Ceritasilat Novel Online

Pendekar Gila Dari Shantung 8


Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo Bagian 8



"Ha ha ha! Mari, mari! Inilah daging dan tulangku, boleh kalian suguhkan kepada kaisar! Ha ha, daging dan tulang-tulangku untuk hidangan kaisar, ha ha ha!"

   Ketawanya makin mengerikan, tetapi makin perlahan. Semua pengeroyoknya merasa ngeri melihat kakek yang tubuhnya sudah menerima tusukan dan bacokan-bacokan itu masih saja berdiri sambil tertawa terkekeh-kekeh. Mereka menjadi gentar sendiri dan melangkah mundur. Tetapi, biarpun semangat dan jiwanya tak terluka, ternyata jasmani Thian-Te Lo-Mo tak dapat menahan keluarnya darah sekian banyaknya. Ia roboh dengan mulut masih tertawa dan menghembuskan nafas dengan bibir masih tersenyum. Kakek ini biarpun mati dalam keadaan rusak tubuhnya, tetapi benar-benar ia mati dengan hati lapang dan gembira! Ketika menggendong gadis itu dan melarikan diri melalui pintu belakang dapur istana, Tiong San diserbu oleh belasan orang penjaga.

   Akan tetapi sambil mempermainkan cambuknya, pemuda itu berhasil melewati mereka dan terus melompat naik ke atas genteng. Tiba-tiba ia mendengar suara suhunya sehingga tak terasa pula kakinya berhenti. Hatinya seperti disayat-sayat pisau ketika mendengar semua ucapan suhunya itu, lebih-lebih mendengar suara ketawa suhunya yang makin lama makin lemah. Ia tak kuat mendengarkan lagi dan melanjutkan larinya dengan air mata meleleh di pipinya. Ia merasa betapa tubuh gadis yang digendongnya itu ringan dan mendatangkan kehangatan yang aneh dalam tubuhnya. Bau harum yang menyengat hidungnya membuat ia merasa bulu tengkuknya berdiri. Ingin ia melemparkan gadis itu ke bawah genteng, tetapi ia teringat akan pesan suhunya, dan pula ia tidak sudi melakukan hal yang rendah dan jahat itu,

   Maka ia mempercepat larinya, sehingga gadis itu terpaksa harus memicingkan matanya karena ngeri dan takut, serta mempererat rangkulan tangannya pada leher Tiong San yang membuat pemuda itu makin tidak enak hatinya. Berkat ketangkasannya, cegatan-cegatan para penjaga dapat dilaluinya dengan mudah dan tak lama kemudian Tiong San dapat membawa gadis itu sampai keluar kota. Ia berlari terus karena hendak menghindarkan diri dari para pengejarnya dan setelah tiba di sebuah hutan, ia menurunkan gadis itu dengan kasar ke atas tanah. Gadis itu yang masih merasa gelisah dan khawatir serta penuh kengerian karena dibawa lari secepat itu, belum tahu bahwa pemuda itu menghendakinya turun, maka ia masih saja merangkulkan lengannya pada leher Tiong San dalam kekhawatirannya kalau-kalau jatuh terlempar.

   "Turunlah!"

   Bentak Tiong San dengan kasar dan gadis itu buru-buru melepaskan rangkulannya dan turun. Ketika Tiong San membalikkan tubuh dan memandangnya, ia merasa betapa ia telah berlaku terlalu kasar. Ternyata bahwa gadis itu berpakaian sebagai pelayan di dalam istana. Pakaiannya rapi dan indah, sikapnya halus sekali dan wajah gadis itu menunjukkkan kehalusan budinya. Tak dapat disebut terlalu cantik, lebih sesuai disebut manis. Apalagi sepasang matanya yang bening itu menyinarkan pandangan yang amat halus sehingga pandangan mata itu sekali gus banyak mengurangi kemarahan dalam hati Tiong San terhadapnya.

   "Siapakah kau dan mengapa suhu sampai suka mengorbankan nyawanya untuk keselamatanmu?"

   Tanya Tiong San sambil merengut. Gadis itu merasa betapa dirinya dibenci dan mendapat perlakuan kasar, maka ia menundukkan kepalanya dengan hati sedih sekali, tetapi ia menahan sekuat tenaga agar jangan sampai mengucurkan air mata. Ia menggigit bibirnya yang tipis, lalu menjawab,

   "Bukan maksudku demikian. Adalah suhumu sendiri..., ia terlalu mulia... ah, aku benar-benar menyesal bahwa diriku yang hina dina ini sampai menimbulkan malapetaka kepada kau dan gurumu..."

   "Sudahlah jangan banyak menyinggung hal yang tak kusukai itu! Paling baik lekas kau ceritakan apa yang telah terjadi sebelum aku datang ke dapur itu!"

   Suara Tiong San masih tetap keras dan bengis. Untuk sesaat gadis itu menatap wajah Tiong San, lalu berkata,

   "Aku bernama Siang Cu, she Gan..."

   Ia mulai menutur, tetapi Tiong San segera memotongnya.

   "Aku tidak perduli kau bernama siapa dan she apa!"

   "Habis, dari mana aku harus bercerita?"

   "Ceritakan siapa yang melukai suhu dan bagaimana terjadinya!"

   "Suhumu dikeroyok oleh para perwira dan wanita cacad mukanya itu. Tadinya suhumu mengamuk dan semua perwira tidak ada yang berani mendekatinya, kemudian datang wanita itu dan anehnya, suhumu tidak melawan, sehingga wanita itu dapat menusuk dadanya dengan pedang dan..."

   "Keparat!"

   Tiong San memaki marah.

   "Aku harus menolong suhu dan membunuh wanita jahanam itu!"

   Setelah berkata demikian, Tiong San melompat dan berlari cepat, kembali ke kota raja!

   Ketika ia tiba di atas dapur istana, ternyata bahwa semua perwira telah pergi, meninggalkan jenazah Thian-Te Lo-Mo dalam tangan para pelayan yang ditugaskan mengurusnya. Bukan main marah dan sedihnya hati Tiong San. Ia berseru keras dan melompat turun dengan cambuk di tangan. Cambuknya digerakkan dan semua pelayan itu lari pontang-panting, beberapa orang di antaranya terjungkal terkena ujung cambuk. Melihat bahwa di situ tidak ada perwira-perwira yang menjadi musuhnya, ia lalu menyambar tubuh suhunya yang sudah rusak itu dan membawanya lari melompat ke atas genteng kembali. Ketika ia sampai di hutan itu, ternyata Siang Cu masih berada di situ, duduk dengan muka gelisah di bawah pohon. Ia segera berdiri ketika melihat Tiong San datang dan ketika melihat tubuh Thian-Te Lo-Mo yang rusak di dalam pondongan pemuda itu, Siang Cu menangis sedih.

   "Mengapa pula kau menangis? Suhu menjadi begini karena kau!"

   "Kalau kau merasa kesal bunuhlah aku sekali! Aku lebih senang mati agar nyawaku dekat dengan nyawa Lo-Inkong ini, agar ada yang menjadi sahabatku..., di dunia ini tidak ada orang yang berhati mulia yang sanggup membelaku selain Lo-Inkong ini..."

   Tangis Siang Cu. Mendengar ucapan ini, Tiong San tertegun dan berkata,

   "Tahan air matamu dan jangan banyak cakap!"

   Kemudian Tiong San menggali tanah di bawah pohon dengan sebatang kayu, karena ia tidak mempunyai senjata tajam. Tentu saja amat sukar menggali tanah hanya dengan sebatang kayu yang biarpun sudah dibikin runcing dan dipergunakan dengan tenaga besar, namun terlampau kecil untuk dapat menggali tanah. Tanpa banyak cakap Siang Cu mencabut keluar sebuah pisau dari pinggangnya dan mulai membantunya. Biarpun senjata di tangan Siang Cu jauh lebih baik dari pada kayu di tangan Tiong San, tetapi karena gadis itu bertenaga lemah, maka tiap kali ujung pisaunya mengenai batu yang di bawah tanah, ia mengeluh kesakitan. Melihat ini, Tiong San berkata,

   "Ke sinikan pisau itu dan kau tak perlu membantu!"

   Gadis itu memberikan pisaunya dan lalu duduk berlutut di dekat mayat Thian-Te Lo-Mo sambil mengusir lalat yang mulai datang merubungi tubuh itu. Biarpun sukar dan lama, akhirnya selesai juga penggalian lubang itu dan sambil menangis tersedu-sedu Tiong San lalu mengubur jenazah suhunya, dibantu oleh Siang Cu. Mereka berdua tidak mengeluarkan sepatah katapun, hanya diam-diam bekerja menguruk jenazah itu dengan tanah. Sampai lama keduanya berlutut di depan kuburan itu, kemudian Tiong San berkata,

   "Suhu mengorbankan nyawanya untuk kau, seorang perempuan! Yang melukai suhu juga seorang perempuan pula! Alangkah jahatnya orang-orang perempuan!"

   Ia memandang kepada Siang Cu dan bertanya,

   "Sekarang kau ceritakan, bagaimana asal mulanya maka kau sampai bertemu dengan suhu?"

   Siang Cu memandang kepada Tiong San, tetapi bibirnya tidak menyatakan sesuatu, namun matanya seakan-akan menegur pemuda itu dan seakan-akan berkata,

   "Hm, kau akhirnya ingin tahu juga?"

   "Seperti kukatakan tadi, aku bernama Siang Cu dan she Gan!"

   Sampai di sini gadis itu berhenti bicara dan mengerling kepada Tiong San, seakan-akan menanti reaksi dari pemuda itu. Akan tetapi oleh karena pemuda itu mendengar penuturannya sambil menundukkan muka dan tidak berkata atau menyela barang sepatah katapun, ia melanjutkan ceritanya dan kisahnya seperti berikut. Gan Siang Cu semenjak masih kecil telah dijual oleh orang tuanya yang miskin kepada seorang pembesar kota raja.

   Pembesar ini berhati baik dan mendidiknya dengan berbagai kepandaian, sehingga setelah dewasa. Siang Cu terkenal pandai ilmu kesusastraan dan juga pandai mengatur rumah tangga serta kerajinan tangan, pendeknya segala kepandaian wanita terpelajar telah dipelajarinya dengan baik. Karena ia rajin, baik dan sopan santun serta berwatak bersih, ia menarik perhatian permaisuri kaisar ketika Siang Cu diperbantukan dalam sebuah pesta untuk melayani permaisuri itu. Permasisuri suka kepadanya karena biarpun Siang Cu berasal dari dusun, tetapi tingkah lakunya amat sopan dan menyenangkan. Maka ia diminta oleh permaisuri bekerja di istana sebagai pelayan, dan akhirnya ia mendapat kekuasaan untuk memeriksa segala hidangan untuk kaisar dan permaisuri, berhak mengatur dan memilih hidangan sehari-hari.

   Siang Cu tidak begitu cantik, akan tetapi ia mempunyai gaya tersendiri yang penuh daya tarik. Seratus persen wanita yang diidam-idamkan setiap laki-laki. Tubuhnya berpotongan indah, mukanya cukup manis karena selalu dihias oleh senyum sopan dan ramah, matanya memancarkan kebahagiaan hidup dan kehalusan budi. Hal ini menarik hati seorang pangeran yang tinggal di istana itu, yakni putera kaisar yang lahir dari seorang selir. Beberapa kali pangeran ini menggodanya, akan tetapi dengan bijaksana dan tidak menyakiti hati, Siang Cu dapat menghindarkan diri dari bujukan-bujukan pangeran muda ini. Akhirnya hal ini diketahui oleh ibu pangeran atau selir kaisar itu yang segera mempergunakan pengaruhnya untuk memaksa Siang Cu menjadi bini muda atau selir puteranya yang belum kawin!

   Siang Cu tentu saja menolak keras, tetapi sebagai seorang pelayan yang betapapun tinggi kedudukannya ia masih terhitung seorang budak atau hambah sahaya, bagaimana ia dapat menolak dan kepada siapa ia harus minta perlindungan? Demikianlah, ia melarikan diri ke dalam dapur dengan ketakutan dan dikejar-kejar oleh para perwira yang dikerahkan oleh pangeran itu! Kebetulan sekali, pada saat itu, Thian-Te Lo-Mo telah dua hari bersembunyi di dalam dapur. Tak seorangpun melihatnya karena kakek ini bersembunyi di balik tiang-tiang penglari yang besar! Dan pada waktu dapur itu ditinggalkan orang, barulah ia keluar dan menyapu semua hidangan yang serba lezat! Ketika Thian-Te Lo-Mo melihat seorang gadis berlari masuk sambil menangis, ia menjadi heran sekali. Kemudian dilihatnya tiga orang perwira mengejar masuk, seorang di antaranya tertawa-tawa dan berkata,

   "Nona, mengapa kau lari pergi? Bukankah senang menjadi selir seorang pangeran muda yang tampan? Ha ha ha!"

   Perwira kedua juga tertawa dan menyindir.

   "Ah, kau seperti tidak tahu saja, twako. Seekor kuda betina yang liar harus dibikin jinak dulu dengan cambuk! Biarlah aku menangkapnya!"

   Sambil berkata demikian, ia melangkah maju, tetapi tiba-tiba Siang Cu mencabut pisau yang disembunyikannya di balik ikat pinggangnya. Gadis itu mengangkat pisau dan berkata,

   "Dari pada mendapat hinaan dari pangeran, lebih baik aku mati!"

   Dan sekuat tenaga Siang Cu lalu menusukkan pisau itu ke dadanya sendiri.

   Akan tetapi, tiba-tiba bayangan hitam menyambar dari atas dan tahu-tahu pisaunya telah lenyap terlepas dari tangannya. Gadis itu terkejut sekali. Demikian pula para perwira karena bayangan tadi yang sebenarnya ujung cambuk Thian-Te Lo-Mo, bekerja amat cepatnya, sehingga tidak terlihat oleh mereka. Tiba-tiba terdengar suara ketawa menyeramkan tanpa kelihatan orangnya, dan sebelum tiga orang perwira itu tahu apa yang terjadi, kembali bayangan hitam berkelebat dan tiga orang perwira itu memekik kesakitan karena muka telah terluka dan menjadi matang biru kena cambuk Thian-Te Lo-Mo hingga membuat garis memanjang pada muka mereka. Karena terluka dan diserang oleh sesuatu yang tidak kelihatan, ketiga orang perwira yang tak berapa tinggi ilmu kepandaiannya itu, segera angkat kaki melarikan diri sambil berseru-seru,

   "Ada setan...! Ada setan...!"

   Terdengar lagi gelak tertawa dari dalam dapur. Siang Cu juga tidak melihat Thian-Te Lo-Mo, maka ia lalu berlutut dan memuji,

   "Po-kong (malaikat pelindung keselamatan) yang mulia, terima kasih atas pertolongan ini, semoga Po-kong selanjutnya melindungi hamba..."

   Akan tetapi, suara tertawa itu mengeras dan seorang kakek melompat turun sambil berkata,

   "Anak gendeng, kau benar-benar gila! Masa aku kau sebut malaikat? Ha ha ha! Jangan kau takut, anak baik, aku akan membela dan melindungimu, tak kalah dengan perlindungan Po-kong sendiri! Ha ha ha!"

   Sementara itu berita tentang adanya "Setan"

   Di dapur istana, segera terdengar oleh semua orang. Juga perwira-perwira kelas satu setelah mendengar hal ini dan ketika melihat bekas luka di muka ketiga orang perwira penjaga itu, mereka menjadi pucat dan Im-Yang Po-San Bu Kam berkata,

   "Thian-Te Lo-Mo! Ayoh kita serbu dia!"

   Maka berlarianlah para perwira kelas satu, dipimpin oleh Bu kam, menyerbu dapur itu. Melihat pintu dapur tertutup, Bu Kam dan kawan-kawannya tidak berani berlaku lancang dan sembrono untuk memasuki tempat itu, hanya berdiri di depan pintu dengan senjata di tangan.

   "Thian-Te Lo-Mo, keluarlah kau!"

   Teriak Im-Yang Po-San Bu Kam sambil menggerak-gerakkan sepasang kipasnya yang lihai.

   "Bagaimana, Lo-Inkong (tuan penolong tua),"

   Kata gadis itu dengan tubuh menggigil.

   "Mereka telah datang, mereka adalah perwira-perwira kerajaan yang terkenal gagah perkasa... Lo-Inkong, biarkan aku mati membunuh diri saja dan kau lebih baik lekas pergi sebelum mereka mencelakakan kau!"

   "Ha ha, gadis gila, kau kira aku bisa melihat kau mati membunuh diri begitu saja? Tidak, selama aku masih bernafas, kau tak kubiarkan bunuh diri. Kau anak yang baik...."

   "Lo-Inkong, jangan..., jangan kau hadapi mereka! Mati bagiku bukan apa-apa, lekaslah kau pergi dan kembalikan pisauku!"

   Siang Cu mendesak, tetapi tiba-tiba Thian-Te Lo-Mo membentak,

   "Jangan membantah! Kau tinggal saja di sini dan aku akan menghadapi mereka di luar dapur!"

   Setelah berkata demikian sambil tertawa terbahak-bahak ia menerjang keluar sambil mengayunkan cambuknya. Pertempuran terjadi amat hebatnya dan Siang Cu yang ingin melihat keadaan penolongnya, lalu mengintai dari balik daun pintu. Bukan main kagumnya ketika melihat betapa cambuk panjang di tangan kakek itu mengamuk hebat seperti naga sakti menerjang mega. Para perwira terdesak mundur oleh amukan ini yang disertai suara ketawa menyeramkan. Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang wanita baju putih yang rupa mukanya mengerikan sekali karena cacad bekas bacokan pedang, telah berdiri di situ dengan pedang di tangan.

   "Kui Hong San! Aku datang untuk membalas sakit hatiku!"

   Seru wanita itu dan ketika mendengar bentakan ini, tiba-tiba Thian-Te Lo-Mo menjadi pucat sekali. Cambuk ditangannya tergantung dengan lemah dan ia sama sekali tidak bergerak, hanya menatap wanita itu dengan tarikan muka seakan-akan merasa sakit sekali.

   "Cui Sian... kau... kau...?"

   Katanya dengan suara amat lemah dan gemetar. Akan tetapi ucapannya ini disambut dengan sebuah tusukan pedang pada dadanya oleh wanita itu! Thian-Te Lo-Mo sama sekali tidak mengelak atau menangkis dan setelah Cui Sian mencabut kembali pedangnya yang telah berlumur darah, tubuh Thian-Te Lo-Mo terhuyung-huyung ke belakang. Sesudah itu Cui Sian dan perwira-perwira itu berlalu. Akan tetapi anehnya ia masih tertawa gelak-gelak sambil menekan luka pada dada dengan tangan kiri dan tangan kanan masih memegang cambuknya.

   "Ha ha ha! Cui Sian... saat ini telah lama kunanti-nantikan! Kau sudah membalas dengan satu tusukan maut! Ha ha, kau sungguh baik hati dan pemurah! Bacokan pedang yang membuat kau bercacad selama hidupmu kau balas dengan tusukan pedang yang akan menamatkan nyawaku dalam beberapa detik lagi! Ha ha, kita sudah impas, hutangku kepadamu telah kubayar dengan darahku di ujung pedangmu! Ha ha ha!"

   Sementara itu, ketika Siang Cu melihat betapa penolongnya telah kena tusuk dadanya sehingga terluka, menjerit,

   "Lo-Inkong..."

   Dan dengan nekat gadis itu lalu berlari menghampiri, memegang lengan tangan Thian-Te Lo-Mo dan menariknya ke dalam pintu dapur kembali. Gadis itu lalu memasang palang pintu dapur yang kuat dan segera menolong dan merawat luka di dada Thian-Te Lo-Mo. Kakek itu rebah di lantai dengan lemah, tetapi ia masih tersenyum.

   "Kau gadis baik... kau anak baik... aku suka padamu... sudah, jangan ributkan luka kecil ini. Lebih baik kau panaskan masakan-masakan itu karena telah berhari-hari ku makan dalam keadaan dingin. Kurang sedap!"

   "Nanti, Lo-Inkong, nanti kuhangatkan masakan itu, tetapi biarlah kurawat dulu lukamu ini..."

   Kata Siang Cu sambil menahan air matanya karena ia merasa amat terharu. Telah lama ia rindu akan ayah bunda yang tak dikenalnya sama sekali dan kini kakek yang berani mempertaruhkan jiwa untuk melindunginya ini bagaikan seorang ayahnya sendiri. Ia merasa amat sayang kepada kakek ini dan juga kagum dan kasihan.

   "Baiklah, baiklah... kau boleh cuci dan balut, tapi takkan ada gunanya... ujung pedang Cui Sian telah melukai paru-paruku dan takkan dapat diobati lagi... Eh, anak gendeng, Cui Sian itu dulu kekasihku, dia baik dan mulia hatinya, cuma agak keras kepala... Nanti akan kuminta kepadanya supaya suka menolongmu keluar dari sini... Kalau kau sudah tertolong, pergilah ke rumah penginapan Thian-an-kwan. Rumah penginapan itu kepunyaan paman seorang pemuda bernama Khu Sin. Katakan bahwa kau adalah kawan baik dari Khu Sin, Thio Swie dan Tiong San. Tentu kau akan ditolongnya..."

   Sementara itu, para perwira, dan juga Cui Sian, kembali lagi di muka pintu kamar di mana Thian-Te Lo-Mo berada yang kini sudah di palang dari dalam, maka mereka tidak berani secara sembrono mendorong pintu memaksa masuk karena mereka maklum bahwa biarpun telah mendapat luka, kakek itu masih berbahaya sekali, maka mereka hanya berteriak-teriak dari luar menyuruh kakek itu keluar dan menyerahkan gadis pelayan itu kembali kepada mereka.

   Dan pada saat Siang Cu merawat luka di dada Thian-Te Lo-Mo, datanglah Tiong San sebagaimana yang telah dituturkan di atas. Tiong San mendengarkan semua penuturan Siang Cu itu dengan muka cemberut tanpa berani menentang pandangan mata gadis itu. Sebetulnya saja, ia hanya dapat memperlihatkan muka masam apabila ia tidak menatap wajah gadis itu, oleh karena tiap kali ia bertemu pandang, sinar mata gadis yang lemah lembut dan halus itu seakan-akan menembus matanya dan langsung menyerang ke dalam hatinya dan dapat mengintai di dalam dadanya bahwa sebenarnya ia sama sekali tidak mempunyai alasan untuk benci atau marah kepada gadis ini. Apabila ia menatap wajah gadis ini, ia tidak mungkin menaruh perasaan yang tidak enak terhadapnya.

   "Semua gara-gara perempuan,"

   Katanya seorang diri.

   "Kawan-kawanku Khu Sin dan Thio Swie hampir menjadi korban perempuan, dan suhuku tewas karena gara-gara perempuan pula. Perempuan hanya merusak kehidupan seorang gagah!"

   Sambil berkata demikian, Tiong San berdiri. Ia menjura ke kuburan suhunya dan berkata keras,

   "Suhu, teecu sudah memenuhi pesanmu. Gadis ini telah teecu bawa keluar dari kota raja, sekarang teecu hendak mencari musuh suhu, perempuan jahat yang telah membunuh suhu untuk membalaskan dendam ini!"

   Ia tidak melihat betapa Siang Cu memandangnya dengan amat khawatir dan gelisah. Mata gadis ini menyatakan permohonan agar ia jangan ditinggalkan seorang diri di dalam hutan itu, akan tetapi keangkuhan hati Siang Cu tidak mengijinkannya membuka mulut!

   Setelah Tiong San berlutut di depan makam suhunya, pemuda itu lalu melompat dan berlari pergi, sama sekali tidak mau menengok kepada Siang Cu. Gadis itu memandang dengan bengong dan pucat, mengikuti bayangan pemuda itu dengan pandangan matanya, sama sekali tidak berdaya. Setelah bayangan pemuda itu lenyap, barulah ia menubruk gundukan tanah di mana jenazah Thian-Te Lo-Mo terkubur, menangis tersedu-sedu dan mengeluh dengan amat sedihnya. Air matanya yang semenjak tadi ditahan-tahannya, kini membanjir keluar dari kedua matanya. Sementara itu, Tiong San berlari meninggalkan hutan itu dengan pikiran ruwet dan hati tidak keruan rasa. Ia ingin melupakan wajah Siang Cu, akan tetapi sinar mata yang halus itu seakan-akan terus mengikutinya. Di sekelilingnya sunyi senyap tak terdengar sesuatu, akan tetapi langkah kakinya seakan-akan mengeluarkan bisikan,

   "Kau kejam... kau kejam... kejam... kejam..."

   Suara ini mengikutinya tepat di belakang punggungnya, membuat bulu tengkuknya berdiri. Ia tidak tahu bahwa itu adalah suara dari liangsimnya (hati nuraninya) sendiri. Akhirnya ia tidak tahan pula dan cepat membalikkan tubuh dan berlari ke dalam hutan. Siang Cu menderita bukan main karena ditinggalkan seorang diri di dalam hutan. Apakah yang dapat diperbuatnya? Ke mana ia harus pergi? Akhirnya gadis ini setelah puas menangis, lalu teringat kepada pisaunya.

   "Lo-Inkong,"

   Ia meratap di depan makam Thian-Te Lo-Mo.

   "Aku... aku tak berdaya..., aku takut...! Lo-Inkong, tunggulah, aku ikut...!"

   Ia lalu memegang belati itu kuat-kuat dan menusuk dadanya sendiri! Akan tetapi, seperti yang terjadi ketika ia hendak membunuh diri di dalam dapur istana, kembali berkelebat bayangan hitam dan tahu-tahu belatinya telah terlepas dari tangannya. Ketika ia memandang dengan kaget dan seram karena mengira bahwa kakek itu hidup kembali. Ia melihat Tiong San telah berdiri tak jauh darinya.

   "Gadis gendeng... gadis gila...!"

   Pemuda itu berkata perlahan yang mengingatkan Siang Cu kepada suara dan sikap Thian-Te Lo-Mo. Tiong San mengambil pisau itu dari ujung cambuknya dan memasukkan pisau itu ke dalam saku bajunya.

   "Gadis gila..."

   Kembali ia berkata. Siang Cu sama sekali tidak mau terlihat oleh Tiong San bahwa ia telah menangis, maka ia cepat pergunakan kedua tangan untuk menghapus sisa-sisa air mata dari kedua pipinya dan cepat bangun berdiri.

   "Kau datang kembali mau apa? Mengapa kau mencampuri urusanku? Aku... aku tidak minta pertolonganmu..., aku... aku..."

   Akhirnya ia tak dapat menahan air matanya dan cepat-cepat ia membalikkan tubuhnya agar jangan terlihat oleh pemuda itu bahwa ia betul-betul menangis.

   (Lanjut ke Jilid 08)

   Pendekar Gila Dari Shantung (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08

   "Aku datang kembali bukan untuk menolongmu,"

   Kata Tiong San yang merasa girang bahwa gadis itu berdiri membelakanginya, sehingga ia tak usah menakuti mata yang halus itu dan gadis itu takkan dapat melihat betapa ia merasa amat kasihan dan terharu! "Aku hanya teringat bahwa tidak selayaknya seorang gadis yang lemah seperti kau ditinggal seorang diri di tengah hutan. Sekarang katakan, apa yang harus kulakukan? Ke mana kau hendak pergi dan aku akan mengantarkanmu ke tempat tujuanmu itu. Hanya untuk mengantarkan sampai di tempat tujuanmu, lain tidak!"

   Dengan gerakan perlahan, Siang Cu memutar kembali tubuhnya dan kini ia menghadapi Tiong San. Pemuda itu menekan perasaan herannya ketika melihat betapa kini bibir gadis itu tersenyum.

   "Gadis gila...!"

   Tak terasa pula ia berkata dan Siang Cu tersenyum makin lebar, lalu tertawa seakan-akan ia dikitik-kitik dan merasa geli sekali!

   "Ah, eh, mengapa kau tersenyum-senyum dan tertawa-tawa? Kau benar-benar gila!"

   Akan tetapi, dimaki gila beberapa kali itu bukannya marah, Siang Cu bahkan nampak makin geli.

   "Kalau aku gila, kau juga gila!"

   Jawabnya dengan halus.

   "Kau hendak mengantarkanku? Tak perlu. Kalau kau memang tidak mau meninggalkanku sendiri di dalam hutan liar ini, carikanlah satu stel pakaian laki-laki untukku. Tak usah yang baik-baik, pakaian yang telah usang saja, asalkan pakaian laki-laki. Hanya itu permintaanku kalau kau suka menolong, dan... lain tidak!"

   Tiong San menjadi heran, tetapi ia dapat menduga bahwa gadis itu tentu hendak melanjutkan perjalanan dengan menyamar sebagai seorang laki-laki! Diam-diam ia memuji keberanian dan kecerdikan Siang Cu, maka ia lalu berkata,

   "Tunggu sebentar, akan kucarikan pakaian itu untukmu!"

   Tubuhnya lalu berkelebat pergi dengan cepat sekali, sehingga Siang Cu memandangnya dengan amat kagum dan untuk beberapa lama gadis itu termenung dalam kebingungan, membanding-bandingkan pemuda itu dengan Thian-Te Lo-Mo karena ia tidak tahu, mana yang lebih kukoai (aneh) dan gila antara guru dan murid itu! Tak lama kemudian, benar saja Tiong San kembali sambil membawa satu stel pakaian laki-laki, pakaian petani berwarna biru muda yang masih cukup baik dan belum ada tambalannya. Ia memberikan pakaian itu kepada Siang Cu dan suaranya benar-benar mengandung penyesalan ketika ia berkata,

   "Sayang aku tak dapat mencarikan yang lebih baik. Orang-orang dusun di luar hutan itu kesemuanya petani-petani yang tidak kaya!"

   "Bagaimana kau memperoleh pakaian ini?"

   "Mengapa kau bertanya? Aku... aku mengambilnya dari sebuah rumah petani."

   "Mencuri...?"

   Gadis itu membelalakkan kedua matanya dan pakaian yang dipegangnya itu tak terasa pula terlepas dari tangannya dan jatuh ke atas tanah.

   "Biarpun mencuri, akan tetapi aku yang melakukannya, bukan kau!"

   Kata Tiong San dengan mendongkol dan mukanya berobah merah. Siang Cu merogoh saku bajunya sebelah dalam dan mengeluarkan tiga potong uang perak.

   "Tidak boleh, kau harus membayarkan uang ini kepada pemilik pakaian. Aku belum pernah memakai barang curian!"

   "Aku tak mau!"

   "Kalau begitu, akupun tidak mau memakai pakaian ini!"

   Tiong San menarik napas panjang dan menerima uang itu.

   
Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Baiklah, nanti akan kubayarkan uang ini kepadanya."

   Siang Cu tersenyum girang dan diam-diam Tiong San merasa heran mengapa iapun merasa amat girang oleh karena gadis itu percaya kepadanya, sama sekali tidak meragukan bahwa uang itu akan betul-betul dibayarkan kepada petani yang ia curi pakaiannya itu!

   "Pakaian itu amat buruk,"

   Katanya pula.

   "Siapa bilang? Ini terlalu bagus untukku,"

   Kata Siang Cu yang segera membawa pakaian itu ke tanah bekas galian di mana terdapat tanah-tanah lempung yang agak basah, lalu ia... menggosok-gosokkan pakaian itu ke dalam tanah lempung!

   "Kau gendeng!"

   Kata Tiong San, akan tetapi, ia segera teringat bahwa di dalam penyamaran, memang lebih tepat apabila seorang petani muda pakaiannya berlumur tanah! Kembali ia memuji kecerdikan gadis itu, tentu saja hanya di dalam hati karena mulutnya ia kunci rapat-rapat.

   "Kau pergilah dulu, aku hendak bertukar pakaian,"

   Kata Siang Cu dan mukanya tiba-tiba berobah merah. Tiong San juga menjadi malu dan mukanya menjadi merah sampai ke telinga. Ia masih berdiri di tempatnya, hanya memutar tubuh membelakangi gadis itu.

   "Siapa yang ingin melihat kau bertukar pakaian?"

   Katanya mendongkol. Biarpun Tiong San sudah memutar tubuh, akan tetapi Siang Cu masih belum puas kalau belum bersembunyi di belakang sebatang pohon besar. Di balik pohon itu ia mengganti pakaiannya, menanggalkan pakaian luar lalu menutup pakaian dalamnya dengan pakaian petani yang telah menjadi kotor berlumpur itu. Sambil berganti pakaian, berkali-kali ia mengintai dari balik batang pohon dan berkali-kali berkata,

   "Awas, belum selesai, jangan menengok dulu!"

   Diam-diam Tiong San menjadi mendongkol dan juga geli. Bencinya terhadap gadis ini banyak berkurang, meskipun ia masih merasa tak senang kepada kaum wanita yang dianggapnya telah merusak hidup orang-orang yang dikasihinya.

   "Sekarang kau boleh menengok!"

   Kata Siang Cu dan ketika Tiong San berpaling, ia hampir pangling. Di depannya berdiri seorang petani muda yang amat tampan.

   "Bagaimana? Sudah patutkah aku menjadi seorang pemuda tani?"

   Tiong San memandang penuh perhatian dan lupa akan "Bencinya"

   Tadi, ia membantu untuk mencari-cari apa yang kiranya perlu diperbaiki dalam samaran itu.

   "Wajahmu...""

   Katanya.

   "Mengapa wajahku?"

   Tanya Siang Cu cepat-cepat dan otomatis tangan kirinya naik untuk mengusap pipinya.

   "Wajahmu terlalu cakap untuk seorang petani muda... eh, maksudku... hm... terlalu... terlalu putih dan halus kulit mukamu..."

   Muka Tiong San menjadi merah sekali karena ucapan itu benar-benar amat sukar keluar dari mulutnya dan ia benci kepada dirinya sendiri untuk mengeluarkan ucapan yang didorong-dorong oleh hatinya sendiri. Siang Cu tersenyum.

   "Mudah sekali kalau hanya itu..."

   Gadis itu lalu mengambil tanah lempung dan segera membedaki mukanya dengan tanah! Kini mukanya menjadi kotor berlumpur, hanya matanya saja yang tidak berubah, masih bening dan bersinar halus.

   "Sayang..."

   Tiba-tiba kata-kata ini hanya terloncat keluar dari mulut Tiong San.

   "Apanya yang sayang?"

   Tanya Siang Cu cepat. Ingin Tiong San menampar mulutnya sendiri. Menurut kata hatinya, ia hendak menyatakan sayang karena kulit muka yang putih halus itu dirusak dengan lumuran lumpur hingga menjadi kotor. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau mengucapkan kata-kata ini dan untung bahwa ia masih dapat mengekang lidahnya dan hanya mengucapkan kata-kata "Sayang"

   Tadi! Kini Siang Cu mengajukan pertanyaan yang membuatnya menjadi bingung dan terpaksa ia menjawab dengan gagap.

   "Yang sayang... itu loh... eh, rambutmu...!"

   "Rambutku...? Mengapa rambutku?"

   Kembali otomatis tangannya diangkat dan menyentuh rambutnya yang hitam dan panjang.

   "Rambutmu terlalu... halus dan panjang, tak pantas dimiliki oleh seorang petani muda!"

   "Begitukah? Coba kau ke sinikan pisauku tadi!"

   "Tidak boleh! Kau akan berbuat gila dengan pisaumu tadi."

   Siang Cu tersenyum dan mukanya yang sudah kotor berlumur lumpur itu masih nampak manis karena terlihat giginya yang putih bersih dan rata.

   "Kalau aku hendak membunuh diri, masa aku harus menyamar dulu? Ke sinikan, hendak kupakai memotong rambutku!"

   "Tidak boleh, kau tidak boleh pegang pisau tajam."

   "Kalau begitu, tolong kau potongkan rambutku ini, agar jangan terlalu panjang dan untuk menyempurnakan penyamaranku."

   Sambil berkata demikian Siang Cu cepat mengulurkan rambutnya yang panjang kepada Tiong San. Pemuda itu ragu-ragu dan menyesal melihat rambut yang demikian indahnya di potong, akan tetapi ia tidak mau memperlihatkan kemenyesalannya dan segera mencabut pisau tadi dan sekali ia menyabet, putuslah rambut yang panjang itu dan kini menjadi pendek.

   "Nah, sekarang penyamaranku pantas, bukan?"

   Kata gadis itu dengan suara menahan isak. Sesungguhnya, bukan main sakit hatinya melihat rambut yang tadi masih menghias kepalanya kini melingkar di atas tanah. Hati gadis mana yang tak merasa sedih?

   "Sudah baik sekarang,"

   Kata Tiong San singkat.

   "Nah, selamat berpisah, kita mengambil jalan masing-masing,"

   Kata Siang Cu yang segera pergi meninggalkan tempat itu menuju ke kota raja kembali!

   Kini dia yang meninggalkan Tiong San dan pemuda itu untuk beberapa lama berdiri bengong sampai bayangan Siang Cu lenyap di balik pohon. Ia memandang ke arah rambut gadis itu yang tadi terputus dan kini merupakan ular hitam melingkar di atas tanah. Bagaikan orang tak sadar, ia membungkuk, memungut rambut itu dan bersama pisau belatinya ia masukkan ke dalam saku baju sebelah dalam. Kemudian ia lalu melompat dan berlari cepat dengan tujuan mencari Si Cui Sian, wanita bermuka cacad yang telah membunuh suhunya untuk membalas dendam. Dalam penyelidikannya, Tiong San mendengar bahwa Si Cui Sian setelah berhasil membunuh bekas kekasihnya, yakni Thian-Te Lo-Mo, lalu kembali ke selatan, ke tempat tinggalnya, yakni kota Liang-hu. Akan tetapi, ketika ia menyusul ke sana, ia mendengar bahwa wanita itu kabarnya telah pergi ke pegunungan Tai-san di Shan-Tung!

   Ia merasa heran sekali mengapa wanita itu pergi ke tempat tinggal Thian-Te Lo-Mo. Apakah kehendak wanita itu? Akan tetapi ia tidak mau memusingkan hal ini dan langsung menuju ke Shantung, menyusul jejak wanita itu. Pada suatu hari, ia tiba di sebuah hutan di luar kota Cin-An. Ia mendengar suara minta tolong. Ia segera berlari menuju ke arah suara itu dan melihat betapa serombongan orang sedang dikepung oleh perampok-perampok kejam! Para pengawal rombongan itu yang terdiri dari piauwsu-piauwsu (pengawal/penjaga keamanan di jalan) dengan berani mengadakan perlawanan. Akan tetapi oleh karena kawanan perampok itu banyak jumlahnya, lagi pula dipimpin oleh orang-orang yang berkepandaian tinggi, maka mereka terdesak hebat dan beberapa orang piauwsu telah menderita luka-luka.

   "Perampok gila, mundur semua!"

   Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan sebatang cambuk yang bergerak-gerak bagaikan naga menyambar, telah membuat banyak senjata perampok itu terlempar ke udara. Para perampok tentu saja tidak takut akan serbuan hanya seorang pemuda saja, tetapi ketika cambuk itu menyambar cepat, terdengar teriakan-teriakan mereka kesakitan dan muka para perampok itu seorang demi seorang menerima "Hadiah"

   Cambukan, sehingga terluka memanjang pada muka yang mengeluarkan darah atau menjadi matang biru! Tiga orang kepala rampok dengan marah menyerbu ke depan. Akan tetapi mereka inipun berseru keras dan mundur kembali oleh karena kedatangan mereka disambut oleh ujung cambuk dan mengalirlah darah dari muka mereka ketika ujung cambuk itu menyabet dan memecahkan kulit muka mereka!

   Memang, menghadapi kepala-kepala rampok ini, Tiong San sengaja memberi "Hadiah besar"

   Sehingga muka mereka mengeluarkan darah. Dalam hal membagi-bagi hadiah, suhunya mempunyai tiga istilah, yakni hadiah kecil yang hanya membuat muka bergaris merah, hadiah sedang yang lebih keras dan membuat muka lawan menjadi matang biru dan terasa sakit sekali, tetapi juga tidak mengeluarkan darah, dan ketiga hadiah besar yang dilakukan dengan tenaga lebih keras sehingga kulit muka lawan menjadi pecah oleh ujung cambuk dan mengeluarkan darah serta terasa perih dan sakit sekali! Melihat kelihaian pemuda itu serta menyaksikan cara bertempurnya yang mempergunakan cambuk panjang, tiba-tiba mereka insyaf dan serentak para perampok berseru,

   "Shan-Tung Koai-Hiap...!"

   Seruan ini menyatakan keterkejutan dan ketakutan hebat dan mereka segera lari cerai berai masuk ke dalam hutan yang lebat! Memang untuk daerah Shan-Tung, nama Shan-Tung Koai-Hiap telah terkenal sekali dan ditakuti orang, sungguhpun Tiong San belum banyak memperlihatkan kepandaiannya! Berita akan kelihaian Shan-Tung Koai-Hiap dan bahwa pendekar itu adalah murid Thian-Te Lo-Mo, cukup menggentarkan hati setiap penjahat. Maka begitu mendengar nama ini diserukan orang dan melihat betapa segebrakan saja pemuda itu berhasil membuat muka ketiga kepala rampok terluka, semua perampok kehilangan semangatnya dan mereka lari dengan ketakutan! Para piauwsu juga terkejut sekali mendengar disebutnya nama ini dan mereka lalu menghampiri Tiong San dan menjura dengan hormat sekali. Pemimpin rombongan piauwsu itu berkata kepada Tiong San dengan sikap hormat.

   "Tak disangka bahwa kami akan mendapat bantuan yang amat berharga dari koai-hiap, sungguh-sungguh kami berterima kasih sekali. Koai-hiap masih begini muda tetapi telah memiliki kepandaian yang demikian lihai luar biasa, sungguh-sungguh membuat kami yang tua-tua merasa kagum!"

   Oleh karena semenjak dulu mengikuti suhunya yang sama sekali tidak suka akan segala penghormatan, maka Tiong San lalu tertawa karena geli hatinya.

   "Ha ha ha! Kalian benar-benar berotak miring! Untuk apa segala macam omong kosong ini? Lebih baik lekas tolong kawan-kawanmu yang terluka dan melanjutkan perjalanan."

   Semua piauwsu tidak ada yang berani membantah, dan mereka lalu merawat kawan-kawan yang terluka dan segera bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Ternyata orang-orang yang dirampok itu adalah keluarga Ciu-Wangwe (hartawan Ciu) yang tinggal di kota Cin-An. Hartawan itu turun dari jolinya dan menghampiri Tiong San. Ketika melihat sikap pemuda yang menampik segala ucapan terima kasih dan penghormatan, Ciu-Wangwe lalu menjura dan berkata,

   "Shan-Tung Koai-Hiap, telah lama aku mendengar nama besarmu dan juga nama besar suhumu, Thian-Te Lo-Mo. Karena kebetulan sekali kita bertemu di sini dan agaknya sejurusan perjalanan pula, maka aku mengharap sukalah kiranya kau melakukan perjalanan bersama kami. Pertama-tama untuk mempererat perkenalan kita. Kedua, kami mohon pertolonganmu agar supaya keselamatan kami terjamin."

   Tiong San memandang kepada hartawan itu yang ternyata adalah seorang setengah tua yang berwajah menyenangkan dan dari sikap dan bicaranya, dapat diduga bahwa ia adalah seorang yang berwatak jujur dan terpelajar.

   "Bolehkah aku tahu siapa saudara ini?"

   Tanya Tiong San dan Ciu-Wangwe tersenyum.

   "Tadi aku tidak berani memperkenalkan nama oleh karena apakah artinya namaku bagi seorang gagah seperti kau? Aku adalah Ciu Twan atau untuk penduduk Cin-An cukup dikenal dengan sebutan Ciu-Wangwe. Ya, memang aku seorang hartawan, tetapi ketika dirampok tadi, aku ingin sekali menjadi seorang miskin saja! Semenjak menjadi hartawan, aku selalu menghadapi kesulitan-kesulitan belaka!"

   Ciu-Wangwe menarik napas panjang dan Tiong San merasa makin tertarik kepada orang ini.

   "Kau lucu sekali, Ciu-Wangwe,"

   Katanya sambil tertawa.

   "Akan tetapi aku suka bercakap-cakap dengan orang seperti kau!"

   Mereka segera melanjutkan perjalanan dan Tiong San tidak menolak ketika ia diberi seekor kuda, sehingga ia dapat bercakap-cakap dengan hartawan Ciu itu.

   Nyonya Ciu masih duduk di sebuah joli yang digotong oleh enam orang, dan hartawan Ciu sendiri berganti tempat, tidak mau naik joli karena ia ingin bercakap-cakap dengan Tiong San. Para piauwsu merasa gembira sekali karena pendekar aneh dari Shan-Tung itu suka melakukan perjalanan bersama mereka sehingga mereka tak usah mengkhawatirkan sesuatu lagi. Di sepanjang jalan, Ciu-Wangwe dengan amat jujur menuturkan riwayat hidupnya kepada Tiong San tanpa diminta. Ia menceritakan betapa dulu iapun seorang yang miskin, tetapi berkat kerajinannya dapat menjadi seorang kaya raya. Ia menceritakan pula tentang rumah tangganya, tentang seorang anaknya yang telah menjadi remaja puteri, betapa anaknya itu amat cantik dan pandai ilmu kesusasteraan.

   "Anakku itu adatnya agak kukoai (aneh). Telah berkali-kali datang lamaran orang, tetapi ia berkeras menampik semua pinangan itu biarpun yang mengajukan pinangan adalah pemuda-pemuda kaya raya, bahkan pinangan seorang pemuda bangsawan ia tolak pula! Ahh, aku dan ibunya sudah merasa pusing sekali, tetapi semenjak kecil ia dimanja, maka aku dan isteriku tak dapat berdaya apa-apa! Kalau saja..."

   Ia memandang tajam kepada Tiong San, kemudian menyambung kata-katanya sambil tersenyum.

   "Kalau saja aku bisa mendapat seorang menantu seperti kau... ah, seumur hidupku aku akan merasa senang dan aman!"

   Tiong San tertawa terbahak-bahak sehingga membuat Ciu-Wangwe memandang heran dan ragukan kesehatan otak pemuda itu, karena memang suara ketawa Tiong San amat nyaring dan keras, sehingga para piauwsu pun menengok dan memandang dengan heran!

   "Ciu-Wangwe, kau... gila!"

   Kata Tiong San yang telah menjadi biasa menyebut semua orang dengan makian gila seperti adat gurunya.

   "Aku... aku paling tidak suka kepada wanita apalagi wanita yang pandai, lebih-lebih lagi kalau ia cantik jelita!"

   Kini Ciu-Wangwe yang tertawa geli mendengar ucapan ini.

   "Shan-Tung Koai-Hiap, aku benar-benar suka kepadamu. Kau berbeda sekali dengan pemuda-pemuda lain. Kuharap kau suka bermalam di rumahku di Cin-An agar hatiku puas. Sukakah kau?"

   Melihat sikap hartawan yang amat tulus dan jujur ini, memang Tiong San telah merasa suka dan cocok sekali, maka ia menganggukkan kepalanya dan menjawab,

   "Aku sedang ada urusan penting, yakni mencari seorang di sekitar bukit Tai-san. Karena akupun harus melalui Cin-An, tidak ada halangan apabila aku mampir semalam di rumahmu."

   Ciu-Wangwe merasa girang sekali dan perjalanannya dilanjutkan dengan selamat sampai di Cin-An. Mereka menuju ke gedung Ciu-Wangwe dan hartawan itu selain memberi upah yang telah dijanjikan kepada para piauwsu, juga memberi hadiah ekstra karena ia merasa kasihan kepada para piauwsu yang terluka. Tentu saja para piauwsu itu amat berterima kasih sekali dan memuji-muji kebaikan budi hartawan itu. Hartawan lain tentu akan marah-marah dan menyatakan ketidak puasannya karena terjadinya gangguan perampok yang hampir mencelakakan itu, akan tetapi hartawan ini bahkan memberi hadiah dan ongkos-ongkos pengobatan kawan-kawan mereka yang terluka! Ciu-Wangwe memang mempunyai seorang anak perempuan yang telah berusia delapan belas tahun.

   Gadis ini bernama Ciu Leng Hwa dan semenjak kecil ia memang telah mempelajari ilmu kesusasteraan dengan amat rajinnya. Ia mempunyai otak yang cerdas dan setelah ia menjadi dewasa, ia terkenal sebagai kembang kota Cin-An, baik mengenai kecantikan maupun mengenai kepandaiannya, terutama tulisan-tulisannya yang indah. Sering kali kawan-kawannya minta supaya menuliskan lian (tulisan-tulisan di atas kain yang mengandung arti dan ditulis indah, biasanya berbentuk syair). Ciu-Wangwe suami isteri merasa amat bangga akan puteri mereka ini, tetapi sebagaimana yang diceritakan oleh Ciu-Wangwe kepada Tiong San, gadis ini selalu menolak apabila orang tuanya bicara tentang perjodohan dan pinangan orang kepadanya! Ketika Leng Hwa mendengar dari ibunya bahwa ayah bundanya tadi diganggu perampok dan terjadi pertempuran hebat, ia menjadi khawatir sekali dan berkata,

   "Ah, untung sekali ibu dan ayah tidak sampai mendapat celaka. Kalau terjadi apa-apa, bagaimana dengan... aku? Ah, syukur kepada Thian Yang Maha Kuasa, malam ini kebetulan bulan purnama dan tengah malam nanti aku harus bersembahyang untuk mengucap syukur."

   "Memang kita harus bersyukur, anakku, terutama sekali kepada Shan-Tung Koai-Hiap, karena dialah yang menolong sehingga ayah bundamu masih dapat bertemu dengan kau dalam keadaan hidup!"

   Nyonya Ciu lalu menceritakan betapa pendekar muda itu telah menolong mereka dengan gagahnya.

   "Tak kusangka bahwa seorang pemuda yang begitu halus dan kelihatan lemah, memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Sayangnya... bicaranya aneh-aneh sehingga ayahmu menyangka bahwa ia agak... miring otaknya! Ia ikut datang atas undangan ayahmu dan ayahmu suka sekali bercakap-cakap. Percakapan mereka aneh-aneh sehingga aku tidak mengerti sedikitpun. Coba saja pikir, pendekar yang usianya belum tentu ada dua puluh tahun itu beberapa kali kudengar menyebut ayahmu... gila!"

   Leng Hwa tertarik sekali.

   "Memang kata orang-orang dahulu, orang yang gila paling suka menyebut orang waras gila!"

   Katanya perlahan dan diam-diam ia mempunyai keinginan keras untuk melihat bagaimana macamnya pendekar muda yang amat terkenal itu. Akan tetapi sebagai seorang gadis terpelajar dari keluarga sopan, tentu saja tak mungkin baginya untuk menjumpai seorang tamu laki-laki yang masih muda dan asing pula.

   Malam hari itu, Leng Hwa berada di taman bunga. Memang taman bunga keluarga Ciu-Wangwe amat indah dan terkenal, karena selain Leng Hwa suka sekali kepada kembang-kembang, juga suami isteri Ciu suka berjalan-jalan di situ. Gadis itu menanti datangnya tengah malam di taman itu sambil menghadapi dua helai kain yang disulam indah. Seorang kawannya minta kepadanya untuk menuliskan dua buah syair di atas dua helai kain yang lebar itu. Akan tetapi, entah mengapa, malam hari ini agaknya jalan pikiran gadis ini kurang tenang. Telah lama sekali ia duduk di atas sebuah bangku menghadapi kain yang terbentang di hadapannya tanpa dapat menuliskan sehurufpun. Ia bertopang dagu dan pelayannya duduk tak jauh dari situ, sama sekali tidak berani mengganggu nonanya yang sedang mengasah otak itu.

   Sambil bertopang dagu, Leng Hwa memandang kepada bulan yang nampak bulat dan terang di angkasa raya. Pelayannya, seorang gadis tanggung, memandang nonanya dengan kagum sekali. Karena sedang berdongak, wajah Leng Hwa sepenuhnya ditimpa sinar bulan dan pelayan itu diam-diam berpikir, manakah yang lebih indah, wajah nonanya atau bulan itu! Melihat bulan seakan-akan bergerak di atas awan-awan putih dan kadang-kadang bersembunyi di belakang sekelompok awan hitam. Tiba-tiba Leng Hwa menggerakkan pensil bulunya di atas kain itu. Ia telah mendapat bahan bagi syairnya, ialah bulan itu! Dengan asyiknya ia menulis, sambil mengeluarkan ujung lidahnya yang merah dan kecil itu di ujung bibirnya, mengerahkan seluruh perhatiannya pada pensil bulu yang kini menari-nari di atas kain. Setelah syair itu selesai, ia memandangnya dengan puas, wajahnya berseri-seri.

   "A-Bwe,"

   Ia memanggil pelayannya yang duduk kedinginan karena hawa malam yang sejuk itu membuatnya mengantuk. A-Bwe terkejut dan berdiri.

   "Kau lihat, syair telah selesai sebuah! Coba kau baca keras-keras hendak kudengarkan!"

   A-Bwe memang amat mengagumi syair nonanya dan ia senang sekali membaca syair yang ditulis oleh nonanya. Banyak syair tulisan Leng Hwa telah dapat dibacanya di luar kepala, padahal Leng Hwa sendiri sudah lupa akan bunyi syair-syairnya itu. Akan tetapi ia suka mendengar A-Bwe membaca syairnya karena suara pelayan ini memang merdu dan apabila syairnya dibaca oleh A-Bwe, seakan-akan syair itu menjadi lebih hidup dan indah! A-Bwe berlari-lari menghampiri dan melihat tulisan yang indah itu ia memuji-muji, lalu membaca syair itu dengan suara nyaring dan merdu, penuh perasaan dan gaya serta tekanan suaranya tepat sekali:

   Bulan indah, begitu tinggi dan mulia

   kau menerangi seluruh permukaan dunia

   ratu malam yang megah, cantik jelita

   menyaingi matahari

   raja siang yang jaya!

   namun... sekali terbang lalu

   awan dan mega yang terang

   menjadi gelap, kau tak berdaya...!

   "Bagus, Siocia (nona), bagus! Akan tetapi agak... agak sedih!"

   Akan tetapi, kebetulan sekali memang pada saat itu ada segunduk awan hitam bergerak perlahan menutup bulan.

   "Aku hanya menuliskan keadaan yang sebenarnya A-Bwe. Lihat, agaknya awan hitam itu akan lama menutup bulan karena berkelompok besar, lebih baik kita masuk dulu dan kau sediakan alat-alat sembahyang karena tak lama lagi tengah malam akan tiba. Kalau bulan sudah terang lagi kita kembali ke sini,"

   Kedua wanita itu lalu meninggalkan tempat itu, masuk ke dalam rumah.

   Tak lama setelah mereka pergi, nampak sesosok bayangan berjalan ke tempat itu dan ia berhenti di depan meja, membaca syair yang baru ditulis oleh Leng Hwa tadi. Bayangan ini adalah Tiong San yang juga merasa tertarik oleh bulan purnama dan keluar dari kamarnya untuk menikmati pemandangan dalam taman bunga yang indah itu. Biarpun masih ada awan tipis menutup bulan, dan keadaan tidak sangat terang, akan tetapi matanya yang tajam dapat membaca syair itu dengan terang. Ia merasa tertarik sekali dan melihat bahwa di situ masih ada sehelai kain yang sama ukuran dan bentuknya dengan kain yang sudah ditulisi, dan kain itu masih kosong, tak terasa pula timbul kegemarannya menulis syair.

   Ia pegang pensil bulu, mencelupkannya di tempat tinta, lalu berpikir sebentar sambil memandang kepada syair Leng Hwa tadi, lalu menulis dengan gerakan cepat dan kuat. Baru saja ia selesai menulis, terdengar suara orang mendatangi. Ia terkejut dan sadar bahwa ia telah berlaku lancang, maka cepat-cepat ia melompat ke balik gerombolan pohon bunga dan mengintai. Ternyata yang datang adalah dua orang wanita, seorang gadis cantik diikuti oleh seorang gadis pelayan yang membawa lilin dan dupa. Bulan bersinar penuh dan keadaan menjadi terang sekali. Ketika Leng Hwa tiba di dekat mejanya, ia terkejut sekali dan terdengar ia mengeluarkan seruan tertahan. Mendengar ini A-Bwe berlari menghampiri dan juga pelayan ini menjadi terkejut sekali.

   "Bagus, bagus! Syair ini lebih bagus, Siocia!"

   Kata pelayan itu yang lalu meletakkan barang-barangnya di atas tanah. Kemudian dengan suara nyaring ia membaca syair yang baru saja ditulis oleh Tiong San itu:

   Sungguh! Awan tak mungkin dihindarkan

   namun... awan gelap hanya rintangan

   yang akan lenyap oleh tiupan angin

   gelap sebentar,

   hujan badai boleh menggelegar!

   Sesudah lewat,

   bulan muncul lagi berseri segar!

   matahari akan terbit lagi,

   hangat dan terang!

   "Bagus, Siocia, bagus!"

   Syair ini merupakan pasangan yang cocok sekali dengan syairmu dan sekali gus menghapus kesedihan syairmu itu! Dan tulisannya... alangkah indahnya... tak kalah oleh tulisanmu...!"

   Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Akan tetapi, Leng Hwa merasa marah sekali melihat betapa kain yang masih kosong itu ada orang lain yang lancang tangan menulisi. Ia berdiri tegak dan memandang ke kanan kiri, lalu katanya dengan suara nyaring, tanda kemarahan hatinya.

   "Orang kurang ajar dari manakah yang berani membikin kotor kain ini? Sungguh gila!"

   Tiong San adalah seorang yang berhati tabah dan ia paling tidak suka kalau dianggap kurang ajar dan pengecut, maka mendengar ini ia merasa sudah sepantasnya kalau ia mengakui perbuatannya itu dengan terus terang dan berani. Maka ia lalu muncul keluar dari balik gerombolan pohon kembang itu, sehingga kedua orang wanita itu melangkah mundur dengan terkejut.

   "Nona, akulah yang menulis syair itu!"

   Leng Hwa memandang dengan mata melebar.

   "Kau... siapakah? Dan mengapa kau berani lancang menulis syair ini dan... dan...bagaimana pula kau dapat masuk ke sini...?"

   Harus diketahui bahwa taman bunga itu menjadi satu dengan gedung Ciu-Wangwe dan bahwa sekelilingnya dilingkungi oleh tembok yang amat tinggi dan di luarnya terjaga pula. Tiong San tersenyum,

   "Namaku Tiong San, dan aku menulis syair itu karena merasa tak setuju dengan bunyi syairmu yang memperlihatkan kelemahan hatimu, dan tentang bagaimana aku dapat masuk ke sini, karena memang aku bermalam di gedung ini!"

   "Jadi kau... kau Shan-Tung Koai-Hiap...?"

   Makin lebar mata gadis itu memandang Tiong San. Tak disangkanya sama sekali bahwa pendekar muda yang diceritakan oleh ibunya itu ternyata adalah seorang pemuda yang demikian... tampan dan gagah serta amat indah tulisannya! Dan menurut pandangannya, pemuda ini sama sekali tidak gila.

   "Ada orang yang menyebutku gila,"

   Jawab Tiong San sederhana. Berobahlah sikap Leng Hwa mendengar ini. Bibirnya tersenyum manis dan mukanya berobah merah. Ia tidak berani memandang langsung, setengah menundukkan mukanya. Akan tetapi dari bawah bulu matanya itu kerlingnya menyambar halus.

   "Ah... kalau begitu kau adalah penolong ayah bundaku... silahkan duduk, Taihiap..."

   Tadi ketika Leng Hwa berdiri memandangnya dengan marah dan gadis itu mengeluarkan ucapan-ucapan kasar, ia memandang dengan tertarik juga karena harus diakui bahwa Leng Hwa adalah seorang gadis yang amat cantik jelita.

   Akan tetapi setelah sikap gadis ini berobah kemalu-maluan, tersenyum dan mengerling tajam yang sebetulnya lebih menggiurkan hati laki-laki lagi, Tiong San bahkan timbul rasa tidak senangnya terhadap gadis ini! Dalam hati pemuda ini timbullah perasaan ragu-ragu, karena apabila seorang wanita telah bersikap seperti itu, ia akan amat berbahaya dan hanya mendatangkan bencana saja! Dalam pandangannya, sikap wanita yang seperti ini mengingatkan ia akan seekor ular yang melingkar diam tak bergerak, akan tetapi jangan sangka bahwa ular itu takkan menyerangmu. Sekali kau lalai, ular itu akan menyambarmu. Oleh karena itu, melihat sikap Leng Hwa yang manis itu, tiba-tiba lenyaplah kegembiraannya tadi dan Tiong San segera memutar tubuh sambil berkata,

   "Terima kasih, aku mau kembali ke kamar dan tidur!"

   Tanpa menanti jawaban ia lalu melompat pergi meninggalkan gadis itu yang masih berdiri tercengang.

   "Aduh, Siocia, dia... dia itu... cakap sekali!"

   Kata A-Bwe menggoda nonanya yang sadar kembali dari lamunannya dengan muka makin merah. Dari pandangan mata pelayannya ia maklum akan isi hati A-Bwe, maka ia lalu berkata,

   "Sudahlah, A-Bwe, ayoh kau beres-bereskan meja karena aku hendak mulai bersembahyang!"

   Dan ketika Ciu Leng Hwa, gadis cantik jelita itu mengangkat hio (dupa biting) di depan meja sembahyang,

   

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini