Pusaka Gua Siluman 14
Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 14
Setelah berpikir demikian, ia mempersiapkan tiga buah batu kecil di kedua tangannya. Setelah memusatkan panca inderanya, ia mengayun tangan dan tiga butir batu kecil itu meluncur cepat sekali ke arah dua orang yang sedang mengadu tenaga Iweekang dengan mati-matian. Sebutir menghantam punggung Siok Ho, sebutir lagi menghantam punggung Kui Ek dengan kekuatan yang sama, sedangkan batu ke tiga, yang datangnya terakhir akan tetapi mengandung kekuatan lebih besar, menghantam ke arah dua tangan yang saling tempel itu.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya dua orang jago yang sedang mengadu tenaga Iweekang itu ketika tiba-tiba mereka inerasa punggung mereka ada yang menepuk dan tiba-tiba saja lemas seluruh tenaga Iweekang mereka. Sebelum mereka dapat menyalurkan lagi tenaga masing-masing, menyambar batu ke tiga ke arah tangan mereka yang saling tempel. Otomatis mereka menarik tangan masing-masing yang kini tidak lengket lagi karena sudah tidak mengandung tenaga Iweekang dan tanpa mereka sengaja terlepaslah keduanya dari bahaya maut.
Maklum akan kelihaian lawan, Kui Ek cepat menyambar tongkatnya, akan tetapi sebelum ia sempat menyerang, kembali tongkatnya terlepas dan tangannya kejang tersambar batu kecil. Napas Kui Ek masih terengah-engah karena tadi terlampau banyak mengeluarkan tenaga, kini menghadapi
keanehan ini, ia menjadi gentar. Sebagai seorang yang berpengalaman ia maklum bahwa ada orang pandai mempermainkannya. Ia membungkuk untuk mengambil tongkatnya dan tiba-tiba saja "takk!"
Ujung pantatnya dihajar oleh sebuah batu kecil, rasanya sakit sekali sampai membuat ia bergulingan dan mengaduh-aduh.
Akan tetapi ia berhasil mengambil tongkatnya dan melompat berdiri, memutar tongkat untuk melindungi diri dari sambaran batu. Benar saja, terdengar suara tak, tok, tak, tok ketika beberapa butir batu kena disampok oleh tongkatnya. Akan tetapi, masih juga sebutir menerobos masuk dari lingkaran sinar tongkatnya dan tepat sekali mengenai tulang keringnya.
"Tokk!"
Kui Ek menahan rasa nyeri, namun bagaimana bisa ditahan kalau tulang keringnya terasa panas, perih dan ngilu?
"Aduh.... bangsat pengecut.... aduh, keluarlah kalau berani...!"
Sambil mengaduh-aduh dan memutar tongkatnya ia berloncat-loncatan dengan sebelah kaki, dan kaki yang terkena sambitan itu digantung, akan tetapi biarpun mulutnya memaki-maki, Kui Ek dengan licik berloncat-loncatan mehjauhi tempat itu, kemudian berlari sipat-kuping.
Biarpun tidak tahu siapa yang membantunya, Siok Ho tersenyum geli melihat tingkah Kui Ek. Tadi ia tidak mau turun tangan karena selain ia sendiri perlu beristirahat dan memulihkan tenaganya, juga ia tidak mau mengeroyok lawan yang sedang dipermainkan oleh orang pandai. Setelah Kui Ek pergi, Siok Ho menjura ke empat penjuru dan berkata.
"Terima kasih atas pertolongan cianpwe, dan kalau sudi, harap cianpwe suka memperlihatkan diri."
Akan tetapi biarpun ia sudah mengulangi beberapa kali, tidak terdapat jawaban. Maka ia lalu cepat berlari untuk membantu Kwee Cun Gan dan kawan-kawan lain yang masih bertempur. Pertempuran di bagian lain tidak kalah ramainya. Kwee Cun Gan dan sembilan orang kawannya yang terbangun semangat perlawanannya melihat keberanian Siok Ho, sudah menerjang para penyerbu dan terjadi pertempuran hebat. Bagi Kwee Cun Gan sendiri, para pengawal itu bukan apa-apa dan sebentar saja ia sudah merobohkan dua orang pengawal. Juga Tan kui, dan dua saudara Nyo telah merobohkan masing-masing seorang lawan.
Akan tetapi tiba-tiba terjadi keributan hebat ketika anggauta-anggauta Tiong-gi-pai menjadi kocar-kacir dan dalam sekejap mata saja roboh empat orang tak bernyawa lagi menjadi korban pian kelabang dan pukulan Hek-tok-ciang. Ternyata Auwyang Tek dan Toat-beng-pian Mo Hun datang mengamuk dan di belakang dua orang ini, masih kelihatan Kui menyeret-nyeret tongkatnya!
Kwee Cun Gan melompat dan menyuruh anak buahnya mundur, dia sendiri menghadapi Auwyang Tek sambil menuding dan berkata nyaring.
"Auwyang Tek, kali ini benar-benar kau tidak tahu malu dan curang sekali, melakukan pengeroyokan dan penyerbuan mengandalkan orang banyak! Sejak kapan kau berlaku pengecut dan tidak menggunakan cara yang sudah-sudah, bertanding seperti orang-orang gagah di panggung lui-tai (panggung tempat mengadu kepandaian)?"
Auwyang Tek tersenyum mengejek. Memang dahulu ketika Pek-kong Sin-kauw Siok Beng Hui seanak isteri masih berada dengah Tiong-gi-pai, ia tidak berani sembarangan menyerang perkumpulan yang dimusuhinya ini karena khawatir kalau-kalau menyinggung perasaan Raja Muda Yung Lo dan menjadikan orang she Siok itu sebagai utusannya. Akan tetapi sekarang, setelah Siok Beng Hui pergi, ia boleh membasmi Tiong-gi-pai tanpa khawatirkan sesuatu.
"Kwee Cun Gan! Orang buronan macam kau dan kaki tanganmu ini, mana masih perlu banyak aturan lagi? Diadakan pertempuran pibu sekalipun kau tak pernah muncul, karena kau sudah kehabisan jago-jagomu. Ha-ha-ha!"
Kemudian Auwyang Tek berkata kepada Mo Hun dan Kui Ek.
"Ji-wi lo-enghiong, setelah berada di sini, cabut saja nyawa orang she Kwee ini. Kalau dia mampus tentu yang lain takkan berani banyak tingkah lagi."
Setelah mengucapkan kata-kata ini, Auwyang Tek langsung menyerang Kwee Cun Gan dengan pukulan Hek-tok-ciang. Biarpun ketua Tiong-gi-pai ini merasa tidak sanggup menghadapi pukulan yang amat berbahaya ini, namun sebagai murid Kun-lun tentu saja ia masih dapat menyelamatkan diri. Ia cepat mengelak dan melompat ke samping. Auwyang Tek mengejar dan menyerang terus secara bertubi-tubi, mendesak hebat. Pada saat itu, berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang pemuda tegap telah menghadapi Auwyang Tek dengan sepasang pedang yang hebat gerakannya.
"Kwee Tiong......!"
Ketua Tiong-gi-pai itu berseru girang.
"Harap paman mundur, serahkan saja bedebah ini kepadaku,"
Kata pemuda itu yang bukan lain adalah Kwee Tiong, pemuda yatim piatu yang menjadi murid Pek Map Lojin. Untuk kedua kalinya, kembali Kwee Tiong muncul menolong pamannya yang terancam bahaya maut. Segera terjadi pertempuran antara Auwyang Tek dan Kwee Tiong, pertempuran hebat dan ternyata kepandaian dua jago muda ini seimbang.
Kui Ek melompat dan menggerakkan tongkatnya, akan tetapi sekarang Siok Ho menerjang maju. Pemuda ini tadi telah dapat merampas sebatang pedang dari seorang pengawal yang dirobohkannya dan dengan pedang ini ia menangkis tongkat Kui Ek.
"Tua bangka, mari kita lanjutkan pertempuran tadi!"
Tantang Siok Ho dan segera keduanya juga terlibat dalam pertandingan mati-matian yang seru sekali. Mo Hun tertawa bergelak.
