Ceritasilat Novel Online

Patung Dewi Kwan Im 6


Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



"Kau suka kepada anak itu agaknya. Bagaimanakah dia?"

   "Siauw Ma baik sekali, suhu. Ia jujur dan setia, teecu suka sekali padanya. Dan bagaimana dengan gurunya, suhu?"

   Murid itu balas menanya, karena memang sudah biasa ia dan suhunya berjalan sambil mengobrol dengan ramah tamah.

   "Gurunya? Kau maksudkan Beng Beng Hoatsu? Ah, ia seorang cabang atas dari Thang-la, seorang dari pada ke tiga tokoh Thang-la yang terkenal sakti. Ia memiliki ilmu silat dan ilmu Pedang Naga Sakti yang betul-betul luar biasa, karena biarpun aku sendiri belum pernah melihatnya, namun menurut pendengaranku, di dunia ini jarang dicari keduanya!"

   "Kalau begitu, beruntunglah Siauw Ma!"

   Kiang Cu Liong pandang belakang kepala muridnya dengan tajam, seakan-akan hendak menembusi kepala itu dan memandang wajahnya. Kemudian ia percepat larinya hingga sekejap saja ia telah berdiri di depan muridnya.

   "Tiong Li, jangan kau terlalu menganggap rendah diri sendiri. Kurasa, kalau kau betul-betul rajin mentaati semua petunjukku dan belajar dengan giat, belum tentu kepandaianmu berada di bawah kepandaian Siauw Ma!"

   Tiong Li segera turunkan pikulannya dan berlutut.

   "Suhu, maafkan teecu, bukan maksud teecu untuk merendahkan suhu. Teecu hanya berkata begitu karena girang mendengar Siauw Ma menjadi murid seorang pandai. Tentu saja teecu berjanji untuk mentaati segala petunjuk suhu dan takkan mengecewakan suhu."

   "Nah, begitulah seharusnya!"

   Mereka lalu melanjutkan perjalanan. Kini dengan cepat sekali karena masing-masing menggunakan ilmu lari cepat. Ketika melihat sebuah sungai yang lebar mengalir dalam sebuah hutan, Kiang Cu Liong menyuruh muridnya berhenti. Tiong Li yang mengira bahwa suhunya melihat tetumbuhan obat di tempat itu, segera turunkan pikulan dan gunakan ujung bajunya untuk menghapus peluhnya dari muka dan lehernya yang kemerah-merahan karena panas.

   "Tiong Li, sekarang sudah tiba waktunya kau perdalam gin-kangmu. Karena ketahuilah, untuk dapat mainkan ilmu silat yang kuajarkan kepadamu, kau harus mahir sekali menggunakan ilmu ringankan tubuh. Dengan gin-kang yang sempurna kau mudah untuk menyerang dengan cepat, melebihi kecepatan lawan. Nah, kau lihatlah baik-baik!"

   Kiang Cu Liong lalu turunkan pikulannya dan kumpulkan lima batang kayu kering yang agak besar. Kemudian ia ajak Tiong Li menghampiri tebing sungai yang ternyata sangat lebar itu, dengan airnya yang mengalir perlahan menandakan bahwa sungai itu cukup dalam.

   "Lihatlah, sungai ini sangat lebar hingga tak mungkin dapat meloncatinya dengan sekali lompat saja. Bagaimana akalnya untuk dapat menyeberang jika di sini tiada jembatan sedangkan kau tak pandai renang? Nah, lihatlah kegunaannya ilmu gin-kang."

   Setelah berkata demikian, tabib sakti yang berkepala besar itu melempar sepotong kayu kering ke air dan tubuhnya secepat kilat menyusul dan meloncat ke arah kayu yang mengambang itu, dan dengan ujung kaki ia menotol kayu itu sambil melemparkan lain kayu ke tengah.

   Dengan meminjam kayu itu sebagai panjatan, ia enjot tubuhnya menyusul kayu kedua dan kembali ia menggunakan gerakan seperti tadi, yakni turun dan menjejakkan ujung kakinya ke atas kayu yang mengambang itu dan melemparkan kayu ketiga. Demikianlah, seperti seekor capung bermain-main di atas air, ia dapat melintasi sungai itu dengan mudah dan selamat sedangkan jangankan bajunya, ujung sepatunyapun tidak basah sedikit juga? Dari seberang sana, tabib sakti itu menggunakan cara seperti tadi untuk kembali. Tiong Li merasa kagum sekali, dan ia mulai berlatih di bawah petunjuk-petunjuk suhunya. Mula-mula ia berlatih di atas tanah dengan cara melempar-lempar kayu ke atas tanah dan disusul dengan tubuhnya untuk menginjak kayu itu dengan ujung kaki lalu melempar kayu ke dua dan mengenjotkan tubuh di atas kayu itu.

   Demikianlah ia berlatih dengan giatnya. Sambil melanjutkan perjalanan, di sepanjang jalan tiada hentinya Tiong Li mempelajari ilmu baru ini. Karena Tiong Li memang sudah lama mempelajari ilmu silat tinggi hingga gin-kangnya memang sudah baik sekali, maka dengan sekali petunjuk suhunya cara-cara ia bergerak untuk mengenjot tubuh, maka dalam setengah bulan saja ia sudah sanggup melintasi sungai seperti yang telah dilakukan oleh gurunya itu! Pada suatu hari, Kiang Cu Liong dan suhunya memasuki kota Him-kwan. Tabib sakti itu sengaja pergi ke kota itu karena menurut penyelidikannya, si jahat dari timur kabarnya berada di kota itu. Disebelah luar kota Him-kwan, terdapat sebuah telaga yang luas sekali dan di tengah-tengah terdapat pulau kecil.

   Karena adanya telaga dengan pemandangannya yang indah inilah maka kota Him-kwan banyak mendapat pengunjung karena selain pemandangan di telaga itu menarik para pelancong, juga pengeluaran ikan yang dapat dijala dari telaga itu merupakan hasil yang membuat banyak para pedagang datang ke kota ini. Kiang Cu Liong memang suka sekali akan tamasya yang indah, maka mendengar tentang telaga ini ia langsung mengajak muridnya melihat. Ketika mereka mengunjungi telaga itu, keadaan di situ masih sunyi karena hari masih pagi benar. Hanya ada beberapa buah perahu saja nampak bergerak-gerak di tengah telaga dan kebanyakan ialah perahu nelayan penangkap ikan. Kiang Cu Liong menyewa sebuah perahu dan bersama muridnya ia mendayung perahu itu naik ke pulau dam melihat-lihat.

   "Suhu, di sini sepi, bolehkah teecu melatih gin-kang? Air di sini diam hingga mudah untuk melatih diri dengan menggunakan perahu."

   Suhunya melihat ke sana ke mari, ternyata memang keadaan masih sunyi hingga muridnya tentu takkan menarik perhatian siapa juga, maka ia mengangguk. Tiong Li lalu dayung perahunya ke tengah sambil membawa beberapa potong kayu. Setelah agak jauh, ia mulai berlatih dan dari perahu itu ia menyeberang ke darat, begitu sebaliknya dari darat ke perahu. Ia telah berloncat-loncatan beberapa kali dari perahunya.

   Ketika ia gunakan lemparan yang makin jauh hingga loncatannya juga harus lebih keras pula, ia dayung perahunya makin jauh, ia telah siap dengan kayu yang cukup. Lalu dari perahunya ia mulai dengan lemparan kayu pertama yang disusul oleh tubuhnya melayang mengejar kayu itu. Gerakannya demikian ringan hingga perahu yang dipakai landasan loncat itu bergoyangpun tidak! Ia berhasil menginjak kayu pertama dan lemparkan kayu kedua itu. Tapi alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba sebuah benda yang dilempar keras sekali membuat kayu yang akan diinjaknya itu bergerak cepat dan tidak ampun lagi ia kena injak air! Karena tidak pandai renang, otomatis tubuhnya tenggelam ke dalam air. Tiong Li gerakkan kaki tangannya dan tubuhnya mumbul lagi ke permukaan air. Ia mendengar suara anak muda tertawa dan karena gugup dan takutnya Tiong Li menjerit.

   "Suhuuuuuu...! Tolong...!"

   Tapi tiba-tiba sebuah benda yang panjang berwarna merah datang menyambar, dan membelit tubuhnya dan sesaat kemudian ia merasa tubuhnya dibetot keras sekali hingga ia melayang ke atas.

   Karena gin-kangnya memang sudah sempurna, Tiong Li dapat imbangi tubuhnya dan dengan berjumpalitan ia dapat melihat datangnya sebuah perahu kecil dari mana benda panjang merah itu datang. Cepat ia melayang ke arah perahu itu dan turun dengan selamat! Hanya pakaiannya saja yang basah dan wajahnya pucat. Ketika ia memandang, ternyata yang menolongnya adalah seorang gadis kecil yang usianya sepantar dengan dia dan gadis itu kini pegang sabuk sutera merah yang panjang dan yang digunakan menolongnya tadi, dengan senyum yang manis di wajahnya yang cantik jelita dan putih. Tiong Li memandang ke arah suara orang yang menertawakan tadi dan melihat seorang pemuda sebaya dengannya berdiri di atas perahunya sambil tertawa menyeringai. Pemuda itupun berwajah tampan sekali, tapi mukanya memperlihatkan kekejaman dan kenakalan ketika in mengejek ke arah Tiong Li.

   "Eh, bagaimana rasanya mandi di telaga? Dingin, ya?"

   Tiong Li marah sekali dan hendak balas memaki, tapi pada saat itu ia melihat suhunya mendatangi dengan cepat bagaikan berjalan di atas air! Juga gadis kecil itu terkejut dan kagum melihat betapa seorang kakek yang tubuhnya kecil dan kepalanya besar berlari cepat di atas air dan menuju ke perahu mereka!

   Padahal Tiong Li tahu bahwa gurunya itu menggunakan gin-kang yang tinggi, karena orang tua itu tidak menggunakan kayu sebagai loncatan, tapi ia telah menggunakan batu-batu kecil yang dilempar sedemikian rupa hingga dapat berloncatan-loncatan di atas air dan segera dikejar dengan cepat sekali untuk dipakai sebagai batu-batu loncatan! Ternyata Kiang Cu Liong tadi telah mendengar teriakan muridnya dan kini secepat terbang ia telah berada di atas perahu gadis kecil itu. Dengan paras masih pucat karena marah, Tiong Li menceritakan kepada suhunya bahwa ketika ia sedang berlatih, ada seorang anak muda yang mengganggu dia dengan menyambit kayu injakannya hingga ia tercebur dalam air, tapi untungnya ada gadis kecil itu menolongnya dengan sabuk sutera merahnya yang panjang dan lihai.

   "Mana anak muda itu?"

   Tanya Kiang Cu Liong. Tiong Li menengok ke arah perahu kecil tadi, tapi ternyata anak muda yang tadi mengganggunya telah tidak ada di situ pula. Agaknya pemuda jahat itu melihat pula kedatangan orang tua yang lihai itu hingga ia menjadi takut dan mendayung pergi perahunya. Kiang Cu Liong kini memandang gadis itu! Anak perempuan itu paling banyak berusia empatbelas tahun, wajahnya bundar telur dan putih kemerah-merahan. Mulutnya selalu tersenyum dan sepasang matanya seperti mata burung hong, dan yang sangat menarik hati ialah pandang mata yang halus itu menatap orang dengan terus terang dan terbuka hingga dapat diduga bahwa ia adalah seorang anak yang berhati mulia dan jujur.

   "Anak, kau siapakah dan siapakah suhumu yang mengajarmu menggunakan sabuk sutera itu?"

   Tanya Kiang Cu Liong karena ia tahu bahwa untuk dapat menggunakan sabuk sutera yang lemas itu untuk membelit dan membetot orang, dibutuhkan tenaga lwee-kang yang hebat juga dan latihan yang keras. Anak gadis itu telah melihat kelihaian orang tua itu dan tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang sakti, maka ia menjura dengan hormat dan sopan.

   "Teecu bernama Hong Cu dan suhu adalah Hwat Kong Tosu."

   Tiba-tiba Kiang Cu Liong berdongak ke atas dan tertawa lebar.

   "Ha, ha, ha! Pantas, pantas! Tidak tahunya anak murid Hwat Kong Tosu, pantas saja kau lihai. Hei, Tiong Li, ini adalah murid dari Hwat Kong Tosu, seorang dari pada ketiga tokoh besar dari Thang-la. Nona, di mana suhumu sekarang?"

   "Hei...! Kiang Cu Liong, aku di sini!"

   Suara ini terdengar nyata sekali tapi orangnya tak tampak! Ternyata Hwat Kong Tosu yang telah mempelajari ilmu untuk mendengar pembicaraan jauh telah dapat menangkap ucapan Kiang Cu Liong tadi dan ia yang duduk di pantai telaga lalu mengirim suaranya dengan menggunakan tenaga dalam yang terkumpulkan di suaranya. Kiang Cu Liong tertawa lagi dan memandang ke arah pantai.

   "Bagus, Hwat Kong! Aku datang!"

   Ia lalu rogoh sakunya dan keluarkan beberapa buah batu yang lalu dilempar sebuah ke atas air lalu dikejar oleh tubuhnya. Demikianlah ia tampak seperti berlari-lari di atas air dan sebentar saja tiba di pantai, di mana Hwat Kong Tosu telah berdiri menyambutnya sambil tertawa lebar.

   "Suhumu lihai sekali, siapakah dia?"

   Hong Cu memandang kepada Tiong Li sambil bertanya. Mau tak mau Tiong Li merasa bangga sekali, tapi ia tindas perasaannya hingga suaranya terdengar biasa saja ketika ia menjawab,

   "Guruku itu ialah Tabib Dewa Kiang Cu Liong, sedangkan namaku sendiri Tiong Li. Tapi suhumu yang berada di pantai itu juga tidak kalah lihainya."

   Sambil berkata demikian, Tiong Li pandang gadis kecil itu yang dalam pandangannya tampak sangat cantik jelita dan agung, hingga pemuda tanggung itu memandang dengan tiada bosan-bosannya dan mulut ternganga! Melihat keadaan Tiong Li ini, Hong Cu merasa malu dan tak senang, maka ia berkata untuk memecahkan kesunyian dan suasana tidak enak itu.

   "Pakaianmu basah semua, tentu tak enak dipakai. Hayo kita ke pantai menyusul suhu."

   Tiong Li sadar dari lamunannya dan dengan muka merah karena teringat akan kelakuannya yang tidak sopan itu, ia tundukkan muka dan mengangguk. Gadis itu jalankan perahunya dan ternyata tenaganya sangat besar hingga perahu itu meluncur laju. Di dalam perjalanan perahu itu ke pantai, Tiong Li tetap tundukkan kepala dan tidak berani pandang wajah gadis kecil itu. Mereka mendarat dan menghampiri ke dua guru mereka yang sedang duduk di pulau kecil bercakap-cakap dengan gembira. Memang Kiang Cu Liong telah lama kenal kepada Hwat Kong Tosu. Melihat muridnya, tabib sakti itu dengan tertawa memperkenalkan dan berkata kepada muridnya.

   "Tiong Li, inilah tokoh dari Thang-la yang tersohor. Tidak kecewa kau tertolong oleh murid seorang di antara ke tiga Thang-la Sam-sian!"

   Tiong Li dengan hormat dan sopan lalu berlutut di depan Hwat Kong Tosu memberi hormat hingga Hwat Kong Tosu merasa senang sekali melihat anak nuda itu. Sebaliknya ia lalu perintah muridnya memberi hormat kepada tabib sakti itu yang dilakukan oleh Hong Cu dengan taat.

   "Tiong Li, siapakah yang tadi menggodamu di atas telaga?"

   Tanya Kiang Cu Liong.

   "Entahlah, suhu. Teecu tidak kenal. Ia adalah seorang pemuda sebaya dengan teecu, dan wajahnya tampan dan putih."

   "Teecu tadi melihat pemuda itu seperahu dengan seorang tua yang aneh. Kakek itu kepalanya gundul dan bertanduk."

   Hwat Kong Tosu dan Kiang Cu Liong saling pandang penuh arti dan segera bertanya kepada Hong Cu,

   "Di manakah orang tua itu?"

   "Tadi teecu melihat ia berdua dengan pengganggu saudara ini dalam satu perahu, tapi setelah kau orang tua datang terbang di atas air, ia tak tampak lagi dan teecu tidak memperhatikan lebih lanjut padanya."

   "Si Ular Tanduk Berbisa!"

   Kata Kiang Cu Liong.

   "Si jahat dari timur!"

   Hwat Kong Tosu berseru. Tiong Li dan Hong Cu bertanya,

   "Orang macam apakah dia itu?"

   "Pencuri yang curang dan lihai,"

   Kata Kiang Cu Liong.

   "Hi, hi, hi, hi! Dua tua bangka sedang menakut-nakuti muridnya dan memaki orang seenaknya saja!"

   Tiba-tiba terdengar, suara parau dan Tok-kak-coa, si jahat dari timur sendiri telah tampak berdiri muncul dari balik gerombolan tetumbuhan, membungkuk-bungkuk dan berjalan menghampiri mereka. Tongkat ularnya yang mengerikan dipegang pada bagian kepala dan ekornya dipakai menekan tanah untuk menunjang tubuhnya yang bungkuk. Ketika ia berjalan menghampiri, maka mulutnya menyeringai hingga giginya yang sudah ompong tampak dan matanya yang sipit itu hampir tertutup sama sekali.

   "Siapa memaki? Memang kau curang dan lihai!"

   Kata Kiang Cu Liong, si tabib sakti.

   "Dan siapa tidak kenal dan tahu bahwa si jahat dari timur adalah jahat dan curang?"

   Kata Hwat Kong Tosu.

   "Ha, ha, ha! Sesukamulah aku merasa bangga bahwa orang tua renta seperti aku masih bisa mendatangkan rasa takut kepada kalian, jago-jago tua yang terkenal sakti."

   Kemudian tanpa dipersilahkan lagi, ia duduk di dekat kedua orang tua gagah itu. Tiong Li dan Hong Cu yang merasa ngeri dan takut melihat orang tua aneh itu, segera pindah tempat dan diam-diam mereka meninggalkan tempat itu setelah Tiong Li memberi isyarat dengan mata kepada Hong Cu. Tiba-tiba Kiang Cu Liong meloncat berdiri. Matanya memandang tajam dan kepalanya yang besar tegak menentang muka Tok-kak-coa.

   "Tok-kak-coa! Kedatanganmu ini tentu terdorong oleh kesombongan hatimu yang memandang rendah kepadaku dan kepada Hwat Kong! Tapi memang kebetulan sekali karena aku memang mencari-carimu. Kau tentu tahu mengapa aku mencarimu!"

   Tok-kak-coa masih saja tersenyum dan tertawa, ha, ha, hi, hi mendengar si Tabib Dewa itu.

   "Kau sakit hati karena, sedikit obat tidurmu kuambil? Begitu kikirkah kau?"

   Kiang Cu Liong perdengarkan suara penghinaan.

   "Hah! Siapa yang sekikir itu? Kalau kau pakai obat itu untuk mengobati orang sakit atau untuk keperluan lain, aku takkan menyesal bahkan merasa bersyukur.

   "Tapi kau gunakan obatku itu untuk melakukan pencurian di kelenteng orang! Bukankah itu berarti lempar batu sembunyi tangan? Kau yang dapat dagingnya, aku yang terkena tahinya!"

   Tok-kak-coa tertawa lagi, sedikitpun ia tidak perlihatkan rasa takut.

   "Habis kamu mau apa?"

   "Bagaimana juga, hari ini kita adu kepandaian. Kalau aku kalah, aku takkan banyak cerewet lagi. Tapi kalau kau tak dapat kalahkan aku, kau harus kembalikan patung Kwan-im Pouwsat itu padaku!"

   Tok-kak-coa masih duduk di atas rumput sambil tertawa ha, ha, hi, hi. Sebelum ia menjawab Hwat Kong Tosu telah bangun lebih dulu dan berkata kepada Kiang Cu Liong.

   "Eh, eh. Jangan kau terburu-buru, kawan. Siluman ular ini harus melawanku dulu. Akupun mencari-carinya lama sekali. Gara-gara dia inilah maka aku dimusuhi imam-imam Kwan-im-bio!"

   Ternyata Hwat Kong khawatir kalau-kalau patung itu nanti terjatuh ke dalam tangan tabib sakti itu, karena kalau si tabib itu yang mendapatkan patung, maka sukar baginya untuk merebutnya. Bukan karena ia takut, tapi karena ia memang sudah kenal baik sekali dan tak enak hati kalau harus merampas patung itu dari tangan kawannya. Tiba-tiba Tok-kak-coa bangun berdiri dan tertawa bergelak-gelak.

   "Baru ini hari aku melihat dua orang berebut untuk dapat berkelahi melawan aku! Biarlah aku memilih. Kedatanganku ke sini bukan secara kebetulan. Aku memang sengaja datang hendak menemui Hwat Kong.

   "Aku mendengar tentang ilmu tongkatmu yang disebut Ouw-coa-koai-tung-hwat! Entah sampai di mana kebenaran kabar yang mengatakan bahwa ilmu tongkatmu itu paling lihai di dunia ini.

   "Ingin sekali aku mencobanya. Mana tongkatmu, Hwat Kong! Keluarkanlah dan kasih aku melihatnya. Baik mana dengan tongkatku ini?"

   Sambil berkata demikian ia gerak-gerakkan tongkat ularnya. Hwat Kong Tosu berpaling kepada si tabib sakti dengan tersenyum.

   "Nah, kawanku, terpaksa kau harus mengalah. Dia memilih aku!"

   Kemudian ia gerakkan tongkat bambunya yang kecil bagaikan sepotong bambu kering yang tidak ada artinya.

   "Terpaksa aku mengalah. Kau yang beruntung,"

   Kata Kiang Cu Liong yang lalu duduk di pinggir dengan bersungut-sungut.

   "Tok-kak-coa, inilah tongkatku. Sambutlah!"

   Secepat kilat Hwat Kong Tosu lalu menyabet dengan tongkatnya ke arah muka Tok-kak-coa yang cepat berkelit. Maka bertempurlah kedua orang itu. Keduanya menggunakan sebatang tongkat kecil yang dimainkan seperti orang mainkan pedang, karena tongkat itu ujungnya runcing dan dapat digunakan untuk menusuk dan mengemplang. Hanya Tok kak-coa memegang tongkatnya dengan aneh, karena yang dipegangnya ialah bagian ekor ular yang kecil sedangkan tongkat ular itu dipakai menyerang. Namun gerakannya hebat sekali. Tongkat ularnya bergerak-gerak bagaikan ular hidup yang menyambar-nyambar. Ketika tongkat itu menyambar, maka tercium bau amis dan keras, tanda bahwa jika tongkat itu dimainkan, maka hawa racun keluar dari mulut ular itu!

   Namun kali ini si Ular Tanduk Berbisa menemukan tandingan yang setimpal. Hwat Kong Tosu cukup kenal akan kelihaian dan kecurangan Tok-kak-coa, tahu pula bahwa orang luar biasa ini adalah ahli racun yang berbahaya, maka ia mengeluarkan gerakan-gerakan ilmu tongkatnya yang paling tepat dan lihai hingga tidak saja sinar tongkatnya merupakan benteng hitam melindungi tubuhnya, juga angin sambaran tongkatnya itu jauh-jauh telah meniup pergi semua racun dan hawa racun yang mencoba menyerangnya. Dengan gerakan-gerakan panjang, maka Tok-kak-coa tak berdaya sama sekali untuk mendekati lawannya, sebaliknya pukulan-pukulan maut yang dilayangkan oleh Tok-kak-coa dan disertai hawa racun yang disebarkan oleh tongkatnya membuat Hwat Kong Tosu tidak berani mendekat dan tidak berani menggunakan serangan dengan gerakan pendek.

   Maka ramailah pertempuran itu. Kalau tongkat Tok-kak-coa merupakan seekor ular yang panjang dan menyambar-nyambar, maka tongkat Hwat Kong Tosu adalah seekor landak yang mengeluarkan dan memasang semua duri-duri di sekitar tubuhnya hingga ular itu tidak berdaya melukainya, sebaliknya si landak juga tidak mampu menyerang ular yang gesit itu! Ratusan jurus mereka bertempur dan diam-diam Si Tabib Dewa yang menonton dari pinggir merasa kagum akan kehebatan kedua orang itu. Dilihat dengan teliti, maka tampak kehebatan ilmu tongkat Hwat Kong dan seandainya Tok-kak-coa tidak melindungi diri dengan hawa racun yang keluar dari tongkatnya, tentu sudah lama ia kena dirobohkan. Sebaliknya iapun bersangsi apakah ia akan dapat mengalahkan Ular Tanduk Berbisa itu yang mengurung diri dengan hawa racun berbahaya.

   Sementara itu, di sebelah sana pulau itu, terjadi lain pertempuran yang tak kalah hebatnya! Kiranya Tiong Li juga sedang mengadu kepalan dengan Siauw Liong! Tadi ketika melihat kedatangan Tok-kak-coa, Tiong Li telah dapat menduga bahwa murid dari si jahat dari timur tentu ikut datang pula, maka ia memberi isyarat kepada Hong Cu untuk meninggalkan tempat itu. Gadis kecil itu agaknya dapat menangkap maksud isyarat mata Tiong Li, maka iapun berdiri dan bersama-sama mereka mengelilingi pulau itu. Benar saja, mereka melihat Siauw Liong pemuda yang tadi mengganggu Tiong Li, sedang berdiri di pantai di mana tampak sebuah perahu kecil. Melihat kedatangan mereka, Siauw Liong tersenyum dan tolak pinggang dengan sikap sombong sekali.

   "Pakaianmu sudah kering?"

   Tanyanya kepada Tiong Li, kemudian sambil memandang Ke arah Hong Cu dengan sikap kurang ajar ia berkata.

   "Nona cantik, kenapa kau tolong buaya ini? Biarkan saja ia berenang di dalam telaga! Barangkali kau suka padanya karena wajahnya yang tampan? Ha, ha, ha!"

   Bukan main marahnya Hong Cu karena kata-kata yang kurang ajar itu. Ia buka sabuk sutera merahnya yang terselip di pinggang lalu gerakkan sabuk itu ke arah Siauw Liong. Tiong Li yang tadi melihat bahwa gerakan gadis kecil itu masih sangat lambat dan menunjukkan bahwa gadis itu belum lama belajar silat, hendak mencegah, tapi sudah terlambat. Sabuk sutera merah itu bagaikan seekor naga menyambar ke arah muka Siauw Liong. Pemuda yang cakap tapi nakal inipun tahu pula bahwa kepandaian Hong Cu belum berapa hebat, maka ia sengaja berlaku lambat dan ketika ujung sabuk hendak menyabet mukanya, baru ia gerakkan kepala berkelit tanpa pindah dari tempatnya! Untuk mengejek gadis itu, ia tertawa bergelak-gelak.

   Tapi biarpun baru belajar silat belum cukup setahun, di bawah gemblengan Hwat Kong Tosu, ternyata Hong Cu mendapat kepandaian yang lumayan juga. Melihat bahwa serangannya dengan mudah dapat digagalkan lawan, ia gerakkan tahgannya pula. Kini ujung sabuknya mengelilingi tubuh Siauw Liong dan langsung menjirat kakinya lalu ditarik dengan sentakan keras! Siauw Liong tak dapat menduga gerakan ini dan hampir saja ia kena dirobohkan. Maka dengan marah sekali ia gunakan ilmu bikin berat tubuhnya seakan-akan berakar di tanah, kemudian cepat sekali ia pegang sabuk itu dan gunakan tenaganya yang besar untuk membetot. Tentu saja Hong Cu jauh kalah dalam hal adu tenaga, maka tubuhnya segera terbetot ke arah Siauw Liong yang membuka tangan untuk memeluknya dengan sikap kurang ajar sekali sambil berkata.

   "Mari, mari, manis! Mari datang kepada kokomu!"

   Hong Cu coba pertahankan tubuhnya, tapi karena ia telah terhuyung ke depan, agaknya tak dapat ditolong pula ia tentu akan roboh dalam pelukan Siauw Liong. Tiba-tiba pada saat itu Siauw Liong merasa sambaran angin pukulan dari samping hingga ia merasa terkejut sekali. Sambaran pukulan itu membawa tenaga yang keras sekali hingga dengan cepat ia berkelit sambil loncat ke pinggir. Karena pukulan inilah maka Hong Cu terlepas dari pada hinaan. Sebaliknya Siauw Liong marah sekali dan pandang kepada penyerangnya dengan mata melotot. Tiong Li dengan tenang menghadapinya dan berkata kepada Hong Cu.

   "Biarlah aku yang melawannya!"

   "Bangsat kecil kau sombong sekali, dan curang! Tidak tahukah kau bahwa kau berhadapan dengan murid dari Tok-kak-coa? Jangan kau berani main-main di depan tuanmu!"

   "Pantas sekali kalau kau menjadi murid siluman ular itu! Kau sendiri tentu siluman cacing yang banyak tingkah tapi makananmu hanya tanah lumpur!"

   Tiong Li balas mengejek dengan sikap tenang sekali hingga Siauw Liong makin marah .

   "Beri tahu namamu kalau kau laki-laki!"

   Bentaknya.

   "Aku Tiong Li, murid Kiang Cu Liong si Tabib Dewa, sedangkan nona ini adalah Hong Cu, murid dari Hwat Kong Tosu."

   "Bagus! Kalau begitu sekarang tentu kedua gurumu itu telah terbunuh oleh guruku. Maka sudah menjadi kewajibanku, Siauw Liong, untuk membasmi kau dan bawa pergi nona ini untuk dijadikan kawan seperjalanan!"

   "Mulutmu kotor sekali!"

   Tiong Li maju dan menyerang dengan kepalannya ke arah dada Siauw Liong. Tapi Siauw Liong segera menangkis dengan keras dan ternyata tenaga mereka seimbang. Siauw Liong balas menyerang dengan hebat tapi dapat ditangkis oleh Tiong Li. Maka ramailah kedua anak muda itu mengeluarkan kepandaian masing-masing untuk menjatuhkan lawannya. Siauw Liong mengeluarkan tipu dari Kun-lun-pai yang telah dicampuk aduk dengan tipu-tipu cabang lain hingga sangat membingungkan. Memang gerak tipu Siauw Liong yang diajarkan oleh gurunya ini cocok dan sesuai dengan silat Tok-kak-coa, yakni curang dan licin. Dengan bersilat cara demikian, maka secara tidak langsung ia telah mencemarkan nama baik cabang-cabang persilatan itu, karena kalau dibilang bahwa ia masih cucu murid cabang itu, bukan.

   Tapi dibilang bukan, ilmu silatnya mencangkok tipu-tipu dari cabang itu. Akan tetapi, seperti sifat gurunya, Tiong Li selalu tenang dan waspada. Ia bersilat dengan Ilmu Silat Sin-hong-kun-hwat, yakni ilmu pukulan ciptaan si tabib sakti. Ilmu silat ini sifatnya lebih banyak membela diri, tapi mengandung keuletan dan kekuatan yang hebat untuk memusnahkan serangan yang bagaimana jahatpun. Dengan tenang dan cukup gesit Tiong Li menghindarkan semua serangan lawan dan menggunakan kesempatan-kesempatan kosong untuk mengirim serangan balasan yang tidak kalah berbahayanya. Pada suatu ketika, siku kanan Tiong Li berhasil menggempur pundak kiri Siauw Liong hingga pemuda itu terhuyung-huyung ke belakang sambil meringis kesakitan. Tiba-tiba wajahnya menjadi menyeramkan karena marahnya.

   Ia memasukkan tangannya ke dalam saku dan mengeluarkan bungkusan bubuk yang cepat digosokkan ke atas kulit ke dua lengannya. Kemudian ia meloncat menerjang lagi. Tiong Li cukup cerdik dan sebagai murid seorang ahli obat, ia dapat menduga bahwa obat itu tentu racun berbahaya. Ia berlaku waspada dan hati-hati, tapi terlambat! Serangan yang dilakukan oleh Siauw Liong bukan main hebatnya. Tangan kanannya memukul ke arah leher dan tangan kiri mencengkeram ke arah anggauta rahasia! Tiong Li dapat kelit pukulan ke arah lehernya, tapi cengkeraman dengan tenaga Eng-jiauw-kang itu tak sempat dikelit lagi dan terpaksa ditangkis! Karena benturan itu terjadi ketika keduanya mengerahkan tenaga lwee-kang masing-masing, maka ke duanya terpelanting dan jatuh. Ke duanya cepat meloncat bangun dan pada saat itu terdengar teriakan Tok-kak-coa,

   "Siauw Liong, lekas jalankan perahu!"

   Mendengar teriakan suhunya ini, Siauw Liong cepat loncat ke perahunya dan mendayungnya ke tengah. Pada saat itu, dari jauh berkelebatlah bayangan orang yang dengan cepat sekali telah melayang mengejar perahu itu dan turun ke dalam perahu dengan ringan sekali. Itu adalah Tok-kak-coa yang melarikan diri. Guru dan murid itu cepat-cepat mendayung perahu mereka dan tinggalkan pulau itu! Ternyata bahwa setelah bertempur ratusan jurus dengan Hwat Kong Tosu dan belum juga dapat mendesak lawannya bahkan dia yang terkurung oleh tongkat tokoh Thang-la itu, Tok-kak-coa menjadi gugup. Baru melawan Hwat Kong Tosu seorang saja ia telah kewalahan, belum mencoba si Tabib Dewa. Jangan-jangan Kiang Cu Liong kepandaiannya lebih hebat dari Hwat Kong Tosu! Memikirkan hal ini Tok-kak-coa diam-diam merasa bingung juga hingga permainan tongkat ularnya agak kacau.

   Hal ini diketahui baik-baik oleh Hwat Kong Tosu yang segera mendesaknya dengan serangan-serangan gerak pendek. Ketika mendapat kesempatan baik, Hwat Kong Tosu maju merangsek dan hawa amis yang keluar dari mulut tongkat ular lawannya ia punahkan dengan tiupan keras, kemudian ia putar tongkatnya sedemikian rupa hingga menempel tongkat ular Tok-kak-coa dan membuat tongkat ular itu terpaksa ikut berputar. Lalu dengan bentakan keras sekali Hwat Kong Tosu kerahkan lwee-kangnya dan membetot ke atas! Tok-kak-coa tak dapat menahan pegangannya lebih lama lagi dan tongkat ular itu terlepas dan terlempar ke atas tinggi sekali. Tapi Tok-kak-coa benar-benar lihai. Melihat betapa tongkatnya itu terpental ke atas dan ke arah dari mana ia datang tadi, dengan gerakan kilat ia loncat ke atas dan sambar tongkat ularnya itu kemudian dibawa kabur!

   "Aku tunggu kalian di Gua Selaksa Ular!"

   Teriaknya dan cepat sekali ia ajak muridnya melarikan diri.

   "Kejar!"

   Kata Hwat Kong Tosu tapi Kiang Cu Liong mencegahnya.

   "Jangan! Ia lihai sekali gunakan senjata rahasia beracun! Biarlah lain hari kita datangi gua ularnya itu!"

   Sementara itu, setelah melihat Siauw Liong loncat ke perahunya, Tiong Li tadinya hendak menyusul. Tapi ia melihat bahwa suhu Siauw Liong telah datang dan pada saat itu ia merasa betapa lengannya yang digunakan untuk menangkis lengan Siauw Liong tadi terasa gatal-gatal dan sakit, maka ia urungkan maksudnya. Kini tangannya makin sakit sekali hingga ia meringis-ringis menahan rasa gatal. Hong Cu lari menghampiri dan dengan khawatir gadis itu memandangnya.

   "Lukakah kau?"

   Tanyanya. Tiong Li terpaksa tersenyum karena melihat kekhawatiran gadis itu. Ia tidak mau membikin Hong Cu menjadi cemas, maka ia geleng-geleng kepala menyatakan bahwa ia tidak apa-apa.

   "Tapi mengapa kau meringis seperti orang yang kesakitan?"

   "Siauw Liong lihai sekali, dan aku lelah..."

   "Ia masih kalah olehmu. Sayang kepandaianku rendah karena aku baru belajar silat setahun, kalau kepandaianku sudah tinggi, ingin sekali aku memberi hajaran kepada bangsat itu!"

   
Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mata gadis itu memancar marah hingga biasanya melembut seperti mata burung hong itu kini menjadi menyala dan tajam menyambar.

   "Kepandaianmu sudah cukup lihai, belum tentu kalah oleh aku sendiri."

   Tiong Li memang berwatak sopan-santun dan suka merendah, terutama terhadap Hong Cu, gadis kecil yang menarik hatinya dan yang menimbulkan rasa suka. Maka iapun sengaja menghibur dan meninggikan gadis itu. Tapi ia tidak sangka bahwa hal ini mendatangkan rasa tidak senang dalam hati gadis itu. Hong Cu berwatak jujur. Segala apa ia menghendaki terus terang dan biarpun ia seorang anak perempuan, tapi ia tidak malu-malu untuk mengaku bodoh kalau memang hal itu benar. Kini mendengar kata-kata Tiong Li yang merendahkan diri dan memuji-mujinya, ia menjadi tidak senang. Pada saat itu ia melihat betapa lengan kanan Tiong Li bengkak dan merah. Ia terkejut sekali dan otomatis ia ulur tangannya untuk pegang lengan itu dan memeriksanya. Tapi tidak disangkanya, Tiong Li gerakkan lengannya dan berkelit.

   "Jangan pegang!"

   Katanya penuh rasa khawatir kalau-kalau gadis itu terkena racun pula. Merahlah muka Hong Cu karena sesungguhnya ia tidak tahu akan hal itu. Segera ia buang muka dan lari tinggalkan Tiong Li. Tiong Li hanya menghela napas, kemudian iapun segera menuju ke tempat suhunya. Ketika ia tiba di situ, dilihatnya ke dua orang tua itu sudah kembali duduk di atas rumput dan Hong Cu duduk di atas sebuah batu di belakang suhunya. Gadis itu tampak cemberut!

   "Tiong Li, kau terluka?"

   Datang-datang suhunya berkata dengan heran.

   "Benar, suhu. Teecu terluka oleh racun di lengan Siauw Liong."

   "Siauw Liong? Siapakah itu?"

   "Dia murid siluman ular itu, suhu."

   Kiang Cu Liong mengangguk-angguk dan mendekati muridnya. Setelah melihat sebentar keadaan lengan muridnya, ia berkata.

   "Ah, tidak apa-apa, hanya racun ular merah. Kau telan dua butir pek-tan dan gosok lenganmu dengan obat bubuk dalam bungkusan kuning itu."

   Setelah berkata demikian, tabib sakti itu kembali berpaling kepada Hwat Kong Tosu dan bercakap-cakap dengan asyik, sedikitpun tidak acuhkan muridnya lagi, seakan-akan luka kena racun itu bukanlah hal yang penting baginya. Mendengar percakapan itu, timbul rasa iba juga dalam hati Hong Cu. Ia memandang ke arah Tiong Li dan timbul pertimbangan dalam kepalanya bahwa pemuda itu terluka karena tadi telah membelanya.

   Ia merasa tidak adil kalau sekarang diam-diam saja. Maka ia segera menghampiri Tiong Li. Ketika melihat betapa pemuda itu gunakan tangan kiri saja untuk mencari-cari bungkusan di dalam keranjang, tanpa dapat gunakan tangan kanannya yang kini telah membengkak makin besar, Hong Cu segera berjongkok dan membantu. Cepat sekali tangannya yang cekatan memilih-milih dan sebentar saja ia sudah dapatkan obat yang dicari. Tanpa ucapan sepatah katapun Hong Cu ambilkan pek-tan atau obat pulung warna putih dan memberikan dua butir kepada Tiong Li yang terus menelannya. Kemudian gadis cilik itu bantu menggosok-gosok lengan Tiong Li yang bengkak dengan obat gosok. Tiong Li merasa sungkan dan malu sekali, tapi sebelum ia mencegah, gurunya berkata kepada Hong Cu.

   "Nah, menggosoknya yang keras, nona. Dan jangan digosok dengan urutan ke atas, harus ke bawah. Sesudah menggosok kau harus mencuci tanganmu bersih-bersih, juga kau Tiong Li, kalau bengkaknya sudah kempis dan warna hitam sudah lenyap, kau harus mencuci tangan dan lenganmu biar bersih!"

   Hong Cu adalah seorang gadis yang berwatak jujur dan tulus, maka tanpa ragu-ragu dan sungkan-sungkan lagi ia memajukan diri membantu Tiong Li dan sedikitpun tidak memperlihatkan malu-malu. Tapi Tiong Li yang halus sekali perasaannya dan lebih tua setahun, merasa likat sekali dan malu. Ia hanya menundukkan muka dan perasaan aneh menyerang lubuk hatinya. Ia merasa girang, malu, dan aneh ketika merasa betapa lengannya digosok-gosok dan diurut-urut oleh jari-jari gadis yang halus dan hangat itu! Sementara itu, Hwat Kong Tosu bertanya kepada Kiang Cu Liong.

   "Ia menantang kita supaya datang di Gua Ular, entah di mana tempat itu."

   "Lupakah kau? Gua Ular tentu berada di puncak Hek-coa-san."

   "Ah, jadi ia sudah kembali ke timur lagi? Hal ini tak kusangka. Hm, bisa jadi ia bawa patung itu ke timur. Tadi aku tidak ada dugaan demikian karena bukankah ia meninggalkan timur setelah dikejar-kejar oleh kaisar?"

   Kiang Cu Liong mengangguk-angguk.

   "Memang, dulu memang demikian. Tapi dengan kepandaiannya, masakan ia takut kaisar? Pula, dia cerdik dan licin sekali, kalau cuma panglima-panglima istana saja agaknya sukar untuk menangkapnya."

   "Memang ia lihai sekali, dan puncak Hek-coa-san juga tempat yang sangat berbahaya. Hm, kita akan menghadapi tugas yang berat. Tapi betapapun juga, kita harus ke sana, kalau tidak, tentu ia akan mentertawakan kita dan menganggap kita takut!"

   "Tentu saja!"

   Tabib Sakti menjawab dengan bernafsu.

   "Masakan kita harus tinggal diam saja dan tidak berusaha mendapatkan patung itu?"

   "Ha, ha, ha! Kau agaknya ingin sekali mendapatkan patung Kwan-im Pouwsat, kawan,"

   Hwat Kong Tosu menyindir.

   "Memang, memang ingin sekali. Pertama untuk menguji kepandaian dan berlomba dengan kalian Thang-la Sam-sian, kedua karena memang perlu sekali aku dapat memiliki patung itu, walau hanya beberapa hari saja sekalipun."

   Sementara itu, lengan tangan Tiong Li yang tadinya gembung dan kehitam-hitaman, kini telah menjadi biasa dan bersih. Maka keduanya lalu menuju ke pinggir telaga dan mencuci lengan dan tangan mereka. Tiba-tiba Hong Cu bersorak,

   "Hei, ikan! Ikan!"

   Ketika Tiong Li memandang ternyata tampak beberapa ekor ikan tiba-tiba saja mengambang dengan perutnya putih di atas dalam keadaan mati!

   "Ah, mereka terkena racun yang menempel di tangan dan lengan kita."

   Maka ia lalu menggunakan tangannya menangkap bangkai ikan yang terdekat.

   "Untuk apa kau ambil bangkai itu? Aku tidak sudi makan dagingnya,"

   Kata Hong Cu. Tiong Li tersenyum.

   "Bukan untuk di makan, tapi untuk dibuang agar jangan sampai dimakan oleh ikan lain, karena kalau terjadi demikian maka telaga ini akan penuh bangkai ikan."

   Mendengar keterangan ini Hong Cu segera bantu mengambil ikan-ikan yang mengambang itu, tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu dan memandang kepada Tiong Li dengan terkejut.

   "Celaka!"

   Katanya dan wajahnya yang cantik berubah muram.

   "Percuma saja kita buang bangkai-bangkai ikan ini. Tidak urung semua ikan di telaga ini akan mati."

   "Mengapa begitu?"

   Tanya Tiong Li heran

   "Bukankah kita telah cuci tangan di sini? Racun itu akan membunuh semua ikan dalam telaga ini?"

   "Jangan khawatir. Racun itu hanya sedikit sedangkan air telaga ini demikian banyak. Sebentar saja racun itu akan hanyut dan berpencaran hingga hilang ditelan air yang sebanyak ini dan tidak berbahaya lagi."

   Hong Cu memandang kepada Tiong Li dengan heran dan kagum. Ia anggap pemuda itu luar biasa pandainya dan agaknya mengerti segala hal yang baginya masih gelap. Juga ketika bertempur melawan Siauw Liong tadi, ternyata bahwa kepandaian pemuda ini jauh lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri. Tiong Li ketika bertemu pandang dengan Hong Cu, tiba-tiba wajahnya memerah dan ia tidak berani memandang lebih lama.

   "Hayo kita kembali kepada suhu,"

   Ajaknya dan mereka lalu berjalan cepat ke tempat suhu mereka. Ternyata tabib sakti telah siap dengan pikulannya dan hendak berangkat. Ia panggil Tiong Li mendekat dan menegur muridnya itu dengan tiba-tiba.

   "Tiong Li, tahukah kau sekarang bahwa kepandaianmu masih rendah sekali hingga sekali bertempur terluka?"

   Mendengar teguran dengan suara keren itu Hong Cu merasa penasaran dan adatnya yang polos membuat ia tidak ragu-ragu lagi membela Tiong Li,

   "Tapi, peh-peh, ia tidak kalah oleh Siauw Liong!"

   Seruan ini membuat si tabib sakti tersenyum, dan Tiong Li cepat-cepat anggukkan kepala kepada suhunya.

   "Benar, suhu. Memang teecu masih bodoh dan tadi kurang berhati-hati."

   "Nah, baik juga kalau kau mengerti ini. Memang kau terlalu sembrono tadi. Biarlah pengalaman pahit ini menjadi pelajaran bagimu dan selanjutnya kau harus berlatih terlebih giat lagi."

   "Baik, suhu."

   Hwat Kong Tosu memandang murid perempuannya dan berkata dengan tertawa,

   "Dengarlah, Hong Cu. Kepandaian Tiong Li sudah jauh lebih tinggi darimu, namun masih saja ia mendapat teguran dan merasa kepandaiannya rendah. Apa lagi dengan kepandaian yang kau miliki sekarang, ah, kau jauh sekali ketinggalan.

   "Tapi jangan kau putus asa, karena kau belum juga setahun belajar silat. Kalau kau rajin, kelak kau tentu dapat mengejar kepandaian Tiong Li dan yang lain-lain."

   Hong Cu mengangguk-angguk tanda mengerti dan tabib sakti itu bersama muridnya telah siap untuk berangkat.

   "Nah, selamat berpisah, sahabat yang baik. Sampai bertemu kembali kira-kira sebulan yang akan datang di puncak Hek-coa-san. Aku akan mendaki puncak itu dari selatan,"

   Kata Kiang Cu Liong.

   "Dan aku akan naik dari utara. Sampai berjumpa kembali;"

   Kata Hwat Kong Tosu. Sementara itu, selagi kedua guru itu bercakap-cakap, Tiong Li mendekat Hong Cu dan memberikan sebungkus obat.

   "Kau minumlah ini, tentu lekas maju kepandaianmu,"

   Bisiknya perlahan. Hong Cu menerimanya dan mengangguk. Sebetulnya ia takkan mau menerima karena ia paling benci minum obat-obat yang pahit, tapi melihat pandangan mata Tiong Li yang halus, lembut dan penuh desakan, ia menerima juga.

   "Kalau nanti tidak kuminum, ia toh tidak tahu juga,"

   Pikirnya. Maka berpisahlah mereka. Hwat Kong Tosu dan Hong Cu memandang kedua tubuh guru dan murid yang memikul keranjang obat itu menuju ke sebuah perahu kecil di tepi telaga dan dengan cepat perahu itu didayung.

   "Hong Cu, kau diberi apakah tadi oleh Tiong Li?"

   Tiba-tiba Hwat Kong Tosu bertanya kepada muridnya. Hong Cu terkejut sekali. Sedikitpun tidak disangkanya bahwa gurunya mengetahui hal itu. Dengan cepat ia mengeluarkan bungkusan itu dari saku bajunya dan memperlihatkan kepada suhunya sambil berkata.

   "Entahlah, suhu. Katanya tadi kalau teecu minum obat ini, tentu kepandaian teecu lekas maju."

   Hwat Kong Tosu membuka bungkusan itu dan ternyata di dalamnya terdapat tiga butir obat berwarna putih. Ketika obat itu ia dekatkan ke hidungnya, maka tercium bau yang harum tapi keras. Hwat Kong Tosu bukanlah ahli obat-obatan, tapi dari baunya ia dapat menduga bahwa obat itu tentu semacam obat kuat yang membersihkan darah dan menguatkan tulang.

   "Dia memang anak baik. Kau boleh percaya kepada Tiong Li dan kau minumlah obat itu."

   "Kapan teecu harus minum ini, suhu?"

   Tanya Hong Cu sambil memandang obat itu dengan mata tak senang karena belum apa-apa ia sudah merasa muak. Hwat Kong Tosu tertawa.

   "Kalau obat itu aku yang memberi padamu, tentu saja harus kau minum sekarang juga, tapi karena yang memberimu adalah orang lain, maka terserah kepadamu kapan saja kau boleh minum."

   Hong Cu tidak menjawab, tapi lalu menyimpan obat itu ke dalam saku bajunya. Semenjak hari itu ia menerima latihan-latihan gin-kang dan lwee-kang dari suhunya.

   Latihan-latihan ini dijalankan dengan rajin sekali hingga tiap hari sambil berjalan ia melatih diri. Belum pernah suhunya berjalan biasa dan perlahan, bahkan sengaja percepat tindakan kakinya hingga terpaksa Hong Cu juga kerahkan kepandaiannya dan gunakan ilmu lari cepat yang sedang dipelajarinya. Demikianlah, maka cepat sekali ia memperoleh kemajuan. Tiap kali beristirahat, ia selalu duduk bersamadhi meniru gurunya, mengumpulkan semangat dan mengatur napas melatih ilmu lwee-kang yang tinggi. Beberapa hari kemudian mereka melalui sebuah hutan yang lebat. Hutan itu penuh dengan pohon-pohon yang aneh dan banyak sekali buah-buah yang lezat. Hong Cu merasa girang sekali dan ia berpesta pora makan buah-buah sambil latihan gin-kangnya. Ia naik ke pohon tidak dengan memanjat pohon itu, tapi dengan loncat ke atas pohon dan memetik buah-buahan yang masak.

   Hwat Kong Tosu juga gembira sekali melihat hutan kecil yang penuh dengan pohon buah beraneka macam itu. Di tengah-tengah hutan terdapat sebuah pohon yang sangat besar dan dari jauh sudah tercium bau harum dari pohon itu. Hwat Kong Tosu dan muridnya lalu menghampiri pohon itu dan ternyata yang menyebarkan bau harum adalah beberapa belas buah warna merah yang bergantungan di pohon itu. Pohon itu tinggi dan besar, tapi buahnya kecil-kecil dan hanya ada sebelas atau duabelas butir saja. Besarnya paling banyak hanya setengah kepalan tangan, bentuknya bulat dan kulitnya halus tipis. Hong Cu pandang cabang pohon yang tinggi itu. Ia ragu-ragu untuk meloncat ke atas, karena ia sangsi apakah kepandaiannya sudah cukup untuk dapat mencapai cabang setinggi itu. Tapi Hwat Kong Tosu berkata.

   "Hong Cu, kau loncatlah ke cabang itu. Kalau loncatanmu kurang tinggi, kau bisa menggunakan gerakan Naga Terbang Jumpalitan dan pegang cabang itu. Cobalah, jangan takut-takut!"

   Sebenarnya Hong Cu tidak takut, hanya tadi ia merasa ragu karena khawatir kalau-kalau loncatannya gagal dan ia merasa malu kepada suhunya yang tentu menegurnya. Kini mendengar anjuran ini, ia bersiap. Ia kumpulkan tenaga di ujung kakinya dan dengan seruan nyaring ia enjot tubuhnya ke atas. Betul saja, cabang itu terlalu tinggi untuknya, maka ia segera berpok-sai yaitu membuat salto dan enjot tubuhnya ke atas lagi.

   Ia berhasil dan kedua tangannya dapat mencapai cabang itu yang lalu ditangkapnya. Tubuhnya terayun-ayun dan sekali ayun saja ia dapat menarik tubuhnya ke atas dan berdiri di atas cabang itu. Setelah loncatannya berhasil, Hong Cu seakan-akan lupa kepada suhunya yang masih berdiri di bawah. Ia segera memetik buah yang merah dan nampak segar itu, lalu langsung menggigitnya. Ternyata buah itu enak sekali, manis segar, dingin dan harum. Cepat ia makan sampai habis tiga butir. Tiba-tiba is merasa ada angin berkelebat di belakangnya dan ketika ia menengok, tahu-tahu Hwat Kong Tosu sudah berada di belakangnya, berdiri di atas batang yang besar. Batang yang diinjak oleh suhunya itu sedikitpun tidak bergoyang, menandakan bahwa kakek tua itu sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali dalam ilmu meringankan tubuh.

   "Anak nakal, jangan habiskan sendiri buah itu!"

   Tegurnya sambil tertawa. Hong Cu baru ingat dan iapun tertawa gembira dan berkata.

   "Suhu, enak betul buah ini. Kalau orang makan buah ini, apapun akan terlupa olehnya!"

   "Betulkah?"

   Suhunya lalu memetik sebuah dan memakannya. Jenggotnya yang panjang lagi putih itu berkibar-kibar tertiup angin dan matanya meram melek ketika ia menikmati rasa buah yang benar-benar lezat itu.

   "Suhu, buah apakah namanya ini?"

   Tanya Hong Cu.

   "Entahlah! Selama hidup baru kali ini aku merasakannya. Rasanya seperti buah tho tapi macamnya dan harumnya berbeda."

   Tiba-tiba Hong Cu ingat obatnya.

   "Ah, kalau dimakan dengan buah yang manis ini tentu obat itu tidak terasa pahitnya,"

   Pikirnya, maka segera ia mengeluarkan obat itu dari sakunya.

   "Suhu, teecu hendak makan obat ini sekarang,"

   Katanya dengan tersenyum. Hwat Kong Tosu sudah biasa dengan adat muridnya yang jujur dan polos, pula sering kali memang gadis cilik itu mempunyai keinginan tiba-tiba maka mendengar kata-kata ini ia hanya tersenyum dan mengangguk tanda setuju, sementara terus saja ia makan buah yang lezat itu. Hong Cu menjumput sebutir obat warna putih itu, menggigit sepotong buah dan memasukkan obat itu ke dalam mulut. Ia menyangka akan merasakan pahitnya obat itu, tapi tiba-tiba matanya terbuka lebar. Ternyata setelah obat itu masuk ke dalam mulutnya, hidungnya mencium bau harum yang luar biasa dan yang mengalahkan bau harum buah itu!

   Rasa buah yang manis itu menjadi tambah manis dan tambah lezat. Karena itu ia memandang suhunya dengan terheran-heran, tapi suhunya ternyata tidak memperhatikan dia dan tengah makan buah dengan meram melek dan giginya yang sudah ompong itu menggayem dengan enaknya! Hong Cu tidak berani mengganggu suhunya, maka ia menggigit sepotong lagi, lalu memasukkan sisa obat yang tinggal dua butir ke dalam mulutnya. Ia merasakan kelezatan yang luar biasa hingga tak terasa dua titik air mata keluar dari matanya. Namun Hong Cu tidak merasakan ini dan ia terus saja memetik buah dan makan dengan enaknya. Sebentar saja duabelas buah butir buah itu telah habis terbagi antara guru dan murid itu. Hwat Kong Tosu menghabiskan lima butir dan Hong Cu telah makan tujuh butir!

   "Aah... enak sekali... belum pernah aku makan seenak ini. Luar biasa!"

   Hwat Kong Tosu berkata sambil duduk di atas cabang pohon dan sandarkan punggungnya. Tapi tiba-tiba ia loncat berdiri dan tubuhnya melesat ke bawah. Untung ia berlaku gesit dan cepat untuk menyambar tubuh Hong Cu yang terpelanting ke bawah!

   Entah mengapa, tiba-tiba Hong Cu merasa tubuhnya panas sekali dan perutnya berbunyi keras seperti ada beberapa ekor ayam jantan berkeruyuk di dalam perutnya. Kepalanya menjadi pening dan matanya gelap! Maka ia tak dapat menahan tubuhnya yang menjadi limbung dan kakinya lalu terpeleset hingga tubuhnya terpelanting ke bawah! Setelah dapat menyambar tubuh muridnya, Hwat Kong Tosu lalu loncat turun. Alangkah kagetnya ketika ia melihat bahwa muridnya telah pingsan dengan tubuh lemas dan tubuh itu menjadi merah sekali seperti warnanya buah yang mereka makan tadi, dan panasnya luar biasa! Mata Hong Cu meram dan dari mulutnya terdengar suara rintihan-rintihan seakan-akan dalam pingsannya ia menderita sakit, sedangkan dari perutnya masih saja terdengar suara berkeruyukan keras!

   Hwat Kong Tosu menjadi bingung sekali dan tidak tahu apa yang harus diperbuat. Ia benar-benar tidak berdaya pada saat itu, melihat keadaan muridnya yang tersayang itu, hampir saja ia menangis keras karena putus asa! Cepat ia lari ke sana ke mari untuk mencari air. Setelah menemukan sebuah anak sungai, ia segera mengambil air dan menggunakan air itu membasahi kepala dan muka muridnya. Hwat Kong Tosu lalu duduk bersamadhi dan menggunakan kekuatan batin dan kekuatan tenaga dalamnya untuk membantu muridnya sambil memegang pergelangan tangan muridnya ia mengerahkan tenaganya yang dengan hangat dan tak tampak menjalar melalui jari tangannya dan memasuki tubuh muridnya melalui pergelangan tangan itu. Lama mereka berdiam dalam keadaan demikian itu.

   Dalam tekadnya, Hwat Kong Tosu takkan bangun sebelum muridnya sembuh. Demikian besar cinta kasihnya terhadap Hong Cu, murid yang satu-satunya semenjak ia mengambil Souw Cin Ok sebagai murid dulu. Perlahan-lahan jari tangannya merasa betapa hawa panas yang keluar dari tubuh muridnya itu berkurang dan bunyi perut berkeruyukan itu kini menjadi perlahan dan hampir tak terdengar lagi. Dengan hati lega diam-diam ia berterima kasih kepada Thian Yang Maha Tunggal dan dengan perlahan ia membuka matanya yang tadi dimeramkan ketika bersamadhi. Ternyata warna merah di kulit tubuh Hong Cu secara berangsur-angsur lenyap dan nafasnya menjadi biasa kembali. Tak lama kemudian gadis cilik itu terdengar mengeluh dan biji matanya dalam pelupuk yang meram itu bergerak-gerak. Kemudian mata itu terbuka dan mulutnya berkata lirih.

   "Ah, haus... haus..."

   "Ini air, Hong Cu, minumlah ini..."

   Kata Hwat Kong yang lalu memberi minum gadis itu. Setelah minum air, Hong Cu menjadi sadar betul. Ia loncat bangun dan pandang suhunya.

   "Eh, suhu, kenapakah?"

   Ia kerut-kerutkan kening mengingat-ingat karena heran sekali mendapatkan dirinya terlentang dan suhunya duduk di dekatnya dengan wajah sedih dan aneh. Maka teringatlah ia bahwa tadi ia merasa pening sekali berada di atas pohon dan terpelanting ke bawah.

   "Suhu, tadi... teecu jatuh?"

   Tanyanya. Hwat Kong Tosu tersenyum, karena hatinya telah lega dan girang.

   "Kau bikin kaget orang tua saja. Tadi tiba-tiba kau jatuh. Untung dapat kusambar tubuhmu, tapi kau menjadi pingsan dan tubuhmu panas sekali."

   Hong Cu berdiri dan memandang ke sekelilingnya dengan heran.

   "Aneh, tubuhku terasa ringan dan mataku terang sekali, suhu, apakah yang terjadi dengan teecu?"

   Hwat Kong Tosu mengelus-elus jenggotnya yang putih panjang.

   "Kau tadi telah makan obat pemberian Tiong Li. Hatiku tadinya penuh curiga dan kebencian. Ah, kalau saja obat mujijat itu sampai mengakibatkan kau menderita sesuatu, aku pasti tidak dapat memberi ampun kepada Tiong Li dan tabib sakti!"

   Hong Cu memandang suhunya dengan aneh.

   "Oh, jadi obat itukah yang membuat teecu jatuh pingsan? Teecu tadi menyangka, buah itulah yang menyebabkannya."

   Guru dan murid itu sama sekali tidak tahu bahwa dengan tidak disengaja, Hong Cu telah membuat ramuan obat yang ajaib, karena obat kuat pemberian Tiong Li tadi ketika di dalam mulutnya tercampur dengan buah merah itu, lalu menjadi obat yang luar biasa pengaruhnya.

   "Suhu, alangkah ganjilnya perasaan teecu. Tubuhku ringan sekali."

   Hong Cu lalu mengenjot untuk mencoba meloncat ke cabang pohon yang tinggi itu dan aneh! Sekali meloncat saja ia telah melewati cabang itu sedangkan tadi sebelum makan obat itu ia telah mengerahkan tenaga dalam loncatannya namun tetap tak dapat mencapai cabang! Tentu saja murid dan guru itu menjadi demikian girang hingga keduanya berloncat-loncatan!

   (Lanjut ke Jilid 07)

   Patung Dewi Kwan Im (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07

   "Kulihat gin-kangmu telah naik dua kali lipat. Heran, sungguh heran! Tapi, kalau betul obat kuat itu yang membantu begini, tentu Tiong Li yang mudah saja makan obat itu dari gurunya sudah memiliki gin-kang yang tiada bandingannya.

   "Sedangkan melihat gerakan pemuda itu, kepandaian gin-kangnya mungkin sekarang hanya sedikit selisihnya dengan kepandaianmu. Aneh, aneh! Hong Cu, kurasa bukan obat itu yang mendatangkan kekuatan ini dalam tubuhmu. Ku rasa buah itulah!"

   "Suhu juga sudah makan buah itu, adakah terasa perubahan dalam tubuh suhu?"

   Hong Cu bertanya. Hwat Kong Tosu diam dan merasa-rasa lalu menggeleng-gelengkan kepala.

   "Tidak terasa apa-apa, hanya hawa yang hangat dan enak dalam perutku."

   Dengan girang sekali Hwat Kong Tosu lalu memberi tambahan pelajaran gin-kang kepada muridnya dan perlahan-lahan mulai memberi teori-teori ilmu silatnya yang lihai, yaitu Ilmu Tongkat Ular Hitam.

   Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mula-mula ia memberi pelajaran gerakan tangan kosong, sebagai lanjutan dari ilmu silat yang dulu telah diajarkan, yaitu dasar-dasar segala kuda-kuda dan pukulan. Untuk melatih lwee-kang, dulu ia sengaja memberi pelajaran menggunakan sabuk sutera merah. Makin dalam pelajaran lwee-kangnya, makin lihailah sabuk sutera itu hingga dengan memainkan sabuk sutera, dapat dijadikan ukuran bagi kemajuan lwee-kang gadis cilik itu. Hampir satu hari mereka berdiam dalam hutan kecil penuh buah itu dan tiada bosan dan lelahnya Hong Cu berlatih silat. Kemudian, setelah hampir sore, mereka melanjutkan perjalanan dengan menggunakan ilmu lari cepat. Demikianlah, setelah makan obat campur buah yang mendatangkan tenaga luar biasa dalam tubuhnya, Hong Cu makin gembira mempelajari silat hingga mendapat kemajuan pesat sekali.

   Ia demikian tekun belajar sampai-sampai ia tidak perduli lagi akan keadaan dirinya. Pakaiannya kusut dan mulai ditambal-tambal, sepatunya yang kiri sudah bolong hingga ibu jari kakinya tampak. Rambutnya yang hitam panjang dan halus itu tak terawat dan dikuncir sembarangan saja. Sungguhpun demikian, namun kecantikannya tidak hilang, bahkan nampak manis dan aseli. Jalan yang ditempuh oleh Hwat Kong Tosu dan Kiang Cu Liong biarpun satu tujuan yaitu Hek-coa-san, namun jurusannya berbeda, karena Kiang Cu Liong si tabib sakti bersama muridnya ambil jalan melalui Kam-leng untuk pergi ke kaki gunung itu sebelah selatan, sedangkan Hwat Kong Tosu ambil jalan melalui Lam-hu untuk pergi ke kaki gunung itu sebelah utara.

   Karena itu maka yang seorang berjalan ke arah tenggara sedangkan yang ke dua ke arah timur laut. Setengah bulan kemudian, Hwat Kong Tosu dan muridnya memasuki Lam-hu. Hwat Kong Tosu yang suka makan enak, ajak muridnya masuk ke dalam sebuah rumah makan dan pesan masakan daging bebek. Memang masakan-masakan di Lam-hu sangat tersohor lezatnya. Pelayan rumah makan itu memandang heran kepada Hwat Kong Tosu dan Hong Cu, karena pakaian mereka tambal-tambalan seperti pengemis-pengemis saja mengapa berani masuk rumah makan besar yang mewah dan pesan masakan yang mahal harganya? Maka beberapa orang pelayan itu saling bisik.

   

Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini