Pusaka Gua Siluman 2
Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
"Betul aku Souw Lee Ing puteri Souw Teng Wi. Kau ini siapakah, orang tua?"
"Heh-heh-heb-heh...!"
Hwesio itu tertawa terkekeh-kekeh. Suara ketawanya tidak keras akan tetapi mengandung pengaruh yang mendebarkan jantung sehingga Haminto Losu kaget bukan main. Dari suara ketawanya dan munculnya yang tiba-tiba tadi saja sudah membuktikan bahwa hwesio ini adalah seorang sakti, Iweekangnya hebat dan ginkangnya tinggi sekali.
"Pantas pantas! Ayah naga tentu puterinya bukan sebangsa cacing. Kau berbakat dan bertulang baik, mari kau ikut dengan aku. nona!"
"Nanti dulu, orang tua. Kau siapakah dan mengapa aku harus ikut dengan kau? Aku hendak pergi mencari ayahku,"
Jawab Lee Ing, tetap tabah.
Kembali hwesio itu tertawa ngikik. Mendengar suara ketawa ini, orang yang bernyali kecil akan meremang bulu tengkuknya, seperti mendengar suara ketawa setan atau orang gila.
"Pinceng bernama Bu Lek Hwesio dan aku mengajakmu menemui ayahmu. Marilah!"
Sambil berkata demikian. kedua tangannya bergerak-gerak maju dan iapun melangkah ke depan.
(Lanjut ke Jilid 02)
Pusaka Gua Siluman (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02
Lee Ing bergerak mundur dan Haminto Losu memegang lengan gadis itu. Akan tetapi bukan main hebatnya, semacam tenaga menarik yang seperi angin puyuh datang membetot tubuh Lee Ing dan biarpun Haminto Losu mengerahkan Iweekangnya, di lain saat tangan gadis itu sudah dipegang oleh Bu Lek Hwesio yang masih tertawa-tawa.
"Nanti dulu, sahabat!"
Haminto Losu melompat ke depan menghadapi hwesio aneh itu. Haminto Losu merasa curiga dan tidak percaya kepada hwesio thi yang lihai sekali. Tidak bisa ia mempercayakan cucunya begitu saja kepada orang yang belum dikenalnya baik baik.
"Tanpa bukti-bukti yang nyata tidak bisa kau membawa cucuku begitu saja"
"Apakah kau yang bernama Haminto dan yang tadi melukai dua orang anak muridku?"
Hwesio itu bertanya, matanya disipitkan, kepala ditarik ke belakang.
Haminto Losu cepat mengangkat tangan memberi hormat.
"Memang betul, aku yang rendah bernama Haminto dan tidak kusangkal bahwa tadi aku telah bertempur dengan dua orang muda sampai mereka itu terluka. Akan tetapi, adalah mereka yang terlalu mendesak dan memaksaku. Sesungguhnya kami datang ke Tiong-goan bukan dengan maksud mencari permusuhan, melainkan hendak mencari mantuku, Souw Teng Wi ayah cucuku ini. Kalau betul sahabat dapat memberi keterangan di mana adanya Souw Teng Wi, aku akan menghaturkan terima kasih dan merasa bersyukur sekali dan biarlah aku sendiri mencarinya bersama cucuku."
Sudah jelas bahwa Haminto Losu berlaku mengalah dan merendah sekali, ia berlaku hati-hati karena belum tahu orang macam apakah yang ia hadapi ini, kawan ataukah lawan.
"Hemm..."
Bu Lek Hwesio mengeluarkan suara di hidung, nadanya memandang rendah sekali.
"dua orang muridku memang tidak keliru, semua orang utara yang biadab kalau berani menyeberangi tembok besar ke selatan, harus dibasmi habis agar jangan terulang kembali penjajahan oleh orang-orang biadab dari utara! Akan tetapi sayang mereka itu tidak teliti, kalau kau menjadi mertua Souw-taihiap tentu saja merupakan kekecualian dan boleh diampuni, akan tetapi tetap saja tidak boleh terus ke selatan. Sekarang nona Souw sudah bertemu dengan pinceng, serahkan dia kepada pinceng untuk dipertemukan dengan ayahnya. Dia bertulang baik, kiranya patut menjadi murid pinceng. Adapun kau sendiri, lebih baik lekas kembali ke utara sebelum bertemu dengan kawan-kawan lain yang takkan mau mengampunimu."
Setelah berkata demikian, ia menoleh kepada Lee Ing dan berkata "Hayo, nona Souw, kita pergi sekarang juga!"
Tangannya bergerak perlahan, namun Lee Ing tak dapat mengelak dan tahu-tahu pergelangan tangan kanannya sudah kena dipegang oleh hwesio itu.
"Nanti dulu, losuhu!"
Seru Lee Ing.
"Biarpun kau bermaksud baik, akan tetapi aku masih belum melihat buktinya. Losuhu hendak mengambil murid kepadaku, mudah saja. Akan tetapi kong-kongku inipun seorang ahli silat yang pandai Kalau losuhu tidak memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari padanya, untuk apa aku belajar ilmu silat darimu?"
Hwesio itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Keras dan jujur seperti ayahnya! Souw-siocia, kau masih belum percaya kepada pinceng? Ha-ha, boleh sekali, suruh kongkongmu itu maju, biar kita main-main sebentar. Kalau aku tidak bisa mengalahkannya dalam sepuluh jurus, anggap saja aku tidak berharga menjadi gurumu."
Sikap yang sombong ini memanaskan perut Lo Houw. la mendahului Haminto Losu, melompat dan mengaum seperti harimau menghadapi Hu Lek Hwesio.
"Hwesio sombong, coba kau-hadapi aku lebih dulu!"
Katanya memasang kuda-kuda.
"Kau siapakah?"
Tanya Bu Lek Hwesio dan dari sepasang matanya yang tajam itu menyambar sinar berapi-api. Haminto Losu dapat melihat ini dan hatinya tidak enak, cepat ia mendahului Lo Houw menjawab,
"Dia adalah Lo Houw, seorang pahlawan patriot yang dahulu berjuang di bawah pimpinan Souw Teng Wi."
Bu Lek Hwesio mengangguk angguk.
"Baiknya dia menyebutkan hal ini, kalau tidak jangan harap kau akan dapat bernapas lagi. Majulah!"
Lo Houw tidak menjadi gentar, dengan auman keras ia menyerbu, kedua tangannya bertubi-tubi melakukan tusukan yang merupakan totokan berbahaya. Bu Lek Hwesio tidak bergerak, tetap berdiri dengan kedua lengan menyilang di depan dada. Padahal tangan kiri dan kanan dari Lo Houw sudah bergerak dan jari jarinya sudah menotok, yang kanan mengarah leher yang kiri mengancam dada! Ketika jari-jari itu hampir menyentuh sasaran. Bu Lek Hwesio hanya miringkan sedikit lehernya, totokan pada leher itu tidak mengenai sasaran sedangkan totokan pada dadanya diterima begitu saja! "Krek!!"
Lo Houw menjerit dan melompat mundur sambil memegangi jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya yang ternyata sudah patah-patah tulangnya.
Bu Lek Hwesio tersenyum mengejek dengan mulutnya yang selalu merengek itu.
"Hanya begitu saja kemampuanmu?"
Lee Ing kagum bukan main, akan tetapi Haminto Losu sudah melompat sambil mencabut pedangnya.
""Sahabat, kepandaianmu hebat. Biarlah aku yang bodoh mencoba-coba untuk memuaskan hati cucuku, pula agar aku yakin bahwa cucuku berada di tangan yang cukup kuat untuk menuntunnya mencari ayahnya."
"Majulah, orang Hsi-sia!"
Bu Lek Hwesio menantang, masih tetap berdiri dengan dua lengan bersedakap tenang-tenang saja. Agaknya ia tidak bersenjata dan hendak menghadapi pedang Haminto Losu dengan tangan kosong. Haminto Losu maklum bahwa hwesio ini lihai sekali, maka ia cepat berseru "Lihat pedang!"
Dan melakukan serangan hebat dengan babatan pedang-nya disusul oleh tendangan Soan-hong-twi yang amat berbahaya itu.
"Bagus!"
Bu Lek Hwesio berseru dan benar-benar luar biasa sekali, tidak diketahui atau dilihat gerakannya tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke kiri sehingga babatan pedang dan tendangan yang dilakukan amat cepatnya itupun tidak mengenai sasaran.
"Satu jurus!"
Kata Bu Lek Hwesio sombong. Haminto Losu menjadi penasaran sekali mendengar ini karena ternyata hwesio itu benar-benar hendak membuktikan bualnya kepada Lee Ing tadi bahwa dia akan dapat merobohkan Haminto Losu dalam sepuluh jurus! Bagaimana juga, Haminto Losu bukanlah seorang ahli silat biasa, melainkan seorang tokoh yang memiliki ilmu pedang hebat, di samping ini ilmu tendangannyapun terkenal ditambah ilmu cengkeraman model Mongol. Bagaimanakah ia akan dapat dirobohkan begitu saja dalam sebuluh jurus? Hwesio sombong ini biarpun kepandaiannya lebih tinggi dari padaku, akan tetapi terlalu sombong dan harus diberi malu, pikir Haminto Losu dan ia berlaku hati-hati sekali.
Kembali ia menyerang dengan pedangnya, akan tetapi kali ini serangannya hanya mempergunakan tiga bagian saja dari pada kepandaiannya, yang tujuh bagian ia pergunakan untuk menjaga diri agar jangan sampai kalah dalam sepuluh jurus. Biarpun dengan cara demikian ia tidak mungkin dapat mengirim serangan-serangan berarti, namun penjagaannya menjadi amat kuat dan kiranya tidak mungkin orang dapat merobohkan dalam sepuluh jurus, apa lagi orang itu bertangan kosong.
"Dua jurus!"
Bu Lek Hwesio menghitung lagi sambil mengelak perlahan, biarpun ia tahu akan perubahan ini namun ia bersikap biasa seolah-olah tidak tahu. Kembali Haminto Losu menyerang, cepat sekali ia menyerang bertubi-tubi menggunakan jurus demi jurus akan tetapi semua ia lakukan dengan mengerahkan hanya tiga bagian ilmunya. Maksudnya agar supaya cepat-cepat ia menghabiskan sepuluh-jurus karena kalau sudah lewat sepuluh jurus belumi juga hwesio itu mampu mengalahkan nya berarti ia menang!
"Tiga jurus! Empat jurus..... lima jurus... enam jurus!"
Karena serangan-serangan Haminto Losu bertubi-tubi dan amat cepat datangnya sambil mengelak ke sana ke mari Bu Lek Hwesio menghitung dengan cepat pula. Kembali Haminto Losu menyerang bertubi-tubi dengan gerak tipu menyerupai Kongciak-kai-peng (Merak Membuka Sayap) disusul Sian-jiu-hoan-eng (Dewa Menukar Bayangan) kemudian Hun-in-toan-san (Awan Melintang Memutuskan Gunung).
Dengan gerakan perlahan namun selalu tepat sekali Bu Lek Hiwcsio mengelak lari dua seiangan pertama sambi I menghitung "Tujuh jurus..... delapan jurus...."
Serangan ketiga, Hun-in-toan-san itu dilakukan dengan membabatkan pedang ke arah leher. Serangan ini lebih berbahaya dari pada serangan yang sudah-sudah. Namun Bu Lek Hwesio berdiri tegak tidak mengelak sama sekali, bahkan mulutnya dengan nada mengejek menghitung.
"Sembilan jurus!"
Tiba-tiba pedang yang menyambar itu terhenti di tengah udara dan ternyata punggung pedang sudah kena dijepit oleh dua jari tangan kiri Bu Lek Hwesio. Karena pedangnya terhenti di tengah udara, Hamimo Losu tercengang dan tak dapat terus menyerang melainkan dengan kaget sekali berusaha menarik pulang pedangnya. Namun pedang itu seakan-akan terkait oleh jepitan baja yang amat kuat.
Haminto Losu mengerahkan tenaga, kemudian hendak menggunakan saat terakhir itu menyelesaikan jurus ke sepuluh. Namun, sebelum kakinya menendang, tiba-tiba jepitan pedang dilepaskan oleh Bu Lek Hwesio sambil berseru.
"Jurus ke sepuluh!"
Dan... tubuh Haminto Losu terhuyung-huyung lalu roboh. Ternyata ketika pedang dilepas tiba-tiba, tubuh Haminto Losu menjadi miring dan sebeluin ia dapat memperbaiki posisinya tangan kanan Bu Lek Hwesio bergerak perlahan ke depan menyentuh pundaknya, hanya dengan sebuah jari telunjuk. Inilah ilmu totok It-ci-san (Totokan Satu Jari) yang lihai bukan main sampai Haminto Losu tak dapat mempertahankan dirinya lagi yang sudah terasa lumpuh dan jatuh duduk di atas tanah dengan lemas!
"Nona Souw, kau lihat, kongkongmu dalam sepuluh jurus roboh!"
Kata Bu Lek Hwesio yang berjingkrak-jingkrak kegirangan, berputar-putar dan bertepuk-tepuk tangan gembira sekali seperti bocah menang main bola!
Lee Ing yang mengkhawatirkan keadaan kong-kongnya, segera menghampiri kakek itu. Haminto Losu duduk bersila mengumpulkan napas, ketika melihat Lee Ing mendekati, cepat ia berbisik di telinga gadis itu.
"Dia lihai, kau boleh turut dia dengan baik, akan tetapi hati-hati, dia tak boleh dipercaya..."
Kemudian Haminto Losu setelah memulihkan kembali jalan darahnya, melompat berdiri dan menjura sambil berkata.
"Bu Lek Losuhu benar-benar sakti, aku yang bodoh mengaku kalah dan sekarang amanlah hatiku menyerahkan cucuku dalam tanganmu. Harap kau orang tua dapat segera membawanya ke depan Souw Teng Wi mantuku!"
Memang Haminto Losu mempunyai pemandangan luas dan perhitungan yang masak. Ia maklum bahwa kepandaiannya kalah jauh oleh Bu Lek Hwesio yang memiliki Ilmu totok It-ci-san yang lihai dan tenaga Iweekang yang hebat. Kalau ia nekat melawan mempertahankan Lee Ing, takkan ada gunanya, bahkan akan mendatangkan sikap tidak enak terhadap Lee Ing. Maka ia mengalah, mundur bukan karena takut, melainkan untuk mengatur siasat dan untuk "memberi muka"
Kepada Lee Ing. la tahu akan watak gadis itu yang jujur dan berani mati, kalau sampai ia bersikap bermusuh terhadap hwesio itu, tentu Lee Ing akan membelanya dan akan memusuhi hwesio itu pula. Dan ini berbahaya sekali bagi keselamatan cucunya itu.
"Nona Souw, mari kita pergi!"
Seru Bu Lek Hwesio tanpa memperdulikan lagi kepada Haminto Losu dan Lo Houw. Lee Ing ingin sekali mengucapkan selamat berpisah kepada kongkongnya yang ia sayang, akan tetapi ia, tidak mempunyai kesempatan lagi. Tubuhnya melayang dan seperti daun kering tertiup angin ia dipegang lengannya oleh hwesio lihai itu yang mengangkatnya lalu membawanya lari secepat terbang. Kedua kaki gadis itu tidak menyentuh tanah dan angin bertiup kencang di pinggir kedua telinganya.
Setelah hwesio itu pergi, barulah Haminto Losu membanting-banting kaki dan wajahnya yang sudah tua menjadi berduka sekali. Ditariknya napas panjang berkali-kali, lalu katanya perlahan.
"Celaka... hwesio itu aku masih ragu-ragu dan tidak percaya. Lo-sicu kita harus cepat-cepat pergi mencari Souw Teng Wi. dia harus tahu bahwa anaknya pergi bersama Bu Lek Hwesio... ah, mudah-mudahan saja kekhawatiranku ini keliru dan Bu Lek Hwesio benar-benar seorang sahabat mantuku..."
Lo Houw dapat mengerti perasaan orang tua ini, karena diapun merasa curiga dan kurang percaya kepada Bu Lek Hwesio yang aneh sikapnya dan lihai itu. Tanpa menunda waktu lagi keduanya malam itu juga terus melanjutkan perjalanan ke selatan.
Setelah kekuasaan Mongol lenyap dan bumi Tiongkok dan pemerintah dikuasai oleh Kerajaan Beng-tiauw, orang-orang gagah yang tadinya ikut berjuang merasa berjasa. Maka di mana mana timbullah perkumpulan-perkumpulan orang gagah seperti cendawan di musim hujan. Segala sesuatu itu tentu berputar pada pokok atau sumbernya. Pada waktu itu, pemerintah Beng-tiauw yang batu berdiri penuh dengan pembesar-pembesar yang korup dan palsu. Mereka ini seporti anjing-anjing yang tadinya kelaparan sekarang berebut tulang. Tadinya terjajah oleh Bangsa Mongol, sekarang mereka yang tadinya ketika terjadi perang sama sekali tidak berani muncul bahkan sebagian besar menjilat-jilat pantat kaisar dan para pembesar Bangsa Mongol, sekarang setelah kekuasaan dipegang oleh bangsa sendiri lalu berebutan muncul dan mengarang cerita menonjolkan jasa-jasanya.
Maka muncullah pembesar-pembesar korup, dan tentu saja para pembesar yang memang terdiri dari patriot-patriot tulen yang tadinya berjuang membela negara dan sekarang dalam jabatannya masih merupakan pemimpin yang setia dan bijaksana bagi rakyat, dimusuhi oleh para pembesar bermoral bejat itu. Timbullah dua aliran di lingkungan pembesar, dua aliran yang memperebutkan simpati Kaisar Beng-tiauw yang pertama, Thai Cu. Dalam hal menjilat dan merebut hati, memang orang-orang yang palsu wataknya lebih pandai dari pada orang-orang yang jujur, maka condonglah hati Thai Cu kepada mereka ini yang merupakan tikus-tikus berkaki dua.
Di luar istana, para orang gagah yang mendirikan perkumpulan-perkumpulan juga terjadi perpecahan Semua orang gagah maklum belaka bahwa pendekar atau pahlawan Souw Teng Wi adalah seorang pahlawan patriot yang telah berjuang mati-matian dalam pergerakan mengusir Bangsa Mongol dan tadinya merupakan tangan kanan dari Kaisar Thai Cu ketika kaisar itu masih menjadi pemimpin pemberontak Cu Coan C'iang. Akan tetapi oleh karena para penjilat palsu itu maklum akan watak gagah perkasa dari Souw Teng Wi dan maklum pula bahwa kalau sampai orang she Souw ini mendapat kedudukan tinggi sudah tentu mereka akan dibasmi olehnya, dengan segala akal dan tipu daya mereka berusaha agar supaya Souw Teng Wi jangan diterima oleh kaisar.
Dan berhasillah mereka memfitnah Souw Teng Wi di depan kaisar sehingga ia dituduh hendak memberontak dan hendak merampas kedudukan kaisar. Kaisar memerintahkan penangkapannya atas diri Souw Teng Wi bekas tangan kanannya ini sehingga pendekar ini melarikan diri dan selama ini ia bersembunyi, tak seorangpun tahu di mana tempat persembunyiannya.
Para pembesar durna itu sedemikian jauh pengaruh dan siasatnya sehingga mereka berhasil pula mempengaruhi kaisar untuk mengusir putera-nya. pangeran yang gagah adil dan jujur, di mana pangeran inipun secara terang-terangan memusuhi para durna. Hal ini membuai para durna itu merasa khawatir dan mencari akal sehingga akhirnya mereka berhasil membuat kaisar mengangkat Pangeran Yung Lo sebagai raja muda dan ditempatkan di Peking, bekas kota raja Kerajaan Goan-tiauw. Pada lahirnya saja Pangeran Yung Lo diangkat sebagai raja muda, akan tetapi sebenar inilah hasil siasat para durna yang hendak menjauhkan pangeran itu dari kota raja yang baru, Nanking.
Karena timbulnya dua aliran ini, di mana tentu saja aliran pembesar-pembesar yang setia dan baik lemah sekali keadaannya, timbul pula dua aliran pada dunia kang-ouw dan terjadilah persaingan dan permusuhan. Tadinya memang orang-orang kang-ouw ini tidak mencampuri urusan pemerintahan dan seperti biasanya para orang gagah ini tidak mengacuhkan hal itu. Akan tetapi ada dua hal vang membuat orang-orang gagah bangkit dan terjadi perpecahan yang menimbulkan adanya dua aliran atau dua golongan.
Pertama-tama banyak orang gagah merasa penasaran melihat nasib pendekar besar Souw Teng Wi yang sudah demikian banyak jasanya dalam perjuangan membebaskan tanah air dari cengkeraman raksasa penjajah, sehingga diam-diam mereka siap sedia membantu Souw-taihiap. Kedua kalinya, banyak orang kang-ouw yang berilmu tinggi terbujuk oleh kemilaunya emas permata sehingga orang-orang berilmu ini sudi menjadi kaki tangan para durna untuk membasmi siapa saja yang merintangi jalan mereka. Hal ini yang sesungguhnya menimbulkan perpecahan antara orang-orang kang-ouw sendiri sehingga sering kali terjadi pertentangan-pertentangan dan salah paham, memancing timbulnya pertempuran-pertempuran yang kadang-kadang mengorbankan banyak nyawa orang-orang kang-ouw.
Di antara para pembesar durna, yang amat berkuasa di antara mereka adalah seorang menteri muda bernama Auwyang Peng atau lebih terkenal dengan sebutan Auwyang-taijin. Usianya empat-puluh tahun lebih dan dahulu ketika Kaisar Thai Cu masih menjadi pemberontak Cu Goan Ciang, sebetulnya Auwyang Peng ini adalah seorang pembesar Kerajaan Mongol Biarpun ia seorang Han, namun dengan kepandaiannya bun dan bu (surat dan silat) ia berhasil menduduki pangkat di Kerajaan Mongol.
Ketika melihat pergerakan Cu Goan Ciang yang mendapat dukungan banyak tuan tanah makin lama makin besar dan mendekati hasil baik, Auwyang Peng tidak menyia-nyiakan kesempatan baik. Diam-diam ia menghubungi Cu Goan Ciang dan membantunya dari sebelah dalam sampai akhirnya Kerajaan Mongol tumbang. Mengingat akan jasa-jasanya inilah maka Cu Goan Ciang setelah menjadi kaisar lalu mengangkat Auwyang Peng sebagai menteri muda.
Sudah tentu saja karena Auwyang Peng menjadi pembesar dengan ada jasa betul-betul, para durna lainnya tunduk kepadanya dan ia seakan-akan diangkat menjadi pelindung dan kepala mereka. Tentu saja Auwyang- taijin menerima banyak "hadiah"
Dan "tanda mata"
Sehingga istana Auwyang-taijin amat besar menyaingi istana kaisar, juga hampir di setiap kota besar menteri muda ini mempunyai gedung. Auwyang Peng yang maklum bahwa sejak dahulu Souw Teng Wi membencinya dan menganggapnya seorang pengkhianat yang dulu telah mengekor kepada pemerintah Mongol, kini memusuhi Souw Teng Wi. Kedudukan Auwyang-taijin kuat sekali dan di tangannyalah terletak kekuasaan besar di mana banyak orang berilmu tinggi menghambakan dirinya.
Auwyang-taijin mempunyai seorang putera bernama Auwyang Tek. Pemuda ini bertubuh jangkung kurus, berwajah tampan dan halus. Akan tetapi isi dada pemuda itu tidak setanpan wajahnya. Pemuda ini berhati keji dan kejam melebihi ayahnya, dan selama ia mengandalkan kekuasaan ayahnya yang dibantu banyak oiang pandai, juga ia mengandalkan kepandaiannya sendiri yang memang hebat. Auwyang Tek adalah murid termuda dari Tok-ong Kai Song Cinjin, seorang pendeta dari Tibet yang amat sakti.
Seperti dapat dimaklumi dari julukannya, yaitu Tok ong (Raja Racun), pendeta ini selain lihai ilmu silatnya juga amat pandai dalam menggunakan racun-racun berbahaya untuk mengalahkan musuh. Juga Auwyang Tek memiliki kepandaian khusus yang istimewa yang disebut Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam), sebuah kepandaian yang amat dahsyat dan mengerikan, didasarkan tenaga lwee-kan tinggi dan hawa mujijat dari racun hitam.
Oleh karena Souw Teng Wi menyembunyikan diri, Auwyang-taijin tak dapat melampiaskan bencinya. Ribuan orang mata-mata disebarnya untuk mencari musuh besarnya ini, namun sia-sia. Souw Teng Wi seperti lenyap ditelan bumi tidak meninggalkan jejak. Namun Auwyang-taijin masih belum puas dan tetap memasang penyelidik-penyelidik di setiap kota.
Maklum akan bahayanya, orang-orang gagah yang memihak Souw Teng Wi, tidak berani menyatakan secara berlerang. Di antara banyak pendukung Souw Teng Wi di kota raja Nan-king, terdapat seorang gagah perkasa bernama Kwee Cun Gan yang berjuluk Kim-sin-kang-jiu (Berhati Emas Bertangan Baja). Julukannya ini membuktikan bahwa pendekar ini biarpun memiliki kepandaian tinggi sehingga kedua tangannya diumpamakan tangan baja, namun ia berhati emas, tanda pribudinya yang luhur. Sebetulnya Kwee Cun Gan ini masih seperguruan dengan pendekar besar Souw Teng Wi, yaitu dari partai persilatan Kun-lun-pai, akan tetapi tentu saja hal ini jarang ada orang yang mengetahuinya.
Mengingat akan jasa-jasa Souw Teng Wi terhadap tanah air, juga karena sampai sebegitu lama Souw Teng Wi tidak pernah muncul, Kwee Cun Gan diam-diam mendirikan sebuah perkumpulan rahasia di antara orang-orang gagah yang diberi nama perkumpulan Tiong-gi-pal (Perkumpulan Setia Ingat Budi). Banyak orang gagah menyokong pendiriannya ini dan menjadi anggauta Tiong-gi-pai, dan di antara pembantu-pembantu Kwee Cun Gan adalah anak keponakannya sendiri yang sudah yatim piatu bernama Kwee Tiong, ia seorang pemuda teruna, baru berusia tujuh belas tahun, akan tetapi ia telah memiliki kepandaian tinggi, hampir menyamai kegagahan pamannya! Ini tidak mengherankan oleh karena dia adalah murid terkasih dari Pek Mao Lojin, tokoh pantai timur yang terkenal sekali dan menjadi pula pendukung dari Tiong-gi-pai. Selain guru dan murid ini, masih banyak pendekar-pendekar perkasa yang secara langsung maupun tidak membantu pergerakan Tiong-gi pai.
Akan tetapi manusia ini memang macam-macam pendiriannya. Ada sebagian orang-orang gagah di dunia kang ouw, biarpun tidak langsung membantu Menteri Auwyang Peng, namun diam-diam mereka ini tidak setuju akan gerakan Tiong-gi-pai dan selalu mereka ini menganggap Tiong gi-pai sebagai perkumpulan yang tidak puas melihat negara dikemudikan oleh bangsa sendiri. Penjajah terusir dan tanah air dikuasai oleh bangsa sendiri, mengapa masih hendak mengacau? Bukankah itu berarti pro kepada penjajah Mongol? Demikianlah pendapat kelompok orang ini dan mereka ini merupakan fihak netral yang biarpun tidak membantu Auwyang-taijin namun anti kepada Tiong-gi-pai.
Sukarnya bagi Auwyang-taijin untuk membasmi Tiong-gi-pai adalah karena perkumpulan ini tidak mempunyai markas yang tetap, dibentuk secara rahasia dan bergerak secara rahasia pula. Yang sudah pasti, pusatnya berada di kota raja, di Nan-king.
Memang jarang terjadi bentrokan antara mereka. Bentrokan besar-besaran yang pernah terjadi dan yang sekaligus membuka mata Auwyang-taijin, bahwa ada perkumpulan Tiong-gi-pai yang tak boleh dipandang ringan terjadi kurang lebih setahun yang lalu.
Ketika itu, putra Auwyang-taijin, yaitu Auw-yang Tek, baru saja turun gunung, karena tamat pelajaran silatnya dan kembali ke kota raja bersama gurunya, Tok-ong Kai Song Cin jin. Dasar pemuda berwatak bejat, biarpun ia memiliki bakat ilmu silat yang luar biasa dan kini menjadi seorang pemuda yang kepandaiannya tinggi sekali, begitu sampai di kota raja, Auwyang Tek menjadi binal, beberapa tahun ia harus hidup terasing di atas gunung mempelajari ilmu silat, sekarang setelah tiba di kota nafsu binatangnya timbul. Dia seorang pemuda mata keranjang yang tidak segan-segan mempermainkan anak bini orang lain.
Pada suatu hari di kota raja datang serombongan pemain akrobat terdiri dari seorang laki-laki setengah tua berjenggot panjang, dua orang gadis remaja dan seorang bocah laki-laki tanggung. Empat orang ini menuju ke sebuah tempat yang ramai di pusat kota lalu menurunkan barang-barang bawaan mereka di tempat terbuka pinggir jalan, tak jauh dari jembatan Kim-niau (Jembatan Burung Emas). Pemuda tanggung itu segera membuka buntalan-buntalan besar, lalu bersama laki-laki setengah tua ia memasangi alat-alat bermain akrobat, di antaranya sebatang gala bambu yang tingginya ada lima meter, sebuah tangga dan tiga buah guci arak besar. Sementara itu, dua orang gadis yang berwajah manis-manis itu menabuh tambur dan gembreng.
Di kota raja memang banyak didatangi orang-orang dari luar kota yang mencari nafkahnya dengan jalan menjual kepandaian, ada guru-guru silat menjual obat ada pula tukang-tukang sulap dan pedagang-pedagang lain yang menarik perhatian orang dengan pelbagai pertunjukan. Akan tetapi karena rombongan ini terdapat dua orang gadis manis, sebentar saja tempat itu sudah penuh dengan orang-orang yang hendak menonton. Terutama sekali menonton dua orang gadis manis itu, karena semenjak dunia berkembang, tidak ada daya penarik lebih memikat dari pada wajah dara-dara ayu.
Sehelai kain bertuliskan ROMBONGAN AKROBAT LIEM terpancang di situ seperti sebuah bendera. Kemudian melihat di situ sudah berkumpul banyak sekali orang, dengan
wajah ramah berseri laki-laki setengah tua berjenggot panjang melompat bangun, menjura ke empat penjuru lalu memberi isyarat kepada dua orang gadis yang segera menghentikan pemukulan tambur dan gembreng. Mereka berdua lalu melompat pula menghampiri orang tua itu dan berdiri di sebelah kirinya, sementara itu pemuda tanggung tadi berdiri pula di sebelah kanannya.
Kalau dua orang gadis itu manis-manis berkulit putih berbibir merah, adalah pemuda tanggung itu tampan juga, keningnya lebar matanya bersinar-sinar Laki-laki berjenggo panjang itu sendiri berwajah tampan dan angker, ini semua menjadi tanda bahwa anggauta rombongan itu terdiri dari orang-orang yang bukan sembarangan.
"Cu-wi sekalian yang terhormat,"
Laki-laki berjenggot panjang itu mulai berpidato.
"terima kasih atas perhatian cu-wi yang sudi menonton pertunjukan kami yang tidak berharga. Pertama-tama kami hendak memperkenalkan diri. Siauwte (aku) sendiri adalah Liem Hoan dari daerah selatan, di sana dijuluki orang Sin-liong (Naga Sakti) akan tetapi di sini tentu saja siauwte tidak berani mempergunakan julukan itu. Di sebelah kiri siauwte ini adalah dua orang anak perempuan siauwte, Kui Lan dan Siang Lan, adapun di sebelah kanan riauwte adalah anak laki-laki siauwte bernama Liem Han Sin. Kami sekeluarga Liem bermaksud mengadakan sedikit hiburan kepada cu-wi, mudah-mudahan cu-wi tidak kecewa dan bermurah hari untuk sekedar memberi sokongan untuk penyambung perjalanan kami ke Peking."
Tepuk tangan riuh menyambut pidato ini. bukan saking baiknya isi pidato, melainkan seperti biasa karena orang-orang bergembira menyambut pertunjukan akan segera dimulai. Mula-mula dua gadis enci adik yang berusia enambelas dan tujuh-belas tahun itu memperlihatkan kepandaian mereka. Kui Lan berseru nyaring, tubuhnya berjungkir balik, kedua tangan menapak tanah dan kedua kaki tegak di atas, tetap kaku seperti pilar. Siang Lan-adiknya juga mengeluarkan seruan lembut dan tubuhnya yang langsing itu melayang naik merupakan lompatan indah.
Seperti seekor burung saja ia hinggap di atas kaki encinya, berdiri tegak tersenyum-senyum dan kedua tangannya melambai-lambai memikat ke arah penonton. Pertunjukan ini sih tidak berapa hebat dan banyak orang yang sanggup melakukannya, akan tetapi yang menarik ialah karena yang melakukannya adalah dua orang gadis jelita, maka para penonton yang semua terdiri dari laki-laki itu mulai bertepuk tangan memuji! Berbareng dengan bunyi tepuk tangan, tiba-tiba tubuh Siang Lan yang berada di atas itu mencelat ke udara, berjumpalitan, demikian pula Kui Lan dengan gerakan indah sekali berjungkir balik dan ketika tubuh Siang Lan turun, dua pasang tangan bertemu.
Kini Kui Lan berdiri tegak dan di atasnya, Siang Lan berdiri berjungkir balik dengan kaki di atas dan kedua tangan di atas telapak tangan enci-nya. Dua orang gadis itu terus bermain akrobat, berjungkir balik dalam pelbagai posisi yang sulit-sulit, gerakan mereka ringan dan cepat sekali, menimbulkan gaya indah dan pemandangan yang menarik hati sehingga tepuk tangan tiada hentinya menyambut kecekatan mereka.
Setelah keduanya melompat turun dan memberi hormat kepada penonton, tiba giliran Liem Han Sin pemuda tanggung yang tampan itu memperlihatkan kepandaiannya. Dengan lincah pemuda cilik ini mengambil tangga yang tingginya ada dua meter itu. melompat ke anak tangga pertama. Tentu saja tangga yang tidak dipegangi dan tidak disandarkan itu hampir roboh, akan tetapi dengan memegangi dua batang bambu tangga itu Liem Han Sin mengangkat dua kaki tangga mengatur keseimbangan badan seperti orang naik jangkungan.
Permainan ini lebih sukar dari pada tadi, membutuhkan keringanan tubuh dan tenaga besar, juga membutuhkan latihan matang. Akan tetapi dengan enaknya Han Sin melompat dari tangga terbawah ke tangga sebelah atas, terus makin ke atas, sampai pada anak tangga paling atas ia terpaksa memendekkan tubuhnya karena jarak pegangan dan anak tangga amat dekat. Makin sukarlah ia mempertahankan keseimbangan tubuhnya sehingga tangga itu berloncat-loncatan lucu ke sana ke mari. Tepuk tangan riuh-rendah menyambut permainan ini dan dari sana-sini terdengar pujian.
Kemudian Liem Hoan sendiri memperlihatkan kelihaiannya. Kini dia yang main keseimbangan tubuh, akan tetapi tidak mempergunakan tangga, melainkan mempergunakan gala bambu tadi yang begitu panjang. Bagaikan seekor kera ia memanjat batang bambu itu yang didirikan begitu saja diatas tanah. Gala bambu miring ke sana ke mari namun tidak sampai roboh dan sementara itu Liem Hoan sudah sampai di puncaknya yang lima meter tingginya itu, berdiri dengan sikap burung bangau berdiri dengan satu kaki, lalu merosot lagi ke bawah dengan cepatnya.
Pertunjukan ini hebat juga dan selain pecah tepuk sorak, juga kini uang kecil mulai membanjir di atas tanah di mana sudah disediakan kain kuning yang dibentangkan oleh Liem Han Sin. Kui Lan dan Siang Lan tersenyum senyuin memandang ke arah uang yang beterbangan ke atas kain kuning, akan tetapi tiba-tiba mereka mengeluarkan seruan tertahan ketika melihat tiga buah uang tembaga lain mengeluarkan bunyi nyaring terus melesak ke dalam menembus kain kuning masuk ke dalam tanah. Kain kuning menjadi robek dan ada beberapa uang tembaga penyok-penyok kena pukulan uang tembaga yang dilemparkan dengan tenaga dalam hebat itu.
Kui Lan dan Siang Lan melirik ke arah orang yang melempar tiga mata uang itu dan mereka melihat wajah seorang laki-laki muda dan tampan bertubuh jangkung kurus memandangi mereka sambil tersenyum-senyum ceriwis dan pandangan matanya kurang ajar sekali. Pada saat itu, terdengar suara "Permainan bagus sekali, patut disumbang!"
Dan melayanglah tiga buah mata uang perak ke arah tumpukan uang itu, tepat di atas tiga bagian yang tadi terusak oleh tiga buah mata uang tembaga pemuda kurus sehingga bolong-bolong pada kain tertutup oleh mata uang perak yang berkilauan.
Dua orang gadis ini melirik dengan penuh terima kasih kepada pelempar uang tadi, seorang laki-laki setengah tua yang memiliki pandang mata berpengaruh dan keningnya amat lebar. Laki-laki ini tersenyum-senyum saja, seakan-akan tidak melihat betapa pemuda kurus jangkung tadi memandang kepadanya lengan kening berkerut.
Pemuda itu bukan lain adalah Auwyang Tek, putera Menteri Auwyang yang memang suka berkeliaran di antara rakyat kota raja. Kalau saja kesederhanaannya tidak suka berlagak seperti putera menteri ini mengandung maksud untuk mendekati rakyat dan memang merasa satu dengan rakyat, itulah baik sekali. Sayangnya Auwyang Tek yang tidak memakai peraturan dan berkeliaran seperti pemuda biasa ini mengandung maksud agar gerakannya bebas dan dia boleh berbuat apa yang ia suka! Pemuda mata keranjang ini tertarik sekali kepada Kui Lan dan Siang Lan, maka tadi ia sengaja melepas mata uang sambil mengerahkan tenaga untuk menarik perhatian dua orang gadis itu.
Sedikit pun Auwyang Tek tidak pernah mengimpi bahwa orang setengah tua yang tadi melepaskan tiga mata uang-perak, yang secara "kebetulan'"
Menutupi bekas demonstrasi tenaganya di atas kain kuning, adalah Kwee Cun Gan, ketua dari Tiong-gi-pai yang ditakuti! Sebaliknya, tentu saja Kwee Cun Gan yang berjuluk Kim-sin-kang-jiu ini tahu betul siapa adanya pemuda tampan kurus jangkung yang mendemonstrasikan tiga buah mata uang sambil cengar-cengir itu.
Sesuai dengan julukannya Kim-sin-kang-jiu, (Hati Emas Tangan Baja), tergeraklah hati Kwee Cun Gan dan merasa kasihan melihat keluarga yang kehabisan bekal uang di tengah jalan sehingga terpaksa menjual kepandaian itu, maka tanpa ragu-ragu ia menyumbangkan tiga mata uang perak dan sekaligus memperlihatkan keahliannya sehingga tiga mata uang yang dilemparkan itu menutupi bekas tangan Auwyang Tek.
Liem Hoan bukanlah seorang ahli silat biasa atau pemain akrobat pasaran. Di selatan dia juga seorang tokoh kang-ouw yang terkenal Sudah banyak pengalamannya dan matanya amat tajam. Maka apa yang terlihat oleh dua orang puterinya tadi pun tidak terlepas dari pandangan matanya, membuat ia berdebar tak enak dan maklum bahwa di kota raja baru di mana ia sudah mendengar terdapat banyak sekali orang pandai ini, kedatangannya tidak disuka orang.
Cepat ia memberi isyarat kepada tiga orang anaknya untuk mengumpulkan uang dan barang-barang, berkemas untuk segera pergi. Kepada orang banyak ia menjura sambil berkata.
"Terima kasih banyak kami haturkan kepada cu-wi yang sudah menaruh kasihan kepada kami dan memberi sumbangan, terutama sekali kepada para eng-hiong yang memaafkan pertunjukan kami yang tidak ada harganya tadi."
Melihat pertunjukan akan dibubarkan, orang banyak menjadi kecewa. Biarpun apa yang disuguhkan tadi sudah cukup menarik dan mengagumkan, akan tetapi terlampau sedikit dan mereka menghendaki lebih banyak lagi.
"Guci-guci besar sudah dikeluarkan dan belum dimainkan, apakah hanya untuk hiasan belaka?"
Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terdengar seorang di antara para penonton mencela.
"Mungkin hanya untuk menarik hati kita supaya datang menonton!"
Kata orang ke dua.
"Aku ingin melihat demonstrasi silat!"
Orang ke tiga berteriak keras.
"Akur! Akur!! Guci harap dimainkan!"
Banyak orang kini berteriak-teriak karena mereka ingin melihat permainan guci yang biasanya amat menarik.
Liem Hoan saling pandang dengan anak-anaknya, kemudian dengan terpaksa sambil tersenyum ia berkata nyaring.
"Baiklah. kalau cu-wi menghendaki dan tidak mencela permainan kami yang masih rendah dan tidak berharga, siauwte akan memperlihatkan kebodohan, mengharap petunjuk-petunjuk dari cu-wi yang pandai!"
Setelah berkata demikian, Liem Hoan mengambil sebuah guci dan melemparkannya ke atas.
Lemparan ini disusul oleh guci ke dua, ke tiga, dan ke empat sehingga berturut-turut empat buah guci yang beratnya masing-masing ada lima puluh kati itu melayang turun. Dengan cekatan ia menyambut guci pertama terus dilemparkan lagi ke atas. Indah sekali pemandangan ini. Guci-guci itu menari-nari di udara, ditangkap dilemparkan bergantian dengan amat teratur. Setelah melakukan demonstrasi melempar guci, tiba-tiba Liem Hoan menerima sebuah guci bukan dengan tangannya melainkan dengan...... kepalanya di bagian jidat! Memang kalau dilihat amat mustahil menerima guci seberat itu dengan jidat, akan tetapi kenyataannya memang demikian.
Seni permainan guci ini di Tiongkok merupakan seni rakyat yang sudah amat tua usianya dan agaknya Liem Hoan menguasai permainan itu baik baik. Dengan guci berdiri di atas jidatnya, kedua tangannya tetap melempai lemparkan guci yang lain. Pada saat yang baik, guci ke dua jatuh tepat di atas guci yang berada di atas jidatnya dan...... dapat diterima dengan baik hampir tidak mengeluarkan suara.
Tepuk sorak riuh-rendah menyambut permainan istimewa ini. Guci ke tiga sudah "hinggap"
Pula di atas guci ke dua dan pada saat guci ke empat melayang turun hendak diterima oleh guci ke tiga, tiba-tiba terdengar suara keras dari sebelah kanan dan guci ke empat itu tahu-tahu meledak pecah. Itulah pukulan Hek tok Ciang yang dilepas dari jauh oleh Auwyang Tek, akan tetapi hawa pukulannya saja sudah dapat membikin guci itu meledak pecah! Akan tetapi pada saat yang hampir bersamaan dari sebelah kiri terdengar seruan keras dan guci yang sudah pecah itu terdorong ke samping sehingga jatuhnya tidak menimpa Liem Hoan.
Inipun merupakan pukulan istimewa dari Kwee Cun Gan yang menolong muka guru silat itu sehingga tidak tertimpa pecahan guci dan tidak menderita malu. Dengan hawa pukulan yang dikerahkan menggunakan tenaga Iweekang tinggi, ia berhasil menolong Liem Hoan. Akan tetapi diam-diam ketua Tiong gi-pai ini terkejut bukan main menyaksikan kedahsyatan pukulan pemuda tinggi kurus putera menteri itu dan diam-diam memuji.
Adapun Liem Hoan yang melihat kejadian itu, terkejut bukan main. Cepat ia menurunkan tiga buah gucinya dan berdiri dengan muka pucat. Sedangkan Auwyang Tek yang sengaja hendak mencari perkara dan ingin mendapatkan dua orang gadis Liem yang jelita itu, melihat ada orang pandai membantu mereka, timbul kecurigaannya. Ia bersuit keras memberi tanda kepada orang-orangnya lalu berseru.
"Tangkap mata-mata pemberontak, tawan dua orang gadis itu!"
Ucapan ini bermaksud bahwa dua orang gadis itu harus ditawan hidup-hidup.
Memang, pada masa itu kaum durna berhasil menguasai kendali pemerintahan dengan jalan mempengaruhi kaisar dan sebuah di antara siasat mereka untuk menjatuhkan musuh-musuh mereka adalah fitnah busuk bahwa para musuh itu adalah pemberontak-pemberontak yang katanya hendak merebut kekuasaan Kerajaan Beng! Juga dalam menghadapi rombongan akrobat karena ingin mendapatkan dua orang gadis itu, apa lagi melihat adanya orang pandai membantu, Auwyang Tek tidak segan-segan menggunakan fitnah ini dan menyiapkan orang-orangnya.
Belasan orang pengawal istana yang sudah siap selalu menanti perintah putera menteri itu, cepat menyerbu masuk. Mereka ini seperti anjing-anjing disuruh mengambil tulang, saling berebut untuk menawan dan memeluk gadis-gadis cantik itu, dan berebut memperoleh pahala! Liem Hoan berseru keras dengan marah sambil menyerbu dan seorang pengawal yang terdepan terlempar oleh pukulannya. Juga dua orang gadis Liem itu tidak gampang-gampang ditangkap, mereka mencabut pedang dan melakukan perlawanan sengit. Demikian pula Liem Han Sin yang ternyata memiliki ilmu silat yang lumayan juga. Sementara itu, Auwyang Tek sendiri tidak mcmperdulikan lagi penyerbuan orang-orangnya untuk menawan dua orang gadis itu, melainkan melompat ke dekat orang setengah tua yang menolong Liem Hoan tadi sambil mengulur tangan kanan untuk mencengkeram dada orang itu!
Kwee Cui Gan maklum akan kelihaian pemuda yang memiliki ilmu pukulan Hek-tok-ciang ini, maka ia mengerahkan tenaganya menangkis. Dua tenaga Iweekang bertemu dan Auwyang Tek berseru keras sambil terhuyung-huyung ke belakang. Tak pernah disangkanya bahwa orang setengah tua ini demikian lihai.
"Siapa kau..?"
Bentaknya, lalu mengeluarkan sepasang sarung-tangan yang mengeluarkan sinar dari dalam sakunya, langsung dipakainya.
Para penonton begitu melihat lapangan pertunjukan berubah menjadi lapangan pertarungan, lari simpang-siur dan panik. Keadaan menjadi gaduh sekali dan ribut.
Sementara itu, ketika Kwee Cun Gan melihat putera menteri itu mengenakan sarung tangan, ia makin terkejut. Tahulah ia bahwa pemuda ini merupakan lawan tangguh sekali, apa lagi tadi pertemuan tangan membuat ia merasa lengannya kesemutan Biarpun ia dapat membuat pemuda itu terhuyung dan ini menyatakan bahwa dalam hal tenaga Iweekang ia sedikit lebih kuat, namun kiranya untuk menghadapi pemuda ini. ia membutuhkan ratusan jurus untuk mencapai kemenangan. Dan bertempur melawan putera menteri berikut kaki tangannya di dalam kota raja bukanlah hal main-main.
Cepat ia nengayun tangannya dan tiga buah uang logam perak meluncur cepat menyambar tiga bagian tubuh Auwyang Tek. Pemuda ini kelabakan ketika pertanyaannya tadi dijawab dengan tiga sambaran senjata rahasia. Cepat ia menggerakkan tangannya yang sudah bersarung itu menangkis. Terdengar suara nyaring dan tiga buah mata uang itu terpukul runtuh. Akan tetapi ketika ia menengok, orang setengah tua yang berjenggot tadi sudah lenyap dari depannya.
Para pengawal istana itu rata-rata memilik kepandaian tinggi, pula sebentar saja di situ sudah berkumpul puluhan orang pengawal. Tentu saja orang-orang muda seperti anak-anak Liem Hoan itu bukan lawan mereka dan sebentar saja Kui Lan dan Siang Lan sudah dapat tertawan dan diseret pergi atas perintah Auwyang Tek.
"Lepaskan saudara-saudaraku!"
Han Sin berseru sambil memburu cepat dengan pedang di tangan. Akan tetapi ia dikeroyok dan terguling roboh dengan pundak terluka. Namun dengan semangat tak kunjung padam pemuda tanggung ini melompat lagi dan berlari cepat mengejar Auwyang Tek yang membawa pergi dua orang gadis tawanan itu.
Sementara itu, Liem Hoan setelah merobohkan empat orang pengawal, akhirnya terpaksa tak dapat mempertahankan diri dari keroyokan lagi. Sebuah bacokan pedang membuat ia terguling roboh. Baiknya sebelum para pengawal menghujankan senjata ke arah tubuhnya, berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu empat lima orang pengawal bergelimpangan dan di lain saat tubuh Liem Hoan sudah dikempit oleh Kwee Cun Gan yang membawanya pergi dengan lari cepat sekali. Baiknya Auw-yang Tek sudah tidak berada di situ karena pemuda ini lebih mementingkan urusan dua tawanan wanita itu dari pada mengurus Liem Hoan, maka guru silat akrobat itu dapat diselamatkan oleh Kwee Cun Gan.
Adapun Liem Han Sin yang mengejar untuk menolong enci-encinya. kembali roboh oleh keroyokan para pengawal. Tubuh pemuda tanggung ini sudah mandi darah, pakaiannya sudah cobak-cabik dan pedangnya sudah terpental entah ke mana. Namun dengan gigih ia menyerang terus, bersiap sedia mengadu nyawa untuk membela saudara-saudaranya.
Akan tetapi kepandaiannya belum tinggi, tubuhnya sudah lemas dan sebuah tendangan keras yang tepat mengenai lambungnya membuat ia roboh dan mengeluh kecil, terguling pingsan. Lima enam buah golok gemerlapan menyambar ke arah tubuh pemuda tanggung yang sudah mandi darah itu.
"Triungg... traanggg..... aduh.... ahh.... uakk....! Ayaaaa....!"
Sekalian pengawal yang
mengeroyok hendak membunuh Liem Han Sin roboh malang melintang ketika sebatang pit (alat tulis) menangkis senjata-senjata ini, kemudian pit itu mengamuk dengan totokan-totokan luar biasa. Pit itu bergerak tanpa kelihatan orangnya. Para pengawal seperti melihat setan di tengah hari dan mereka lari tunggang-langgang menyusul Auwyang Tek yang sudah lebih dulu membawa lari dua orang gadis tawanannya.
Dalam keadaan selengah pingsan Liem Han Sin melihat bahwa penolongnya adalah seorang kakek losu (pendeta lo) yang berwajah angker, tangan kanan memegang sebatang pit baja dan tangan kiri memegang sebuah kitab. Wajah tosu tua ini halus dan sikapnya seperti seorang sasterawan, namun sinar matanya tajam mengiris jantung dan tarikan bibirnya dan dagunya keras membayangkan kegagahan luar biasa. Dengan tenang kakek itu mengangkat tubuh Liem Han Sin dan membawanya pergi dari situ. Langkahnya lambat saja namun Han Sin merasa angin menyambar di kedua telinganya, sebentar saja mereka sudah keluar dari kota raja.
Inilah peristiwa "perkenalan"
Pertama-dari pihak Auwyang-taijin dengan Kwee cun Gan, sedangkan Kwee Cun Gan sendiri yang menolong Liem Hoan, tidak berlaku kepalang tanggung. Dia melarikan diri membawa Liem Hoan bukan karena takut, melainkan karena maklum bahwa ia sudah tidak akan dapat menolong dua orang gadis yang ditawan itu. Maka ia membawa Liem Hoan ke luar kota dan bersembunyi di kelenteng tua yang menjadi tempat persembunyian sementara. Cepat Kwee Cun Gan mengumpulkan kawan-kawannya dan pada malam hari itu dia bersama lima orang kawannya diam-diam memasuki kota raja dan berusaha menolong Kui Lan dan Siang Lan.
Dengan mudah Kwee Cun Gan mendapat keterangan bahwa dua orang gadis itu ditahan di dalam istana Menteri Auwyang Peng dan bahwa urusan ini tidak dilanjutkan kepada yang berwajib seperti yang ia sudah duga. Memang Kwee Cun Gan mempunyai banyak kawan pula di kota raja. Kawan sehaluan, yaitu anti pembesar korup dan jahat semacam Auwyang taijin Dia sudah mendengar akan watak jahat dan mata keranjang dari Auwyang Tek. maka tadi melihat dua orang gadis itu tidak dilukai melainkan ditawan, ia sudah menduga akan maksud keji Auwyang Tek.
Kwee Cun Gan didampingi oleh Liem Hoan yang sudah diobati lukanya, dan lima orang kawannya yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, mempergunakan ginkang mereka dan pada tengah malam mereka menuju ke istana Menteri Auwyang di sebelah barat kota. Istana ini besar dan dikurung pagar tembok yang tinggi. Para pengawal menjaga di depan pintu gcihang dan selalu meronda. Namun enam orang yang tinggi kepandaiannya ini dengan mudah melompati pagar tembok dan langsung melompat ke atas genteng. Dengan hati-hati mereka maju menyelidik.
Keadaan di atas genteng sunyi, bahkan di bawahpun amat sunyi. Agaknya semua orang sudah tidur pulas. Akan tetapi Kwee Cun Gan yang berpengalaman dan memiliki kepandaian yang paling lihai di antara mereka semua, merasa tidak enak hati. Keadaan di situ terlampau sunyi sehingga tidak wajar.
"Tunggu dulu..."
Bisiknya dan seorang diri ia meninggalkan kawan-kawannya di atas genteng, melompat turun dengan gerakan seperti seekor burung walet menyambar, mengagumkan enam orang kawannya. Tak lama kemudian ia melompat naik lagi ke atas genteng sambil mengempit tubuh seorang pengawal. Tadi ia menyergap pengawal ini yang sedang meronda di bagian dalam, menotok-nya dan dibawanya melompat naik.
Setelah berada di atas genteng dengan pedang ditodongkan ke tenggorokan Kwee Cun Gan memaksa peronda itu mengaku di mana adanya dua orang nona yang siang tadi ditawan.
"Di.... di kamar... kongcu...."
Katanya dengan tubuh menggigil, kemudian peronda itu menunjuk ke kiri ke arah sebuah kamar yang masih bercahaya, tanda bahwa di dalamnya masih dinyalakan penerangan. Liem Hoan tidak sabar lagi lalu melompat dan lari ke kamar itu.
"Liem-kauwsu, tunggu...""
Kata Kwee Cun Gan perlahan, akan tetapi guru silat yang amat mengkhawatirkan nasib dua orang puterinya itu cepat lari terus tanpa memperduiikan. seruan kawannya. Terpaksa Kwee Cun Gan. cepat menusukkan pedangnya, peronda itu tewas tanpa sempat membuka suara, kemudian bersama lima orang kawannya iapun mengejar Liem Hoan.
Dengan dada berdebar guru silat ini mendorong daun pintu dengan tangan kirinya, dan tangan kanan siap dengan pedang di tangan. Pintu terbuka dengan mudah. Cahaya lilin menerangi kamar itu, dan menyambut mata Liem Hoan yang menjadi silau. Dengan menggunakan tangan kiri melindungi matanya dari cahaya lilin, guru silat ini memandang ke arah ranjang besar yang diterangi oleh lilin di atas meja.
Tiba-tiba ia berteriak dan tubuhnya terhuyung-huyung.
"Kui Lan.... Siang Lan....!"
Ia mengeluh dan ia tentu roboh terlentang kalau saja Kwee Cun Gan tidak cepat-cepat memeluknya. Kwee Cun Gan dan lima orang kawannya memandang ke dalam kamar, mereka menahan seruan marah dan merasa ngeri. Pantas saja ayah yang bernasib malang itu hampir pingsan melihat pemandangan di dalam kamar itu.
Apakah yang dilihatnya dan yang dilihat pula oleh Liem Hoan? Apakah betul-betul kedua orang anak daranya berada di dalam kamar itu, yang oleh peronda dikatakan bahwa itu adalah kamar Auwyang Tek? Dapat dibayangkan betapa hancur hati seorang ayah seperti Liem Hoan ketika melihat pemandangan di dalam kamar yang serba indah perabotnya itu. Di atas sebuah ranjang yang lebar, yang ditilami kain sutera merah muda dan bantal-bantalnya berkembang indah, menggeletak dua tubuh dara remaja dalam keadaan tidak bernyawa pula. Itulah Liem Kui Lan dan Liem Siang Lan, kakak beradik yang tertawan oleh Auwyang Tek dan kini terdapat telah tewas di dalam kamar, putera menteri yang keji itu.
Ketika Liem Hoan dan kawan-kawannya memasuki kamar menghampiri dua jenazah itu, ternyata bahwa dua orang gadis itu tewas oleh pukulan Hek-tok-ciang. Hal ini mudah dilihat karena pada dada dan pundak terdapat bekas tapak tangan menghitam yang menghanguskan pakaian dan kulit terus menembus daging dan tulang merenggut nyawa. Pukulan keji yang mengerikan.
"Jahanam keparat Auwyang....!"
Liem Hoan memaki dan saking marahnya ia hanya melotot, napasnya memburu. Ia dapat menduga apa yang telah terjadi di kamar ini. Dua orang puterinya tentu menolak akan maksud keji putera menteri itu dan melakukan perlawanan sekuat tenaga untuk membela kehormatan dirinya, sehingga Auwyang Tek menjadi marah dan membunuh mereka dengan pukulan dahsyat itu.
Akan tetapi. Kwee Cun Gan berpikir lain. Tadinya iapun menduga seperti Liem Hoan meng ingat akan watak mata keranjang dan keji dari Auwyang Tek. akan tetapi ia lebih teliti. Kalau benar pemuda iblis itu membunuh dua orang gadis Liem karena mereka ini melawan kehendaknya, mengapa setelah dibunuh lalu dibiarkan saja menggeletak di dalam kamarnya di atas ranjang? Mengapa pula kamar ini kosong dan sekeliling rumah gedung itu sunyi belaka?
"Awas mungkin musuh memasang perangkap!"
Katanya.
"Hayo lekas kita bawa pergi jenazah mereka."
Baru saja kata-kata ini diucapkan terdengar suara ketawa dan terdengar pula suara senjata dicabut. Kwee Cun Gan kaget sekali, cepat ia menubruk ke depan, menyambar tubuh Kui Lan dan Liem Hoan menyambar tubuh Siang Lan. Kemudian serentak tujuh orang ini menerjang keluar kamar. Tempat yang tadinya sunyi sekarang ternyata telah terkurung rapat oleh barisan pengawal, dikepalai oleh Auwyang Tek sendiri. Melihat Auwyang Tek sambil memaki Iblis kejam terima pakaian enam tujuh orang pengawal di dekatnya, dapat diduga bahwa mereka ini adalah pengawal-pengawal pilihan, karena lebih mewah dari pada pakaian pengawal biasa yang memenuhi dan mengurung tempat itu.
"Harha-ha-ha, kiranya kau yang bernama Kwee Cun Gan! Ha, kalau tahu demikian, tentu siang tadi tak kuberi ampun!"
Kata Auwyang Tek dengan sombongnya sambil menuding ke arah Kwee Cun Gan dengan tangannya yang keduanya memakai sarung tangan.
Diam-diam Kwee Cun Gan kaget.. Sekarang dia telah dikenal, dan itu artinya pergerakannya di kota raja tidak aman dan tidak mudah lagi. Dan diam-diam dia memuji kecerdikan putera menteri ini yang selain cerdik juga memiliki kepandaian luar biasa, jarang ada seorang demikian muda telah memiliki kepandaian tinggi.
"Buka jalan darah!"
Seru Kwee Cun Gan kepada kawan-kawannya. Pemimpin perkumpulan Tiong-gi-pai ini sudah cukup berpengalaman. Sekilas pandang saja ia maklum akan bahayanya keadaan dia. dan kawan-kawannya, maka membuang waktu dengan bercakap cakap takkan ada gunanya. Lebih cepat lebih baik untuk segera menyelamatkan diri keluar dan kepungan. Sambil berseru demikian, Kwee Cun Gan sudah menggerakkan pedangnya, cepat sekali ia menusuk Auwyang Tek sambil memaki "Iblis kejam terima pedangku"
Di lain fihak, Auwyang Tek sudah maklum akan kelihaian pemimpin Tiong-gi-pai ini, maka ia cepat mengangkat tangan menangkis pedang. Sarung tangannya adalah benda istimewa, terbuat dari pada kulit ular putih yang sudah dimasak dengan obat dan racun. Selain kulit ini kebal terhadap senjata tajam, juga amat lemas sehingga mudah disaluri tenaga Iweekang. Sifatnya yang lemas akan tetapi kuat ini amat cocok bagi Auwyang Tek yang memiliki ilmu pukulan Hek-tok-ciang, apa lagi karena kulit ular itu sendiri mengandung bisa sehingga menambah kelihaian Hek-tok-ciang.
Pemuda ini memang lihai sekali. Telapak tangannya yang terbungkus sarung itu. jangankan memukul orang, baru menampar dengan pengerahan Ilmu Hek-tok-ciang saja, sudah cukup untuk merenggut nyawa orang dan meninggalkan tanda telapak tangan hitam pada tubuh si korban. Pedang Kwee Cun Gan yang ditangkis tangan terpental dan di lain saat kedua orang jago dari dua aliran ini sudah bertempur seru dan sengit. Memang, Auwyang Tek masih kalah sedikit tenaga Iweekangnya, apa lagi ketua Tiong-gi-pai itu mempergunakan pedang panjang sehingga keadaannya lebih untung. Akan tetapi sebaliknya, Kwee Cun Gan memondong mayat Liem Kui Lan sehingga gerakannya tidak begitu gesit.
Adapun Liem Hoan yang juga memondong tubuh puterinya yang ke dua, mengamuk pula mempergunakan pedangnya Tadinya ia hendak membantu Kwee Cun Gan saking bencinya ia melihat Auwyang Tek. Akan tetapi seorang panglima pengawal sudah menyambutnya dengan senjata golok besar. Lima orang kawan Kwee Cun Gan atau anggota dari Tiong-gi-pai telah bertempur pula dikeroyok oleh banyak orang pengawal pilihan sehingga ruangan itu sebentar saja tdah menjadi medan pertempuran yang ramai.
Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo