Ceritasilat Novel Online

Kisah Tiga Naga Sakti 6


Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



Biarpun jawaban itu tidak tersangka-sangka olehnya dan hatinya merasa kecewa, namun Siok Thian Nikouw mengangguk-angguk sambil tersenyum ramah dan berkata.

   "Memang seharusnya demikian, nona. Pinni juga telah mendengar dari Beng Han tentang peristiwa dan malapetaka yang menimpa keluargamu, seperti juga yang telah menimpa keluarga kami. Biarlah kau mencari ibumu lebih dulu, kemudian pinni hendak mengulangi pinangan ini kepada ibumu. Pinni menyampaikannya sekarang hanya dengan maksud agar kau mengetahui isi hati kami ibu.dan anak."

   Dengan kata-kata ini nikouw itu hendak "mengikat"

   Kui Eng sehingga nona ini telah bertunangan dengin Beng Han, biarpun secara tidak resmi. Dan agaknya Kui Eng mengerti pula akan hal itu maka dia segera berkata dengan muka menunduk,

   "Maafkan saya, suthai bukan sekali-kali saya menolak kehendak hati suthai yang mengandung maksud baik itu, akan tetapi harap saja hal ini ditunda dan dilupakan dulu. Saya tidak berani menerima atau mengadakan janji sesuatu oleh karena sesungguhnya saya belum ingin mengikatkan diri dengan tali perjodohan. Maaf, suthai"

   Siok Thian Nikouw menarik napas panjang. Kasihan Beng Han pikirnya. Dan kasihan hatinya sendiri! Karena dari jawaban ini walaupun tidak secara langsung merupakan penolakan, namun sedikitnya membayangkan perasaah hati gadis ini yang masih ragu-ragu dan tidak meyakinkan, yang berarti bahwa pada saat sekarang ini Kui Eng belum mempunyai perasaan cinta terhadap Beng Han!

   "Kalau begitu nona, harap kaulupakan saja semua ucapan pinni tadi. Kalau kelak kau telah bertemu kembali dengan ibumu, barulah kita bicarakan hal ini lebih lanjut."

   Kui Eng lalu mengundurkan diri dari hadapan Siok Thian Nikouw dan dia duduk termenung di dalam kamunya. Pikirannya kacau tidak karuan oleh peristiwa tadi. Terasa pening dan bingung. Dia teringat akan orang tuanya, dan mulailah dia sadar bahwa dia kini telah menjadi seorang gadis dewasa dan sudah se-wajarnya kalau dia dipinang orang! Membayangkan ini, tak terasa air matanya bertitik turun membasahi pipinya. Dipinang orang tanpa ada ibunyal Dan yang meminangnya adalah twa-suhengnya. Gan Beng Hani Sungguh tak disangka-sangkanya hal itu akan terjadi. Menjadi isteri twa-suheng! Lucu kedengarannya, lucu mengharukan. Memang dia dapat menduga bahwa twa-suhengnya, juga ji-suhengnya, menaruh hati kepadanya. Hal ini sungguhpun tak pernah diucapkan mulut mereka, namun dari pandang mata mereka, ucapan dan gerak-gerik mereka, terkandung kemesraan yang menyentuh hati wanitanya dan yang membuat dara ini merasa dan mengerti bahwa dua orang suhengnya itu mencintanya. Dan ini seorang di antara mereka telah mengajukan pinangan!

   Selagi dara itu duduk termenung dan mengusap air matanya, masuklah Beng Lian ke dalam kamar yang mereka pakai berdua itu. Begitu masuk, Beng Lian segera duduk di sampingnya, memeluk pinggang dan memegang lengannya.

   "Cici, harap jangan kau menyesal. Maafkan ibuku kalau kalau dia terlalu lancang."

   "Ah, sama sekah tidak, adik Lian. Sama sekali tidak! Bahkan akulah yang merasa menyesal sekali bahwa terpaksa aku belum dapat memberi keputusan sehingga setidaknya aku telah membuat ibumu kecewa. Kalianlah yang sepatutnya memaafkan aku, adik Lian."

   Betapapun jugu, sebagai adik kandung Beng Han yang baru saja berkumpul dengan kakaknya dan yang tentu saja mengharapkan kebahagiaan bagi kakaknya itu, hati Beng Lian sedikit banyak merasa tidak puas dan kecewa yang mengandung penasaran pula atas penolakan Kui Eng. Biarpun Kui Eng tidak menjawab secara pasti, menerima atau menolak, namun kenyataan bahwa dara ini tidak menerima pinangan ibunya, dapat dianggap sebagai suatu penolakan halus. Maka, tanpa sengaja untuk menyerang, hanya terdorong oleh rasa kecewanya, Beng Lian berkata.

   "Cici Eng, cinta kasih seseorang memang tidak dapat dipaksakan. Aku tahu bahwa engkau tidak mencinta kakakku. Memang kalau dibandingkan, Han-koko kalah tampan."

   Kui Eng terkejut sekali dan merenggutkan lengannya yang dipegang oleh Beng Lian, lalu bangkit berdiri dan memandang dengan mata

   terbelalak.

   "Apa, apa maksudmu?"

   Beng Lian merasa bahwa dia telah kesalahan bicara, dan berusaha hendak memperbaiki kesalahannya, akan tetapi karena gugupnya, dia bahkan menambahkan.

   "Maksudku eh, dibandingkan dengan saudara Bun Hong, kakakku itu memang kalah tampan."

   Pucatlah wajah Kui Eng mendengar ini, kemudian muka itu berubah merah sekali, merah karena marah! "Beng Lian!"

   Katanya dengan ketus.

   "Kau anggap aku ini orang apakah? Dengarlah baik-baik, aku tidak mencinta kakakmu dan juga tidak mencinta ji-suheng! Aku telah menolak pinangan ibumu, dan habis perkara! Jangan kau hubung-hubungkan dengan lain hal dan jangan kau menyangka yang bukan-bukan!"

   Melihat kemarahan Kui Eng, Beng Lian merasa terkejut dan menyesal mengapa dia telah berlancang mulut. Padahal dia hanya bermaksud untuk membenarkan sikap gadis itu karena perjodohan haruslah didasari dengan cinta kasih antara kedua orang yang dijodohkan, seperti dia dengan Yu Tek. Selagi dia hendak minta maaf, Kui. Eng telah menyambar buntalan pakaiannya dan berlari keluar dari kamar itu dengan mata merah menahan tangis!

   Ketika tiba di ruangan depan, dia bertemu dengan Beng Han yang sedang menanti berita dari ibunya dengan hati berdebar. Pertemuan yang tak disangka-sangkanya ini membuat Beng Han merasa malu sekali dan sungkan, akan tetapi dia dapat menenangkan hatinya dan bertanya.

   "Sumoi, apakah malam tadi kau dapat enak tidur?"

   Akan tetapi, terkejutlah wajah Beng Han ketika melihat wajah Kui Eng nampaknya marah itu. Apa lagi melihat Kui Eng membawa buntalan dan matanya jelas basah!

   "Eh, sumoi, kenapakah kau?"

   Hatinya menjadi kecut dan perasaannya tidak enak sekali.

   "Twa-suheng,"

   Kata Kui Eng, sambil cepat-cepat menghapus dua butir air mata yang memaksa turun dari kedua matanya.

   "Aku.. aku pergi dulu, hendak mencari ibuku. Maafkan bahwa terpaksa aku harus memisahkan diri dari kau dan ji-suheng."

   Bukan main terkejut hati Beng Han mendengar ucapan ini. Kedua matanya terbelalak dan mukanya berubah pucat. Dengan gagap dia berkata.

   "Akan tetapi sumoi kemana kau hendak pergi dan apa yang terjadi?"

   "Entahlah, ke mana saja kedua kakiku membawaku. Pokoknya, aku hendak mencari ibu."

   Beng Han adalah seorang pemuda yang berpemandangan luas. Dia telah dapat menduga bahwa tentu sikap gadis ini ada hubungannya dengan pinangan ibunya. Pinangan itu telah gagal! Bukan hanya gagal, bahkan mengakibatkan sumoinya merasa tidak enak dan hendak pergi meninggalkannya. Dia menarik napas panjang.

   "Sumoi"

   Ah, kalau keputusanmu memisahkan dirimu ini karena... karena pinangan ibuku kepadamu, ah kaumaafkanlah aku, sumoi. Kelancanganku mengajukan pinangan ini telah kutebus mahal sekali. Sute telah meninggalkan aku, apakah sekarang kaupun hendak meninggalkan aku pula?"

   Kui Eng yang tadinya menunduk dan tidak berani memandang wajah suhengnya, kini mengangkat mukanya.

   "Ji-suheng meninggalkan kau? Kemanakah perginya?"

   Dia bertanya heran.

   Beng Han hanya menarik napas panjang dan menyerahkan surat Bun Hong kepada sumoinya. Merahlah wajah Kui Eng membaca pemberian selamat Bun Hong kepada Beng Han atas pertunangarmya dengan dia! Timbul rasa kasihan di dalam hatinya terhadap twa suhengnya ini, maka katanya perlahan sambil menunduk,

   "Twa-suheng, percayalah bahwa aku tetap menghormati dan menganggap suheng sebagai kakakku sendiri. Biarlah kita bertemu lagi di lain waktu!"

   Setelah berkata demikian, Kui Eng lalu mengembalikan surat itu, menjura kepada suhengnya kemudian berlari cepat meninggalkan Kuil Kwan-im-bio itu. Beng Han menggerakkan tangan dan bibirnya, namun tidak ada suara yang keluar dan dia hanya mengikuti kepergian sumoinya itu dengan pandang mata sayu dan bingung.

   Setelah bayangan sumoinya lenyap, Beng Han segera berlari masuk menjumpai ibunya dengan hati yang tidak enak rasanya. Karena ibunya menceritakan kepadanya tentang jawa-an sumoinya, pemuda ini hanya menundukkan mukanya dengan kedukaan yang disembunyikan. Dari jawaban ini dan juga dari ucapan sumoinya ketika hendak pergi, maklumlah dia bahwa perasaan cinta kasihnya terhadap sumoinya itu hanya bertepuk tangan sebelah saja, tidak terbalas!

   Beng Han adalah seorang pemuda yang berbatin kuat. Biarpun dia mengalami pukulan batin yang hebat secara berturut-turut, pertama karena kepergian Bun Hong yang patah hati, ke dua karena kepergian Kui Eng dan ketiga ketika mendengar cerita ibunya tentang penolakan halus gadis yang dipinangnya itu, namun dia segera dapat mengubur dan menyembunyikan luka hatinya itu di bawah kemauannya yang kuat.

   "Ibu, harap ibu sudi memaafkan sute dan sumoi yang kini telah pergi meninggalkan kuil tanpa pamit kepada ibu dan kepada Pek I Suthai guru Beng Lian."

   "Eh? Mereka pergi? Sejak kapan?"

   "Sumoi baru saja pergi, katanya hendak mencari ibunya. Karena.. karena urusan pinangan itu, maka aku tidak dapat banyak bertanya, juga tidak mampu mencegahnya karena aku tahu bahwa dia mempunyai kemauan yang amat keras. Dan mengingat akan jawabannya, agaknya hem.. sebaiknyalah kalau untuk sementara ini kami saling berpisah."

   "Dan sutemu?"

   Tanya ibu yang masih bingung dan terkejut mendengar berita kepergian saudara-saudara seperguruan puteranya secara tiba-tiba itu.

   "Kapan dia pergi dan mengapa pula?"

   Beng Han tidak berani memperlihatkan surat sutenya. Dia tidak ingin ibunya tahu akan persoalan cinta kasih antara mereka, yaitu cinta kasih yang terkandung dalam hati sutenya terhadap sumoinya. Dia hanya berkata setelah menarik napas panjang.

   "Sute Bun Hong memang mempunyai watak yang aneh, ibu. Aku amat menghawatirkarj keadaannya, karena dia memiliki watak yang amat aneh dan keras, lagi terlalu berani sehingga kadang-kadang tanpa menggunakan perhitungan yang masak. Kalau dia dibiarkan seorang diri saja di kota raja, dia tentu akan menghadapi bahaya. Oleh karena itu, ibu sekarang juga aku harus menyusulnya, untuk membantu dan membelanya kalau kalau ada bahaya mengancam dirinya."

   Siok Thian Nikouw mengerutkan alisnya."Tapi"

   Tapi kau baru saja datang dan kau baru saja bertemu kembali dengan ibumu dan adikmu bagaimana engkau akan pergi lagi begini tiba-tiba, anakku""

   Beng Han berlutut di depan ibunya.

   "Ibu setelah aku bertemu dengan ibu dan adik Lian, dan mengetahui bahwa ibu berdua tinggal dikuil ini dalam keadaan selamat, hatiku merasa amat bahagia dan lega. Setiap waktu anak dapat saja datang ke sini untuk menjenguk ibu. Akan tetapi saat ini, anak sedang dalam perjalanan bersama sute dan sumoi. Aku sendiri telah berhasil menemukan keluargaku, akan tetapi tidak demikian dengan sute dan sumoi. Maka, sudah sepatutnya kajau aku mewakili suhu membantu dan melindungi mereka, ibu. Sumoi harus kubantu mencari orang tuanya, dan sute"

   Ah, dia sudah kehilangan semua keluarganya, maka harus kubantu dan kulindungi dari bahaya. Ijinkan anak pergi, ibu, dan tidak lama lagi aku pasti akan datang lagi menjenguk ibu dan adik Lian."

   Siok Thian Nikouw meraba-raba kepala puteranya.

   "Omitohud, kehendak Thian tidak dapat dilawan siapapun. Kalau memang demikian kehendak hati dan tekadmu, anakku, baik-lah. Pergilah engkau memenuhi tugasmu, kau lindungi sutemu dan kau bantu sumoimu mencari keluarganya. Akan tetapi pesanku, tentang urusanmu dengan Kui Eng janganlah kiranya hal ini mematahkan hatimu nak. Bersabarlah sampai gadis itu bertemu dengan ibunya, baru aku akan mengajukan pinangan pula."

   Demikian pesan Siok Thian Nikouw kepada puteranya. Beng Han hanya mengangguk angguk. Kemudian dia berkemas, berpamit dari Pek I Nikouw yang berpesan agar pendekar muda ini dan kedua orang saudara seperguruannya berlaku hati-hati di kota raja karena di sana terdapat banyak sekali orang pandai yang menjadi kaki tangan para pembesar, lalu pergilah Beng Han meninggalkan Kwan-im-bio.

   Ketika dia tiba di luar kota An-kian, tiba-tiba terdengar suara orang memanggil dari belakang. Pria cepat berpaling dan ternyata adiknya, Beng Lian, yang menyusulnya dengan berlari cepat. Setelah tiba disitu, berhadapan dengan kakaknya, Beng Lian menangis dengan sedih, membuat Beng Han menjadi terheran-heran. Tadi ketika dia berpamit didepan ibunya, adiknya ini diam saja biarpun memandang dengan wajah sayu, akan tetapi mengapa sekarang menyusul dan tiba-tiba saja menangis sedih? Hatinya menjadi tidak enak.

   "Eh, Lian-moi, apakah yang terjadi? Apakah terjadi sesuatu di Kwan-im-bio?"

   Tanyanya. teringat akan ibunya. Adiknya itu menggeleng kepala dan terus menangis terisak-isak.

   "Hemm, kalau begitu apakah kau menangis karena kepergianku ini? Lian-Moi yang baik, jangan kau seperti anak kecil. Engkau juga seorang dara yang gagah perkasa, maka tidak patutlah kalau menangis, karena urusan kecil ini. Hapus air matamu, adikku!'

   Kembali Beng Lian menggeleng-geleng kepalanya sebagai sangkalan terhadap dugaan kakaknya itu, dan tangisnya makin menjadi-jadi.

   Beng Han memegang pundak adiknya.

   "Lian-moi, tenanglah, adikku. Sebenarnya, apakah yang terjadi dengan dirimu? Apakah ada hubungannya dengan Yu Tek? Katakanlah, dan aku akan membantumu, adikku!"

   Kini Beng Lian menggeleng kepala makin keras, lalu menutupi mukanya dengan kedua tangan.

   "Han-ko, aku"

   Aku telah berdosa kepadamu""

   "Eh? Apa kau mengingau? Dosa apa yang kaulakukan?"

   Beng Han tersenyum dan memandang heran.

   "Aku"

   Akulah yang membuat enci Eng marah-marah dan pergi meninggalkanmu, koko""

   "Hemm, apakah yang telah kaulakukan?"

   "Aku aku merasa kecewa dan menyesal karena dia telah menolak pinangan ibu, lalu"

   Lalu kukatakan kepadanya bahwa dia tidak mencintaimu dan"

   Dan kubayangkan kepadanya bahwa dia mencinta ji-suhengnya.."

   Kemudian dengan suara terputus-putus Beng Lian menceritakan semua percakapan yang terjadi antara dia dan Kui Eng, yang mengakibatkan kemarahan Kui Eng sehingga dara itu pergi meninggalkan kuil.

   Mendengar penuturan itu, Beng Han menggeleng-geleng kepalanya dan menarik napas panjang. Kemudian dia berkata, suaranya halus tanpa mengandung kemarahan.

   "Adikku, engkau memang telah berlaku keterlaluan dan lancang. Akan tetapi, semua itu kaulakukan karena terdorong oleh rasa kecewa dan penasaran, dan aku dapat memakluminya. Betapapun juga, dugaanmu bahwa dia tidak mencintaku memang tepat. Akulah yang bodoh dan tidak tahu diri, sehingga membolehkan ibu melamarnya. Dugaanmu bahwa dia mencinta Bun Hong sute juga beralasan, karena aku sendiripun kini menyangka demikian. Akan tetapi, tentu saja hal itu tidak semestinya dikatakan kepadanya, karena tentu akan membuat hatinya tersinggung. Dia memang berwatak keras. Akan tetapi sudahlah, yang sudah terjadi biarlan berlalu, kalau aku dapat bertemu dengannya, aku yang akan memintakan maaf untukmu. Hatinya baik sekali, aku yakin, dia akan suka memaafkanmu. Dan harap pengalaman ini menjadi pelajaran bagimu, agar lain kali engkau lebih berhati-hati kalau bicara tentang hal yang menyangkut diri orang lain, Lian-moi."

   Dengan masih terisak, dara itu mengangguk.

   "Han-ko, kau mau memaafkan aku, bukan?"

   Beng Han menggunakan tangan kanannya untuk memegang dagu adiknya dan mengangkat muka yang manis itu sehingga mereka saling berpandangan.

   "Adikku, tentu saja aku memaafkan engkau! Senyumlah, kalau tunanganmu melihat engkau bermuram durja, dia tentu akan ikut bersedih! Jagalah dia baik baik."

   Beng Han mencium dahi adiknya, kemudian membalikan dirinya dan meneruskan perjalanan dengan cepat. Beng Lian berdiri memandang dengan air mata berlinang sampai kakaknya itu lenyap dari pandangan matanya.

   Kebajikan atau kebaikan tabiat atau kelakuan adalah suatu sifat, suatu kewajaran yang terjadi atau dilakukan tanpa unsur kesengajaan oleh si pelaku. Kalau kebajikan dilakukan dengan sengaja disertai kesadaran dari pelaku bahwa dia melakukan kebajikan, maka tak dapat disangkal lagi, perbuatan baik atau kebajikannya itu dilakukan dengan adanya pamrih tersembunyi di balik perbuatan itu.

   Bermacam-macam dan bertingkat-tingkat adanya pamrih yang tersembunyi ini, ada pamrih untuk keuntungan lahiriah, ada pula pamrih keuntungan batiniah. Akan tetapi tetap saja sama, karena pamrih yang tersembunyi dalam setiap perbuatan itu pada hakekatnya hanyalah keinginan untuk memperoleh kesenangan lahir maupun kesenangan batin. Bahkan ada pamrih tersembunyi dalam perbuatan baik yang tidak disadari lagi oleh yang berbuat, pamrih yang mengendap di bawah sadar.

   Dan setiap perbuatan betapapun baiknya setiap kebajikan, yang dilakukan dengan kesadaran bahwa hal itu adalah kebajikan dan dengan demikian mengandung pamrih, adalah suatu kepalsuan. Bukan baik karena memang pada dasarnya dan sewajarnya memang baik, melainkan kebaikan yang dibuat-buat, seperti pemulas untuk menutupi ying buruk. Kebajikan tidak mungkin dapat dipelajari, dalam arti kata dilatih, atau ditiru-tiru dari anjuran kitab-kitab atau guru-guru.

   Karena kebajikan yang hanya dilakukan untuk meniru-niru atau menyesuaikan diri dengan suatu pelajaran, adalah kebajikan pura-pura atau palsu, munapafik adanya. Kalau di dalam hati masih ada rasa benci, lalu dalam perbuatan, kata-kata siikap dan lain-lain memperlihatkan keramahan dan kebaikan budi, bukankah itu palsu namanya?

   Kalau begitu, bagaimanakah yang dinamakan kebajikan atau kebaikan itu: Kalau kelakuan itu adalah suatu sifat, suatu kewajaran, tidak disadari lagi sebagai suatu kebajikan oleh yang melakukannya, kalau tidak terdapat kebencian lagi di dalam hati, maka terdapatlah cinta kasih di dalam perbuatan. Dan dengan cinta kasih, maka setiap perbuatan adalah bajik!.

   Kebaikan yang timbul karena latihan, hanyalah tiru-tiru dan palsu.Kebaikan seperti ini mudah sekali luntur, mudah goyah dan mudah berubah, bagaikan pakaian saja kalau tertimpa panas dan hujan, akan luntur dan lapuk, memperlihatkan apa yang tersembunyi di baliknya. Terutama sekali dalam keadaan dikecewaan, maka timbullah dendam, penasaran, yang meengundang kebencian. Dan kalau sudah di cengkeram oleh kebencian, maka semua latihan kebaikan itu pun akan terlupakan.

   Bun Hong sejak kecil digembleng oleh gurunya. bukan hanya digembleng ilmu silat, akan tetapi juga digembleng pelajaran-pelajaran untuk menjadi seorang pendekar yang baik budi dan gagah perkasa. Akan tetapi, begitu dia mengalami kegagalan dalam cintanya, begitu dia mengalami kekecewaan yang amat hebat yang menekan perasaannya dan menghancurkan hatinya , dia diserang perasaan iba diri yang amat besar sehingga dia menjadi tidak perduli lagi akan pelajaran-pelajaran yang pernah diterima dari gurunya tentang kebajikan! Apa lagi setelah dia memasuki kota raja, mulailah terjadi perubahan dalam kehidupan Tan Bun Hong, pendekar muda ang memiliki kepandaian tinggi itu.

   Ketika memasuki kota raja. Bun Hong terpesona. Betapa jauh bedanya keadaan kota raja dengan keadaan di dusun-dusun. Kalau di dusun dia melihat segala macam penderitaan dan kemiskinan, di kota raja penuh dengan kemewahan dan kesenangan. Rumah-rumah gedung yang besar dan megah mendatangkan pemandangan vang amat jauh bedanya dengan pondok-pondok bobrok di dusun-dusun. Pakaian orang-orang di kota raja indah-indah beraneka warna, berbeda sekali dengan pakaian para petani yang compang-camping, tambal-tambalan dan lapuk dan kotor terkena lumpur dan debu .

   Di dusun, dia telah merupakan seorang pemuda yang gagah dan berpakaian indah, hingga banyak mata memandangnya dengan kagum dan iri. Akan tetapi setelah berada di kota raja , Bun Hong merasa betapa pakaiannya termasuk buruk dan tidak ada seorang pun yang memperhatikannya.

   Bun Hong melihat banyak pemuda yang berpakaian indah hilir-mudik di sepanjang jalan raya kota raja yang lebar. Sebagai seorang putera hartawan di waktu kecilnya, Bun Hong memang suka sekali akan kemewahan dan keindahan pakaian. Model pakaian yang dipakai oleh para pemuda di kota raja, terutama pakaian para pelajar yang indah dan mewah membuat dia mengilar dan timbul keinginannya untuk mempunyai pakaian seperti itu.

   Segalanya dimulai dengan keinginan! Dalam pengejaran keinginan, manusia sering kali men jadi buta. Demikian pula dengan Bun Hong .Semenjak kecil dia digembleng gurunya, dan gurunya telah berpesan kepada semua muridnya bahwa seorang pendekar harus selalu menentang kejahatan dan membela mereka yang lemah tertindas, harus selalu menjadi pembela kebenaran dan keadilan.

   Harus hidup sederhana dan tidak menginginkan barang-barang yang bukan menjadi miliknya. Semua ini adalah pelajaran-pelajaran, contoh-contoh, dan si murid diharuskan menauladan pelajaran dan contoh ini!. Karenanya, maka kebaikan yang nampak pada diri si murid bukanlah wajar lagi ! Bukan kebaikan aseli dari si murid, melainkan kebaikan tiruan belaka dari si contoh. Kebaikan itu bukan menjadi sifat dan watak lagi, melainkan hanya merupakan kebiasaan, merupakan pakaian belaka. Maka mudah luntur dan hilang. Gurunya pernah menasihati murid-muridnya bahwa dalam keadaan terpaksa, jika memang membutuhkan, muridnya boleh saja minta dari orang lain atau kalau perlu boleh mengambil dari orang-orang yang kelebihan.

   Memang terdapat "kebiasaan"

   Para petualang di dunia kang-ouw untuk mengambil milik para hartawan, yaitu mengambil uang sekedar mencukupi kebutuhannya untuk biaya perjalanan Orang-orang kang-ouw yang memegang teguh pelajaran mereka, tidak akan mau mengambil yang lebih dari pada yang mereka butuhkan, itupun mereka ambil dari hartawan yang benar-benar mampu dan tidak akan terasa berat kalau kehilangan sedikit uang yang mereka butuhkan. Kalau melanggar ketentuan ini. maka hal ini dianggap suatu penyelewengan dan dianggap menyimpang atau merendahkan nama para pendekar kang-ouw!.

   Akan tetapi pada malam hari pertama kedatangannya di kota raja itu, ketika seluruh penghuni kota telah tidur, di atas genteng rumah gedung seorang hartawan besar berkelebat bayangan hitam yang amat gesit gerakannya. Bayangan itu memasuki gedung tanpa terlihat oleh seorangpun dan tak lama kemudian dia keluar lagi sambil membawa sebuah kantung yang penuh berisi dengan uang emas! Orang ini bukan lain adalah Bun Hong yang melakukan pencurian dalam gedung hartawan itu. Akan tetapi yang diambilnya bukan sekedar sejumlah uang untuk keperluan biaya perjalanannya, melainkan jauh lebih banyak lagi. Dia mengambil sekantung uang emas yang tentu saja jauh melampaui kebutuhannya, Bun Hong maklum bahwa dia telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan kehidupan seorang pendekar kang-ouw.

   Akan tetapi sekali ini dia tidak ambil perduli, Kedukaan dan rasa penasaran membuat hatinya menjadi nekat, kepahitan membuat dia menjadi tidak perdulian. Semua ini didorong oleh hati mudanya yang suka sifat pesolek, membuat dia melakukan pelanggaran. Dia telah melakukan pencurian atas keinginannya untuk membeli pakaian-pakaian indah, seindah pakaian para muda di kota raja. Dengan mudah saja dia berhasil mengambil uang emas sekantung dari tumpukan harta orang kaya itu. Agaknya si kaya itu tidak akan merasa bahwa uangnya berkurang demikian banyaknya uang emas berpeti-peti dalam gudang uang di rumah gedung itu.

   Pada keesokan harinya, Bun Hong telah berganti rupa. Dia telah berubah menjadi seorang pemuda sasterawan yang berpakaian indah, terbuat dari kain sutera berwarna biru yang bersulamkan benang emas dan renda-renda berwarna kuning dan merah di lehernya. Wajahnya yang memang tampan itu bertambah ganteng Dia menyembunyikan pedangnya di bawah jubah yang lebar dan sebagai pelengkap, tangan kirinya memegang sebuah kipas bulu yang indah dan mahal.!

   Biarpun hatinya terpikat oleh kemewahan dan kekayaan yang berlimpahan di kota raja yang besar dan ramai itu, namun Bun Hong masih belum melupakan maksudnya semula datang ke kota raja. Dia meninggalkan Beng Han dan Kui Eng dengan hati hancur dan sedih, karena cinta kasihnya terpaksa direnggut dari hatinya. Dia mencoba untuk melupakan Kui Eng karena dia harus mengalah terhadap suhengnya, dan dia tidak mau menghalangi perjodohan antara Kui Eng dan Beng Han, dua orang yang paling disayang dan dicintanya di permukaan bumi ini. Maka, untuk melupakan kesedihannya, dan agar jangan menghalangi mereka, dia mengambil keputusan untuk melanjutkan usaha mereka bertiga semula, yaitu hendak membasmi kekejaman peraturan pemungutan pajak bagi para rakyat kecil. Dia tidak melupakan tugas ini, biarpun hatinya tertarik oleh kemewahan kota raja.

   Setelah berdandan sebagai seorang kongcu hartawan atau seorang sasterawan putera seorang bangsawan, pakaian baru sepatu baru dan kipas baru, mulailah Bun Hong melakukan penyelidikan. Dia berjalan-jalan dan mencari keterangan tentang pembesar-pembesar yang berwewenang mengatur urusan pajak bagi daerah-daerah itu. Akan tetapi, jawaban yang didapatkan dalam penyelidikannya ini bersimpang-siur.

   Ada yang mengatakan bahwa peraturan itu datang dari kaisar sendiri, ada pula yang mengatakan bahwa yang mengeluarkan peraturan itu adalah Thio-thai-kham, yaitu pembesar kebiri yang berkuasa besar di istana. Ada pula yang berkata bahwa peraturan itu berada dalam wewenang Pangeran Song, bendahara kerajaan yang berhak menerima semua penyetoran hasil pajak.

   Dengan menyamar sebagai seorang sasterawan yang datang dari luar kota raja dan ingin memasuki ujian bagi sasterawan untuk mencapai gelar siucai, dengan mudah Bun Hong dapat mengajak orang-orang bicara tentang itu tanpa menarik kecurigaan. Sudah sepatutnya kalau seorang calon siucai yang mengejar kedudukan mencari tahu untuk mengenal keadaan pemerintahan.

   Setelah mendengar keterangan keterangan itu, Bun Hong tidak berani bertindak ceroboh. Dia telah melihat betapa penjagaan yang dilakukan di setiap gedung pembesar tinggi di kota raja amatlah kuatnya. Juga, banyak dia melihat perwira-perwira dan pengawal-pengawal kerajaan yang ditemuinya di jalan-jalan dan di rumah-rumah makan, dan dari gerak-gerik mereka tahulah dia bahwa di antara mereka terdapat banyak yang memiliki kepandaian tinggi. Dia harus sabar, dia harus mempelajari keadaan dengan baik dan berlaku hati-hati, agar jangan sampai usahanya gagal sebelum dimulai. Dia merasa suka dan betah tinggal di kota raja yang ramai dan banyak pemandangannya itu. Setiap hari pemuda ini keluar dari kamar rumah penginapan yang disewanya dan pergi berjalan-jalan.

   Pada suatu hari dia mendengar berita bahwa Pangeran Song Hai Ling, pembesar yang menjadi bendahara istana, hendak mengadakan kunjungan ke Kuil Bhok-thian-si yang besar dan megah. Kunjungan ini adalah dalam rangka pembayaran kaul dari pangeran itu yang hendak memenuhi janji. Beberapa bulan yang lalu Pangeran Song pernah jatuh sakit yang cukup berat. Dalam penderitaannya itu, sang pangeran berjanji bahwa kalau dia sembuh dari penyakitnya, dia akan melakukan sembahyangan besar di kuil itu bersama seluruh keluarganya, dan mengadakan pesta keramaian di kuil itu. Dan kebetulan sekali penyakitnya sembuh, maka pangeran ini lalu mengumumkan bahwa dia akan memenuhi janji itu.

   Karena yang hendak melakukan sembahyang adalah seorang pembesar yang berkedudukan tinggi, kaya raya dan berpengaruh karena pangeran ini adalah keluarga dari kaisar, maka tentu saja semenjak dua hari sebelumnya, para hwesio Kuil Bhok-thian-si telah mengadakan persiapan besar-besaran. Lantai kuil dicuci dan digosok sampai mengkilat, semua tiang digosok dan yang sudah luntur catnya dicat kembali, dan semua alat sembahyang diganti dengan yang baru! Semenjak dua hari sebelum kunjungan itu, kuil ditutup untuk umum yang hendak datang bersembahyang.

   Untuk meramaikan perayaan dan sembahyangan ini, Pangeran Song Hai Ling mendatangkan serombongan pemain sandiwara klasik yang memainkan cerita tentang kehidupan Bu Ong, raja besar yang amat dipuja di seluruh Tiong-kok oleh karena kebijaksanaannya. Bahkan di alam kuil besar itupun terdapat arca raja besar ini. Memang Pangeran Song sengaja mengadakan pertunjukan itu yang maksudnya selain untuk meramaikan pesta, juga untuk memberi penghormatan kepada Bu Ong.

   Karena adanya pertunjukan ini, sandiwara yang dimainkan oleh perkumpulan sandiwara terbaik di kota raja, maka semenjak pagi sebelum sembahyang besar dimulai, orang-orang telah memenuhi halaman kuil yang luas itu untuk nonton sandiwara. Dan tentu saja banyak pula di antara mereka yang datang untuk menonton keluarga pembesar itu, karena mereka telah mendengar bahwa selain mempunyai bayak selir yang cantik-cantik, Pangeran Song Hai Ling juga mempunyai dua orang anak perempuan yang telah remaja puteri dan kabarnya memiliki kecantikan yang tidak kalah oleh kecantikan bidadari dari kahyangan!.

   Mendengar tentang kunjungan Pangeran Song yang merupakan seorang di antara mereka yang akan diselidikinya, Bun Hong segera ikut datang ke kuil itu dan mencampurkan dirinya dengan para penonton yang berjubelan di luar kuil. Dia menyelinap di antara para penontor dan dengan sepasang lengannya yang kuat, dengan mudah saja Bun Hong mencari jalan dan sebentar saja dia telah berhasil menerobos ke depan dan berdiri di baris terdepan. Kalau ada yang merasa penasaran, setelah melihat pakaian dan lagak pemuda ini, orang itu tidak berani sembarangan menegornya karena menyangka bahwa dia adalah seorang putera bangsawan atau mungkin keluarga Pangeran Song.

   Kini Bun Hong berdiri dekat pagar yang mengelilingi ruangan depan kuil itu, di mana telah dipasang meja sembahyang yang besar dan yang bertilam sutera bersulamkan benang emas! Di pinggir kanan, rombongan sandiwara yang sehabis sembahyang nanti akan mulai dengan pertunjukan mereka, yaitu di atas panggung yang telah disediakan, kini hanya duduk dengan rapi dan musik mereka telah berbunyi perlahan-lahan semenjak pagi tadi sehingga suasana pesta sudah mulai terasa.

   Tak lama kemudian terdengarlah bentakan-bentakan dan beberapa orang penjaga yang memegang cambuk telah mencari jalan dan mencambuki para penonton yang menghalangi jalan.

   "Tar-tarrr! Minggir, minggir! Buka jalan antuk rombongan Song-taijin! Tar-taarr!"

   Cambuk itu meledak-ledak di atas kepala para penonton, tidak sampai mengenai orang karena hanya dimaksudkan untuk memaksa mereka membuka jalan saja. Para penonton terkuak ke kanan kiri dan dengan cepat jalan yang menuju ke pintu masuk kuil itu telah terbuka. Barisan pengawal dengan golok telanjang di tangan, terdiri dari belasan orang yang bertubuh tinggi besar dan kelihatan kuat sekali, dengan langkah kaki tegap dan gagah mendahului rombongan dan masuk ke dalam halaman depan, lalu terpecah menjadi dua kelompok dan mereka berdiri berjajar di kiri kanan jalan masuk itu. Bunyi roda kereta terdengar dan masuklah sebuah kereta yang indah, tertutup jendelanya oleh tirai-tirai sutera hijau, dan kereta itu berhenti di depan kuil. Tirai-rirai tersingkap dan turunlah rombongan keluarga pembesar itu.

   Semua orang segera membungkuk untuk menghormati seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh lima tahun yang turun dari kereta dan berjalan dengan tenang sambil mengebut-ngebutkan kipas di tangannya. Laki-laki ini memandang ke kanan kiri sambil mengangguk-anggukkan kepala sebagai pembalasan hormat yang diberikan orang kepadanya.

   Bun Hong membuka mata lebar-lebar dan dengan penuh perhatian dia memandang wajah pembesar itu. Wajah pembesar ini menunjukkan seorang yang peramah dan tidak kejam, bahkan matanya selalu memandang dengan berseri gembira dan mulutnya tersenyum, membayangkan kesabaran. Sinar matanya yang memandang penuh pengertian itu membayangkan bahwa orang ini telah mempunyai pengalaman hidup yang mendalam dan dari sinar matanya yang tajam penuh selidik, orang mendapat perasaan bahwa pangeran ini memiliki kewibawaan dan pengertian yang lebih tinggi dari orang lain. Tubuhnya, sedang saja, agak pendek dan langkah kakinya tenang dan pendek. Timbul keraguan di dalam hati Bun Hong karena dia tidak melihat sinar kekejaman di wajah pembesar ini. Agaknya tidak pantas kalau orang dengan wajah seperti ini dapat menurunkan peraturan kejam yang| mencekik leher dan kehidupan rakyat jelata, pikirnya meragu.

   Suara berisik dari para penonton membuat dia menengok dan perhatiannya segera berpindah dari wajah pembesar itu. Serombongan wanita yang cantik-cantik, mengikuti seorang wanita setengah tua yang juga menerima penghormatan dari semua orang. Akan tetapi pandang mata para penonton, terutama sekali para prianya, sebagian besar ditujukan kepada wanita-wanita muda cantik yang mengikuti nyonya itu. Nyonya itu adalah Song-hujin, dan para wanita cantik itu adalah selir-selir dari sang pangeran. Nyonya Song bersikap lemah lembut dan jelas memperlihatkan keagungan seorang bangsawan tinggi, sedangkan para selir yang masih muda-muda dan berpakaian indah gemerlapan itu bersikap gembira, namun jelas kegenitan mata mereka ketika sambil lewat mereka melempar kerling mata yang liar dan tajam ke kanan kiri, di mana banyak terdapat pemuda-pemuda tampan dan gagah. Mereka ini seperti sekelompok burung yang sudah terlalu lama dikurung dalam sangkar dan kini memperoleh sedikit kebebasan di luar!.

   Kemudian sekali, muncullah dari sebuah kereta, dua orang yang dinanti-nanti oleh hampir semua orang muda yang memerlukan datang hanya untuk dapat memandang kepada dua orang ini. Mereka ini adalah dua orang gadis remaja yang berusia paling banyak tujuhbelas tahun. Keduanya sama cantik jelita, sama manis menarik, melangkah dengan lemah lembut dan dengan lenggang lemah gemulai. Berbeda dengan para selir ayah mereka, kedua orang dara remaja ini berjalan dengan sikap malu-malu ketika mereka merasa betapa banyak mata kaum pria ditujukan ke arah mereka. Mereka saling berbisik dan berjalan dengan muka ditundukkan.

   Dara yang lebih tua bertubuh tinggi semampai dengan muka berdagu runcing dan sepasang mata lebar dan tajam sinarnya bagaikan mata burung Hong. Kulit mukanya halus putih kemerahan, bedak dan gincu tipis-tipis dan sepasang alisnya yang melengkung dengan ujung yang runcing dan berwarna hitam sekali, menambah kemanisan wajahnya. Yang lebih muda juga cantik jelita, akan tetapi mukanya bundar, dan sepasang matanya kocak sedangkan bibirnya yang indah bentuknya itu selalu tersenyum, menandakan bahwa dia adalah seorang dara yang berwatak riang jenaka.

   Setelah semua rombongan memasuki ruangan dalam dari kuil itu, meja sembahyang lalu di atur oleh para hwesio yang kelihatan sibuk sekali. Ayam dan bebek yang masih utuh dan sudih matang, ditaruh di atas piring perak dan diatur di atas meja sembahyang. Melihat ayam dan bebek yang tak berbulu lagi dan yang kulitnya nampak kekuningan dan gemuk itu, membuat para penonton mengilar. Juga ada kepala babi yang gemuk, yang menyeringai seperti mengejek kepada para penonton, dan masakan-masakan yang banyak sekali macamnya, memenuhi meja yang besar itu. Kemudian lilin-lilinpun dinyalakan oleh para hwesio dengan sikap yang khidmat.

   Para hwesio mulai membaca liamkeng, berdoa dan mengatur upacara sembahyang itu. Mula-mula, pangeran itu yang maju ke depan untuk bersembahyang. Akan tetapi baru saja pangeran itu menerima hio-hio yang sudah mengepulkan asap dan hendak mulai bersembahyang, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

   "Pembesar laknat! Kau hidup mewah dari perasan keringat kami!"

   Dari rombongan penonton, tahu-tahu meloncat keluar seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan berpakaian seperti seorang petani, tangannya memegang sebatang cangkul dan dengan gerakan cepat dia telah lari ke depan meja sembahyang itu. Petani itu berusia kurang lebih tigapuluh tahun dan dengan nekat dia lalu menyerang Pangeran Song Hai Ling dengan cangkulnya. Pangeran Song yang sedang memegang hio dan hendak mulai bersembahyang itu tentu saja menjadi terkejut sekali, sampai tidak mampu bergerak dan hanya memandang kepada penyerangnya dengan mata terbelalak. Sungguh berbahaya sekali keadaan pangeran itu pada saat itu karena si petani yang mengamuk itu telah mengayun cangkulnya ke arah kepala si pangeran.

   
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Heiiiitt!"

   Tiba-tiba seorang perwira yang memimpin barisan penjaga, seorang yang tentu saja selalu waspada dan memiliki kepandaian, cepat menubruk ke depan. Dia tidak sempat lagi menyerang si petani itu, maka jalan satu-satunya bagi perwira ini hanyalah mendorong pundak si pangeran ke kiri sehingga ketika cangkul itu menyambar, tubuh pangeran itu terhindar dari senjata itu.

   "Brakk........!! "

   Cangkul menghantam meja dan kepala babi itu terloncat sambil menyeringai, juga ayam dan bebek beterbangan seolah-olah hidup kembali. Meja itu ambruk dan semua masakannya tumpah.

   Gegerlah keadaan di situ, terdengar jerit para selir yang ketakutan, dan beberapa orang penjaga lalu maju mengeroyok si petani yang mengamuk seperti seekor kerbau gila.Paculnya menyambar-nyambar dengan ganas dan dua orang penjaga berteriak kesakitan karena lengan mereka kena dihantam cangkul. Akan tetapi pada kesempatan yang baik si perwira tadi berhasil menendang lutut penyerang yang mengamuk itu sehingga cangkulnya terlepas dan tubuhnya terguling roboh! Beberapa batang golok yang berkilauan saking tajamnya terayun hendak merobek-robek tubuh pengacau itu, akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan biru dan tahu-tahu Bun Hong sudah berada di tengah-tengah para pengawal dan ketika kaki tangannya bergerak, beberapa batang golok terlempar!

   "Tahan semua, jangan bunuh dia!"

   Bun Hong membentak dan segera dia membangunkan petani tadi. Perwira pengawal yang tadi menjatuhkan si petani yang mengamuk, menjadi marah dan dia mengira bahwa Bun Hong tentulah kawan dari pengacau ini, maka dengan gerakan kilat dia menusukkan pedangnya ke arah dada Bun Hong dari samping sehingga terdengar lagi pekik ketakutan dari beberapa orang wanita yang merasa ngeri.

   Akan tetapi, dengan gerakan tenang sekali, Bun Hong miringkan tubuhnya sehingga pedang itu meluncur lewat di dekat tubuhnya. Tangannya meluncur dan jari-jari tangannya menyentil ke arah pergelangan tangan perwira itu. Perwira itu berteriak kaget dan pedangnya terlepas dan tahu-tahu pedang itu telah berpindah ke tangan Bun Hong! Tentu saja perwira yang terkejut itu menjadi marah sekali.

   "Pemberontak hina! Kau mencari mampus!"

   Bun Hong tersenyum.

   "Sabar, sobat. Siapa yang memberontak? Aku hanya mencegah terjadinya pembunuhan di sini."

   "Tidak kaulihatkah tadi betapa petani yang pemberontak ini menyerang taijin? Apakah kau hendak membela pemberontak?"

   "Orang ini tidak gila, dan tentu ada alasan-alasannya mengapa dia sampai berani menyerang seorang pembesar. Penyerangannya gagal, maka tidak perlu dia dibunuh. Kaulah yang tidak tahu aturan, karena kalau kau membunuh dia di tempat ini, bukankah itu berarti bahwa engkau mengotori tempat yang suci ini dan membuat sembahyangan itu tidak ada gunanya lagi!. Ataukah di tempat ini terdapat kebiasaan lain sehingga untuk bersembahyang orang harus menggunakan seorang manusia sebagai korban?"

   Perwira itu masih penasaran dan marah.

   "Kurung, serbu dan tangkap dia!"

   Semua anak ahnya sudah bergerak maju. Akan tetapi tiba-tiba pangeran itu berseru nyaring.

   "Semua penjaga mundur! Biarkan petani itu bebas dan pulang, jangan di ganggu dia!".

   Para pengawai dan perwira komandannya terbelalak memandang kepada sang pangeran, seolah-olah tidak mengerti apa yang diartikan oleh pangeran itu, akan tetapi tidak ada seorangpun di antara mereka yang berani bergerak. Petani itu juga memandang kepada Pameran Song dengan muka penuh keheranan, tak pernah disangkanya bahwa pangeran itu begini murah hati, mengampuni seorang yang tadi hendak membunuhnya. Bahkan Bun Hong sendiri tertegun mendengar perintah itu. Dia lalu menganggukkan kepalanya kepada petani itu yang seperti baru sadar cepat keluar dari kuil sambil membawa cangkulnya dan segera lari menghilang di antara orang banyak yang men jadi panik itu. Pangeran Song lalu menjura kepada Bun Hong sambil berkata.

   "Enghiong yang gagah ucapanmu tadi amat berkesan di dalam hati kami. Silahkan kau duduk di dalam dan setelah upacara sembahyang ini selesai, saya ingin sekali mengajakmu bercakap-cakap"

   Bun Hong balas menjura. Dia sudah merasa kagum terhadap pembesar ini yang telah meng ampuni petani tadi, kagum dan juga timbul rasa herannya. Ingin dia mengenal pangeran ini dan mengajaknya bercakap-cakap tentang segala hal mengenai penindasan yang diderita oleh kaum petani khususnya dan rakyat kecil pada umumnya itu. Orang seperti pangeran yang bijaksana ini tentu akan dapat mengerti. Dan dia maklum bahwa setelah terjadi peristiwa tadi, apabila dia berada di luar, tentu dia hanya akan menjadi perhatian semua orang maka dia lalu menjura dan melangkah masuk diantar oleh seorang hwesio yang bersikap hormat kepadanya.

   Ketika dia melewati keluarga pangeran itu. dan mereka memandangnya, tanpa disengaja Bun Hong mengangkat muka dan bertemu pandang dengan puteri pangeran yang terbesar. Seperti ada getaran aneh terasa oleh jantungnya yang berdebar aneh dan sesaat pandang mata kedua orang muda ini saling melekat. Darahnya terkesiap dan dia merasa betapa mukanya menjadi panas karena darahnya naik nemenuhi urat di seluruh mukanya.

   Pandangan dari mata yang indah seperti mata burung Hong yang ditujukan kepadanya penuh kekaguman itu membuat Bun Hong merasa bingung. Dia lalu menundukkan mukanya dan melanjutkan langkahnya memasuki ruangan belakang di mana dia dipersilakan, duduk menunggu.

   Meja sembahyang sudah diatur lagi dengan cepat oleh para hwesio dan upacara sembahyang segera dilanjutkan dengan cepat. Setelah terjadi peristiwa itu, Pangeran Song melakukan sembahyang hanya untuk memenuhi janjinya dan segalanya dipersingkat sehingga tak lama kemudian, selesailah sudah upacara sembahyangdari seluruh keluarganya untuk menghaturkan terima kasih kepada malaikat penjaga kelenteng yang sudah membantu kesembuhan pembesar itu.

   Pangeran Song lalu cepat menuju keruangan belakang di mana Bun Hong masih duduk menunggu. Melihat pangeran ini, Bun Hong cepat bangkit berdiri. Dia melihat betapa pangeran ini datang sendirian saja tanpa pengawal. Hal ini kembali membuat hatinya tunduk karena bukankah jelas perbuatan pangeran ini menaruh kepercayaan sepenuhnya kepadanya?

   "Enghiong yang gagah perkasa, aku merasa suka sekali melihat sikapmu yang amat gagah perkasa dan bijaksana. Kalau kau sudi mengikat persahabatan dengan aku, marilah kuundang enghiong untuk ikut bersama kami ke gedungku agar kita dapat bicara dengan lebih leluasa."

   Bun Hong memang ingin sekali mengadakan hubungan dengan pembesar ini untuk menyelidiki tentang pemerasan yang dilakukan oleh pembesar-pembesar terhadap rakyat, maka sambil membungkuk dia memberi hormat dan berkata.

   "Banyak terima kasih atas perhatian dan keramahan taijin. Sungguh telah memberi penghormatan besat sekali terhadap saya yang bodoh."

   Pangeran Song menjadi makin kagum dan girang. Pemuda ini tidak hanya amat lihai ilmu silatnya sehingga perwira yang memimpin para pengawalnya juga sama sekali tidak berdaya menghadapi pemuda ini, akan tetapi di samping kepandaian yang tinggi itu, pemuda inipun tahu akan sopan santun dan bersikap-baik sekali.

   Dengan terjadinya peristiwa penyerangan itu, dan karena pertemuannya dengan Bun Hong maka Pangeran Song membatalkan niatnya untuk mengajak keluarganya berpesta di kuil, dan dia lalu memerintahkan para pengawal untuk mempersiapkan kereta dan keluarga itu berangkat kembali ke gedungnya, diikuti oleh Bun Hong yang duduk bersama Pangeran Song di dalam sebuah kereta. Pertunjukan sandiwara memang dilanjutkan, akan tetapi pertunjukan ini sekarang merupakan tontonan dan hiburan bagi para penonton.

   Para penonton ramai membicarakan peristiwa tadi. Mereka memuji-muji kebijaksanaan Pangeran Song yang mengampuni petani yang menyerangnya tadi. Juga mereka memuji-muji pemuda tampan yang turun tangan mencegah pembunuhan atas diri si petani oleh para pengawal.

   "Dia lihai sekali! Orangnya begitu tampan dan halus, akan tetapi lihat betapa tadi dengan mudahnya dia merampas pedang perwira itu!"

   "Dan kita tidak tahu bagaimana dia dapat merobohkan para pengawal yang tadi akan mengeroyok mati si petani!"

   "Dia memang gagah sekali, pantas mendapat penghormatan dari Pangeran Song."

   "Akan tetapi dia tadi membela petani yang hendak membunuh Pangeran Song."

   "Memang aneh. Siapa tahu, dia akan beruntung sekali. Mungkin dia akan diambil mantu!"

   Bermacam-macam pendapat para penonton yang membicarakan peristiwa itu. Kalimat terakhir tentang si pemuda yang mungkin akan diambil mantu oleh Pangeran Song membuat banyak pemuda yang mendengarnya menjadi termenung dengan hati penuh iri. Alangkah bahagianya orang yang menjadi suami puteri Song yang cantik jelita, baik yang sulung maupun yang bungsu.

   Tidaklah aneh apabila manusia selalu menganggap bahwa hal yang tidak dimilikinya itu sebagai hal yang paling indah dan akan mendatangkan kebahagiaan kalau dapat diraihnya. Perbandingan mendatangkan iri hati, mendatangkan keinginan untuk memperoleh segala sesuatu yang tidak dimilikinya. Karena itulah semua manusia di dunia ini hanya saling pandang dan saling mengiri, menganggap bahwa! keadaan orang lain lebih senang dari pada keadaan dirinya sendiri, sedangkan kesenangan itu tentu selalu dianggap dapat dicapai melalui keadaan yang belum dimilikinya.

   Karena itu bermacam-macam anggapan timbul sebagai jalan menuju ke arah kebahagiaan, ada yang menganggap bahwa jalan itu melalui harta kejayaan, ada yang menganggap melalui kedudukan, kekuasaan, nama besar, kepintaran, kehormatan, kesehatan, isteri cantik, suami ganteng, banyak anak, atau tidak punya anak, dan masih banyak lagi. Inilah sebabnya maka yang memiliki satu lebih di antara semua syarat itu, namun masih merasa tidak bahagia karena syarat lain yang dianggap paling tepat tidak dimilikinya. Kesenangan, segala macam bentuk kesenangan, hanya akan nampak sebagai kebahagiaan selama kesenangan itu belum dimiliki. Akan tetapi sekali kesenangan yang diidamkan itu telah dimilikinya,maka akan ternyatalah bahwa kesenangan itu sama sekali tidak seindah yang didambakan semula, dan sama sekali tidak dapat mendatangkan kebahagiaan. Inilah sebabnya mengapa manusia selalu saling pandang dan saling mengiri.

   Dapatkah kita hidup tanpa membanding-bandingkan, tanpa menginginkan sesuatu yang tidak ada pada kita? Dapatkah kita membuka mata dan memandang apa adanya tanpa dihalangi oleh bayangan-bayangan harapan dan keinginan, sehingga kita dapat menemukan keindahan dan kebahagiaan yang sudah ada dalam segala sesuatu, dalam apa adanya? Pertanyaan, ini takkan dapat dijawab kecuali kalau kita menghayatinya dalam kehidupan sehari-hari membuka mata dan telinga, hidup dalam saat ini secara wajar, tanpa memandang ke depan tanpa menengok ke belakang. Bukan hidup di alam kenangan hari-hari kemarin dan bukan pula hidup di alam khayal dari hari-hari esok. melainkan hidup sungguh-sungguh dalam hari ini, saat ini, detik demi detik!.

   

   Ketika Bun Hong mengikuti Pangeran Song. memasuki istana pangeran itu, dia memandang penuh kekaguman. Dia seperti terpesona karena selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan sebelah dalam istana seindah itu. Istana itu mewah dan penuh dengan perabot rumah yang belum pernah dilihat sebelumnya Lukisan-lukisan yang menempel di dinding adalah lukisan-lukisan yang indah yang jarang terlihat di luar gedung dan yang sudah pasti amat mahal harganya, hasil-hasil karya dari seniman-seniman kuno. Meja kursi dan semua perabot rumah yang terdapat di situ terukir indah sekali, dan banyak terdapat barang-barang porselen yang aneh-aneh warnanya. Namun, Bun Hong pandai menekan perasaan kagumnya sehingga dia berjalan dengan langkah, biasa dan tetap, seakan-akan pemandangan di dalam gedung indah itu bukan apa-apa baginya .

   Sebetulnya, andaikata dia tidak melihat Bun Hong yang selain tampan dan gagah, akan tetapi juga dalam segebrakan saja dapat merampas pedang perwira yang melindungi keselamatannya, mungkin saja Pangeran Song akan membiarkan saja petani yang berani mencoba untuk membunuhnya tadi dibunuh oleh para pengawalnya, karena memang hal itu sudah sewajarnya dan sepatutnya. Akan tetapi, ketika melihat Bun Hong, dia merasa amat kagum dan tertarik serta timbul di dalam hatinya suatu maksud yang amat baik. Dia maklum bahwa pada dewasa itu, terdapat gejala-gejala akan timbulnya pemberontakan, di mana-mana terdapat rakyat yang menyatakan ketidak puasan hati mereka, bahkan sudah ada kelompok-kelompok yang terpaksa dibasmi karena memperlihatkan sikap memberontak. Semenjak pemberontakan besar yang dipimpin oleh An Lu Shan, belum pernah negara menjadi aman dan tenteram kembali secara sempurna.

   Dengan adanya gejala-gejala yang amat tidak menyenangkan hati itu, yang bahkan nampak pula dalam peristiwa percobaan pembunuhan atas dirinya, sebagai seorang pembesar tinggi, keselamatannya selalu terancam. Sebagai pembesar tinggi tentu saja dia dianggap sewenang-wenang, kejam dan sebagainya, maka centu banyak ancaman dari fihak mereka yang tidak puas, atau dari mereka yang merasa kalah pengaruh. Maka, melihat seorang pemuda yang demikian gagahnya, dia lalu mendapat pikiran yang menguntungkan. Kalau saja dia dapat menarik tangan Bun Hong untuk berdiri di fihaknya, setidaknya keselamatannya akan terjamin! Pangeran Song Hai Ling ini memang amat cerdik. Tentu saja dia tidak tahu sama sekali bahwa justeru tadinya pemuda ini mempunyai maksud untuk membasmi para penindas rakyat dan bahkan hendak menyelidikinya!.

   Setelah mempersilakan pemuda itu duduk di atas sebuah kursi berukir indah dan memerintahkan para pelayan untuk menghidangkan makanan lezat dan arak wangi, Pangeran Song lalu bertanya, ''Sicu, kau datang dan manakah, dan siapakah namamu yang terhormat?"

   "Saya ternama Tan Bun Hong, berasal dari dusun Hong-yang."

   Kemudian dengan ringkas Bun Hong menceritakan tentang riwayatnya, betapa seluruh keluarganya habis binasa oleh gerombolan pengacau dan pemberontak yang mengadakan keributan ketika dia masih kecil.

   Pangeran Song Hai Ling menarik napas panjang dan memandang wajah pemuda yang duduk di depannya dengar, sinar mata penuh iba "Ah, memang tahun-tahun yang lalu adalah tahun tahun celaka yang merupakan bencana besar, tidak saja bagi keluarga kerajaan, bahkan juga bagi rakyat jelata. Mudah-mudahan saja jangan sampai terulang kembali peristiwa pemberontakan yang hanya mendatangkan malapetaka."

   (Lanjut ke Jilid 07)

   Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07

   "Taijin, keamanan hidup yang penuh damai tidak hanya diidamkan oleh kaisar dan keluarga kerajaan, akan tetapi bahkan menjadi idam -idaman tiap orang manusia di negara kita,"

   Kata Bun Hong sambil menatap wajah pangeran itu dengan tajam.

   "Akan tetapi ternyata nasib rakyat jelata memang amat buruk. Setelah mengalami penderitaan dari gangguan para pemberontak, lalu tiba musim kering yang panjang dan membuat bencana kelaparan melanda di mana mana, kini rakyat jelata ditambah lagi dengan peraturan pemerintah sendiri yang mencekik leher rakyat kecil. Hampir seluruh hasil sawah para petani diharuskan untuk membayar pajak yang luar biasa beratnya sehingga bagi para petani sendiri tidak ketinggalan sisa untuk mengisi perut! Tai-jin adalah seorang pembesar tinggi di kota raja, sudah tentu lebih mengetahui akan hal ini dari pada saya yang bodoh dan tidak tahu apa-apa ini."

   Pangeran Song Hai Ling menarik napas panjang dan untuk beberapa lamanya tidak dapat menjawab, hanya menatap wajah pemuda itu. Hal ini membuat Bun Hong makin bernafsu untuk melanjutkan kata-katanya dan mengeluarkan isi hatinya.

   "Setiap pemberontakan yang dicetuskan oleh golongan yang hanya ingin memperebutkan kekuasaan tentu akan hancur karena rakyat selalu menentang peperangan dan rakyat selalu akan membela pemerintah. Akan tetapi kalau rakyat terlampau ditindas sehingga rakyat sendiri yang memberontak terhadap pemerintah, maka akan rusaklah kehormatan dan keharuman nama pemerintah. Peristiwa tadi, ketika petani itu menyerang taijin, merupakan tanda yang buruk sekali bagi pemerintah sekarang. Mengapa seorang petani yang biasanya hidup sederhana dan jujur, juga setia dan tidak mempunyai banyak kehendak, sampai berani melakukan penyerangan terhadap seorang pembesar tinggi? Hal ini sama sekali bukan hanya mengenai dan menyangkut diri taijin pribadi, melainkan merupakan gejala timbulnya rasa tidak puas dari rakyat kecil terhadap para pembesar tinggi atau pemerintah pada umumnya."

   Pangeran itu mengangguk-angguk, mendengarkan dengan penuh perhatian karena memang hatinya tertarik sekali. Dia maklum bahwa pemuda ini mengemukakan hal-hal yang patut direnungkan, bukan semata-mata pencetusan hati karena dendam seperti yang dilakukan oleh petani tadi.

   "Maafkan kalau saya bicara lancang, taijin. Menurut pendapat saya, hubungan antara rakyat jelata dengan para pemimpin adalah seperti hubungan antara anak-anak terhadap orang tuanya. Kalau anak sampai berani melawan orang tuanya, sudah tentu ada apa-apa yang tidak beres dengan anak atau orang tua itu. Kalau si anak, dalam hal ini rakyat jelata yang tidak di pengaruhi keinginan memperebutkan kedudukan, jadi tidak mempunyai kesalahan, maka ketidak beresan itu terletak kepada fihak si orang tua. Terus terang saja, taijin, saya sendiri tidak dapat terlalu menyalahkan petani tadi yang melakukan perbuatan itu karena tidak tahan lagi melihat betapa anak isterinya kelaparan karena semua gandum telah habis dibayarkan untuk pajak! Melihat anak isteri di rumah kelaparan, atau melihat taijin mengadakan sembahyang secara mewah, tentu timbul rasa penasaran yang membuatnya seperti gila, lupa segala dan terjadilah penyerangan tadi. Saya sendiripun tidak kan ragu-ragu untuk membasmi para pembesar yang memeras dan mencekik batang leher rakyat yang sudah miskin dan sengsara itu!"

   

Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini