sifat Im dan Yang. Ilmu cambuk Im-yang-joan-pian berhadapan dengan ilmu kipas Im-Yang Po-San, akan tetapi ternyata bahwa ilmu kipas itu masih kalah lihai. Memang, dalam menghadapi lawan yang kurang pandai, sepasang kipas Im-yang itu benar-benar hebat sekali karena angin kebutannya saja cukup menjatuhkan lawan.

   Akan tetapi apabila menghadapi lawan yang sama kuatnya, ternyata bahwa cambuk Im-yang lebih praktis. Cambuk ini dengan tekanan tenaga lweekang dapat digerakkan sesuka hati, dapat dibikin lemas dapat dibikin keras dan pula mudah untuk merampas senjata lawan dan dipergunakan untuk penyerangan dari jarak jauh. Tingkat kepandaian Im-Yang Po-San Bu Kam masih berada di bawah tingkat Thian-Te Lo-Mo yang benar-benar telah menduduki puncak yang tinggi. Apabila ia menghadapi Tiong San, maka tentu akan terjadi pertempuran yang amat menarik dan ramai sekali. Memang, dalam perbandingan tenaga dan pengalaman, pemuda itu masih kalah jauh, akan tetapi ilmu cambuknya tidak kalah hebat oleh gurunya sendiri dan pemuda itu memiliki kecerdikan luar biasa sehingga dalam ilmu cambuknya, ia dapat menciptakan gerakan-gerakan Khusus yang timbul dari kecerdikan otaknya.

   Buktinya, biar dikeroyok dua oleh dua orang perwira kelas dua dari istana kaisar, ia dapat melayaninya dengan amat baiknya, dan sama sekali tidak terdesak, walaupun harus diakui bahwa tidak mudah baginya untuk mengalahkan kedua orang lawannya itu. Tiba-tiba terdengar suara gelak tertawa dari Thian-Te Lo-Mo dan ujung cambuknya telah berhasil melibat kedua kipas di tangan Bu Kam! Im-Yang Po-San Bu Kam berdaya upaya untuk menarik kipasnya supaya terlepas dari libatan cambuk, akan tetapi tak berhasil! Thian-Te Lo-Mo masih belum mengerahkan seluruh tenaganya, karena dengan tangan kanan ia menahan cambuknya dan kini sambil tersenyum-senyum walaupun tidak mengeluarkan suara, ia bertindak maju mendekati lawannya! Sambil maju, tiap langkah ia melibatkan cambuk pada pergelangan tangannya hingga dekat, cambuk itu makin pendek.

   Im-Yang Po-San Bu Kam terkejut sekali melihat betapa kakek yang lihai itu makin mendekatinya, akan tetapi ia tidak berdaya. Kedua tangannya memegang sepasang kipasnya dan ia tidak berani melepaskan kipas itu karena sekali melepaskan sebelah tangan, kipas itu keduanya tentu akan terampas. Maka ia tetap berdiri tegak sambil mempertahankan kedua kipasnya yang hendak dirampas. Kini Thian-Te Lo-Mo telah berada di depannya dan kalau ia mau, dengan tangan kirinya yang bebas, dengan mudah saja ia akan dapat mencelakakan lawannya! Te-Sam Tai Ciangkun Ban Kong yang melihat keadaan Bu Kam, menjadi terkejut dan khawatir, maka tanpa banyak pikir lagi ia melompat maju dan memukulkan ruyungnya pada kepala Thian-Te Lo-Mo dalam usaha menolong kawannya itu! Akan tetapi, kakek itu lalu mempergunakan pangkal cambuknya yang kini bergantungan dari tangan kanan.

   Gagang itu dipegang dengan tangan kiri dan disabetkan untuk menangkis ruyung yang menyambar kepalanya. Ban Kong menjerit kesakitan karena ketika gagang cambuk itu beradu dengan ruyungnya, ruyungnya terpental keras dan gagang itupun terpental. Akan tetapi gagang cambuk terpentalnya aneh, bukan ke belakang, akan tetapi ke samping dan tepat menghantam pahanya! Ban Kong merasa betapa paha kakinya seakan-akan remuk tulangnya dan tanpa dapat ditahan lagi ia terhuyung ke belakang, kemudian ia mundur dengan terpincang-pincang! Perwira yang sial ini untuk kedua kalinya mendapat pukulan dan sekali ini pahanya menjadi matang biru dan bengkak! Setelah dapat merobohkan Te-Sam Tai Ciangkun yang berlaku lancang itu, Thian-Te Lo-Mo lalu mengulurkan tangan kirinya dan mencengkeram jenggot Im-Yang Po-San Bu Kam yang panjang sambil berkata,

   "Bu Kam, jenggotmu ini terlampau panjang, tidak pantas untukmu!"

   Sambil berkata demikian, ia melakukan tarikan tiba-tiba yang keras dan,

   "Brett!"

   Jenggot yang panjang itu telah putus dan berada di tangannya! Ia lalu tertawa terpingkal-pingkal dan melompat mundur sambil melepaskan libatan ujung cambuknya pada dua kipas lawannya yang berdiri kebingungan dengan wajah pucat! Thian-Te Lo-Mo melompat ke sana sini dan pada tiap meja yang masih penuh makanan, akan tetapi yang telah ditinggalkan oleh para tamu yang tadi duduk mengelilinginya, ia melemparkan beberapa helai jenggot itu sambil berkata,

   "Pangeran Ong, hidanganmu buruk dan busuk! Kurang bumbu, kalau ditambah beberapa helai jenggot ini sebagai pengganti misoa, tentu lebih mendingan rasanya!"

   Sebentar saja jenggot sekepal di tangannya itu habis beterbangan dan masuk ke dalam mangkok-mangkok yang penuh masakan di atas beberapa meja itu! Masih saja kakek itu tertawa-tawa senang, lalu berkata kepada muridnya yang masih bertempur seru melawan Bu Tong Cu dan Lee Siat,

   "Anak gendeng, kau masih saja bergembira dan bermain-main? Ayo kita pergi, lebih baik kita mencari makanan di dapur kaisar, tentu banyak hidangan lezat!"

   Setelah berkata demikian, tubuhnya melesat dan tahu-tahu ia telah menarik tangan Tiong San diajak melompat keluar dan terus melayang ke atas genteng!

   Semua perwira, terutama Bu Tong Cu, Lee Siat, dan Bu Kam sebagai perwira-perwira yang berpangkat si-wi atau pengawal istana, merasa terkejut sekali mendengar ucapan ini karena mereka menduga bahwa kakek gila itu tentu akan mengacau di istana! Dan hal ini adalah tanggung jawab mereka, di samping perwira-perwira lain di istana. Maka mereka tidak mau memperdulikan lagi urusan di gedung pangeran Ong itu dan segera melompat keluar pula untuk secepat mungkin kembali ke istana membuat persiapan untuk menjaga istana kaisar dari gangguan orang-orang gila itu! Sementara itu, setelah berada di atas genteng bersama suhunya, Tiong San merasa puas akan apa yang telah ia lakukan. Dengan memberi hukuman potong telinga, ia merasa yakin bahwa pangeran Ong Tai Kun akan merasa kapok untuk mengganggu anak bini orang lain.

   Dan ia merasa puas melihat betapa pelajaran yang telah dipelajari dan dilatihnya dengan tekun dan susah payah ternyata tidak mengecewakan. Akan tetapi, hatinya masih berdebar kalau ia teringat kepada Khu Sin dan Thio Swie, kedua sahabat karibnya itu. Tadi pangeran Lu Goan Ong menyebut nama mereka, maka ia menduga bahwa kedua kawannya itu pasti masih berada di kota raja, dan menurut percakapan mereka dahulu setelah bertemu dengan pangeran Lu, banyak kemungkinan kedua sahabatnya itu kini mempunyai hubungan dengan pangeran itu! Ia teringat pula betapa Thio Swie dulu tergila-gila kepada seorang gadis cantik bernama Siu Eng yang dulu berada pula di perahu pangeran Lu! Timbul keras keinginan hatinya untuk mencari dan menjumpai kawan-kawannya yang telah lama tidak dilihatnya itu.

   "Suhu, kita sekarang akan ke mana?"

   "Bodoh, perutku lapar sekali! Aku hendak makan di dapur kaisar!"

   Akan tetapi Tiong San tidak mempunyai nafsu untuk makan besar pada saat itu.

   "Suhu, teecu tidak ingin makan hidangan yang lezat-lezat! Melihat masakan sekian banyaknya di gedung tadi, teecu sudah merasa kenyang!"

   Suhunya tertawa geli dan berkata,

   "Kalau begitu, biar aku sendiri yang makan di sana."

   "Teecu ingin sekali mencari dua orang kawan teecu yang berada di kota raja. Suhu tentu masih ingat kedua kawan teecu yang dulu kipas dan syairnya juga suhu ambil!"

   "Huh! Pelajar-pelajar dan pelamun-pelamun itu! Syair-syairnya aku tidak suka! Mereka membuat syair seperti orang mimpi atau seperti seorang wanita yang merengek-rengek mengagumi pakaian indah! Anak-anak muda seperti itu tidak ada gunanya, aku tidak mau bertemu dengan mereka!"

   Suhunya mencela.

   "Akan tetapi mereka adalah sahabat-sahabat karib teecu semenjak kecil, teecu merasa rindu kepada mereka."

   "Huh!"

   Suhunya mencela pula.

   "Kau benar-benar sudah gila lagi seperti mereka. Baik, kau carilah, kemudian setelah gilamu sembuh, kau boleh menyusul aku ke dapur istana kaisar!"

   Setelah berkata demikian, sambil tertawa-tawa senang Thian-Te Lo-Mo lalu melompat pergi dengan cepat meninggalkan muridnya. Khu Sin dan Thio Swie, dua orang pemuda sekampung yang menjadi sahabat karib Tiong San semenjak mereka bertiga masih kecil, dengan rajin dan giat melanjutkan pelajaran mereka di kota raja. Kedua pemuda ini sama-sama mempunyai cita-cita tinggi untuk menjadi pembesar yang menduduki pangkat mulia, sesuai dengan cita-cita dan pengharapan orang tua mereka. Akan tetapi pada masa itu, kepandaian tidak menjadi ukuran bagi orang yang hendak memperoleh kedudukan tinggi.

   Betapapun pandai seseorang, tanpa perantara yang cukup berpengaruh, kuat dan berkedudukan tinggi, ia takkan berdaya untuk mmperoleh pangkat yang kecilpun. Dan untuk dapat mendekati seorang perantara yang berpengaruh, amat dibutuhkan harta benda sebagai syarat terutama. Oleh karena itu pada masa itu, banyak sekali kaum cerdik pandai dan cendekiawan, pada pergi mengasingkan diri oleh karena selain kecil sekali harapan mereka untuk dapat bekerja pada pemerintah sebagai seorang pembesar sipil, juga mereka merasa muak melihat keadaan pemerintah yang amat buruk itu. Dan dengan adanya gejala-gejala penyuapan dan penyogokan yang merajalela di kalangan para pembesar, maka jabatan-jabatan jatuh ke dalam tangan orang-orang yang tidak cakap sama sekali sehingga akibatnya, kemerosotan akhlak makin menjalar luas di kalangan para pejabat.

   Untuk mendapatkan pangkatnya, seorang pejabat telah mengeluarkan banyak uang guna menyuap para atasan, maka setelah akhirnya berhasil mendapatkan pangkat itu, tentu saja ia berusaha sekuatnya untuk dapat menarik kembali "Modal"

   Yang telah dikeluarkan tadi dengan jalan korupsi besar-besaran dan pemerasan kepada rakyat sekehendak hatinya! Khu Sin dan Thio Swie bukanlah anak orang kaya.

   (Lanjut ke Jilid 06)

   Pendekar Gila Dari Shantung (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 06

   Orang tua Khu Sin hanyalah seorang kepala kampung yang jujur dan tidak korup, sedangkan Thio Swie bahkan hanya seorang putera seorang guru kampung yang miskin. Mereka berdua dapat melanjutkan pelajarannya di kota raja oleh karena kebetulan sekali mereka mempunyai keluarga di kota raja yang suka membantu.

   Khu Sin ditolong oleh pamannya yang memiliki sebuah rumah makan kecil di kota raja, sedangkan Thio Swie ikut pada bibinya yang kawin dengan seorang pemilik toko obat di kota raja pula. Berkat pembiayaan dan pertolongan keluarga inilah, maka mereka berhasil meneruskan pelajaran di kota raja. Tentu saja kedua orang pemuda ini dengan rajinnya pula membantu pekerjaan paman dan bibi mereka sebagai pembalasan jasa. Ketika pada hari libur keduanya kembali ke dusun Kui-ma-chung, yakni dusun tempat kelahiran mereka dan berpesiar dengan Tiong San ke telaga Tai-Hu sehingga mereka bertemu dengan pangeran Lu Goan Ong, Khu Sin dan Thio Swie merasa girang sekali. Setelah kembali ke kota raja, mereka tidak membuang waktu lagi dan segera mengadakan kunjungan kehormatan kepada pangeran itu.

   Tidak mudah bagi mereka untuk dapat bertemu dengan pangeran itu, karena selain pangeran Lu jarang berada di rumah, juga apabila ia ada, sukar untuk dapat menjumpainya. Para penjaga yang diberitahu bahwa kedatangan mereka itu sekedar memberi penghormatan, bahwa ada tanda-tanda bahwa kedua orang pemuda itu datang untuk minta tolong, mempersulit pertemuan itu dan berbulan-bulan telah lewat tanpa kedua pemuda mendapat kesempatan untuk bertemu dengan pangeran Lu Goan Ong. Pada suatu hari, beberapa bulan kemudian, ketika Khu Sin dan Thio Swie pulang dari tempat belajar, mereka melihat seorang gadis cantik jelita menunggang kuda putih dengan gagahnya. Gadis yang menjalankan kudanya perlahan-lahan itu mengerling ke arah mereka dan tiba-tiba Thio Swie dan Khu Sin mengenali gadis ini sebagai gadis yang dulu berada di perahu pangeran Lu.

   "Siocia!"

   Thio Swie berteriak girang dan segera menghampiri gadis di atas kudanya itu dan menjura dengan hormat sekali, ditiru pula oleh Khu Sin. Gadis cantik yang ternyata adalah Gui Siu Eng, anak keponakan pangeran Lu Goan Ong itu, mengerutkan sepasang alisnya yang berbentuk bulan sabit. Ia nampak tidak senang sekali bahwa di tengah jalan ada dua orang pemuda tak dikenal yang berani menegurnya.

   "Siapakah kalian? Aku tidak kenal kepadamu dan jangan kalian berani kurang ajar!"

   Ia menegur dengan suara kurang senang. Melihat kesombongan gadis ini, Thio Swie tidak menjadi marah, bahkan sambil tersenyum girang ia berkata,

   "Maafkan kami, Siocia. Tentu saja Siocia sudah lupa lagi, akan tetapi kami tak dapat melupakan Siocia. Kita pernah bertemu di atas perahu Lu-Taijin ketika perahu kami bertubrukan dengan perahu Lu-Taijin di telaga Tai-Hu!"

   Nona itu mengingat-ingat dan bibirnya yang indah dan merah itu lalu membayangkan senyum yang membuat hati Thio Swie berdetak-detak tidak keruan!

   "Ah, ji-wi Kongcu!"

   Katanya perlahan.

   "Hampir aku lupa. Akan tetapi, dulu ada seorang lagi, yang berpakaian hijau..."

   Sebetulnya yang masih teringat oleh Siu Eng adalah pemuda baju hijau ialah Tiong San.

   "Siocia maksudkan sahabat kami Tiong San? Ya, memang pada waktu itu kami bertiga, akan tetapi... sahabat kami Tiong San itu tak dapat meneruskan pelajaran di kota raja."

   "Kasihan..."

   Nona itu berkata dan ia mulai menggerakkan kudanya hendak melanjutkan perjalanan. Akan tetapi Thio Swie mengikutinya dan berkata cepat-cepat.

   "Siocia, sukakah kau menolong kami?"

   Sebelum nona itu menjawab, ia melanjutkan.

   "Telah berbulan-bulan kami berdua hendak menghadap Lu-Taijin menghaturkan terima kasih dan hormat kami, akan tetapi selalu tak berhasil. Para penjaga melarang kami menghadap!"

   Siu Eng tersenyum manis.

   "Memang pamanku tak mudah dijumpai, akan tetapi kalau kalian mau datang pada besok pagi, tentu kalian akan diterima."

   Sambil berkata demikian, gadis itu melarikan kudanya.

   "Siocia! Aku adalah Thio Swie dan kawanku ini Khu Sin!"

   Thio Swie masih berteriak kepada nona itu yang menengok sebentar sambil tersenyum, lalu kudanya berlari cepat. Thio Swie berdiri bengong, seakan-akan semangatnya terbawa pergi oleh senyum di bibir nona manis itu! Khu Sin sambil tertawa menepuk pundak kawannya sambil berkata,

   "Thio Swie, dia sudah pergi jauh!"

   Thio Swie menarik napas panjang.

   "Alangkah manisnya..., alangkah merdu suaranya... dan senyum itu... ah, Khu Sin, bukankah senyum itu ditujukan kepadaku semata?"

   "Kau..., kau sudah gila!"

   Khu Sin berkata sambil tertawa geli. Sungguhpun ia merasa tertarik juga pada nona yang cantik jelita itu, akan tetapi kegirangan Khu Sin lebih banyak disebabkan karena mereka akan mendapat kesempatan karena ia dapat bertemu dengan dengan paman gadis itu. Dalam perjalanan pulang, tiada hentinya Thio Swie membicarakan kecantikan gadis itu, dan tanpa malu-malu lagi ia mengaku kepada kawannya bahwa ia telah jatuh cinta! Khu Sin hanya tersenyum dan berkata,

   "Jangan mengimpi, kawan! Siu Eng adalah keponakan dari pangeran Lu, sedangkan kau ini siapa? Jangan menjadi anjing yang merindukan bulan!"

   "Siapa tahu, Khu Sin? Siapa tahu kelak aku akan menduduki pangkat dan dapat mengulurkan tangan kepada bidadari itu..."

   Melihat kesungguhan hati kawannya, diam-diam Khu Sin merasa kasihan dan ikut memuji semoga kerinduan hati kawannya itu takkan menemui kegagalan dan kekecewaan. Benar saja, ketika pada keesokan harinya mereka kembali datang ke gedung pangeran Lu Goan Ong dan disambut oleh para penjaga, sikap para penjaga itu berbeda dengan yang sudah-sudah.

   "Ji-wi kongcu mengapa tadinya tidak menyatakan bahwa ji-wi adalah sahabat-sahabat baik dari Lu-Taijin? Baiknya kemaren Gui-Siocia memberi tahu kepada kami. Kalau tidak sukarlah bagi ji-wi untuk dapat bertemu dengan Lu-Taijin. Harap maafkan kami!"

   "Ah, tidak apa, tidak apa!"

   Kata Khu Sin dengan girang. Apakah sekarang Lu-Taijin ada di dalam rumah dan dapatkah kami menghadap?"

   "Tentu saja dapat, harap ji-wi kongcu menanti sebentar."

   Mereka dipersilahkan duduk menanti di kamar tamu dan tak lama kemudian seorang pelayan mengundang mereka untuk masuk ke dalam karena pangeran Lu Goan Ong telah siap menerima mereka menghadap. Pangeran Lu Goan Ong menerima mereka dengan acuh tak acuh, akan tetapi oleh karena pangeran ini telah mendapat pemberitahuan dari keponakannya, maka secara singkat ia lalu menanyakan maksud kedatangan mereka. Dengan amat hormat Khu Sin lalu mengajukan permohonan agar supaya mereka memperoleh kedudukan oleh karena mereka telah lulus dalam ujian.

   "Tidak mudah, tidak mudah!"

   Kata pangeran Lu Goan Ong sambil menggoyang-goyang kedua kedua tangannya.

   "Untuk menjadi seorang pembesar, tidak saja kalian harus pandai, akan tetapi juga harus mempunyai banyak pengalaman."

   "Hambah bedua mohon diberi pekerjaan, apa saja pekerjaan itu asalkan dapat menambah pengalaman hamba,"

   Kata Thio Swie. Setelah berpikir sejenak, pangeran itu lalu berkata,

   "Biarlah kalian membantu pekerjaanku di sini. Khu Sin, kau kuberi tugas mengurus pembukuan untuk mencatat pembagian gaji para perwira, tentara dan pelayan! Dan kau, Thio Swie, kau harus mencatat semua keperluan rumah tanggaku agar dapat diketahui dengan baik segala pengeluaran uang!"

   Biarpun pekerjaan itu bukan merupakan sesuatu pangkat, akan tetapi mereka menerima dengan amat gembira, karena setidaknya mereka akan memperoleh pengalaman dan karena mereka membantu seorang pangeran yang berpengaruh dan berkedudukan tinggi, maka jalan untuk mencari kenaikan pangkat dan kemajuan akan lebih mudah bagi mereka.

   Apalagi Thio Swie, ingin rasanya ia bersorak-sorak dan berjingkrak-jingkrak kegirangan karena dengan mendapat pekerjaan di dalam gedung pangeran itu, berarti bahwa setiap hari ia akan dapat bertemu dengan Siu Eng gadis yang telah merebut hatinya! Dan kebahagiaan Thio Swie mencapai puncaknya ketika mendapat kenyataan bahwa setelah bekerja beberapa bulan lamanya di dalam gedung pangeran Lu Goan Ong, gadis yang cantik jelita itu bersikap manis sekali kepadanya. Bahkan begitu mesra dan manisnya sehingga setelah ia bekerja hampir dua tahun, gadis ini telah berani masuk ke dalam kamarnya di waktu malam dan bersenda gurau dengannya. Tentu saja Thio Swie merasa bahagia sekali dan menyangka bahwa gadis itu membalas cinta kasihnya! Ia menganggap gadis itu sebagai seorang bidadari pembawa bahagia dan cintanya makin mendalam.

   Ia sama sekali tidak tahu bahwa gadis yang disangkanya bidadari pembawa bahagia itu tidak lain adalah seorang iblis wanita pembawa sengsara! Ia tidak pernah mengira bahwa Gui Siu Eng adalah seorang anak yatim piatu keponakan pangeran Lu Goan Ong yang amat dimanja dan kurang pendidikan budi pekerti sehingga memiliki watak yang amat buruk! Gadis itu keras kepala, tinggi hati dan mempunyai sifat cabul! Wajah cantik jelita itu hanya merupakan kedok indah yang menutup dan menyelimuti seluruh watak-wataknya yang kurang baik. Semenjak kecil Gui Siu Eng mendapat pendidikan ilmu silat dari seorang guru silat yang tadinya menjadi perampok sehingga gadis itu memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi juga watak yang kurang bersih. Kemudian gadis itu bahkan menjadi murid dari Kiu-Hwa-San Toanio, seorang wanita cabul yang gagah perkasa dan yang bertapa di bukit Kiu-Hwa-San setelah tua.

   Dari gurunya ini ia mendapat warisan ilmu silat tinggi, akan tetapi juga wataknya yang cabul itu adalah warisan dari Kiu-Hwa-San Toanio. Setelah kembali dari Kiu-Hwa-San, kepandaiannya amat tinggi dan ia makin disayang oleh pamannya oleh karena dengan kepandaiannya itu, ia seolah-olah menjadi pengawal pribadi pamannya sendiri. Pangeran Lu Goan Ong benar-benar mencintai keponakannya ini karena dia sendiri tidak mempunyai keturunan, maka ia amat memanjakan Siu Eng. Beberapa kali ia hendak menjodohkan Siu Eng dengan seorang pemuda yang baik, akan tetapi gadis itu selalu menolak dan menyatakan bahwa ia hanya mau dijodohkan dengan seorang pemuda tampan, pandai ilmu kesusasteraan dan pandai silat melebihi kepandaiannya sendiri!

   Di manakah dapat mencari seorang pemuda seperti itu? Pemuda yang tampan dan tinggi pelajaran ilmu silatnya memang banyak terdapat di kota raja, akan tetapi yang berkepandaian silatnya melebihi kepandaian Siu Eng, sukar sekali terdapat! Ilmu silat gadis ini belum tentu lebih rendah dari ilmu kepandaian Te-Sam Tai Ciangkun Ban Kong sendiri! SEMUA keburukan ini tidak terlihat oleh Thio Swie yang telah tergila-gila itu. Siu Eng hanya mempermainkannya saja, karena gadis ini memang suka sekali bergaul dan bercinta-cintaan dengan pemuda-pemuda cakap seperti Thio Swie, Selama perhubungan mereka itu, apabila Thio Swie mengemukakan tentang perjodohan, gadis itu hanya tersenyum dan menjawab dengan senyum manis dan kerling memikat,

   "Kawin? Ah, koko yang baik, hal itu tak perlu dibicarakan sekarang!"

   "Mengapa Eng-moi? Bukankah kita saling mencinta? Bukankah..., bukankah kau juga cinta padaku seperti aku mencinta padamu?"

   Dengan gaya manja dan menarik hati, Siu Eng lalu menyandarkan kepalanya dengan rambutnya yang harum itu pada dada pemuda itu dan berkata,

   "Tentu saja aku mencinta padamu!"

   Ia meraba pipi Thio Swie yang halus.

   "Akan tetapi, kau harus ingat akan kedudukanmu. Gajimu belum cukup besar untuk dapat memelihara rumah tangga, mengapa bicara tentang kawin? Kelak kalau kau sudah memperoleh kedudukan tinggi, barulah kita bicara lagi tentang hal itu!"

   Setelah berkata demikian, gadis itu lalu berlari-lari keluar dari kamar Thio Swie dan tertawa berkikikan yang membuat Thio Swie makin tergila-gila!

   "Memang dia benar!"

   Pikirnya.

   "Siu Eng kekasihku itu selamanya berpikir tepat dan benar! Aku harus mencari kemajuan dan kedudukan tinggi lebih dulu, barulah aku dapat meminangnya dan kita hidup berbahagia!"

   Lamunan-lamunan seperti ini membuat Thio Swie sering tak dapat tidur, dan hatinya penuh kebahagiaan dan cita-cita muluk. Memang patut dikasihani pemuda yang dimabuk cinta ini! Karena Siu Eng seorang bangsawan, keponakan seorang Pangeran dan hidup dalam keadaan mewah dan kaya raya, maka tidak ada sedikitpun kecurigaan dalam hatinya! Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan Khu Sin.

   Pemuda ini merasa terkejut dan kuatir sekali ketika pada suatu malam Siu Eng memasuki kamarnya dan bersikap tak kenal malu sekali! Ia memang selalu menaruh curiga dan tidak senang terhadap sikap Siu Eng yang agaknya terlalu manis kepadanya, karena dia tahu betul bahwa gadis ini saling mencinta dengan kawannya. Thio Swie seringkali menceritakan kepadanya betapa sikap gadis itu amat manis terhadap Thio Swie, bahkan mereka telah bermain cinta! Tadinya dia merasa girang untuk nasib baik sahabatnya ini. Akan tetapi, tidak disangka-sangkanya bahwa gadis itu berani pula masuk ke dalam kamarnya! Memang kedua pemuda itu mendapat kamar di bangunan sebelah kiri gedung besar Pangeran Lu Goan Ong. Sikap Siu Eng yang memikat-mikat hatinya dan dengan cara tak sopan memperlihatkan sikap cabul terhadapnya, membuat Khu Sin menjadi marah dan sedih sekali.

   "Gui-Siocia,"

   Katanya dengan halus karena betapapun marahnya, dia tidak berani berlaku kasar terhadap keponakan Pangeran Lu yang dia tahu pandai ilmu Silat pula.

   "Harap kau jangan masuk ke dalam kamarku dan kalau kiranya ada keperluan, baiklah besok pagi aku menghadap padamu."

   Siu Eng memandang sambil tersenyum karena mengira bahwa pemuda ini tentu malu-malu.

   "Khu Sin,"

   Katanya sambil mencibirkan bibirnya yang merah dan menggairahkan itu.

   "Kau ternyata seorang pemuda yang kurang terima! Kalau tidak ada aku Siu Eng yang menjadi perantara, apakah kau ada harapan untuk bekerja di sini?"

   Khu Sin menjadi terkejut dan buru-buru ia menjura di hadapan gadis itu.

   
Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Maaf, Gui-Siocia, memang aku merasa amat berterima kasih kepadamu. Kalau ada sesuatu yang dapat kulakukan untuk membantumu, katakanlah. Aku Khu Sin bukanlah seorang yang tidak tahu terima kasih akan budi orang!"

   Siu Eng tersenyum lagi dan tiba-tiba ia melangkah maju lalu duduk di dekat pemuda itu.

   "Kalau begitu, mengapa kau tidak berlaku manis kepadaku? Bukankah kita sudah menjadi sahabat-sahabat baik?"

   Tangannya memegang lengan Khu Sin dengan mesra sekali. Makin terkejutlah pemuda itu melihat hal ini. Kalau saja ia tidak ingat bahwa Siu Eng adalah kekasih kawannya, dan kalau saja ia sendiri belum menjatuhkan hatinya kepada seorang gadis pelayan di gedung itu, tentu ia akan jatuh dan tidak kuat menghadapi godaan gadis cantik jelita ini. Ia bangkit berdiri dan berkata,

   "Maaf, Siocia, harap kau suka ingat bahwa kalau ada orang lain melihat Siocia berada di kamarku, akan mendatangkan omongan yang kurang enak. Pula, bagaimana kalau Thio Swie mendengarnya? Dia adalah kawan baikku dan... dan... bukankah dia dan Siocia sudah saling mencinta?"

   "Siapa mencinta dia?"

   Tiba-tiba Siu Eng menjadi marah.

   "Aku suka kepada siapapun juga, tak boleh kau turut campur! Apakah... kau tidak suka kepadaku, Khu Sin?"

   "Aku berhutang budi kepada Siocia dan aku menghormat Siocia setulus hatiku!"

   Jawab Khu Sin.

   "Dan... kau tidak suka kepadaku?"

   Tanya gadis itu sambil memandang tajam.

   "Hal ini..."

   Khu Sin menundukkan muka dengan hati berdebar.

   "Aku... aku tidak berani menyatakan tidak suka..."

   "Hm, kau mengecewakan hatiku, Khu Sin. Kaukira untuk apakah aku menolongmu sehingga bisa diterima bekerja di sini? Ah, aku mulai menyesal dan kecewa telah menolongmu?"

   Sambil berkata demikian, Siu Eng lalu keluar dari kamar itu dan menutup pintu kamar Khu Sin keras-keras. Untuk beberapa lama pemuda itu berdiri kebingungan dengan hati berdebar-debar. Apakah artinya ini? Sungguhpun ia tidak tahu akan riwayat dan keadaan gadis itu, akan tetapi ia mulai merasa khawatir dan tidak suka kepada gadis itu. Ia menganggap bahwa gadis itu telah berlaku tidak setia terhadap Thio Swie dan dari kata-kata gadis itu, ia dapat menduga bahwa gadis itu bukanlah seorang berhati mulia dan ia merasa amat kasihan dan menyesal kepada Thio Swie, sahabat karibnya. Ia segera langsung menjumpai sahabatnya untuk memberi peringatan bahwa Siu Eng bukanlah gadis yang patut untuk dijadikan calon isteri. Bukan main marahnya Thio Swie mendengar ini dan dengan mengepal tinju dan mata memancarkan cahaya berapi-api, ia membentak sahabatnya itu.

   "Khu Sin! Kalau kau bukan sahabatku sejak kecil, tentu akan kupukul mukamu! Mengapa kau tidak menahan lidahmu dan apakah yang meracuni bibirmu sehingga kau mengeluarkan ucapan-ucapan yang amat keji itu?"

   Katanya marah.

   "Kalau kau tidak bisa menceritakan dasar-dasar dan alasan-alasanmu mengapa kau berkata sekeji itu, mulai sekarang lebih baik hubungan kita sebagai sahabat diputuskan saja!"

   "Thio Swie,"

   Kata Khu Sin dengan muka sedih.

   "Kita telah menjadi sahabat karib bertahun-tahun semenjak kita kecil. Ingatkah kau betapa kau, aku dan Tiong San pernah menyatakan bahwa kita bertiga akan tinggal setia selama hidup? Nah, karena itu, apakah kau masih meragukan kesetiaanku sebagai kawan baikmu? Aku memang mempunyai dasar alasan kuat mengapa aku berani menyatakan bahwa Siu Eng bukanlah seorang gadis yang patut kau idam-idamkan! Akan tetapi, perlukah aku harus menceritakan alasan yang hanya akan menyakitkan hatimu saja?"

   Thio Swie menjadi pucat dan ia memegang lengan Khu Sin dengan tangan gemetar.

   "Sahabatku, ceritakanlah! Ceritakanlah demi persahabatan kita dan jangan membuat aku mati karena bimbang ragu!"

   Dengan hati terharu karena diliputi rasa kasihan, terpaksa Khu Sin menceritakan semua pengalamannya malam tadi dan tentang sikap tidak sopan dan cabul dari Siu Eng. Thio Swie mendengarkan dengan mata terbelalak dan muka makin pucat. Ia lalau bangkit berdiri dan sekali tangannya bergerak ia telah menampar muka Khu Sin, hingga Khu Sin menjadi terhuyung-huyung!

   "Keluar...! Pergilah kau dari hadapanku! Kau bohong...! Kau memfitnah...! Kau mengeluarkan kata-kata beracun karena kau... hendak memisahkan aku dari kekasihku. Kau... ha ha, kau iri hati, bangsat! Kau sendiri tergila-gila kepada Siu Eng dan karena kekasihku itu tidak menghiraukan bujukanmu, kau lalu mengeluarkan siasat ini! Ya... kau bangsat rendah, kau memfitnah! Ayo lekas keluar, kalau tidak... demi Tuhan, akan kubunuh kau...!!"

   Khu Sin dengan tenang dan sambil mengusap bibirnya yang berdarah, melangkahkan kakinya keluar dari kamar itu sambil berkata perlahan,

   "Betapapun juga, Thio Swie, aku tidak membencimu karena ini. Aku bahkan makin kasihan kepadamu..."

   "Tutup mulutmu yang berbisa, lekas keluar!"

   Demikianlah, terjadi perpecahan di antara dua orang sahabat karib yang tadinya saling mencinta seperti dua orang saudara kandung itu. Semenjak saat itu, Thio Swie tak pernah mau bicara kepada Khu Sin dan apabila mereka bertemu muka, Thio Swie selalu membuang muka dan tidak mau memandangnya. Khu Sin tak dapat berbuat apa-apa melainkan menarik napas dengan hati amat berduka. Khu Sin telah jatuh hati dan mencinta seorang gadis pelayan di dalam gedung itu, seorang gadis dari keluarga tani yang cukup manis dan lincah, bernama Man Kwei. Dengan diam-diam keduanya telah saling menyatakan cinta dan saling berjanji akan hidup sebagai suami isteri.

   "Tunggulah sampai aku mendapat kedudukan yang pantas, aku akan meminangmu dan minta izin kepada Lu-Taijin untuk mengawinimu!"

   Kata Khu Sin dalam sebuah pertemuan yang mereka lakukan di dalam taman bunga istana Pangeran Lu Goan Ong.

   "Kalau kau sudah mendapat kedudukan tinggi, tentu kau takkan ingat kepada Man Kwei gadis dusun yang bodoh dan buruk ini,"

   Kata Man Kwei dengan sikap manja.

   "Tak mungkin! Aku adalah seorang yang telah banyak mempelajari budi pekerti, tahu akan arti kesetiaan, kepercayaan dan pribudi,"

   Jawab Khu Sin. Di dalam hubungan yang amat sederhana dengan gadis yang sederhana pula itu, ia menemukan kebahagiaan yang besar.

   Akan tetapi, ia tidak mengira bahwa kebahagiaan hanya merupakan cahaya bulan yang mudah tertutup oleh mega-mega mendung yang hitam mengerikan. Dan kini yang merupakan awan penutup dan penghalang kebahagiaannya adalah Gui Siu Eng, gadis cantik jelita dan gagah perkasa itu! Ternyata bahwa Siu Eng merasa penasaran sekali melihat betapa Khu Sin menolak cintanya, bahkan tidak memperdulikannya. Hal ini baru sekarang ia alami. Seorang pemuda menolak permainan cintanya! Makin ditolak, makin bernafsulah dia dan makin penasaran. Demikianlah sifat Siu Eng yang amat rendah. Kalau dituruti kehendaknya, maka sebentar saja ia akan merasa bosan kepada pemuda kekasihnya. Akan tetapi kalau ditolak, ia akan berusaha selalu dan sekuatnya untuk dapat memiliki pemuda itu, atau untuk melampiaskan marahnya dan mencelakakan orang yang berani menampiknya!

   Siu Eng telah merasa bosan kepada Thio Swie dan kini tak pernah pula ia datang menjumpai Thio Swie, bahkan bertemu, ia selalu menarik muka dan seperti orang marah-marah! Hal ini tentu saja menyusahkan hati Thio Swie yang kembali menyangka bahwa perubahan ini tentu gara-gara Khu Sin! Sebaliknya, ketika mendengar dari para pelayan bahwa Khu Sin mempunyai seorang kekasih, yakni Man Kwei, kegusaran Siu Eng memuncak! Dengan pengaruhnya yang besar terhadap pamannya, Siu Eng lalu mengusir Man Kwei, bahkan dengan kejamnya ia lalu mencari jalan dan menjual gadis itu kepada rumah pelacur! Memang, nasib para anak gadis di masa itu amat buruk dan sengsara, teristimewa anak-anak orang miskin.

   Anak-anak ini dapat diperjualbelikan, yakni seorang petani yang miskin dapat menjual anaknya kepada rumah seorang kaya atau berpangkat untuk menjadi pelayan dan selanjutnya kehidupan anak ini seluruhnya berada di dalam kekuasaan majikannya! Biarpun Pangeran Lu Goan Ong tidak terlalu kejam untuk melakukan penjualan macam itu, akan tetapi karena ia berada di bawah pengaruh Siu Eng yang amat dimanjakannya, akhirnya Man Kwei terjual juga kepada rumah pelacuran! Dalam hal ini masih belum memuaskan hati Siu Eng yang kejam, karena Khu Sin masih juga belum mau memperlihatkan sikap manis kepadanya. Bahkan ketika Khu Sin melihat betapa Siu Eng mengubah sikapnya kepada Thio Swie sehingga pemuda itu kini selalu mengeram diri di dalam kamar bagaikan seorang menderita penyakit gila, Khu Sin lalu menjumpai Siu Eng dan dengan suara memohon ia berkata,

   "Siocia, kasihanilah kawanku Thio Swie itu! Dia telah tergila-gila kepadamu, dia telah mencintaimu sepenuh jiwa dan raganya, mengapa kini Siocia berbalik membenci dan tidak mau pemperdulikannya? Siocia, kau berlakulah bijaksana dan jangan membikin ia sengsara serupa itu!"

   Akan tetapi Siu Eng bahkan menjadi marah sekali.

   "Khu Sin, kau anggap aku ini siapa maka kau berani berkata demikian kepadaku? Apakah kau anggap aku ini seperti Man Kwei kekasihmu yang ternyata bukan lain hanya seorang pelacur?"

   Tiba-tiba dendam di hati Khu Sin yang ditahan-tahannya itu berkobar ketika mendengar ini.

   "Siocia! Man Kwei adalah seorang sesuci-sucinya, seorang gadis yang betul-betul berbatin bersih! Ia telah menjadi korban keganasan orang, akan tetapi, betapapun juga, aku tetap mencintainya dan akan menjadikan dia sebagai isteriku yang tercinta!"

   "Kau katakan! Keganasan siapakah yang kau maksud itu? Baru dua hari Man Kwei melarikan diri dari gedung ini sambil membawa barang perhiasan dan tahu-tahu ia kini berada di rumah pelacuran!"

   Makin marahlah Khu Sin mendengar ini.

   Ia telah tahu akan segala yang menimpa diri Man Kwei, akan tetapi ia tinggal diam saja. Hanya dengan bantuan kawan-kawannya, ia dapat mengirim uang kepada kepala rumah pelacuran itu untuk menjaga Man Kwei baik-baik dan jangan mengganggunya. Ia telah mengambil keputusan untuk berhenti bekerja dan menggunakan uang simpanannya untuk membawa Man Kwei pulang ke desanya. Akan tetapi, oleh karena tidak tega meninggalkan sahabatnya yang berada dalam keadaan sengsara itu, ia telah berlaku nekat dan menjumpai Siu Eng untuk mengajukan permohonan bagi sahabatnya yang dulu pernah menamparnya itu. Dapat dibayangkan betapa setia kawan dan mulia hati pemuda ini! Akan tetapi, sesabar-sabarnya seorang laki-laki, apabila orang yang dicintai dihina dan dimaki orang, ia takkan dapat bertahan, maka kini dengan marah ia berkata kepada Siu Eng,

   "Gui-Siocia! Jangan kira aku tidak tahu akan segala perbuatanmu yang kejam itu. Karena Man Kwei menjadi kekasihku dan calon isteriku, kau sengaja berlaku kejam dan mencoba untuk menjerumuskan dia ke jurang kehinaan. Akan tetapi dengarlah, wahai puteri bangsawan yang kurang pikir! Aku adalah seorang terpelajar yang tak sudi berbuat melanggar kesusilaan dan kesopanan, dan sekarang juga aku hendak menghadap kepada Lu-Taijin untuk minta berhenti dari pekerjaan ini. Aku akan membawa calon isteriku pulang ke kampung dan hidup dengan aman dan damai di sana, jauh dari gedung ini, dan jauh dari kau!"

   "Bangsat, tutup mulutmu!"

   Tiba-tiba Siu Eng menampar dan Khu Sin roboh terguling.

   "Kau hendak pulang? Hendak mengawini Man Kwei? Hm, jangan harap, bangsat! Kau akan kubunuh dulu dan Man Kwei akan menjadi pelacur yang sebesar-besarnya, sehina-hinanya!"

   Sambil berkata demikian, ia maju untuk mengirim tendangan maut kepada Khu Sin. Pemuda ini maklum akan kelihaian Siu Eng dan tamparan tadipun telah membuat kepalanya pening dan pandangan matanya berkunang, maka kini ia hanya dapat memeramkan mata menanti datangnya tendangan maut itu! Akan tetapi sebelum tendangan itu mengenai tubuh Khu Sin, tiba-tiba Siu Eng berseru heran karena mendadak saja tubuh Khu Sin itu lenyap dari depannya! Dan ketika ia memutar tubuh, ternyata di belakangnya telah berdiri seorang pemuda cakap sekali dengan pakaian warna hijau, sedangkan Khu Sin telah pula berdiri di sampingnya sambil memandang kepada pemuda baju hijau itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga!

   "Tiong San...!"

   Khu Sin berseru, hampir tak percaya kepada matanya sendiri. Akan tetapi Tiong San hanya tersenyum kepadanya, lalu melangkah maju dan berkata kepada Siu Eng,

   "Mau bunuh kawanku? Tidak boleh, tidak boleh! Perempuan jahat, jangan kau ganggu sahabat karibku!"

   Siu Eng dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah pemuda yang dulu dilihatnya di dalam perahu, karena sesungguhnya telah lama ia mengagumi ketampanan pemuda ini. Akan tetapi melihat dia sekarang tiba-tiba datang di tempat itu dan dapat menolong Khu Sin, ia tahu bahwa pemuda ini tentu memiliki ilmu kepandaian, maka ia lalu mencabut pedangnya dan membentak,

   "Kau kira aku takut kepadamu?"

   Tiong San tertawa sinis dan berkata,

   "Wanita kejam memegang pedang, sungguh berbahaya!"

   Dan ia meloloskan cambuknya. Dengan marah sekali Siu Eng lalu menyerang dengan pedangnya dan gerakannya benar-benar cepat bagaikan menyambarnya burung walet. Akan tetapi Tiong San segera mengayun cambuknya dan ujung cambuknya menyambar ke arah pergelangan tangan Siu Eng! Gadis itu terkejut sekali melihat lawan menyambut serangannya dengan serangan yang mendahului, maka terpaksa ia mengelak,

   Kemudian meloncat dengan gesitnya mendekati Tiong San untuk menyerang dari dekat. Pemuda itu kagum melihat kegesitan tubuh Siu Eng, maka lalu melayaninya dengan sungguh-sungguh. Ia sengaja memperpendek cambuknya sehingga mereka dapat bertarung dengan seru dan ramainya. Biarpun Siu Eng diam-diam merasa terkejut dan kagum sekali melihat pemuda ini, yang paling terkejut dan terheran-heran adalah Khu Sin. Benarkah pemuda ini Tiong San? Tak salah lagi, ia dapat mengenal wajah kawannya ini di antara ribuan orang. Akan tetapi kalau ia benar-benar Tiong San, mengapa ia dapat memiliki ilmu kepandaian sedemikian hebatnya? Kini ia tidak dapat melihat bayangan kedua orang itu lagi, karena mereka telah bertempur dengan amat cepatnya sehingga bayangan mereka seakan-akan bergulung-gulung menjadi satu!

   "Tiong San... Tiong San... bukan main hebatnya..."

   Demikian Khu Sin berkali-kali berbisik seorang diri. Sementara itu, di dalam dada Siu Eng timbul perasaan yang amat aneh baginya dan yang selama hidupnya belum pernah ia rasakan. Telah lama ia sering teringat kepada pemuda ini yang dulu pernah bertemu dengan pamannya di dalam perahu. Ia dulu mengagumi ketampanan wajah pemuda itu dan sikapnya yang tenang dan sopan santun. Akan tetapi setelah kini ia bertempur dengan pemuda ini dan mendapat kenyataan bahwa ilmu silat pemuda ini sangat tinggi, diam-diam ia menjadi sangat tertarik.

   "Ah, inilah pemuda yang tepat dan sesuai menjadi suamiku..."

   Demikian pikirnya dan ia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk melawan dan mengukur tingkat ilmu silat Tiong San.

   Akan tetapi, betapapun juga ia menyerang, ia tak dapat berhasil melukai pemuda itu karena kemana saja pedangnya berkelebat, cambuk lawannya tentu menghadang dan menangkis! Ilmu pedang yang dimainkan oleh Siu Eng adalah ilmu pedang Kiu-hwa Kiam-hoat yang amat hebat dan belum pernah ia menemui tandingan seperti itu. Juga Tiong San merasa kagum dan diam-diam memuji ilmu pedang gadis yang hampir saja membunuh sahabatnya itu, karena iapun tak dapat mendesak Siu Eng. Tiba-tiba Tiong San berseru keras dan tubuhnya melompat ke belakang, dua tombak jauhnya. Ketika tangannya bergerak, cambuknya menyambar dan menjadi panjang, terus menyerang dengan gerakan hebat bagaikan naga melayang-layang ke arah tubuh Siu Eng.

   Gadis ini cepat menangkis, akan tetapi kini ia tidak berdaya membalas, karena cambuk yang melayang dari tempat jauh itu terus mengurung dan mendesaknya dengan hebat. Ia makin kagum saja, akan tetapi sebagai murid terkasih dari Kiu-Hwa-San Toanio, ia tidak mau menyerah mentah-mentah. Ia berseru keras dan tangan kirinya cepat bergerak melempar senjata rahasianya yang amat diandalkan, yakni kiu-hwa-ciam, semacam jarum-jarum halus yang terbuat dari perak. Dengan mengeluarkan cahaya terang, jarum-jarum itu menyambar ke arah Tiong San yang segera mengelakkan dengan cepat! Berkali-kali Siu Eng menghujani Tiong San dengan jarum-jarumnya, akan tetapi selalu senjata-senjata rahasia itu dapat dielakkan oleh Tiong San. Bahkan Tiong San lalu menggunakan tangan kirinya menyaut jarum-jarum itu dari samping, lalu melontarkan kembali ke arah Siu Eng sambil tertawa mengejek.

   "Jarum-jarum memang permainan wanita, tapi untuk menjahit, bukan untuk membunuh orang! Terimalah kembali jarum-jarummu untuk menjahit pakaian suamimu!"

   Digoda seperti itu, Siu Eng merasa gemas sekali, akan tetapi rasa kagumnya terhadap Tiong San meningkat. Kini ia betul-betul terdesak dan serangan cambuk Tiong San dari jarak jauh itu mengurung dirinya membuat ia sibuk dan bingung sekali.

   Akan tetapi diam-diam Siu Eng merasa girang sekali karena biarpun dirinya dikurung, ujung cambuk itu agaknya tidak mau melukainya, buktinya beberapa kali ujung cambuk itu telah meluncur dan akan dapat merobohkannya, tiba-tiba ditarik kembali! Ia mengira bahwa Tiong San merasa sayang dan tidak mau melukainya dan menganggap bahwa pemuda itu suka kepadanya! Padahal sebenarnya Tiong San memang tidak mau melukainya karena tidak ingin bermusuhan kepada siapapun juga. Tiba-tiba cambuk itu berkelebat dan tahu-tahu telah membelit pedang di tangan Siu Eng. Kalau ia mau, gadis ini dapat mempertahankan pedangnya dan mengerahkan lweekang untuk bertahan agar pedangnya jangan sampai terampas. Akan tetapi dengan sengaja ia melepaskan pedangnya itu sambil melompat ke belakang dan berseru dengan suara nyaring dan merdu,

   "Aku menyerah! Harap Taihiap suka memberitahukan nama yang mulia!"

   Setelah berkata demikian, gadis itu menjura dan kemudian berdiri dengan sikap kemalu-maluan dan matanya mengerling serta bibirnya tersenyum manis! Khu Sin memandang heran dan kagum, karena belum pernah ia melihat gadis itu semanis ini dan matanya mengeluarkan cahaya sehalus itu. Akan tetapi Tiong San hanya tertawa saja dan ketika ia menggerakkan tangan, cambuknya menyambar dan pedang itu telah dilepas dari libatan dan kini diayunkan kembali ke arah Siu Eng yang menyambarnya dengan senyum di bibir! Pada saat itu, terdengar suara ketawa girang dan muncullah Pangeran Lu Goan Ong sendiri! Pangeran ini menjura kepada Tiong San dan berkata kepada Siu Eng,

   "jangan sebut Taihiap, dia adalah Shan-Tung Koay-Hiap, pendekar aneh yang gagah perkasa! Shan-Tung Koay-Hiap, tepat sekali dugaanku bahwa kau adalah pemuda yang dulu berjumpa dengan aku di perahuku dan menjadi kawan dari Khu Sin dan Thio Swie! Tak terduga sama sekali bahwa kau ternyata adalah seorang pendekar muda yang gagah perkasa!"

   Tiong San membalas penghormatan itu dan berkata,

   "Maaf, Taijin, aku datang hanya hendak bertemu dengan dua orang sahabat karibku!"

   "Boleh saja!"

   Kata Lu Goan Ong sambil tersenyum. Khu Sin dan Thio Swie seringkali menyebut-nyebut namamu dan karena mereka berdua adalah pembantu-pembantuku yang baik dan rajin, kau juga menjadi tamuku pula! Shan-Tung Koay-Hiap, harap kau maklum bahwa aku orang she Lu tidak ikut campur dalam urusan dengan Ong-Taijin tadi!"

   Tiong San tersenyum.

   "Perkara itu sudah lewat, Taijin."

   "Marilah masuk ke dalam dan aku harus menjamu tamuku yang gagah,"

   Katanya dengan ramah tamah. Akan tetapi Tiong San menggoyang tangannya dan berkata,

   "Terima kasih, Taijin. Tak perlu repot-repot. Aku hanya ingin bicara dengan kedua sahabatku!"

   Pangeran itu menarik napas panjang.

   "Tentu kau takkan dapat menikmati hidanganku yang jauh lebih buruk dari pada hidangan di rumah Pangeran Ong Tai Kun. Baiklah, kalau kau hanya hendak bercakap-cakap dengan kedua orang sahabatmu yang menjadi pembantu-pembantuku, aku akan menyuruh orang menyediakan kamar untukmu. Akan tetapi, aku mengharap agar supaya besok pagi kau suka bercakap-cakap dengan aku sebagai kawan-kawan baik!"

   Pangeran itu lalu mengajak pergi keponakannya yang melepas kerling tajam ke arah Tiong San sambil berkata,

   "Shan-Tung Koay-Hiap benar-benar lihai, siauwmoi (menyebut diri sendiri yang berarti adik perempuan muda) benar-benar merasa takluk!"

   Setelah kedua orang itu pergi, Khu Sin menubruk kawannya itu dan mengucurkan air mata.

   "Tiong San... Tiong San, apakah yang telah terjadi dengan kau? Mengapa kau bisa menjadi seorang pendekar yang begini hebat? Ah... Tiong San..."

   Kemudian pemuda ini teringat akan nasibnya sendiri dan nasib Thio Swie, maka ia lalu menangis seperti anak kecil.

   "Eh, anak gila!"

   Tiong San menghibur kawannya dan sebutan "Gila"

   Ini baginya merupakan sebutan mesra sebagaimana suhunya selalu menyebutnya.

   "Jangan menangis seperti perempuan saja!"

   Khu Sin sadar dan segera menyusut air matanya, lalu ia menarik tangan Tiong San menuju ke bangunan di sebelah kiri dan berkata,

   "Bagus kau datang, Tiong San. Agaknya hanya kau yang dapat mengobati penyakit Thio Swie!"

   "Thio Swie sakit!"

   "Semacam penyakit yang sukar diobati,"

   Kata Khu Sin dan ia tidak memberi kesempatan kepada Tiong San untuk bertanya lagi, akan tetapi langsung membawa Tiong San ke kamar Thio Swie. Begitu Khu Sin membuka daun pintu dan melangkah masuk, ia disambut oleh maki-makian nyaring oleh Thio Swie,

   "Bangsat, pengkhianat berhati rendah! Kau berani masuk ke sini! Setelah kau mencuri Siu Eng, kau... kau..."

   Tiba-tiba ia terbelalak memandang kepada wajah Tiong San yang berdiri tersenyum memandangnya.

   "Thio Swie, kau lebih gila dari pada yang kuduga semula!"

   Kata Tiong San sambil memandang dengan penuh kasih sayang kepada sahabat karibnya yang dulu selalu bergembira dan berseri, akan tetapi yang sekarang nampak kusut dan pucat itu.

   "Kau... kau... Tiong San... !"

   Seperti Khu Sin, pemuda ini menubruk Tiong San, memeluk dan menciuminya sambil mengucurkan air mata.

   "Eh, eh, kalian berdua memang benar-benar gila! Gila dan cengeng! Kenapa bertangis-tangisan tidak keruan?"

   "Tiong San..."

   Kata Thio Swie sambil menangis.

   "Betapa aku takkan menangis? Semenjak kau pergi, sahabat karibku hanyalah Khu Sin seorang, dialah orang satu-satunya yang menjadi curahan hatiku, yang menjadi penasehat dan teman berunding! Akan tetapi bagaimana kenyataannya...? Ia, kawanku ini... ia telah merampas kekasih hatiku, telah membujuk dan mencuri hati Siu Eng dengan cara yang amat rendah... ia... ia..."

   

Suling Emas Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini