Ceritasilat Novel Online

Pendekar Mata Keranjang 20


Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 20



Ketika terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis, bekerja sama dan juga menjadi tokoh di antara para pembantu mereka dan dalam bentrokan yang terjadi antara para pemberontak yang terdiri dari golongan sesat melawan para pendekar yang membanti pasukan pemerintah, akhirnya Sim Thian Bu roboh oleh Siangkoan Ci Kang, suhengnya sendiri, lalu tewas di bawah hujan senjata para perajurit. Dia tewas seperti juga Siang-tok Sian-li tewas setelah roboh oleh Ceng Sui Cin. Hubungan kasih antara Sim Thian Bu dan Ciang Si tidak berlangsung lama. Setelah Ciang Si mengandung tua, Sim Thian Bu meninggalkan begitu saja. Ciang Si tetap mencinta Sim Thian Bu. Biarpun pria itu telah meninggalkannya, bahkan mencarinya ke sana-sini sambil membawa anak laki-laki yang dilahirkannya. Anak itu ia beri nama Sim Ki Liong dan sambil merana dalam pencariannya terhadap pria yang dicintanya, Ciang Si mendidik anaknya itu.

   Akhirnya, ia mendengar akan kematian Sim Thian Bu dari anggauta pemberontak yang dijumpainya. Ia mendengar bagaimana Sim Thian Bu tewas dalam pertempuran melawan para pendekar, bahkan bagaimana dia roboh oleh Siangkoan Ci Kang kemudian tubuhnya hancur lebur oleh hujan senjata para perajurit. Tentu saja berita itu membuat Ciang Si berduka sekali, akan tetapi di samping kedukaannya wanita ini pun menaruh dendam yang amat mendalam kepada para pendekar, terutama Siangkoan Ci Kang yang menjadi penyebab kematian pria yang dicintanya. Cita-citanya hanya satu, yaitu membalas dendam dan hal ini diharapkannya akan dapat dilakukan oleh Ki Liong kelak kalau anak itu sudah dewasa. Maka, mulailah ia memanggil guru-guru silat untuk melatih anaknya.

   Akan tetapi, setelah mengenal dunia ilmu silat, Ki Liong merasa tidak puas dengan latihan-latihan yang diberikan oleh guru-guru silat bayaran itu, apalagi ketika ia mendengar tentang pendekar-pendekar dan tokoh-tokoh dunia persilatan yang sakti dari para guru silat itu. Diantara nama-nama itu, yang amat menarik hatinya adalah nama Pendekar Sadis, Majikan Pulau Teratai Merah yang disohorkan oleh para guru silat itu sebagai pendekar silat yang paling lihai di dunia! Mulailah anak itu bercita-cita untuk menjadi murid Pendekar Sadis! Ki Liong sudah mendengar dari ibunya tentang kematian ayah kandungnya, tentang para pendekar yang memusuhi ayahnya, dan dia tahu pula betapa ibunya mendendam atas kematian ayahnya. Oleh karena itu, ketika dia berusia empat belas tahun, dia berunding dengan ibunya untuk dapat berguru kepada Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah.

   "Aku sudah mendengar akan nama itu, Anakku, akan tetapi bagaimana mungkin engkau akan dapat diterima menjadi muridnya? Apalagi kalau keluarga itu tahu bahwa ayahmu adalah Sim Thian Bu, seorang tokoh yang pernah memberontak dan menjadi musuh para pendekar.."

   "Aku tidak akan mengaku putera Ayah Sim Thian Bu, Ibu. Aku akan mencari nama lain kalau ada yang menanyakan Ayahku, dan aku akan menggunakan nama keturunan Ibu, yaitu she Ciang."

   "Hal itu memang dapat diatur, akan tetapi Pendekar Sadis adalah seorang pendekar besar, bagaimana dapat mudah saja mengambil engkau yang tidak dikenalnya sebagai murid?"

   "Percayalah, Ibu, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk dapat menjadi muridnya. Kelak, kalau sudah berhasil, barulah aku akan pulang dan aku akan dapat membalaskan sakit hati Ibu kepada Siangkoan Ci Kang."

   Ibunya merangkulnya dan dengan air mata bertitik ibu ini akhirya melepaskan anaknya untuk pergi berguru kepada Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah. Demikianlah Ki Liong yang cerdik itu dengan mempertaruhkan nyawanya dalam penyerangan badai, akhirnya berhasil mengambil hati Pendekar Sadis dan isterinya, dan berhasil di ambil murid terkasih dan mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi. Tentu saja sebelum dia membiarkan dirinya terserang badai sehingga nyaris tewas, dia telah menyelidiki dari kaum nelayan tentang keanehan Pendekar Sadis dan tahu bahwa kalau dia terang-terangan datang minta dijadikan murid, pasti tidak akan berhasil.

   Pertemuan Ki Liong dengan Kui Hong yang menggerakkan nafsu berahinya, bahkan menggugah semua nafsu yang selama ini ditekan dan dipendamnya baik-baik untuk mengelabui suhu dan subonya. Kini dia merasa tidak dapat menahan lebih lama lagi hidup sebagai orang kurungan di pulau itu. Selama enam tahun ini, segala keinginan yang timbul dari lubuk hatinya, ditekan dan dirahasiakannya, dan dengan usaha sekuat tenaga melawan gairahnya sendiri, dia dapat memaksa dirinya bersikap lemah lembut, peramah, sopan santun dan tak pernah melakukan pelanggaran disamping tekun dan rajin berlatih dan bekerja. Sungguh merupakan suatu keuletan yang luar biasa sekali dan tidaklah aneh kalau seseorang yang memiliki ketabahan dan keuletan seperti itu akhirnya dapat berhasil memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

   Akan tetapi kini bendungan itu jebol! Pertahanannya untuk mengekang diri dan semua nafsu yang bergejolak di dalam batinnya telah retak-retak begitu dia bertemu dengan Kui Hong, bercakap-cakap, bahkan beradu tangan dan lengan dengan gadis itu. Malam itu Ki Liong gelisah tak dapat tidur, dan akhirnya, setelah memutar otak dan membuat perhitungan-perhitungan dan pertimbangan, dia lalu bangkit dari tempat tidurnya. Dia lalu duduk bersila dan menegakkan tubuh, memejamkan mata, akan tetapi sekali ini dia bukan berlatih samadhi seperti biasa. Gurunya Ceng Thian Sin, pernah mengajarkan kepadanya cara bersamadhi jungkir balik untuk melatih sinkang dalam Ilmu Silat Hok-liang Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun.

   Dan dengan bermacam cara jungkir balik ini dia mengenal tenaga-tenaga dalam yang mujijat, juga gurunya memberitahu bahwa tenaga-tenaga yang tidak nampak itu menjadi dasar dari segala macam ilmu di dunia ini. Bahkan ilmu sihir dan sebagainya juga berpangkal pada tenaga tersembunyi ini. Sebagai seorang pemuda yang cerdik sekali, Ki Liong pernah melakukan percobaan-percobaan dengan tenaga yang terasa bergerak di dalam pusarnya itu. Pernah dia mencoba untuk memusatkan perhatiannya, menggunakan tenaga sakti itu untuk memperkuat perasaan hatinya dan dengan dorongan tenaga ini dia menghendaki agar orang-orang tertentu dari pulau itu, yang berada cukup jauh di depannya, menengok kepadanya, berjalan berjongkok dan melakukan hal-hal yang dikehendakinya pada saat itu.

   Dan beberapa kali perintahnya tanpa kata-kata ini, hanya dengan kekuatan dalam mendorong kemauan dalam hatinya, ternyata berhasil! Beberapa orang itu melakukan apa yang diperintahnya secara diam-diam dan dia pun merasa girang. Akan tetapi dia tidak berbuat lebih jauh lagi, karena maksudnya bukan untuk berpamer atau menghendaki sesuatu. Dia hanya ingin menguji kekuatan batinnya sendiri. Kini, baru pertama kali dalam hidupnya dia melakukan samadhi mengumpulkan kekuatan itu dengan satu pamrih. Dicurahkan seluruh perhatiannya pada keinginan hatinya, yaitu agar Kui Hong keluar dari dalam kamarnya dan memasuki taman bunga! Dia tahu bahwa kalau gadis itu melakukan hal ini, tidak ada lain jalan kecuali melalui depan kamarnya yang terletak di dekat taman bunga.

   Sementara itu, Kui Hong yang berada di dalam kamarnya sendiri merasa gelisah dan tak dapat tidur. Ia mendapatkan sebuah kamar yang berdampingan dengan kamar ibunya, sedang kamar kakek dan neneknya, kamar besar, berada di seberang kamarnya. Ia tidak dapat tidur dan teringat kepada Ki Liong, pemuda yang menjadi susioknya itu! Seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, juga memiliki ilmu silat tinggi. Akan tetapi ada sesuatu yang aneh pada diri pemuda itu, entah apa ia tidak tahu. Ada sesuatu yang membuat ia mengerutkan alisnya dan semacam perasaan tidak enak menyelinap di dalam hatinya. Ia sendiri merasa heran mengapa timbul perasaan tidak enak dan tidak suka ini, padahal, susioknya itu selalu bersikap ramah, rendah hati, sopan dan menyenangkan. Apakah ia merasa iri karena pemuda itu dapat menandinginya dalam ilmu silat? Ah, mengapa harus iri? Bukankah bagaimanapun juga pemuda itu adalah paman gurunya?

   Seharusnya ia berbangga hati melihat paman gurunya demikian lihai! Wajah pemuda itu terbayang dan Kui Hong menjadi semakin gelisah. Timbul keinginan hatinya untuk keluar dari dalam kamar yang dirasakannya pengap itu, untuk mencari hawa segar dan sejuk di taman bunga. Ya, taman bunga milik kakeknya itu amat indahnya, dan disitu terdapat segala macam bunga. Tadipun, ketika memasuki kamarnya, tercium keharuman bunya mawar yang datang dari taman. Kui Hong membuka pintu kamarnya, perlahan-lahan agar tidak mengganggu ibunya dan kakek neneknya yang sudah masuk ke kamar masing-masing. Lalu ia melangkah menuju ke taman, melewati beberapa kamar. Tak nampak seorang pun pelayan berada di luar. Agaknya hawa malam yang dingin itu membuat semua orang lebih senang berada di dalam kamarnya yang hangat.

   Memang sejuk dan segar sekali hawa di dalam taman. Bulan sepotong telah keluar dan biarpun sinarnya masih redup, namun cukup menerangi taman, mendatangkan cuaca yang remang-remang romantis, merah kehijauan menambah kesejukan taman itu. Kui Hong lalu duduk diatas bangku setelah berjalan mengelilingi taman itu, diantara bunga-bunga mawar yang sedang mekar dan bunga-bunga lain. Musim semi baru saja mulai dan kembang-kembang itu sudah mekar sedemikian indahnya. Memang berbeda hawa di selatan ini dengan hawa di Cin-ling-san. Di sana, kembang-kembang mekar agak terlambat, menanti sampai musim semi benar-benar sudah masuk dan sisa musim salju sudah pergi jauh. Di selatan ini, matahari bersinar lebih cerah dan tumbuh-tumbuhan nampak lebih segar.

   "Nona, engkau berada di sini juga?"

   Tiba-tiba terdengar suara orang. Kui Hong yang sedang melamun itu terkejut dan menengok. Susioknya telah berada di situ. Ih, pemuda ini muncul seperti setan saja, tanpa mengeluarkan bunyi, tahu-tahu berada di situ.

   "Susiok, mau apa engkau malam-malam begini meninggalkan kamarmu?"

   Kui Hong bertanya, memandang tajam melalui keremangan cuaca malam. Pemuda itu tersenyum dan nampak sejenak gigi putih berkilat.

   "Ah, kiranya tidak banyak bedanya dengan alasanmu meninggalkan kamarmu dan berada di sini, Nona Hong. Aku merasa pengap dan panas di dalam kamar, dan ingin mencari udara segar di sini. Biasa hak ini kulakukan di waktu malam sunyi. Tak kusangka malam ini aku akan berjumpa denganmu disini, hal yang amat menggembirakan."

   Kui Hong adalah seorang gadis yang biasa bergaul bebas, tanpa dilarang ibunya. Biasa baginya bercakap-cakap dengan siapa saja, baik dengan wanita maupun dengan pria ketika ia masih tinggal di Cin-ling-san. Maka, kini berduaan saja dengan seorang pemuda malam-malam di taman itu, tidak membuatnya merasa canggung.

   "Duduklah, Susiok. Aku menikmati keindahan taman ini, demikian segar dan sejuk, dan demikian harum bunganya."

   Bukan main girang rasa hati Ki Liong. Ternyata usahanya "memanggil"

   Kui Hong melalui samadhinya tadi berhasil.

   Dia tadi mendengar langkah kaki halus dari gadis itu ketika menuju ke taman bunga dan dia pun cepat turun dari pembaringan untuk mengintai melalui jendela. Jantungnya berdebar penuh rasa girang dan juga tegang ketika dia melihat Kui Hong meangkah menuju ke taman, tepat seperti yang diinginkannya! Dan kini, setelah berhadapan dengan gadis itu, dia merasa lebih girang lagi karena gadis itu tidak pergi, bahkan mempersilakan dia duduk di atas bangku itu, duduk berdampingan! Hal ini hanya menunjukkan bahwa gadis itu agaknya juga suka kepadanya. Diatahu, bahwa setiap orang gadis, dalam keadaan seperti itu, berdua saja malam-malam di dalam taman bersama seorang lakilaki, tentu akan cepat pergi karena merasa malu dan tidak patut. Akan tetapi gadis ini menyambutnya dengan baik dan mempersilakan dia duduk.

   "Memang indah sekali taman ini, banyak bungi di sini aku yang menanamnya, akan tetapi malam ini nampak jauh lebih indah daripada biasanya karena engkau berada disini, Nona Hong."

   Biarpun ucapan itu dilakukan dengan suara halus danpenuh kesopanan, namun isinya membuat Kui Hong mengangkat muka memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik.

   "Susiok, mengapa sikap dan kata-katamu seperti itu? sungguh aneh kedengarannya. Tadi engkau mengatakan bahwa pertemuan yang tak kausangka ini amat menggembirakan, dan kini kau katakan bahwa kehadiranku membuat taman ini nampak jauh lebih indah daripada biasanya!"

   Ia memancing-mancing, bisik otak Ki Liong. Ia sudah tahu dan ia senang sekali dengan pujianku, tapi ia pura-pura tidak tahu dan memancing-mancing! Tidak perlu lagi kusembunyikan, ia pasti akan menerima kenyataan cintaku! Setelah berbincang-bincang sendiri dengan otaknya secara cepat, Ki Liong lalu berkata dengan suara halus.

   "Aih, Hong-siocia, apakah engkau masih belum tahu betapa aku telah tergila-gila kepadamu, bahwa aku telah jatuh cinta mati-matian kepadamu? Sejak pertemuan kita tadi, aku telah jatuh cinta dan aku rindu sekali padamu. Engkau terlalu cantik dan menarik, engkau melebihi segala keindahan bunga di sini.."

   Tiba-tiba dia menggeser duduknya, mendekat sampai mepet dengan gadis itu.

   "Susiok..!"

   Tiba-tiba Kui Hong bangkit berdiri, setengah meloncat seolah-olah dipatuk ular setelah tadi untuk beberapa detik lamanya ia seperti terpukau di tempat duduknya, terlalu heran mendengar ucapan susioknya itu. kini mukanya menjadi merah sekali, sepasang matanya bersinar penuh kemarahan. Hal ini oleh Ki Liong yang bekum berpengakaman itu diterima dengan keliru pula.

   "Nona Hong, dewi pujaanku, tidak perlu engkau malu-malu lagi, tidak ada orang lain kecuali kita berdua di taman ini.."

   Dan dia pun mengulur tangan hendak menangkap lengan gadis itu, untuk ditariknya di atas pangkuannya dan didekapnya, diciuminya pipi yang kemerahan dan hangat itu, dikecupnya bibirnya yang demikian manis itu, seperti yang dibayangkannya di dalam kamarnya tadi.

   "Plakk!"

   Baru Ki Liong terkejut sekali ketika lengannya ditangkis dengan tamparan keras oleh Kui Hong. Wajah Ki Liong berubah pucat sekali dan diam-diam dia memaki dirinya sendiri. Bodoh, tolol, mudah ditipu oleh harapan dan khayalan sendiri. Kini baru dia tahu bahwa gadis itu sama sekali tidak menyambut uluran tangannya untuk bermain cinta!

   "Susiok, apakah engkau sudah menjadi gila? Berani benar engkau kurang ajar kepadaku? Mentang-mentang engkau menjadi murid Kakek dan Nenekku, ya? Keparat!"

   Dan Kui Hong sudah menyerang pemuda itu dengan kemarahan meluap-luap. Ki Liong cepat mengelak dengan loncatan kebelakang.

   "Eh, ah, maaf, Nona . aku.. aku tidak bermaksud buruk.."

   Katanya dengan muka pucat.

   Akan tetapi Kui Hong tidak berkata apa-apa melainkan terus menyerang dengan dahsyat. Kini berbeda dengan ketika berlatih di lian-bu-thia tadi, ia menyerang dengan sungguh-sungguh, seperti menyerang seorang musuh yang harus ia robohkan, terdorong oleh perasaan marahnya. Sebetulnya, Kui Hong sama sekali tidak mempunyai rasa benci terhadap Ki Liong tadinya. Bahkan ia harus mengakui bahwa ia tertarik dan kagum kepada susioknya yang masih muda, tampan gagah dan memiliki kepandaian tinggi itu. Pernyataan cinta dari seorang pemuda seperti Ki Liong bukan merupakan suatu hal yang dapat mendatangkan rasa marah atau terhina. Akan tetapi, karena pernyataan pemuda itu tidak wajar dan demikian tiba-tiba maka Kui Hong merasa terhina dan menjadi marah sekali.

   Pertama, Ki Liong baru saja hari itu diperkenalkan sebagai paman gurunya. Ke dua, baru beberapa jam mereka saling berkenalan. Ke tiga, pernyataan Ki Liong demikian terus terang, dan tiba-tiba, tentu saja mengejutkan sekali dan menimbulkan rasa malu. Memang harus di akui bahwa Ki Liong sama sekali buta tentang urusan cinta. Sama sekali belum berpengalam sehingga dia bertindak sesuai dengan dorongan nafsunya saja, nafsu yang bertahun-tahun ditekannya selama dia belajar di pulau itu. Kini, nafsunya bergolak dan pertahanannya bobol begitu dia bertemu dengan Kui Hong, maka dia pun bertindak tanpa pikir lagi, hanya menurutkan nafsu. Dan sekarang barulah dia sadar betapa gegabah dan ceroboh tindakannya itu, memancing keributan yang akan merugikan dirinya sendiri saja.

   "Maaf, aku minta maaf. Aku telah menjadi gila karena cintaku.."

   Demikian dia berkata sambil mengelak dan menangkis. Akan tetapi ucapannya ini bahkan membuat Kui Hong menjadi semakin marah. Serangan-serangannya menjadi semakin ganas saja sehingga ketika mengelak dengan tergesa-gesa, Ki Liong tersandung batu dan dia terhuyung lalu roboh terguling. Kui Hong mengejar dan mengirim tendangan.

   "Plakk!"

   Tendangannya itu ditangkis orang dan ternyata yang menangkisnya adalah ibunya sendiri. Dan selain ibunya, disitu hadir pula Pendekar Sadis dan isterinya! Ketika melihat betapa tendangannya ditangkis ibunya, Kui Hong menjadi penasaran. Akan tetapi Ki Liong yang melihat hadirnya suhu dan subonya, menjadi gelisah bukan main dan dia pun sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhunya.

   "Suhu, teecu telah membuat dosa besar! Teecu siap menerima hukuman mati sekalipun dari Suhu dan Subo!"

   Tentu saja Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong menjadi terkejut bukan main mendengar ucapan murid mereka itu. tadi, seperti juga Sui Cin, mereka mendengar ribut-ribut dan angin Pukulan yang datang dari taman, maka mereka cepat keluar dan bertemu dengan puteri mereka yang juga berlari keluar menuju taman. Ketika melihat Ki Liong terguling dan Kui Hong mengejar dan mengirim tendangan Sui Cin yang sudah tiba di dekat puterinya, cepat menangkis.

   "Kui Hong, apalagi yang terjadi? Apakah kalian berlatih silat lagi?"

   Tanya Sui Cin dengan suara penuh teguran karena dianggapnya bahwa puterinya itu keterlaluan terhadap susiok yang sepatutnya dihormati.

   "Ibu, dia itu.. kurang ajar sekali! Aku harus memukulnya, dia kurang ajar dan menghina aku!"

   Bentak Kui Hong marah. Mendengar ucapan ini, Sui Cin dan ibunya menjadi kaget bukan main. Terutama sekali Ceng Thian Sin dn Toan Kim Hong. Mereka mengenal murid mereka itu sebagai seorang pemuda yang sopan dan tidak pernah kurang ajar, bahkan sopan dan ramah, juga rendah hati. Bagaimana kini secara tiba-tiba saja, belum juga satu malam setelah Kui Hong dan ibunya datang, Kui
(Lanjut ke Jilid 19)
Pendekar Mata Keranjang (Seri ke 09 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 19
Hong menuduhnya kurang ajar dan menghinanya? Sui Cin juga merasa heran. Puterinya itu tidak pernah berbohong dan kalau puterinya sudah marah seperti itu, sudah pasti ada sebabnya. Akan tetapi ia pun meragukan kata-kata Kui Hong karena rasanya tidak mungkin sutenya yang demikian sopan itu tiba-tiba berani kurang ajar terhadap Kui Hong.

   "Apa yang telah terjadi? Apa maksudmu dengan kurang ajar dan menghinamu itu Kui Hong?"

   Wajah Kui Hong menjadi merah sekali dan ia pun baru menyadari betapa memalukan keadaan itu. Kalau bukan kepada ibunya, kakek dan neneknya, tentu ia akan malu untuk menjawab. Akan tetapi keadaan sudah menjadi seperti itu, terpaksa ia harus mengaku apa yang sesungguhnya telah terjadi.

   "Ibu, dia itu . dia berani memuji-muji kecantikanku, bahkan dia pun berani merayuku!"

   Sui Cin terbelalak, juga kakek dan nenek itu memandang kepada murid mereka dengan alis berkerut dan perasaan aneh.

   "Ki Liong, apakah yang telah kau lakukan sehingga cucu kami marah kepadamu?"

   Tanya Ceng Thian Sin suaranya tenang sekali.

   "Suhu dan Subo, teecu telah berbuat dosa besar sekali terhadap Nona Hong. Teecu sungguh tidak tahu diri karena tadi teecu telah mengaku cinta kepadanya sehingga ia menjadi marah dan menyerang teecu."

   Hampir saja Ceng Thian Sin tertawa. Hanya mengaku cinta! Bagaimana dia dapat menyalahkan pemuda muridnya itu kalau melihat betapa cantik manisnya cucunya itu? Mengaku cinta terhadap seorang gadis remaja seperti Kui Hong yang bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar semerbak mengharum, bukanlah perbuatan aneh, apalagi bagi Ki Liong yang belum berpengalaman sehingga desakan hati mencinta itu langsung saja diutarakan, tanpa disimpan-simpannya lagi. Akan tetapi, demi menjaga perasaan puterinya dan cucunya, Ceng Thian Sin mengambil sikap marah.

   "Hemmm, bagaimana engkau berani menyatakan cinta kepada murid keponakanmu sendiri? Sungguh perbuatan itu lancang sekali, Ki Liong. Apa yang mendorongmu mengaku cinta seperti itu?"

   "Ampun, Suhu. Teecu.. teecu.. jatuh hati begitu melihat Nona Hong.., dan teecu berterus terang kepadanya.. kebetulan kami berdua malam ini disini, tanpa disengaja dan keadaan yang indah ini, malam yang permai dengan hawa udara yang sejuk segar, membuat teecu lupa diri . dan . dan.. teecu mengaku salah dan siap menghadapi hukuman apa pun dari Suhu dan Subo."

   "Kui Hong,"

   Kini nenek itu berkata kepada cucunya.

   "Selain pengakuan cintanya dan memuji-muji kecantikanmu, apa lagi yang dilakukan oleh Ki Liong kepadamu?"

   Ditanya demikian oleh neneknya, Kui Hong menjadii bingung. Apalagi yang dilakukan Ki Liong kepadanya? Pemuda itu bahkan tidak pernah melakukan apa-apa, hanya memuji-mujinya dan mengaku tergila-gila kepadanya.

   "Dia tidak melakukan apa-apa lagi, Nek, akan tetapi pengakuannya yang lancang itu memebuat aku merasa malu dan marah, merasa terhina maka aku menyerangnya!"

   Katanya nekat. Sui Cin merasa betapa Kui Hong memang agak keterlaluan. Kalau pemuda itu hanya mengaku cinta, mengapa harus diserang sampai mati-matian? Kalau puterinya itu tidak setuju, cukup mengatakan saja, atau meninggalkan pergi.

   "Kui Hong, engkau seharusnya tidak boleh menyerang begitu saja. Kalau engkau tidak suka, katakan saja kepadanya atau tinggalkan dia pergi, tidak perlu harus marah-marah dan memukulnya."

   Kui Hong diam saja, hanya menunduk dengan muka merah dan mulut cemberut. Melihat ini, Ceng Thian Sin merasa kasihan kepada cucunya dan dia merasa perlu menegur Ki Liong yang dianggapnya lancang dan bodoh.

   "Ki Liong, perbuatanmu tadi lancang dan mnyinggung hati cucu kami. Kuharap engkau dapat melihat kebodohanmu itu dan lain kali engkau tidak boleh melakukan hal yang amat memalukan itu. apakah engkau tidak merasa malu?"

   Tiba-tiba saja air mata jatuh menetes-netes dari mata pemuda itu dan membasahi kedua pipinya!

   "Teecu sudah merasa menyesal sekali, Suhu. Teecu siap untuk menerima hukuman atas kelancangan dan kebodohan teecu."

   Ceng Thian Sin menarik napas panjang. Muridnya itu biasanya tenang sekali, akan tetapi kenapa sekarang begitu mudah menitikkan air mata?

   "Sudahlah, penyesalan tak perlu dibuktikan dengan air mata, melainkan dengan perbuatan. Nah, kembalilah ke kamarmu."

   Ki Liong memberi hormat kepada suhu dan subonya, bahkan setelah bangkit berdiri, dia menjura dengan hormat kepada Sui Cin dan berkata,

   "Suci, aku mohon maaf sebesarnya, dan Nona Hong, maafkanlah aku."

   Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban, pemuda itu pun pergi meninggalkan taman untuk kembali ke dalam kamarnya

   "Kui Hong, engkau juga kembali saja ke kamarmu,"

   Kata Sui Cin, merasa tidak enak juga kepada ayah dan ibunya. Baru saja ia pulang ke bersama puterinya, membawa berita yang amat buruk tentang hubungannya dengan suaminya, hal itu tentu sudah membuat ayah dan ibunya ikut merasa pusing, dan sekarang, baru setengah malam berada disitu, puterinya sudah menjadi sebab terjadinya hal lain yang mendatangkan perasaan tidak enak. Sungguh ia merasa sebagai beban saja kepada dua orang tuanya yang tentu sebelum ia datang hidup di dalam keadaan aman tenteram dan kini menjadi kacau begitu ia pulang!

   "Ah, Kui Hong menjadi seorang anak yang terlalu manja. Menghadapi urusan begitu saja ia marah-marah dan turun tangan. Sungguh tidak baik sekali,"

   Katanya sambil menarik napas duka. Kalau saja disitu ada suaminya, tentu suaminya itu dapat mengambil tindakan yang tepat. Toan Kim Hong merangkul puterinya.

   "Tidak mengapa, tak perlu khawatir. Ia memang agak keras hati dan gadis remaja seperti Kui Hong itu memang biasanya agak angkuh dalam soal cinta, dan biasanya mengambil sikap jual mahal. Akan tetapi, Ki Liong juga terlalu lancang sehingga mengejutkan Kui Hong, membuatnya merasa malu dan canggung sehingga bangkitlah kemarahannya karena ia merasa dihina dengan pernyataan cinta itu. Aih, engkau tentu tahu akan gilanya orang-orang muda dengan cinta mereka."

   "Yang membuat aku merasa bingung dan heran adalah Ki Liong,"

   Kata Ceng Thian Sin.

   "Biasanya dia hampir tidak pernah bergaul terlalu dekat dengan wanita, dan dia terkenal sebagai seorang pemuda yang alim. Akan tetapi kenapa begitu bertemu Kui Hong, wataknya tiba-tiba saja berubah?"

   "Seperti kukatakan tadi, orang muda dengan cinta mereka memang suka melakukan tingkah yang aneh-aneh. Akan tetapi, sudahlah. Tidak baik kalau kita terlalu menyalahkan dan mendesaknya. Kesalahannya tidaklah terlalu besar untuk dilebih-lebihkan. Dia jatuh cinta dan mengaku cintanya kepada Kui Hong. Apakah hal itu merupakan dosa tak berampun? Kalau terlalu ditekan, dia akan menjadi rendah dan pemalu."

   Mendengar ucapan ibunya, Sui Cin membenarkan.

   "Biarlah kita lupakan saja urusan itu dan aku akan menasihati Kui Hong agar ia melupakan urusan itu."

   Diam-diam kakek dan nenek itu merasa sayang karena melihat usia mereka, memang sebetulnya Ki Liong dapat menjadi calon jodoh Kui Hong yang baik sekali! Kalau saja kedua orang muda itu saling mencinta dan setuju, mereka akan merasa gembira sekali kalau keduanya dapat berjodoh. Tentang hubungan perguruan, hal itu tidak menjadi halangan. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani menyatakan hal ini kepada Sui Cin.

   Mereka semua kembali ke kamar masing-masing dan karena urusan yang timbul tadi memang tidak berapa peting, mereka pun dapat tidur nyenak. Dapat dibayangkan kaget hati Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong ketika keesokan harinya, mereka mendapat kenyataan bahwa Ciang Ki Liong telah pergi dari pulau itu tanpa pamit! Pemuda itu pergi, mungkin malam tadi atau menjelang pagi, menggunakan perahu kecil dan tak seorang pun penghuni pulau itu yang melihat dia keluar dari pulau. Dan yang lebih mengejutkan hati suami isteri itu adalah ketika mereka mendapat kenyataan bahwa beberapa buah benda berharga berikut pedang pusaka Gin-hwa-kiam milik Pendekar Sadis lenyap pula dari gudang pusaka! Siapa lagi yang mengambilnya kalau bukan Ki Liong? Tidak ada orang lain kecuali mereka bertiga yang dapat memasuki gudang pusaka itu!

   "Ah, apa artinya ini? Apakah dalam waktu semalam saja telah terjadi perubahan yang demikian besar atas diri Ciang Ki Liong? Apakah setan telah memasuki batinnya sehingga berturut-turut dia melakukan hal-hal yang demikian buruk?"

   Kata Ceng Thian Sin sambil mengepal tinju.

   "Aku akan mengejar dan menghajarnya kalau memang ada tanda-tanda bahwa dia melakukan penyelewengan dan menjadi sesat!"

   "Sabarlah,"

   Kata Toan Kim Hong.

   "Mungkin urusannya dengan Kui Hong semalam telah membuat dia merasa malu sehingga dia tidak berani lagi berhadapan dengan kita sekeluarga. Karena itu, boleh jadi dia lalu mengambil keputusan untuk minggat dari sini tanpa pamit. Adapun benda-benda itu, mungkin sebagai orang yang belum pernah meninggalkan pulau, belum berpengalaman, dia merasa khawatir maka dia mengambil benda itu untuk menjaga diri dan bekal dalam perjalanan. Kita tunggu saja, siapa tahu dia akan merasa menyesal dan kembali. Dan andaikata tidak, kita dengarkan saja bagaimana sepak terjangnya. Kalau benar dia melakukan penyelewengan dan kejahatan sehingga menodai nama kita, kita akan keluar pulau mencarinya dan memberi hukuman yang setimpal."

   Pendekar Sadis Ceng Thian Sin menarik napas panjang dan menekan perasaan marahnya. Dia tahu betapa besar rasa cinta isterinya kepada muridnya yang dianggap sebagai putera sendiri itu. dan walaupun murid itu telah meninggalkan pulau tanpa pamit, bahkan membawa benda-benda berharga dari gudang pusaka, bahkan juga Gin-hwa-kiam yang merupakan senjata pusakanya, namun belum ada bukti bahwa murid itu telah menjadi orang jahat dan siapa tahu dugaan isterinya benar.

   "Aahh, sudahlah, kita lihat saja nanti. Hanya sungguh aku khawatir sekali kalau sampai dia berubah watak dan menyeleweng, karena pada saat ini dia telah memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Dia berbakat baik sekali dan mungkin sekarang tingkatnya sudah sukar ditundukkan lawan."

   Mendengar ini, Sui Cin mengerutkan alisnya.

   "Benarkah dia demikian hebat, Ayah? Ketika tadi melawan Kui Hong..."

   "Ah, engkau tidak tahu, Sui Cin!"

   Kata Toan Kim Hong.

   "Anak itu, seperti dikatakan Ayahmu tadi, memiliki bakat yang amat besar, bahkan lebih besar daripada bakat yang ada padamu! Apalagi Kui Hong, bahkan engkau sendiri pada waktu ini mungkin sudah kalah olehnya, Sui Cin."

   Sui Cin terkejut bukan main. Ia tahu bahwa ibunya itu selalu bersikap jujur maka ia pun tidak merasa sakit hati mendengar bahwa ia kalah oleh sutenya yang masih muda itu.

   "Ah, kalau begitu, sungguh berbahaya kalau dia sampai melakukan penyelewengan dan menjadi penjahat,"

   Katanya lirih.

   "Akan tetapi kulihat Kui Hong juga memiliki bakat yang baik. Biarlah selama berada disini kami berdua akan menggemblengnya dan mengajarkan kunci-kunci pemunah ilmu-ilmu berbahaya yang dikuasai Ki Liong. Dengan demikian, kelak ia akan mampu menandinginya."

   Mendengar ini, Sui Cin menjadi girang sekali dan mulai hari itu, kakek dan nenek penghuni Pulau Teratai Merah itu menggembleng cucu perempuan mereka dengan penuh ketekunan dan Kui Hong yang memang suka belajar ilmu silat, tentu saja berlatih dengan giat. Kakek dan neneknya mengajarkan ilmu-ilmu simpanan mereka, bahkan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin mengajarkan ilmu-ilmu Bu-bed Hud-couw, yaitu Hok-liang Sin-ciang yang hanya delapan jurus, Hok-te Sin-kun yang merupakan permainan silat yang selalu mendekati tanah, dan juga cara bersamadhi berjungkir balik untuk menghimpun tenaga sakti yang kuat dan aneh. Dari latihan samadhi secara ini, Kui Hong memperoleh kekuatan batin yang dapat dipergunakan untuk menolak serangan ilmu sihir dan sebagainya.

   Diam-diam Kui Hong marah kepada Ki Liong. Walaupun pemuda itu tampan dan pandai, bahkan masih terhitung paman gurunya sendiri, namun ia gemas kalau mengingat betapa pemuda itu berniat kurang ajar kepadanya. Apaagi mendengar bata[a pemuda itu minggat dari Pulau Teratai Merah sambil mencuri benda-benda pusaka kakek dan neneknya, diam-diam ia semakin merasa gemas dan marah. Kalau sudah tamat belajar, kelak ia akan pergi mencari pemuda itu, selain merampas kembali benda-benda pusaka yang dilarikannya, juga akan menghajar murid murtad itu! selain pemuda itu, yang menjadi keinginannya terbesar adalah Cin-ling-pai. Ia ingin mengunjungi Cin-ling-pai dan membalas sakit hati ibunya! Dengan adanya cita-cita ini, Kui Hong belajar semakin giat dan rajin sekali, hampir tidak ada waktu lowong yang tidak diisinya dengan berlatih silat sehingga melihat ini, kakek dan neneknya menjadi semakin gembira melatihnya.

   Pemuda itu berpakaian sederhana. Wajahnya tampan, dengan muka yang berbentuk bulat dan berkulit putih, sepasang alisnya hitam lebat dan nampak bagus sekali pada kulit muka yang putih itu. Sepasang matanya agak sipit, mengandung ketenangan dan penuh pengertian, namun kadang-kadang juga dapat mengeluarkan sinar mencorong yang aneh dan amat kuat wibawanya. Gerak-geriknya halus dan tenang seperti air telaga yang dalam. Pemuda yang berjalan seorang diri dengan langkah-langkah tenang ini tiba diluar perkampungan Pek-sim-pang di daerah Kong-goan. Dia adalah Pek Han Siong, Si Bocah Ajaib atau Sin-tong yang kini telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh satu tahun. Seperti kita ketahui, Pek Han Siong beruntung sekali bertemu dengan suami isteri pendekar yang mewarisi ilmu-ilmu luar biasa dari dua orang di antara Delapan Dewa.

   Mereka adalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang menjalani hukuman di dalam kuil Siauw-lim-pai. Setelah meninggalkan kuil, di dalam perjalanannya pemuda ini bertemu dengan Ban Hok Lo-jin, seorang di antara Delapan Dewa yang masih hidup walaupun sudah tua renta. Kakek ini, ketika melihat bahwa Han Siong adalah Sin-tong, segera mengangkatnya menjadi murid dan mengajaknya ke dalam guha untuk dilatih ilmu dengan tekun, terutama sekali ilmu sihir karena Ban Hok Lo-jin melihat betapa ilmu silat pemuda itu sudah cukup hebat. Setahun lamanya Han Siong tekun mempelajari ilmu dari Ban Hok Lo-jin dan setelah dia dinyatakan berhasil oleh gurunya yang baru yang menyatakan bahwa sudah tiba waktunya bagi mereka untuk berpisah, Han Siong meninggalkan tempat itu setelah berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada kakek itu dengan hati terharu.

   "Di mana teecu dapat mencari Suhu kalau teecu merasa rindu?"

   Han Siong bertanya. Kakek itu terkekeh-kekeh lalu bergelak-gelak.

   "Hoa-ha-ha-ha! Kenapa mesti rindu, Han Siong? Kalau engkau merasa rindu, buang jauh-jauh perasaan itu, karena perasaan itu hanya memperkuat ikatan belaka! Engkau takkan dapat mencariku lagi. Usiaku sudah terlalu tua dan tak lama lagi aku harus kembali setelah beberapa lamanya memegang peranku di dunia ini. Demikian pula dengan engkau, dan semua orang yang pernah hidup. Masing-masing harus memegang dan menjalankan peran masing-masing yang sudah ditentukan sejak lahir. Apa pun yang dipegang, peran itu harus dilaksanakan sebaik mungkin. Bukannya peran yang penting melainkan pelaksanaannya, seperti orang bermain sandiwara, bukan tokoh yang diperankan yang penting, melainkan bagaimana melaksanakannya sebaik mungkin. Nah, pergilah, muridku."

   Han Siong meninggalkan gurunya yang duduk bersila di depan guha setelah memberi penghormatan terakhir dan setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh, akhirnya pada senja hari itu tibalah dia di luar perkampungan Pek-sim-pang, tempat tinggal orang tuanya! Berdebar jantung Han Siong, penuh kegembiraan, ketegangan dan harapan. Dia mencoba untuk mengingat-ingat bagaimana wajah ayah dan ibunya seperti yang pernah diceritakan kakeknya. Akan tetapi bagaimana dapat menggambarkan wajah orang tuanya hanya melalui penuturan kakeknya? Bahkan wajah kakeknya pun dia sudah lupa lagi. Kakek buyutnya itu, Kakek Pek Khun, telah tua sekali ketika menitipkan dia ke kuil Siauw-lim-pai dan pada waktu itu dia baru berusia tujuh tahun.

   Semenjak masih bayi, dia dibawa pergi kakek buyutnya dan belum pernah bertemu dengan ayah ibunya. Dan kini dia akan berhadapan dengan ayah kandungnya. Dengan ibu kandungnya! Dan mereka berada di belakang tembok yang mengelilingi perkampungan di depan itu! Betapa dekatnya mereka. Ayah dan ibu kandung. Namun betapa jauhnya selama ini, karena dia belum pernah melihat mereka dan tidak akan mengenal wajah mereka. Sungguh aneh. Dan semua gara-gara dia dianggap sebagai Sin-tong, anak ajaib yang dijadikan perebutan. Demikian menurut penuturan Ceng Hok Hwesio Ketua Siauw-lim-pai itu. Karena dia akan dirampas oleh para pendeta Lama Tibet yang hendak menjadikan dia calon Dalai Lama di Tibet,

   Maka oleh keluarga Pek dia disingkirkan dan akhirnya disembunyikan di kuil Siauw-lim-si itu. Sungguh terlalu para pendeta Lama itu pikirnya. Akan tetapi, menurut hwesio tua itu, bukan hanya para pendeta Lama yang memperebutkannya, juga banyak datuk sesat di dunia persilatan. Ada yang ingin memilikinya untuk dijadikan murid, ada pula yang ingin memilikinya untuk diserahkan kepada para pendeta Lama di Tibet dengan uang tebusan besar. Dia mengepal tinju. Mereka itu orang-orang jahat. Orang tuanya menjadi menderita karena mereka itu yang ingin memperebutkan dia. Dapat dibayangkan betapa susah hati orang tuanya, terutama ibunya, yang harus berpisah dari anaknya yang masih bayi dan selama dua puluh satu tahun belum pernah bertemu dengan puteranya itu.

   Dia akan segera bertemu dengan ibu kandungnya! Teringat akan ini, membayangkan betapa ibunya akan merangkulnya sambil menangis, kedua mata Han Siong menjadi basah dan dia mengebut-ngebutkan pakaiannya agar bersih dari debu. Tiba-tiba dia mendengar angin berdesir dan bayangan-bayangan orang berkelebat. Ketika dia yang tadi menunduk untuk melihat pakaiannya itu kini mengangkat muka, ternyata di depannya telah berdiri menghadang lima orang pendeta yang berjubah panjang, jubah kuning dan merah dan kepalanya mengenakan topi pendeta. Mereka bukan seperti pendeta-pendeta dalam kuil Siauw-lim-si, pakaian mereka berbeda karena jubah mereka itu ada warna merahnya, juga model topi mereka berbeda. Bahkan wajah mereka pun nampak asing. Terkejutlah dia ketika teringat bahwa mungkin mereka ini adalah para pendeta Lama dari Tibet!

   Namun, segera Han Siong dapat menguasai diri dan dengan sikap tenang dia menghadapi lima orang pendeta itu. Mereka itu rata-rata berusia enam puluh tahun, tiga orang di antaranya memegang tongkat dari kayu hitam, yang dua orang lagi tidak memegang tongkat, akan tetapi tangan mereka memegang dan memainkan butir-butir tasbeh merah yang panjang. Han Siong dapat menduga bahwa tasbeh itu bukan sekedar alat pembantu melakukan sembahyang, melainkan juga dapat dipergunakan sebagai senjata karena banyak pula hwesio Siauw-lim-si yang pandai menggunakan alat ini sebagai senjata ampuh. Melihat betapa lima orang pendeta itu memenuhi jalan di depannya, seperti orang menghadang, dia lalu memberi hormat dan bersoja, mengangkat kedua tangan yang dirangkap di depan dada.

   "Maaf Cu-wi Losuhu (Bapak Pendeta Sekalian), harap sudi membuka jalan agar saya dapat lewat,"

   Katanya penuh hormat. Lima orang pendeta Lama itu mengerutkan alis dan memandang kepadanya dengan pandang mata penuh selidik. Kemudian, seorang di antara mereka yang matanya lebar sebelah, yang sebelah kiri jauh lebih kecil daripada yang sebelah kanan dan biji-biji tasbeh di tangannya itu lebih besar daripada orang ke dua yang memegang tasbeh, tubuhnya tinggi kurus dengan kedua pipi cekung seperti tengkorak hidup, berkata, suaranya jelas membuktikan bahwa dia berlidah asing.

   
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Apakah engkau hendak pergi ke perkampungan Pek-sim-pang, orang muda?"

   Suaranya parau dan datar.

   "Benar, Lo-suhu. Saya hendak pergi ke dalam perkampungan Pek-slm-pang."

   "Hemm, ada keperluan apakah?"

   Biarpun wajahnya tetap senyum dan hormat, namun di dalam hatinya Pek Han Siong mencela sikap para pendeta ini. Siapakah mereka itu yang seolah-olah hendak mencampuri urusan orang lain, seolah-olah mereka itu berkuua di situ dan berhak mengurus orang-orang yang berkunjung kepada perkumpulan Pek-sim-pang? Namun dengan sikap tenang dia menjawab.

   "Saya hendak pergi menghadap keluarga Pek di sana, Losuhu."

   "Hemm, siapakah namamu, orang muda?"

   Han Siong sudah menduga bahwa mereka ini tentulah pendeta-pendeta Lama dari Tibet yang kabarnya mencari dia sebagai Sin-tong. Akan tetapi dia tidak merasa takut dan tidak mau menyembunyikan dirinya.

   "Nama saya Pek Han Siong, Losuhu."

   Benar saja dugaannya, lima orang itu nampak terkejut, bahkan mereka saling pandang dengan wajah pucat akan tetapi juga kelihatan girang sekali. Seorang di antara mereka, yang tubuhnya gendut bundar seperti bola, menggelinding ke belakangnya.

   "Perlihatkan punggungmu!"

   Bentak pendeta gendut itu dan Han Siong merasa betapa ada tangan menyambar ke arah punggungnya. Dalam waktu sedetik itu dia pun maklum bahwa mereka ingin melihat tanda merah di punggungnya, maka dia pun tidak mengelak, hanya diam-diam mengerahkan tenaga melindungi tubuh belakang agar tidak terkena Pukulan gelap.

   "Brettt...!"

   Punggung baju Han Siong kena dicengkeram robek dan nampaklah kulit punggung yang putih bersih, dengan tanda merah jelas nampak di tengah punggung itu!

   "Omltohud.. Benar dia... Sin-tong...!"

   Teriak Si Gendut yang segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Han Siong. Empat orang pendeta yang lain, dengan gerakan yang cepat dan ringan, telah berlompatan ke belakang Han Siong dan begitu melihat tanda merah itu, mereka pun seperti Si Gendut tadi, menjatuhkan diri berlutut dengan sebelah kaki di depan Han Siong.

   "Ampunkan saya... yang telah berani bersikap kurang hormat kepada Sin-tong..!"

   Kata pendeta gendut yang tadi merobek baju Han Siong di bagian punggung. Han Siong berdiri dengan kikuk sekali, akan tetapi juga geli rasa hatinya melihat betapa lima orang pendeta yang usianya enam puluh tahun kini berlutut memberi hormat kepadanya. Apakah mereka ini sudah menjadi gila, pikirnya.

   "Cu-wi Lo-suhu, harap jangan begini. Silakan bangkit dan bicaralah yang jelas, karena aku sungguh tidak mengerti apa artinya ini semua."

   Katanya. Pendeta yang tinggi kurus dan matanya sipit sebelah itu, yang agaknya menjadi pemimpin mereka, berkata dengan sikap hormat, dengan sebelah kaki masih berlutut dan kedua tangan menyembah di depan dada.

   "Sin-tong yang mulia, pinceng mohon maaf karena tidak mengenal sebelumnya, pinceng berlima bersikap kurang hormat. Hendaknya diketahui bahwa kami berlima adalah para pendeta Lama dari Tibet yang bertugas di sini menanti kedatangan Anda."

   Han Siong pura-pura tidak mengerti.

   "Menanti kedatanganku? Untuk apakah? Aku tidak pernah mengenal Cu-wi dan aku bukanlah Sin-tong, melainkan Pek Han Siong."

   "Aih, Sin-tong. Dua puluh tahun lebih kami bersusah payah mencari Anda, bahkan sudah beberapa kali berganti orang, membuang banyak tenaga. Kami merupakan tenaga yang terakhir, yang baru hampir satu tahun menanti kembalimu ke perkampungan ini."

   "Hemm, aku tidak mengerti. Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian. Sekarang, setelah bertemu, katakanlah apa kehendak kalian terhadap dlriku."

   "Sin-tong, pimpinan kami sudah menanti-nanti kedatangan Anda. Marilah ikut bersama kami, menghadap para pimpinan kami yang akan memberitabukan selanjutnya kepada Anda apa yang harus dilakukan."

   "Apa? Kalian mengajak aku pergi ke Tibet?"

   "Benart Sin-tong."

   "Tldak, aku datang untuk menghadap orang tuaku, menghadap Ayah dan Ibu kandungku."

   "Keluarga Pek bukanlah keluarga Anda, hanya kebetulan saja mereka dipakai untuk menjadi perantara Anda turun ke bumi. Anda telah ditakdirkan turun ke bumi melalui keluarga Pek untuk membimbing kami para Lama dan seluruh umat di dunia. Marilah, Sin-tong."

   "Tidak, aku harus bertemu dengan orang tuaku."

   "Boleh bertemu sebentar dengan keluarga Pek, akan tetapi setelah itu harus ikut bersama kami ke Tibet."

   "Harus? Kalian memaksaku?"

   "Ah, mana pinceng berani kurang ajar terhadap Sin-tong. Akan tetapi, kami telah menerima tugas sebagai utusan para pimpinan kami di Tibet. Bagaimanapun juga, kami harus pulang membawa Sln-tong karena kalau tidak, dosa kami akan besar sekali."

   "Kalau aku tidak mau?"

   "Apa boleh buat, bukan kami lancang dan berani kurang ajar melainkan kami harus mentaati perintah pimpinan kami."

   Kata pimpinan Lama ini dan tiba-tiba sepasang mata yang besar sebelah itu mengeluarkan sinar mencorong, bibirnya berkemak-kemik dan terdengarlah seruan dari mulutnya, suaranya lantang dan menggetar penuh wibawa yang kuat.

   "Engkau harus mentaati kami!"

   Pek Han Siong sudah menduga bahwa para pendeta Lama ini tentu memiliki ilmu sihir untuk menguasai kemauan orang lain, maka sebelumnya, dia sudah bersiap siaga sehingga ketika ada getaran suara yang amat kuat itu mencoba untuk menekannya, dia tersenyum saja. Baik, pikirnya, kalau kalian mengajak bermain-main dengan ilmu sihir, aku memperoleh kesempatan untuk menguji kemampuanku setelah dilatih ilmu sihir oleh Ban Hok Lojin.

   "Cu-wi Lo-suhu, harap jangan main-main dan hendak memaksakan kehendak kepadaku. Aku tidak mempunyai urusan dengan para Lama di Tibet, dan aku berada di tempat sendiri, tidak pernah mengganggu kalian. Bagaimana kalian orang-orang beribadat hendak memaksa seseorang? Bukankah itu merupakan dosa besar? Aku tidak mau ikut dan hendak kulihat apa yang akan kalian lakukan."

   Lima orang pendeta itu saling pandang dengan heran. Pimpinan mereka tadi sudah mengerahkan tenaga menggunakan ilmu menguasai kemauan orang, akan tetapi agaknya pemuda ini sama sekali tidak terpengaruh, bahkan tidak merasa sama sekali! Masih enak-enak saja bicara seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu! Akan tetapi keheranan mereka segera hilang ketika mereka teringat bahwa yang mereka hadapi adalah Sin-tong. Sebagai Anak Ajaib dan calon Dalai Lama, tentu saja pemuda ini memiliki kelebihan daripada orang biasa, pikir mereka, belum sadar bahwa yang mereka hadapi bukan hanya Sin-tong, melainkan seorang pemuda yang baru saja tamat belajar ilmu sihir yang amat kuat dari seorang di antara Delapan Dewa, yaitu Ban Hok Lo-jin! Tiba-tiba pimpinan Lama itu kembali membentak, kini dengan suara yang lebih nyaring melengking dan bergelombang kuat.

   "Pek Han Siong, demi Yang Mulia Dalai Lama di Tibet, engkau harus taat dan ikut bersama kami ke Tibet!"

   Han Siong merasa betapa dahsyatnya pengaruh suara itu, namun dia tetap tersenyum karena kalau diumpamakan suara itu seperti deburan ombak yang kuat, dia adalah seperti batu karang yang lebih kokoh lagi, yang tidak tergoyahkan oleh gelombang besar!

   "Engkau harus ikut!"

   Lama ke dua menghentakkan tongkatnya ke atas tanah sambil membentak keras.

   "Engkau harus taat!"

   "Harus ikut!"

   "Harus taat!"

   Bergantian lima orang pendeta Lama itu membentak dan mengerahkan kekuatan sihirnya untuk mempengaruhi Han Siong. Akan tetap pemuda itu berdiri biasa saja, mulutnya tersenyum dan sikapnya masih hormat, sedikit pun tidak bergoyang, sama sekali tidak nampak bahwa dia terpengaruh oleh serangan kelima orang pendeta Lama itu. Kembali para pendeta Lama itu saling pandang dan kini mereka terbelalak, baru terkejut dan dapat menduga bahwa pemuda itu tentu memiliki kekuatan gaib yang hebat sehingga serangan mereka tadi, yang di lakukan susul-menyusul sampai tenaga mereka bergabung, sedikit pun tidak berbekas!

   "Sudahlah, Cu-wi Losuhu, jangan memaksaku. Segala sesuatu di dunia ini kalau dipaksakan, akan berakibat buruk. Harap Cu-wi pergi dan jangan mengganggu aku lagi."

   "Baik, pinceng pergi...."kata pendeta kurus yang menjadi pimpinan.

   "Kami pergi....."

   "Kami pergi....."

   Lima orang itu tiba-tiba saja menundukkan kepala dan membalikkan tubuh, hendak pergi meninggalkan Han Siong. Akan tetapi baru beberapa langkah, mereka sadar bahwa mereka telah kehilangan kemauan dan tanpa mereka kehendak mulut mereka tadi mengeluarkan kata-kata itu dan kini mereka hendak membawa mereka pergi.

   "Omitahud.....!"

   Mereka berseru dan kembali membalikkan tubuh, kini menghadapi Han Siong dengan mata terbelalak penasaran dan alis berkerut. Tahulah mereka bahwa ketika berkata-kata tadi, Pek Han Siong telah mempergunakan kekuatan sihir pula yang membuat mereka berlima terpengaruh!

   "Pek Han Siong!"

   Kata pendeta kurus yang menjadi pimpinan.

   "biarpun engkau Sin-tong dan kami berlima tidak akan berani kurang ajar kepadamu, akan tetapi saat ini engkau adalah seorang yang di haruskan oleh pimpinan kami untuk ikut ke Tibet. Oleh karena itu, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan membawa mu ke Tibet!"

   Berkata demikian, tiba-tiba seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, menubruk Han Siang dari belakang. Han Siong tidak mengelak dan dua buah lengan yang besar dan panjang telah memeluknya dari belakang dalam tangkapan yang amat kuat seperti dua ekor ular melibat tubuhnya, membuat Han Siong tldak mampu bergerak lagi. Pimpinan para Lama itu melangkgh maju dan sekali menotok dengan jari tangannya ke arah pundak, tubuh Han Siong menjadi lumpuh dan tidak dapat berkutik lagi. Lima orang pendeta Lama itu merasa girang dan lega, tertawa senang karena mereka tidak menyangka bahwa pemuda itu dapat ditangkap semudah itu. Kiranya pemuda itu hanya pandai ilmu sihir saja, agaknya sama sekali tidak pandai ilmu silat!

   "Bagus, mari kita bawa dia!"

   Kata kakek tinggi kurus yang memimpin rombongan itu. Si Raksasa lalu memanggul tubuh yang sudah tak berdaya itu dan mereka pun berlari cepat meninggalkan tempat itu, khawatir kalau sampai diketahui orang-orang Pek-sim-pang sehingga akan timbul keributan. Akan tetapi, baru dua ratus langkah mereka lari, tiba-tiba pimpinan pendeta itu bertanya heran.

   "Eh, mana Lung Ti Lama?"

   Mendengar ini teman-temannya berhenti dan menengok ke kanan kiri. Memang Si Pendek Lung Ti Lama, seorang diantara mereka, tidak nampak dan mereka kini hanya berempat! Berlima dengan tawanan mereka,. Pendeta kurus yang menjadi pimpinan itu memandang ke arah tawanan yang masih dipanggul oleh temannya yang tinggi besar dan seketika wajahnya menjadi pucat.

   "Celaka, yang kau panggul itu adalah Lung Ti Lama!"

   Teriaknya. Si Tinggi Besar terkejut dan menurunkan tubuh yang dipanggulnya dan benar saja, kiranya yang ditawan dan ditotok tadi adalah seorang teman mereka sendiri, pendeta Lama bertubuh pendek itu! Tentu saja empat orang pendeta itu terkejut bukan main dan pimpnan Lama segera membebaskan totokan dari tubuh Si Pendek. Lung Ti Lama mengeluh dan mengusap-usap pundaknya yang terasa kaku sambil mengomel panjang pendek.

   "Bagaimana engkau yang menjadi tawanan? Padahal tadi kami menangkap Sin-tong!"

   Tegur pendeta tinggi itu.

   "Sin-tong apa?"

   Si Pendek mengomel.

   "Kalian malah mengeroyok aku dan menangkap aku."

   Semua pendeta maklum bahwa kembali Sin-tong menggunakan sihir yang amat kuat sehingga mereka berlima dipermainkan. Ketika mereka menengok, mereka melihat pemuda itu sudah melangkah lagi hendak melanjutlan perjalanan memasuki perkampungan.

   "Tangkap dia!"

   Bentak pimpinan Pendeta Lama dan mereka pun berloncatan dan mengepung Han Siong yang masih bersikap tenang.

   "Kalian adalah pendeta-pendeta yang tidak tahu diri."

   Han Siong menegur.

   "Mengganggu orang yang tidak bersalah sama sekali."

   Akan tetapi, lima orang pendeta itu tidak memberi kesempatan lagi kepada Han Siong untuk banyak cakap dan mereka pun sudah menerjang dan menyerang. Tiga orang mempergunakan tongkat hitam dan dua orang lagi menggunakan tasbeh yang menyambar dengan dahsyat. Melihat permainan senjata mereka yang demikian kuat, maklumlah Han Siong bahwa dalam hal ilmu silat, lima orang pendeta Tibet itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Maka dia pun cepat mengerahkan tenaga dan menggunakan ginkangnya mengelak ke sana-sini dengan loncatan-loncatan pendek dan kadang-kadang menangkis dengan lengannya yang tidak kalah kerasnya dibandingkan tongkat lawan.

   Han Siong tidak ingin melukai lima orang pendeta itu karena dia tidak bermusuhan dengan mereka. Dia tahu pula bahwa mereka itu hanyalah petugas-petugas yang melaksanakan tugas dan tidak berani melanggar perintah atasan. Dan ia pun tidak ingin memperlihatkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari suhu dan subonya, maka dalam menghadapi pengeroyokan itu, dia hanya memainkan ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai yang dipelajari di kuil Siauw-lim-si. Biarpun demikian, karena dia telah memiliki sinkang yang kuat dan ginkang yang membuat gerakannya ringan dan cepat, maka dia selalu dapat menghindarkan diri dari hujan senjata itu. Han Siong melihat banyak orang berlarian keluar dari dalam pintu gerbang perkampungan dan jantungnya berdebar tegang. Apalagi ketika dia mendengar suara orang laki-laki, cukup keras sehingga terdengar olehnya.

   "Benarkah dia itu? Tidak kelirukah ini? Pek Han Siong telah kembali...?"

   Dia tidak tahu siapa yang bicara itu, akan tetapi dia tahu bahwa tentu keluarga Pek telah berada di situ dan nonton perkelahian.

   Tiba-tiba dia merobah gerakannya dan dia memainkan tiga belas jurus pilihan dari Pek-sim-kun seperti yang dilatihnya dari kitab peninggalan kakek buyutnya. Kakek buyutnya itu, Pek Khun, telah menyaring ilmu silat Pek-sim-kun menjadi tiga belas jurus saja yang ampuh, yang mencakup bagian-bagian paling lihai dari ilmu silat itu, kemudian menuliskannya menjadi sebuah kitab pelajaran ilmu silat yang cukup sukar. Setelah dia digembleng oleh suhu dan subonya, barulah Pek Han Siong memperoleh dasar yang cukup kuat untuk mempelajari tiga belas jurus Pek-sim-kun ini sampai mahir benar. Kini melihat keluarga Pek keluar dan menonton, dia pun mulai memainkan ilmu silat itu menghadapi lima orang pengeroyoknya. Terdengar seruan-seruan heran, kaget dan kagum dari rombongan yang keluar dari perkampungan itu.

   "Mirip Pek-sim-kun!"

   "Dasar gerakan kakinya sama!"

   "Tapi demikian aneh dan cepat!"

   Bermacam-macam komentar para penonton dan dengan hati bangga Han Siong lalu mempercepat dan memperkuat gerakannya. Terdengar bunyi tongkat patah dan disusul teriakan kaget lima orang pendeta Lama yang mengeroyoknya. Tiga batang tongkat yang amat kuat itu telah patah dan dua untai tasbeh juga putus talinya! Lima orang pendeta itu maklum bahwa mereka sama sekali bukan lawan pemuda yang amat lihai ilmu sihir dan ilmu silatnya itu, dan mereka pun maklum bahwa Sin-tong sejak tadi mengalah dan tidak ingin melukai mereka. Sebagai orang-orang pandai, tentu saja mereka tahu bahwa kalau dikehendakinya, sejak tadi mereka berlima sudah roboh mungkin tewas di tangan pemuda tangguh itu.

   "Mari kita pergi!"

   Kata pendeta tinggi kurus dan dia pun meloncat pergi diikuti empat orang kawannya. Yang keluar dari dalam pintu gerbang perkampungan itu memang keluarga Pek bersama murid-murid mereka. Mereka itu sudah tahu bahwa telah berbulan lamanya, bahkan mungkin sejak kemunculan Hay Hay yang menimbulkan keributan dengan para pendeta Lama, diluar perkampungan mereka selalu terdapat pendeta-pendeta Lama berkeliaran. Mereka dapat menduga pula bahwa tentu para pendeta itu menanti munculnya Pek Han Siong untuk mereka tangkap. Karena mereka itu berada di luar dusun dan tidak pernah mengganggu perkampungan Pek-sim-pang, maka orang-orang Pek-sim-pang tidak dapat melarang mereka.

   

Siluman Gua Tengkorak Eps 2 Asmara Berdarah Eps 14 Harta Karun Jenghis Khan Eps 4

Cari Blog Ini