Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemabuk 14


Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



"Bangsat kecil, apakah kau yang bernama Gwat Kong dan yang menyombongkan diri sebagai Kang-lam Ciu-hiap?"

   "Bangsat besar!"

   Gwat Kong balas memaki.

   "Memang cocok sekali watakmu sebagai bangsat besar, datang-datang memaki orang, seperti orang yang miring otaknya."

   "Kang-lam Ciu-hiap! Dengarlah baik-baik. Aku adalah Lui Siok, wakil ketua dari Hek-i-pang di Tong-kwan, sedangkan twako ini adalah Song Bu Cu, ketua dari Hek-i-pang. Kau telah berlaku kurang ajar dan telah menghina Touw Cit dan Touw Tek di Hun-lam. Mereka itu adalah anggauta-anggauta perkumpulan kami."

   (Lanjut ke Jilid 15)

   Pendekar Pemabuk/Kanglam Tjiu Hiap (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 15

   "Pantas, pantas!"

   Gwat Kong mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Pantas saja nama Hek-i-pang dibenci semua orang. Tidak tahunya yang menjadi ketua dan wakil ketuanya orang-orang macam ini."

   "Akupun pernah mendengar tentang kebusukan nama Hek-i-pang,"

   Tiba-tiba Cui Giok ikut bicara.

   "Karenanya sudah lama aku ingin menegurnya. Sekarang pemimpin-pemimpinnya datang menyerahkan diri. Sungguh bagus, tidak usah aku mencapekkan diri mencari."

   Bukan main marahnya Song Bu Cu dan Lui Siok mendengar ucapan kedua orang muda ini.

   "Perempuan busuk!"

   Song Bu Cu membentak.

   "Siapakah kau yang lancang mulut ini?"

   Cui Giok tertawa.

   "Mau tahu aku siapa? Aku adalah malaikat penjaga sungai Yung-ting ini dan aku telah mendapat pesan dari Hay-liong-ong (Raja naga laut yang menguasai air) agar supaya aku menangkapmu dan melemparkan kau ke air agar dosa-dosamu dicuci bersih dengan air sungai ini."

   "Anjing betina!"

   Song Bu Cu memaki dengan marah yang meluap-luap. Belum pernah ada orang yang berani menghina sedemikian rupa. Apalagi seorang dara muda seperti Cui Giok. Maka ia lalu bergerak maju hendak menyerang, akan tetapi ia didahului oleh Lui Siok yang berkata,

   "Twako, biarlah aku yang menangkap domba betina yang pandai berlagak ini. Harap twako membereskan saja Kang-lam Ciu-hiap!"

   Memang Lui Siok berwatak licik. Ia telah mendengar dari Gan Bu Gi tentang kelihaian Kang-lam Ciu-hiap, maka biarpun dulu di depan Gan Bu Gi ia bicara sombong, akan tetapi karena kini Gwat Kong berkawan seorang gadis muda, ia hendak mengambil rsiko sekecil-kecilnya dengan melawan gadis itu. Melawan Kang-lam Ciu-hiap ada bahayanya menderita kalah. Akan tetapi menghadapi gadis muda ini tak mungkin akan kalah, demikian pikirnya.

   Ia bermaksud membikin malu dara muda yang cantik itu, maka begitu ia menubruk maju, ia mengeluarkan ilmu silatnya yang lihai, yakni ilmu tangkap yang disebut Siauw-kin-na-jiu-hoat, sebagaimana pernah ia pergunakan ketika ia melawan Tin Eng. Siauw-kin-na-jiu-hoat ini dilakukan mengandalkan kekuatan jari tangan dan kecepatan gerakan. Setiap tangkapan atau cengkeraman ditujukan kepada jalan darah sehingga sekali saja tangan atau bagian tubuh lain dari lawan kena tertangkap, maka amat sukarlah bagi lawan itu untuk dapat melepaskan diri.

   Sambil berseru keras, Lui Siok menyerang ke arah kedua pundak Cui Giok dan ia merasa bahwa serbuannya ini pasti akan berhasil karena selain ia lakukan dengan amat cepatnya, juga ia melihat betapa gadis itu masih berdiri dengan bertolak pinggang, sama sekali tidak memasang kuda-kuda.

   Sementara itu, Song Bu Cu juga maju menyerbu Gwat Kong. Ketua dari Hek-i-pang terlalu percaya kepada kepandaian sendiri dan ia memandang rendah kepada Gwat Kong yang masih amat muda, maka ia menyerang menggunakan kedua tangannya saja. Melihat betapa pemuda itu dengan sikap sembarangan berdiri dengan kaki kiri di depan dan dua tangan disilangkan di dada, ia lalu memajukan kaki kanan dan memukul dengan gerak tipu Pek-wan-hian-tho (Kerah putih persembahkan buah Tho) dengan maksud untuk menipu. Dan apabila lawannya mengelak sambil mengundurkan kaki kiri, ia akan menyusul dengan kaki kirinya mengirim tendangan dibarengi dengan pukulan tangan kanan.

   Serangan yang dilakukan oleh Lui Siok dan Song Bu Cu datangnya pada saat yang sama, dan keduanya telah merasa yakin bahwa serangan pertama itu tentu akan merobohkan lawan. Akan tetapi, tiga orang anak buah Hek-i-pang dan nelayan tua yang menonton pertempuran itu, tiba-tiba membelalakkan mata dan memandang dengan penuh keheranan ketika serangan itu bukan mengakibatkan robohnya Gwat Kong dan Cui Giok, bahkan tiba-tiba terdengar suara kaget disusul oleh melayangnya tubuh Song Bu Cu dan Lui Siok ke sungai.

   "Byur........ byur .......!!"

   Air memercik ke atas ketika dua tubuh ketua Hek-i-pang itu menimpa air. Song Bu Cu masih untung oleh karena ia terjatuh di air dengan kepala lebih dahulu sehingga ia dapat meluruskan tubuhnya dan kedua tangannya dipergunakan untuk memasuki air dengan baik. Akan tetapi Lui Siok terjatuh dengan pantat lebih dulu sehingga ia merasa pantatnya panas dan pedas.

   Gwat Kong dan Cui Giok saling pandang dengan alis terangkat dan ulut tersenyum geli. Sungguh tak pernah mereka duga bahwa mereka mempunyai maksud dan gerakan yang sama yakni melemparkan kedua lawan itu ke dalam air. Maka tak tertahan pula keduanya tertawa bergelak sambil memandang ke arah dua orang lawannya yang sedang berenang ke pinggir.

   Song Bu Cu dan Lui Siok menjadi marah sekali. Memang tadi mereka telah sangka dan terlalu memandang rendah kepada lawan yang muda-muda ini. Ketika tadi Lui Siok mencengkeram ke arah pundak Cui Giok, gadis itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, akan tetapi mengerahkan seluruh tenaga lweekangnya ke arah pundak dan mengeluarkan ilmu sia-kut-hoat (melepas tulang melemaskan tubuh). Sehingga ketika kedua tangan Lui Siok mencengkeram pundak gadis itu, si Ular Belang terkejut karena kulit pundak gadis itu terasa amat licin dan tak dapat ditangkap. Sebelum ia menginsyafi bahwa ia telah melakukan serangan yang amat berbahaya bagi kedudukannya sendiri, tiba-tiba kedua tangan Cui Giok telah menangkap leher dan bajunya, lalu melontarkan dengan tenaga lweekang hebat ke sungai.

   Adapun Song Bu Cu ketika menyerang Gwat Kong dengan pukulan Pek-wan-hian-tho sama sekali tidak mengira bahwa Gwat Kong sudah dapat menduga maksudnya, maka dengan sengaja pemuda itu melangkahkan kaki kiri ke belakang. Song Bu Cu menjadi girang dan cepat menyusul dengan tendangan kaki kirinya dan pukulan tangan kirinya. Akan tetapi, tiba-tiba Gwat Kong berjongkok meluputkan diri dari pukulan lawan. Adapun kaki kiri Song Bu Cu menyambar kearahnya. Ia menyambut kaki kiri itu dengan tangkapan tangan kanan dan sambil "meminjam"

   Tenaga tendangan lawan, ia membetot dan melontarkan tubuh Song Bu Cu ke dalam air.

   Demikianlah, maka dengan amarah yang menyesakkan pernapasan dan dengan pakaian basah kuyup, Song Bu Cu dan Lui Siok berenang ke pinggir dan melompat ke darat.

   Cui Giok menyambut Lui Siok dengan tertawa mengejek.

   "Nah, baru sekali kau mencuci dosa, masih belum bersih. Masih kurang lama kau mencuci dosamu."

   Gwat Kong menjadi gembira juga mendengar kejenakaan Cui Giok, maka sambil tersenyum-senyum yang memanaskan hati, ia berkata kepada Song Bu Cu,

   "Pangcu (ketua), orang bilang bahwa air sungai Yung-ting ini rasanya asin seperti air laut, betulkah itu?"

   Song Bu Cu dan Lui Siok menjawab ejekan ini dengan mencabut senjata masing-masing. Song Bu Cu mengeluarkan sepasang pedangnya, sedangkan Lui Siok melepaskan sabuk ular belang yang tadi melibat di pinggangnya,

   Gwat Kong dan Cui Giok maklum bahwa kedua orang lawan ini betapapun juga tak boleh di pandang ringan dengan senjata-senjata mereka, maka kedua orang muda itupun lalu mencabut pedang masing-masing. Gwat Kong mengeluarkan Sin-eng-kiam yang bercahaya gemilang sedangkan Cui Giok juga mengeluarkan sepasang pedangnya yakni Im-yang Siang-kiam.

   Berbareng dengan bentakan-bentakan mereka, Song Bu Cu menyerang Gwat Kong sedangkan Lui Siok menyerang Cui Giok. Pertempuran yang amat seru terjadi di pinggir sungai itu. Benar-benar hebat dan menarik, karena Gwat Kong yang berpedang tunggal menghadapi sepasang pedang Song Bu Cu. Sedangkan sabuk ular belang di tangan Lui Siok yang lihai bertemu dengan sepasang pedang pula di tangan Cui Giok.

   Lui Siok adalah seorang murid tertua Kim-san-pai. Maka ilmu silatnya sudah cukup tinggi. Dibandingkan dengan sutenya, yakni Gan Bu Gi, kepandaiannya masih lebih tinggi dan ditambah pula dengan pengalaman bertempur berpuluh tahun, maka ia benar-benar tangguh dan merupakan lawan berat.

   Juga Song Bu Cu lebih lihai lagi. Sepasang pedangnya berputar-putar cepat bagaikan sepasang naga berebut mustika dan sebagai seorang ahli lweekeh yang memiliki ilmu lweekang amat tinggi, maka gerakan sepasang pedangnya itu mengeluarkan angin dingin yang mengerikan.

   Akan tetapi kini kedua orang pemimpin Hek-i-pang itu benar-benar menjumpai batu karang. Betapapun lihainya Song Bu Cu, kini menghadapi Sin-eng Kiam-hoat yang dimainkan oleh Gwat Kong, ia seakan-akan bertemu dengan gurunya. Pedang tunggal Gwat Kong bergerak lebih cepat dan tiap gerakannya merupakan tangkisan dan serangan balasan yang berbahaya sekali sehingga dalam beberapa belas jurus Song Bu Cu telah terdesak mundur dan sepasang pedangnya tertindih, membuat ia sukar sekali mengirim serangan balasan.

   Apalagi Lui Siok. Orang ini setelah bertempur belasan jurus, diam-diam mengeluh dan memaki kepada dirinya sendiri yang dianggapnya goblok dan buta sehingga tadi memilih gadis ini untuk menjadi lawannya. Biarpun ia belum pernah bertempur melawan Gwat Kong, akan tetapi menghadapi kelihaian gadis ini, ia berani bersumpah untuk menyatakan bahwa kepandaian Gwat Kong tak mungkin dapat setinggi gadis ini.

   Sebentar saja gerakan sabuknya menjadi kalut sekali. Sepasang pedang dari Cui Giok yang bergerak dengan tenaga lemas dan keras berganti-ganti membuat Lui Siok menjadi pening kepala dan pandangan matanya menjadi kabur berkunang.

   Cui Giok memang seorang dara yang jenaka sekali dan ia paling suka mempermainkan orang. Apalagi kalau orang itu seorang penjahat yang dibencinya. Bagaikan seekor kucing betina menangkap tikus, ia tidak mau menamatkan riwayat tikus itu demikian saja tanpa dipermainkan terlebih dahulu.

   Kalau ia mau, sudah semenjak gebrakan pertama ia dapat membabat putus sabuk lawannya, atau bahkan melukai tubuh Lui Siok. Akan tetapi ia tidak melakukan hal ini dan sengaja menanti sampai Gwat Kong mengalahkan lawannya lebih dulu. Maka ujung pedangnya hanya "mampir"

   Saja dipakaian lawannya sehingga baju Lui Siok sudah bolong-bolong dimakan ujung pedang. Bahkan kulit tubuhnya di beberapa bagian juga terbawa hingga mengeluarkan darah dan terasa perih sekali.

   Di lain pihak, Gwat Kong tidak mau mempermainkan Song Bu Cu sebagaimana yang dilakukan oleh Cui Giok. Pemuda ini mainkan pedangnya dengan hebat dan mendesak terus sambil mengirim serangan-serangan yang berbahaya. Sungguhpun ia tidak mau melakukan serangan yang mematikan atau membahayakan keselamatan lawannya.

   Ia hanya ingin merobohkan lawannya dengan luka seringan mungkin. Beberapa kali ia berusaha membuat kedua pedang lawan terlepas. Akan tetapi ternyata bahwa usaha ini amatlah sukar. Oleh karena itu Gwat Kong menjadi penasaran sekali. Ia maklum bahwa berkat keuletan lawannya, maka amat sukarlah baginya untuk dapat merobohkan lawan ini tanpa mengirim serangan hebat yang dapat mengakibatkan luka berat atau kebinasaan. Maka setelah berpikir agak lama, Gwat Kong lalu mencabut sulingnya yang disimpan pada buntalan pakaian yang diikat di punggungnya. Kemudian dengan suling di tangan kiri dan pedang di tangan kanan, ia mendesak lagi.

   Bukan main terkejutnya hati Song Bu Cu melihat gerakan suling ini, karena tidak saja hebat dan lihai, bahkan lebih berbahaya agaknya dari pada pedang pemuda itu. Ia tidak tahu bahwa Gwat Kong mainkan sulingnya dengan ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat, ilmu silat tingkat tinggi yang dipelajari dari Bok Kwi Sianjin. Dengan suling dan pedang ditangannya, maka sekali gus pemuda itu telah mainkan Sin-eng Kiam-hoat dan Sin-hong Tung-hoat.

   Sudah tentu Song Bu Cu tidak kuat menghadapi dua ilmu silat yang telah menggemparkan daerah barat dan timur ini. Maka mukanya menjadi pucat dan sepasang pedangnya tak berdaya sama sekali. Pada saat yang tepat, suling di tangan kiri Gwat Kong bergerak menyerang dengan totokan jalan darah di bagian pundak dan pedangnya berkelebat mengancam pergelangan tangan lawan.

   Song Bu Cu menjadi bingung oleh karena gerakan kedua senjata lawannya itu benar-benar tak dapat diduga semula, maka ia terpaksa harus miringkan tubuh ke kiri untuk menghindarkan totokan suling dan menggerakkan siang-kiamnya untuk menangkis sambaran pedang. Akan tetapi pada saat itu ketika kedudukan tubuhnya masih buruk dan lemah, tiba-tiba kaki kanan Gwat Kong menyambar dibarengi dengan ketokan sulingnya pada pergelangan tangan kanan lawannya.

   Song Bu Cu memekik nyaring dan untuk kedua kalinya, tubuhnya yang tinggi itu terlempar ke tengah sungai.

   Cui Giok gelak terbahak melihat hal ini, maka sambil tertawa-tawa ia lalu mempercepat gerakan pedangnya yang menyambar-nyambar dan mengancam ulu hati dan leher lawan bertubi-tubi. Lui Siok merasa bingung dan gelisah sekali, terutama karena ia melihat Song Bu Cu telah dikalahkan, maka sambil menangkis ia main mundur saja tanpa dapat membalas serangan Cui Giok.

   "Hayo mundur! Terus sampai ke sungai. Kau harus mandi sekali lagi!"

   Sambil berkata demikian, pedangnya berkelebat menghadang jalan keluar bagi Lui Siok, sehingga si Ular Belang ini hanya mempunyai sejurus jalan, yakni di belakangnya di mana membentang sungai Yung-ting. Makin cepat Cui Giok berjalan dan mendesak, makin cepat pula ia mundur sehingga akhirnya ia sampai di pinggir sungai itu.

   "Hayo, lekas lompat ke air! Kau harus mandi lagi seperti kawanmu!"

   Karena pedang Cui Giok menyambar-nyambar dengan hebatnya, terpaksa Lui Siok melompat ke belakang dan "byuuur..!"

   Untuk kedua kalinya iapun dipaksa minum air sungai.

   Bukan main hebatnya hinaan yang diderita oleh kedua orang pemimpin Hek-i-pang itu. Mereka adalah jago-jago silat yang terkenal dan ditakuti, dan banyak orang kang-ouw menganggap mereka sebagai ahli-ahli silat berkepandaian tinggi. Siapa nyana bahwa pada hari ini mereka bertemu dengan dua orang muda yang mempermainkan mereka semaunya, seakan-akan mereka adalah dua ekor tikus kecil berhadapan dengan dua kucing besar.

   Lebih-lebih Song Bu Cu. Pangcu ini telah membuat nama besar dan belum pernah ia dikalahkan orang dengan mudah. Kini setelah dipaksa untuk berenang melawan air sungai oleh seorang pemuda yang baru saja muncul di dunia kang-ouw, ia merasa gemas dan marah, sedih, malu dan penasaran sehingga ketika tubuhnya telah timbul dipermukaan air lagi, ia memekik keras dan pingsan.

   Tubuhnya hanyut dibawa air dan baiknya pada saat itu tubuh Lui Siok yang melompat ke air jatuh menimpa badannya yang mulai hanyut. Lui Siok tadinya merasa terkejut sekali dan mengira bahwa yang ditimpa oleh tubuhnya adalah seekor buaya atau ikan besar. Akan tetapi ketika melihat bahwa yang disangka ikan itu bukan lain adalah Song Bu Cu, ia segera menolongnya dan membawanya ke pinggir.

   Ia dan Song Bu Cu lalu ditolong oleh tiga orang anak buahnya dan ketika Lui Siok memandang ke arah kedua orang muda lawannya, ternyata Cui Giok dan Gwat Kong telah naik ke atas perahu dan menyuruh nelayan tua itu mendayung perahu ke tengah. Sepasang anak muda itu berdiri di kepala perahu sambil tersenyum memandangnya. Lui Siok tak dapat berkata sesuatu hanya mendelikkan mata memandang penuh kebencian dan sakit hati.

   Pengalaman dan pertempuran melawan dua orang pemimpin Hek-i-pang itu membuat pergaulan antara Gwat Kong dan Cui Giok makin erat. Sambil menikmati pemandangan yang sungguh indah di sepanjang sungai tiada hentinya mereka membicarakan kedua orang itu sambil tertawa-tawa gembira. Yang lebih gembira lagi adalah tukang perahu yang tua itu. Tiada habisnya ia memuji dan matanya yang sudah tua itu berseri-seri.

   "Seumur hidupku belum pernah aku menyaksikan dua orang muda yang sehebat dan segagah kalian!"

   Katanya sambil mendayung.

   "Kalian merupakan pasangan yang paling cocok dan hebat yang pernah kujumpai, sama gagah, sama elok, pendeknya .... hebat! Anak kalian kelak tentu seorang yang luar biasa dan ...."

   "Hush ...."

   Lopek jangan bicara sembarangan! Kami bukan suami isteri, juga bukan tunangan!"

   Nelayan itu melongo dan memandang dengan heran. Jelas bahwa ia merasa amat kecewa. Adapun Cui Giok ketika mendengar ucapan kakek nelayan itu, merahlah wajahnya sampai ke telinganya. Semenjak saat itu, apabila mata mereka bertemu, Gwat Kong melihat cahaya gemilang yang aneh di dalam manik mata gadis itu, sinar yang sebelumnya tak terlihat olehnya.

   Dan kalau dulu Cui Giok memandangnya dengan berani dan terbuka, kini gadis itu tidak berani menentang pandang matanya terlalu lama. Aneh, pikirnya. Akan tetapi sama sekali ia tidak dapat menduga apakah sebenarnya yang terdapat dibalik sinar mata itu.

   Benar sebagaimana keterangan nelayan tua itu, perjalanan melalui air sungai Yung-ting itu aman dan mnyenangkan. Tidak terdapat gangguan bajak sungai dan mereka kadang-kadang hanya bertemu dengan perahu-perahu nelayan yang menjala ikan. Akan tetapi ketika telah memasuki daerah Kiang-sui yang banyak terdapat hutan-hutan lebat, muncullah bajak sungai yang pernah dituturkan oleh nelayan tua itu kepada mereka.

   Perahu mereka sedang berlayar dengan tenang melalui sebuah hutan dan pada sebuah tikungan yang tajam, ketika perahu mereka baru saja membelok, tiba-tiba mereka berhadapan dengan lima buah perahu besar penuh dengan bajak-bajak sungai.

   "Celaka!"

   Nelayan tua yang mengemudikan perahu kecil itu berseru dengan wajah pucat.

   "Minggirkan perahu ke darat!"

   Kata Gwat Kong yang duduk bersama Cui Giok. Kedua anak muda ini masih tenang saja, bahkan ketika saling pandang, senyum gembira membayang di bibir mereka.

   Perahu-perahu bajak itu ketika melihat calon korbannya mendayung perahu ke pinggir, segera meminggirkan perahu pula dan terdengar seruan-seruan mereka diselingi suara ketawa. Mereka merasa gembira melihat betapa korban-korban mereka itu seperti hendak melarikan diri ke darat. Akan tetapi, alangkah heran mereka ketika melihat sepasang orang muda yang berada di perahu kecil itu setelah melompat ke darat. Bukannya mereka melarikan diri sebagaimana mereka sangka, akan tetapi bahkan berdiri di pantai menanti mereka dengan sikap menantang.

   Kepala bajak ini adalah seorang bermuka hitam bertubuh kurus tinggi. Ia bernama Oey Bong dan telah bertahun-tahun ia hidup sebagai kepala bajak yang ditakuti orang. Tadinya ia bersama anak buahnya berpangkal di sungai Yung-ting dekat kota Kiang-sui. Akan tetapi belakangan ini setelah Kepala daerah Kiang-sui, yakni Liok-taijin, mengerahkan tentara di bawah pimpinan Gan Bu Gi yang pandai untuk menggempurnya, sehingga pasukan bajak itu menjadi kocar-kacir. Terpaksa ia melarikan diri dan kini melakukan pencegatan dan pembajakan di dalam hutan itu.

   Melihat betapa sepasang muda-mudi yang hendak dirampok itu mendarat, Oey Bong lalu mengerahkan anak buahnya untuk mengejar dan iapun terheran-heran ketika melihat sepasang orang muda itu tidak melarikan diri. Maka ia menduga bahwa kedua orang muda itu tentulah memiliki kepandaian.

   Setelah perahunya berada dekat dengan daratan, ia lalu berseru keras dan tubuhnya melompat ke darat dengan gesit. Beberapa orang pembantunya yang juga pandai ilmu silat, lalu melompat pula ke darat dan sebentar saja Gwat Kong dan Cui Giok yang masih tersenyum-senyum itu telah dikurung oleh belasan orang yang dipimpin oleh pemimpin bajak. Para anggauta bajak hanya berdiri mengurung agak jauh sambil bersorak-sorak. Sementara itu, kakek nelayan yang mengantar Gwat Kong, duduk mendekam di dalam perahunya dengan tubuh menggigil ketakutan.

   "Kalian ini orang-orang kasar menghadang perahu kami, mempunyai maksud apa?"

   Tanya Gwat Kong kepada si muka hitam Oey Bong.

   Oey Bong tertawa geli dan kawannyapun tertawa bergelak mendengar pertanyaan ini.

   "Orang muda,"

   Kata Oey Bong.

   "Kami adalah orang baik-baik dan kami takkan mengganggumu, asal saja kautinggalkan semua barang-barangmu, berikut isterimu yang cantik jelita ini!"

   Dengan jari telunjuknya yang panjang, kepala bajak ini menunjuk ke arah Cui Giok.

   Merahlah wajah Cui Giok mendengar ini. Telah dua kali orang menyangka ia dan Gwat Kong sebagai suami isteri. Akan tetapi, kalau persangkaan nelayan tua membuat ia malu dan hanya diam-diam berdebar girang, adalah sangkaan kepala bajak yang amat kasar dan menghina ini membuat ia jadi marah sekali.

   "Anjing bermuka hitam!"

   Ia memaki sambil menuding ke arah muka Oey Bong.

   "Apa sih yang kau andalkan maka anjing buduk macam kau ini berani menjadi kepala bajak sungai?"

   "Ha ha ha!"

   Oey Bong yang dimaki itu tertawa bergelak.

   "Sungguh galak, makin galak makin manis! Kau cocok sekali untuk menjadi permaisuriku. Ha ha!

   "Kurang ajar!"

   Seru Gwat Kong sambil mencabut pedangnya. Hatinya panas dan marah sekali melihat kekurang ajaran bajak itu. Akan tetapi Cui Giok berseru menahannya,

   "Jangan Gwat Kong! Biar aku yang memberi hajaran kepada anjing buduk ini. Kalau dia belum melepaskan dua buah telinganya, aku tak mau ampunkan dia!"

   Cui Giok mencabut sepasang pedangnya.

   Gwat Kong tersenyum.

   "Ah, dasar kau yang sudah bernasib harus kehilangan telinga! Jagalah baik-baik daun telingamu, muka hitam!"

   Sambil berkata demikian, Gwat Kong menggenjotkan kedua kakinya dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas dan ketika para penjahat dengan terkejut memandang ke atas, ternyata pemuda itu telah duduk di atas sebuah cabang pohon yang tinggi.

   Mereka merasa kaget sekali karena gerakan itu saja sudah cukup membuka mata mereka bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada mereka. Akan tetapi telah terlanjur dan karena pemuda yang lihai itu tidak ikut menghadapi mereka, maka Oey Bong lalu mencabut goloknya dan mendahului menyerang Cui Giok.

   Ia maklum bahwa pemuda itu amat lihai, maka lenyaplah keinginannya mengganggu Cui Giok. Ia hendak merobohkan gadis itu terlebih dahulu sebelum pemuda itu turun tangan. Kemudian kalau pemuda itu terlalu lihai baginya, ia akan mengeroyok dengan semua anak buahnya. Cepat sekali ia mencabut golok dan menyerang Cui Giok dengan sebuah sabetan ke arah pinggang. Inilah tipu gerakan Hon-cui-pai-hio (Angin Meniup Daun Tua) yang dilakukan cukup gesit dan kuat.

   Akan tetapi dengan tertawa mengejek, pedang di tangan Cui Giok melakukan gerakan berbareng. Pedang kiri menangkis sambaran golok sedangkan pedang di tangan kanan menghantam ke arah pergelangan tangan lawan. Oey Bong terkejut bukan main dan cepat menarik kembali goloknya untuk menghindarkan tangannya terbabat putus. Akan tetapi percuma saja ia mencoba menghindarkan diri. Oleh karena ujung pedang Cui Giok bagaikan hidup dan bermata. terus mengikuti pergelangan tangannya dengan kecepatan yang menyilaukan mata, maka Oey Bong menjadi makin gelisah.

   "Lepaskan golok!"

   Cui Giok membentak dan Oey Bong merasa betapa pergelangan tangannya menjadi perih sekali karena telah tertempel oleh mata pedang yang tajam. Ia tak dapat berbuat lain dan terpaksa melepaskan goloknya. Dalam kegugupannya, ia berteriak memberi komando kepada kawan-kawannya.

   "Serbu!"

   Setelah berteriak, kepala bajak yang licik ini lalu melompat mundur hendak lari.

   Kawan-kawannya yang semenjak tadi telah berdiri dengan senjata di tangan, segera maju menyerbu, mengeroyok Cui Giok. Akan tetapi gadis itu berseru keras dan begitu tubuhnya berkelebat, maka terdengarlah seruan kaget dan pedang atau golok di tangan para bajak itu beterbangan ke atas, ada yang patah, ada yang mencelat berikut jari-jari tangan yang terbabat putus. Jerit dan pekik terdengar dan keadaan menjadi amat gaduh. Oey Bong masih mencoba untuk melarikan diri, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring di belakangnya,

   "Anjing muka hitam! Tinggalkan dulu dua telingamu!"

   Sebelum ia dapat mengelak, tiba-tiba kedua telinganya mendengar sambaran angin yang luar biasa dan tiba-tiba ia merasa kepalanya menjadi sakit dan perih di kanan kiri. Ketika ia menggunakan kedua tangan untuk meraba ia menjerit keras karena daun telinga di kanan kiri kepalanya benar-benar telah lenyap. Oey Bong berhenti berlari dan membalikkan tubuh. Ia melihat gadis yang luar biasa itu telah berdiri dengan tertawa bergelak sedangkan daun telinganya telah putus dan kini berada di depan kakinya.

   Melihat ini, makin sakitlah rasanya kepala yang luka itu. Maka tanpa dapat dicegah lagi, ia lalu menjatuhkan diri berjongkok dan mengaduh-aduh seperti seekor anjing kena gebuk.

   "Nah, siapa lagi yang sudah bosan mempunyai daun telinga?"

   Seru Cui Giok sambil memalangkan pedangnya di depan dada.

   Para pemimpin bajak telah merasai kelihaian nona itu karena tadi ketika mereka menyerbu, dalam segebrakan saja gadis itu telah berhasil merampas senjata dan melukai beberapa orang, maka kini tak seorang pun berani bergerak. Juga anak buah bajak yang tadinya bersorak-sorak, kini berdiri bagaikan patung, sama sekali tak berani bersuara maupun bergerak.

   Nelayan tua yang tadinya ketakutan, dengan memberanikan hati ia merangkak ke pinggir dan menyaksikan pertempuran itu. Kini ia menjadi lega dan girang bukan kepalang, maka ia lalu bangun berdiri dan dengan dada terangkat tinggi-tinggi dan kaki melangkah tetap, ia menghampiri kepala bajak dan kawan-kawannya. Sambil bertolak pinggang ia lalu berkata dengan suara keras,

   "Nah, biarlah kali ini kalian mendapat pelajaran dan kapok. Kalian telah banyak mengganggu orang, banyak membunuh nyawa orang-orang tak berdosa. Kalau sekarang mendapat hukuman sebesar ini boleh dikatakan masih ringan dan terlalu murah. Jangan anggap bahwa di kolong langit ini tidak ada orang yang gagah seperti siocia dan kongcu ini. Tadi baru siocia sendiri yang turun tangan, kalau kongcu ikut marah, mungkin kepala kalian ini semua telah putus. Tidak berlutut minta ampun sekarang, mau tunggu kapan lagi?"

   Bentakannya terakhir ini amat berpengaruh karena tiba-tiba semua anggauta bajak itu lalu menjatuhkan diri berlutut dan minta ampun. Bukan main senangnya hati kakek itu. Belum pernah ia mengalami hal seperti itu dan karena para bajak itu berlutut di depannya, maka ia merasa seakan-akan menjadi seorang raja. Ia lalu berkata lagi dengan suara gagah,

   "Mulai sekarang jangan kalian berani sekali lagi mengganggu lalu lintas di sungai Yung-ting ini. Ketahuilah aku adalah kawan baik sepasang pendekar ini. Aku tukang perahunya dan kalau kalian mengganggu perahuku dan perahu kawan-kawanku. Tentu kedua pendekar gagah ini akan datang untuk menghukum kalian.

   Kemudian ia berkata kepada Cui Giok dan Gwat Kong,

   "Jiwi yang mulia, marilah kita melanjutkan perjalanan kita!"

   
Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Melihat sikap nelayan tua ini, Cui Giok dan Gwat Kong tertawa geli dan merasa lucu sekali. Akan tetapi mereka menganggap bahwa sikap nelayan tua itu bukan tak ada artinya bagi keselamatan para nelayan. Maka Gwat Kong hendak memperkuat ucapan nelayan tadi. Ia melompat turun bagaikan seekor burung garuda, kemudian menghampiri sebatang pohon yang besarnya sepelukan lengan.

   "Ucapan lopek ini harus kalian perhatikan dan taati, karena kami tidak mengancam kosong belaka. Kalau kalian melanggar, inilah contohnya!"

   Dengan tangan kanannya, Gwat Kong lalu memukul batang pohon itu dengan tangan dimiringkan sambil mengerahkan ilmu keraskan tangan Cin-kong Pek-ko-jiu.

   "Kraaak!"

   Batang pohon itu terpukul patah dan dengan mengeluarkan suara keras pohon itu tumbang.

   Para bajak melihat ini dengan muka pucat dan mata terbelalak. Batang pohon yang besar dan kuat itu sekali pukul saja patah, apalagi tubuh atau leher mereka. Maka mereka kembali mengangguk-anggukan kepala bagaikan ayam mematuk beras dan mulut mereka tiada hentinya minta ampun sambil berjanji akan mentaati larangan mengganggu sungai Yung-ting.

   Gwat Kong, Cui Giok dan nelayan tua itu lalu berjalan kembali ke perahu mereka. Nelayan tua itu berjalan dengan lenggang dibuat-buat, kepala dikedikkan dan dadanya yang kurus ditonjolkan dengan perasaan seakan-akan dialah yang menjadi pendekar gagah dan mengalahkan semua bajak kejam itu.

   Pelayaran itu dilanjutkan dengan penuh kegembiraan. Makin lama, hubungan antara kedua orang muda itu makin erat dan ternyata mereka saling cocok. Terutama sekali Cui Giok. Nona ini tidak saja merasa kagum melihat Gwat Kong akan tetapi juga api asmara telah membakar dan berkobar-kobar di dalam dadanya. Kalau dahulu dengan pedang ia sukar dirobohkan oleh Gwat Kong, sekarang ia roboh betul-betul dan merasa bahwa tanpa Gwat Kong di dekatnya, hidup akan sunyi tak berarti baginya.

   Oleh karena itu semenjak gangguan bajak-bajak sungai, mereka tidak mendapat gangguan lain, maka pelayaran berjalan lancar dan cepat. Apabila malam tiba, mereka berhenti di pinggir sungai, membuat api unggun dan tidur di bawah pohon. Kadang-kadang Cui Giok tidur di dalam perahu.

   NELAYAN tua itu membawa bekal beras dan dialah yang masak nasi dan memanggang ikan yang mereka dapat memancing di sungai. Kadang-kadang Gwat Kong atau Cui Giok pergi ke hutan dekat sungai untuk mencari binatang hutan seperti kijang, kelinci, ayam hutan dan lain-lain untuk dimakan dagingnya bersama nasi. Memang enak sekali makan di tempat-tempat terbuka, dekat api unggun itu!"

   "Nah, untuk mencari kota Kiang-sui, dari sinilah yang paling dekat."

   Ia menunjuk ke arah bukit di dekat pantai.

   "Dengan mengambil jalan mengitari bukit di depan itu, lalu membelok ke kanan, maka paling jauh enam atau tujuh li, kongcu akan tiba di Kiang-sui."

   Gwat Kong memandang kepada Cui Giok dan aneh sekali, kembali gadis itu nampak muram dan cemberut.

   "Cui Giok, apakah kau mau ikut ke Kiang-sui?"

   Tanyanya manis.

   Dara itu menggelengkan kepala.

   "Pergilah, biar aku menanti di sini saja!"

   "Apakah kau tidak merasa kesal menanti seorang diri di sini? Tempat begini sunyi, jauh dari perkampungan,"

   Kata Gwat Kong sambil memandang ke sekeliling. Memang di situ sunyi, yang nampak hanyalah pohon dan bukit-bukit.

   Di dalam hatinya Cui Giok maklum bahwa ia tentu saja akan merasa kesal, akan tetapi mulutnya berkata.

   "Mengapa kesal? Di sini ada lopek dan aku bisa memancing ikan!"

   Tetap saja Gwat Kong merasa tidak puas dan tidak enak hati untuk meninggalkan Cui Giok, maka ia membujuk lagi,

   "Apakah tidak lebih baik kau ikut saja, Cui Giok? Kau bisa melihat-lihat keindahan kota, mungkin ada barang-barang yang kau sukai, kau dapat berbelanja dan ....."

   "Sudahlah,"

   Cui Giok memotong.

   "Kau pergilah sendiri karena kau mempunyai kepentingan di sana.

   "Kau mempunyai sahabat-sahabat baik di sana. Aku tidak mempunyai kenalan, untuk apa aku harus pergi ke sana pula? Aku akan menunggu di sini saja!"

   "Siocia berkata benar,"

   Tiba-tiba nelayan tua itu ikut bicara.

   "Memang sudah menjadi kelaziman bahwa wanitalah yang selalu harus menanti dengan sabar."

   Gwat Kong dan Cui Giok memandang kepada kakek nelayan itu.

   "Eh, lopek apa maksudmu?"

   Tanya Gwat Kong.

   Karena sepasang anak muda itu memandangnya dengan mata tajam penuh pertanyaan, kakek ini menjadi gugup.

   "Aku ..... aku teringat akan permainan anak wayang yang kutonton belum lama ini .... kata-kata siocia yang hendak menunggu tadi mengingatkan aku akan nyanyian yang diucapkan oleh pelaku cerita sandiwara itu."

   Kakek itu berhenti dan tertegun karena ia telah mengeluarkan kata-kata yang makin mempersulit kedudukannya.

   Bagaimana nyanyiannya? Coba kau jelaskan lopek,"

   Cui Giok juga mendesak.

   "Ah .... eh ..."

   Ia ragu-ragu, akan tetapi kemudian berdehem untuk menetapkan hatinya, lalu berkata.

   "Cerita itu adalah cerita tentang dua orang sahabat baik seperti kongcu dan siocia ini. Si teruna hendak pergi meninggalkan si dara dan nyanyian dara itu begini,

   "Pergilah kanda, pergilah ke kota raja,

   Dinda akan menanti dengan setia,

   Pergilah dengan hati ringan, kanda!

   Seribu tahun dinda akan menanti juga!

   "Ah, lopek! Gwat Kong mencela.

   "Aku tidak pergi ke kota raja, juga tidak pergi lama. Bagaimana kau bisa membandingkan kami dengan mereka?"

   "Akupun takkan menanti sampai seribu tahun!"

   Cui Giok mencela.

   Kakek itu hanya tertawa dan karena kata-kata nelayan itu membuat menjadi merah muka, maka Gwat Kong segera melompat ke darat dan setelah berkata.

   "Aku pergi takkan lama!"

   Ia lalu pergi dengan berlari menuju ke bukit itu.

   Nelayan tua itu dan Cui Giok memandang sampai bayangan Gwat Kong lenyap di balik bukit. Nona itu masih berdiri termenung sehingga ia terkejut ketika nelayan itu berkata,

   "Dia seorang pemuda yang baik, seorang calon suami yang sukar dicari bandingannya!"

   Cui Giok memandang nelayan itu dengan mata tajam.

   "Lopek, jangan kau bicara sembrono. Gwat Kong hanya sahabatku belaka. Sahabat yang kebetulan melakukan perjalanan yang sama."

   Nelayan tua itu menarik napas panjang.

   "Aku sudah tua siocia. Mataku menjadi tajam karena pengalaman. Aku berani menyatakan bahwa siocia tertarik kepada pemuda itu. Tak usah membantah siocia. Aku pernah mempunyai anak perempuan yang juga jatuh hati kepada seorang pemuda. Akan tetapi oleh karena aku yang bodoh menghalanginya. Akhirnya ia jatuh sakit dan ... meninggal dunia ...."

   Kakek itu menjadi berduka dan wajahnya muram.

   Tadinya Cui Giok hendak marah, akan tetapi ketika kakek itu berkata tentang anaknya, gadis ini menjadi tak tega hati.

   "Aku tidak begitu bodoh untuk menyinta seorang pemuda yang sudah mempunyai kekasih, lopek."

   Mendengar ini, kakek itu memandang dengan sinar mata yang demikian lembut dan penuh iba, sehingga tanpa disadarinya dua butir air mata menitik turun dari mata Cui Giok. Gadis ini buru-buru membalikkan tubuh, duduk di tepi perahu dan menatap air sungai dengan pikiran melayang jauh.

   Gwat Kong berlari cepat mengitari bukit itu dan benar saja, tak lama kemudian nampaklah tembok kota Kiang-sui di depan matanya. Hatinya berdebar ketika ia melihat kota yang pernah ditinggalinya sampai beberapa tahun itu dan teringatlah ia kepada Tin Eng. Bagaimana kalau ia mengunjungi gedung Liok-taijin? Apakah pembesar itu masih marah kepadanya? Ia teringat pula kepada Gan Bu Gi yang pernah menyerang dan hendak menangkapnya. Ia lalu turunkan pedang dan menggantungkan sarung pedang Sin-eng-kiam di pinggangnya. Tadi ia sengaja membawa pedang yang biasanya disimpan dalam bungkusan pakaian ini, untuk menjaga kalau-kalau terjadi sesuatu. Ia tak perlu menyembunyikan kepandaiannya lagi, bahkan kalau perlu ia hendak memperlihatkan kepada Liok-taijin bahwa dia bukanlah Gwat Kong si pelayan yang bodoh dan lemah.

   Kota Kiang-sui tidak banyak berubah semenjak ditinggalkan. Keadaannya masih tetap ramai, bahkan restoran-restoran besar makin banyak dikunjungi orang. Gwat Kong berjalan-jalan melihat-lihat kota, bahkan ia berjalan di jalan raya depan gedung Liok-taijin. Akan tetapi pada saat ia berjalan lewat di depan gedung itu, ia tidak melihat seorangpun di depan gedung. Ia tidak berani masuk karena apakah yang akan dijadikan alasan untuk memasuki rumah itu? Bagaimana kalau ia diusir seperti pengemis?

   Gwat Kong lalu menuju ke sebuah restoran besar yang dulu hanya dilihat dari luar saja. Ia maklum bahwa masakan restoran ini amat lezat dan mahal. Ia dahulu hanya dapat merasai masakan restoran ini apabila Liok-taijin membeli masakan dari situ dan ia mendapatkan sisanya. Kini ia ingin masuk dan membeli masakan sendiri, ingin duduk di bangku menghadapi meja di restoran yang besar dan mewah itu.

   Restoran besar itu mempunyai tiga ruang dan karena ruang di sebelah kanan dan tengah sudah padat dengan tamu-tamu, Gwat Kong lalu melangkah memasuki ruangan sebelah kiri. Baru saja kakinya melangkah ke ambang pintu, ia mendengar ribut-ribut di ruang itu dan ketika ia memandangnya, alangkah terkejutnya melihat dua orang pemuda yang masih dikenalnya, yakni Pui Kiat dan Pui Hok kedua orang murid Hoa-san-pai yang pernah bertemu dengannya dahulu itu duduk menghadapi meja dan sedang dibentak-bentak oleh seorang setengah tua yang berjenggot runcing.

   "Kalian ini bajingan-bajingan kecil sungguh menjemukan sekali!"

   Si jenggot runcing itu membentak-bentak.

   "Tidak tahukah kau siapa aku? Apakah kalian mencari mampus? Aku tahu bahwa kalian selalu mengikuti rombonganku semenjak dari Keng-hoa-bun sampai ke Kiang-sui. Aku sengaja mendiamkan saja karena menyangka bahwa kalian hanya dua orang penjahat tangan panjang. Akan tetapi sampai sekarang kalian tidak bergerak, bahkan masih terus mengintaiku. Sekarang, katakanlah terus terang apakah kehendakmu? Awas, kalau tidak berkata terus terang, kepalanku akan meremukkan kepalamu berdua seperti ini!"

   Sambil berkata demikian, si jenggot runcing itu menggunakan kepalan tangannya ditekukkan dengan perlahan pada ujung meja di mana kedua saudara Pui itu duduk dan .... hancurlah kayu tebal itu bagaikan terpukul dengan penggada baja.

   Gwat Kong merasa amat terkejut melihat kehebatan tenaga orang itu dan melihat demonstrasi ini saja ia maklum bahwa kedua murid Hoa-san-pai itu bukanlah lawan orang yang kosen ini. Maka ia lalu melangkah maju dan pada saat itu melihat seorang lain duduk menghadapi meja di belakang si jenggot runcing yang sedang marah itu. Orang ini bukan lain adalah Gan Bu Gi yang berpakaian sebagai panglima besar yang indah dan mentereng. Akan tetapi Gwat Kong tidak memperdulikan. Gan Bu Gi hanya langsung menghampiri meja. Pui Kiat dan Pui Hok, sengaja menuju ke depan si jenggot runcing itu dan berdiri membelakanginya.

   "He, saudara2 Pui!"

   Tegurnya keras.

   Pui Kiat dan Pui Hok masih duduk dengan muka pucat. Mereka tidak mengira sama sekali bahwa diam-diam Ang Sun Tek yang memimpin pasukan dan menawan Tin Eng itu mengenal mereka dan tahu bahwa mereka mengikutinya sampai ke Kiang-sui. Karena terkejut, heran dan gelisah, mereka tadi duduk diam saja bagaikan patung tak tahu harus berbuat apa.

   Melihat pukulan Ang Sun Tek pada meja, mereka terkejut dan percaya kepada penuturan Kui Hwa bahwa Ang Sun Tek memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada mereka. Maka mereka berdua menjadi gentar juga. Selagi Pui Kiat dan Pui Hok tercengang dan mencari-cari alasan untuk menjawab, tiba-tiba muncul Gwat Kong di depan mereka.

   Untuk beberapa lama mereka tidak mengenal Gwat Kong, akan tetapi Pui Kiat lalu teringat akan pemuda aneh dan lihai yang pernah menolong mereka ketika mereka terdesak oleh Bong Bi Sianjin.

   "Ah, Bun-taihiap!"

   Katanya girang sekali. Bagaimana pemuda ini selalu muncul pada waktu mereka terancam bahaya? "Kau dari mana? Silahkan duduk!"

   Sementara itu, Ang Sun Tek menjadi marah sekali melihat pemuda yang tidak memperdulikannya dan bahkan secara sengaja berdiri menghalanginya dan membelakanginya.

   "Minggir kau, bedebah!"

   Katanya sambil menggunakan tangan kanan memegang siku lengan kiri Gwat Kong.

   Angin gerakan Ang Sun Tek ini membuat Gwat Kong maklum bahwa apabila sambungan sikunya terpegang, ada bahaya sambungan sikunya akan terluka atau terlepas maka dengan cepat sekali sehingga tidak terlihat oleh kedua saudara Pui yang memandang cemas, ia menggerakkan sikunya ke atas mengelak pegangan itu sehingga tangan Ang Sun Tek yang mencengkeram itu tidak mengenai siku akan tetapi mengenai lengan.

   Gwat Kong menggeser kakinya dan membalikkan tubuh sambil mengerahkan tenaga dalam dengan ilmu Pi-ki-hu-hiat (Menutup hawa melindungi jalan darah), sehingga lengan yang dicengkeram itu tidak terluka bagian dalamnya. Kemudian ia melangkah ke belakang dengan cepat sambil membetot lengannya itu terlepas dari pegangan Ang Sun Tek.

   Ang Sun Tek terkejut bukan main ketika tangannya yang mencengkeram itu merasa betapa lengan tangan pemuda itu keras dan licin seperti besi, sehingga tenaga cengkeramannya dapat terpental kembali. Dan tiba-tiba ia merasa betapa lengan tangan itu licin dan lemas bagaikan belut sehingga dapat terlepas dari cengkeramannya ketika ditarik kembali oleh pemuda itu. Inilah ilmu Jui-kut-kang atau ilmu melemaskan tulang yang hebat.

   "Bagus!"

   Teriaknya marah sekali.

   "Tidak tahunya kau memiliki sedikit ilmu kepandaian!"

   Ia tahu bahwa pemuda ini lihai dan tindakannya tadi sengaja hendak mencari permusuhan untuk melindungi kedua pemuda yang mengikutinya. Maka ia lalu menggerakkan tangan memegang goloknya yang selalu tergantung di pinggang sambil membentak.

   "Barangkali kau sudah bosan hidup!"

   Dari pegangan pada lengannya tadi Gwat Kong dapat menduga bahwa orang berjenggot runcing ini seorang ahli ilmu silat yang pandai karena biarpun ia berhasil melepaskan tangannya, akan tetapi ketika ia membetot lengannya tadi, merasa betapa lengannya panas tanda bahwa ilmu dan tenaga dalam orang ini tidak berada di sebelah bawah tingkatnya sendiri. Maka iapun meraba gagang pedang Sin-eng-kiam dan berkata,

   "Manusia sombong, apa kau kira, kau seorang saja yang mempunyai senjata tajam? Cabutlah golokmu dan jangan kira bahwa aku takut kepadamu!"

   Dua orang jago silat itu berdiri berhadapan dengan tangan memegang gagang senjata masing-masing, siap untuk mencabutnya dan mata mereka saling pandang dengan tajam, seakan-akan dua ekor ayam jago berlaga dan hendak bertempur mati-matian.

   Pui Kiat dan Pui Hok memandang dengan penuh kekhawatiran. Dua orang murid Hoa-san-pai ini yang maklum akan kelihaian Ang Sun Tek, merasa gelisah dan takut kalau-kalau Gwat Kong takkan dapat melawan ketua Liok-te Pat-mo itu maka Pui Kiat lalu bangun berdiri dan menghampiri Gwat Kong sambil membujuk.

   "Bun-taihiap, sudahlah, jangan kau berkelahi karena urusan kami. Mari kita pergi dari sini. Ada urusan amat penting yang perlu kami sampaikan kepadamu."

   Sementara itu, Gan Bu Gi juga merasa cemas. Ia maklum pula akan kelihaian Gwat Kong dan kalau sampai Ang Sun Tek kalah, tentu ia akan berada dalam bahaya menghadapi Gwat Kong yang membencinya, maka ia membujuk Ang Sun Tek,

   "Ang-ciangkun, jangan kau meladeni bocah ini!"

   Memang Ang Sun Tek masih ragu-ragu untuk mencabut goloknya. Ia adalah seorang ternama dan sedang menjalankan tugas sebagai seorang perwira kerajaan, maka di tempat umum ini kalau sampai ia kalah oleh pemuda ini, tidak saja namanya akan jatuh, akan tetapi biar ia menang sekalipun, namanya takkan menjadi harum karenanya. Melihat kepandaian pemuda itu ketika melepaskan tangannya dari pegangannya, maka resikonya terlalu besar untuk melawan pemuda ini yang sama sekali tidak berdasarkan permusuhan sesuatu. Maka iapun hanya berdiri saja tak mau mencabut goloknya lebih dahulu.

   Sementara itu, Gwat Kong ketika mendengar bujukan Pui Kiat, menjadi tertarik hatinya. Ia tahu bahwa kedua orang ini bukan tanpa sebab berada di Kiang-sui dan tuduhan orang berjenggot tadi terhadap kedua saudara Pui membuat ia menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat. Apalagi ia melihat bahwa orang berjenggot itu bersama Gan Bu Gi, maka ia lalu melepaskan gagang pedangnya dan berpaling kepada Pui Kiat,

   "Akupun tidak hendak mencari permusuhan dan perkelahian, asal saja orang tidak mendahului dan menyerangku."

   Tanpa banyak cakap lagi, Pui Kiat lalu menggandeng tangan Gwat Kong dibawa keluar dari restoran. Sedangkan Pui Hok lalu membayar harga makanan kepada seorang pelayan yang semenjak tadi berdiri di sudut dengan muka pucat melihat pertempuran yang hampir saja terjadi itu.

   Setibanya di luar restoran, Pui Kiat dan Pui Hok membawa Gwat Kong ke tempat yang sunyi. Mereka sudah mendapat tahu tentang keadaan Tin Eng.

   Sebagaimana dituturkan di bagian depan, kedua saudara Pui ini mendapat tugas dari Kui Hwa untuk mengikuti rombongan Ang Sun Tek yang menawan Tin Eng. Mereka merasa lega ketika melihat bahwa Tin Eng benar-benar dikembalikan ke rumah orang tuanya dan tidak mendapat gangguan di jalan.

   Akan tetapi mereka masih tidak mengerti apakah sebenarnya kehendak Ang Sun Tek dengan penangkapan atas diri Tin Eng itu dan mengapa pula Ang Sun Tek yang tadinya hendak pergi ke Hong-san sampai menunda perjalanannya di Kiang-sui. Kemudian mereka melihat betapa Ang Sun Tek mengadakan pertemuan dengan Gan Bu Gi dan masuk ke dalam restoran untuk mencuri dengar pembicaraan mereka.

   "Saudara Pui, sebenarnya mengapakah kalian berada di kota ini dan mengapa pula orang itu hendak menyerangmu? Siapakah dia yang kepandaiannya tinggi itu?"

   Pui Kiat lalu menuturkan pengalamannya dengan singkat dan menutup penuturannya dengan menghela napas,

   "Bun-taihiap, memang dia bukan orang sembarangan. Dia adalah seorang yang kini menjadi pembantu istimewa pada perwira-perwira kerajaan. Namanya Ang Sun Tek. Dialah ketua dari Liok-te Pat-mo, delapan iblis bumi yang amat terkenal itu!"

   Terkejutlah Gwat Kong mendengar penuturan Pui Kiat. Sungguhpun nama Ang Sun Tek ini membuatnya menjadi tercengang. Karena ini tidak disangkanya sama sekali bahwa ia akan bertemu dengan orang yang sedang dicari-cari oleh Cui Giok. Namun ia lebih terkejut lagi mendengar bahwa Tin Eng telah ditawan oleh Ang Sun Tek itu dan dengan paksa dikembalikan ke rumah orang tuanya.

   "Saudara Pui berdua, kalau begitu, serahkanlah urusan ini kepadaku. Kalian telah diketahui bahwa kalian mengikuti rombongan mereka, dan hal ini berbahaya sekali. Aku kenal baik dengan nona Liok Tin Eng, bahkan sekarang juga aku akan menengoknya. Tentang Ang Sun Tek itu, memang sudah lama aku hendak mencoba kepandaiannya, bahkan terus terang saja, aku ingin menghadapi delapan iblis itu sekali gus. Lebih baik sekarang kalian berdua cepat pergi dari kota ini, menyusul dan membantu sumoimu itu."

   Pui Kiat dan Pui Hok tercengang mendengar ucapan ini, akan tetapi karena merekapun maklum bahwa keadaan mereka di kota Kiang-sui akan membahayakan keselamatan mereka, maka mereka menyatakan setuju dan segera meninggalkan Gwat Kong untuk keluar kota dan pergi menyusul Kui Hwa ke Hong-san.

   Gwat Kong tidak mau membuang banyak waktu lagi. Ia maklum akan kesedihan hati Tin Eng dan ia merasa gemas kepada Ang Sun Tek yang telah menawan dan memaksa Tin Eng pulang. Kalau saja ia tidak sedang merasa cemas memikirkan keadaan Tin Eng, tentu ia akan kembali ke restoran itu menemui Ang Sun Tek dan mengajaknya berkelahi! Akan tetapi, ia perlu sekali mendapatkan Tin Eng dan menengok keadaan gadis pujaan hatinya itu. Kalau perlu menolongnya keluar dari gedung Liok-taijin.

   Mudah saja bagi Gwat Kong untuk memasuki pekarangan belakang dari gedung keluarga Liok, oleh karena ia memang hafal akan keadaan dan jalan di situ. Ia maklum bahwa kalau ia mengambil jalan dari pintu depan dan masuk secara berterang, tak mungkin Liok-taijin akan suka menerimanya. Atau andaikata pembesar itu suka menerimanya juga, sungguh amat tak mungkin kalau ia diperkenankan bertemu dengan Tin Eng. Oleh karena itu, Gwat Kong sengaja mengambil jalan belakang dan masuk ke dalam kebun bunga secara sembunyi-sembunyi bagaikan maling.

   Ia tidak berani mengambil jalan dari atas genteng, oleh karena maklum bahwa di dalam gedung itu terdapat orang-orang pandai dan juga Liok-taijin sendiri memiliki ketajaman telinga yang cukup sehingga hal itu akan membuat ia ketahuan orang sebelum dapat bertemu dengan Tin Eng. Maka ia hanya bersembunyi dan mengintai menanti saat yang baik. Kebetulan sekali seorang pelayan yang dikenalnya baik, keluar dari pintu belakang. Pelayan ini adalah seorang wanita tua yang telah ikut keluarga itu semenjak Tin Eng masih kecil, bahkan ia menjadi bujang pengasuh dari gadis itu.

   "Bibi Song ......!"

   Gwat Kong memanggil perlahan sambil keluar dari tempat sembunyinya.

   Nenek pelayan itu terkejut memandang. Eh, kau itu, Gwat Kong? Aduh, sampai kaget setengah mati aku! Seperti setan saja kau muncul tiba-tiba."

   "Ssst ....... jangan keras-keras, bibi Song! Kehadiranku di sini tidak dikehendaki orang!"

   Nenek itu mengangguk-angguk.

   "Aku tahu, aku tahu! Kalau kau terlihat oleh taijin, kepalamu akan digebuk!"

   "Bibi yang baik, tolonglah aku. Aku ..... aku ingin bertemu dengan siocia, di manakah dia?"

   Nenek itu mainkan matanya.

   "Hm, ..... kau main api!"

   "Bibi tolonglah! Bukankah siocia sedang berduka? Tolonglah beritahu bahwa aku berada di sini dan ingin berjumpa dengan dia!"

   "Bagaimana kau bisa tahu dia berduka?"

   Nenek itu bertanya heran.

   "Bibi lekaslah kau beritahukan padanya. Apakah kau ingin ada orang melihat kita bicara di sini? Kaupun akan mendapat gebukan kalau taijin melihatnya!"

   Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Terkejut dan takutlah bibi Song mendengar hal ini.

   "Akan tetapi, tak mungkin siocia dapat keluar. Ia dilarang keras untuk meninggalkan kamarnya!"

   "Kalau begitu, beritahulah saja. Aku menanti di sini untuk mendengar jawabannya."

   Nenek itu lalu masuk ke dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang sudah putih rambutnya itu.

   Memang semenjak Tin Eng ditawan oleh Ang Sun Tek, gadis ini sama sekali tidak berdaya dan terpaksa menurut saja dibawa pulang ke rumah orang tuanya dengan paksa. Ketika tiba di rumah, ia disambut dengan wajah muram dan marah oleh ayahnya. Akan tetapi ibunya segera menubruk dan memeluknya sambil menangis tersedu-sedu. Tin Eng terkejut melihat betapa ibunya menjadi kurus sekali dan pucat seperti orang yang bersedih. Ia dibawa masuk ke dalam kamar oleh ibunya di mana ibunya itu sambil menangis berkata,

   "Tin Eng ..... apakah kau tidak kasihan kepada ibumu. Anakku, janganlah kau pergi lagi meninggalkan ibumu!"

   Tin Eng menjadi terharu dan memeluk ibunya sambil menangis pula.

   Ayahnya menyusul ke dalam kamar dan pembesar ini marah sekali.

   "Tin Eng, bagus sekali perbuatanmu, ya? Kau sebagai puteri tunggal seorang pembesar telah menodai nama baik orang tuamu! Kau telah membikin malu ayah ibumu dan membikin kami merasa susah sekali. Apakah benar-benar kau tidak mempunyai rasa sayang kepada orang tua dan akan menjadi anak yang puthauw (tidak berbakti)?"

   Tin Eng melihat betapa di dalam kemarahannya, ayahnya itu nampak amat berduka sehingga muka ayahnya itu kelihatan makin tua. Ia menjadi kasihan juga dan dengan tangis sedih ia menjatuhkan diri berlutut di depan ayahnya. Hati seorang ayah betapa bengispun akan menjadi lunak apabila melihat anak tunggalnya berlutut dan menangis di depan kakinya, maka pembesar ini lalu mengelus-elus kepala puterinya.

   "Tin Eng, jadilah seorang anak yang baik dan jangan kau menyusahkan hati ayah ibumu."

   (Lanjut ke Jilid 16)

   Pendekar Pemabuk/Kanglam Tjiu Hiap (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 16

   "Ayah, anak berjanji takkan pergi lagi, asal saja jangan memaksa anak harus kawin dengan orang she Gan itu! Kalau ayah memaksa, biarlah anak membunuh diri saja!"

   Ibunya menjerit dan memeluknya, sedangkan Liok-taijin menjadi pucat wajahnya. Kemudian ia hanya menghela napas berulang-ulang dan menggelengkan kepala.

   "Kau memang keras kepala ..... terlalu dimanja tadinya ...."

   Kemudian ia bicara keras-keras.

   "Hal ini kita bicarakan kelak saja. Akan tetapi, mulai sekg kau jangan keluar dari kamarmu. Berlakulah sebagai seorang gadis bangsawan yang terhormat. Jangan kau berkeliaran di luar seperti seorang gadis kang-ouw yang liar dan tidak tahu kesopanan!"

   Ayah ini lalu meninggalkan anaknya yang masih bertangisan dengan ibunya.

   Demikianlah, semenjak saat itu Tin Eng tidak pernah keluar dari dalam rumah. Ia bermaksud untuk mentaati ayah ibunya, asal jangan dikawinkan dengan Gan Bu Gi.

   Pada waktu Gwat Kong datang, Tin Eng sedang berada di dalam kamarnya bersama ibunya. Gadis ini sedang membaca sebuah kitab kuno untuk menghibur hatinya waktu senggang. Ibunya menyulam dan duduk di dekatnya. Tiba-tiba pintu diketuk dan bibi Song masuk dengan membungkuk-bungkuk.

   Nyonya Liok mengangkat muka memandang pelayan itu.

   "Ada keperluan apakah?"

   Tanyanya.

   Bukan main bingungnya hati nenek itu. Ia memandang ke arah Tin Eng yang sudah mengangkat muka memandang nenek itu.

   "Hamba ........ hamba ....... ada pesanan untuk siocia ......"

   Tin Eng lalu berdiri dan menghampiri nenek itu.

   "Ada apakah bibi Song? Pesanan apa dan dari siapa?"

   Nenek itu ragu-ragu dan memandang kepada nyonya Liok dengan takut-takut. Bagaimana ia harus menyampaikan pesanan Gwat Kong di depan nyonya majikannya itu?

   "Jangan takut, katakanlah bibi Song!"

   Tin Eng mendesak.

   "Gwat Kong ....."

   Mendengar nama ini, Tin Eng memegang pundak pelayan itu.

   "Apa .....? Dia di mana .....?"

   Juga nyonya Liok bangun berdiri dari kursinya.

   "Kau bilang Gwat Kong berada di sini? Berani betul anak itu! Tin Eng, ada perlu apakah kau dengan bekas pelayan itu?"

   "Ibu, Gwat Kong bukan pelayan kita lagi! Dia ..... dia adalah .... guruku yang mengajar ilmu pedang. Biarkan aku betemu dengan dia!"

   Pandangan mata gadis itu kepada ibunya membuat nyonya Liok tertegun dan terkejut sekali. Sepasang mata gadis itu bersinar dan wajahnya berseri-seri.

   "Bagaimana mungkin? Kau tidak boleh keluar dari sini. Kalau ayahmu melihatnya, ia tentu akan marah sekali. Apa lagi kalau dilihatnya kau bertemu dengan Gwat Kong!"

   "Kalau begitu, biar dia masuk ke kamar ini!"

   Tin Eng mendesak.

   "Gila!"

   Ibunya berseru kaget.

   

Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini