Ceritasilat Novel Online

Pusaka Gua Siluman 21


Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 21



"Kau sudah menceritakan semua itu, Gak Seng Cu, dan aku sudah mengerti betul apa yang kalian kehendaki. Selain hendak mengetahui di mana Souw-taihiap mempelajari ilmu itu, juga kalian ingin sekali dapat mewarisi ilmu yang dulu pernah mengalahkan guru-guru kita, bukan? Akan tetapi, menyesal sekali, Souw-taihiap adalah seorang pahlawan besar, dia banyak diincar oleh para penghianat maka tempat tinggalnya dirahasiakan. Bahkan kepada kalian sendiripun terpaksa aku tak dapat membuka rahasia."

   "Siok Beng Hui, kau terlalu! Guru-guru kita yang menjadi jagoan-jagoan kelas satu di dunia, saling tolong dan akur. Masa di antara kita harus melenyapkan tradisi baik itu? Apakah kami harus menggunakan kekerasan?"

   Siok Beng Hui berdiri, sikapnya tenang namun tegas dan gagah.

   "Kalian ini orang-orang tak tahu diri yang lupa akan keadaan. Memiliki kepandaian tidak dipergunakan untuk membela rakyat memperbaiki keadaan negara, masih mencari kepandaian terus, untuk apa? Rakyat sedang prihatin, kalian tidak membantu malah memikirkan kesenangan diri sendiri."

   "Orang she Siok, kepandaianmu seberapakah, bicaramu begitu sombong? Kau menghina kami sama dengan menghina guru kami karena mencari tempat tinggal Bu-beng Sin-kun bukan hanya kehendak kami, melainkan kehendak guru-guru kami!"

   Kata si muka kodok yang bernama Pek Ke Cui itu.

   "Aha, begitukah? Jadi guru-guru kalian yang menyuruh? Betapapun juga, aku tetap menolak, tidak saja karena kedudukanku, juga mengingat bahwa suhu sendiri tentu takkan membiarkan aku berlaku khianat terhadap seorang pahlawan seperti Souw-taihiap!"

   "Pek Ke Cui, manusia ini sudah terlalu mabok akan pangkat. Kita tangkap dan seret ke depan suhu-suhu kita, beres!"

   Kata Gak Seng Cu, tosu yang memegang pedang itu.

   "Jangan kira aku takuti"

   Bentak Siok Beng Hui yang mencabut keluar sepasang senjatanya, yaitu kaitan yang berwarna putih.

   "Tosu bau dan siluman kodok benar-benar tak tahu diri!"

   Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan tahu-tahu Lee Ing sudah berdiri di hadapan mereka.

   Jangankan Gak Seng Cu, Pek Ke Cui, dan Siok Beng Hui. bahkan Han Sin sendiri yang berdiri dekat sekali dengan Lee Ing, tidak melihat kapan gadis itu bergerak, sekali berkelebat tahu-tahu sudah pindah tempat. Tentu saja ketiga orang jago itu menjadi kaget dan terheran-heran sampai mereka melongo dan tidak melanjutkan pertempuran yang tadinya akan berlangsung. Akan tetapi Gak Seng Cu dan Pek Ke Cui marah sekali karena mereka maklum sepenuhnya bahwa makian tadi ditujukan kepada mereka.

   "Dari mana munculnya bocah perempuan siluman?"

   Bentak Gak Seng Cu marah. Akan tetapi Lee Ing tidak memperdulikan mereka, sebaliknya ia menghadapi Siok Beng Hui, mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata,

   "Siok-lopek (uwa Siok), terimalah hormatku. Kau seorang gagah yang amat mengagumkan. Kau betul sekali, jangan hiraukan dua ekor kadal ini!"

   Mau tak mau Siok Beng Hui tersenyum mendengar ucapan dan melihat sikap Lee Ing yang jenaka, namun tak dapat disangkal lagi cantik menarik dan penuh keberanian yang mengagumkan.

   "Nona cilik, jangan kau main-main. Dua orang gagah ini tidak boleh kau permainkan begitu saja. Mereka lihai sekali dan mundurlah kau, biar aku

   menghadapi mereka untuk membereskan urusanku,"

   Kata Siok Beng Hui halus. Akan tetapi kini Lee Ing sudah menghadapi dua orang lawan Siok Beng Hui itu, lalu menudingkan jari telunjuknya yang kecil sambil memaki,

   "Eh, kadal-kadal kelaparan, dengarkan baik-baik. Kau hendak memaksa Pek-kong-sin-kauw Siok Beng Hui untuk menjadi pengkhianat. Mana dia mau? Seorang pahlawan atau ksatria tidak macam kalian ini, kadal dan kodok busuk. Kalian mencari-cari pahlawan Souw Teng Wi mau apa sih? Tak usah jauh-jauh kalian mencari, ini puterinya, Souw Lee Ing kalian hadapi. Hayo, kalian mau apa? Apa kau kira manusia-manusia tiada guna macam kalian ini bisa menggertak ayah? Cih, tidak tahu diri benar!"

   Gak Seng Cu dan Pek Ke Cui menjadi bengong, tidak saja tertegun menyaksikan gadis ini bersikap sedemikian rupa terhadap mereka yang selama hidup belum pernah dihina orang seperti ini, juga karena kaget mendengar pengakuan bahwa gadis ini adalah puteri Souw Teng Wi. Siok Beng Hui juga tak kurang-kurang kagetnya. Baru satu kali ia melihat puteri sahabatnya itu, yakni ketika Lee Ing diculik oleh Toat-beng-pian Mo Hun. Akan tetapi ketika itu belum jelas benar ia melihat Lee Ing maka sekarang ia menjadi pangling (lupa akan wajah seseorang yang dikenal).

   "Kau puteri Souw-taihiap? Bagus! Minggirlah anak baik, biar aku menghadapi dua orang yang menyeleweng ini,"

   Kata Siok Beng Hui, gembira bahwa ternyata puteri pahlawan itu masih hidup. Hal ini tentu akan banyak membantu kemajuan pikiran Souw Teng Wi yang selama ini hidup tidak karuan jalan pikirannya, tetap seperti orang gila. Dan ia merasa girang sekali bahwa puteri Souw-taihiap ternyata cantik jelita dan pemberani, sungguhpun agak terlalu berlebihan dalam menghadapi Gak Seng Cu dan Pek Ke Cui, kalau ia teringat betapa puteranya, Siok Bun agaknya cinta kepada gadis ini. Sikap binal dan jenaka dari gadis ini mudah dirobah kelak, pikirnya.

   Akan tetapi mana Lee Ing mau mundur atau minggir? Dua orang ini sudah memandang rendah ayahnya hendak memaksa mengetahui tempat ayahnya untuk diculik kiranya, atau dipaksa menunjukkan tempat tinggal Bu-beng Sin-kun. Mana ia bisa diam saja? Mencari tempat Bu-beng sin-kun berarti mencari Gua Siluman dan memusuhi Bu-Beng Sin-kun sama halnya dengan memusuhi gurunya, dan karenanya juga memusuhi dia sendiri sebagai murid tunggal Bu beng sin-kun!

   "Tidak, Siok-lopek. Mereka telah berani menghina ayah, biar aku yang memberi hajaran kepada mereka."

   Lee Ing mencabut pedangnya yang ia beri nama Li-lian-kiam untuk memperingati nama kekasih suhunya yang mati di dalam Gua Tengkorak Seperti main sulap saja ia melakukan ini karena tahu-tahu sebatang pedang tipis ringan telah berada di tangannya..

   Bahkan tiga orang jago itu yang masing-masing memiliki kepandaian tinggi juga tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana gadis itu mencabut pedangnya. Han Sin saja yang tahu karena gadis itu pernah memperlihatkan Li-lian-kiam yang selalu digulung sebagai sabuk di pinggang gadis itu. Tentu saja kalau diambil secara cepat membuat orang bingung karena tadinya tidak kelihatan. Melihat betapa Siok Beng Hui masih ragu-ragu untuk membiarkan gadis semuda itu menghadapi dua orang lihai sepert Gak Seng Cu dan Pek Ke Cui, Han Sin berseru,

   "Siok lo-enghiong harap jangan khawatir. Kepandaian nona Souw boleh diandalkan!"

   Beng Hui menengok dan sekarang ia melihat Liem Han Sin muncul dari balik pohon. Ia menjadi girang dan cepat mendekati pemuda itu, lalu bersama Han Sin memandang ke arah Lee Ing yang sudah menghadapi dua lawannya.

   "Siok Beng Hui, tak malukah engkau, mengundurkan diri dan membiarkan seorang bocah perempuan mewakilimu merasakan kelihaian kami? Kalau kau takut penuhi saja permintaan kami dari pada harus lari bersembunyi di balik punggung wanita. Kami segan bertanding dengan bocah perempuan!"

   Kata Gak Seng Cu, sedangkan Pek Ke Cui hanya menyeringai.

   "Eh, tosu bau dan muka kodok, jangan banyak tingkah. Kalian sudah berani menghina ayah, mana tidak berani menghadapi tantangan puterinya? Ha-yo, aku menantang kalian mengadu kepandaian, kalau kalian takut, suruh guru-guru kalian kakek-kakek tak tahu diri yang mau mampus itu ke sini!"

   "Nona Souw, harap jangan bicara seperti itu!"

   Siok Beng Hui menegur, gelisah sekali mendengar nona itu lancang memaki-maki nama dua orang tokoh besar, guru dari Gak Seng Cu dan Pek Ke Cui.

   "Guru-guru mereka adalah tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw...."

   "Tak perduli. Mereka mencelakai ayah boleh maju kalau sudah bosan hidup!"

   Sementara itu, Gak Seng Cu dan Pek Ke Cui tak dapat menahan marahnya lagi. Akan tetapi untuk maju berbareng, mereka merasa malu. Bahkan maju sendiri saja melawan seorang gadis muda sudah merupakan keganjilan memalukan. Akan tetapi sikap dan kata-kata gadis itu benar-benar menyakiti hati dan tak boleh didiamkan begitu saja.

   "Bocah bermulut lancang. Lekas pergi dari sini jangan banyak ribut!"

   Bentak Gak Seng Cu sambil mengarahkan pedangnya ke arah Lee Ing untuk

   mengancam, sedangkan lengan baju tangan kirinya menyambar untuk mendorong roboh gadis itu dari samping.

   Akan tetapi akibatnya aneh sekali. Pedang Gak Seng Cu itu dengan kerasnya memukul pedang di tangan Lee Ing dengan maksud membuat pedang gadis itu terlepas, akan tetapi begitu bertemu, dua pedang itu saling tempel tak dapat dipisahkan lagi. Gak Seng Cu merasa betapa semacam kekuatan penarik yang dahsyat keluar dari pedang lawan, membuat pedangnya melekat tak dapat dibetot kembali. Sedangkan tangan kirinya yang mendorong tadi, tiba-tiba terpental oleh semacam hawa pukulan aneh sampai menjadi kaku rasanya dan ujung lengan bajunya pecah dan sobek-sobek!

   "He, muka kodok. Apa kau tidak berani? Hayo kau maju sekalian kalau memang gurumu yang bernama Iblis Hitam Neraka Jahanam itu berkepandaian."

   Ditantang begini dan melihat betapa kawannya bengong saja dengan pedang masih menempel pada pedang gadis cilik itu, Pek Ke Cui menjadi tak sabar lagi. Disangkanya kawannya itu tidak bersungguh-sungguh.

   "To-yu, mengapa kau sungkan-sungkan?"

   Katanya dan pedangnya yang bentuknya seperti ular itu menyambar ke depan, sinarnya berkilauan terkena cahaya bulan, gerakannya cepat dan bertenaga.

   Pedang ini tidak menyerang tubuh Lee Ing, melainkan menyambar ke arah pedang gadis itu pula untuk melepaskan pedang dari pegangan nona itu. Seperti Gak Seng Cu, si muka kodok ini sebetulnya sungkan untuk bertanding dengan Lee Ing. Mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang berkepandaian tinggi, masa disuruh bertanding melawan seorang nona muda? Dan karena mereka memang bukan orang-orang jahat, maka mereka tidak mau melukai Lee Ing dan hanya berusaha mengusir dan menakuti gadis muda itu saja supaya pergi dari situ jangan menganggu lagi.

   "Tak!"

   Begitu pedang berbentuk ular itu bertemu dengan pedang Li-lian-kiam, kembali pedang itu menempel tak dapat terlepas lagi. Pek Ke Cui mengerahkan tenaga untuk membetotnya, juga Gak Seng Cu berusaha keras dan mengerahkan Iweekang namun tetap saja pedang mereka tak dapat terlepas dari pedang Lee Ing! Hal ini bukan hanya karena pedang gadis ini memang terbuat dari bahan yang mengandung besi semberani, melainkah terutama sekali oleh karena gadis itu memang sengaja menggunakan tenaga menyedot sehingga kekuatan semberani dari pedangnya menjadi berlipat ganda besarnya.

   Hanya dua orang itu yang dapat mengalami betapa anehnya pertandingan ini, sedangkan Siok Beng Hui yang tidak mengalaminya, menjadi bengong dan tidak mengerti mengapa dua orang yang kepandaiannya setingkat dengan dia sendiri itu hanya berdiri dan berkutetan untuk membetot pedang Masing-masing.

   Lee Ing juga bukan seorang gadis yang bodoh dan tak dapat membedakan orang. Melihat bagaimana dua orang lawannya tadi tidak mau melakukan serangan hebat ke arah tubuhnya saja sudah Membuktikan bahwa dua orang itu sebetulnya bukan orang-orang jahat yang kejam maka iapun tidak mau berlaku kejam. Selagi dua orang di kanan kirinya itu berusaha Melepaskan pedang masing-masing, Lee Ing mengerahkan tenaga pada pedangnya dan menarik. Tak dapat ditahan lagi dua orang itu tertarik maju dan pada saat itu Lee Ing berseru keras,

   "Lepas!"

   Dan... dua orang yang tiba-tiba pedangnya terlepas dari pedang Lee Ing itu tak dapat dicegah lagi terhuyung ke depan saling tabrak dengan kawan sendiri. Baiknya mereka berlaku cepat, dua tangan kiri didorongkan maju. Dada Gak Seng Cu terdorong oleh tangan kiri Pek Ke Cui sedangkan tangan kiri tosu itu mendorong kepala si muka kodok. Keduanya terjengkang ke belakang namun tidak sampai jatuh!

   "Ilmu siluman..."

   Pek Ke Cui berkata perlahan -sambil mengelus-elus kepalanya yang terdorong oleh kawan sendiri tadi.

   "Pek Ke Cui, lihat ilmunya yang aseli, agaknya dia belul anak Souw Teng Wi! Kebetulan sekali, kita tawan saja dia dan bawa kepada suhu!"

   Kata Cak Seng Cu.

   "Kau betul, toyu..."

   Jawab kawannya dan pedang mereka berkelebat cepat sekali melakukan serangan dari dua jurusan.

   Lee Ing tertawa gembira "Kalian mau menawan aku? Hemmm. diberi rasa sedikit masih belum kapok. Lihat pedang!"

   Di lain saat dua orang itu menjadi bingung dan Siok Beng Hui yang tadinva khawatir menjadi kagum sekali. Gadis itu mainkan pedang seperti orang mabok, gerakannya tidak karuan dan lucu serta aneh sekali. Akan tetapi dua orang lawannya menjadi bingung dan tidak tahu bagaimana harus menyerang dan menjaga diri. Ke manapun juga mereka menyerang, pedang mereka selalu terpental kembali, sebaliknya setiap saat ujung pedang gadis itu mencari lowongan dan mengancam mereka dari semua jurusan! Benar-benar ilmu pedang yang aneh bukan main, sinarnya mengisi yang lowong membuyarkan yang penuh.

   "Hebat sekali puteri Souw taihiap..."

   Kata Siok Beng Hui perlahan. Han Sin memandang bangga. Dia sudah tahu bahwa Lee Ing, seperti biasa, tentu akan menang. Kepercayaannya terhadap gadis itu sudah penuh.

   "lng-moi pasti menang..."

   Katanya perlahan, tanpa melepaskan pandang matanya dari pertempuran. la tidak tahu betapa Siok Beng Hui menoleh kepadanya dengan kening berkerut, akan tetapi hanya sebentar karena jago tua inipun segera menonton jalannya penandingan lagi.

   Pertandingan itu tidak memakan waktu lama. Belum sampai dua puluh lima jurus, tiba-tiba terdengar seruan Lee Ing.

   "Lepaskan pedang!!"

   Pedangnya sendiri berubah menjadi sinar memanjang yang bergerak cepat sekali seperti cahaya kilat beterbangan dan tahu-tahu terdengar suar "traang-traangl"

   Disusul terlemparnya pedang dari tangan Gak Seng Cu dan Pek Ke Cui.

   Dua orang jago tua ini berdiri pucat. Mereka maklum, sungguhpun dengan heran dan hampir tak dapat percaya, bahwa mereka bukanlah lawan gadis ini. Kekalahan mereka bukan karena kebetulan saja, melainkan kekalahan mutlak yang tak dapat dibantah lagi.

   Andaikata mereka kalah oleh Siok Beng Hui, hal ini masih tidak mengapa karena memang kalau dibandingkan dengan Siok Beng Hui kepandaian mereka seimbang, menang kalah bukan hal aneh. Akan tetapi kalah oleh gadis semuda itu dengan secara begitu mudah lagi, benar-benar merupakan hal yang tak masuk di akal, karenanya benar-benar merendahkan sekali. Dengan perasaan malu yang hampir tak tertahankan lagi, membuat mukanya sebentar pucat sebentar merah, Gak Seng Cu memungut pedangnya dan berkata,

   "Nona kecil benar-benar lihai, telah mewarisi ilmu tinggi. Pinto Gak Seng Cu mengaku kalah."

   La menjura lalu pergi diikuti oleh Pek Ke Cui yang juga sudah mengambil pedangnya dan tidak mengeluarkan perkataan apa-apa.

   "Kalau masih penasaran, boleh mencari Souw Lee Ing jangan mencari ayah yang sudah tua!"

   Lee Ing mengejek.

   Gadis ini sebetulnya sembarangan mengejek, memang sengaja menantang menggunakan nama sendiri karena tadi ia mendapat kenyataan bahwa kepandaian mereka memang tinggi. Andaikata ayahnya tak usah kalah terhadap mereka ini, akan tetapi kalau guru mereka yang datang, yang tingkahnya tentu sebanding dengan kepandaian Pek-kong-sin-ciang Bu Kam Ki, padahal ayahnya selain sudah tua, juga sudah cacad, sepasang matanya sudah buta, oleh karena inilah maka ia hendak mewakili ayahnya menghadapi mereka semua.

   "Akan kami ingat nama itu...!"

   Terdengar jawaban Gak Seng Cu dari tempat jauh. Ternyata mereka sudah hampir sampai di kaki buku. Demikian cepatnya ilmu lari mereka.

   Siok Beng Hui menghela napas panjang sambil menghampiri Lee Ing.

   "Melihat gerakan mereka. dua orang tadi tak boleh dibilang mundur kepandaiannya. Akan tetapi dalam beberapa jurus saja kalah olehmu benar-benar membuat aku orang tua tak berguna, kagum sekali, nona Souw. Sungguh besar hatiku melihat bahwa Souw-taihiap mempunyai keturunan pandai seperti kau."

   "Siok-lopek. di mana ayahku?"

   Tanya Lee Ing cepat-cepat, la tahu bahwa jago tua she Siok mi tentu tahu di mana ayahnya berada. Siok Beng Hui nampak ragu, memandang ke kanan kiri, lalu berkata perlahan,

   "Souw-taihiap berada di utara, kalau nona hendak mencarinya, pergilah ke Peking dan tanyakan kepada Bun-ji, dia akan membawa nona kepada Souw-taihiap."

   "Bagus! Aku hendak menyusul ke sana!"

   Lee Ing menoleh kepada Han Sin, tersenyum dan berkata.

   "Sin-ko, terpaksa kita berpisah di sini. Aku tak dapat lagi menemani mencari jago-jago karena aku sudah tidak sabar lagi menanti, hendak buru-buru bertemu dengan ayah. Selamat berpisah, Sin-ko."

   Setelah berkata demikian gadis itu memberi hormat kepada Siok Beng Hui dan Han Sin, kemudian sekali berkelebat ia lenyap, lari ke bawah bukit.

   Han Sin kecewa sekali, akan tetapi apa yang dapat ia perbuat? la merasa seakan-akan semangatnya copot dan meninggalkan raganya, ikut terbang melayang di samping gadis itu. Tentu saja ia tidak berani sembarangan mencegah, apa lagi di situ ada Siok Beng Hui menjadi saksi, la hanya dapat mengangkat tangan kanannya melambai dengan hati perih dan muka pucat yang tidak kentara di bawah cahaya bulan itu.

   Siok Beng Hui sengaja tidak memberitahukan tempat persembunyian Souw Teng Wi kepada Lee Ing oleh karena sebetulnya ia masih ragu-ragu apakah benar gadis ini puteri Souw Teng Wi. Menurut cerita puteranya, puteri Souw Teng Wi yang bernama Souw Lee Ing tidak begitu tinggi ilmunya, mengapa sekarang tahu-tahu telah begini lihai? Maka ia sengaja menyuruh gadis itu menjumpai Siok Bun di kota raja utara, karena Siok Bun yang akan mengenalnya sebagai puteri Souw Teng Wi atau bukan. Kalau bukan dan ternyata palsu, tentu Siok Bun takkan mau menunjukkannya.

   "Siok-Io-enghiong, bagaimana bisa sampai ke sini?"

   Tanya Han Sin kepada Pek-kong-sin-kauw Siok Beng Hui yang baru sekarang ia ketahui adalah murid Bu Kam Ki.

   "Hendak mencari suhu yang kabarnya berada di wilayah ini. Kau sendiri mengapa berada di sini? Aku sudah mendengar bahwa kawan-kawan Tiong-gi-pai mengungsi ke utara, malah ada beberapa orang sudah kujumpai, mengapa kau sendiri menyendiri di sini?"

   "Aku justeru memenuhi tugas yang diserahkan kepadaku untuk menghubungi orang-orang gagah, minta bantuan mereka kelak untuk menjatuhkan boneka-boneka pemeras rakyat. Suhu lo-enghiong bukankah Pek-kong-sin-ciang Bu Kam Ki Locian-pwe?"

   "Betul, kau tahu tempatnya?"

   "Baru beberapa hari yang lalu aku pernah bertemu dengan beliau."

   Han Sin lalu bercerita tentang keluarga Ciong dan keluarga Bu Kam Ki. Tentu saja ia tidak mau bicara tentang maksud perjodohan yang menimbulkan heboh itu.

   Girang sekali hati Siolk Beng Hui.

   "Bagus, kalau begitu mari kau antar aku menemui suhu. Persiapan sudah dekat dan tadinya aku hendak minta bantuan kedua susiok, Tok-pi sin-kai dan Im-kan Hek-mo. Siapa kira mereka mempunyai pikiran yang bengkok, menyuruh murid mencari Souw-tai-hiap. Benar-benar menjengkelkan sekali! Fihak musuh sudah lama selalu berusaha mencari Souw-taihiap sekarang ditambah dua orang kakek itu, benar-benar sukar diurus. Baiknya ada nona Souw yang begitu lihai."

   Karena maklum bahwa Siok Beng Hui adalah orang kepercayaan Raja Muda Yung Lo dan menjadi seorang yang dijunjung tinggi oleh Tiong-gi-pai, tentu saja Han Sin tidak berani menolak. Pula apa alasannya kalau menolak? Terpaksa ia berangkat dengan jago tua itu, ke timur kembali dan hatinya dak-dik-duk tidak enak kalau ia bayangkan bahwa ia harus bertemu muka lagi dengan Bu Kam Ki, terutama sekali dengan Bu Lee Siang!

   Hatinya berat sekali karena baru tadi ia masih menikmati cahaya bulan purnama di samping Lee Ing sambil bersenda-gurau, sekarang ia harus berjalan di samping Siok Beng Hui, seorang setengah tua yang pendiam dan keren. Benar-benar perobahan mendadak yang tidak menyenangkan hati sekali.

   Lee Ing melakukan perjalanan secepat mungkin, mengerahkan semua kepandaian untuk berlari cepat dan hanya mengaso apa bila sudah lelah benar untuk tidur atau makan. Biarpun hari sudah jauh malam, kalau fa belum lelah dan mengantuk benar, ia berjalan terus, la belum pernah melakukan perjalanan di daerah ini, akan tetapi maklum bahwa letak kota raja utara adalah di utara.

   Akan tetapi, betapapun lihainya ilmu lari cepat Lee Ing, jarak yang ditempuhnya amat jauh. Ia berada di daerah Propinsi Hu-nan dan untuk mencapai tempat tujuannva, ia harus melalui empat propinsi besar lagi, yaitu Ho-pek, Ho-nan, dan Ho-pei. Ribuan mil ia harus tempuh dan banyak daerah yang masih liar dan sukar dilalui. Hanya berkat kepandaian yang tinggi saja ia dapat maju terus dengan cepat.

   Setelah melakukan perjalanan berpekan-pekan tanpa mengenal lelah saking rindunya hendak cepat-cepat bertemu dengan ayahnya, pada suatu pagi Lee Ing sudah tiba di tepi Sungai Huang-ho, sebelah utara kota Lok-yang. Ketika ia tadi pagi-pagi sekali berangkat dari Lok-yang, ia lebih dulu makan bubur di sebuah warung kecil. Pelayan warung itu menyatakan herannya bahwa sepagi itu ada seorang gadis membeli dan makan bubur.

   "Kemarin juga pagi-pagi sekali ada serombongan orang makan bubur. Mereka itu orang-orang aneh, tetapi lihai. Nona lihat saja. Yang seorang dapat merayap tembok seperti cecak lalu mengecapkan tangannya di pian itu untuk main-main dengan kawan-kawannya yang jumlahnya lima orang. Orang-orang aneh akan tetapi mereka memberi hadiah secara royal sekali!"

   Lee Ing tidak begitu memperhatikan dongeng pelayan ini, akan tetapi ketika matanya melirik ke arah pian yang ditunjuk, hampir saja ia berteriak, la melihat tanda tapak tangan hitam di atas pian itu. Itulah tanda Hek-tok-ciang!

   "Hemm. siapakah badut yang main-main dengan cap buruk itu?"

   Tanyanya memancing, pura-pura heran.

   "Bukan badut, nona. Memang dia aneh, akan tetapi dia seorang kongcu (tuan muda) yang tampan dan berpakaian gagah sekali. Kawan-kawannya amat menghormatnya dan sikapnya seperti seorang berpangkat."

   Lee Ing dapat menduga bahwa yang dimaksudkan itu tentulah Auwyang Tek. Siapa lagi selain Auwyang Tek atau Tok-ong Kai Song Cinjin yang memberi tanda Hek-tok-ciang? Hemm, pemuda itu sudah keluyuran sampai di sini, apa maksudnya? Dan tanda itu, apakah bukan sengaja dipasang supaya orang melihatnya? Tentu itulah tanda-tanda rahasia bagi crang-orang tertentu, ataukah untuk menakut-nakuti fihak lawan?

   "Ke mana mereka pergi?"

   Tanyanya sambil lalu seakan-akan untuk sekedar mengisi waktu sambil makan bubur.

   "Mereka bicara tentang menggunakan perahu, tentu hendak menyeberangi Huang-ho, ke mana entah, mana aku-bisa tahu, nona?"

   Demikianlah, setelah membayar tukang warung, Lee Ing melanjutkan perjalanannya dan dari Lok-yang ke sungai itu tidak berapa jauh maka sebentar saja ia sudah sampai di tepi sungai yang amat lebar itu. Baiknya musim hujan belum tiba, kalau sudah, sukarlah menyeberangi Huang-ho yang sedang meluap dan mengamuk. Para nelayan yang biasa menyewakan perahu segera merubungnya dan menawarkan perahu sendiri. Hanya seorang nelayan tua yang menarik perhatian Lee Ing karena pujiannya,

   "Perahuku sangat kuat dan boleh dipercaya, nona. Kalau tidak masa kemarin ada pembesar-pembesar menyewanya? Lima orang kuseberangkan sekaligus, apa lagi hanya seorang gadis seperti nona yang tentu ringan sekali. Percayalah, nona. Naik perahuku sama amannya dengan duduk di kursi dalam rumah nona sendiri."

   Lee ing mengambil keputusan menyewa perahu

   nelayan tua ini.

   "Jangan terima penumpang lain, biar kuborong saja. Kubayar biaya untuk lima orang."

   Tentu saja kakek itu girang sekali dan cepat menyiapkan perahunya yang biarpun sudah tua namun masih kelihatan kuat seperti dia sendiri. Dan dalam penyeberangan ini Lee Ing mendapat keterangan bahwa lima orang yang diduganya adalah Auwyang Tek dan kawan-kawannya itu telah menyeberang kemarin pagi dan terus menuju ke utara.

   Setelah mendarat di sebelah utara sungai, Lee Ing melanjutkan perjalanannya dengan cepat untuk menyusul rombongan Auwyang Tek itu ke utara. Di sepanjang perjalanan ia melihat tapak-tapak tangan hitam pada batang-batang pohon yang tinggi, pada batu-batu karang. Ia tidak tahu apa maksud rombongan itu meninggalkan tanda-tanda Hek-tok-ciang ini, akan tetapi melihat gambar-gambar itu Lee Ing merasa sebal sekali dan untuk memuaskan hatinya, setiap kali melihat tanda itu, ia tentu menggunakan telunjuknya untuk mencoretnya dua kali kanan kiri sebagai tanda "mematikan"

   Gambar tangan Hek-tok-ciang itu.

   Dengan perjalanan cepat akhirnya dalam tiga hari ia sudah dapat menyusul rombongan itu. Mereka sedang berdiri di puncak sebuah bukit yang bernama Bukit Tiga Menara Bukit itu bernama demikian oleh karena di puncaknya terdapat tiga buah batu karang yang amat tinggi, menjulang ke angkasa seperti tiga buah menara buatan alam.

   Dari tempat pengintaiannya, Lee Ing melihat bahwa dugaannya memang tepat. Auwyang Tek berada di tempat itu bersama empat orang kawannya. Yang tiga orang adalah tiga orang hwesio tinggi kurus yang bentuk wajah dan badannya hampir sama, hanya warna kulit muka mereka saja yang berlainan.

   Seorang bermuka hitam, ke dua bermuka kuning dan yang ke tiga mukanya merah sekali! Benar-benar tiga orang hwesio aneh. Dari pandangan mata mereka yang berkilat-kilat, Lee Ing dapat menduga bahwa mereka ini memang orang-orang pandai. Adapun orang ke empat adalah seorang hwesio pula yang dikenal baik oleh Lee Ing, karena hwesio ini bukan lain adalah Bu Lek Hwesio yang dulu merampasnya dari kakeknya Haminto Losu kemudian "menjualnya"

   Kepada Tiong-gi-pai dengan penukaran ilmu pedang dari Kwee Cun Gan!

   Bagaimana Auwyang Tek bisa berada di tempat itu? Ternyata kaki tangan Auwyang-taijin segera mengetahui bahwa para anggauta Tiong-gi-pai melarikan diri ke utara dan berusaha untuk mengadakan hubungan dengan orang-orang pandai untuk memusuhi fihak Auwyang-taijin. Oleh karena ini, Tok-ong Kai Song Cinjin juga tidak tinggal diam. Kawan-kawannya dibagi tugas, ada yang harus membasmi semua anggauta Tiong-gi-pai dan mengejar mereka ke utara, ada yang disuruh memanggil orang-orang pandai untuk dijadikan pembantu. Tok-ong sendiri pergi ke Tibet untuk mencari saudara-saudaranya. Sedangkan Auwyang Tek mendapat tugas pula mengamat-amati perbatasan utara dan selatan serta gerak-gerik Raja Muda Yung Lo, sekalian mencari kawan-kawan sehaluan.

   
Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Auwyang Tek adalah seorang pemuda sombong yang merasa diri sendiri terpandai, maka ke manapun ia pergi, ia mengobral dan meninggalkan tanda-tanda tapak tangan Hek-tok-ciang, tidak saja untuk memberi tanda kepada kawan-kawannya yang banyak disebar di daerah perbatasan, juga untuk menakuti para anggauta Tiong-gi-pai.

   Maklum bahwa Souw Teng Wi merupakan pujaan kaum pemberontak dan mempunyai pengaruh besar, Auwyang Tek berusaha mencari tempat persembunyian ini. Ia pikir bahwa sekali Souw Teng Wi dapat ditangkap, kiranya orang-orang yang mempunyai pikiran untuk memberontak akan menjadi kecil hatinya. Maka ia sering kali muncul di Peking dan baginya mudah saja karena ia adalah putera Menteri Auwyang, selain itu tidak berani Raja Muda Yung Lo mengganggunya karena Auwyang Tek, dengan perantaraan ayahnya telah dapat memiliki sebuah tek pai (bambu bertulis tanda kuasa) dengan tugas kaisar: Memeriksa dan meneliti tentang keamanan di dalam negeri!

   Di dalam perjalanannya, ia bertemu dengan Bu Lek Hwesio. Semenjak dulu, hwesio ini terkenal curang dan cerdik. Tahu bahwa Auwyang Tek mencari Souw Teng Wi, hwesio licik ini menemuinya dan menyatakan bahwa ia dapat membantu Auwyang Tek mencari Souw Teng Wi, asal pemuda itu suka mengajak tiga orang kawan baiknya dan suka memberi hadiah besar dan janji pangkat apa bila usaha itu berhasil kelak.

   Tentu saja Auwyang Tek menerimanya dengan gembira. Adapun tiga orang kawan baik Bu Lek Hwesio ini adalah tiga orang hwesio yang sekarang bersama mereka melakukan perjalanan ke utara. Mereka ini adalah tiga orang hwesio yang selama ini tidak terkenal karena mereka tak pernah muncul di dunia kang-ouw Akan tetapi sesungguhnya mereka memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan biarpun usia mereka sebaya dengan Bu Lek Hwesio, namun dalam hal tingkat mereka masih terhitung susiok (paman guru) dari Bu Lek Hwesio. Ini saja sudah membuktikan bahwa tingkat kepandaian mereka memang sudah tinggi.

   Demikianlah, bersama Bu Lek Hwesio dan tiga orang hwesio yang menyebut diri Hu-niu Sam-lojin (Tiga kakek dari Bukit Hu-niu) itu, Auwyang Tek segera berangkat lagi ke utara untuk mencari Souw Teng Wi sebagaimana telah dijanjikan oleh Bu Lek Hwesio yang sanggup mencarikan tempat persembunyian pahlawan yang dikejar-kejar dan dianggap pemberontak oleh Kerajaan Beng di Nan-king. Dan pada hari itu mereka tiba di Bukit Tiga Menara tanpa mengetahui bahwa gerak-gerik mereka diawasi oleh sepasang mata bening tajam dari seorang gadis jelita, puteri dari Souw Teng Wi!

   Melihat tiga batu karang yang berbentuk menara tinggi sekali itu, timbul kegembiraan hati Auwyang Tek dan ia ingin menguji kepandaian tiga orang susiok dari Bu Lek Hwesio yang mendengung-dengungkan kelihaian tiga orang hwesio itu. Auwyang Tek mengeluarkan sehelai saputangan putih, lalu berkata,

   "Aku ingin sekali memancangkan saputangan ini dengan tandaku di puncak menara batu karang ini. Apakah di antiara losuhu ada yang dapat memberi petunjuk kepadaku?"

   Hwesio muka merah yang berjuluk Ang Bin Hosiang menjawab sambil berdongak ke atas.

   "Dapat dilakukan dengan melompat tinggi."

   Ia memang seorang ahli ginkang yang lihai. Ilmunya meringankan tubuh dan melompat sukar ditandingi dan hal ini sudah didengar oleh Auwyang Tek dari Bu Lek Hwesio, maka ia ingin sekali mengujinya.

   "Akan tetapi mana bisa aku melompat setinggi itu! Apa losuhu bisa menolongku memancangkan saputangan ini di atas sana? Tak perlu di puncaknya sekali karena terlalu tinggi, takkan kelihatan orang dari bawah. Cukup di tempat sedikit di bawah puncak."

   Auwyamg Tek bicara seolah-olah ia tidak sengaja menguji kepandaian orang, padahal tempat yang ia kehendaki, yaitu di bawah pncak, sudah merupakain tempat tinggi yang kiranya tak mungkin dicapai orang dengan melompat saja.

   "Pinceng (aku) bisa melompat sedikit, akan tetapi entah bisa mencapai tempat setinggi itu atau tidak, baik dicoba saja.."

   Jawab Ang Bin Hosiang.

   Auwyang Tek girang sekali, cepat ia menempelkan telapak tangannya yang terbungkus sarung tangan itu ke tengah saputangan yang segera meninggalkan tanda tapak tangan menghitam. Kain itu telah menjadi hangus di bagian gambar ini. Benar-benar menunjukkan betapa hebat dan berbahaya adanya Hek-tok-ciang!

   "Hek-tok-ciang memang hebat dan lihai sekali,"

   Kata Ang Bin Hosiang memuji serta mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul kelimis. Kemudian ia menerima saputangan itu dan memasang kuda-kuda, kemudian sambil berseru keras kedua kakinya mengenjot tanah dan tubuhnya melayang ke atas, berjungkir-balik lalu melayang lagi ke atas, demikian sampai tiga kali sehingga ia tiba di depan menara di bagian atas sekali dekat puncak.

   Tangannya yang memegang saputangan itu bergerak ke depan secepat kilat dan saputangan itu telah menempel pada batu karang, pinggirnya amblas tertekan oleh tangan hwesio itu yang tubuhnya kini sudah melayang turun kembali seperti seekor burung besar tanpa sayap. Auwyang Tek dan hwesio-hwesio yang lain bertepuk tangan memuji, dan di lereng bukit itu bergema suara tepuk tangan mereka. Lee Ing sendiri bersembunyi sambil mengintai, diam-diam memuji karena perbuatan hwesio itu memang sukar sekali dilakukan dan tak sembarang orang dapat menirunya.

   "Di puncak ini ada tiga batu karang seperti menara, baiknya ketiganya diberi tanda. Aku ingin, mengukir telapak tanganku di puncak menara ke dua, entah apakah Oei Bin Losuhu suka menolongku? Aku sendiri melompat takkan sampai, merayap naik aku sanggup sampai ke puncak, akan tetapi sambil merayap tentu saja tak mungkin aku dapat mengerahkan tenaga mengecap pada batu karang."

   Hwesio muka kuning tersenyum dan tahulah dia bahwa pemuda putera menteri ini sebetulnya hendak menguji kepandaian dia dan saudara-saudaranya. Ia mengangguk dan hwesio yang tidak biasa banyak bicara ini menjawab singkat,

   "Mari kongcu pinceng bawa naik"

   Setelah berkata demikian, ia berdiri di dekat batu karang ke dua dan memberi isyarat kepada Auwyang Tek untuk berdiri di atas pundaknya. Auwyang Tek agak ragu-ragu karena mana mungkin orang merayap di atas batu karang itu sambil di pundaknya ditumpangi orang lain? Membawa diri sendiri saja sudah amat payah dan harus memiliki Ilmu Pek-houw-yu-cong secara mahir. Ilmu Pek-houw-yu-cong adalah ilmu merayap seperti cecak bermain-main di atas tembok. Akan tetapi karena memang hendak menguji, tanpa berkata apa-apa ia lalu melompat ke atas pundak hwesio bermuka kuning itu.

   Seperti juga saudaranya tadi, si muka kuning ini mengeluarkan seruan keras yang menggetarkan bukit, bahkan Auwyang Tek sendiri sampai merasa tubuhnya tergetar oleh seruan ini, kemudian hwesio itu mulai merayap naik dengan kedua kaki tangannya seperti cecak besar, dengan cepat sekali! Hebat tenaga lweekang hwesio muka kuning ini. Tanpa berkurang tenaganya, ia terus merayap naik ke atas sampai mencapai puncak menara ke dua itu.

   "Berhenti di sini, losuhu!"

   Kata Auwyang Tek yang cepat memukulkan telapak tangannya pada batu karang dengan menggunakan Hek-tok-ciang sampai batu karang itu berlubang dan tangannya meninggalkan bekas di situ.

   "Turun ke bawah!"

   Kata lagi Auwyang Tek dan hwesio muka kuning itu lalu merayap turun, lebih cepat dari pada tadi ketika naik. Padahal dalam mempergunakan Ilmu Pek-houw-yu-cong ini, turunnya malah lebih sukar dari pada naiknya.

   Karena merasa tidak enak dipanggul terus, sepuluh kaki sebelum mencapai tanah, Auwyang Tek sudah melompat turun, diikuti oleh hwesio muka kuning itu yang tiba di atas tanah kembali dalam keadaan biasa, hanya jidatnya berpeluh sedikit. Kembali tepuk sorak menyambut demonstrasi kepandaian yang memang hebat ini. Sekali lagi Lee Ing memuji dalam hati.

   "Kepala-kepala gundul ini benat-benar tak boleh dipandang ringan,"

   Pikirnya dalam hati dan ia mengeluh bahwa fihak Auwyang-taijin betul-betul mempunyai banyak tenaga kuat.

   Hwesio ke tiga yang bermuka hitam, berjuluk Ouw Bin Hosiang, juga memperlihatkan kepandaiannya. Kali ini ia mendemonstrasikan kemahirannya bermain piauw (senjata yang ditimpukkan). Sehelai saputangan bercap jari tangan Hek-tok-ciang dilempar oleh Auwyang Tek ke udara, dan selagi saputangan itu melayang, Ouw Bin Hosiang menyusul dengan empat batang piauwnya berturut-turut. Saputangan itu kena disambar piauw, melayang ke atas puncak batu karang ke tiga dan terpantek di puncak itu dengan rapinya. Piauw itu telah menancap di empat ujung saputangan seperti dipasangkan orang.

   Setelah demonstrasi ini disambut tempik-sorak pula, Auwyang Tek tertawa bergelak.

   "Kepandaian sam-wi-losuhu (tiga bapak pendeta) benar mengagumkan. Dengan bantuan sam-wi-losuhu, pemberontak-pemberontak itu tentu lebih mudah dihancurkan I Ha-ha-ha-ha!"

   Lima orang itu lalu melanjutkan perjalanan menuruni bukit sambil ketawa ketawa Hampir saja Lee Ing tak dapat menahan kesabarannya dan ingin ia melompat keluar memberi hajaran kepada Auwyang Tek yang amat dibencinya itu. Akan tetapi ia dapat menahan perasaannya. Tak perlu? mencari permusuhan untuk urusan pribadi yang tidak ada artinya, demikian sering kali Han Sin memberi nasihat.

   Boleh kita mengorbankan jiwa raga, akan tetapi itu hanya demi membela negara, rakyat, atau nama dan kehormatan. Musuh besar yang telah menganiaya ayahnya adalah Tok-ong Kai Song Cinjin seorang. Biarpun Auwyang Tek itu murid Tok-ong, namun pemuda ini tak pernah berurusan dengan ayahnya. Lee Ing tersenyum seorang diri dan merasa heran mengapa ia sekarang bisa berpikir panjang seperti ini. Gara-gara Han Sin, pikirnya.

   Pemuda yang jujur dan berhati terlampau baik sehingga kadang-kadang amat lemahnya. Apakah akupun ketularan menjadi lemah hati? Lee Ing melompat keluar dari tempat pengintaiannya tadi, menghampiri batu karang pertama yang tinggi seperti menara itu. Dari bawah nampak saputangan putih yang ada bekas jari tangan atau telapak tangan Auwyang Tek. Hatinya panas.

   "Hemmm, menempel benda itu sambil melompat ke atas bagiku apa sukarnya? Masa aku tidak bisa?"

   Ia mengerahkan tenaga, kedua kakinya menotol tanah dan tubuhnya melayang ke atas. Berbeda dengan gaya Ang Bin Hosiang yang tadi berpoksai (membuat salto) sampai tiga kali untuk mencapai puncak batu karang menara, kini Lee Ing menggerak-gerakkan kaki tangannya seperti orang berenang. Aneh dan hebat, tiap kali kedua kakinya menjejak udara, tubuhnya mumbul makin tinggi.

   Akhirnya gadis yang luar biasa mi dapat mencapai saputangan dengan tangannya. Ia mengulur lengan kanan, menggunakan jari-jari tangannya menggurat dua kali dan.... di atas saputangan itu, tepat di atas cap tapak tangan, terdapat garis silang yang "mematikan"

   Tapak tangan itu. Lee Ing melayang turun lagi ke bawah dengan cara terjun, kepala di bawah kaki di atas. Sebelum membentur tanah, ia membalik dan dapat berdiri tegak bagaikan seekor burung dara melayang turun saja ringannya.

   Menghadapi batu karang ke dua, diapun meniru perbuatan Ouw Bin Hosiang, merayap naik dengan enak dan cepat sekali ke atas, setelah sampai di puncak, ia memukulkan tangannya pada permukaan batu karang di mana terdapat tapak tangan Auwyang Tek. Permukaan batu karang itu hancur dan gambar tapak tangan itupun lenyap! Puas hatinya lalu merayap turun lagi dengan kecepatan luar biasa.

   Saputangan bergambar tapak tangan di puncak batu karang menara ke tiga ia pukul robek-robek

   (Lanjut ke Jilid 21)

   Pusaka Gua Siluman (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 21

   dengan sebuah batu dari bawah. Juga dalam menimpuk, gadis ini menandingi kepandaian Ouw Bin Hosiang! Setelah melakukan tiga perbuatan ini, Lee Ing tertawa girang, lalu berlari-lari turun gunung seperti seorang anak yang nakal. Hatinya riang karena ia telah dapat merusak hasil kesombongan pemuda Auwyang Tek yang amat dibencinya itu. Karena ia ingin cepat-cepat mencari ayahnya, maka ia tidak inemperdulikan lagi kepada rombongan ini, malah ia menyusul dan mendahului mereka tanpa terjadi bentrokan yang hanya akan menghambat perjalanan.

   Karena selalu menghindarkan diri dari bentrokan-bentrokan dengan fihak lawan, malah tidak mau melayani gangguan-gangguan orang jahat di perjalanan yang mengira dia seorang gadis lemah atau makanan empuk, Lee Ing dapat melakukan perjalanan cepat sekali.

   Setelah melakukan perjalanan lama sampai berpekan-pekan, akhirnya gadis ini sampai juga di kota raja utara, Peking. Girang hatinya melihat daerahnya ini, bertemu muka dengan orang-orang utara, merasa berada di kampung halaman sendiri. Hatinya berdebar kalau ia ingat bahwa ia telah dekat dengan ayahnya yang tercinta.

   Memang jauh berbeda keadaan di selatan dan di utara. Di utara, rakyat nampak hidup tenang, kaum tani yang bekerja di sawah nampak gembira. Di setiap dusun yang dilalui Lee Ing nampak aman tenteram, dan wajah orang-orang kelihatan terang dan ramah, tanda bahwa mereka merasa puas dengan keadaan hidup mereka.

   Keadaan di kota raja sendiri amat ramai, penuh dengan para pedagang yang datang dari luar daerah membawa dagangan mereka yang beraneka warna. Kalau negara kuat rakyat hidup aman dan dapat mencurahkan seluruh perhatian kepada pekerjaan mereka dan perdagangan menjadi maju dan ramai, mendatangkan hasil berlimpah-limpah bagi semua orang, mendatangkan kemakmuran dan karena tidak ada yang kekurangan sandang pangan jarang muncul kejahatan.

   Akan tetapi, sungguhpun di kota raja utara ini nampaknya ramai dan tenteram, bagi yang mengetahui, tempat ini penuh dengan mata-mata, baik mata-mata pemerintah Raja Muda Vung Lo, maupun mata-mata dari selatan yang dikirim oleh pemerintah Kerajaan Beng.

   Lee Ing memasuki kota raja dengan wajah gembira dan kagum. Bangunan-bangunan yang besar dan megah membuat ia bengong karena di selatan tidak ada ia melihat bangunan-bangunan seperti ini. Memang mengenai bangunan, kota raja selatan kalah oleh bekas kota raja Bangsa Mongol ini. Megah dan hebat. Apa lagi sekarang, setelah Raja Muda Yung Lo yang berkuasa di situ, kota raja ini nampak makin makmur.

   Kalau toh kelihatan pengemis-pengemis di kota raja ini, mereka ini adalah orang-orang malas yang terlalu terpengaruh oleh kebiasaan para pendeta hwesio yang suka berjalan minta-minta makanan dari rakyat seperti biasa mereka lakukan. Karena ingin sekali mendapat makanan tanpa bekerja

   inilah menimbulkan adanya pengemis-pengemis di kota besar itu. Jadi bukan timbul pengemis karena kurang pangan. Memang ada orang-orang yang sudah demikian biasa dengan kehidupan mengemis sehingga bagi mereka inilah "pekerjaan"

   Yang paling nikmat dan menyenangkan.

   Lee Ing sedang enak berjalan mencari sebuah rumah penginapan ketika tiba-tiba seorang yang berpakaian pengemis menyeruduknya dari samping. Pengemis itu terhuyung karena kakinya tertumbuk batu, akan tetapi mata Lee Ing yang tajam dapat mengenal gerakan orang dan tahu bahwa pengemis ini hanya pura-pura saja jatuh. Ia cepat menggeser kakinya agar jangan kena tubruk, akan tetapi dari dua tangan pengemis itu menyambar angin yang membuat bajui Lee Ing tertiup menyingkap sehingga sekelebatan kelihatanlah pedang Li-Iian-kiam yang dililitkan di pinggangnya.

   "Minta sedekah, nona..... kasihani seorang pengemis...."

   Orang itu berkata seperti biasanya orang-orang macam dia. Lee Ing mendongkol.

   "Pergi kau, jangan mencari-cari urusan dengan aku!"

   Dengan marah gadis ini lalu membalikkan tubuh dan meninggalkan pengemis aneh itu Akan tetapi, dari jauh pengemis itu mengikutinya, sungguhpun hal ini ia lakukan seperti tidak disengaja. Lee Ing tidak perdulikan dia lagi.

   Melihat sebuah rumah penginapan yang kelihatan bersih dan rapi, Lee Ing lalu masuk memesan kamar. Kebetulan sekali ia mendapatkan sebuah kamar di atas loteng. Kamar itu kecil saja namun bersih menyenangkan. Setelah memasuki kamar dan melihat dari jendela ke luar, kelihatan jalan raya di depan rumah penginapan itu dengan lalu-lintasnya berjalan hilir mudik di depan rumah penginapan, Lee Ing melihat lagi pengemis yang tadi berjalan terbongkok-bongkok.

   Pengemis itu usianya belum begitu tua, paling banyak empat puluh tahun, bajunya compang-camping akan tetapi celananya masih baru. Jalannya bongkok-bongkok seperti orang menderita penyakit tulang punggung, akan tetapi matanya tajam mengerling ke arah rumah penginapan. Dengan hati sebal Lee Ing menurunkan tirai jendela.

   Pelayan mengantar teh panas dan Lee Ing mulai bertanya.

   "Lopek, aku mencari seorang tuan muda bernama Siok Bun, putera dari Pek-kong-sin-kauw Siok Beng Hui. Apakah kau tahu di mana dia tinggal?"

   "Nona, di sini banyak sekali orang she Siok, bagaimana aku bisa tahu? Akan tetapi coba hendak kutanyakan kepada pengurus kepala, mungkin dia tahu."

   '"Kalau tidak tahu biarlah, aku akan mencari sendiri besok,"

   Jawab Lee Ing karena memang ia merasa lelah dan hendak beristirahat di dalam kamarnya sebelum ia keluar lagi mencari Siok Bun. Tentu saja ia tidak tahu bahwa pelayan itupun seorang di antara penyelidik yang tentu saja menjadi kaget mendengar nona ini mencari Siok Bun yang amat dikenalnya.

   Ia merasa curiga dan memang tidak seharusnya ia memberitahukan tempat tinggal keluarga Siok kepada seorang yang belum diketahui keadaannya. Diam-diam dia memberi tahu kepada kepala penyelidik tentang pertanyaan nona ini hingga saat itu nama Lee Ing sudah dimasukkan daftar "tamu-tamu yang dicurigai."

   Malam itu Lee Ing tidur nyenyak setelah berpekan-pekan ia melakukan perjalanan jauh sekali. Akan tetapi menjelang tengah malam ia bangun. Ada suara membangunkannya. Suara itu demikian perlahan dan tentu takkan terdengar oleh telinga orang biasa yang sedang tidur. Akan tetapi pendengaran Lee Ing amat tajam, perasaannya juga halus sekali. Sedikit suara yang mencurigakan cukup membuat ia serentak bangun dan dalam detik-detik selanjutnya ia sudah tahu bahwa ada orang berada di aras genteng kamarnya.

   Betapapun pandai orang itu menggunakan ginkang sehingga jejak kakinya hampir tidak mengeluarkan bunyi, tetap saja tertangkap oleh pendengaran gadis itu. Dengan tenang namun cepat sekali, Lee Ing menyambar pakaian luarnya, mengenakan pakaian dan terus melompat keluar jendela, sebelah tangan menyambar ujung genteng dan diayunnya tubuhnya itu melengkung ke atas genteng. Benar-benar gerakan yang amat indah, juga berbahaya, dilakukan di malam gelap itu.

   "Bangsat pengecut jangan lari!"

   Lee Ing memaki dan terus mengejar, la tadi melihat bayangan dua orang berdiri di atas genteng.

   Dua orang itu cepat sekali larinya, berloncat-loncatan dari genteng ke genteng rumah lain. Namun mereka kurang gesit bagi Lee ing yang cepat mengejarnya. Tiba-tiba Lee Ing sengaja mengurangi kecepatannya karena ia hendak mengetahui di mana sarang penjahat-penjahat ini yang sudah pasti tidak bermaksud baik malam-malam mengintai kamarnya. Ia hanya mengikuti dari belakang dan menjaga agar jarak antara dia dan mereka tetap dekat.

   Ternyata dua bayangan orang itu membawanya ke sudut kota di mana terdapat beberapa bangunan besar. Mereka melompat ke atas genteng rumah yang besar dan tinggi dan hendak masuk ke dalam melalui wuwungan. Akan tetapi Lee Ing sudah melompat jauh dan menyerang mereka.

   "Jangan lari!"

   Bentaknya dan kedua tangannya melakukan serangan totokan yang hebat, la tidak mau menurunkan tangan maut, apa lagi ketika ia melihat bahwa mereka adalah orang-orang muda yang kelihatan gagah dan berpakaian seperti pakaian penjaga keamanan. Dua orang itu cepat mengelak, namun ilmu menotok dari Lee Ing adalah lain dan pada yang lain. Bagaikan bermata, jari-jarinya mengejar terus sampai akhirnya dua orang itu roboh tak berkutik di atas genteng.

   Terdengar hiruk-pikuk di bawah genteng dan alangkah kaget hati Lee Ing ketika belasan orang melompat naik sedangkan di bawah genteng masih terdapat puluhan orang yang berpakaian seragam. Kiranya ia dibawa ke sebuah markas penjaga keamanan! Makin tercenganglah ia melihat bahwa belasan orang yang melompat naik itu dipimpin oleh pengemis yang ia lihat siang tadi. Timbul marahnya. Masa datang-datang ia sudah diawasi seorang mata-mata dan malamnya ada yang mengintai kamarnya? Mereka menganggap dia orang apa?

   "Bagus, kalian hendak mencari gara-gara dengan aku?"

   Lee Ing menggerakkan tangan kanan dan pedang Li-lian-kiam berada di tangannya.

   "Kepung dan tawan dia. Gadis ini mencurigakan sekali!"

   Teriak pengemis itu dengan nada memerintah. Sekarang mudah diduga siapa adanya pengemis ini. Pedang dan golok digerakkan ke atas mengancam Lee Ing. Gadis itu menggerakkan pedangnya seperti halilintar menyambar.

   "Plak-plak-plak!!"

   Sebentar saja tiga pedang dan dua batang golok menempel di pedangnya dan tak dapat ditarik kembali. Selagi lima orang itu berkutetan hendak menarik kembali senjata mereka, Lee Ing mengerahkan tenaga menarik dan..... lima batang senjata itu terlepas dari pegangan mereka dan jatuh berkerincingan di atas genteng!

   Akan tetapi para pengeroyok itu tidak menjadi gentar. Agaknya memang mereka sudah terlatih menghadapi orang-orang pandai. Mereka mendesak terus dan pengemis itu ternyata juga lihai. Dengan tiongkat besi ia sendiri maju mengeroyok Lee Ing. Gadis ini menggerakkan pedangnya dan "criiing!"

   Tiga batang pedang pengeroyoknya somplak.

   "Kepung rapat! Gadis ini lihai sekali pedangnya!"

   Pengemis itu berteriak lagi akan tetapi ia segera menjadi repot sekali karena kini Lee Ing mendesaknya. Ia mencoba untuk mempertahankan diri, akan tetapi tanpa dapat dicegah lagi lengan kanannya terluka. Cepat ia mundur dengan muka pucat sambil memegangi lengannya yang sudah terluka. Baiknya gadis itu tidak berniat membunuh, kalau demikian halnya tentu kulit perutnya yang pecah, bukan hanya kulit lengannya!

   Selagi Lee Ing dikepung rapat, tiba-tiba berkelebat bayangan dan terdengar bentakan keras.

   "Semua mundur! Masa menghadapi seorang gadis harus mengeroyok seperti ini? Benar-benar memalukan sekali!"

   Lee Ing memandang, orang yang baru datang itu memandang dan..... keduanya bengong. Apa lagi pemuda bertopi batok yang baru sampai ini. Ia berdiri tegak menatap wajah Lee Ing yang diterangi oleh cahaya obor yang dibawa oleh pasukan yang kini sudah memenuhi genteng. Ia ragu-ragu. Ingat-ingat lupa. Akan tetapi Lee Ing mana bisa lupa? Jarang ada pemuda tampan bertopi batok!

   "Saudara Siok Bun apakah baik-baik saja?"

   Tegur Lee Ing sambil tersenyum dan menyimpan kembali pedangnya.

   "Aduh, tak salah lagi kiranya! Bukankah kau nona Souw Lee lng?"

   Tanya pemuda itu yang bukan lain adalah Siok Bun, pemuda yang dulu dengan mati-matian membela Lee Ing dari tangan Mo Hun dan juga Yap Lee Nio.

   Ketika dengan senyum manis Lee Ing tersenyum, Siok Bun lalu memutar tubuh dan membentak orang-orang itu,

   "Kalian ini tolol semua! Tamu agung datang tidak disambut dengan baik-baik malah kalian bersikap sangat keterlaluan dan memalukan!"

   Orang berpakaian pengemis itu menjadi pucat.

   "Dia....dia mencurigakan.... dia bertanya-tanya tentang nama taihiap dan alamat Siok-ciang-kun....!"

   Dia mencoba membantah.

   "Goblok! Tentu saja dia menanyakan aku dan alamat ayah. Tak tahu kau siapa orangnya yang kalian keroyok ini? Dia puteri Souw-taihiap, tahu?"

   Terdengar seruan di sana-sini dan semua orang cepat memberi hormat, didahului oleh pengemis itu yang berkata.

   "Souw-lihiap, mohon maaf sebesarnya kalau kami telah berlaku lancang dan kurang ajar."

   "Tidak apa."

   Jawab Lee Ing dengan senyumnya yang selalu siap di bibir.

   "betapapun juga. kalian telah membawa aku bertemu dengan saudara Siok Bun."

   Gadis ini lalu membebaskan beberapa orang korban yang tadi telah dirobohkan dengan totokan. Kemudian ia melompat turun mengikuti Siok Bun yang mengajaknya memasuki ruangan dalam. Setelah berdua saja, Siok Bun bertanya girang,

   "Nona, benarkah kau datang mencari aku?"

   Lee Ing mengangguk, tidak tahu mengapa pemuda itu kelihatan luar biasa girangnya.

   "Aku telah bertemu dengan ayahmu di selatan dan dia yang memesan supaya aku mencarimu di kota raja ini."

   "Kau bertemu dengan ayah? Bagaimana dia? Baik-baik sajakah? Berhasilkah usahanya?"

   "Ada sedikit gangguan, akan tetapi sekarang kiranya sudah bertemu dengan Bu-lohiap, diantar oleh saudara Liem Han Sin."

   Dengan singkat Lee Ing menceritakan pertemuannya dengan Pek-kong-sin-kauw Siok Beng Hui.

   "Dan keperluanmu ke utara ini?"

   Tanya Siok Bun yang mendengarkan penuturan nona itu dengan hati penuh kegembiraan sambil menatap wajah yang jelita, wajah yang beberapa tahun yang lalu sudah membuat ia tergila-gila dan sekarang lebih-lebih memikat dan menjatuhkan hatinya.

   "Aku minta kau antar aku ke tempat ayah."

   Siok Bun mengangguk-angguk sambil mengerutkan keningnya.

   "Banyak sekali orang pihak musuh yang mencari ayahmu dengan maksud jelek. Kami yang amat menjunjung tinggi jasa-jasa ayahmu, tentu saja berusaha sedapat mungkin untuk melindunginya. Sayangnya ayahmu tidak suka berurusan dengan siapapun juga, hendak menyendiri saja dan selalu marah-marah kalau dibawa ke dalam benteng. Karena itu, untuk menyembunyikan dan menyelamatkannya dari kejaran orang-orang suruhan para durna di selatian, terpaksa kami membawanya keluar kota dan atas permintaan ayahmu sendiri kami membuatkan sebuah perahu di mana ayahmu tinggal. Agaknya ayahmu gembira setelah tinggal dalam perahu di atas sungai. Selain itu, juga mata-mata musuh tidak ada yang pernah menduga bahwa ayahmu berada di tempat itu. Ayahmu sering bernyanyi-nyanyi dan yang disebut-sebut hanya namamu dan Namilana......"

   Kedua mata lee Ing menjadi basah oleh air mala.

   "Ibuku...! Ayah sudah cukup lama menderita, sekarang aku hendak berusaha menghiburnya. Saudara Siok Bun, bawa aku ke sana!"

   "Berangkat ke sana siang hari, amat tidak baik karena khawatir terlihat oleh mata-mata musuh. Pergi malam hari seperti sekarang, juga khawatir mengganggu ayahmu yang tentu masih tidur. Paling baik pergi pagi-pagi nanti, nona."

   "Tidak, aku ingin pergi sekarang! Biar kita menanti sampai ayah bangun. Aku tidak sabar lagi,"

   Kata Lee Ing, suaranya penuh permintaan.

   "Baiklah, aku selalu bersedia membantumu, nona! Mari kita berangkat."

   Siok Bun memesan kepada para perwira di markas itu agar supaya lebih hati-hati menjaga keamanan, kemudian bersama Lee Ing ia berangkat keluar kota raja dari pintu gerbang sebelah utara. Penjaga pintu gerbang yang melihat pemuda ini, mengenalnya baik-baik dan cepat membuka pintu. Diam-diam Lee Ing kagum. Pemuda ini masih muda namun sudah terkenal di antara para penjaga, benar patut menjadi putera seorang panglima seperti Siok Beng Hui.

   Di tengah perjalanan yang dilakukan biasa itu, Siok Bun menceritakan keadaan kota raja.

   Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Para durna mengirim orang-orang pandai untuk menyelidiki keadaan di sini, juga mereka selalu berusaha untuk mengetahui di mana adanya ayahmu,"

   Demikian antara lain ia betcerita.

   "Mengapa mereka mencari ayah? Di kota ini apakah mereka juga berani bertindak sewenang-wenang dan berani menganggu ayah?"

   

Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini