Kumbang Penghisap Kembang 15
Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Bagian 15
"Lepaskan!"
Bentaknya dan bentakan inipun mengandung wibawa memerintah yang amat kuat.
Tanpa dapat dicegah lagi, pedang itu terlepas dari tangan Sun Bi dan sudah pindah ke tangan, kanan Han Siong. Sun Bi terkejut dan cepat ia melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan menjauh. Akan tetapi ternyata Han Siong tidak menyusulkan serangan melainkan bermaksud merampas sebatang pedang saja. Kini Cun Sek dan Ki Liang sudah menyerang lagi dari kanan kiri. Han Siong mengelak dan membalas dengan pedang rampasan, juga dengan tamparan tangan kiri. Dia tidak berani menggunakan pedang itu untuk menangkis. Biarpun pedang rampasan dari Sun Bi tadi bukan pedang biasa, melainkan sebatang pedang yang baik sekali walaupun terlalu ringan baginya, namun kalau di pergunakan untuk menangkis pedang sinar emas dan pedang sinar perak dari dua orang muda itu, besar sekali kemungkinan akan patah.
Ji Sun Bi yang marah sekali karena sebatang pedangnya terampas, kini sudah maju pula menyerang. Segera Han Siong merasa terdesak bukan main. Dia terpaksa mengeluarkan seluruh ilmu gin-kangnya untuk mengelak ke sana-sini dan hampir tidak lagi mendapatkan kesempatan untuk membalas serangan. Bahkan ketika terpaksa dia menangkis Hong-cu-kiam yang menyambar dahsyat dari belakang, ujung pedang rampasan itu patah, seperti telah di khawatirkannya. Sementara itu, tiga orang tosu itu masih duduk bersila dan kini mereka pun membantu pengeroyokan dengan serangan suara mereka! Mereka itu membuat suara yang seperti tadi, seperti anjing-anjing melolong, mengerikan dan menyanyat hati. Tentu saja hanya Han Siong yang merasakan gangguan ini, karena memang di tujukan kepadanya.
Kalau saja dia tidak sedang dikeroyok tiga lawan tangguh ini sehingga seluruh perhatiannya harus dicurahkah untuk menyelamatkan diri menghadapi serangan mautt itu, tentu dia akan mampu melawan suara yang amat mengganggu itu. Karena serangan suara ini, makin repotlah Han Siong. Akan tetapi, sorak sorai dibarengi api dan asap mengepul dari puncak membuat hatinya lega. Kiranya Ouw Pangcu sudah berhasil menyerang dengan anak panah berapi yang membakar sarang itu, siasat yang dipergunakan untuk memancing keluar seluruh anak buah Kim-lian-pang dan Hek-tok-pang. Tiga orang pengeroyok itu terkejut melihat kepulan asap dari puncak. Akan tetapi, meninggalkan Han Siong yang sudah terdesak itu mereka enggan karena kalau pemuda lihai ini tidak dirobohkan lebih dulu, tetap saja keadaan mereka terancam.
"Mari kita habiskan dia dulu sebelum menyerang yang lain!"
Kata Sim Ki Liong dan diapun mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Murid Pendekar Sadis ini memang lihai bukan main dan di bandingkan Han Siong, selisihnya hanya sedikit saja. Maka, desakannya yang diikuti dua orang lawannya membuat Han Siong kembali terhuyung. Terpaksa Han Siong menggerakkan pedang buntungnya menangkis sinar perak yang menyambar ke arah kepalanya.
"Trakkk!"
Pedangnya kembali patah dan kini hanya tinggal sedikit sisanya. Dia membuang gagang pedang itu dan pada saat itu, ujung sepatu kaki kanan Ki Liong sempat menyambar ke arah pahanya dan diapun terpelanting! Namun, dengan amat cekatan, ketika sinar perak dan sinar emas menyambar, dia sudah melesat lagi ke samping sehingga terhindar dari bahaya maut. Tangannya kini sudah memegang sebatang ranting pohon yang dipatahkannya ketika dia meloncat menghindarkan diri tadi Sebatang ranting lebih berguna daripada pedang rampasan tadi yang kaku. Ranting yang lentur itu, mudah sekali menerima penyaluran tenaga sinkang dan tidak mudah dipatahkan pedang pusaka. Mulailah Han Siong melawan lagi mati-matian. Dia belum mau melarikan diri, hendak memberi kesempatan kepada Ouw Pangcu sampai berhasil menumpas perkumpulan jahat itu.
Tendangan yang mengenai pahanya tadi tidak menimbulkan luka karena dia tadi sudah melindungi pahanya dengan kekebalan sin-kang, dan kini akibatnya hanya mendatangkan rasa nyeri sedikit. Biarpun demikian, tetap saja gerakannya menjadi agak canggung dan dia semakin terdesak! tetutama sekali suara melolong-lolong dari tiga orang tosu itu sungguh membuat dia semakin bingung. Tiba-tiba nampak bayangan biru berkelebat dan tahu-tahu di situ sudah muncul lagi seorang pemuda yang berpakaian biru-biru dengan garis pinggir kuning. Kepala dan mukanya tertutup sebuah caping lebar dan di punggungnya terdapat sebuah buntalan kain kuning. Begitu tiba, pemuda ini tertawa bergelak dan menghampiri tiga orang tosu itu, tangannya membawa sebatang pendek ranting pohon.
"Ha-ha-ha, pantas saja suaranya gaduh sekali. Kiranya ada tiga ekor anjing menggonggong berebut tulang di sini! Nah, ini kuberi tulangnya, boleh kalian tiga ekor anjing memperebutkannya!"
Diapun melemparkan sepotong kayu tadi ke arah tiga orang tosu dan sungguh luar biasa sekali. Tiga orang tosu yang tadi bersila dan bergandeng tangan sambil mengeluarkan suara melolong untuk menyerang Han Siong, kini tiba-tiba saja merangkak-rangkak dan saling memperebutkan kayu itu dengan mulut mereka, presis tiga ekor anjing memperebutkan tulang. Ketika kepala mereka saling bertumbukan, barulah mereka sadar dan mereka saling pandang dengan mata terbelalak.
"Apa... apa yang terjadi...?"
Mereka bertiga berseru dan mendengar suara ketawa, mereka menengok dan melihat seorang pemuda berpakaian biru, memakai caping lebar, berdiri sambil tertawa geli, mentertawakan mereka. Tahulah mereka bahwa pemuda ini yang menjadi gara-gara, yang entah dengan ilmu apa telah memaksa mereka bertiga berlagak seperti tiga ekor anjing!
"Keparat, engKau lah seekor anjing!"
Bentak seorang di antara meteka, setengah balas memaki untuk membalas penghinaan tadi dan setengah juga mempergunakan tenaga sihirnya. Diam-diam pemuda itu mengerahkan kekuatan sihirnya yang hebat dan diapun berkata,
"Benar sekalir Aku seekor anjing raksasa yang akan makan kalian tiga orang pendeta Pek-lian-kauw! Huk-huk-hukk!"
Tiga orang pendeta Pek-lian-kauw itu terbelalak memandang kepada pemuda itu yang tiba-tiba berubah dalam pandangan mata mereka seperti seekor anjing raksasa yang besarnya seperti sebuah rumah gedung, mulutnya terbuka selebar pintu gerbang dengan giginya yang besar-besar. Mereka menjadi pucat seketika, tubuh mereka gemetaran dan seperti dikomando saja, mereka lalu membalikkan tubuh dan lari tunggang langgang jatuh bangun, bahkan ada yang terkencing-kencing saking ngerinya karena merasa seolah-olah napas anjing raksasa telah mendengus-dengus di tengkuk mereka. Pemuda itu tertawa bergelak, penuh kegembiraan. Tiba-tiba Han Siong yang sejak tadi melihat -kehadiran dan perbuatan pemuda berpakaian biru bercaping lebar itu, segera berseru dengan gembira,
"Hentikan main-mainmu itu, Hay Hay dan cepat bantulah aku!"
Pemuda yang disebut Hay Hay itu menoleh dan melihat betapa Han Siong terdesak oleh tiga orang pengeroyoknya, diapun tertawa lagi,
"Ha-ha-ha, Sin-tong (anak ajaib), di mana pedang pusakamu yang ampuh itu? Engkau dikeroyok tiga orang lawan yang menggunakan senjata, bahkan ada pedang pusaka di situ, dan engkau bertangan kosong saja. Salahmu sendiri.
"Sudahlah, bantu aku dan nanti baru kita ngobrol!"
Kata Han Siong lagi dengan mendongkol. Dia begitu terdesak dan dalam bahaya, orang ini malah mengobrol dan bersendau-gurau. Pemuda itu memang Tang Hay atau lebih terkenal di antara tenlan-temannya dengan sebutan Hay Hay saja. Seorang pemuda yang sebaya dengan Han Siong, usia mereka sama, dua puluh dua tahun lebih, wajahnya juga tampan, dadanya bidang tubuhnya sedang dan tegap. Matanya bersinar-sinar selalu, namun kadang mencorong penuh wibawa, dan mututnya tak pernah ditinggalkan senyum manis. Pemuda ini seorang yang amat romantis, juga pengagum keindahan termasuk kecantikan wanita sehingga di manapun dia selalu memuji-muji wanita sehingga dikenal sebagai Pendekar Mata Keranjang,
Walaupun kegenitannya itu mempunyai batas yang kuat sehingga belum pernah dia melanggar, belum pcrnah dia menggauli wanita, baik dengan perkosaan maupun dengan suka rela. Kedekatannya dengan wanita tidak melebihi saling rangkul dan saling cium saja. Tanpa disengaja Hay Hay yang dalam perjalanan mencari ayahnya yaitu Ang-hong-cu, tiba di tempat itu dan melihat pertempuran itu. Dia sedang menuju ke kota raja karena dia sudah mendengar bahwa biarpun tidak ada seorang juga yang mengetahui di mana adanya si Kumbang Merah, jai-hwa-cat yang sudah lama sekali namanya dikenal orang akan tetapi akhir-akhir ini tidak ada kabar ceritanya lagi, namun di kota raja muncul seorang perwira muda disebut Tang-ciangkun yang mengaku sebagai putera Ang-hong-cu.
Biarpun tipis, namun berita ini setidaknya merupakan suatu hal yang perlu diselidiki. Siapa tahu perwira muda Tang itu benar dapat membawa dia kepada jejak Ang-hong-cu! Maka, ketika melihat ada perkelahian di situ, diapun tidak perduli dan akan melewatinya begitu saja, apalagi dia belum melihat jelas dan tidak tahu siapa yang sedang berkelahi. Akan tetapi, dia tertarik oleh suara melolong-lolong yang mengandung getaran aneh dan berwibawa itu. Sebagai seorang yang sudah mempelajari ilmu sihir secara cukup mendalam, dia dapat merasakan ketidakwajaran dalam suara itu dan menduga bahwa suara itu mengandung kekuatan sihir! Maka, diapun tertarik dan mendekat. Setelah mendekat, barulah dia melihat bahwa yang dikeroyok tiga dan terdesak, masih diserang oleh suara mengandung kekuatan sihir pula, bukan lain adalah Pek Han Siong!
Pek Han Siong pernah menuduhnya memperkosa adik kandungnya, yaitu Pek Eng sehingga Han Siong memusuhinya dan mereka telah bertanding dengan hebatnya. Namun akhirnya Han Siong mengetahui bahwa yang memperkosa adik kandungnya sama sekali bukan Hay Hay, melainkan Si Kumbang Merah yang ternyata menurut pengakuan Hay Hay adalah ayah kandung Hay Hay sendiri! Karcna kenyataan itu, maka permusuhan antara merekapun lenyap dan tidak ada saling dendam di antara mereka. Bahkan sesungguhnya, ada hubungan yang amat dekat antara kedua pemuda ini. Sejak kecil, Han Siong di anggap sebagai Sin-tong (anak ajaib) oleh para lama di tibet merasa yakin bahwa Han Siong adalah seorang calon Dalai Lama!
Maka, anak ini di perebutkan dan akan di bawa ke tibet oleh para pendeta Lama. Untuk menyelamatkannya, maka Han Siong di sembunyikan dan sebagai gantinya, orang tuanya mengambil Hay Hay yang ketika itu seorang anak tanpa ayah ibu. Maka, terjadilah hal-hal yang amat menarik seperti di ceritakan dalam kisah Pendekar Mata Keranjang. Setelah keduanya menjadi pemuda dewasa, dalam cara masing-masing, dalam cara hidupnya masing-masing keduanya menjadi pemuda gemblengan yang pandai ilmu silat, bahkan keduanya juga pandai ilmu sihir walaupun dalam hal sihir menyihir ini, tingkat Hay Hay jauh lebih tinggi. Kini Hay Hay tidak mau main-main lagi, apalagi setelah dia melihat dengan penuh perhatian dan mengenal dua orang diantara para pengeroyok itu.
"Wah-wah-wah, bukankah itu Sim Ki Liong murid murtad dari locianpwe Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah? Dan itu yang seorang lagi Ji Sun Bi, si cantik manis yang berhati penuh racun? Hayaa, pantas sekali engkau terdesak, Han Siong. Kiranya para pengeroyokmu adalah dua orang yang teramat jahat. Dan siapa pula yang seorang lagi itu? Heiii! Bukankah itu Hong-cu-kiam yang dibawanya? Dan ilmu silatnya itu! Han Siong, apa kau lupa lagi dan tidak mengenal ilmu silat Cin-ling-pai? Dia seorang tokoh Cin-ling-pai!"
Hay Hay sudah meloncat ke dalam medan perkelahian itu. Dia sendiri tidak pernah menggunakan senjata. Cun Sek yang terkejut dan juga marah melihat betapa pemuda bercaping lebar yang baru muncul ini mengenal pedang dan ilmu silatnya, sudah menyambutnya dengan tusukan pedang yang cepat dan kuat sekali, mengarah dada Hay Hay. Tanpa disadarinya, ucapan Hay Hay tadi memang sengaja menarik perhatian Cun Sek, dia sudah terjatuh ke dalam pengaruh sihir Hay Hay! Melihat tusukan pedang Hong-cu-kiam itu Hay Hay miringkan tubuhnya dan berkata dengan suara nyaring.
"Pedangmu itu buntung, mana bisa untuk menyerangku?"
Cun Sek terbelalak. Dia memandang pedangnya tiba-tiba saja sudah menjadi sebatang pedang buntung yang pendek! Hanya beberapa detik dia termangu, namun ini sudah cukup bagi Hay Hay. Sekali totok ke arah pergelangan tangan yang memegang pedang, Hong-cu-kiam telah berpindah tangan! Barulah Cun Sek sadar dan dia menjadi marah sekali.
"Kembalikan pedangku!"
Bentaknya sambil menerjang dengan tangan kosong. Akan tetapi Hay Hay menggerak-gerakkan pedang Hong-cu-kiam, nampak sinar emas bergulung-gulung mengelilingi tubuh Cun Sek yang menjadi bingung dan khawatir sekali.
"Bret-bret-bret...! Potongan kain berhamburan dan Cun Sek merasa tubuhnya dingin-dingin dan ketika dia memandang, ternyata sinar pedang emas itu telah menelanjanginya! Pakaian luarnya robek-robek dan dia berdiri di situ hanya dengan sebuah celana kotor pendek yang menutup tubuh bawahnya! Hay Hay tertawa-tawa dan kini. dia menunjukan pedangnya untuk menyerang Ki Liong! Ki Liong dan Sun Bi sejak tadi sudah kaget setengah mati ketika melihat munculnya Hay Hay, pemuda yang pernah membuat mereka gentar ketika pemuda ini muncul pula dalam rombongan para pendekar yang membasmi gerombolan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo. Keduanya maklum pula bahwa kemunculan Hay Hay yang diluar dugaan ini akan menghancurkan semua rencana mereka, bahkan kini mereka berada dalam bahaya besar.
Hal ini segera terbukti ketika dengan amat mudahnya Hay Hay telah merampas pedang pusaka Hong-cu-kiam dari tangan Cun Sek yang sudah dibuat tidak berdaya! Cun Sek merasa terkejut dan malu bukan main. Dia lalu menjadi nekat dan sambil mengeluarkan suara menggeram seperti seekor harimau terluka, diapun menubruk dengan nekat ke arah Hay Hay. Akan tetapi, Hay Hay menyambutnya dengan sebuah tendangan dan tubuh Cun Sek terjengkang lalu terbanting keras ke atas tanah. Karena pemuda itu tadi memegang Hong-cu-kiam dan memiliki ilmu silat Cin-ling-pai, tentu saja Hay Hay tidak mau membunuhnya dan hanya merobohkannya tanpa melukai berat. Setelah merobohkan Cun Sek, Hay Hay kembali membalik dan menyerang Ki Liong. Murid Pendekar Sadis ini yang maklum akan kelihaian Hay Hay, menangkis dengan Gin-hwa-kiam.
"Trakkkk!"
Kedua pedang bertemu dan melekat! Ki Liong terkejut dan menarik pedangnya, akan tetapi Hong-cu-kiam yang lemas itu ternyata telah melibat. Ujung Hong-cu-kiam membelit pedang Gin-hwa-kiam seperti seekor ular saja!
"Han siong, cepat kau ambil pedangnya. Pedang itu tidak pantas berada di tangannya. Kita kembalikan kelak ke Pulau Teratai Merah!"
Kata Hay Hay kepada Han siong sambil mempertahankan pedang lawan itu dengan libatan pedangnya. Ji Sun Bi maju menghalang dan menusukkan pedangnya kepada Han siong untuk mencegah pemuda ini mengeroyok Ki Liong. Akan tetapi kini, setelah berhadapan dengan Ji Sun Bi sendiri, Han siong tentu saja memandang ringan wanita itu dan dengan mudah dia membiarkan pedang yang menusuknya itu lewat dan dari samping tangannya menyambar.
"Plakk!"
Pundak Sun Bi terkena tamparan tangan Pek-hong sin-ciang dan ia pun mengeluh lalu roboh terkulai. Han Siong kini menerjang Ki Liong yang masih sibuk menarik Gin-hwa-kiam dari libatan Hong-cu-kiam. Tangan kiri Han Siong mencengkeram ke arah tangan murid Pendekar Sadis itu dan tangan kanannya mencengkeram ke arah pelipis! Menghadapi serangan dahsyat ini, terpaksa Ki Liong melepaskan pedangnya dan berjungkir balik ke belakang. Pedangnya kini sudah berpindah ke tangan Han Siong.
"Ha- ha -ha, bagaimana, Han Siong? Kita bunuh saja tiga ekor ular berbisa ini?"
"Jangan, Hay Hay. Kita bukan pembunuh keji! Kita tangkap saja mereka dan..."
Tiba-tiba nampak seorang pria raksasa meloncat ke depan mereka dan dia mengebutkan sebuah kain. Asap atau debu hitam berhamburan dan terdengar pula suara ledakan yang menimbulkan asap hitam tebal.
"Han Siong, mundur! Debu itu beracun!"
Teriak Hay Hay yang menyambar lengan Han Siong dan mengajaknya melompat jauh ke belakang. Asap hitam menjadi tabir dan membuat mereka tidak dapat melihat ke depan. Akan tetapi Hay Hay melihat kain yang dikebut-kebutkan itu dan dia berbisik.
"Kita serang kain itu dengan pukulan jarak jauh. Mari!"
Keduanya mengerahkan tenaga sin-kang dan mendorong dari tempat mereka berdiri ke arah kain itu. Angin dahsyat menyambar ke arah kain itu dan terdengarlah jerit parau mengerikan di dalam asap hitam yang gelap itu, lalu keadaan menjadi sunyi. Setelah asap hitam lenyap ditiup angin, mereka hanya melihat pria raksasa tadi menggeletak tanpa nyawa di situ dengan muka berubah hitam dan kain itu masih. Menutupi mukanya. Ki Liong, Cun Sek dan Sun Bi telah lenyap tanpa meninggalkan jejak. Kiranya pria raksasa itu adalah Hek-tok Pangcu Cui Bhok yang menolong tiga orang pemimpinnya sedangkan bahan peledak yang mengeluarkan asap hitam tadi dilepas oleh tiga orang tokoh Pek-lian-kauw untuk menolong teman-temannya.
"Hemm, mereka telah lolos! Biar kucari dan kukejar mereka!"
Kata Hay Hay.
"Tidak perlu lagi"
Kata Han Siong.
"Lebih baik kita membantu mereka yang sedang membasmi anak buah Kim-lian-pang yang jahat. Anak buah Hek-tok-pang itu masih berbahaya dikhawatirkan terjatuh banyak korban di antara para penyerbu."
"Kim-lian-pang? Hek-tok-pang? Aku tidak tahu apa yang terjadi."
Hay Hay yang baru datang memang tidak tahu dan bertanya heran.
"Kim-lian-pang anak buah Sim Ki Liong dan Hek-tok-pang anak buah dia yang tewas ini. Sudahlah, nanti saja keterangan lebih lanjut. Aku harus membantu mereka!"
Kata Han Siong yang segera meloncat pergi dari situ.
"Aku membantumu!"
Kata Hay Hay sambil mengejar. Tentu saja dia percaya penuh bahwa yang dibela oleh Han Siong pasti berada di pihak yang benar. Dia sudah mengenal watak Sin-tong ini, seorang pendekar muda gemblengan yang selalu menentang kejahatan. Apa lagi tadi dia sudah membuktikan sendiri bahwa pihak lawan pemuda itu adalah orang-orang yang dia tahu amat jahat, terutama Ji Sun Bi. Dan tentu saja dia mengenal baik siapa Ji Sun Bi! Bagaimana tidak mengenalnya?
Bahkan wanita cantik yang cabul itu dapat dibilang merupakan gurunya dalam bercumbu dan berolah cinta! Wanita pertama kali yang saling peluk dan saling cium dengannya adalah Ji Sun Bi! Kalau saja batinnya tidak kokoh kuat, tentu dia sudah kehilangan perjakanya oleh wanita itu. Dan hampir saja dia diperkosa ketika Ji Sun Bi dibantu mendiang gurunya, Min-san Mo-ko yang membuat dia tidak berdaya dengan sihir. Untung muncul Pek Mau Sanjin, mendiang kakek sakti yang kemudian menjadi gurunya dalam hal ilmu sihir. Dia sudah mengenal. Ji Sun Bi dengan baik dan mengenangkan peristiwa itu saja, sudah tentu dia tidak tega untuk. membunuhnya! Wanita pertama yang mengajarnya tentang permainan asmara! Perhitungan dan siasat yang dipergunakan Ouw Pangcu memang tepat.
Dia dan kawan-kawannya menghujankan anak panah berapi ke puncak dan hal ini memancing semua anak buah Kim-lian-pang dan Hek-tok-pang untuk turun dari puncak, meninggalkan sarang mereka lalu mengamuk dengan penuh kemarahan. Apa lagi setelah mereka lihat betapa pimpinan mereka mengepung seorang pemuda lihai. Hek-tok Pangcu memimpin anak buahnya mengamuk dan tepat seperti di khawatirkan Han Siong, dua, puluh orang Hek-tok-pang dan pemimpin mereka ini merupakan lawan berat yang membuat para penyerbu kewalahan. Akan tetapi karena pihak para penyerbu jauh lebih banyak jumlahnya, dan para penyerbu itu juga terdiri dari para anggota perkumpulan silat yang rata-rata pandai ilmu silat, maka pertempuran berlangsung dengan hebatnya dan di kedua pihak telah jatuh korban belasan orang banyaknya. Munculnya Han Siong dan Hay Hay dalam pertempuran itu pada saat yang amat tepat.
Begitu dua orang pemuda sakti ini terjun ke dalam pertempuran, hanya mempergunakan kaki tangan karena mereka telah menyimpan pedang pusaka yang mereka rampas tadi, tidak ingin mempergunakan pedang pusaka yang bukan milik mereka itu untuk membunuh orang, maka kocar-kacirlah pihak lawan. Semua anak buah Hek-tok-pang roboh dan tewas, dan sebagian besar anak buah Kim-lian-pang juga roboh, sebagian kecil melarikan diri dan ada yang terjun ke dalam jurang untuk menyelamatkan diri. Dipimpin oleh Ouw Pangcu, para penyerbu lalu naik ke puncak Kim-Iian-san, dan dua orang pemuda perkasa itulah yang menjadi pelopor di depan. Merekalah yang meruntuhkan semua penghalang dan jebakan, dan memunahkan segala macam racun yang disebar dengan membakar rumpun semak belukar di sepanjang lorong dan jalan setapak yang menuju ke puncak.
Akhirnya mereka tiba di puncak, di sarang Kim-lian-pang dan ternyata yang tinggal disarang itu hanyalah isteri para anggota dan anak-anak mereka. Ouw Pangcu cepat memberi aba-aba agar tak seorangpun boleh mengganggu mereka! Sikap ini saja sudah membuat Han Siong dan Hay Hay merasa senang sekali, dan mereka tidak merasa menyesal telah membantu gerakan yang dipimpin oleh Ouw Pangcu yang bijaksana itu. Semua harta benda yang berada di sarang Kim-lian-pang, oleh Ouw Pangcu lalu dibagikan kepada keluarga para anggota Kim-lian-pang, dan dia menyuruh mereka semua turun bukit, kemudian dibakarnya sarang. itu, disaksikan oleh semua penyerbu yang bersorak sorai penuh kemenangan dan kepuasan karena mereka semua merasa sakit hati kepada Kim-lian-pang dan kini mereka telah berhasil membalas dendam dan membasmi perkumpulan jahat itu.
Setelah api berkobar membakar sarang gerombolan Kim-lian-pang dan para penyerbu itu bersorak-sorak, tiba-tiba terdengar suara Ouw Pangcu lantang.
"Saudara sekalian, tanpa bantuan dari pendekar besar Pek Han Siong, tidak mungkin kita dapat membasmi gerombolan jahat itu. Mari kita berterima kasih kepada Pek Taihiap!"
Berkata demikian, Ouw PangCu segera menjatuhkan diri berlutut menghadap Pek Han Siong, diikuti oleh puterinya yang gagah tadi juga ikut bertempur dengan gagah dan mati-matian. Mendengar ini, semua anggota penyerbu yang terdiri dari para anggota bermacam perkumpulan segera menjatuhkan diri berlutut dan menghadap pemuda itu. Hanya Han Siong dan Hay Hay saja yang berdiri, sedangkan semua orang berlutut. Melihat ini, Hay Hay tersenyum dan berseru dengan nyaring.
"Hidup pendekar gagah Pek Taihiap!"
Mendengar ini semua orang yang berlutut juga berseru,
"Hidup Pek Taihiap! Hidup Pek Taihiap!"
"Ih, engkau gila!"
Han Siong memaki Hay Hay yang masih cengar-cengir menggodanya, kemudian Han Siong menghampiri Ouw Pangcu dan mengangkat bangun ketua itu dan juga puterinya. Dia ingin membalas kepada Hay Hay, maka katanya dengan lantang.
"Ouw Pangcu dan saudara sekalian harap bangun dan jangan berterima kasih kepadaku saja. Tanpa bantuan pendekar sakti Tang Hay ini, mana aku mampu mengalahkan para pimpinan Kim-lian-pang? Dia inilah yang telah membantuku dan dia yang berjasa besar dalam pertempuran ini. Hidup Pendekar Mata Keranjang Tang Hay!"
Tentu saja semua orang merasa heran dan juga geli mendengar julukan itu. Pendekar Mata Keranjang! Maka, merekapun tidak berani menirukan sorakan Han Siong tadi, khawatir kalau menyinggung hati pemuda berpakaian biru dan bercaping lebar itu. Ouw Pangcu cepat maju memberi hormat kepada Tang Hay.
"Terima kasih atas bantuan Taihiap!"
Katanya, diturut pula oleh Ci Goat, puterinya. Hay Hay memandang kepada Ci Goat dan tersenyum.
"Aih, tidak kusangka bahwa diantara banyak orang gagah ini terdapat pula seorang nona yang gagah perkasa. Han Siong, perkenalkan aku kepada mereka!" Han Siong tersenyum mengejek. Pemuda yang satu ini memang payah, pikirnya.
Tak dapat dia menyangkal bahwa Hay Hay memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, bahkan dia sendiri merasa sukar untuk dapat menandinginya, juga memiliki watak gagah dan bertanggung jawab, seperti yang pernah dibuktikannya dengan mengakui Ang-hong-cu sebagai ayahnya. Akan tetapi satu hal yang membuat dia merasa kecewa, pemuda ini memiliki sifat Mata keranjang yang sudah tidak ketulungan lagi. Bagaikan seekor kumbang yang tak pernah mau melewatkan setangkai kembang yang indah bermadu. Begitu melihat wanita, terus saja tertarik! Memang, harus diakuinya bahwa pada kenyataannya, pemuda ini tidak pernah mengganggu wanita dalam arti kata yang sedalamnya, melainkan hanya iseng saja dan hanya tertarik untuk berdekatan. Namun tentu saja mudah orang menjatuhkan kesalahan kepadanya kalau terjadi sesuatu dengan gadis yang didekatinya.
"Ouw Pangcu dan adik Ci Goat, dia ini adalah seorang pendekar sakti bernama Tang Hay dan berjuluk.."
(Lanjut ke Jilid 14)
Ang Hong Cu (Seri ke 10 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 14
"Aih, tidak ada julukan bagiku, Han Siong, tidak seperti engkau yang dijuluki Sin-tong sejak kecil!"
Hay Hay mencela. Ucapannya ini tentu saja hanya untuk bergurau, dan dia maupun Han Siong tidak menyadari bahwa sendau gurau ini ternyata berakibat panjang. Seorang di antara mereka yang tadi ikut menyerbu, terbelalak mendengar sebutar Sin-tong untuk ke dua kalinya ini, akan tetapi diapun diam saja.
"Hay Hay, ini adalah Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi dan ini adalah nona Ouw Ci Goat, puterinya."
Han Siong memperkenalkan.
"Ouw Pangcu, sungguh beruntung aku dapat berkenalan dengan ketua Pek-tiauw-pang,"
Kata Hay Hay dengan sikap sopan.
"Aihh, Tang-Taihiap. Pek-tiauw-pang kini hanya tinggal namanya saja. Tadinya, yang bersisa dari pembunuhan yang dilakukan Kim-lian-pang hanya tinggal aku, anakku ini dan tiga orang murid. Akan tetapi, kini tiga orang murid itupun gugur dalam pertempuran tadi. Tinggal aku dan puteriku ini, maka mulai saat ini, aku adalah Ouw Lok Khi biasa, bukan lagi seorang pangcu (ketua). Aku sudah terlalu tua untuk membangun lagi Pek-tiauw-pang yang sudah terbasmi habis."
"Ah, kurasa tidak perlu paman Ouw berputus asa. Bukankah di sini masih ada nona Ouw yang gagah perkasa dan cantik jelita, lagi masih muda belia? Dengan bantuannya, apa sukarnya bagi paman untuk membangun lagi perkumpulan?"
Hay Hay berkata dengan ramah. Dia melihat sepasang mata yang jeli itu terbelalak mendengar pujian bagi dirinya, akan tetapi terbelalak heran atas keberanian orang, bukan karena marah!
"Sudahlah, aku sudah menerima kalah. Mari, ji-wi Taihiap, marilah ji-wi (kalian) singgah dulu di rumah muridku Thio Ki yang telah diserahkan kepada kami. Karena diapun gugur, maka rumahnya kini menjadi tempat tinggal kami untuk sementara."
Han Siong hendak menolak, dan hal ini nampak oleh Hay Hay yang bermata tajam, maka Hay Hay cepat mendahuluinya.
"Baiklah, paman, dan nona. Terima kasih atas undangan itu. Mari, Han Siong, kita singgah dulu di rumah paman Ouw untuk mempererat persahabatan."
Tentu saja dengan ucapan seperti itu, Han Siong merasa dilumpuhkan dan tidak berani menolak. Bagaimana dia berani menolak kalau persinggahan itu dimaksudkan untuk mempererat persahabatan? Dia hanya mengerling tajam kepada Hay Hay yang menyeringai lebar karena maklum bahwa kawannya itu mendongkol. Dia merasa heran mengapa dalam pertemuan sekali ini dengan Han Siong, setelah semua rasa curiga dan kemarahan lenyap di antara mereka, dia merasa amat akrab dengan Han Siong, seolah-olah mereka adalah dua orang sahabat lama. Setelah menyerahkan pengurusan para jenazah muridnya dan teman-teman lain kepada para sahabatnya yang ikut dalam penyerbuan,
Ouw Lok Khi dan Ouw Ci Goat lalu mengajak dua orang pemuda perkasa itu ke rumah Thio Ki yang juga gugur. Tiga jenazah murid Pek-tiauw-pang, termasuk jenazah Thio Ki, setelah dirawat, lalu dimasukkan peti dan dibawa ke rumah itu, dijajarkan di serambi depan. Malam itu, banyak kenalan datang untuk memberi penghormatan terakhir kepada ketiga jenazah dalam peti kemas dan pada keesokan harinya, tiga peti jenazah itupun di kuburkan dengan upacara sederhana. Selama itu Hay Hay tanpa rikuh lagi selalu mendekati Ci Goat dan mengajak gadis itu bercakap-cakap dengan sikap ramah dan akrab sekali! Berbeda dengan Han Siong yang selalu menjauhkan diri dari gadis itu karena dia merasa selalu merasa tidak enak berdekatan dengan gadis yang dia ketahui telah jatuh cinta kepadanya itu.
Bahkan melihat gadis itu nampak murung ketika orang-orang mulai menimbuni lubang kuburan tiga orang murid Pek-tiauw-pang itu dengan tanah, ketika gadis itu duduk di bawah pohon untuk berlindungi dari sengatan matahari, Hay Hay mendekatinya dan masih sempat berkelakar, untuk memancing percakapan. Hay Hay juga duduk di atas sebuah batu, dalam jarak tiga meter dari gadis itu dan tanpa rikuh-rikuh dia mengamati wajah gadis yang bulat dan berkulit putih mulus itu. Wajah itu nampak muram dan sinar matanya mengandung kedukaan. Pandang mata orang biasa saja sudah mengandung getaran yang akan terasa oleh orang yang dipandang, apa lagi pandang mata Hay Hay yang matanya memiliki kekuatan sihir yang hebat walaupun dia tidak mempergunakan kekuatannya pada saat itu.
Gadis itu mengangkat muka dan pandang matanya bertemu dengan mata Hay Hay yang tidak menyembunyikan sinar kekagumannya. Melihat betapa mata pemuda itu memandang kepadanya dengan kagum, Ci Goat mengerutkan alisnya. Akan tetapi ia teringat akan ucapan Han Siong yang menjuluki pemuda ini dengan julukan aneh, yaitu Pendekar Mata Keranjang! Dan. Melihat pandang mata itu, tidak aneh kalau dia dijuluki mata keranjang! Ia tidak berani marah, mengingat bahwa pemuda ini juga seorang penolong besar yang membuat ia dan ayahnya berhasil membalas dendam dan menghancurkan perkumpulan kim-lian-pang dan antek-anteknya. Maka ia hanya menundukkan kembali mukanya dengan cepat dan muka yang putih itu berubah kemerahan.
"Heiii, nona Ouw, mengapa bermuram durja? Betapa sayangnya kalau bulan purnama tertutup awan dan matahari terhalang mendung, dunia akan menjadi gelap dan kehilangan serinya! Nona, kenapa berduka pada hal pagi seindah dan secerah ini?"
Kedua pipi yang putih halus itu menjadi semakin merah. Ia diumpamakan bulan dan matahari! Sungguh kata-kata rayuan maut yang akan dapat membuat wanita tergetar dan berlonjak kegirangan penuh bangga.
Akan tetapi Ouw Ci Goat tersipu malu dan melirik ke arah Han Siong yang berdiri dekat mereka yang sedang melakukan pemakaman. Hatinya khawatir. Ia jatuh cinta kepada Han Sion dan kini Pendekar Mata Keranjang mengeluarkan kata-kata yang merayunya. Andaikata bukan pendekar ini yang mengeluarkan kata-kata rayuan itu, tentu akan dijauhinya, tidak diperdulikannya. Akan tetapi Hay Hay adalah seorang pendekar yang berjasa juga seperti Han Siong, dan harus diakuinya bahwa mendengar ucapan manis seperti madu dari seorang pemuda yang demikian gagah perkasa dan gantengnya, sungguh merupakan belaian lembut pada hatinya. Untuk mencegah pemuda itu melanjutkan rayuannya, iapun menjawab dengan sikap, pandang mata, dan nada suara yang serius, bahkan hatinya yang sedang diliputi kedukaan itu membuat kedua matanya basah air mata.
"Taihiap, bagaimana mungkin aku tidak berduka? Aku kehilangan semua saudara anggota Pek-tiauw-pang yang juga menjadi murid-murid ayah, menjadi saudara-saudara seperguruanku. Mereka semua tewas, bahkan tiga orang yang terakhirpun hari ini tewas. Malapetaka besar telah menimpa keluarga kami. Tentu saja aku berduka sekali, Taihiap."
Hay Hay tersenyum,
"Aih, nona Ouw, sungguh sayang menghamburkan air mata dan meremas hati sendiri. Berduka akan membuat wajahmu yang seperti bulan purnama itu menjadi kerut merut, dan akan membuat engkau yang muda belia ini menjadi cepat tua. Nona yang baik, aku ingin bertanya, siapa yang kau tangisi, siapa yang kau sedihkan itu?"
Gadis itu memandang heran. Matanya yang agak kemerahan karena tangis itu agak terbelalak dan Hay Hay memandang kagum. Indahnya mata itu!
"Taihiap, aneh sekali pertanyaanmu itu. Tentu saja yang kutangisi, adalah tiga orang suheng yang tewas itu, semua saudara seperguruanku yang telah tewas oleh para penjahat Kim-lian-pang!"
"Kenapa menangisi mereka yang sudah mati? Apakah kalau ditangisi, mereka akan merasa senang di sana ataukah kalau disedihkan, mereka akan hidup kembali?"
Gadis itu semakin terkejut dan heran.
"Tentu saja tidak! Pertanyaanmu sungguh aneh sekali, Taihiap. Orang di seluruh dunia ini tentu akan bersedih dan menangis kalau kematian orang-orang yang dekat dengan mereka!"
"Ah, jadi kalau begitu engkau bersedih dan menangis karena umum melakukannya? Jadi tangismu itu hanya ikut-ikutan saja? Mari kita bicara tentang kesedihanmu, perasaanmu sendiri, bukan kesedihan orang-orang lain, nona yang baik. Nah, mari kita selidiki. Apakah engkau bersedih untuk mereka? Rasanya tidak mungkin. Mereka telah mati dan engkau tidak tahu keadaan mereka. Yang jelas, mereka tidak menderita lagi dan tidak ada alasan untuk mengasihani mereka. Bahkan, mereka itu mati sebagai orang-orang gagah, sebagai pendekar yang menentang kejahatan. Sepantasnya engkau malah bangga dengan kematian mereka, bukan berduka. Tidakkah benar demikian, nona!"
"Aku... aku tidak tahu... aku menjadi bingung. Rasanya... pendapatmu itu benar, akan tetapi tak mungkin aku berbangga dan tidak berduka. Orang-orang akan menganggap aku tidak wajar..."
"Justeru sebaliknya! Tangismu ini, kalau kau katakan untuk menangisi mereka yang mati, sama sekali tidak wajar bahkan pura-pura! Mari kita membuka mata melihat kenyataan, nona. Coba jenguk perasaan hatimu sendiri. Lihat baik-baik apa yang kau rasakan. Benarkah engkau menangis dan bersedih karena kasihan kepada mereka yang mati? Ataukah engkau bersedih dan menangis untuk dirimu sendiri, karena engkau merasa kehilangan dan merasa kasihan kepada dirimu sendiri? Beranikanlah hatimu dan amatilah baik-baik!"
Gadis itu tertegun. Selama hidupnya, baru sekali ini ia mendengar pendapat yang seperti itu. Bukan, bukan pendapat, melainkan pembukaan kenyataan yang tidak dapat ia bantah lagi. Memang benar, ia menangis dan berduka karena merasa kasihan kepada dirinya sendiri, kepada nasib dirinya, sama sekali bukan menangisi mereka yang mati. Ia berduka karena ia kehilangan saudara dan sahabat baik, karena ia merasa ditinggalkan. Hal ini sekarang nampak jelas.
"Aku... aku menjadi bingung... kata-katamu memang benar, Taihiap. Akan tetapi, apakah aku tidak boleh menangis dan harus bergembira menghadapi kematian para suhengku?"
Hay Hay tersenyum.
"Tidak ada yang menyuruhmu menangis atau tertawa, nona, juga tidak ada yang melarangmu untuk menangis atau tertawa. Tangis dan tawa adalah pencurahan dari keadaan hati dan tidak ada orang lain yang mampu mengatur keadaan hatimu. Yang penting, engkau harus yakin benar apa yang kau tangiskan atau tawakan, agar tangis dan tawamu tidak menjadi palsu."
Gadis itu termenung, wajahnya kosong dan polos dan tiba-tiba Hay Hay tertawa bergelak sehingga gadis itu menjadi semakin heran dan menatap wajah yang tampan itu.
"Ha-ha-ha, coba rasakan, baik-baik, nona. Semenjak kita bercakap-cakap, engkau sama sekali tidak berduka lagi, tidak menangis lagi! Itu menjadi bukti jelas bahwa duka hanyalah permainan pikiran sendiri belaka! Pikiran mengenang hal-hal yang amat tidak menguntungkan diri sendiri. Tadi pikiranmu mengenang tentang kehilangan saudara-saudaramu sehingga timbul iba diri dan pikiranmu seperti meremas-remas hati sendiri, muka timbullah duka. Begitu pikiranmu terisi perhatian untuk percakapan kita tadi, kenangan itu pun hilang dan dukapun lenyap tanpa bekas! Biang keladi susah senang hanyalah kenangan pikiran, didasari rugi untung bagi diri pribadi, keduanya saling berlomba menguasai diri. Akan tetapi, kalau harus memilih, kenapa tidak memilih tersenyum dari pada menangis. Kalau engkau menangis, wajahmu yang cantik itu penuh kerut merut, matamu kemerahan, hidungmu merah dan engkau menyeret orang lain untuk menangis pula. Sebaliknya, kalau engkau tersenyum... hemm, cobalah senyum, nona dunia akan ikut tersenyum bersamamu. Dan wajahmu yang cantik itu akan menjadi semakin manis kalau engkau tersenyum!"
Ci Goat tidak dapat menahan dirinya lagi untuk tidak tersenyum dan Hay Hay terpesona. Manisnya kalau tersenyum gadis itu! Akan tetapi, segera senyum itu lenyap dan Ci Goat berkata lirih, agak cemberut.
"Taihiap harap jangan mempermainkan aku. Kalau ayahku melihat betapa aku senyum-senyum pada saat mereka mengubur jenazah tiga orang suhengku, tentu ayah akan marah, menganggap aku tidak sopan, tidak mengenal aturan, tidak sayang kepada suheng-suhengku bahkan mungkin aku akan dianggap gila! Apa yang harus kujawab kalau ayah atau orang lain bertanya mengapa aku tersenyum-senyum dalam keadaan berkabung seperti ini?"
"Katakan saja bahwa engkau bergembira bahwa tiga orang suhengmu tewas sebagai orang-orang gagah yang menentang kejahatan. Katakan bahwa engkau gembira karena telah menemukan dirimu sendiri seperti apa adanya, tidak berpura-pura, berani melihat kenyataan hidup!"
Hay Hay tersenyum dan kini Ci Goat juga tersenyum. Gadis ini merasa betapa dadanya lapang dan lega, tidak lagi tertindih duka yang ternyata hanya dibuat oleh angan-angan pikirannya sendiri! Ia merasa bebas lepas dan nyaman! Pada saat itu, Han Siong mendekati mereka.
"Wah, ada apa ini kalian amat gembira dan senyum-senyum. Goat-moi, hati-hati jangan sampai terbuai oleh rayuan maut Si Pendekat Mata Keranjang!"
"Ha-ha-ha. Sin-tong! Mana mungkin ia dapat terbuai rayuan? Hatinya sudah melekat pada seseorang, cintanya hanya ditujukan kepada seseorang!"
Tentu saja Ci Goat tersipu malu, ingin membantah akan tetapi karena di situ hadir Han Siong, iapun tidak dapat mengeluarkan kata-kata melainkan,
"Ihh, Taihiap""
"Hay Hay, siapakah seseorang yang kau maksudkan itu?"
Tanyanya ingin tahu karena dia menduga bahwa tentu Hay Hay ngawur saja, hanya untuk mengoda Ci Goat.
Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hemm, jangan kau pura-pura tidak tahu! Siapa lagi kalau bukan Sin-tong Pek Han Siong?"
Han Siong terbelalak, terkejut dan heran. Juga Ci Goat terkejut, akan tetapi ia lalu lari dari situ menuju ke tempat di mana ayahnya dan orang-orang lain sedang menimbuni tiga makam dengan tanah, dengan muka berubah merah sekali.
"Hay Hay, bagaimana engkau bisa tahu? Ataukah engkau ngawur saja?"
Tanya Han Siong sambil mendekati Hay Hay, matanya memandang penuh selidik.
"Tahu apa?"
Hay Hay pura-pura tidak tahu untuk mengoda.
"Tahu bahwa ia mencintaku!"
"Ha-ha, yang matanya tidak buta tentu tahu! Cara ia memandang kepadamu saja sudah jelas, belum lagi kalau ia bicara kepadamu tentu lebih jelas lagi. Pandang mata seorang wanita yang jatuh cinta mudah sekali diketahui rahasia hatinya. Ada kalanya sinar matanya bersinar penuh kagum, penuh harap, penuh penantian. Ada kalanya sinar matanya itu redup seperti orang mengantuk, penuh tantangan, penuh penyerahan, nampak malu-malu, mengandung kegenitan... ah, pendeknya, jelas sekali. Kalau bicara, tentu suaranya akan menggetarkan lagu cinta, disertai senyum dikulum penuh arti, dan andaikata ia hendak menyembunyikan perasaan cintanyapun akan nampak jelas pada pandang matanya dan pada suaranya. Ah, dia jatuh cinta tidak ketulungan lagi kepadamu Sin-tong, dan engkau bahagia sekali. Ia seorang gadis yang cantik manis, gagah perkasa, mudah menerima kebijaksanaan dan... hemm, wanita seperti itu pasti penuh gairah dan panas!"
Hay Hay tertawa dan Han Siong mengerutkan alisnya, wajahnya menjadi muram. Akan tetapi, diam-diam dia heran mendengar ucapan Hay Hay itu yang jelas membuktikan bahwa Hay Hay memang seorang ahli wanita! Untuk menutupi kemuramannya dia tersenyum.
"Hay Hay, engkau sungguh seorang mata keranjang yang ahli wanita. Bagaimana pula engkau bisa tahu tentang penuh gairah dan panas itu?"
Hay Hay tertawa.
"Mudah saja, sudah ada tanda-tandanya. Lihat saja sinar matanya, seperti ada apinya. Lihat saja tarikan mulutnya. Bibir itu penuh gairah dan menantang. Dan bentuk tubuhnya! Hemm, ia seorang wanita pilihan, Han Siong. Sebaiknya engkau cepat memetik bunga yang sedang mekar cerah dan harum semerbak itu!"
Han Siong, menarik napas panjang,
"Engkau benar, Hay Hay. Memang ia jatuh cinta kepadaku, dan inilah yang membuat aku pusing. Aku tidak ingin menyakitkan hatinya, akan tetapi aku...aku tidak mungkin dapat membalas cintanya!"
Kini Hay Hay tertegun, akan tetapi, dia lalu tersenyum.
"Wahai sobat, kiranya engkau sudah jatuh cinta kepada wanita lain?"
Kembali Han Siong terkejut dan mengamati wajah Hay Hay dengan tajam, seolah hendak menjenguk isi hatinya. Kenapa pemuda ini tahu segala?
"Hemm, bagaimana lagi engkau bisa tahu akan hal itu?"
"Ha-ha-ha, engkau memang masih hijau dalam soal asmara, sobat! Kalau ada seorang pemuda menolak cinta seorang gadis sehebat nona Ouw Ci Goat, tentu pemuda itu tidak waras atau miring otaknya! Karena kulihat engkau ini bukan pemuda yang kurang waras atau miring otaknya, maka satu-satunya sebab penolakanmu sudah pasti bahwa engkau telah jatuh cinta kepada wanita lain!"
Han Siong memandang kagum. Hebat anak ini, pikirnya. Otaknya demikian cerdas dan walaupun sikapnya ugal-ugalan dan ceriwis. namun harus diakui bahwa apa yang diucapkannya memang benar. Dia menarik napas panjang dan kembali dia teringat kepada Bi Lian, gadis yang dicintanya.
"Engkau memang benar, Hay Hay. Dan setelah secara hebat dan tepat engkau mengetahui keadaan hati kami, aku ingin minta pertolonganmu. Kau ceritakanlah kepada Ci Goat bahwa aku tidak mungkin dapat menerima cintanya karena aku telah mempunyai pilihan hati gadis lain."
Hay Hay tersenyum.
"Wah, tugas berat itu! Kenapa enckau tidak mau berterus terang saja kedanya?"
"Ih, kau ini bagaimana? Ia belum pernah mengaku cinta, bagaimana aku akan menceritakan bahwa aku tidak dapat menerima cintanya? Pula, aku tidak ingin menyakiti hatinya, dan engkau yang ahli asmara ini tentu akan bisa mencari akal agar ia dapat menerima kenyataan ini dengan tabah dan dapat mengerti penolakanku."
Hay Hay menepuk mulut sendiri.
"Dasar mulut usil! Sekarang tertimpa tugas yang berat."
"Hemm, katakan saja bahwa engkau tidak mampu melakukan itu, tidak perlu sungkan dan mencari alasan!"
Kata Han Siong cemberut.
"He-he-he, siapa bilang tidak mampu? Pekerjaan begitu saja, menghadapi wanita, uhh, sepele bagiku!"
"Nah, jadi engkau mau, bukan?"
Kata Han Siong, kini tersenyum. Hay Hay terbelalak.
"Setan! Engkau memancing kesanggupanku dengan mengatakan aku tidak mampu, ya? Engkau penuh akal bulus dan tipu muslihat, Han Siong!"
Kata Hay Hay tertawa.
"Aku hanya mencontoh engkau!"
"Baiklah, aku menyerah. Aku yang akan menyampaikan kepadanya walaupun hatiku akan hancur lebur jadi debu melihat seorang gadis menangis karena patah hati. Akan tetapi, untuk itu, engkau harus bersabar dan selama beberapa hari kita tinggal di rumah keluarga Ouw. Berilah waktu sepekan untukku."
"Sepekan? Biar sebulanpun boleh. Engkau tinggal di rumah mereka, dan aku melanjutkan perjalananku."
"Enaknya! Kalau begitu, akupun tidak akan sudi! Engkau harus menemani aku di rumah itu sampai aku selesai dengan tugasku. Bagaimana?"
Kembali Han Siong menarik napas panjang.
"Baiklah, Mari kita ke sana, agaknya sudah selesai penguburan itu dan kini tinggal sembahyang sebagai penghormatan terakhir."
Mereka bergandeng tangan sebagai dua orang sahabat yang akrab sekali menuju ke makam baru yang rupanya sudah selesai ditimbuni tanah itu
Memang Hay Hay dan Han Siong saling merasa suka dan akrab, merasa seolah ada pertalian hubungan di antara mereka. Betapa tidak? Sejak terlahir di dunia ini, keduanya memang mempunyai hubungan akrab sekali, jalan hidup mereka saling kait-mengait secara aneh. Memang bukan sanak bukan kadang, akan tetapi sejak lahir sampai menjadi besar. Hay Hay menempati hidup Han Siong dan seolah dia menjadi Han Siong ke dua! Sejak bayi dia dipakai menjadi pengganti Han Siong yang disembunyikan orang tuanya dan dia mengalami banyak sekali hal hebat karena dia disangka Han Siong. Dan setelah dewasa, mereka berdua sama lihainya, memiliki tingkat kepandaian yang berimbang, bahkan keduanya selain menjadi murid orang-orang sakti dan menerima gemblengan ilmu silat, juga keduanya mahir ilmu sihir!
Ketika semua orang selesai bersembahyang di depan tiga buah makam itu untuk memberi penghormatan terakhir, tiba-tiba terdengar suara kelenengan kecil yang nyaring. Semua orang menengok ke arah suara itu dan melihat tiga orang pendeta Lama yang berjubah merah dengan langkah lebar menuju ketempat itu. Melihat mereka itu Han Siong dan Hay Hay saling pandang, dan Hay Hay tersenyum. Keduanya sudah mengenal baik para pendeta Lama yang sejak mereka masih kecil berusaha untuk menemukan dan menculik Sin-tong, yaitu Pek Han Siong. Tak salah lagi, pikir mereka, munculnya tiga orang pendeta Lama itu tentu ada hubungannya dengan urusan lama itu, maka keduanya siap siaga dan waspada. Mereka memperhatikan tiga orang pendeta Lama itu. Seperti pada umumnya, tiga orang pendeta Lama itupun bertubuh jangkung.
Orang pertama tinggi besar seperti raksasa, dengan kaki tangan yang kokoh kuat, sepasang matanya bundar dan amat tajam, mukanya membayangkan kekuatan dan keberingasan, dan memikul sebatang tongkat panjang yang dipasangi kelenengan perak kecil yang mengeluarkan bunyi nyaring kalau dia bergerak, dan di ujung lain dari tongkatnya, tergantung sebuah buntalan yang cukup besar. Raksasa berkulit hitam ini agaknya menjadi pimpinan walaupun usianya sebaya dengan dua orang temannya, yaitu kurang lebih enam puluh tahun. Lama yang kedua berkulit putih, tubuhnya tinggi kurus dan matanya seperti terpejam selalu saking sipitnya dan dia tidak kelihatan membawa senjata apapun. Akan tetapi kalau orang melihat ke arah pinggangnya, orang itu akan merasa ngeri melihat betapa sabuk di pinggang orang tinggi kurus ini adalah seekor ular hidup!
Adapun pendeta yang ke tiga juga bertubuh jangkung, namun agak bongkok sehingga dia seperti seekor onta. Kulitnya kuning dan wajahnya kekanak-kanakan, kecil mengkerut. Di punggungnya tergantung sepasang cakar harimau yang sudah diberi gagang, sepanjang pedang. Ouw Pangcu atau sekarang lebih tepat disebut namanya saja, yaitu Ouw lok Khi karena dia tidak menjadi ketua lagi mengingat betapa semua anak buahnya telah tewas, tinggal dia dan puterinya seorang, segera maju menyambut tiga orang pendeta itu. Dia sendiri merasa heran melihat munculnya tiga orang pendeta, akan tetapi karena yang menyelenggarakan pemakaman untuk tiga orang muridnya adalah dia, maka dia merasa sebagai tuan rumah dan menyambut tiga orang hwesio itu dengan sikap ramah ramah dan sopan.
"Selamat datang, sam-wi Lo-Suhu (tiga bapak guru)! Kami sedang melakukan pemakaman dan sembahyangan untuk tiga orang murid kami yang tewas di tangan gerombolan penjahat. Tidak tahu, apakah keperluan sam-wi (kalian bertiga) datang berkunjung ke tempat pemakaman ini?"
"Omitohud..., semoga yang benar selalu mendapat perlindungan dan berkah! Pinceng (saya) bertiga sengaja datang untuk memberi hadiah penghibur bagi kalian yang berduka, juga untuk menyembahyangkan agar arwah ketiga orang ini mendapatkan tempat yang damai abadi. Nah, sekarang terimalah hadiah penghibur yang kami bawa ini!"
Berbareng dengan habisnya ucapan itu, pendeta Lama yang bertubuh raksasa bermata lebar itu menggerakkan tongkatnya dan buntalan itupun melayang turun ke depan kaki Ouw Lok Khi. Buntalan itu begitu jatuh ke tanah lalu terlepas dan terbuka dan semua orang memandang ngeri melihat bahwa isi buntalan adalah tiga buah kepala orang yang masih segar, leher yang buntung itu masih berdarah, agaknya baru saja tiga buah kepala itu dipenggal dari tubuhnya!
"Ohh...!"
OuW Lok Khi terhuyung mundur dengan mata terbelalak dan muka pucat. Hay Hay dan Han Siong yang sudah siap siaga telah berloncatan kedepan. Sekali lihat saja mereka berdua mengenal tiga buah kepala itu.
"Ini kepala para tosu Pek-lian-kauw ahli sihir itu!"
Seru Hay Hay. Pendeta Lama yang tinggi besar itu tertawa, dan dua orang temannya berdiri seperti patung, hanya menonton.
"Ha-ha, benar sekali, orang muda. Bukankah mereka ini yang menyusahkan kalian? Eh, orang muda yang baik, apakah engkau yang bernama Pek Han Siong?"
Sebelum Hay Hay menjawab, Han Siong yang sudah mempunyai dugaan buruk terhadap semua pendeta Lama, segera menjawab,
"Akulah yang bernama Pek Han Siong! Tidak tahu, sam-wi Lo-Suhu mempunyai keperluan apakah dengan aku?"
Tiga orang pendeta Lama itu memandang kepada Han Siong dengan penuh selidik, kemudian, melihat sinar mata mencorong pemuda itu yang agaknya seperti penuh tantangan, pendeta Lama yang tinggi besar itu lalu berkata ramah.
"Bagus, setelah sekian lamanya kami mencari, kebetulan bertemu di sini. Saudara sekalian, dari juga engkau Pek Han Siong, ketahuilah bahwa kedatangan kami ini mempunyai iktikad baik. Buktinya, kami telah membunuh tiga orang tosu yang telah mengacau di sini dan menimbulkan banyak korban.Terus terang saja, kami senang bertemu dengan Pek Han Siong dan kami ingin membicarakan suatu hal yang amat penting. Akan tetapi sebelum itu, biarlah kami akan membuat sembahyangan dulu agar roh ketiga orang yang mati ini akan mendapat tempat yang tenang abadi."
Setelah berkata demikian, pendeta Lama yang agak bongkok mengeluarkan alat sembahyang dari saku jubahnya yang lebar, dupa dan tempat dupa gantung, dan sebagainya.
Kemudian, disaksikan oleh semua orang, tiga orang pendeta Lama itu melakukan sembahyang dengan upacara yang aneh bagi mereka yang menyaksikan karena upacara sembahyang untuk kematian yang dilakukan para pendeta Lama ini amat berbeda dengan apa yang biasa dilakukan oleh para hwesio. Mereka mengelilingi tiga buah makam itu, mengucapkan doa dan mantram dengan nada dan lagu yang asing. Bagaimanapun juga, Ouw Lok Khi merasa bersukur dan berterima kasih kepada tiga orang pendeta itu. Setelah tiga orang pendeta Lama itu menyelesaikan upacara sembahyang mereka lalu menghampiri Pek Han Siong dan Hay Hay yang sejak tadi menonton upacara itu dengan penuh perhatian.
"Hati-hatilah, Han Siong. Aku merasa curiga kepada mereka. Kurasa mereka datang karena engkau, dan ada hubungannya dengan dirimu sebagai Sin-tong."
Han Siong setuju dengan pendapat Hay Hay itu dan sejak tadi dia memang sudah merasa curiga dan siap siaga. Kini, pendeta yang bertubuh raksasa itu berkata sambil memberi hormat kepadanya.
"Saudara muda Pek Han Siong, kami bertiga mohon agar engkau suka menerima kami yang ingin bicara dengan engkau tanpa kehadiran orang lain, untuk urusan yang teramat penting."
Hay Hay dan Han Siong saling pandang, kemudian Han Siong menjawab.
"Aku tidak berkeberatan untuk bicara dengan sam-wi Lo-Suhu, akan tetapi aku lebih dulu ingin tahu siapa sebenarnya sam-wi ini."
Han Siong yang cerdik agaknya cukup berhati-hati sehingga dia lebih dulu ingin agar Hay Hay juga mendengar siapa adanya mereka sebelum dia mengadakan Pembicaraan sendirian saja bersama tiga orang pendeta asing itu. Mendengar ini, tiga orang pendeta itu juga saling pandang, kemudian orang pertama yang tinggi besar itu menjawab,
"Ketahuilah, saudara muda Pek, kami adalah tiga orang, pendeta dari Tibet. Nama pinceng (aku) adalah Gunga Lama."
"Pinceng bernama Janghau Lama,"
Kata pendeta tinggi kurus yang matanya amat
sipit dan bersabuk ular hidup.
"Dan pinceng bernama Pat Hoa Lama,"
Kata pendeta bongkok yang di punggungnya membawa senjata sepasang cakar harimau. Dari namanya saja dapat diketahui bahwa yang dua orang pertama adalah orang-orang Tibet aseli, sedangkan orang ke tiga adalah peranakan Tibet/Han. Ouw Lok Khi yang merupakan seorang berpengalaman, diam-diam juga merasa curiga melihat tiga orang pendeta Tibet begitu datang lalu ingin bicara dengan Pek Han Siong. Maka, diapun mendahului mereka, setelah mereka memperkenalkan diri, dia maju dan memberi hormat.
"Sam-wi Lo-Suhu, kami berterima kasih sekali kepada sam-wi dan untuk memperlihatkan rasa terima kasih kami, kami mengundang sam-wi untuk menjadi tamu kami dan di sanalah sam-wi dapat bicara dengan leluasa tanpa terganggu dengan Pek- Taihiap. Mari, silakan, sam-wi Lo-Suhu, Pek-Taihiap dan Tang-Taihiap."
Diam-diam dua orang pendekar muda itu bersukur akan sikap hati-hati dari bekas ketua Pek-tiauw-pang itu. Tiga orang pendeta itu tertegun, akan tetapi setelah saling pandang, mereka mengangguk dan tanpa benyak cakap mereka semua lalu bubaran, meninggalkan kuburan untuk kembali ke rumah masing-masing. Tiga orang pendeta itu ikut bersama Ouw Lok Khi dan Ouw Ci Goat, juga Han Siong dan Hay Hay berjalan mengikuti mereka, dan mereka berdua berjalan paling belakang.
"Hay Hay, kurasa mereka tidak berniat buruk walaupun aku akan berhati-hati sekali menghadapi mereka. Engkau jangan lupa tugasmu!"
"Tugas...? Ah, nona Ouw maksudmu? Jangan khawatir. Kita membagi tugas, engkau bicara dengan tiga orang pendeta Lama itu dan aku bicara dengan Ouw Ci Goat. He-he, tugasku lebih menyenangkan, berdekatan dan bercakap-cakap dengan gadis cantik manis, sedangkan engkau... heh-heh!"
Pendekar Mata Keranjang Eps 40 Pendekar Mata Keranjang Eps 6 Pendekar Mata Keranjang Eps 31