Ceritasilat Novel Online

Pendekar Mata Keranjang 12


Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 12



Han Siong merasa mendongkol juga. Kakek ini selain kasar, juga mau enaknya sendiri saja, tidak menghormati dan menghargai keperluan orang lain. Dia mengamati boneka salju yang runtuh karena saljunya merekah atau terlepas, untuk menyatakan kedongkolan hatinya, dia menjawab.

   "Boneka salju itu tidak dapat dibilang bagus."

   Mendengar jawaban ini, kakek gendut itu melotot memandang kepada Han Siong, kelihatan marah sekali.

   "Apa...?"

   Dia berteriak.

   "Engkau tidak dapat menghargai hasil karya seniku yang hebat ini? Sungguh goblok, sungguh tolol, sungguh tidak berselera tinggi! Hasil karya seni yang begini hebat, timbul dari inspirasi murni, kau katakan tidak bagus, hah?"

   Melihat orang itu marah-marah, Han Siong terkejut. Dia tidak ingin membuat orang marah, apalagi kalau sampai terjadi pertengkaran, maka cepat dia berkata.

   "Locianpwe, bagaimanapun juga, harus kuakui bahwa boneka salju buatan Locianpwe ini mirip sekali dengan Locianpwe."

   Dan pujian ini memang bukan kosong belaka. Memang boneka itu mirip sekali penciptanya, baik bentuk badannya, mukanya dan kepalanya. Akan tetapi, betapa kaget hati Han Siong ketika dia melihat kakek itu kini menjadi semakin marah, membanting-banting kakinya dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung Han Siong.

   "Bocah kemarin sore, kau berani menghina kakek-kakek macam aku ya? Dua kali engkau menghinaku. Pertama, engkau tidak menghargai karya seniku yang agung, dan ke dua, engkau samakan aku dengan sebuah boneka salju yang tidak bernyawa! Sungguh kurang ajar engkau, ya?"

   Hampir saja Han Siong tertawa. Kakek ini memang aneh dan mau enak sendiri, akan tetapi kemarahannya itu disebabkan oleh hal-hal yahg aneh dan tak masuk akal, seperti anak kecil saja. Maka timbullah kegembiraannya dalam usahanya untuk menyenangkan hati kakek itu. Dua kali dia salah omong, walaupun maksudnya baik untuk memuji. Pertama kali dia bicara sejujurnya diterima salah, kemudian untuk kedua kalinya dia bicara untuk menyenangkan hati dan memuji, diterima salah pula. Dia lalu mengerahkan tenaga batinnya seperti yang diajarkan oleh subonya, menunjuk ke arah boneka salju dan dengan suara yang halus namun mengandung wibawa untuk menguasai pikiraan orang, dia berkata,

   "Locianpwe, siapa bilang boneka salju itu tidak bernyawa? Lihat, dia pandai berjalan!"

   Kakek itu menengok memandang dan benar saja, dia melihat betapa boneka salju buatannya tadi kini berjalan-jalan, dengan langkah satu-satu, lucu sekali! Han Siong telah mempergunakan kekuatan sihirnya, seperti yang dipelajarinya dari subonya, membuat boneka salju itu berjalan-jalan dalam pandang mata kakek yang kasar dan galak itu. Kakek itu terbelalak, lalu sengaja berjalan di belakang boneka itu sambil tertawa-tawa ha-ha-he-he, sehingga nampaklah pemandangan yang lucu sekali. Sepasang kakek kembar, yang satu dari salju, yang satu manusia tulen, berbaris ke kanan-kiri hilir-mudik. Lucunya, kakek gendut bahkan kini memberi aba-aba.

   "Satu, dua, tu-wa, tu-wa...!"

   Melihat ini, Han Siong merasa geli akan tetapi juga kasihan, maka dia tersenyum lebar dan menghentikan ilmu sihirnya. Akan tetapi, kini dia terbelalak dan mukanya berubah karena dia terkejut bukan main dan merasa terheran-heran. Boneka salju itu tidak berhenti melangkah, melainkan masih terus melangkah dan kakek gendut itu masih mengikuti di belakangnya sambil berseru,

   "Tu-wa, tu-wa, tu-wa!"

   Dan tertawa-tawa! Tentu saja Han Siong merasa terkejut dan heran. Boneka salju itu tadi berjalan karena pengaruh sihirnya. Akan tetapi mengapa setetah dia menghentikan pengerahan tenaga sihirnya, boneka salju itu masih berjalan terus? Dia terbelalak memandang akan tetapi kakek gendut itu tetap tertawa bergelak, bahkan kini mengeluarkan kata-kata parau.

   "Ha-ha-ha-ha! Boneka salju ini dapat berjalan, bukan hanya berjalan bahkan dapat menyerang dan bermain-main dengan orang muda yang lancang, ha-ha!"

   Kini boneka salju itu berjalan dengan langkah lebar menghampiri Han Siong, kemudian menyerang Han Siong dengan gerakan yang cepat dan kuat sekali! Tentu saja hal ini mengejutkan pemuda itu dan cepat dia mengelak dengan loncatan ke samping, lalu kakinya melayang, menendang ke arah perut boneka salju itu dengan cepat.

   "Prokkk...!"

   Boneka salju itu hancur berhamburan dan Han Siong melompat ke belakang, masih terheran-heran mengapa boneka salju yang tadi disihirnya sehingga dapat berjalan itu, tahu-tahu dapat mengamuk setelah dia tidak menyihirnya! Akan tetapi Han Siong seorang pemuda yang amat cerdik. Dia sudah dapat menduga bahwa tentu kakek gendut itulah yang main-main dengan dia. Tentu kakek itulah yang mempergunakan kekuatan sihir yang lebih ampuh daripada kekuatannya sendiri untuk melanjutkan permainan itu, juga untuk mengejeknya. Pantas kakek itu tadi mengatakan bahwa dia lancang! Kakek gendut itu kini terbelalak, marah melihat betapa boneka kesayangannya yang dinamakannya sendiri sebagai hasil karya seni agung itu dirusak orang. Sambil bertolak pinggang dan menggembungkan perutnya yang sudah gendut, dia berteriak.

   "Orang muda yang jahat! Engkau berani merusak boneka saljuku?"

   "Maaf, Locianpwe.."

   "Apa maaf! Tidak ada maaf bagimu! Engkau tadi telah menyamakan aku dengan boneka salju, bahkan engkau telah mencela pula mengatakan buatanku, hasil karya seni yang agung itu tidak bagus. Engkau harus dihajar!"

   "Maaf, saya tidak sengaja untuk membikin Locianpwe marah "

   "Sengaja atau tidak, aku sudah marah sekarang. Nah, kau lihat seranganku. Aku harus membalas dendam kehancuran bonoka salju."

   Berkata demikian, tiba-tiba tubuh yang gendut itu menerjang ke depan, seperti sebuah bola besar menggelinding dan tahu-tahu, dua buah lengan yang besar pendek telah menyerang dari atas bawah, kanan kiri dan serangan kedua tangan itu mendatangkan angin Pukulan berdesir yang mengandung hawa panas! Dengan gerakan yang halus namun cepat, Han Siong sudah cepat mengelak dengan menggeser kakinya dan meloncat ke kiri. Pukulan kedua tangan itu meluncur lewat dan ketika hawa Pukulan yang ganas itu menyambar dan mengenai salju yang menempel pada batang pohon,

   Salju itu pun mencair dan nampaklah kulit batang yang kehitaman! Diam-diam Han Siong terkejut bukan main. Itulah Pukulan yang amat ampuh, yang mengandung tenaga sinkang yang luar biasa. Maka dia pun cepat mainkan Pek-sim-kun yang dipelajarinya dari catatan kakek buyutnya. Tiga belas jurus Pek-sim-kun ini adalah perasan dari Ilmu Silat Pek-sim-kun, merupakan intinya, karena itu hebatnya bukan kepalang. Melihat gerakan pemuda itu, yang dilakukan dengan mantap, cepat dan mengandung sinkang yang kuat, kakek gendut itu mengimbanginya dengan elakan dan tangkisan yang kuat pula, dan membalas dengan Pukulan-Pukulan yang gayanya mirip dengan Pek-sim-kun. Tahulah Han Siong bahwa kakek ini pandai pula dengan ilmu silat Siauw-lim-pai, maka dia bersilat dengan hati-hati dan berganti-ganti memainkan jurus Pek-sim-kun yang tiga belas banyaknya itu.

   "Wuuuuutttt..!"

   Angin Pukulan keras menyambar ketika Han Siong menyondongkan tubuh ke depan, lengan kanannya menyambar dari sampinK dengan dahsyatnya, meninju ke arah pelipis lawan sedangkan tangan kirinya membuat gerakan terputar di depan dada, lalu meluncur ke bawah sebagai serangan susulan, menghantam dengan telapak tangan terbuka ke arah pusar. Hebat sekali jurus tangan terbuka dari Pek-sim-kun ini. Kakek gendut menyambutnya dengan tangkisan sambil mengeluarkan seruan kagum.

   "Dukk! Desss...!"

   Benturan dua tenaga dahsyat membuat bumi di bawah mereka seolah-olah tergetar dan kakek gendut ini melangkah rnundur tiga tindak, sedangkan Han Siong agak terhuyung saking hebatnya tenaga lawan yang menangkisnya.

   "Ha-ha-ha, ilmu silatmu hebat, berdasarkan ilmu Siauw-lim-pai. Sungguh engkau seorang pemuda yang mengagumkan, akan tetapi juga menjengkelkan karena engkau telah mengganggu aku!"

   Kini Han Siong sudah merasa yakin bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek sakti, maka kesempatan ini dia pergunakan untuk berkata.

   "Harap Locianpwe memaafkan kelancangan saya tadi..."

   "Enak saja. tidak ada maaf-maafan, hayo sambut seranganku ini!"

   Kata kakek itu yang agaknya timbul kegembiraannya karena mendapatkan seorang lawan tangguh dan kini tubuhnya sudah "menggelinding"

   Lagi ke depan, mengirim serangan yang lebih dahsyat daripada tadi. Melihat ini, Han Siong mengerutkan alisnya. Agaknya kakek itu bersungguh-sungguh hendak membunuh atau melukainya, maka dia pun terpaksa harus membela diri. Dan karena lawannya bukan orang sembarangan, serangannya amat berbahaya, dia pun cepat mengerahkan semua tenaga dan kini dia mainkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari suhu dan subonya selama delapan tahun ini di kuil Siauw-lim-pai, di dalam kamar Penebus Dosa.

   Harus diketahui bahwa selain ilmu-ilmu yang cukup bersih yang dulu diperolehnya dari gurunya, yaitu Ciu-sian Lo-kai, Siangkoan Ci Kang juga memiliki ilmu-ilmu dari ayahnya, seorang datuk sesat yang berjuluk Iblis Buta. Ilmu-ilmu dari ayahnya ini banyak yang bersifat kotor dan kejam. Semua ilmu ini oleh Siangkoan Ci Kang diajarkan kepada Han Siong sehingga pemuda ini selain menerima ilmu yang bersih, juga menerima ilmu silat yang sifatnya kotor dan curang, seperti biasa sifat ilmu-ilmu berkelahi dari golongan sesat. Apalagi dari subonya, dia memperoleh ilmu-ilmu kesaktian yang ganas sekali mengingat bahwa subonya adalah anak tunggal dari mendiang Raja dan Ratu Iblis. Maka ketika kini dia mengeluarkan ilmu-ilmunya, kakek gendut itu beberapa kali mengeluarkan seruan kaget dan heran.

   "Ihh, ganas, keji... Ilmu setan! Ilmu iblis!"

   Berkali-kali kakek itu berseru penasaran sambil mengelak atau menangkis. Mendengar seruan-seruan ini, Han Siong merasa malu juga. Dia pun sudah mendapat penjelasan dari suhu dan subonya akan sifat ilmu-ilmu yang dipelajarinya. Bahkan suhunya berkata antara lain demikian.

   "Baik buruk atau baik jahatnya suatu ilmu tergantung dari penggunaannya, muridku, tergantung daripada manusianya yang mempergunakan ilmu itu. Akan tetapi harus diketahui bahwa dalam ilmu silat, memang terdapat ilmu-ilmu yang sifatnya memang jahat, kejam, curang dan licik. Ilmu-ilmu silat semacam itu dipergunakan oleh kaum atau golongan sesat. Karena kami berdua memiliki lebih banyak ilmu silat kaum sesat itu, maka kami ajarkan keduanya kepadamu dengan harapan agar engkau mengerti benar bahwa yang penting adalah penggunaannya. Pergunakanlah ilmu-ilmu itu untuk membela kebenaran dan keadilan, sedangkan ilmu silat yang sesat itu dapat kau pergunakan untuk menghadapi lawan golongan sesat dan untuk memperoleh kemenangan dalam suatu perkelahian. Akan tetapi jangan sekali-kali dipergunakan untuk kejahatan, karena betapapun bersihnya suatu ilmu, kalau dipergunakan untuk kejahatan, ilmu itu pun menjadi ilmu kotor."

   Kini, teringat akan pesan gurunya, Han Siong merasa malu. Kakek yang menjadi lawannya ini adalah orang aneh yang memaksanya bertanding. Akan tetapi dia belum mengenalnya, belum tahu dari golongan mana kakek ini. Maka, memalukan kalau dia harus mengeluarkan ilmu-ilmu yang bersifat curang dan kejam itu. Cepat dia pun merobah gerakannya dan kini Han Siong bersilat dengan gerakan yang lemah lembut, halus seperti orang menari, namun di balik kehalusan itu tersembunyi kekuatan yang dahsyat. Itulah Ilmu Silat Kwan-im-kun! Kakek gendut itu mengeluarkan seruan kaget dan heran ketika Han Siong pertama kali mengeluarkan jurus Ilmu Silat Kwan-im-kun, dan dia selalu mengelak dengan loncatan-loncatan ke kanan kiri dan setelah dia yakin benar akan ilmu silat pemuda itu, tiba-tiba tubuhnya meloncat jauh ke belakang.

   "Haiii, engkau mainkan ilmu silat dari Kwan Im Nio-nio! Ia itu apamukah?"

   Tanyanya dengan mata terbelalak. Mendengar nama ini, Han Siong terus terang menjawb,

   "Saya tidak mengenal Kwan Im Nio-nio, Locianpwe."

   "Mustahil! Jangan bohong kau! Engkau memainkan ilmu silatnya dan engkau mengatakan tidak mengenal pemiliknya? Kalau begitu, tentu engkau mencuri ilmunya itu!"

   "Saya mempelajarinya dari Suhu dan Subo."

   "Siapa nama Suhu dan Subomu? Apakah mereka itu murid Kwan Im Nio-nio? Rasanya tidak mungkin. Perempuan angkuh itu tidak pernah mau mempunyai murid, katanya ingin membawa mati semua ilmunya."

   "Bukan, Locianpwe. Suhu bernama Siangkoan Ci Kang dan Subo bernama Toan Hui Cu, dan mereka secara kebetulan saja menemukan kitab-kitab ilmu yang saya mainkan tadi."

   "Di mana ditemukannya? Dan apakah Kwan Im Nio-nio masih hidup? Hayo ceritakan semua, orang muda."

   Kakek itu kini bersikap ramah dan dia duduk begitu saja di atas tanah yang tertutup salju, wajahnya seperti seorang anak kecil yang siap mendengarkan dongeng yang menarik. Melihat ini legalah hati Han Siong. Agaknya kakek aneh ini, sudah tidak memusuhinya lagi, maka dia pun lalu duduk di atas sebuah batu karena dia tidak ingin membiarkan celananya basah seperti kakek itu. Dia lalu menceritakan tentang pengalaman suhu dan subonya menemukan kitab-kitab dan pedang seperti yang diceritakan oleh mereka kepadanya. Secara kebetulan dan tidak disengaja, ketika Siangkoan Ci Kang memeriksa kamar di mana dia harus menjalani hukuman, dia menemukan kitab-kitab yang ada gambarnya Kwan Im Pouwsat.

   Bersama Toan Hui Cu dia lalu mempelajari dua buah kitab itu yang mereka nama kan Kwan-im-kun dan Kwan-im Kiam-sut sesuai dengan gambar-gambar Kwan Im Pouwsat yang menghias sampul-sampul dua buah kitab itu. Kemudian, beberapa tahun kermudian, giliran Toan Hui Cu yang menemukan lubang rahasia di kamar ia menjalani hukumannya. Ketika ia membongkarnya, lubang di lantai itu menembus ke sebuah kamar di bawah tanah dan di situ ia menemukan rangka manusia yang masih mengenakan pakaian seperti pakaian Dewi Kwan Im Pouwsat, dan di atas pangkuan kerangka manusia itu ia menemukan sebatang pedang tipis pendek. Itulah pedang yang mereka namakan pedang Kwan-im-kiam yang kemudian mereka berikan kepada Han Siong sebagai tanda ikatan jodoh antara murid mereka itu dengan puteri mereka yang hilang diculik orang.

   "Demikianlah, Locianpwe. Saya mewarisi kedua ilmu itu bersama pedangnya dari Suhu dan Subo yang menemukan semua itu di dalam kamar-kamar mereka di kuil Siauw-lim-si."

   Han Siong mengakhiri ceritanya tanpa menyebut tentang ikatan jodoh itu tentu saja. Kakek gendut itu tiba-tiba menangis! Tentu saja Han Siong menjadi bengong. Dia mengamati dengan penuh perhatian, mengira bahwa kakek sakti ini tentu seorang yang sudah miring otaknya, atau memiliki watak yang demikian anehnya sehingga mendekati gila. Kakek yang duduk di atas tanah bersalju itu menangis dengan kedua punggung tangan menghapus air mata, pundaknya bergoyang-goyang, perutnya yang gendut itu bergerak-gerak, persis seperti seorang anak kecil, dari mulutnya keluar suara tangisan yang parau. Diam-diam keadaan ini menimbulkan keharuan dalam hati Han Siong. Patut dikasihani kakek itu,pikirnya.

   "Aihhh, perempuan, memang aneh sekali...!"

   Kakek itu kini berhenti menangis dan bicara seperti kepada diri sendiri.

   "Kwan Im Nio-nio, nenek tua bangka, kenapa engkau menyiksa dirimu sampai demikian rupa? Hemm, aku mengerti, engkau agaknya hendak menghabiskan sisa umurmu untuk menebus dosa di dalam kuil, membawa ilmumu dan pedangmu mengubur diri di dalam kuil. Akan tetapi, ternyata ada orang-orang yang berjodoh denganmu sehingga mewarisi pedang dan ilmu-ilmumu."

   Kembali dia terisak. Han Siong membiarkan saja kakek itu menangis sampai akhirnya dia berhenti menangis, memandang kepadanya dengan mata merah.

   "Orang muda, siapakah namamu?"

   "Nama saya Pek Han Siong, Locianpwe."

   Kakek itu terbelalak dan memandang tajam.

   "Engkau she Pek? Kalau begitu ilmu silatmu yang pertama tadi adalah ilmu silat dari Pek-sim-pang? Engkau masih ada hubungan dengan para ketua-ketua Pek-sim-pang?"

   "Saya adalah keturunan Ketua Pek-sim-pang."

   "Ehhh...?"

   Tiba-tiba kakek itu menggerakkan kedua tangannya ke depan dada, membuat gerakan-gerakan aneh dengan kedua tangannya sehingga Han Siong mengikuti gerakan-gerakan itu dengan heran.

   "Jangan bergerak!"

   Kakek itu membentak dan tubuhnya sudah menerjang ke depan. Han Siong terkejut sekali ketika hendak mengelak, tiba-tiba tubuhnya tak dapat digerakkan! Dia segera sadar bahwa kakek itu telah menggunakan kekuatan sihir ketika berteriak melarang dia bergerak tadi. Dia pun segera mengerahkan kekuatan batinnya untuk melawan, akan tetapi ketika akhirnya dia mampu bergerak, baju di punggungnya sudah dirobek oleh kakek itu.

   "Aih, benar .!"

   Kakek itu berteriak kaget.

   "Ada tanda merah di punggungmu dan engkau keturunan ketua Pek-sim-pang."

   Dan tiba-tiba saja kakek gendut itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Han Siong! Tentu saja Han Siong terkeut bukan main.

   "Locianpwe... harap... harap jangan melakukan ini...!"

   Serunya.

   "Paduka adalah Sin-tong yang telah lama menggegerkan seluruh daerah barat, sudah sepatutnya kalau saya menghormati paduka dan sudah sepatutnya kalau saya menyerahkan seluruh kepandaian yang ada kepada paduka..."

   Celaka, pikir Han Siong. Kakek ini benar-benar sinting!

   "Locianpwe, bangkitlah dan mari kita bicara dengan baik-baik.."

   "Tidak, saya tidak akan bangkit lagi sampai mati sebelum paduka menyatakan mau menerima ilmu-ilmu yang akan saya ajarkan kepada paduka."

   Gila, pikir Han Siong. Ini namanya dunia dan aturannya sudah terbalik semua. Biasanya, seorang calon murid yang memohon sambil berlutut agar diterima menjadi murid. Akan tetapi kini kakek yang sinting ini bahkan berlutut dan mohon kepadanya agar suka menerima ilmu-ilmu yang akan diajarkan oleh kakek itu kepadanya! Akan tetapi apa salahnya? Kakek ini sakti, dan agaknya mengenal baik pemilik kitab-kitab Kwan-im-kun yang namanya Kwan Im Nio-nio itu.

   "Baik, Locianpwe, saya suka mempelajari ilmu-ilmu dari Locianpwe, akan tetapi ada syaratnya."

   "Silakan sebutkan apa syarat itu. Berbahagialah saya kalau dapat memberi bimbingan kepada Sin-tong!"

   Kakek itu bicara dengan suara yang gembira bukan main!

   "Syaratnya ada dua: Pertama, saya hanya akan belajar satu tahun saja kepada Locianpwe karena banyak urusan harus saya selesaikan. Ke dua: Locianpwe agar bersikap biasa seperti seorang guru terhadap murid, jangan menyebut Sin-tong kepada saya, melainkan menyebut nama saya saja, dan saya akan menyebut Suhu kepada Locianpwe. Bagaimana?"

   Kakek itu menarik napas panjang.

   "Syarat ke dua itu berat, akan tetapi baiklah, Han Siong."

   Kakek itu bangkit berdiri dan kini Han Siong yang cepat berlutut dan memberi hormat sambil menyebut "Suhu!.

   "Mari kita duduk dan bicara. Aku ingin sekali mendengar tentang dirimu, Han Siong. Ah, betapa banyak sudah aku mendengar tentang dirimu yang dijadikan rebutan oleh semua orang gagah di dunia barat. Selama ini, di mana saja engkau bersembunyi?"

   Karena dia sudah mengangkat kakek itu menjadi gurunya, maka Han Siong pun tidak mau merahasiakan lagi keadaan dirinya. Dia lalu menceritakan betapa sejak bayi dia dirawat oleh kakek buyutnya bernama Pek Khun yang mengajaknya bertapa di Pegunungan Kun-lun-san, kemudian betapa dia oleh kakek buyutnya dikirim ke kuil Siauw-lim-pai di Pegunungan Heng-tuan-san dan menjadi kacung di kuil sana.

   "Di kuil itulah teecu (murid) bertemu dengan Suhu Siangkoan Ci Kang dan Subo Toan Hui Cu, menerima pelajaran ilmu-ilmu silat di samping teecu juga tekun mempelajari ilmu-ilmu kebudayaan dari kitab-kitab di dalam kuil, di bawah bimbingan para hwesio di sana. Setelah tamat belajar, barulah Suhu dan Subo menyuruh teecu untuk keluar dari kuil dan mencari keluarga teecu, yaitu keluarga Pek di Kong-goan."

   Kakek itu mengangguk-angguk.

   "Agaknya Subo dan Suhumu itu orang-orang yang baik dan juga cerdas sekali. Akan tetapi bagaimana engkau dapat mempelajari ilmu sihir seperti yang kau pergunakan untuk menghidupkan boneka saljuku tadi?"

   "Teecu mempelajarinya sedikit dari Subo. Ketika Subo menjalani hukuman di kuil Siauw-lim-si, ia juga banyak membaca kitab-kitab dan ia menemukan kitab yang mengatakan bahwa dalam diri setiap orang terdapat kekuatan gaib yang tersembunyi. Subo sendiri adalah keturunan orang-orang sakti yang diam-diam memiliki kekuatan gaib yang amat kuat. Mulailah Subo melatih diri membangkitkan kekuatan gaibnya dan dia pun mulai mempelajari ilmu sihir di dalam Kamar Penebusan Dosa itu dan dari Subo teecu mempelajari sedikit ilmu sihir yang tidak ada artinya dibandingkan dengan ilmu sihir dari Suhu sendiri."

   "Hemmm, Subomu itu she Toan, ya? Aku seperti pernah mendengar akan kehebatan orang-orang dari keluarga Toan, kalau tak salah keluarga pangeran..."

   "Tidak salah, Suhu. Subo Toan Hui Cu adalah puteri mendiang Pangeran Toan Jit-ong yang berjuluk Raja Iblis.."

   "Ya Tuhan.. Benar, Raja dan Ratu Iblis..!"

   Kakek itu terbelalak dan mengangkat kedua tangan ke atas saking kagetnya.

   "Pantas saja ilmu-ilmu silatmu bermacam-macam, dan banyak yang merupakan ilmu yang sesat! Untung Suhu dan Subomu itu menemukan ilmu peninggalan Kwan Im Nio-nio dan diajarkan kepadamu, dan untung pula engkau bertemu dengan aku. Ketahuilah, Han Siong. Kwan Im Nio-nio dan aku adalah dua orang di antara orang-orang yang dijuluki Delapan Dewa."

   Han Siong memandang kagum, akan tetapi terus terang menjawab,

   "Suhu dan Subo di dalam kuil banyak bercerita kepada teecu tentang tokoh-tokoh di dunia persilatan, akan tetapi terus terang saja, teecu belum pernah mendengar akan nama Delapan Dewa."

   Kakek itu menarik napas panjang.

   "Salah kami sendiri. Puluhan tahun yang lalu kami pernah memperoleh nama besar dan disegani oleh seluruh golongan di dunia persilatan. Akan tetapi pada suatu hari kami bertemu dan bentrok dengan Raja dan Ratu Iblis. Kami mengadu ilmu dengan mereka dengan perjanjian bahwa siapa yang kalah harus pergi bertapa dan tidak boleh lagi muncul di dunia persilatan. Dan kami kalah! Kami memegang janji. Masing-masing pergi bertapa dan memperdalam ilmu silat. Setelah kami memperoleh ilmu-ilmu yang tinggi, ternyata Raja dan Ratu Iblis telah tewas di tangan pendekar-pendekar muda. Demikianlah, kami sudah terlanjur suka bertapa dan tidak muncul lagi di dunia persilatan."

   Han Siong mendengarkan dengan kagum. Mereka tentulah orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan sehingga mereka setia terhadap janji sendiri sampai rela menderita dan mengasingkan diri.

   "Siapakah tokoh yang lain dari Delapan Dewa kecuali Suhu dan Locianpwe Kwan Im Nio-nio?"

   Tanyanya. Kakek gendut itu menarik napas panjang.

   "Nama Delapan Dewa yang tadinya gemilang itu telah menjadi muram, bahkan tenggelam dan lenyap setelah kami ditaklukkan oleh Raja dan Ratu Iblis. Kami cerai berai, pergi bertapa dan tidak saling berhubungan lagi sampai puluhan tahun. Di antara kami yang delapan orang, hanya terdapat dua orang wanitanya, yaitu Kwan Im Nio-nio dan In Liong Nio. Yang enam orang sisanya adalah pria semua, susunannya seperti ini. Aku sendiri disebut orang Ban Hok Lojin atau juga diejek dengan sebutan Ji-lai-hud, kemudian Ciu-sian Lo-kai atau Ciu-sian Sin-kai, Go-bi San-jin yang kabarnya sekarang telah masuk menjadi pendeta Lama berjuluk See-thian Lama, Wu-yi Lo-jin, Siang-kiang Lo-jin, dan Sian-eng-cu The Kok. Nah, itulah nama-nama Delapan Dewa yang sudah lama meninggalkan dunia ramai. Akan tetapi selama ini aku tidak pernah bertemu atau berhubungan dengan mereka, hanya kabarnya empat di antara kami, yaitu Go-bi San-jin, Ciu-sian Sin-kai, Wu-yi Lo-jin, dan Siang-kiang Lo-jin, ikut pula membantu ketika para pendekar muda yang menjadi murid-murid mereka membasmi Raja dan Ratu Iblis bersama gerombolannya. Sekarang aku tidak tahu di mana mereka, masih hidup ataukah sudah mati semua seperti Kwan Im Nio-nio."

   Kembali kakek gendut itu menarik napas panjang, akan tetapi wajahnya sudah cerah kembali dan senyum menghias mulutnya. Han Siong menjadi semakin kagum Kiranya kakek yang menjadi gurunya ini adalah seorang sakti dan dia pun girang bukan main.

   "Semoga dalam waktu setahun teecu akan menerima petunjuk-petunjuk yang berharga dari Suhu."

   "Ilmu silatmu sudah tinggi tingkatnya, Han Siong. Kalau engkau sudah menguasainya dengan sempurna, agaknya aku sendiri pun tidak akan menang darimu. Sayang engkau terlalu banyak mempelajari ilmu-ilmu sesat, untuk itu aku akan mengajarkan ilmu silat Pek-hong-sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) kepadamu. Dan ilmu sihirmu itu jangan kau pergunakan. Aku akan mengajarmu untuk mempergunakan tenaga batin yang bersih untuk menghadapi segala macam kekuatan ilmu hitam."

   "Suhu, apakah perbedaan antara sihir putih dan sihir hitam? Antara kekuatan bersih dan kekuatan kotor?"

   Han Siong merasa penasaran dan bertanya.

   "Sudah kukatakan tadi bahwa bersih dan kotornya suatu ilmu tergantung daripada watak orang yang mempergunakannya. Akan tetapi yang dinamakan ilmu silat kotor adalah ilmu silat di mana dipergunakan segala kecurangan, alat-alat rahasia, racun-racun, cara-cara yang penuh tipu muslihat licik. Sebaliknya ilmu silat bersih adalah ilmu silat yang berdasarkan kekuatan yang terlatih, gerakan-gerakan yang kuat dan cepat, kewaspadaan yang membuat gerakan menjadi tepat, tanpa mempergunakan cara-cara curang untuk mengalahkan lawan. Sihir putih adalah penggunaan kekuatan batin yang terhimpun di dalam tubuh, mempergunakan kekuasaan dan kekuatan alam dengan dasar iman dan kepercayaan kepada Tuhan dan para dewa. Sebaliknya sihir hitam adalah penggunaan kekuatan yang datang dari setan-setan, roh jahat, dan segala macam kekuatan gaib yang mendorong pemakainya ke arah perbuatan jahat."

   Mulai hari itu, kembali Han Siong menerima gemblengan, sekali Ini dari seorang di antara Delapan Dewa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dia belajar dengan amat tekun, di dalam sebuah guha di puncak bukit yang sunyi.

   Sungai itu mengalir dari Pegunungan Min-san dan sungai itu disebut Sungai Min-kiang. Ketika sungai itu tiba di dalam sebuah hutan di kaki Pegunungan Min-san, airnya masih jernih, belum dikotori sampah-sampah seperti kalau sudah melewati banyak dusun dan kota. Apalagi daerah itu merupakan pegunungan yang tanahnya dari tanah keras, tidak berlumpur sehingga airnya nampak jernih mengalir riang di antara batu-batu dan dasarnya pun nampak. Sudah lebih dari setengah jam wanita itu mengintai pemuda yang sedang duduk di tepi sungai, di atas rumput tebal. Pemuda itu sedang memancing ikan seorang diri, nampaknya benar-benar dapat menikmati kesunyian dan keindahan keadaan di tepi Sungai Min-kiang di dalam hutan yang teduh itu.

   Air demikian jernihnya sehingga penuh dengan bayangan pohon-pohon di atasnya, bergerak-gerak sedikit karena tenangnya air yang mengalir perlahan. Aliran yang lambat ini, ditambah akar-akar pohon yang menciptakan tempat tinggal yang amat menyenangkan bagi ikan-ikan, apalagi bagian itu agak dalam, membuat tempat itu dihuni banyak ikan. Tidak mengherankan kalau dalam waktu setengah jam saja, pemuda itu telah berhasil mengangkat tiga ekor ikan yang lumayan besarnya. Wanita itu mengintai dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri. Ia melihat betapa pemuda itu mengeluarkan teriakan girang dan kembali dia telah berhasil mendapatkan seekor ikan lagi, ikan yang kulitnya putih seperti perak, dengan perut kuning.

   "Ha, seekor lagi saja aku akan pesta! Lima ekor sudah lebih dari cukup!"

   Katanya.

   "Marilah manis, kau sambar umpanku!"

   Pemuda itu tersenyum-senyum penuh kegembiraan dan sepasang mata yang mengintai itu menjadi semakin kagum. Wanita yang mengintai itu kini berindap-indap mendekati, akan tetapi tetap saja ia melakukannya sambil bersembunyi, menyelinap di antara pohon-pohon, batu-batu dan semak-semak belukar. Gerakannya demikian ringan sehingga tidak menimbulkan suara dan akhirnya ia dapat bersembunyi di balik semak-semak terdekat, dapat memandang pemuda yang sedang memancing ikan itu dengan jelas sekali.

   Dan semakin jelas ia memandang, makin kagumlah ia, wajahnya makin berseri, mulutnya tersenyum dan matanya bersinar-sinar. Seorang pemuda yang tampan dan gagah. Biarpun sedang duduk seenaknya di atas rumput, nampak betapa bidang dada itu, betapa tegap tubuh yang bentuknya sedang itu. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh gairah hidup, mulutnya yang berbentuk manis itu selalu mengembangkan senyum, hidungnya mancung dan wajahnya membayangkan kejantanan dengan dagu yang dapat mengeras dan agak berlekuk di tengahnya. Senyumnya manis dan memikat. Pakaiannya berwarna biru muda dengan garis-garis kuning emas di tepinya. Sebuah buntalan pakaian terletak di sebelahnya. Usianya kurang lebih dua puluh tahun. Wanita yang mengintai itu pun bukan wanita sembarangan.

   Dari pakaiannya saja mudah diduga bahwa ia bukanlah penghuni dusun atau wanita gunung sederhana, melainkan seorang wanita yang biasa tinggal di kota. Apalagi kalau melihat gelung rambutnya yang tinggi dan dihias seekor burung Hong dari emas dan permata yang tentu amat mahal harganya. Ia juga membawa sebuah buntalan kain panjang yang digendong di belakang punggungnya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa wanita itu pun seorang yang sedang melakukan perjalanan jauh dan membawa bekal pakaian. Akan tetapi, pakaian yang menempel di tubuhnya nampak bersih, demikian pula sepatunya yang kecil dan baru. Wajahnya bulat dengan kulit yang putih halus, dibuat semakin putih halus karena dibedaki. Sepasang matanya agak lebar dan penuh sinar dan gairah hidup, penuh semangat, juga sepasang bola matanya dapat bergerak lincah, tanda bahwa wanita ini biasa mempergunakan kecerdikannya.

   Alisnya kecil melengkung hitam, lengkung yang tidak wajar, dibuat dengan cara mencabuti sebagian rambut alisnya. Sepasang pipinya nampak segar kemerahan, bukan karena pemerah pipi. Hidungnya kecil mancung, ujungnya agak mencuat ke atas menjadi penambah manis, mulutnya kecil dengan bibir yang merah basah dan selalu agak terbuka seperti orang terengah, menimbulkan sifat menantang. Wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun ini memang memiliki wajah yang manis sekali. Juga bentuk tubuhnya padat dan ramping menggairahkan, dengan lekuk-lengkung yang sexy, bagian dada dan pinggul membusung, pinggangnya amat kecil seperti pinggang tawon kemit. Pemuda yang sedang memancing ikan itu adalah Hay Hay! Memang pemuda ini memiliki wajah, bentuk tubuh dan pembawaan yang amat menarik hati bagi kaum wanita.

   Wajahnya yang tampan selalu cerah, pandang matanya selalu penuh gairah dan semangat, bibirnya selalu dibayangi senyum ramah. Seperti kita ketahui, Hay Hay melakukan perjalanan ke daerah itu untuk mencari keluarga Pek di Kong-goan. Ketika tiba di tepi sungai itu, dia melihat gerakan banyak ikan dan tertarik oleh keadaan yang indah dan nyaman, dia pun merasa lapar sekali dan segera dia membuat pancing sederhana dari peniti, tali dan ranting. Peniti dibentuk mata kail dan dengan cacing yang mudah didapatkan di tepi suhgai, dia pun mengail dan berhasil menangkap empat ekor ikan dada kuning. Dia tidak akan patut disebut murid dari dua orang sakti, dua di antara Delapan Dewa, kalau saja dia tidak tahu bahwa ada orang sedang mengintainya. Sejak tadi pun dia sudah tahu dan hal ini membuat Hay Hay menjadi semakin gembira.

   Pemandangan alam di tempat itu demikian indah, hawanya sejuk nyaman, memancing ikan pun berhasil menangkap ikan-ikan yang gemuk, dan kini ada seorang wanita yang mengintainya pula! Dengan ujung matanya, dia tadi sekelebatan dapat menangkap bayangan pengintainya, dan tahu bahwa pengintai itu seorang wanita. Akan tetapi tentu saja dia tidak tahu siapa dan jantungnya berdegup agak keras penuh kegembiraan yang menegangkan ketika dia menduga pahwa bayangan itu mungkin saja Bi Lian, gadis cantik jelita yang amat menarik hati itu. Akan tetapi dia membantah sendiri dugaan itu. Kalau Bi Lian, tidak mungkin gadis itu demikian bodoh uhtuk mengintainya seperti itu. Bukankah Bi Lian sudah tahu bahwa dia memiliki kepandaian sehingga kalau diintai seperti itu akan mengetahuinya?

   Dan pula, apa perlunya Bi Lian mengintai seperti Itu? Gadis itu tentu akan langsung saja menemuinya kalau hal itu dikehendakinya. Bukan, wanita itu bukan Bi Lian, dan pendapat ini mendatangkan kegembiraan di hati Hay Hay. Membayangkan akan bertemu dengan seorang wanita lain yang penuh rahasia, belum apa-apa sudah membuatnya bergembira. Wanita merupakan mahluk yang selalu menarik perhatiannya. Tiba-tiba tali pancingnya bergerak, seekor ikan yang agaknya berat dan lebih besar daripada empat ekor yang sudah ditangkapnya, bergantung di mata kailnya. Dengan gerakan cepat Hay Hay menarik tangkai pancingnya sehingga mata kailnya mengail mulut ikan dan dia meneruskannya dengan gerakan kuat sehingga terlemparlah seekor ikan yang benar saja lebih besar daripada tadi, ke atas. Hay Hay sengaja melepaskan ranting yang menjadi tangkai pancing sambil berteriak,

   "Ohh, terlepas...!"

   Ikan berikut tali dan tangkai pancing itu meluncur ke arah semak-semak di mana wanita itu bersembunyi! Tiba-tiba sebuah tangan yang kecil halus namun cekatan, menyambut dan menangkap tangkai pancing dan nampaklah seorang wanita muncul di balik semak-semak, memegang setangkai pancing di ujung mana nampak seekor ikan besar menggelepar-gelepar. Sambil tersenyum penuh daya pikat, wanita itu kini menghampiri Hay Hay, membawa ikan di ujung pancing itu.

   
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ikan yang besar, gemuk dan mulus, tentu enak sekali!"

   Wanita itu berkata, senyumnya melebar membuat mulutnya merekah dan nampak rongga mulut yang merah sekali, dengan deretan gigi yang berkilauan dan putih rapi. Hay Hay memandang dengan bengong. Dia seperti terpesona oleh kecantikan wanita yang kini sudah berdiri di depannya. Sejenak pandang matanya menjelajahi wanita itu dari ujung kaki sampai ke ujung rambut, kadang-kadang berhenti agak lama di bagian-bagian tertentu yang menarik, dan akhirnya dia menarik napas panjang.

   "Ya ampun Dewi..., Paduka ini Dewi Air ataukah Dewi Hutan yang sengaja turun dari kahyangan hendak memberi anugerah ikan gemuk kepada hamba?"

   Tentu saja Hay Hay hanya main-main dan berkelakar karena dia sudah tahu bahwa wanita ini sejak tadi mengintainya, akan tetapi dia jujur dengan pandang matanya yang penuh kagum karena memang wanita ini cantik manis dan menggairahkan, penuh daya tarik kewanitaan seperti sekuntum bunga yang selain indah juga harum semerbak. Mula-mula sepasang mata yang lebar itu terbelalak heran mendengar ucapan itu, kemudian menjadi kemerahan, bukan karena marah melainkan karena bangga dan girang bukan main. Wanita itu terkekeh sambil memasang aksi, menutupi mulutnya dengan punggung tangan kiri.

   "Kenapa engkau menganggap aku Dewi Air atau Dewi Hutan yang baru turun dari kahyangan?"

   Tanyanya, suaranya merdu sekali seperti suara rebab digesek. Dengan terbuka Hay Hay mengagumi mata, hidung dan mulut itu. Anak rambut membentuk sinom di sepanjang pelipis, di atas dahi dan di belakang telinga itu pun manis sekali, melingkar-lingkar seperti dilukis saja, nampak hitam indah dilatar-belakangi kulit yang putih kuning mulus.

   "Karena rasanya tidak mungkin ada seorang gadis secantik Paduka. Hanya bidadari dan para dewi kahyangan sajalah kiranya yang dapat memiliki kecantikan seperti ini."

   Hay Hay memang pandai sekali merayu, bukan rayuan kosong, melainkan kata-kata manis dan pujian yang muncul dari lubuk hatinya. Dalam pandang matanya, wanita itu seperti bunga. Mana ada bunga yang buruk? Semua bunga, setiap kuntum bunga pasti indah, walaupun keindahannya berbeda-beda. Demikian pula wanita. Tidak ada yang buruk, walaupun kemanisannya pun berbeda-beda. Ada yang terletak pada matanya, pada hidungnya, pada mulutnya, atau rambutnya, kulitnya. Akan tetapi wanita di depannya ini memiliki keindahan di banyak bagian! Wajah yang manis itu semakin gembira berseri, dan matanya menjadi semakin ta jam bersinar-sinar.

   "Aihh, orang muda, engkau sungguh terlalu memujiku. Aku seorang manusia biasa seperti engkau. Kebetulan saja aku dapat menangkap pancing dan ikanmu yang terlempar tadi. Nah, terimalah kembali pancingmu."

   Wanita itu menyerahkan pancing dengan ikan yang menggelepar-gelepar itu, diterima dengan gembira oleh Hay Hay yang tersenyum ramah.

   "Terima kasih Nona. Ya Tuhan, hampir aku tidak percaya bahwa Nona seorang manusia. Kemunculanmu demikian tiba-tiba dan kecantikanmu... hemmm, sukar untuk dipercaya!"

   Wanita itu sudah seringkali menghadapi laki-laki yang kurang ajar dan tidak sopan, yang memuji kecantikannya untuk merayu dan menarik perhatian. Akan tetapi baru sekarang dia bertemu dengan pemuda yang memuji kecantikannya sedemikian jujur terbuka, dengan mata yang sama sekali tidak membayangkan kekurangajaran, seperti mata setiap laki-laki yang selalu menyembunyikan tantangan, ajakan dan uluran tangan! Maka ia menjadi semakin gembira walaupun mulutnya pura-pura cemberut ketika ia berkata.

   "Ihhh, orang muda, jangan terlampau memuji, membuat aku merasa rikuh saja."

   "Aku tidak memuji kosong, Nona. Dan kuharap Nona tidak menyebut aku orang muda. Aihhh, seolah-olah Nona lebih tua saja dariku. Padahal, paling-paling usia kita sebaya."

   Tentu saja Hay Hay dapat menduga bahwa wanita itu agak lebih tua darinya, namun ia tahu bahwa paling tidak enak bagi wanita kalau diingatkan tentang usianya yang sudah lebih tua. Pula, wanita di depannya ini memang masih nampak muda sekali dan memang pantas kalau dikatakan sebaya dengannya. Wanita itu tersenyum, manis sekali.

   "Pemuda yang tampan dan ganteng, berapakah usiamu sekarang?"

   Jantung di dalam dada Hay Hay berdebar dan dia merasa aneh. Betapa beraninya wanita ini. Memujinya sebagai tampan dan ganteng, juga menanyakan usianya! Wah, sungguh seorang wanita yang tidak malu-malu lagi, seorang yang agaknya sudah berpengalaman!

   "Berapa menurut dugaanmu, Nona yang cantik jelita?"

   "Hemm, kiranya tidak akan lebih dari sembilan belas atau delapan belas tahun."

   "Ha, dugaanmu keliru dan aku lebih tua dari itu, Nona. Usiaku sudah dua puluh tahun!"

   Hay Hay tertawa dan balas bertanya.

   "Dan berapakah usiamu, Nona?"

   "Berapa menurut dugaanmu, pemuda yang tampan menarik?"

   Tanya wanita itu menirukan kata-kata dan gaya Hay Hay tadi. Kembali pandang mata Hay Hay menjelajahi seluruh tubuh wanita itu, kemudian dia mengangguk-angguk.

   "Paling banyak dua puluh tahun, Nona."

   Wanita itu tersenyum semakin manis. Agaknya penaksiran itu menyenangkan hatinya.

   "Lebih berapa tahun lagi. Aku lebih tua darimu."

   "Aku tidak percaya!"

   Hay Hay berseru penasaran. Karena dia menggerakkan tangkai pancing, ikan itu meronta-ronta dan agaknya baru dia teringat akan ikan itu.

   "Hi-hik, mau diapakan sih ikan itu?"

   Si Wanita bertanya menggoda.

   "Wah, aku sampai lupa. Oh, ya, karena engkau baik sekali, Nona, dan sudah membantuku menangkap ikan yang terlepas ini, biarlah kuundang engkau untuk makan bersamaku. Daging ikan-ikan ini tentu enak sekali."

   Wanita itu memandang dengan mata bersinar-sinar.

   "Bagaimana engkau hendak memasaknya?"

   Hay Hay mengangkat dada dan menepuk dadanya.

   "Jangan khawatir. Aku ahli masak! Tunggu sebentar dan bantulah aku menghabiskan daging ikan-ikan ini sebagai teman roti kering dan anggur. Pasti lezat sekali!"

   Wanita itu menelan ludah, nampak berselera sekali.

   "Tentu saja lezat."

   "Kau tunggu sebentar, Nona."

   Hay Hay yang sudah menjadi gembira bukan main menemukan seorang kawan baik, seorang wanita cantik untuk teman bercakap-cakap di tempat yang sunyi indah itu, segera bekerja. Selama beberapa tahun menjadi murid See-thian Lama, dia hidup berdua saja dengan gurunya itu dan dialah yang melayani suhunya, dia yang masak setiap hari sehingga dia memang dapat dikata ahli masak.

   Apalagi ketika dia mengikuti gurunya yang ke dua, Ciu-sian Sin-kai, kakek berpakaian gembel yang sesungguhnya merupakan to-cu (majikan pulau) dari Pulau Hiu dan hidup serba cukup, dia pun mempelajari masak dari juru-juru masak suhunya itu. Ketika tinggal di Pulau Hiu, tentu saja dia sering ikut menangkap ikan dan memasak ikan, maka dia tahu banyak cara memasak ikan. Setiap macam ikan memerlukan cara memasak yang khusus baru akan le zat dan cocok sekali. Dan di dalam perantauannya, dia tidak melupakan bekal bumbu-bumbu yang diperlukan. Dia memang suka akan segala yang indah, segala yang enak, dapat menikmati kehidupan ini biarpun berada dalam keadaan yang bagaimanapun juga. Wanita itu lalu melepaskan buntalan panjang dari punggungnya, meletakkannya di tepi sungai dan ia pun duduk di atas akar pohon sambil mengikuti gerakan-gerakan Hay Hay dengan sepasang mata yang bersinar-sinar dan wajah berseri.

   Pandang matanya penuh kekaguman ketika ia melihat betapa pemuda itu dengan cekatan membersihkan lima ekor ikan itu, menggunakan sebatang pisau yang dikeluarkan dari buntalan pakaiannya, kemudian menaburi ikan-ikan itu dengan bumbu dan garam, dan memanggangnya di atas bara api. Segera bau yang amat sedap menyerang hidungnya dan wanita itu tiba-tiba saja merasa betapa perutnya sudah lapar sekali! Mulutnya terasa basah oleh ludah karena ia sudah mengilar ingin merasakan bagaimana lezatnya ikan panggang itu. Sambil kadang-kadang memandang kepada wanita itu dengan senyum, sekali dua kali dia mengedipkan matanya memberi tanda agar wanita itu bersabar, Hay Hay mempersiapkan makan untuk mereka. Roti kering dan anggur dikeluarkan dan ikan panggang ditaruh di dalam sebuah piring, dikeluarkannya pula bumbu dan saus yang selalu berada dalam perbekalannya.

   "Mari silakan, Nona. Kita makan seadanya."

   Hay Hay mempersilakan dengan sikap ramah. Wanita itu tersenyum, bangkit dengan gerakan lemah gemulai dan setengah menggeliat sehingga nampaklah tonjolan-tonjolan tubuhnya hendak menembus bajunya yang ketat dari sutera tipis. Hay Hay tidak pura-pura, dia memandangi itu semua dengan penuh kagum.

   "Eh, sobat, apa yang kau pandang?"

   Tiba-tiba wanita itu bertanya, pura-pura marah padahal hatinya senang bukan main.

   "Apa yang kupandang?"

   Hay Hay sama sekali tidak merasa gugup.

   "Apa lagi kalau bukan keindahan tubuhmu, Nona? Engkau seorang gadis yang beruntung sekali, dianugerahi wajah cantik manis dan tubuh yang indah. Sungguh lengkap. Eh, mari, mari kita makan, selagi daging ikannya masih panas."

   Tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi wanita itu pun duduk di atas rumput, berhadapan dengan Hay Hay terhalang makanan yang diletakkan di atas rumput pula.

   Gadis itu menerima pemberian roti kering dan memilih panggang ikan yang nampak menimbulkan selera. Mereka makan dan minum bersama, tanpa kata-kata. Wanita itu hanya mengeluarkan kata pujian karena memang daging ikan itu enak sekali. Belum pernah rasanya ia makan seenak ini! Padahal hanya roti kering dan panggang ikan saja, akan tetapi demikian nikmat, terasa lezatnya di setiap kunyahan. Lima ekor ikan itu pun habis mereka makan, ditambah empat potong roti kering besar dan beberapa cawan anggur yang manis. Setelah selesai makan-makan, keduanya membersihkan tangan dan mulut di sungai itu, dengan air sungai yang jernih. Kemudian keduanya duduk di tepi sungai, berhadapan dan mulailah mereka bercakap-cakap.

   "Hi-hik, alangkah lucunya!"

   Tiba-tiba gadis itu berkata, menutup mulut dengan punggung tangan kiri ketika ia tertawa. Hay Hay mengangkat muka dan memandang.

   "Apanya yang lucu, Nona?" "Kita sudah makan bersama."

   "Apa salahnya dengan itu?"

   "Kita sudah saling mengetahui usia masing-masing."

   "Wajar dalam perkenalan, akan tetapi aku belum mengetahui dengan pasti berapa usiamu.."

   "Itu tidak penting. Akan tetapi anehnya, kita belum saling mengenal nama."

   Hay Hay tertawa. Dia memang sengaja tadi. Bagaimanapun juga, keadaan wanita ini mencurigakan. Wanita itu ketika mengintainya, dapat bergerak dengan cepat dan amat ringan, itu saja menunjukkan bahwa wanita ini tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan dia belum tahu siapa wanita ini, dari golongan mana, dan berdiri di pihak mana, kawan ataukah lawan. Karena itu, dia harus berhati-hati dan biarlah wanita ini yang lebih dahulu memperkenalkan diri. Maka dia pun tidak pernah memperkenalkan diri dan sekarang dia tertawa seperti baru melihat kelucuan keadaan mereka.

   "Ah, benar juga! Aku merasa seolah-olah kita sudah menjadi sahabat baik selama puluhan tahun! Ha-ha, Nona yang baik, siapakah Anda? Di mana tempat tinggal, datang dari mana dan hendak ke mana?"

   Gadis itu tertawa pula dan kini ia tidak lagi bersusah payah menutupi mulutnya dan Hay Hay melihat betapa manis dan menggairahkan mulut itu kalau tertawa.

   "Hi-hi-hik, pertanyaanmu menyerangku seperti ombak samudera saja. Sebaiknya kita saling mengenal nama lebih dulu. Namaku Sun Bi she Ji."

   "Ji Sun Bi... hemmm, nama yang indah dan cantik, secantik orangnya."

   Hay Hay memuji sambil mengangguk-angguk.

   "Sekarang giliranmu. Siapakah namamu?"

   Wanita yang bernama Ji Sun Bi itu bertanya.

   "Namaku? Namaku Hay!

   "Hay siapa??"

   "Yah, Hay saja."

   "She mu apa?"

   Hay Hay menggeleng kepalanya.

   "Aku sendiri pun tidak tahu, Sun Bi."

   Kata Hay Hay, menyebut nama gadis itu begitu saja seolah-olah mereka telah menjadi kenalan lama, dan hal ini membuat Ji Sun Bi merasa senang sekali. Kalau pemuda itu menyebutnya Enci (Kakak) misalnya, ia akan merasa tidak enak, seolah-olah diingatkan bahwa ia lebih tua.

   "Ah, mustahil orang tidak mengetahui shenya sendiri! Siapa nama ayahmu?"

   Hay Hay menggeleng kepala, mengangkat pundak dan mengembangkan kedua lengannya.

   "Aku sungguh tidak tahu. Aku tidak pernah mengenal Ayah Ibuku, sejak bayi aku dibawa orang lain dan sekarang aku sedang mencari orang tuaku. Aku tidak tahu she apa. Namaku hanya Hay saja, begitulah."

   "Lalu aku harus menyebutmu bagaimana?"

   "Ya, sebut saja Hay, atau biasa orang memanggil aku Hay Hay."

   "Hay Hay... hemm, enak juga kedengarannya. Baiklah, Hay Hay. Sekarang kita telah benar-benar saling berkenalan dan menjadi sahabat. Secara kebetulan saja kita saling berjumpa di sini dan menjadi sahabat baik. Engkau datang dari mana dan hendak pergi ke manakah?"

   "Aku tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, Sun Bi. Sudah kukatakan bahwa aku sedang mencari orang tuaku, setelah selama dua puluh tahun ini aku selalu ikut orang lain. Aku belum tahu di mana adanya orang tuaku, apakah mereka masih hidup. Aku hidup sebatang kara di dunia ini, tidak punya keluarga tidak punya tempat tinggal. Ah, tidak menarik. bukan? Lebih baik kita bicara tentang dirimu, tentu lebih menarik."

   "Aihh, kasihan sekali engkau, Hay Hay."

   Sun Bi berkata dengan suara halus dan nampak terharu, lalu tangannya diulur dan menyentuh lengan Hay Hay. Terasa hangat dan halus tangan itu, dan Hay Hay pun diam saja, hanya memandang tangan yang memiliki jari-jari yang kecil mungil. Ingin dia tahu sampai di mana besarnya kekuatan yang tersembunyi di dalam jari-jari tangan kecil mungil ini.

   "Tidak perlu dikasihani. Aku hidup cukup bahagia, setiap hari aku hidup di alam bebas, bergembira melihat segala keindahan, burung-burung di udara binatang-binatang di hutan, kembang-kembang, air sungai yang jernih, gadis yang manis seperti engkau. Bukankah semua itu menyenangkan? Sekarang ceritakanlah, dari mana engkau datang dan hendak ke mana Sun Bi?"

   Ditanya demikian, tiba-tiba wajah yang tadinya berseri itu menjadi murung dan gadis itu kini menundukkan mukanya dan perlahan-lahan dua titik air mata menuruni kedua pipinya. Dua butir air mata itu dihapusnya dengan sehelai sapu tangan sutera, dan terdengar Wanlta itu berkata dengan suara yang penuh duka.

   "Aihhh... Hay Hay, aku adalah seorang wanita yang paling sengsara di dunia.."

   Hay Hay mengerutkan alisnya dan berusaha untuk menatap wajah itu penuh selidik. Akan tetapi wajah itu menunduk terus.

   "Sun Bi, apakah yang telah terjadi? Mengapa engkau merasa sengsara?"

   Dengan suara sedih dan kadang-kadang mengusap air matanya, Sun Bi lalu berkata.

   "Aku adalah wanita yang paling sengsara, Hay Hay. Baru menikah beberapa bulan saja, suamiku terserang penyakit berat dan meninggal dunia. Orang tuaku dan mertuaku menganggap aku seorang yang membawa kesialan dan aku lalu diusir pergi. Demikianlah, aku merantau seorang diri, sebatang kara, seperti juga engkau... hanya aku membawa kepedihan hati sebagai seorang janda muda tanpa ada yang melindungi... tanpa ada yang menghibur kedukaanku..."

   Sun Bi lalu menangis lagi, sekali ini tangisnya sesenggukan dan menyedihkan sekali. Kedua tangannya dipergunakan untuk menutupi kedua matanya dan air mata bercucuran melalui kedua tanganhya. Hay Hay merasa kasihan, juga penasaran sekali.

   "Hemm, suamimu meninggal dunia karena sakit berat, kenapa engkau yang dipersalahkan?"

   Mendengar ucapan Hay Hay yang penuh perasaan itu, tiba-tiba Sun Bi terisak semakin keras. Hay Hay mendekat dan menyentuh pundaknya.

   "Sudahlah, Sun Bi. Mati hidup seseorang berada di tangan Tuhan, diratap-tangisi pun tidak ada gunanya lagi."

   Sentuhan tangan Hay Hay pada pundaknya membuat wanita itu seolah-olah menjadi semakin sedih dan ia pun tiba-tiba mengguguk dan menjatuhkan kepalanya bersandar pada dada Hay Hay.

   "Hay Hay... ah, Hay Hay..!"

   Wanita itu menangis sejadi-jadinya. Hay Hay merasa terharu dan merangkul pundak itu, menggunakan tangannya untuk mengelus rambut yang hitam halus dan berbau harum itu.

   "Sudahlah, Sun Bi, sudahlah, hentikan tangismu, tak perlu berduka lagi.."

   Hiburnya. Setelah tangisnya mereda, dengan kepala masih bersandar pada pundak dan dada Hay Hay, terdengar Sun Bi terisak berkata,
(Lanjut ke Jilid 12)

   Pendekar Mata Keranjang (Seri ke 09 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 12
"Selama ini... dalam perantauan, semua laki-laki menghinaku... aku dipandang sebagai seorang janda muda yang boleh dipermainkan sesuka mereka... mereka bersikap kurang ajar mereka menghina, akan tetapi engkau... ah, Hay Hay, baru sekarang aku bertemu dengan seorang laki-laki yang benar-benar baik... yang menaruh kasihan kepada diriku..."

   Hay Hay tersenyum senang, akan tetapi juga terharu. Dia tahu bahwa seorang janda muda mudah merasa tersinggung, dan tentu saja membutuhkan pelindung, membutuhkan orang yang dapat menghiburnya, menyayangnya. Maka dia pun makin mesra mengelus rambut itu.

   "Karena engkau cantik manis, Sun Bi, maka semua laki-laki ingin menggodamu dan memiliki dirimu. Asal engkau pandai menjaga diri, semua itu akan berlalu."

   Dengan lembut Sun Bi mengangkat kepalanya, terlepas dari dada Hay Hay dan ia memandang. Dua muka itu berdekatan sehingga Hay Hay dapat mencium bau bedak harum bercampur bau air mata, juga terasa olehnya pernapasan yang hangat menyapu leher dan pipinya.

   "Dan engkau... engkau tidak ingin menggoda dan... dan memiliki diriku, Hay Hay?"

   Sejenak mereka saling berpandangan, dan Hay Hay mengerutkan alisnya. Darah mudanya sudah berdesir keras naik ke mukanya. Tubuh itu demikian dekatnya, bahkan terasa kehangatannya ketika menempel di tubuhnya dan dalam pandang mata itu dia melihat kemesraan dan pemasrahan diri, juga tantangan. Dia tersenyum dan berkata lirih.

   "Sun Bi, engkau cantik manis dan aku adalah seorang yang suka sekali akan segala yang indah. Aku suka padamu, Sun Bi, akan tetapi rasa sukaku dan kecantikanmu bukan berarti bahwa aku harus menggodamu dan menghinamu atau ingin memiliki dirimu seperti mereka itu. Hubungan antara seorang pria dan seorang wanita harus didasari rasa cinta, Sun Bi, dan setiap pemerkosaan dalam bentuk apapun juga merupakan suatu kejahatan."

   Sun Bi yang sejak tadi memandang wajah pemuda itu, menarik napas panjang dan kembali menyandarkan kepalanya di dada Hay Hay. Ia mengeluh panjang lalu berbisik.

   "Ah, Hay Hay... engkau seperti mendiang suamiku... engkau lembut, baik hati, dan engkau tampan... Hay Hay, apakah engkau cinta padaku?"

   Hampir saja Hay Hay mendorong tubuh itu dari atas dadanya karena dia benar terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun, dia masih dapat menguasai hatinya dan tersenyum menjawab.

   "Aku suka padamu, Sun Bi, aku suka dan kasihan, akan tetapi cinta? Aku tidak tahu bagaimana cinta itu, dan pula kita baru saja bertemu, bagaimana mungkin aku tahu tentang cinta?"

   "Akan tetapi aku yakin, Hay Hay. Aku yakin bahwa aku... aku cinta padamu! Aku yakin, karena suara hatiku yang membisikkan padaku, dan kau mirip suamiku, bukan hanya wajahnya, juga sikapnya dan segalanya, ohhh.."Dan wanita itu makin merapatkan tubuhnya. Hay Hay mulai merasa bingung dan khawatir, juga lehernya mulai berkeringat, bukan hanya oleh kehangatan yang keluar dari tubuh wanita yang bersandar padanya. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Ingin dia melepaskan diri, agar dapat bicara dengan baik, agar jantungnya tidak berdebar kencang karena kehangatan dan kelembutan tubuh itu demikian mengguncang perasaannya, akan tetapi dia pun tidak ingin menyinggung perasaan wanita yang sedang haus akan perlindungan dan hiburan ini.

   "Hay Hay, maafkan aku, akan tetapi engkau... engkau belum menikah, bukan?"

   Di dalam suara itu terkandung kekhawatiran dan Hay Hay seperti dapat merasakan betapa tubuh di pangkuannya itu agak menegang. Untuk melawan perasaannya sendiri Hay Hay tertawa dan memang ketika dia tertawa, lenyap ketegangan karena dekatnya tubuh wanita itu.

   "Ha-ha-ha, mana ada kesempatan bagiku untuk menikah? Dan pula, wanita mana yang mau bersuamikan aku, seorang yang menjadi gelandangan seperti ini, tanpa tempat tinggal tanpa keluarga?"

   "Jangan kau merendahkah diri, Hay Hay. Banyak wanita akan berebutan untuk memilikimu. Aku sendiri... ahhh, engkau seolah-olah menjadi pengganti suamiku yang telah tiada. Maafkan aku, aku... aku sudah bertahun-tahun merindukan suamiku, rindu akan pelukannya. Ah, Hay Hay, maukah engkau memelukku? Peluklah, Hay Hay, peluklah aku seperti dulu suamiku memelukku... ahhhhh..."

   

Pendekar Sadis Eps 44 Asmara Berdarah Eps 39 Pendekar Sadis Eps 34

Cari Blog Ini