"Heh-heh-heh, kau mendatangkan jago-jago muda untuk memperkuat perkumpulan yang busuk? Sayang, tidak ada yang melindungi kepalamu, Kwee Cun Gan!"
Ia menggerakkan pian kelabangnya, terdengar suara "tar-tar-tar"
Di udara dan sinar merah pian itu berkelebat ke arah Kwee Cun Gan.
Ketua Tiong-gi-pai ini maklum akan keganasan senjata ini, maka ia tidak berani menghadapinya lalu melompat jauh. Sambil tertawa-tawa Mo Hun mengejar terus dan membunyikan piannya yang menyambar-nyambar bagaikan kelabang raksasa melayang-layang mencari korban! Akan tetapi, mendadak ia berseru kaget dan menahan gerakannya. Mukanya menjadi basah dan tercium bau arak wangi sekali.
"Ha-ha, manusia iblis di mana-mana haus darah!"
Terdengar suara halus dan muncullah Pek Mao Lojin yang memegang sebuah guci arak dan tertawa-tawa lebar. Tadi dialah yang menyemburkan araknya dari mulut sehingga menghujani muka Mo Hun yang terkejut sekali karena semburan arak itu membuat mukanya panas dan seperti ditusuki jarum. Melihat bahwa orang itu bukan lain adalah Pek Mao Lojin yang selama ini tidak memperlihatkan keaktipan membantu Tiong-gi-pai akan tetapi yang kabarnya pernah mengacau kota raja, Mo Hun menjadi marah.
"Tua bangka botak, agaknya kau sudah bosan dengan botakmu. Biar kupenggal dari tubuhmul"
Piannya menyambar cepat.
"Ha-ha-ho-ho, biar botak aku masih sayang. Tak boleh dipenggal!"
Pek Mao Lojin mengangkat guci araknya.
"Traangg..!"
Pian kelabang itu mental kembali dan dari dalam guci arak muncrat arak merah yang langsung meluncur ke arah muka Mo Hian. Toat-beng-pian Mo Hun maklum bahwa arak ini dapat melukai mukanya, maka ia cepat melompat mundur. Kwee Cun Gan yang maklum bahwa biarpun kedudukan fihaknya kini cukup kuat akan tetapi kalau di situ muncul tokoh-tokoh fihak musuh yang lain seperti Kai Song Cinjin dan pasukan pengawal
yang besar jumlahnya tentu fihaknya akan mengalami kehancuran, lalu berseru,
"Auwyang Tek, apakah kau berani menerima tantangan kami untuk mengadu pibu secara gagah tidak main keroyokan seperti ini? Kalau kau berani harap hentikan pertempuran ini!"
"Mengapa aku tidak berani?"
Jawab Auwyang Tek sambil melompat mundur, la rasa bahwa jago fihak lawan tentu pemuda yang melawannya ini dan ia tidak takut.
"Kalau begitu hentikan pertempuran ini!"
Seru Kwee Cun Gan.
Mendadak berkelebat bayangan orang dan ada angin meniup keras membuat semua orang terhuyung ke belakang.
"Betul, pertempuran harus dihentikan dan sejak kapankah orang-orang kerajaan memerangi rakyat? Pertandingan pibu boleh, akan tetapi pertempuran seperti ini benar-benar tidak selayaknyal"
Semua orang memandang dan ternyata yang muncul adalah Im-yang Thian-cu yang tadi mengibas-ngibaskan kipasnya. Setelah semua orang berhenti bertempur, Im-yang Thian-cu berpaling kepada Kwee Cun Gan sambil berkata.
"Aku mendengar muridku terluka oleh Hek-tok-ciang, di mana dia sekarang?"
Kwee Cun Gan memberi hormat sambil berkata.
"Harap totiang tunggu sebentar, nanti siauwte akan mengantar totiang menemui Han Sin yang masih merawat diri."
Auwyang Tek yang mendengar bahwa tosu kurus ini adalah guru dari Liem Han Sin yang beberapa hari yang lalu ia lukai, menjadi tidak enak. Juga ia melihat bahwa fihak lawan sekarang menjadi amat kuat, maka ia memberi tanda kepada anak buahnya supaya mundur. Ia sendiri menantang Kwee Cun Gan.
"Kalau kau benar mempunyai jago, boleh datang di pendapa Lian-bu-kwan di dalam kota di mana kita boleh mengadu ilmu sepuasnya secara adil."
Setelah Kwee Cun Gan mengangguk dan menyanggupi untuk datang pada besok siang menjelang tengah hari, Auwyang Tek dan rombongannya segera meninggalkan hutan itu.
Kwee Cun Gan cepat-cepat memberi hormat dan menghaturkan terima kasihnya kepada Pek Mao Lojin dan Im-yang Thian-cu. Sungguh menarik jawaban dua orang kakek sakti itu, jawaban yang langsung memperkenalkan watak dan pandangan hidup masing-masing. Jawab Pek Mao Lojin sambil tertawa-tawa lebar,
"Manusia terpisah menjadi dua kelompok, pertama menjadi hamba nafsu dan kesenangan duniawi, ke dua menjadi pembantu alam yang sifatnya adil dan penuh kebajikan. Aku memilih kelompok ke dua itulah!"
Dengan ucapannya yang tidak langsung ini Pek Mao Lojin menyatakan bahwa demi membela kebenaran dan keadilan ia tentu saja membantu Tiong-gi-pai dan melawan kejahatan.
Adapun Im-yang Thian-cu yang selalu bermuram durja itu, menjawab dengan merengut.
"Siapa sih perduli segala urusan dunia? Pinto datang untuk menengok murid yang terluka. Di mana dia?"
"Silahkan totiang ikut dengan kami ke tempat Han Sin beristirahat. Memang dia terluka dan sudah mempergunakan obat katak merah, akan tetapi karena ia kena pukulan agak keras, lukanya belum sembuh dan ia perlu beristirahat."
Kemudian kepada Kwee Tiong dan Pek Mao Lojin ia berkata.
"Harap locianpwe kali ini suka memberi ijin kepada Kwee Tiong untuk membikin terang nama Tiong-gi-pai dan memasuki pibu untuk menghadapi Auwyang Tek yang jahat."
Kwee Tiong berkata cepat kepada Pek Mao Lojin.
"Suhu, kalau tidak kali ini teecu mencurahkan tenaga untuk membela kebenaran dan membalas budi paman Kwee Cun Gan membasmi kejahatan, apa gunanya teecu menjadi murid suhu?"
Pek Mao Lojin tertawa bergelak mendengar semua ini.
"Sesukamulah, mana aku bisa melarang? Kalau kau terluka seperti murid Im-yang Thian-cu, dan aku tidak bisa menolong mengobati, jangan bilang aku guru tidak punya guna."
"Seorang gagah takut mati, mana patut disebut gagah?"
Im-yang Thian-cu berkata dengan muka merengut.
Pek Mao Lojin tertawa makin keras lagi karena dengan kata-kata yang baru diucapkan tadi, biarpun Im-yang Thian-cu bersikap seolah-olah tidak perduli akan semua pertempuran itu, namun ia tetap menghargai kegagahan dan ini berarti bahwa tosu kurus pemarah ini masih boleh diharapkan bantuannya untuk menghadapi kaki tangan Menteri Auwyang!
Berangkatlah rombongan ini memasuki hutan, keluar dari sebelah utara untuk memasuki hutan lain di mana Liem Han Sin sedang beristirahat di dalam sebuah pondok kecil, dijaga oleh ayahnya, Liem Hoan.
Lee Ing diam-diam mengikuti rombongan ini, setelah melihat tempat berkumpulnya para anggauta Tiong-gi-pai. ia lalu pergi lagi dengan cepat sekali untuk menyusul rombongan Auwyang Tek. Ia tidak mau turun tangan lebih dulu karena ingin ia mencari tahu tentang keadaan ayahnya, Souw Teng Wi. Sudah jelas tadi bahwa ayahnya tidak berada dengan Tiong-gi-pai. Sungguhpun harapannya tipis sekali untuk melihat ayahnya masih hidup, mengingat betapa dulu ayahnya tertawan oleh Kai Song Cinjin, namun ia ingin tahu sejelasnya apa yang terjadi atas diri ayahnya.
Oleh karena itu diam-diam ia mengikuti rombongan Auwyang Tek untuk memasuki kompleks bangunan istana dan mencari tahu perihal ayahnya sebelum ia menurunkan tangan terhadap musuh-musuh besarnya. Menteri durna Auwyang Peng menjadi marah bukan main ketika ia mendengar laporan puteranya tentang gagalnya penyerbuan terhadap Tiong-gi-pai di hutan itu.
"Bodoh, masa terhadap beberapa gelintir manusia pemberontak itu saja kau tidak becus menangkap, padahal sudah dibantu oleh Mo Hun dan Kui Ek? Setidaknya kau sepatutnya sudah dapat menyeret Kwee Cun Gan ke sini sebagai tawanan!"
"Tidak begitu mudah, ayah. Harap diketahui bahwa orang she Kwee itu ternyata telah mendatangkan pembantu-pembantu baru yang cukup lihai, bahkan dua orang tokoh kang-ouw, Pek Mao Lojin dan Im-yang Thian-cu membantunya. Oleh karena itu, aku menerima baik tantangan pibu besok di Lian-bu-kwan."
Auwyang-taijin mengangguk-angguk.
"Kalau begitu, kau panggil Cinjin dan yang lain-lain untuk berkumpul dan merundingkan pibu ini. Sekali ini kita harus dapat memaksa Kwee Cun Gan mengaku di mana adanya pemberontak Souw Teng Wi sekarang."
Auwyang Tek keluar untuk memanggil Kai Song Cinjin dan yang lain-lain. Sedangkan Lee Ing yang semenjak tadi mengintai, menjadi kecewa sekali mendengar ucapan terakhir tentang ayahnya. Jadi kalau begitu ayahnya tidak berada di sini? Di samping kekecewaannya iapun girang karena ucapan Auwyang Peng tadi hanya berarti bahwa ayahnya tidak sampai tewas oleh Kai Song Cinjin dan kawan-kawannya. Siapa yang telah menoIong ayahnya dari tangan musuh? Apakah Kwee Cun Gan betul-betul tahu di mana adanya ayahnya sekarang? Lee Ing sudah hendak pergi untuk mencari ketua Tiong-gi-pai itu dan bertanya tentang ayahnya, ketika tiba-tiba ia menunda niatnya karena mendengar suara yang dia masih ingat dan dikenalnya. Suara Kai Song Cinjin, musuh besarnya!
"Taijin harap jangan khawatir, serahkan saja kepada pinceng untuk membereskan tikus-tikus Tiong-gi-pai itu!"
Ketika Lee Ing mengintai kembali, ternyata Kai Song Cinjin sudah berada di situ dan berturut-turut masuklah Mo Hun, Kui Ek dan lain-lain kaki tangan Auwyang-taijin seperti Manimoko dan Yokuto, dua orang guru silat yang berasal dari bajak laut Jepang itu.
Melihat musuh besarnya, Kai Song Cinjin, Lee Ing menjadi marah sekali. Ingin ia sekali terjang membalas dendam kepada musuh besar ini. Teringatlah ia betapa ayahnya dibikin buta oleh pendeta tinggi besar ini. Sudah gatal-gatal tangannya dan ia sudah hendak melompat turun. Akan tetapi Lee Ing adalah seorang gadis yang cerdik sekali. Ia maklum akan kelihaian Kai Song Cinjin dan dia sendiri belum tahu apakah ia akan sanggup melawannya, apa lagi selain Kai Song Cinjin, di situ masih terdapat banyak tokoh besar yang berkepandaian tinggi.
Kalau ia lancang turun tangan dan tidak berhasil, itu masih belum berapa hebat karena mungkin dengan kepandaiannya ia dapat meloloskan diri dari tempat itu. Akan tetapi celakanya, ia belum tahu di mana adanya ayahnya. Kalau mereka ini mengenalnya sebagai puteri Souw Teng Wi, tentu keadaan ayahnya akan makin terancam lagi.
Sebelum ia tahu di mana adanya ayahnya, sebelum ia tahu bahwa ayahnya betul-betul berada di tempat aman dan tidak berada dalam tangan musuh-musuh besar ini, ia tidak boleh memperkenalkan diri. Dengan bekerja secara sembunyi ia akan lebih leluasa dan ayahnya tidak begitu terancam. Gadis ini berpikir-pikir dan matanya memandang ke sana ke mari, mencari akal. Sementara itu, hari telah mulai gelap dan para pelayan mulai memasang lampu penerangan.
Di dalam ruangan itu, Auwyang Peng masih mengadakan perundingan dengan para kaki tangannya. Akhirnya diputuskan bahwa pertandingan pibu di Lian-bu-kwan pada besok hari akan dipimpin oleh Kai Song Cinjin sendiri mengingat bahwa di fihak Tiong-gi-pai muncul tokoh-tokoh besar.
"Biarlah hari esok itu akan merupakan hari terakhir bagi Tiong-gi-pai, akan pinceng tantang supaya mereka semua seorang demi seorang maju dan naik ke panggung luitai mengadu kepandaian."
"Inilah saatnya membasmi Tiong-gi-pai secara terbuka, tanpa menyinggung hati siapapun juga,"
Kata kakek dari Tibet ini dengan sombong seolah-olah ia sudah merasa yakin bahwa fihaknya tentu akan memperoleh kemenangan dan akan dapat menewaskan semua anggauta Tiong-gi-pai dalam pertandingan pibu itu.
"Harap saja Tok-ong jangan terlalu yakin dulu, karena di fihak mereka terdapat orang-orang pandai seperti Pek Mao Lojin dan Im-yang Thian-cu yang sama sekali tak boleh dipandang ringan!"
Kata Toat-beng-pian Mo Hun sambil meringis.
Kui Ek mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Betul ucapan Toat-beng-pian. Selain dua orang tua bangka itu, masih ada murid Kun-Iun-pai yang masih muda namun kepandaiannya lumayan, juga aku sendiri sudah merasakan kehebatan kepandaian seseorang yang membantu secara diam-diam fihak mereka, entah seorang di antara dua tua bangka itu, entah ada orang lain lagi,"
Berkata demikian, Kui Ek teringat akan pertempurannya mengadu Iweekang dengan Siok Ho dan betapa kemudian ada orang memisahkan secara luar biasa sekali, yaitu hanya dengan sambitan kerikil-kerikil kecil! Kalau ia teringat akan kepandaian orang tersembunyi ini, ia bergidik karena sukar dibayangkan betapa tingginya kepandaian orang yang dapat memisah dia bertanding Iweekang hanya dengan sambitan batu kecil saja.
Kai Song Cinjin mengerutkan kening akan tetapi mulutnya tertawa mengejek.
"Kalian merengek rengek seperti anak cengeng. Memuji kepandaian musuh sama saja dengan merendahkan kekuatan sendiri. Pantas saja kalian tidak dapat membereskan soal pengepungan Tiong-gi-pai siang tadi! Apa sih itu Pek Mao Lojin? Hanya kakek gila yang selalu mabok arak. Dan itu Im-yaug Thian cu? Siucai (sasterawan) kelaparan! Kalian masih mengagulkan anak murid Kun-lun-pai setelah kita basmi mereka? Haaa! Selain Swan Thai Tosu, siapa lagi di Kun-lun yang boleh ditakuti? Dan Swan Thai Tosu sekarang sudah mampus!"
Mendengar ucapan ini, Mo Hun dan Kui Ek tidak berani bilang apa-apa lagi. Memang dua orang ini yang ditakuti hanya Kai Song Cinjin seorang, maklum bahwa kakek Tibet ini memang kepandaiannya tinggi sekali. Tok-ong Kai Song Cinjin agaknya masih panas perutnya karena tadi dua orang pembantunya memuji fihak lawan. Apa lagi ia melihat Auwyang Peng mengangguk-anggukkan kepala tanda menyetujui ucapannya, Kai Song Cinjin menjadi makin sombong.
"Jangankarj ada orang-orang tersembunyi membantu mereka. Biar pahlawan Sam-kok Kwan-In Tiang menjelma lagi di dunia ini kita takut apa sih?"
Katanya penuh lagak jagoan.
Mendengar ini, Manimoko nampak gelisah. Jago Jepang yang bertubuh gemuk bulat seperti bola ini memang amat tahyul. Ia sudah lama merantau di Tiongkok dan sudah mendengar tentang dongeng-dongeng sejarah. Mendengar Kai Song Cinjin menyebut-nyebut dan menantang nama pahlawan besar Kwan In Tiang, ia menjadi pucat dan berkata dengan lidah pelo dan menggoyang-goyangkan tangannya.
"Kai Song Cinjin boleh menantang orang akan tetapi jangan sekali-kali menantang malaikat! Kwan Kong (Kwan In Tiang) sudah diangkat menjadi malaikat, sudah disembah dan dipuja jutaan orang. Tidak baik kalau ditantang-tantang oleh manusia biasa!"
Kai Song Cinjin tertawa bergelak.
"Pinceng adalah murid terkasih dari Sang Buddha, selain ilmu silat juga ilmu batin pinceng sudah cukup matang. Mengapa harus takut menghadapi segala macam malaikat? Kedudukan pinceng sebagai murid Buddha lebih tinggi, dan kelak di Nirwana, para malaikat menjadi pelayanku."
Ucapan macam ini benar-benar tidak patut keluar dari mulut seorang penganut Agama Buddha apa lagi dari seorang yang sudah menggunduli kepala menjadi hwesio.
Dari kata-katanya ini saja sudah dapat dinilai orang macam apa"
Adanya hwesio dari Tibet ini. Dia menjadi hwesio di Tibet hanya untuk mencari kekuasaan, oleh karena di Tibet memang para pendeta itulah yang berkuasa. Rakyat masih terlalu bodoh dan menganggap bahwa para hwesio atau murid Buddha adalah manusia-manusia yang lebih tinggi derajatnya dari pada mereka manusia-manusia biasa.
Setelah menjadi hwesio dan memiliki kepandaian tinggi, Kai Song Cinjin di Tibet boleh berbuat sesuka hatinya, memeras rakyat, hidup mulia dan mewah penuh kesenangan duniawi dan semua ini tidak ada yang melarang atau berani mencela karena kekuasaan berada di tangannya. Akan tetapi, akhir-akhir ini para hwesio di Tibet yang betul-betul melakukan penghidupan suci sesuai dengan ajaran Agama Buddha, mulai melihat kejahatannya. Kai Song Cinjin merasa khawatir kalau-kalau kedudukannya akan terguling, maka dengan cerdik ia lalu mengadakan hubungan dengan pemerintah Beng di Nan-king, rela menjadi kaki tangan Menteri Auwyang Peng yang sebaliknya menjanjikan bahwa kelak ia akan dijadikan raja muda di Tibet.
Mendengar ucapan terakhir dari Kai Song Cinjin itu tidak hanya Manimoko yang menjadi makin pucat, bahkan Yokuto hwesio Jepang itupun mengerutkan kening. Yokuto memang tidak berani banyak bicara oleh karena dia sendiri sebagai seorang hwesio telah tersesat masuk menjadi anggauta bajak laut. Tadinya Yokuto dan Manimoko, keduanya jago jago yudo dan silat Jepang, menjadi sahabat baik. Akan tetapi mereka mempunyai watak buruk, dan sering kali mengganggu wanita-wanita cantik. Akhirnya mereka diusir oleh ksatria Jepang golongan Samurai.
Kaum Samurai yang gagah berani ini, yang seperti pendekar pendekar di Tiongkok selalu menghela kaum lemah terlindas, mengejar-ngejar mereka yang terus melarikan diri dan akhirnya menggabungkan diri menjadi bajak laut. Kemudian mereka yang tidak berani kembali ke Jepang, menerima ajakan kaki tangan Auwyang-taijin untuk bekerja sebagai "tukang pukul"
Dari menteri itu. Yokuto sendiri merasa sebagai hwesio dia menyeleweng, akan tetapi mendengar ucapan Kai Song Cinjin tadi, dia yang tahu akan pelajaran Buddha, di dalam hati merasa tidak enak. Juga Auwyang Peng yang dahulunya seorang terpelajar, mencela omongan Kai Song Cinjin dengan kata-kata halus menyindir,
"Betapapun juga, harap saja Cinjin berhati-hati dan jangan terlalu memandang rendah fihak lawan."
Manimoko mengangguk-angguk dan menyambung kata-kata junjungannya.
"Memang betul, Cinjin jangan sembarangan menantang malaikat. Bisa kualat nanti!"
Kai Song Cinjin tertawa bergelak, suara ketawanya bergema sampai jauh karena ia sengaja mengerahkan khikangnya untuk memamerkan kepandaiannya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa lain, lebih besar dan lebih nyaring, malah mengalahkan gema suara ketawanya. Suara ketawa ini terdengar besar dan aneh, bukan seperti ketawa manusia, seakan-akan suara ketawa yang datang dari angkasa raya. Kai Song Cinjin otomatis menghentikan ketawanya, mulutnya masih menyeringai akan tetapi mukanya berubah, sepasang matanya berputar-putar mencari siapa orangnya yang tertawa itu.
"Aduh celaka...!"
Manimoko yang amat takut akan setan dan malaikat itu berkata, mukanya pucat, tubuhnya menggigil "Ini bukan suara manusia....!"
Tiba-tiba matanya terbelalak memandang ke arah depan, tubuhnya yang gemuk itu makin menggigil, mulutnya bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara, telunjuknya menuding-nuding seperti lakunya orang berotak miring melihat setan.
Semua orang memandang dan semua berseru kaget. Auwyang-taijin sendiri sampai cepat-cepat bangun dari tempat duduknya dan melompat ke dalam bersembunyi! Disusul oleh Auwyang Tek yang hendak melindungi ayahnya. Semua orang terbelalak memandang dengan tubuh panas dingin, kecuali Kai Song Cinjin yang bangkit berdiri, biar mukanya berubah pucat namun ia masih tabah. Apa yang mereka lihat? Benar-benar aneh dan menyeramkan sekali.
Di ruang depan memang terdapat sebuah patung Kwan In Tiang yang tinggi besar. Patung Itu terbuat dari pada tanah lempung, dalamnya kosong dan dicat indah sekali. Di tangan patung itu memegang golok gagang panjang yang betul-betul senjata tajam. Biasanya patung ini selain dipasang untuk alat hias ruangan, juga merupakan lambang kejujuran dan keadilan, banyak dipasang rumah para pembesar. Juga untuk penolak setan dan penyakit.
Akan tetapi, palung ini sekarang bisa berjalan, datang ke ruangan di mana Auwyang Peng bersidang dengan kaki tangannya! Yang hebat lagi, sepasang mata patung itu nelirak-lirik dengan pandang mata tajam sekali, dan golok panjangnya diayun-ayun seperti orang mengancam!
"Aduh celaka... ampun dewa......"
Manimoko mundur-mundur sampai ke sudut ruangan di mana ia berdiri menggigil. Juga Yokuto segera merangkap kedua tangan di depan dada dan mulutnya tiada hentinya bergerak-gerak, berkemak kemik membaca mantera pengusir iblis! Kai Song Cinjin melangkah maju dan berkata dengan suara keras untuk menghilangkan suasana menyeramkan.
"Siluman jejadian dari mana berani main gila di depan pinceng? Pergilah kau!"
Kedua tangan pendeta ini didorongkan ke depan dengan gerakan ilmu pukulan Hek tok-ciang! Patung itu mengangkat tangan kiri dan juga didorongkan ke depan. Dari tangan ini keluar hawa pukulan yang dahsyat dan bertumbuklah dua hawa pukulan itu di udara Akibatnya, pukulan Hek-tok-ciang buyar sama sekali dan kembali patung itu tertawa! Kai Song Cinjin melihat betapa bibir patung tidak bergerak sama sekali ketika tertawa, maka ia cepat berseru kepada kawan-kawannya,
"Jangan kalian takut. Dia itu hanya manusia biasa yang bersembunyi di dalam patung. Hayo serang!"
Biarpun mulutnya berkata begitu dia sendiri sebetulnya merasa kaget juga karena baik setan atau manusia, lawannya ini telah menangkis buyar pukulan Hek-tok-ciang! Cepat ia maju menyerang lagi dan kali ini ia melakukan Ngo-tok-kun (Ilmu Silat Lima Racun) yang lihai bukan main. Setiap pukulan ilmu silat ini dilakukan dengan pengerahan Iweekang yang berlainan dan ada lima macam hawa pukulan beracun yang terkandung dalam pukulan-pukulan Ngo-tok-kun, ada racun dari hawa Im-kang, ada dari Yang-kang, sehingga amat sukar bagi lawan untuk mengimbangi hawa pukulan Kai Song Cinjin yang berganti-ganti dan berubah sifatnya ini.
Patung bernyawa itu agaknya kaget juga menghadapi gelombang serangan ini, buktinya ia melompat mundur sambil memutar golok panjangnya. Melihat betapa "siluman"
Itu mundur terdesak oleh
Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
(Lanjut ke Jilid 14)
Pusaka Gua Siluman (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 14
rangkaian pukulan Kai Song Cinjin, Toat-beng-pian Mo Hun dan Ma-thouw Koai-tung Kui Ek mengeluarkan seruan keras dan dua orang ini menerjang maju sambil menggerakkan senjata masing-masing.
Pian kelabang di tangan Mo Hun lebih cepat gerakannya dari pada tongkat Kui Ek dan pian ini lebih dulu menyambar ke arah leher patung Kwan Kong itu. Golok panjang patung itu terlalu kaku dan tidak dapat dipergunakan untuk menangkis pian yang sudah terlalu dekat. Nampaknya leher patung pahlawan kuno itu akan kena hajaran piai. yang dahsyat ini.
Tiba-tiba patung itu mengeluarkan suara keras tangan kirinya menyambar dan ujung pian kelabang telah ditangkapnya! Kepandaian ini hebat sekali sampai Mo Hun berseru kaget. Lebih-lebih lagi kagetnya ketika patung itu menarik piannya dan setelah senjata itu menegang, tiba-tiba dilepaskannya. Pian itu ujungnya membalik cepat sekali ke arah muka Mo Hun!
"Ayaaaa.... celaka....!"
Mo Hun berseru namun masih sempat melepaskan senjata dan membuang diri ke kiri.
Betapapun cepatnya, ia masih tak dapat melindungi pundaknya. Sebuah di antara duri-duri piannya sendiri menancap di pundaknya. Mo Hun jingkrak-jingkrak dan berkuik-kuik kesakitan seperti anjing disiram air panas! Cepat ia mencabut piannya dan mundur untuk mengobati luka di pundak oleh senjatanya sendiri.
Sementara itu tongkat Kui Ek juga sudah menimpa keras ke arah kepala patung itu. Patung itu menggunakan kedua tangannya menggoyang golok bergagang yang dipegangnya.
"Krak!"
Gagang golok putus dan dengan golok yang sekarang menjadi golok pendek ia menangkis tongkat.
"Takk!"
Kui Ek mengeluh, kaget dan kesakitan, dan tak dapat mempertahankan lagi tubuhnya yang terhuyung mundur. Patung itu mengeluarkan suara keras, seperti tertawa akan tetapi amat menyeramkan, membuat beberapa orang pengawai yang sudah menyerbu masuk menjadi roboh terguling.
"Souw Teng Wi....I"
Kai Song Cinjin berseru kaget. Ia teringat bahwa dulu Souw Teng Wi juga mengeluarkan suara auman singa yang mengandung khikang luar biasa ini, dan ia mengira bahwa orang yang berada di dalam patung ini tentu Souw Teng Wi. Siapa lagi kalau bukan Souw Teng Wi yang berkepandaian begini hebat? Akan tetapi Souw Teng Wi sudah kehilangan dua biji matanya, kiranya tidak mungkin kalau orang ini Souw Teng Wi.
Akan tetapi ia tidak mau membuang waktu lagi dengan Ngo-tok-kun, sambil mengerahkan semua tenaganya. Juga Mo Hun yang masih marah sudah menyerang lagi dengan piannya, diikuti oleh Kui Ek. Dua orang jagoan Jepang yang tadinya ketakutan, sekarang merasa yakin bahwa di dalam patung ini tentu ada orangnya. Mereka juga maju menyerang dengan pedang samurai mereka.
Patung itu melayani mereka dengan gigih, goloknya dimainkan dengan gaya yang luar biasa. Akan tetapi karena patung itu terbuat dari pada tanah yang sudah kering, .gerakannya kaku sekali dan di sana-sini sudah mulai retak. Juga goloknya ketika bertemu untuk ke sekian kalinya dengan tongkat Kui Ek, menjadi rusak dan akhirnya patah menjadi dua oleh pian kelabang Mo Hun!
Melihat dia tidak bersenjata lagi, Manimoko hendak memperlihatkan kepandaiannya dan mencari pahala.
"Biar aku menawannya,"
Katanya dan tubuhnya yang seperti bola itu menggelundung ke depan, pedangnya sudah ia lempar ke samping menancap pada sebuah tiang. Patung itu nampak gugup menghadapi serangan aneh ini, dengan cara menggelinding, karena Manimoko menyerang dari bawah sambil menggelinding, patung itu memapakinya dengan sebuah, tendangan. Akan tetapi tendangan yang amat kaku karena kaki itu terbungkus tanah kering.
Mendadak, seperti akan melompat, Manimoko bangun dan tangannya menyambar, ilmu yudo dan jiujitsu ia pergunakan. Tanpa dapat dicegah lagi kaki patung itu sudah ia sambar dan tangkap. Patung itu mengeluarkan jerit kaget dan semua orang melengak karena jerit ini mirip jerit seorang wanita. Tangan patung itu memukul kepala Mani-moko, akan tetapi bagaikan seekor belut, Manimoko dapat mengelak dan kembali ia berhasil menangkap tangan patung itu. Manimoko mengeluarkan seruan keras sekali dan tahu-tahu tubuh patung itu sudah ia angkat dengan gerakan membanting dan di lain saat patung itu melayang ke atas oleh bantingannya.
Heran dan ajaib. Begitu berhasil melontarkan lawannya ke atas, Manimoko berdiri saja dalam posisi membanting dan ternyata ia telah kena ditotok oleh patung itu sampai dia sendiri yang sekarang diam kaku menjadi patung. Adapun patung itu mengambil kesempatan baik ini, meminjam tenaga membanting dari Manimoko. melompat ke atas, terdengar suara "brakkk,"
Dan tahu-tahu lampu-lampu penerangan sebanyak tiga buah di ruangan telah padam, disambit oleh patung itu menggunakan pecahan tanah kering dari "kulit"
Patung. Padamnya lampu-lampu yang menjadi pecah disusul suara berdebuk dan keadaan menjadi sunyi.
"Nyalakan lampu.....! Lekas...!!"
Tok-ong Kai Song Cinjin berteriak-teriak marah kepada para pengawal. Orang ribut-ribut menyalakan lampu dan ketika ruangan itu menjadi terang lagi, yang kelihatan hanya Manimoko yang masih berdiri dalam posisi membanting dan sebuah patung Kwan Kong yang sudah pecah berantakan di atas lantai, kosong tidak ada orangnya!
Semua orang, kecuali Tok-ong Kai Song Cinjin, menjadi pucat. Ada kembali timbul dugaan bahwa yang mengamuk tadi tentu roh Kwan Kong yang marah karena ditantang lalu memasuki patungnya sendiri! Akan tetapi Kai Song Cinjin membentak marah,
"Gentong-gentong kosong, kalian mau apa pelotat-pelotot di sini saja? Hayo lekas meronda dan periksa setiap tempat, jangan-jangan bangsat itu masih bersembunyi di sini!"
Semua pengawal bubaran, akan tetapi biarpun mereka mentaati perintah ini melakukan perondaan, tidak urung bulu tengkuk mereka meremang dan para penjaga yang biasanya tabah dan sombong ini, sekarang mendengar suara tikus atau kucing lewat saja bisa menggigil karena kaget dan takut! Kai Song Cinjin membebaskan totokan yang membuat Manimoko menjadi patung. Begitu si gemuk ini melihat patung pecah berantakan dan kosong, ia segera berlutut di depan pecahan patung sambil mengeluh,
"Mohon hamba diampuni telah berani berlaku kurang ajar terhadap Kwan-thai-ciangkun (Panglima Besar Kwan)..."
Jagoan Jepang ini sekarang merasa yakin bahwa yang dilawannya tadi tentulah roh dari Kwan Kong, karena selain ada bukti bahwa patung itu kosong tidak ada orangnya, juga kalau seorang manusia biasa, bagaimana bisa melepaskan diri dari tangkapan dan bantingannya tadi yang sudah pernah merobohkan ratusan orang jago gulat di negerinya? Kai Song Cinjin menjadi makin mendongkol, la mengeluarkan tangan dan sekali tarik tubuh Manimoko yang tadinya berlutut itu sudah berdiri lagi.
"Jangan melantur!",bentaknya marah. Lawan tadi menotokmu dan melompat ke atas, memadamkan lampu dan menggunakan kesempatan dalam gelap untuk lari minggat. Apa kau masih menganggap dia setan?"
Manimoko tak berani membantah, akan tetapi mukanya masih pucat dan bibirnya berkomat-kamit. Mendadak dari sebelah dalam gedung Auwyang-taijin terdengar teriakan-teriakan riuh,
"Tolong...! Taijin diserang siluman.....!!"
Kai Song Cinjin melesat ke dalam, diikuti oleh Mo Hun dan Kui Ek, juga Yakuto hwesio Jepang itu hendak berlari masuk. Akan tetapi ia berhenti dan melihat kawannya Manimoko jatuh terguling dan berlutut sambil menyebut-nyebut nama segala macam dewata Jepang! Dapat dibayangkan ketakutan Manimoko yang amat percaya akan tahyul. Tadi ia memang masih ketakutan dan ngeri, sekarang mendengar orang berteriak ada siluman, semangatnya terbang dan ia menjadi ketakutan setengah mati.
Lenyap semua keberaniannya. Padahal Manimoko adalah seorang bekas bajak laut yang selain memiliki kepandaian tinggi, juga amat kejam dan tidak segan-segan membunuh manusia dengan mata tidak berkedip. Akan tetapi ia mempunyai kelemahan, yaitu amat takut kepada segala macam setan dan iblis.
"Manimoko, jangan seperti anak kecil. Hayo kita ikut menolong taijin,"
Kata Yokuto kepada kawan senegaranya itu.
"Ti.. tidak....ja.... jangan, Aku boleh melawan seratus orang manusia, akan tetapi setan...? Huh, jangan suruh aku melawannya!"
"Bodoh, apa kau ingin melihat taijin marah? Setan atau bukan, kalau kita maju beramai, takut apa sih? Hayo, di mana kegagahanmu?"
Hwesio Jepang itu mengajak Manimoko dan setengah menyeretnya, mengejar yang lain-lain memasuki ruangan dalam langsung menuju ke kamar Auwyang-taijin. Setelah tiba di dalam, mereka melihat Auwyang Tek berada dalam keadaan seperti Manimoko tadi, berdiri tak bergerak menjadi patung! Hal ini benar-benar amat mengejuikan. Kalau Manimoko yang kena totokan, hal itu tidak begitu aneh oleh karena Manimoko ahli yudo ini tak pernah mempelajari ilmu tiam-hiat-hoat (ilmu menotok jalan darah).
Akan tetapi Auwyang Tek adalah murid Kai Song Cinjin, tidak saja ahli pukulan Hek-tok-ciang dan memiliki ilmu silat tinggi, akan tetapi juga mahir tentang ilmu menotok jalan darah. Bagaimana pemuda lihai ini bisa tertotok dan menjadi patung? Adapun Kai Song Cinjin dan yang lain-lain tadi tidak sempat membebaskan Auwyang Tek dari keadaannya itu karena mereka buru-buru memasuki kamar Auwyang-taijin yang berteriak-teriak minta tolong. Ketika Kai Song Cinjin sudah melompat masuk, ia mendapatkat menteri durna itu masih memandang dengan mata terbelalak dan menjerit-jerit,
"Am..... ampun..... tolong...... jangan cabut nyawaku.....I"
Kemudian ia menjerit lebih nyaring lagi.
"Ada setan....!"
Kai Song Cinjin sebagai seorang ahli tahu bahwa junjungannya ini mengalami kekagetan besar sampai mempengaruhi urat syarafnya. Cepat ia menekan dan menepuk beberapa jalan darah, dan mengurut belakang kepala pembesar itu yang segera menjadi tenang kembali. Begitu sadar ia lalu membentak-bentak marah.
"Mana semua pengawal? Apa saja kerjanya Kai Song Cinjin, apa kau juga tidak bisa menangkap setan itu?"
Sebetulnya apakah yang terjadi? Mudah saja diduga siapa adanya orang yang mengganggu pembesar ini. Bukan lain adalah orang yang tadi menyamar sebagai K wan Kong hidup dan menggempur para jagoan, yaitu Souw Lee Ing adanya! Tadinya Lee Ing yang tidak mau memperlihatkan diri, tidak mau dirinya dikenal sebagai puteri Souw Teng Wi untuk menjaga keselamatan ayahnya. Melihat patung Kwan Kong di ruangan depan, patung ini mendatangkan akal pada gadis cerdik ini, apa lagi setelah ia mendapatkan kenyataan bahwa patung itu dalamnya bolong.
Ia memasuki patung, tentu saja mematahkan bagian-bagian bersambung seperti siku, lutut, leher dan sebagainya agar ia dapat leluasa bergerak, kemudian ia muncul membikin kacau pertemuan dan berhasil menguji kepandaian Kai Song Cinjin dan kawan-kawannya. Karena ia tak dapat bertanding dengan leluasa dalam "pakaian"
Seperti itu, apa lagi karena para pengeroyoknya memang rata-rata lihai, Lee Ing terpaksa meninggalkan tempat itu setelah menotok kaku Manimoko yang akan membantingnya, kemudian menyambit padam semua lampu dan terus pergi.
Ke mana? Bukan terus lari keluar, sebaliknya gadis yang tabah dan penuh akal ini terus menyerbu masuk. Sudah ia perhitungkan bahwa kalau ia pergi dari ruangan itu, para pengawal tentu akan mengejar dan mencari ke luar sehingga ia dapat leluasa menggeratak di dalam.
Lee Ing memasuki gedung dengan maksud mengancam Auwyang-taijin dan mendesak pembesar itu memberi tahu di mana adanya Souw Teng Wi ayahnya. Akan tetapi begitu ia berkelebat, ia sudah diserang oleh Auwyang Tek yang menjaga kamar ayahnya. Auwyang Tek adalah seorang pemuda dengan kepandaian tinggi, begitu melihat bayangan melesat masuk, ia maklum bahwa itu tentu musuh. Cepat ia mengirim pukulan Hek-tok-ciang dengan maksud sekali pukul merobohkan maling ini.
Akan tetapi ia benar-benar kecele ketika ia merasa betapa pukulannya seperti memukul bayangan belaka. Lawan yang tak dapat ia lihat tegas orangnya saking cepatnya gerakan lawan itu, tahu-tahu sudah menyambar dekat dari lain jurusan dan tahu-tahu Auwyang Tek sudah berdiri kaku karena jalan darahnya kena, ditutup oleh totokan istimewa. Selanjutnya ia tidak berdaya dan tak dapat melihat apa-apa karena lehernya tak dapat ia gerakkan, namun ia tahu bahwa bayangan secepat setan itu telah memasuki kamar ayahnya.
Semenjak melarikan diri ke dalam kamarnya, Auwyang Peng naik ke atas ranjang dan berdiam di situ tak berani bergerak, tubuhnya gemetar ketakutan. Ia cukup maklum akan kelihaian kaki tangannya, cukup yakin bahwa dirinya terlindung dan terjaga kuat.
Akan tetapi dasar nyalinya memang nyali tikus, beraninya cuma membentak-bentak orang sekawan, mendengar suara pertempuran di luar ia menjadi pucat ketakutan. Apa lagi ketika ia mendengar suara gedebak-gedebuk di luar kamar, ia menjadi makin ngeri dan cepat menyembunyikan tubuh di bawah selimut, hanya mukanya saja tidak ditutupi selimut agar dapat bernapas.
Dalam keadaan takut setengah mati itu, dapat dibayangkan betapa terkejut dan ngerinya sampai semangatnya terbang entah ke mana ketika tiba-tiba ia melihat ada orang menerjang memasuki kamarnya dan orang itu memakai kerudung putih, tidak terlihat mukanya, hanya dua lubang pada kain itu memperlihatkan mata orang yang tajam bagaikan mata harimau di tempat gelap.
"Ses... se.. setan...!"
Bisik Auwyang-taijin dan tubuhnya menggigil seperti orang sakit demam.
Orang itu tentu saja adalah Lee Ing yang setelah menotok Auwyang Tek, lalu merobek kain tirai putih untuk menutupi mukanya. Untuk mencegah pembesar itu menjerit, Lee Ing melompat dan di lain saat jari-jari tangannya yang halus sudah mencengkeram leher Auwyang Peng.
"Hayo cepat katakan di mana adanya Souw Teng Wi sekarang, kalau tidak mengaku lehermu akan kupatahkan!"
Kata Lee Ing, merobah suaranya menjadi besar seperti suara laki-laki. Hal ini mudah saja baginya, karena berkat kepandaiannya yang tinggi, ia dapat mempergunakan khikahg untuk mengubah suara. Jangankan hanya suara laki-laki, bahkan ia dapat melakukan Ilmu Auman Singa dengan baik.
"Aku.... aku tidak tahu.... sungguh mati..... ampun..... aku tidak tahu....."
Jawab Auwyang Peng dengan gagap-gugup.
"Dulu Souw Teng Wi dibawa oleh orang-orangmu, sekarang di mana? Hayo jawab, atau kau lebih suka lehermu patah?"
Lee Ing sengaja menyentuh jalan darah di leher, membuat kepala Auwyang Peng serasa terbakar.
"Am..... ampun..... Souw Teng Wi...... sudah dirampas oleh.... oleh Tiong-gi-pai.... ampun.... di tempat orang-orang...... Tiong-gi-pai itu..... itu... itulah...."
Saking takut dan sakit, Auwyang Peng tidak dapat melanjutkan kata-katanya, akan tetapi diam-diam ia dapat menduga bahwa orang ini bukan anggauta Tiong-gi-pai, karena kalau anggauta Tiong-gi-pai, masa mencari Souw Teng Wi di situ? Lee Ing percaya akan keterangan ini, karena memang sebelumnya iapun sudah mendengar percakapan antara pembesar ini dengan orang-orangnya dan ternyata memang mereka tidak tahu di mana adanya Souw Teng Wi di waktu itu. Apa lagi, seorang yang begini ketakutan tidak mungkin bicara bohong.
"Kali ini aku hanya mencabut kumismu, lain kali mungkin nyawamu!"
Kata Lee Ing dan sekali jari-jari tangannya yang halus bergerak, Auwyang Peng memekik keras, merasa seakan-akan semua kulit mukanya dibeset copot, begitu sakit dan pedas sampai "a menjerit minta tolong dan matanya nyerocos air mata. Ketika ia memandang lagi "setan"
Itu sudah lenyap dan ketika ia meraba mukanya, ternyata kumis dan jenggotnya sudah terbang, mukanya menjadi halus dan berdarah. Karuan saja ia makin ketakutan, berteriak-teriak, minta tolong.
Ketika Auwyang Peng membentak-bentak, Kai Song Cinjin cepat melompat keluar mengejar. Ia merasa lega melihat bahwa pembesar itu hanya kehilangan jenggot dan kumisnya, tidak kehilangan kepalanya. Dengan gerakan yang luar biasa gesitnya, kakek ini melompat ke atas genteng mendahului para pengawal yang melakukan pengejaran dengan hati dak-dik-duk ketakutan. Kai Song Cinjin melihat bayangan hitam melesat di depan. Ia cepat menggerakkan tangan melepas belasan batang jarum Toat-beng-ciam ke arah bayangan itu sambil berseru,
"Bangsat, hendak lari ke mana?"
Dengan jelas Kai Song Cinjin melihat betapa dengan mengebutkan ujung lengan baju saja, bayangan itu telah membikin runtuh semua jarum tanpa menengok, kemudian beberapa kali lompatan jauh membuat bayangan itu lenyap dari pandangan matanya. Betapapun cepat ia mengejar, tak dapat ia menyusul dan dengan uring-uringan ia kembali ke gedung Auwyang-taijin. Pembesar itu setelah diobati mukanya lalu mengadakan persidangan darurat. Auwyang Tek marah sekali setelah dibebaskan dari totokan.
"Besok kita harus basmi bangsa-bangsat Tiong-gi-pai, membalas penghinaan ini!"
Katanya sambil membanting kaki.
"Masih belum dapat dipastikan apakah orang itu anggauta Tiong gi-pai,"
Kata Kai Sopg Cinjin.
"di sana hanya ada dua orang lihai, Pek Mao Lo-jin dan Im-yang Thian-cu. Pinceng pernah melihat dua orang itu, akan tetapi yang datang tadi perawakannya..... hemm, hampir pinceng percaya bahwa dia itu seorang wanita. Bentuk tubuhnya mengatakan demikian....."
"Tak mungkin! Semua dugaan keliru dan ceroboh!"
Auwyang Peng yang masih marah itu membantah.
"Pertama, dia itu bukan anggauta Tiong-gi-pai. Kalau dia anggauta Tiong-gi-pai apa perlunya dia datang mencari keterangan di mana adanya pemberontak Souw Teng Wi? Ke dua, dia itu sama sekali bukan wanita. Dia sudah memasuki kamarku, suaranya besar seperti setan. Mana bisa dia wanita? Dia itu laki-laki menakutkan. Tentu dia itu teman Souw Teng Wi yang berusaha menculik atau menolong pemberontak itu."
"Jangan-jangan orang dari utara.."
Kata Kai Song Cinjin hati-hati, la maksudkan dari utara itu adalah dari Peking, yaitu seorang pesuruh Raja Muda Yung Lo. Mendengar ini, semua orang diam dan suasana menjadi tegang Memang kalau Raja Muda Yung Lo yang bergerak, itu berbahaya.
"Tak mungkin,"
Kata pula Auwyang-taijin.
"Utara sudah tahu bahwa Souw Teng Wi tidak berada di tangan kita, bagaimana orang dari utara mencari Souw Teng Wi ke sini?"
Tiba-tiba Auwyang Tek menepuk jidatnya.
"Ah, mengapa aku begitu pelupa? Tentu saja dia orangnya...!"
Semua mata memandangnya penuh harap.
"Siapa dia? Lekas terangkan,"
Kata Auwyang-taijin tak sabar lagi.
"Tentu dia itu Lui Siu Nio-nio ketua Hoa-lian-pai! Siapa lagi kalau bukan dia yang hendak menculik Souw Teng Wi untuk membalas dendam kepada suami muridnya yang terbunuh oleh Souw Teng Wi?"
Semua orang diam, berpikir dalam-dalam. Akhirnya Kai Song Cinjin menarik napas panjang.
"Mungkin sekali, wanita ketua Hoa-lian-pai itu memang lihai, akan tetapi aku masih sangsi apakah Lui Siu Nio-nio begitu berani menyerbu ke sini mengganggu taijin, setelah dia cukup maklum bahwa pinceng berada di sini."
Mulutnya berkata demikian, akan tetapi hati Kai Song Cinjin merasa yakin bahwa bukan Lui Siu Nio-nio orang itu, karena kalau Lui Siu Nio-nio, mana sanggup melarikan diri dari padanya dan sekali sampok meruntuhkan belasan Toat-beng-ciam yang dilepasnya? Akan tetapi tentu saja ia tidak ada muka untuk bercerita tentang kegagalannya ini, hal itu menyinggung nama besar dan kegagahannya serta kesombongannya, bahwa dia tak dapat dikalahkan oleh siapapun juga.
Selagi mereka menduga-duga dan bersiap-siap untuk menghadapi pibu dengan fihak Tiong-gi-pai pada besok hari, Lee Ing sudah jauh meninggalkan istana dan gadis ini berlari-larian memasuki hutan sambil tersenyum-senyum puas dan juga geli kalau mengingat betapa ia telah mempermainkan musuh-musuhnya. Akan tiba saatnya dia membalas kejahatan Kai Song Cinjin, pikirnya. Sekarang yang terpenting mencari ayahnya dan agaknya fihak Tiong-gi-pai yang mengetahui di mana adanya Souw Teng Wi ayahnya tercinta itu.
Lee Ing langsung memasuki hutan ke dua di mana tadi ia sudah melihat para anggauta Tiong-gi-pai berkumpul dan di mana katanya jago muda yang bernama Liem Han sin dirawat. Hutan itu sudah sunyi sekali dan agaknya tidak ada orangnya yang masih tinggal di pondok kecil di tengah hutan itu. Bahkan lampu penerangan sedikitpun tidak ada.
Baiknya sinar bulan yang tadi menjadi penerangan bagi Lee Ing ketika memasuki hutan, masih tergantung di angkasa dan membuat ia dapat melihat keadaan di situ dengan nyata. Memang para anggauta Tiong-gi-pai hanya menggunakan tempat itu sebagai tempat pertemuan belaka, tak pernah mereka bermalam di situ karena dalam beristirahat lebih baik mereka berpencaran agar jangan sampai diserang oleh musuh.
Hanya ketika Han Sin terluka dan perlu dirawat, tempat itu dipakai oleh Liem Hoan untuk merawat puteranya. Selagi Lee Ing celingukan melihat ke kanan kiri di dekat rumah kecil itu, ia mendengar orang menarik napas panjang. Gadis ini cepat menyelinap dan mendengarkan orang yang bicara seorang diri di dalam pondok gelap itu.
"Semoga Thian mengasihani hamba Nya yang bernasib malang ini. semoga Im Yang Thian Cu berhasil menyembuhkan Han Sin. Ahhh, nasib, si jahanam Auwyang Tek terlalu kejam dan kuat. Bagaimana sakit hati dua orang puteriku dapat terbalas..?"
Lee Ing tidak tahu siapa yang berada di dalam pondok, ia bermaksud minta paksa di mana adanya ayahnya, akan tetapi mendengar keluhan orang yang demikian menyedihkan, hatinya tidak tega untuk mempergunakan kekerasan mengagetkan orang yang sudah demikian sedih. Ia dapat menduga bahwa putera orang ini yang bernama Han Sin tentulah jago muda yang terluka seperti yang dibicarakan oleh para tokoh Tiong-gi-pai siang tadi.
Di mana adanya jago muda itu yang sedang diobati oleh Im-yang Thian-cu? Dan siapakah Im-yang Thian-cu yang namanya menunjukkan bahwa dia seorang pendeta? Tentu seorang di antara dua kakek yang memegang kipas, karena dia telah menanyakan muridnya yang terluka.
Semua ini menarik pikiran Lee Ing dan tiba-tiba ia mendengar suara lapat-lapat dari arah kiri pondok. Cepat ia lalu meninggalkan pondok itu menuju ke tempat datangnya suara. Betul saja, di sebuah tempat terbuka, di mana rumput hijau tumbuh tebal dan segar, duduk bersila seorang pemuda yang berpotongan kekar dan tegap. Dari cahaya bulan, Lee Ing melihat sepintas bahwa segala-galanya pada diri pemuda ini membayangkan kegagahan seorang pendekar. Pakaiannya bersih dengan potongan sederhana saja, terbuat dari pada kain kasar lagi.
Rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas dan dibungkus kain yang bersih. Keningnya lebar dan tinggi, halus mengkilap terkena cahaya bulan, membayangkan otak sehat dan cerdik. Sepasang mata yang bersinar tajam jujur dilindungi alis tebal dan bulu mata panjang. Hidung, mulut, dan dagunya membayangkan sifat laki-laki, yang kuat hati dan besar semangat. Pundaknya bidang, dadanya tegap. Tubuhnya agak tinggi dan penuh dengan otot-otot yang membayangkan kesehatan jasmani..
Benar-benar seorang pemuda yang gagah perkasa, patut menjadi seorang pendekar. Untuk sejenak Lee Ing memandang dengan hati tertarik, mau tak mau harus diakuinya bahwa selama ini belum pernah ia melihat seorang pemuda demikian gagahnya. Sekaligus timbul rasa suka dan simpati, karena hatinya yakin bahwa seorang pemuda seperti itu tentu memiliki jiwa yang gagah dan ksatria. Akan tetapi aneh bin ajaib, tiba-tiba saja wajah Oei Siok Ho terbayang di depan matanya.
Pemuda yang lemah-lembut, halus gerak-geriknya, sedap didengar tutur-sapanya, pemuda yang ganteng dan tampan sekali! Dan merahlah muka Lee Ing. Di dalam hatinya, ia menampar pipi sendiri dan membentak.
"Lee Ing gadis tak bermalu! Apa-apaan kau memikir-mikir dan membanding-bandingkan pemuda-pemuda? Cih, patut ditampar!"
Cepat ia memindahkan pandangan matanya ke arah seorang tosu yang duduk bersila di dekat pemuda itu. Benar saja dugaannya, itulah tosu tinggi kurus yang mukanya selalu muram dan merengut, tosu yang siang tadi muncul dengan kipasnya. Inilah Im-Yang Thian-Cu yang sedang mengobati muridnya.
"Dengan katak merah, sebetulnya racun Hek-tok-ciang di tubuhmu sudah hilang tenaganya dan tidak berbahaya lagi. Akan tetapi karena kau terlalu sembrono sehingga yang kena pukul adalah bagian tubuh yang berbahaya, maka akibatnya juga parah. Kalau kau beristirahat saja, tentu paling cepat dua bulan baru pulih kesehatanmu. Aku bukan seorang ahli pengobatan seperti Koi-Yok-Sian di Thian-mu-san, akan tetapi untuk cepat menyembuhkan luka di dalam tubuhmu, ada jalannya. Kalau aku membantumu dalam penyaluran tenaga dalam dan dengan sedikit latihan, kiranya dalam waktu kurang dari sebulan dan sedikitnya tiga minggu lukamu akan sembuh."
"Teecu menerima salah. Memang jahanam Auwyang Tek itu lihai sekali,"
Jawab Han Sin terus terang.
"Aku dulu bilang apa? Dasar kau yang bandel Bintang Kerajaan Beng sedang terang, biarpun ada pembesar-pembesar durna, namun kedudukannya kuat sekali. Kaisar tidak tahu bahwa Auwyang-taijin adalah pembesar durna, tahunya hanya bahwa menteri itu setia kepada negara. Dan Auwyang-taijin dilindungi oleh orang seperti Kai Song Cinjin. Aku sendiri yang menjadi gurumu sama sekali tidak mampu kalau harus menghadapi Kal Song Cinjin."
"Bagaimanapun juga. suhu. Teecu harus melawan Auwyang Tek lagi. Dua orang saudara perempuan teecu binasa di tangan Auwyang Tek secara keji dan memedihkan, apakah hal macam ini harus dibiarkan saja? Tidak, selama teecu masih bernapas, teecu akan berusaha membalas dendam kepada jahanam Auwyang Tek."
"Dan langsung menghadapi Kai Song Cinjin? Kau bodoh. Auwyang Tek adalah murid Kai Song Cinjin. mana bisa kau mengalahkan gurunya?"
Hau Sin menarik napas panjang.
"Apa boleh buat, kalau perlu teceu berani mengorbankan nyawa teeeu yang tidak berharga ini demi membela keadilan dan kebenaran teecu mendengar dari Kwee-pangcu bahwa Souw Teng Wi taihiap telah memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya. Biarlah teecu akan mencari Souw-taihiap dan mohon diberi pelunjuk oleh pendekar itu."
Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo