Pusaka Gua Siluman 22
Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 22
"Kau tidak tahu, nona. Betapapun juga, daerah utara ini masih termasuk wilayah Kerajaan Beng yang pada waktu ini dikuasai oleh kaisar di Selatan. Kaisar telah kena dihasut oleh para durna sehingga beliau suka memberi surat keputusan bahwa ayahmu dinyatakan sebagai seorang pengkhianat dan pemberontak. Dengan surat keputusan itu, tentu saja orang-orang para durna itu berani menawan atau mencelakai ayahmu, dan para petugas di sini, bahkan raja muda sendiri mana berani melawan surat keputusan kaisar yang menjadi ayah?"
Lee Ing menarik napas panjang.
"Menyebalkan sekali para durna itu! Membosankan sekali penghidupan di selatan yang penuh hawa nafsu dan kepalsuan itu. Kalau sudah selesai tugasku, aku akan mengajak ayah kembali ke utara, ke tempat kong-kong, di sebelah utara padang pasir Gobi..."
Lee Ing lalu menerbangkan lamunannya jauh ke tempat itu, tempat sunyi akan tetapi mengamankan hati di mana tidak terdapat kepalsuan-kepalsuan dan pertentangan-pertentangan seperti di daratan Tiongkok ini.
"Di sini semua orang berhati jahat....."
Tak terasa lagi ucapan ini keluar dari bibir Lee Ing.
Wajah pemuda itu menjadi pucat.
"Betul tidak ada orang baik menurut pendapatmu?"
Lee Ing baru sadar bahwa dia bicara keterlaluan. Bukankah orang-orang Tiong-gi-pai itu baik-baik, juga orang-orang seperti Siok Beng Hui, apa lagi Oei Siok Ho, amat baik? Masih ada lagi Liem HanSin dan.... pemuda ini. Tidak tahu mana yang lebih baik, akan tetapi menurut suara hatinya, yang paling baik tentu saja Siok Ho!
"Maaf, saudara Siok Bun. Tentu saja tidak semua, maksudku banyak terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan, kepalsuan-kepalsuan yang membikin jemu hatiku di selatan sini. Memang banyak kujumpai orang-orang baik, di antaranya.... kau sendiri dan ayahmu."
Wajah Siok Bun menjadi merah sekarang, akan tetapi oleh karena udara hanya diterangi bintang-bintang, perubahan warna pada kulit mukanya ini tidak terlihat oleh Lee Ing. Akhirnya sampai juga mereka di pinggir sungai yang dimaksudkan itu. Benar saja, di tengah sungai terdapat sebuah perahu besar yang diam tak bergerak. Penghuninya agaknya membuang jangkar di tengah sungai. Tidak ada penerangan pada perahu itu.
"Siapa itu?"
Tiba-tiba terdengar teguran dan dua orang muncul dari sebuah perahu kecil yang berada di tepi sungai. Mereka ini membawa pedang di tangan.
"Aku orang sendiri!"
Jawab Siok Bun mendekat.
"Ah, kiranya Siok-taihiap!"
Kata seorang di antara mereka yang ternyata merupakan penjaga-penjaga yang diberi tugas mengawasi perahu Souw Teng Wi itu.
"Semua aman? Tidak ada sesuatu yang mencurigakan?"
Tanya Siok Bun.
"Aman dan tidak ada apa-apa,"
Jawab mereka.
"Baik, pergilah kalian meronda, biar aku yang berada di sini,"
Kata pula pemuda itu. Dua orang penjaga itu lalu naik ke dalam perahu mereka dan mendayung perahu itu untuk meronda, yaitu mengitari perahu di tengah sungai itu.
"Hemtn, mereka baru bangun tidur,"
Kata Lee Ing tak puas.
"Apakah hanya mereka berdua yang melakukan penjagaan?"
"Betul, nona. Bukan untuk menjaga keselamatan, hanya untuk segera melapor apa bila terjadi hal-hal yang mencurigakan. Di sini termasuk daerah terlarang, bahkan para nelayanpun tidak ada yang berani lewat di sini."
Lee Ing duduk di atas akar pohon yang banyak tumbuh di pinggir sungai. Hatinya tidak puas. Ayahnya seorang yang memiliki kepandaian tinggi, masa hanya dijaga oleh dua orang yang tidak ada gunanya seperti tadi? Lebih baik tidak dijaga, ayahnya mampu menjaga diri sendiri.. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau menyatakan suara hatinya ini kepada Siok Bun yang juga sudah duduk di atas akar pohon.
"Aku sering kali duduk di sini mendengarkan suara ayahmu bernyanyi,"
Kata pemuda itu memecah kesunyian malam.
"Bernyanyi?"
Tanya Lee Ing heran, juga terharu.
"Ya, suara ayahmu tidak merdu, lagunya juga tidak menarik. Akan tetapi kata-katanya amat mengagumkan, penuh semangat perjuangan. Ayahmu benar-benar seorang pahlawan besar, sampai dalam keadaan seperti itupun masih bersemangat. Sering kali aku mendengarnya dan hanya satu lagu yang amat meresap di hatiku, sampai-sampai aku hafal kata-katanya."
"Lagu apakah itu?"
Tanya Lee Ing tertarik, karena pemuda ini begitu memperhatikan ayahnya.
"Dengarkan aku hendak menyanyikannya seperti yang dinyanyikan oleh ayahmu,"
Kata Siok Bun yang bangkit berdiri tegak, membuka dada membusung ke depan, lalu bernyanyi. Suara pemuda ini nyaring dan merdu, akan tetapi Lee Ing tidak memperhatikan suaranya saking terpesona oleh kata-kata lagu itu.
"Berjuang mempertaruhkan nyawa.
Demi membela nusa dan bangsa!
Isteri pujaan menanti di utara.
Bersama seorang puteri ataukah putera?
Namilana, dewi pujaan kalbu...
Masih ingatkah kau akan daku..?
Mengapa kau tidak datang mencariku?
Di mana kau......
di mana kau Namilana isteriku?"
Tak tertahan lagi Lee Ing menutupi mukanya dengan tangan dan menangis tersedu-sedu mendengar nyanyian yang dinyanyikan oleh Siok Bun Ini. Ia hafal benar akan kata-kata ini, kata-kata yang diukir oleh ayahnya pada dinding batu dalam Gua Siluman. Sajak yang merupakan jerit hati ayahnya.
Sampai tergoncang-goncang pundak Lee Ing ketika ia menangis. Ia menahan-nahan sedapat mungkin, namun suara nyanyian Siok Bun demikian menusuk kalbunya, seakan-akan dengan nyanyian itu, Siok Bun telah dapat menggambarkan betapa keadaan ayahnya yang amat sengsara.
"Ayah... alangkah besar penderitaanmu...."
Ia bersambat.
Tiba-tiba sebuah tangan yang halus diletakkan di atas pundaknya. Ia kaget, menoleh dan melihat Siok Bun memandang kepadanya dengan wajah aneh. Lebih aneh lagi suara Siok Bun yang sekarang berkata dengan perlahan itu terdengar gemetar,
"Nona Lee Ing... jangan kau berduka........ aku.... aku tak tahan melihat kau menangis. Jangan bersedih, di dunia ini masih ada aku yang selalu bersiap melindungimu, hidupku ini kalau perlu.... kusediakan untuk kepentinganmu, nona."
Seketika itu juga Lee Ing sadar dari keadaannya yang sedih, ia bangkit serentak seperti kena siram air dingin. Matanya terbelalak memandang kepada Siok Bun.
"Saudara Siok Bun! Apa..... apa maksudmu dengan kata-kata itu?"
Siok Bun terpukul hatinya, mukanya menjadi merah sekali dan ia berkata sambil menundukkan mukanya.
"Maaf.... aku telah berlaku lancang dan mengeluarkan kata-kata kurang sopan. Apa hendak dikata kalau aku memang suka kepada nona dan hatiku penuh dengan haru dan iba? Apa dayaku kalau aku tertarik oleh diri nona, kalau aku selalu membayangkan wajah nona semenjak kita berjumpa beberapa tahun yang lalu? Maafkanlah, tidak semestinya aku mengeluarkan semua ini. Kalau aku menyinggung hatimu harap kau maafkan dan aku berjanji selamanya takkan mengulanginya lagi."
Lee Ing memandang dengan muka sebentar merah sebentar pucat. Celaka tiga belas, pikirnya. Jadi pemuda inipun jatuh cinta kepadanya? Pemuda ini baik sekali dan ucapannya yang terakhir itu mengharukannya.
"Saudara Siok Bun, harap kau kasihani aku dan jangan bicara lagi soal itu. Aku ingin bertemu dengan ayah, kemudian aku ingin membalaskan sakit hati ayah yang telah dibuat sedemikian sengsara oleh orang-orang jahat. Yang lainnya aku tidak mau pikirkan...... yakni.... setidaknya...;.. pada waktu sekarang ini."
Berseri wajah Siok Bun. Hatinya lega bukan main. Tadinya ia sudah siap menerima caci-maki dari gadis itu. Tidak disangka gadis itu tidak marah, malah kalau dipikirkan secara mendalam, ia masih ada harapan. Gadis itu bilang bahwa pada waktu sekarang ini tidak mau memikirkan tentang hal lain, atau jelasnya tentang cinta, jadi dapat diartikan bahwa lain waktu atau kelak akan memikirkannya. Inilah logika pemuda yang mabok asmara. Sedikit kata-kata, sedikit senyum, sekilas kerling, sudah diterima dan diartikannya sebagai seribu janji.
Malam mulai menghilang, terganti fajar menyingsing di ufuk timur. Sinar-sinar pertama dari matahari mengusiri sisa-sisa kegelapan malam. Pergumulan antara cahaya terang berkilat dengan kegelapan menghitam tercermin di permukaan air sungai, menimbulkan pemandangan yang gaib. Burung-burung yang tak pernah malas untuk bangun pagi-pagi sekali itu mulai berkicau, siap-sedia menempuh kehidupan sehari itu dengan sikap gembira dan besar hati, sungguhpun besar kemungkinan mereka takkan mendapatkan makanan cukup untuk hari itu. Tiada pemikiran tentang hari depan, tiada kekhawatiran, tak pernah diganggu oleh tujuh perasaan nafsu seperti manusia, karenanya hidup bebas lepas, bergerak sesuai dengan kehendak yang menciptanya, itulah burung! Karena selalu nampak gembira.
Pantas saja penyair besar The Sun pernah menyatakan keinginan hatinya untuk berubah menjadi burung. Agaknya ia membuat syair itu setelah melihat burung-burung di waktu pagi, apa lagi di dekat sungai seperti itu. Akan tetapi, dua orang muda yang duduk di tepi sungai, Lee Ing dan Siok Bun, agaknya tidak memperhatikan keindahan pagi hari seperti penyair The Sun. Yang menjadi pusat perhatian mereka hanyalah perahu besar yang terapung di tengah sungai.
"Biasanya ayahmu bangun pagi-pagi sekali dan mulai mendayung perahunya itu ke sana ke mari, kadang-kadang menjala ikan, kadang-kadang kalau lagi senang hatinya malah mengajak penjaga main catur sambil menikmati hidangan ikan bakar dan arak. Mengapa sekarang sunyi saja? Apakah beliau masih tidur?"
"Mari kita ke sana, itu ada perahu kosong,"
Kata Lee Ing sambil menunjuk ke sebuah perahu penjaga yang kosong. Memang di situ terdapat beberapa buah perahu yang disediakan untuk para penjaga.
"Biasanya Souw-taihiap tidak suka diganggu. Kalau beliau menghendaki adanya hubungan dengan orang lain, ayahmu itu suka mendayung perahunya menghampiri. Kalau diganggu suka marah. Pernah dua orang penjaga dipukul dan dilempar ke dalam air karena berani mendatangi perahunya."
"Kasihan, karena sering kali difitnah dan dicurangi orang jahat, menjadi penuh kecurigaan terhadap orang lain. Biar aku yang menghampiri perahunya. Padaku dia takkan marah."
"Nanti dulu, nona."
Siok Bun mencegah penuh kekhawatiran.
"Ayahmu berbahaya sekali kalau sedang marah, dan dia itu lihai bukan main. Lebih baik aku yang memanggilnya dari sini."
Pemuda itu lalu mengerahkan tenaga menggunakan khikang memekik keras,
"Souw-locianpwe.....! Di sini aku Siok Bun mohon bertemu.....!!"
Teriakan ini bergema sampai jauh, akan tetapi keadaan tetap sunyi. Tak ada jawaban apa-apa dan suara burung-burung yang tadi berkicau gembira menjadi sirap, agaknya terkejut dan takut akan pekik manusia yang amat nyaring tadi.
"Heran, biasanya pagi-pagi sekali ayahmu sudah bangun..."
Siok Bun menggerutu dan hatinya mulai tidak enak. Melihat perahu panjang sudah bergerak mendekat lagi setelah melakukan perondaan, ia memberi isyarat memanggil. Dua orang penjaga itu mempercepat gerakan perahu yang mereka dayung sekuat tenaga menuju ke tempat dua orang muda itu. Sekarang kelihatan tegas wajah mereka, dua orang muda yang kelihatan kuat dan gagah, hanya mata mereka agak kemerahan karena mengantuk.
"Apakah tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan semalam?"
Tanya Siok Bun setelah mereka melompat ke darat dari perahu mereka yang diseret ke pinggir.
"Tidak. Siok-taihiap. Sunyi-sunyi saja tidak ada sesuatu yang mencurigakan."
"Hemm, justeru aku curiga karena terlalu sunyi. Bukankah biasanya Souw-locianpwe sudah bangun pagi-pagi sekali?"
Kata pemuda itu sambil memandang ke tengah sungai di mana perahu Souw Teng Wi itu bergerak-gerak keterjang ombak kecil. Dua orang itu kelihatan kaget dan pucat. Agaknya baru sekarang mereka melihat keganjilan ini.
"Betul, biasanya pagi-pagi sudah bangun dan bernyanyi-nyanyi,"
Kata mereka.
"Tolol kalian!"
Siok Bun memaki.
Akan tetapi Souw Lee Ing sudah tidak sabar lagi.
"Aku hendak melihat ke sana!"
Katanya dengan suara agak gemetar, la gelisah kalau-kalau terjadi sesuatu dengan ayahnya. Cepat ia melompat ke dalam perahu penjaga-penjaga tadi.
"Mari kutemani!"
Kata Siok Bun yang cepat melompat pula.
Mereka mendayung kuat-kuat dan sebentar saja perahu kecil mereka sudah menempel pada perahu besar Sduw Teng Wi. Tanpa ragu-ragu lagi Lee Ing melompat ke atas perahu ayahnya, diikuti oleh Siok Bun yang terheran-heran menyaksikan kegesitan dan keringanan tubuh gadis itu. Alangkah banyaknya kemajuan yang diperoleh gadis itu, pikirnya. Juga ketika ia menyaksikan sepak terjang Lee Ing dikeroyok oleh para perajurit di benteng, ia sudah terheran-heran.
Akan tetapi oleh karena para pengeroyok itu memang hanya memiliki ilmu kepandaian lumayan saja, hal itu tidak dianggapnya luar biasa. Ia hanya mengira bahwa selama ini puteri Souw-taihiap itu tentu telah memperdalam kepandaiannya. lapun cepat mengikuti Lee Ing, melompat ke atas perahu sambil membawa tambang yang diikatkan pada kepala perahunya sendiri. Sampai di atas ia mengikatkan ujung tambang pada pinggiran perahu besar itu.
Lee Ing sementara itu sudah menghampiri ruangan perahu dan melongok ke dalam. Ia mengharapkan melihat ayahnya masih terbaring tidur di bawah atap peiahu yang amat sederhana itu, akan tetapi ia menjadi melongo. Wajahnya pucat. bibirnya gemetar dan sepasang matanya nampak kaget, duka dan kecewa. Tempat itu kosong, tidak ada seorangpun manusia di dalamnya!
Siok Bun yang juga sudah melongok ke dalam, mengeluarkan seruan kaget.
"Celaka...! Ke mana perginya Souw-locianpwe?"
Katanya.
Lee Ing tiba-tiba memutar tubuhnya menghadapi Siok Bun dan mencabut pedangnya, membuat pemuda itu kaget bukan main.
"Di mana ayah?"
Bentak Lee Ing.
"Kau, ayahmu dan orang-orang kota raja sini bertanggung jawab atas keselamatan ayah! Di mana kalian menyembunyikan ayah?"
Siok Bun maklum bahwa gadis ini karena duka dan gelisah melihat ayahnya tidak berada di situ, menjadi naik darah. Ia menarik napas dan berkata
halus,
"Nona Souw, ayahmu seorang yang tinggi ilmunya, mana bisa kami paksa dia bersembunyi? Kami hanya bisa menjaga dan mengamatinya, akan tetapi menjaga seorang selihai ayahmu benar-benar tidak mudah. Memang para penjaga kami yang bersalah sampai tidak melihat ayahmu meninggalkan perahu, akan tetapi dengan kepandaian yang dimiliki ayahmu, apa sukarnya pergi tanpa diketahui oleh para penjaga? Harap nona bersabar dan jangan menyangka yang bukan-bukan. Kami amat menghargai ayahmu dan bermaksud sedapat mungkin melindunginya, sungguhpun perkataan melindungi ini kurang tepat mengingat bahwa ayahmu adalah seorang yang tak membutuhkan perlindungan karena memiliki kepandaian tinggi. Kukira sekarang dia hanya pergi karena bosan berada di sini."
Melihat sikap Siok Bun, Lee Ing menjadi lebih sabar. Ia melompat ke dalam ruangan itu dan matanya memandang ke sekitar kamar. Tiba-tiba ia mengeluarkan seruan kaget, demikian pula siok Bun ketika melihat ada tanda tapak tangan hitam di dinding ruangan itu.
"Bedebah she Auwyang! Jadi kaukah yang telah menculik ayah?"
Lee Ing berteriak marah, teringat kepada Auwyang Tek yang juga melakukan perjalanan ke utara dikawani oleh Bu Lek Hwesio dan Hu-niu Sam-lojin.
Akan tetapi, dia telah meninggalkan mereka itu di tengah perjalanan, masa mereka sudah mendahuluinya sampai di sini? Siok Bun adalah seorang pemuda yang teliti, la sudah pernah bertempur melawan Auwyang Tek, bahkan sudah pernah merasa kehebatan Hek-tok-ciang. Melihat tapak tangan di atas dinding itu, ia menarik sebuah meja dan melompat ke atasnya untuk melihat tanda itu lebih dekat lagi. Setelah melihat dengan teliti, ia menggunakan telunjuknya meraba-raba permukaan dinding yang dinodai oleh gambar itu. dan berkata.
"Nona Spuw, menurut pendapatku ini bukan tapak tangan Hek-tok-ciang Auwyang Tek! Biarpun dilakukan dengan pukulan Iweekang yang hebat bukan main, namun hitamnya karena hangus, bukan karena racun Hek-tok-ciang."
"Dia manusianya atau bukan, bagiku sama saja. Ayah telah lenyap tak berbekas dan ini terjadi di daerah utara yang katanya aman terlindung! Ah, aku menyesal sekali!"
Tak tertahan lagi Lee Ing mengusap air mata yang menitik turun dari matanya.
Dapat dibayangkan betapa marah dan kecewanya, juga gelisahnya. Jauh-jauh ia menjelajah dari selatan ke utara untuk menemui ayahnya. Siapa tahu begitu ia tiba di tempat ayahnya, orang tua itu hilang secara penuh rahasia dan aneh!
"Aku menyesal sekali, nona. Akan tetapi aku bersumpah akan mencari ayahmu sampai dapat, biar untuk itu aku harus berkorban jiwa!"
Kata-kata yang bersemangat dari pemuda ini kembali agak menghibur hati Lee Ing.
Membuat gadis ini teringat bahwa tidak selayaknya kalau dia menyalahkan sebab kehilangan ayahnya kepada pemuda ini atau, siapapun juga yang berada di sini. Ia tahu bahwa orang-orang utara ini bersama Tiong-gi-pai yang menyelamatkan ayahnya dari tangan Tok-ong Kai Song Cinjin dan kawan-kawannya, dan tahu pula bahwa tak mungkin kalau orang-orang utara menyembunyikan ayahnya dengan jalan kekerasan karena ia maklum bahwa ayahnya masih tidak beres ingatannya.
Kehendak ayahnya sendiri untuk hidup di atas sungai dan Siok Bun sudah menaruh penjaga-penjaga. Akan tetapi apa sih artinya penjaga-penjaga macam itu? Dan juga, seperti yang dikatakan oleh Siok Bun tadi, siapa tahu kalau ayahnya memang sengaja pergi dari situ dan tidak ada yang menculiknya? Akan tetapi tanda tapak tangan itu? Tak mungkin ayahnya yang membuatnya. Untuk apa?
"Tanpa tenaga Hek-tok-ciang, kiranya orang macam Auwyang Tek tak dapat melakukan pukulan yang menghanguskan dinding. Akan tetapi siapa tahu? Selain bangsat she Auwyang itu, siapa lagi yang sudi meninggalkan tanda tapak tangan hitam? Saudara Siok Bun. maafkan semua sikapku tadi. Aku tidak seharusnya mencurigaimu. Biarlah aku akan mencari ayah dan terima kasih atas kesediaanmu tadi. Sampai bertemu lagi!"
Gadis itu berkelebat keluar dan nampaknya seperti hendak menceburkan diri ke dalam air, karena melompat begitu saja ke air.
Siok Bun cepat mengejar dan ia menjadi melongo melihat Lee Ing sudah jauh meninggalkan perahu besar, mendayung perahu kecil tadi dengan kecepatan yang sukar dipercaya. Hebat, pikirnya. Kiranya Lee Ing juga sudah mendapat kemajuan luar biasa. Gerakannya tadi, dan cara dia mendayung itu.... berlipat ganda kalau dibandingkan dengan dahulu.
Ia hanya dapat melihat betapa gadis itu sudah sampai di darat, melompat dan berkelebat menghilang. Ia berdiri bengong sampai beberapa lama, merasa menyesal sekali mengapa hanya demikian pendek waktu pertemuannya dengan gadis yang sudah merampas hatinya, dan lebih menyesal lagi mengapa kebetulan terjadi hal yang amat tidak menyenangkan, yaitu kehilangan Souw-taihiap.
"Dasar aku yang sial,"
Gerutunya seorang diri.
"Akan tetapi jangan kau khawatir, Lee Ing. Aku akan mencari Souw-locianpwe sampai dapat, biar ke neraka sekalipun, akan kukejar!"
Dengan gemas Siok Bun lalu memekik memberi tanda kepada para penjaga untuk datang membawa perahu kecil, dan maki-makian sudah siap di bibirnya bagi para penjaga yang dianggapnya kurang hati-hati dan tolol itu, Setelah memaki-maki para penjaga yang ternyata sama sekali tidak tahu akan lenyapnya Souw Teng Wi, hari itu juga Siok Bun meninggalkan kota untuk mencari jejak Souw Teng Wi. Ia tidak menanti kedatangan ayahnya, hanya memberi tahu akan maksudnya kepada ibunya.
Ibunya, Ang-lian-ci Tan Sam Nio, mengerutkan kening dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Kenapa kau tidak mengajak nona Souw datang menjumpai aku? Sekarang, setelah Souw-taihiap lenyap tanpa meninggalkan bekas, kau hendak mencari kemanakah? Siok Bun, kau tahu betapa lihainya orang-orang yang menghendaki nyawa Souw-taihiap. Kalau Souw-taihiap sendiri sampai terculik, kau akan berdaya apakah? Bukankah itu berarti mencari kecelakaan sendiri? Lebih baik menanti kembalinya ayahmu."
Siok Bun menggeleng-geleng kepalanya dengan tegas sambil berkata.
"Tidak, ibu. Aku harus dapat mencari Souw-taihiap. Coba saja ibu bayangkan, Souw-taihiap lenyap dalam perlindungan dan penjagaan kita. Bukankah itu berarti kita akan mendapat muka buruk sekali dari Souw-siocia (nona Souw)? Baiknya nona Souw berpemandangan luas dan berhati mulia, kalau tidak apakah dia tidak akan menuntut kepada kita? Selain itu, orang menculik Souw Laihiap sama sekali tidak memandang muka kita, malah boleh dibilang dia atau mereka itu menghina kita. Apakah kita harus tinggal diam saja, ibu? Kalau bukan anak yang pergi mencari dan menebus hinaan itu, siapa lagi?"
Dasar Ang-liang-ci Tan Sam Sam Nio juga seorang pendekar wanita yang berjiwa gagah perkasa, tentu saja mendengar pendirian puteranya ini, hilang keraguan dan kecemasan hatinya, terganti oleh rasa bangga akan kegagahan puteranya. Akan tetapi selain bangga, ada pula perasaan lain yang membuat nyonya ini menatap wajah putera tunggalnya dengan tajam penuh selidik.
Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bun-ji, belum berubahkah perasaan hatimu semenjak empat tahun yang lalu? Agaknya tepat dugaan ayahmu!"
Siok Bun memandang ibunya dan kulit mukanya berubah merah sekali, akan tetapi ia masih berpura-pura dan bertanya,
"Apa maksudmu, ibu?"
"Kau mencinta nona Souw!"
Sebagai anak tunggal, Siok Bun amat dimanja oleh ibunya sejak kecil. Tidak demikian dengan ayahnya yang selalu bersikap keras berdisiplin. Oleh karena ini, hubungan Siok Bun dengan ibunya jauh lebih erat dan tidak ada rahasia hatinya yang ia simpan dari ibunya. Sekarangpun, mengenai perasaan hatinya, ia berterus terang.
"Agaknya demikianlah, ibu. Entah bagaimana, aku selalu tertarik oleh nona Souw, merasa suka dan kasihan sekali. Mungkin karena rasa kagumku
terhadap ayahnya, atau.... entahlah."
Ibunya tersenyum.
"Sayang aku tidak bertemu dengan dia, akan tetapi puteri seorang pahlawan besar seperti Souw-taihiap tentulah seorang gadis yang baik. Jangan gelisah, Bun-ji. soal perjodohanmu, akan kubicarakan dengan ayahmu kalau dia "pulang."
Wajah Siok Bun makin merah lagi.
"Paling perlu sekarang mencari jejak Sou-taihiap, ibu. Soal itu... terserah kepada ayah bunda!"
Setelah mempersiapkan segala keperluannya, Siok Bun minta diri dari ibunya dan berangkat dan melakukan penyelidikan untuk mencari Souw Teng Wi yang lenyap secara aneh itu. Ia harus bisa mendapatkan kembali Souw Teng Wi, kalau dia ingin terpandang oleh Lee Ing, gadis yang telah mencuri hatinya. Adanya gadis itu bukan sekali-kali menjadi sebab utama akan usaha Siok Bun mencari Souw Teng Wi. Andaikata di sana tidak ada Lee Ing, tetap saja pemuda yang berhati baik dan bersemangat besar ini akan pergi mencari Souw Teng Wi, pahlawan yang amat dikaguminya.
Kita tinggalkan dulu pemuda perkasa ini dan mari kita ikuti perjalanan Souw Lee Ing yang cepat keluar dari kota raja menuju ke selatan, untuk mengejar orang yang mungkin melarikan ayahnya, juga untuk mencegat datangnya rombongan Auwyang Tek kalau saja pemuda putera menteri durna itu belum tiba lebih dulu.
"Bukankah kau Souw-lihiap.....?"
Souw Lee Ing terkejut mendengar teguran ini dah cepat ia menengok. Orang yang menegurnya adalah seorang laki-laki berjenggot berusia hampir lima puluh tahunan, bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah. Melihat laki-laki ini, Lee Ing segera teringat akan pengalamannya ketika untuk pertama kali ia datang ke pedalaman bersama kakeknya.
"Paman Lo Houw, kau di sini....?"
Serunya girang. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Lee Ing berpisah dari Lo Houw dan Haminto Losu ketika ia dibawa pergi oleh Bu Lek Hwesio (baca jilid pertama). Dan gadis ini sekarang sedang melakukan pengejaran terhadap orang-orang yang telah menculik ayahnya. Ataukah ayahnya itu memang sengaja melarikan diri? Hal ini masih menjadi pertanyaan baginya dan ia baru saja keluar dari kota raja utara menuju ke selatan. Baru tiba di sebelah utara kota Paoting ia bertemu dan ditegur oleh Lo Houw ini.
"Syukur sekali kau dalam keadaan selamat, Souw-lihiap,"
Kata Lo Houw, terharu dan benar nampak girang kekali. Semenjak gadis puteri Souw-taihiap ini dibawa lari Bu Lek Hwesio, Lo Houw mencari kemana-mana namun tak pernah mendengar jejak gadis ini.
"Paman Lo Houw, kong-kong di mana? Apakah dia baik-baik saja?"
"Kong-kongmu sudah kembali ke utara, Souw-lihiap, mari kita rayakan pertemuan ini! Kita minum-minum sambil mengobrol. Alangkah banyaknya yang akan kita bicarakan."
Lee Ing tak dapat menolak karena ia memang sudah lapar, pula ia bisa mempercayai orang ini dan siapa tahu kalau-kalau Lo Houw yang banyak pengalaman ini akan dapat membantunya mencari jejak ayahnya. Mereka lalu berjalan cepat memasuki kota Paoting dan masuk ke dalam sebuah rumah makan. Lo Houw memesan makanan dan minuman.
"Di sini cukup berbahaya, sekarang banyak sekali mata-mata dari selatan berkeliaran,"
Bisik Lo Houw. Lee Ing tersenyum, mengeluarkan pedangnya dan menaruh pedang itu di atas meja didepannya.
"Tak usah khawatir, siapa sih berani mengganggu kita?"
Katanya. Lo Houw tersenyum pahit. Dia sama sekali tidak tahu bahwa Lee Ing sekarang jauh sekali bedanya dengan Lee Ing lima tahun yang lalu. Dia mengira bahwa Lee Ing masih sama dengan dulu, memiliki kepandaian ilmu silat cukup lihai, namun sama sekali belum boleh dipakai menjagoi di daerah ini.
Mulailah mereka bercakap-cakap, menuturkan pengalaman masing-masing. Akan tetapi Lee Ing tidak menceritakan bahwa dia telah menjadi ahli waris ilmu-ilmu peninggalan Bu-Beng Sih-Kun dl Gua Siluman, hanya menceritakan bahwa ia tadinya telah bertemu dengan ayahnya dan bahwa baru saja ia pergi ke Peking untuk menjumpai ayahnya yang bersembunyi dari kejaran kaki tangan menteri durna di sana. Akhirnya ia berkata,
"Celakanya, terjadi hal yang amat hebat. Ketika aku tiba di tempat persembunyian ayah, ternyata ayah telah lenyap secara aneh sekali. Entah ada yang menculiknya, entah ayah pergi atas kehendak sendiri. Orang tua yang malang itu selalu tidak tenteram pikirannya, terlalu amat menderita
sejak berpisah dari ibu...."
Lee Ing menjadi merah mukanya dan sepasang matanya yang bening menjadi basah Lo Houw mengangguk-angguk.
"Sudah banyak bagian ceritamu yang kudengar,"
Katanya.
"Aku-pun mendengar bahwa Souw-taihiap berada di Peking, akan tetapi tempat tinggalnya demikian dirahasiakan sehingga aku sendiri yang ingin sekali bertemu dengan beliau, tidak berhasil mendapatkan tempat itu. Sekarang beliau ada yang menculik, sungguh aneh! Hal ini mengingatkan daku akan dua orang aneh yang kutemui di luar kota ini."
"Dua orang aneh? Siapa dan di mana? Apa hubungannya dengan lenyapnya ayah?"
"Aku tidak dapat memastikan apakah ada hubungannya. Akan tetapi aku mendengar mereka berdua menyebut-nyebut nama Souw-taihiap, dan berhenti bicara ketika aku mendekat."
"Coba ceritakan yang jelas, paman Lo Houw."
Lo Houw lalu menuturkan pengalamannya. Dia masih tetap si harimau tua yang berwatak gagah, pendekar yang selalu mengulurkan tangan kepada siapapun juga yang membutuhkan pertolongan darinya. Selagi ia kebingungan mencari-cari di mana kiranya orang yang ia puja, Souw-taihiap, berada, Lo Houw tiba di daerah selatan kota raja.
Ia mendengar di sebuah dusun dekat kota Paoting hidup seorang tuan tanah yang amat keji, yang menjalankan kejahatan dan pemerasan tenaga ratusan orang kanak-kanak yatim piatu korban perang yang lalu. Dengan hati panas Lo Houw menuju ke tempat itu, akan tetapi ketika ia tiba di luar kota Paoting, di sebuah hutan kecil, ia menemui sesuatu yang membuat ia menunda rencana memberi hajaran kepada tuan tapah itu.
Kejadiannya sudah sepekan yang lalu. Ketika ia berjalan cepat, ia melihat dua orang, seorang laki-laki muda tampan bersama seorang wanita cantik, berjalan bersama menuju ke sebuah kelenteng rusak, kelenteng kuno yang tidak dipakai lagi, yang berada di dalam hutan kecil itu. Karena merasa curiga, dengan hati-hati sekali Lo Houw mengikuti mereka, la merasa malu untuk mengintai, maka ia hanya mendengarkan dari luar jendela yang penuh sarang laba-laba. Tiba-tiba ia mendengar suara wanita itu,
"Souw Teng Wi si jahanam gila itu amat lihai, aku khawatir kau takkan dapat menang."
"Tak usah takut, ibu. Dengan kepandaian yang kumiliki sekarang, biar ada dua orang Souw Teng Wi aku tidak gentar. Akan tetapi apakah betul dia berada di perahu seperti kau katakan tadi?"
"Sssttt, jangan banyak bicara. Kau lihat saja sendiri nanti."
Mendengar ini sudah cukup bagi Lo Houw. Ia dapat menduga bahwa mereka adalah orang-orang lihai, kalau tidak demikian mana berani menghadapi Souw Teng Wi? Maka diam-diam ia lalu pergi dari situ dan cepat-cepat melakukan perjalanan ke Peking. Akan tetapi, tidak mudah mencari perahu yang dimaksudkan pemuda itu. Ia sudah menyusuri tepi sungai akan tetapi tidak melihat perahu yang ditumpangi Souw-taihiap. Akhirnya ia putus asa dan kembali ke selatan di mana ia berjumpa dengan Souw Lee Ing.
"Nah, demikianlah ceritanya,"
Kata Lo Houw kepada Lee Ing sambil menghirup araknya.
"Entah benar-benar mereka yang menculik ayahmu, entah bukan."
Lee Ing mengerutkan keningnya. Ia kecewa karena urusannya menjadi bertambah ruwet. Kalau sekiranya Lo Houw menceritakan bahwa Auwyang Tek campur tangan dalam hal ini, ia akan merasa lebih lega karena mudah mengetahui siapa yang menculik ayahnya. Akan tetapi pemuda dan wanita itu, siapakah mereka?
"Bagaimana macamnya pemuda itu? Dan bagaimana pula wanitanya?"
Tanyanya penuh perhatian.
"Pemudanya tampan, matanya liar, wanitanya setengah tua, masih cantik, lincah dan gerakannya gesit bukan main, hijau pakaiannya dan..."
"Celaka..!"
Lee Ing menahan seruannya dan bangkit berdiri sambil menggenggam gagang pedangnya.
Tak salah lagi, wanita itu tentu Hui-ouw-tiap Yap Lee Nio, Si Kupu-Kupu Terbang! Dan pemuda itu, yang memanggil ibu kepada Yap Lee Nio, siapa lagi kalau bukan Sim Hong Lui? Kalau ibu dan anak itu mencari dan memusuhi ayahnya, itu tidak aneh karena mereka tentu hendak membalas kematian ayah Sim Hong Lui, yaitu bajak laut Siang-pian Hai-liong Sim Kang. Tak salah lagi, tentu mereka. Akan tetapi, tak mungkin. Mana bisa Hui-ouw-tiap dan anaknya pemuda dogol itu menculik ayahnya? Tak mungkin sama sekali. Teringat akan ini Lee Ing. lemas lagi dan kembali ia duduk, menarik napas berkali-kali. Melihat nona itu bangkit berdiri, sikapnya menakutkan, lalu bibirnya bergerak-gerak kemudian duduk kembali, Lo Houw menjadi terheran.
"Apakah kau mengenal mereka, lihiap?"
Lee Ing mengangguk.
"Mereka tentu Hui-ouw-tiap dan puteranya. Memang mereka itu musuh-musuh ayah. Akan tetapi tidak mungkin mereka dapat menculik ayah, kepandaian mereka tidak seberapa"
"Ah, bagaimana kau bisa bilang begitu, lihiap? Gerakan mereka gesit dan ringan sekali, tanda bahwa ilmu kepandaian mereka jauh di atas tingkatmu atau tingkatku."
Lee Ing tersenyum. Ia tidak menyalahkan Lo Houw sampai berkata demikian karena orang tua ini memang tidak tahu sampai di mana kehebatan ilmu kepandaian ayahnya dan tidak tahu pula bahwa dia bukanlah Lee Ing lima tahun yang lalu.
"Betapapun juga, sikap mereka memang mencurigakan. Tiada salahnya kalau kita mencoba-coba melihat ke dalam kelenteng itu, siapa tahu mereka masih berada di sana,"
Kata Lee Ing.
Lo Houw mengangguk, memanggil pelayan dan membayar makanan dan minuman. Ia lalu mengajak Lee Ing keluar kota Paoting. Di tengah jalan Lee Ing teringat bahwa Hui-ouw-tiap tentu akan mengenalnya, padahal maksudnya mengikuti Lo Houw ini hanya ingin mencari keterangan bagaimana Hui-ouw-tiap bisa tahu bahwa ayahnya berada di atas perahu. Kalau Hui-ouw-tiap tahu, tentu ada orang lain yang tahu, dan Lo Houw dapat menyelidiki hal ini. Hui-ouw-tiap tidak mengenal Lo Houw, oleh karena ini sebaiknya kalau ia tidak melakukan perjalanan ke tempat itu bersama Lo Houw.
"Paman Lo Houw, kau beri tahu di mana letaknya kelenteng itu, kemudian kita berpisah agar jangan menimbulkan kecurigaan orang. Tolong kau selidiki dan pancing-pancing mereka, dari mana mereka bisa menduga bahwa ayah berada di atas perahu."
Lo Houw berpengalaman, ia mengangguk. Memang sebaiknya kalau ia melakukan penyelidikan sendiri sehingga kalau terjadi hal-hal "keras"
Ia tidak payah melindungi Lee Ing. Setelah menyatakan persetujuannya dan memberi gambaran di mana letak kelenteng yang ia maksudkan itu, Lo Houw lalu mengerahkan tenaga dan kepandaiannya. berlari secepat mungkin menuju ke hutan itu. Lee Ing tersenyum geli melihat tingkah orang tua itu yang seakan-akan hendak memamerkan ilmu lari cepatnya kepadanya. Diam-diam ia merasa kasihan juga. Orang tua itu tentu tidak tahu bahwa dia bisa berlari lima kali lebih cepat dari pada larinya Lo Houw itu.
Lee Ing tidak mengejar terlalu cepat. Memang ia sengaja menyuruh Lo Houw melakukan penyelidikan sendiri, oleh karena ia tahu bahwa kalau Hui-ouw-tiap yang sudah mengenalnya melihat ia berada di situ, tentu sukar untuk mencari rahasia nyonya itu, bagaimana nyonya itu dapat mengetahui tempat persembunyian ayahnya. Diam-diam ia mengingat-ingat cerita Lo Houw di bagian ucapan Sim Hong Lui yang menyatakan bahwa dengan kepandaiannya yang sekarang dimiliki, pemuda itu tidak takut menghadapi ayahnya, la merasa heran.
Seingatnya, ilmu kepandaian Sim Hong Lui rendah saja, terlampau rendah kalau dibandingkan dengan kepandaian ayahnya. Malah pemuda ini sendiripun sudah mengetahui akan hal ini, karena ketika Souw Teng Wi mengamuk di perahu, pemuda itupun hampir menjadi korban seperti ayahnya yang tewas. Kalau tidak ada apa-apanya, tak mungkin pemuda itu berani mengucapkan kala-kata itu di hadapan ibunya lagi. Padahal ibunya lihai, jauh lebih lihai dari pemuda itu.
"Tentu dia belajar lagi."
Pikir Lee Ing dan ia tidak menyangkal adanya kemungkinan ini. Dahulupun ketika ia bertemu dengan pemuda itu, apa sih kepandaiannya? Dibandingkan dengan Sim Hong Lui, ia kalah jauh. Sekarang, kurang lebih lima enam tahun kemudian, ia telah mewarisi ilmu kepandaian yang amat tinggi, bukan tidak mungkin kalau daiam waktu selama itu Sim Hong Lui juga mewarisi kepandaian tinggi.
Tiba-tiba Lee Ing sadar dari lamunannya dan cepat ia menyelinap di balik rumpun tetumbuhan. Pendengarannya yang tajam menangkap derap kaki orang berlari cepat mempergunakan ginkang yang istimewa. Benar saja dugaannya, tak lama kemudian datang dua orang kakek yang berlari cepat laksana terbang melalui tempat itu. Lee Ing memperhatikan.
Dua orang kakek itu sudah tua-tua sekali, tentu tidak kurang dari tujuh puluh tahun. Yang seorang adalah kakek-kakek tua. yang buntung tangan kirinya, tinggi kurus tubuh tegak, pakaian putih tambal-tambalan. Orang ke dua bermuka hitam pula, mukanya kerut-merut buruk sekali, memegang tongkat ular. Keduanya mempergunakan ilmu lari cepat yang jarang tandingannya Dari cara mereka berlari ini saja sudah dapat dibuktikan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh silat yang sakti.
Selama hidupnya belum pernah Lee Ing melihat dua orang kakek ini. Akan tetapi melihat keadaan jasmani mereka, nona ini teringat akan dua orang yang ia temui bertengkar dengan Siok Beng Hui, yaitu Gak Seng Cu si tosu berpedang dan Pek-Ke Cui si muka kodok yang berpedang ular. Sekarang kakek buruk, yang ia mendengar dahulu disebut Im-Kan Hek-mo (Iblis Hitam Akhirat) dan bukankah si kakek buntung itu guru Cak Seng Cu yang berjuluk Tok-pi Sin-kai Si Pengemis Lengan Satu?
Berdebar dada Lee Ing. Dua orang kakek ini juga mencari ayahnya, bukan untuk memusuhi ayahnya, melainkan untuk mencari tahu perihal Bu-Beng Sin-Kun, musuh lama mereka Ilmu silat ayahnya yang aneh telah sampai di telinga mereka dan tahulah mereka bahwa ayahnya mempelajari ilmu silat dari BuBeng Sin-Kun. Tadinya ia hendak mengikuti dua orang kakek itu karena ia berpikir bahwa kalau dua orang kakek ini yang menculik ayahnya, masih tidak aneh.
Dua orang kakek ini memiliki kepandaian tiriggi, setingkat dengan kepandaian Pek-kong-sin-ciang Bu Kam Ki, tidak kalah lihainya oleh Tok-ong Kai Song Cinjin. Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara kakek tangan buntung.
"Kita harus cepat-cepat, orang she Souw itu banyak musuhnya. Jangan sampai kita didahului orang!"
Mendengar ucapan ini dan melihat bahwa kakek-kakek itu tidak menuju ke dalam hutan kecil melainkan menuju ke utara, Lee Ing mengurungkan niatnya melakukan pengejaran. Kenyataan ini membuktikan bahwa dua orang kakek itu bukan yang menjadi sebab lenyapnya ayahnya. Mereka
(Lanjut ke Jilid 22)
Pusaka Gua Siluman (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 22
memang bermaksud menculik ayahnya, akan tetapi jelas bahwa maksud itu belum tercapai.
Adapun dua orang kakek itu betul-betul mengerahkan tenaga karena kini mereka berkelebat lenyap dengan kecepatan angin! Diam-diam Lee Ing kagum sekali dan mengaku bahwa ilmu lari cepat dua orang kakek tua itu benar-benar jarang tandingannya. Selagi ia termangu-mangu melihat ke-jurusan lenyapnya dua orang kakek sakti itu, tiba-tiba ia mendengar pekik dari dalam hutan kecil yang hendak ia masuki. Mendengar pekik kesakitan itu, Lee Ing cepat berlari memasuki hutan.
Dari jauh ia melihat bangunan kelenteng kuno yang dimaksudkan oleh Lo Houw. Akan tetapi ia segera menuju ke kelenteng karena perhatiannya tertarik oleh seorang hwesio yang sedang berjongkok, mengguncang-guncangkan tubuh seorang laki-laki yang rebah di tanah sambil bertanya berkali-kali.
"Siapa melukaimu? Hayo katakan, siapa melukaimu! Tahukah kau di mana adanya Souw Teng Wi....?"
Hwesio itu mengguncang-guncang terus, akan tetapi tubuh orang yang menggeletak itu kaku tak bergerak, kemudian terdengar ia berbisik lemah.
"Pemuda tampan...."
Dan orang itu tak
dapat melanjutkan kata-katanya karena kepalanya rebah miring dan ia tidak bergerak lagi, mati!
Mendengar suara orang yang rebah di tanah itu, Lee Ing kaget bukan main. Cepat ia berlari mendekati. Benar dugaan dan kekhawatirannya. Orang itu bukan lain adalah Lo Houw, kini sudah menjadi mayat!
"Paman Lo Houw.....!"
Lee Ing cepat berlutut di dekat mayat itu. Hatinya menyesal bukan main mengapa ia tadi menyuruh Lo Houw melakukan penyelidikan sendiri. Kalau ia tahu bahwa di situ terdapat bahaya besar bagi keselamatan Lo Houw, tentu ia akan membayangi orang tua ini. Sekarang tahu-tahu Lo Houw sudah menjadi mayat. Benar-benar Lee Ing merasa amat kecewa dan menyesal. Saking sedihnya, ia sampai lupa kepada hwesio gundul yang tadi mengguncang-guncang tubuh Lo Houw.
Adapun hwesio itu begitu melihat wajah Lee Ing. cepat menggerakkan tangan memukul sambil berseru.
"Puteri Souw Teng Wi, bagus!"
Pukulannya itu cepat bukan main lagi keras.
Lee Ing yang mencurahkan seluruh perhatian kepada Lo Houw, tidak sempat menangkis atau mengelak, hanya mengerahkan tenaga Iweekang ke arah bahu yang dipukul. Tubuh gadis itu terlempar bagaikan tertumbuk oleh tenaga raksasa, akan tetapi sedikitpun Lee Ing tidak merasa sakit karena ia sudah dilindungi oleh pengerahan tenaga. Iweekang tadi.
Di lain fihak, hwesio itu ketika melihat betapa gadis yang dipukulnya terlempar sampai tiga meter lebih akan tetapi turunnya berdiri tegak, sedikitpun tidak terluka atau terlihat tanda-tanda kesakitan, menjadi melongo dan..... melarikan diri tunggang langgang ke arah kelenteng! Geli hati Lee Ing menyaksikan kelakuan hwesio itu dan ia teringat ketika melihat wajah itu. Tak salah lagi, hwesio itu adalah Bu Lek Hwesio yang telah merampasnya dari tangan kakeknya lima enam tahun yang lalu. Hwesio itu lihai sekali.
Kakeknya juga kalah. Akan tetapi sekarang baginya hwesio itu hanya seorang kasar yang besar tenaganya, tidak lebih. Setelah membenarkan letak tangan Lo Houw dan menutupi muka mayat orang tua itu dengan pakaian Lo Houw sendiri, Lee Ing lalu melompat dan berlari cepat mengejar ke kelenteng. Semua orang telah datang, semua orang mencari ayahnya. Benar-benar ayahnya amat malang nasibnya.
Ketika tiba di dekat kelenteng, di sini nampak sunyi saja. Lee Ing yang dapat menduga bahwa di situ tentu bersembunyi musuh-musuh tangguh, cepat mengeluarkan pedangnya dan bagaikan disulap, Li-lian-kiam sudah berada di tangan kanannya. Ia melirik ke sana ke mari, sunyi saja.
Tiba-tiba ia mendengar suara ribut di belakang kelenteng. Lee Ing tidak mau berlaku sembrono. Dengan jalan memutar ia tiba di belakang kelenteng dan melihat hwesio tadi, Bu Lek Hwesio, muntah-muntah darah dan pedang ular yang dipegangnya terlepas. Sedangkan di depan hwesio itu, Auwyang Tek berdiri sambil memaki-maki. Lee Ing melihat bahwa hwesio itu telah terkena pukulan Hek-tok-ciang di dada kiri dan mudah diduga bahwa hwesio buruk watak ini takkan dapat hidup lama.
"Setan gundul, kau berani main-main di depanku? Tadinya kau bilang mengetahui tempat persembunyian Souw Teng Wi, kemudian kau bilang Souw Teng Wi diculik orang dan membawaku ke tempat ini. Kelenteng ini kosong pula dan kau bilang Souw Teng Wi sudah dibawa kabur oleh penculiknya. Setelah itu. kau setan gundul tak tahu malu, kau berani memerasku di sini dan minta seribu tael baru mau memberi tahu siapa penculiknya. Apa kau kira aku ini bocah yang mudah diperas dan kau tipu? Rasakan Hek-tok-ciang, baru tahu kelihaianku!"
"Pin.... pinceng tidak bohong...... murid Lui Siu Nio-nio.... ketua Hoa-lian-pai di Tapie-san... aaahhhhh......."
Bu Lek Hwesio terguling roboh dan tamatlah riwayatnya, tewas di saat itu juga.
Lee Ing tadinya hendak menyerang pemuda yang dibencinya itu, akan tetapi tiba-tiba melayang turun tiga hwesio aneh, seorang bermuka merah, yang ke dua bermuka kuning dan ke tiga bermuka hitami Mereka ini melayang bagaikan tiga ekor burung gagak, langsung menubruk Lee Ing Mereka itu bukan lain adalah Hu-niu Sam-lojin yang bernama Ang Bin Hosiang. Oei Bin Hosiang, dan Ouw Bin Hosiang!
"Auwyang-Kongcu, di sini ada mata-mata!"
Teriak Ang Bin Hosiang, akan tetapi teriakannya itu disusul teriakan kaget dan heran ketika ia melihat bahwa ia telah saling tubruk sendiri dengan Oei Bin Hosiang dan Ouw Bin Hosiang! Sedangkan gadis cantik yang ditubruk tadi lenyap entah ke mana!
"Mana mata-mata itu?"
Auwyang Tek bertanya ketika ia melompat ke balik dinding itu. Tiga orang hwesio tadi saling pandang dengan bengong.
"Siluman...!"
Kata Ang Bin Honsiang.
"Omitohud..... siang-siang muncul setan..."
Kata Oei Bin Hosiang.
"Tak mungkin manusia. Kita telah bertemu dengan iblis,"
Kata Ouw Bin Hosiang. Auwyang Tek membanting-banting kakinya.
"Aku sedang kecewa dan mendongkol, masa sam-wi lo-suhu mengajakku bermain-main di tempat
seperti ini?"
"Kami tidak main-main, memang tadi terlihat seorang wanita. Kami bertiga menubruk hendak menangkapnya, akan tetapi ia menghilang,"
Kata Ang Bin Hosiang.
"Benar, dia lenyap begitu saja seperti asap,"
Kata Ouw Bin Hosiang sambil bergidik. Mereka bertiga adalah hwesio-hwesio berilmu tinggi, maka mengandalkan kepandaian sendiri mana mereka percaya ada orang, apa lagi seorang gadis muda, dapat meloloskan diri dari tubrukan mereka bertiga secara begitju gaib?, Maka jalan satu-satunya yang paling murah agar jangan menurunkan nama, adalah menyatakan bahwa yang ditubruknva tadi adalah setan!
Ke mana perginya Lee Ing? Gadis ini setelah dapat menyelinap pergi dengan kecepatan luar biasa dari tubrukan tiga orang hwesio itu, maklum bahwa kalau dia menyerang Auwyang Tek, tentu ia dikeroyok empat dan ini bukanlah hal yang boleh dipandang ringan. Tubrukan tadi saja sudah memperingatkan kepadanya bahwa tiga orang hwesio itu tidak boleh dibuat main-main sedangkan Auwyang Tek sendiri dengan pukulan Hek-tok-ciang, juga cukup lihai.
Biarpun ia tidak gentar dan tak mungkin kalah, akan tetapi itu hanya akan membuang waktu saja sedangkan ia perlu cepat-cepat menyusul Sim Hong Lui dan Hui-ouw-tiap. Dari ucapan penghabisan Lo Houw, gadis ini menjadi makin yakin bahwa, penculik ayahnya tentu pemuda itu. Siapa lagi kalau bukan Hui-ouw-tiap Yap Lee Nio yang disebut murid Lui Siu Nio-nio? la tahu ke mana ia harus menyusui. Ke mana lagi kalau bukan ke Ta-pie-san, ke pusat perkumpulan Hoa-lian-pai yang diketuai oleh Lui Siu Nio-nio? Maka tanpa melayani Auwyang Tek lebih lanjut, Lee Ing mempergunakan ilmu lari cepatnya pergi dari tempat itu.
Apakah sebetulnya yang terjadi dengan diri Souw Teng Wi? Untuk mengetahui akan hal ini, baik kita tinggalkan dulu, Lee Ing yang melakukan pengejaran ke Ta-pie-san untuk mencari ayahnya dan mari kita menengok pengalaman pahlawan rakyat Souw Teng Wi yang bernasib buruk itu.
Semenjak Souw Teng Wi dibawa oleh Tiong-gi-pai ke utara, memang ia telah hidup dalam keadaan aman. Di utara tidak ada orang yang berani mengganggunya, dan lagi siapakah yang mau mengganggunya? la terkenal sebagai seorang pahlawan rakyat yang dahulu tiada hentinya berusaha mengusir kekuasaan penjajah Mongol dari wilayah Tiongkok. Sekarang ia telah berubah ingatan, seperti orang gila sebentar tertawa terbahak-bahak sebentar menangis menyebut-nyebut nama Namilana dan Lee Ing. Dia telah
menjadi seorang kakek yang buta, akan tetapi amat berbahaya kalau lagi mengamuk. Ilmu kepandaiannya aneh dan tinggi sekali sehingga kalau dia lagi mengamuk, tidak ada orang berani mendekatinya.
Mungkin sekali teringat akan pertemuan kembali dengan puterinya di atas perahu bajak laut Sim Kang, setelah dibawa ke kota raja utara. Souw Teng Wi minta supaya ia ditempatkan di sebuah perahu. Untuk menyembunyikannya, maka ia lalu dibikinkan sebuah perahu besar dan gembiralah hati Souw Teng Wi. Ia hidup di dalam perahu itu seorang diri, segala keperluannya dilayani oleh para penjaga yang selalu meronda di-sungai itu dengan perahu-perahu kecil. Sampai bertahun-tahun Souw Teng Wi hidup aman terjaga dan setiap pagi atau kadang-kadang pada malam hari terdengar suaranya bernyanyi lagu perjuangan yang penuh semangat.
Akan tetapi pada malam hati itu. tepat pada saat Lee Ing datang ke kota raja menemui Siok Bun, terjadi hal aneh dan hebat di sungai tadi. Dalam kegelapan malam, tanpa terlihat oleh para penjaga dari perahu-perahu mereka, sesosok baayangan hitam meluncur maju di permukaan sungai tanpa mengeluarkan suara. Kalau para penjaga itu melihatnya, tentu mereka akan menggigil ketakutan, oleh karena apa yang mereka lihat itu memang benar-benar mengerikan dan tak masuk di akal.
Kalau manusia, bagaimana bisa berjalan di atas air? Akan tetapi melihat sesosok tubuh hitam itu, tak salah lagi bahwa dia seorang manusia. Memang seorang manusia, masih muda malah. Seorang pemuda yang berwajah tampan namun pucat, dengan senyum aneh menghias kulit mukanya yang halus putih, menggerak-gerakkan tangan kakinya dengan teratur dan..... tubuhnya meluncur di permukaan air!
Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apakah ia memiliki ilmu gaib dan dapat berjalan di permukaan air? ataukah barangkali ia pandai terbang? tak mungkin, selama sejarah berkembang, belum pernah ada manusia bisa terbang atau mengambang di permukaan air.
kecuali dalam dongeng. Apakah ia siluman atau iblis? Lebih tak mungkin lagi. Mana di dunia ini ada siluman atau iblis yang muncul begitu saja! Siluman atau iblis, kalau ada, selalu sembunyi dalam pandang mata orang-orang penakut, dan sembunyi dalam hati dan pikiran orang-orang jahat.
Kalau dilihat lebih dekat, baru diketahui bahwa sesosok bayangan itu memang betul-betul seorang manusia tulen, manusia darah daging, hanya bedanya dengan manusia biasa, ia memiliki kepandaian tinggi. Kalau bukan orang yang memiliki ginkang sampai di puncaknya, tak mungkin, bisa melakukan apa yang ia lakukan di malam itu. la benar-benar meluncur di permukaan air, mengambang dengan bantuan dua potong papan. Dua potong papan yang panjangnya dua kaki lebar setengah kaki itu diinjaknya, diikat dengan sepatunya, lalu ia menggerak-gerakkan kedua tangan, mengerahkan Iweekang pada kaki tangannya dan demikianlah ia meluncur maju dengan kecepatan luar biasa!
Orangnya masih muda namun sudah memiliki ginkang dan Iweekang sedemikian tingginya, benar-benar sukar dicari bandingnya. Dengan kecepatan mengagumkan sehingga tidak-terlihat oleh para penjaga, pemuda ini sudah melompat ke atas perahu Souw Teng Wi dan melepaskan dua bilah papan itu. Kemudian ia maju hendak memasuki ruangan dalam perahu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa menyeramkan dan angin dahsyat menyambar dari dalam perahu.
Pemuda itu terkejut. Ia tahu itulah angin pukulan yang kuat sekali. Dengan hati-hati ia mengelak dan mengibaskan tangannya, kemudian dengan berani sekali ia menyelonong masuk. Ia disambut dengan pukulan oleh Souw Teng Wi, namun dengan gerakan aneh sekali pemuda ini dapat menangkis.
"Sobat, kau hebat sekali!"
Souw Teng Wi menegur sambil tertawa.
"Kau pantas menemani aku minum, arak, ha-ha-ha!"
Pemuda itu tersenyum, akan tetapi hanya bibirnya saja yang tersenyum, sedangkan sepasang matanya berputaran liar, lebih liar dari mata Souw Teng Wi yang selalu melirik ke sana ke mari sebelum pendekar ini dibikin buta matanya oleh Tok-ong Kai Song Cinjin. Sekarang mata Souw Teng Wi kosong melompong, hitam mengerikan.
"Souw Teng Wi, dulu, kau yang menjadi tamu, sekarang aku yang kau tawari arak. Akan tetapi lain dulu lain sekarang. Dulu kau tidak buta, dan aku masih amat lemah dan bodoh. Hah-hah-hah-hah!"
Suara ketawa pemuda ini benar-benar dapat membikin orang waras menjadi, beku darahnya kalau mendengarnya. Bukan suara ketawa manusia lagi, tinggi berirama seperti lagu neraka dinyanyikan oleh para setan!
Souw Teng Wi tertawa-tawa lagi.
"Ya, lain, dulu lain sekarang. Dulu aku pahlawan besar, sekarang orang buta hina-dina.....! Dan kakek ini, bekas pahlawan rakyat yang dicintai kawan dlsegani lawan, lalu menangis sambil menyodorkan arak.
Pemuda itu melangkah maju, menerima arak, akan tetapi tidak diminum, melainkan disiramkan ke arah muka Souw Teng Wi sampai kakek itu gelagapan.
"Souw Teng Wi, kau telah membunuh ayahku, ingat?"
Sambil berkata demikian, secepat kilat pemuda itu mencengkeram pundak Souw Teng Wi. Kakek buta yang sudah mewarisi ilmu silat aneh itu cepat mengelak, akan tetapi sama anehnya, dengan gerakan seperti orang terhuyung roboh ke depan, pemuda itu melanjutkan serangannya dengan dua kali totokan.
Betapapun pandainya Souw Teng Wi, ia sudah tua, sudah buta, dan terlalu banyak minum arak. Apa lagi pemuda itu benar-benar lihai sekali, gerakannya aneh dan cepat dan tahu-tahu Souw Teng Wi telah roboh lemas terkena totokan. Sambil tertawa aneh pemuda itu lalu menyeret tubuh lawannya dipondongnya lalu melompat ke luar setelah lebih dulu memukulkan tangannya pada dinding kamar itu. Dipakainya dua bilah papan di bawah sepatunya dan seperti datangnya tadi, ia meluncur di permukaan air sungai, menghilang di dalam gelap sambil membawa tubuh Souw Teng Wi yang tak dapat bergerak lagi.
Setelah berhasil menculik Souw Teng Wi, pemuda aneh ini berlari cepat sekali ke selatan dan pada pagi hari ia sampai di dalam hutan kecil dekat kota Paoting, lalu melompat ke dalam kelenteng. Seorang wanita setengah tua yang masih cantik menyambut kedatangannya dengan muka girang.
"Hong Lui, anakku yang ganteng, kau betul-betul berhasil menawan bajingan ini!"
Seru wanita itu yang bukan lain adalah Hui-ouw-tiap Yap Lee Nio.
sedangkan pemuda aneh yang mukanya tampan akan tetapi mengerikan itu adalah Sim Hong Lui.
Pemuda itu tidak menjawab, melainkan melempar tubuh Souw Teng Wi di atas lantai sedangkan dia sendiri melepaskan lelah, duduk bersila di atas lantai yang kotor. Sekarang, di bawah sinar matahari pagi, kelihatan Wajah pemuda ini. Dibandingkan dengan dulu, ia banyak kurusan. Juga sikapnya jauh berbeda, ia pendiam, bibirnya tersenyum aneh, matanya liar seperti mata orang yang miring otaknya. Benar benar Sim Hong Lui sekarang ini jauh sekali dengan dahulu, sekarang dia bermuka pucat seperti orang menderita batin yang hebat, namun kepandaiannya luar biasa, aneh dan lihai sekali.
Melihat Souw Teng Wi, orang yang telah membunuh suaminya, biarpun sudah lama bercerai dari suaminya itu. hati Hui-ouwtiap Yap Lee Nio masih panas, la cepat mencabut pedangnya dan tanpa banyak cakap ia menubruk ke depan untuk menusukkan pedangnya ke dada musuh besar itu. Souw Teng Wi yang sudah siuman akan tetapi tak dapat bergerak itu, masih tertawa-tawa perlahan, la sama sekali tidak ambil perduli akan pedang yang berkelebat meluncur ke dadanya itu.
"Tranggg..:..!"
"Ayaaaa...! Lui-ji (anak Lui), kenapa kau menahan pedangku?"
Tanya Yap Lee Nio terkejut sambil memegang-megang tangan kanan yang terasa sakit sekali kemudian membungkuk untuk memungut pedangnya yang terlempar ke bawah. Pedang itu telah disentil oleh kuku jari Sim Hong Lui dan sekali sentil saja cukup kuat membuat pedang terlepas dari tangan ibunya!. Benar-benar pemuda ini telah menjadi hebat sekali, kepandaiannya jauh melampaui ibunya, malah jauh melampaui kepahdaian Souw leng Wi!
"Aku yang akan menghukum dia, menggunakannya sebagai umpan memancing datang si cantik manis Souw Lee Ing,"
Kata Sim Hong Lui, wajahnya tidak berubah sedikitpun akan tetapi suaranya perlahan berpengaruh dan mengandung nafsu. Ibunya memandang bingung.
"Di mana?"
"Kita bawa dia ke Ta-pie-san,"
Kata pula pemuda aneh itu yang masih tetap duduk bersila, kemudian pemuda itu meramkan mata dan ibunya tidak berani lagi mengganggu puteranya yang sedang tidur itu. Hui-ouw-tiap Yap Lee Nio hanya duduk menatap wajah puteranya, dalam hati masih belum habis keheranannya melihat keadaan Sim Hong Lui. Telah tiga tahun lebih pemuda itu pergi tanpa meninggalkan bekas kemudian baru beberapa bulan ini muncul lagi dengan kepandaian yang luar biasa, akan tetapi otaknya agak miring.
Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Memburu Iblis Karya Sriwidjono