Asmara Berdarah 14
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 14
"Ha-ha-ha, bagus, bagus!"
Dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah berkelebatan di antara sinar senjata empat orang pengeroyoknya yang bergulung-gulung itu. Tentu saja empat orang pengeroyok itu terkejut bukan main. Tak pernah mereka sangka bahwa kakek gembel itu sedemikian lihainya dan seperti pandai menghilang saja saking cepatnya dan ringannya gerakan tubuhnya. Ternyata kakek ini bukan hanya mampu menghindarkan diri dari sambaran senjata-senjata ampuh itu, bahkan dengan gerakan-gerakannya seperti tadi masih dapat pula membantu Ci Kang sehingga kini pemuda itu dapat membalas serangan kedua orang pengeroyoknya karena setiap serangan kedua suami isteri itu selalu tertumbuk pada tenaga yang tidak nampak akan tetapi yang kuat sekali.
"Ha-ha-ha, menggembirakan sekali!"
Kakek itu menari-nari ketika senjata-senjata lawan berobah menjadi sinar bergulung-gulung dan menyambar-nyambar.
"Tartartarrr..."
Senjata cambuk hitam ekor sembilan dari Kiu-bwe Coali meledak-ledak, diselingi ledakan satu-satu dan nyaring dari cambuk baja di tangan Koai-pian Hek-mo.
"Singggg... tringtringgg..."
Suara pedang di tangan Hwa-hwa Kuibo dan sepasang gelang emas di lengan Tho-tee-kui juga terdengar nyaring membuat kakek gembel yang dikeroyok itu menjadi semakin girang seperti seorang anak kecil melihat permainan yang menarik.
"Tar-tar-tarr..."
Cambuk ekor sembilan di tangan Kiu-bwe Coali meledak-ledak di atas kepala kakek itu. Sembilan ekor cambuk itu seperti hidup, seperti sembilan ekor ular yang menyambar-nyambar turun. Akan tetapi kakek itu menggunakan jari tangannya menyentil setiap kali ujung cambuk menyambar. Tiga kali dia menggunakan telunjuk tangannya menyentil dan ekor cambuk itu menyeleweng dan melesat amat cepatnya ke arah tiga orang pengeroyok lain. Hal ini sama sekali tidak diduga-duga dan tahu-tahu Hwa-hwa Kuibo, Koai-pian Hek-mo, dan Tho-tee-kwi berteriak kaget dan tubuh mereka terpelanting berturut-turut karena tahu-tahu tubuh mereka sudah tertotok oleh ujung cambuk Kiu-bwe Coali yang disentil menyeleweng tadi. Melihat robohnya tiga orang itu, kakek gembel tertawa dan mengangkat kedua tangan depan dada, menjura ke arah Kiu-bwe Coali.
"Terima kasih, engkau baik sekali telah menolongku dengan cambukmu!"
Kiu-bwe Coali masih terbelalak saking kagetnya melihat betapa ujung cambuknya malah menotok dan merobohkan tiga orang kawannya sendiri, tiba-tiba merasa ada sambaran angin dari depan ketika kakek itu menjura. Dengan cepat ia hendak mengelak, akan tetapi tidak keburu dan ketika ia mengerahkan tenaga untuk melawan, tubuhnya terjengkang dan dadanya terasa sesak, seperti telah dipukul orang dengan keras! Empat orang itu merangkak bangun dengan mata terbelalak. Mereka adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui, bagaimana mungkin dapat dirobohkan semudah itu oleh kakek gembel ini? Si kakek gembel tertawa-tawa.
"Ha-ha-ha, kalian memang amat baik hati, pantas kusuguhi arak!"
Dan diapun menurunkan guci araknya, mendekatkan bibir arak ke mulutnya, minum beberapa teguk kemudian dia menyemburkan arak di mulutnya itu ke arah empat orang bekas lawan. Empat orang datuk itu terkejut dan berusaha menghindar, akan tetapi masih terasa oleh mereka betapa kulit tubuh mereka yang terkena percikan air yang disemburkan terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum. Bahkan percikan arak itu menembus baju mereka dan mengenai kulit. Sementara itu, memperoleh kenyataan bantuan rahasia dari kakek aneh, kini Ci Kang mendesak kedua lawannya dan akhirnya dialah yang berada di pihak menyerang. Tiba-tiba terdengar suara kakek itu,
"Tendang pantat mereka! Tendang pantat mereka!"
Aneh sekali, di dalam suara itu seperti terkandung tenaga mukjizat yang membuat Ci Kang tak dapat menahan diri lagi dan kakinyapun menyambar dan menendang berturut-turut ke arah pinggul dua orang lawannya. Hebatnya, dua orang suami isteri itu tidak kuasa mengelak seolah-olah tubuh mereka terhalang sesuatu.
"Bukk! Bukk!"
Dua kali kaki Ci Kang menendang dan dua orang suami isteri itupun terbanting ke atas tanah. Mereka berloncatan bangun sambil meringis dan setelah saling pandang dengan rekan-rekannya, mereka lalu melarikan diri tanpa berani mengeluarkan kata-kata lagi. Peristiwa itu terlampau hebat bagi mereka. Belum pernah selama hidup mereka dikalahkan orang secara ini.
Akan tetapi, ketika kakek tadi menyembur dengan arak, wajah mereka pucat karena mereka teringat akan nama seorang yang selama ini dikabarkan sudah mati atau telah menjadi dewa, yaitu Ciusian Lokai (Gembel Tua Dewa Arak). Memang orang sakti ini tidak pernah muncul di dunia kang-ouw, akan tetapi ada beberapa orang tokoh kang-ouw pernah melihat kesaktiannya sehingga namanya dikenal sebagai seorang di antara tokoh-tokoh rahasia yang amat sakti. Maka, enam orang datuk sesat itu segera mengambil langkah seribu. Biarpun mereka itu sudah menjadi datuk yang berkedudukan tinggi, akan tetapi karena mereka adalah golongan sesat, maka melarikan diri bukanlah hal yang dipantang oleh mereka. Ci Kang berdiri memandang sambil bertolak pinggang, sama sekali tidak bergerak untuk melakukan pengejaran.
"Orang muda, kenapa engkau tidak mengejar mereka?"
Ci Kang menoleh kepada kakek gembel itu.
"Kenapa aku harus mengejar mereka?"
Dia balas bertanya sambil memandang tajam kepada kakek gembel yang sakti itu, yang entah mengapa telah mencampuri urusannya dan membantunya. Harus diakuinya dalam hati bahwa kakek ini telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut dikeroyok orang-orang Cap-sha-kui tadi.
"Lhoh! Bukankah mereka tadi mati-matian hendak membunuhmu?"
"Benar, akan tetapi aku tidak ingin membunuh mereka."
Kakek gembel itu melangkah dekat dan memandang sambil tersenyum lebar, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar.
"Orang muda, apakah engkau tidak menaruh dendam kepada mereka yang hendak membunuhmu?"
"Tidak, mereka suka kekerasan dan suka membunuh, aku tidak."
"Bagus! Andaikata mereka itu membunuh ayahmu, apakah engkau juga tidak sakit hati dan mendendam?"
Ci Kang teringat akan ayahnya yang hidup sebagai datuk sesat. Kalau ayahnya terbunuh orang, hal itu hanya terjadi karena kesalahan ayahnya sendiri. Orang yang suka bermain dengan api seperti ayahnya, kalau sekali waktu terbakar, tidak perlu penasaran lagi. Maka diapun menggeleng kepala. Kakek gembel itu kelihatan semakin girang.
"Wah, inilah orangnya yang kucari selama ini. Orang muda, engkau bernama Siangkoan Ci Kang, bukan? Engkau putera tunggal Siangkoan Lojin?"
Pemuda itu menjadi semakin heran dan dia mengangguk.
"Heh-heh, bagus! Ayahnya menjadi pimpinan kaum sesat mengumbar nafsu, puteranya malah bebas dari nafau dendam. Siangkoan Ci Kang, baru saja kalau tidak ada aku, engkau tentu sudah mati di tangan badut-badut itu. Nah, untuk membalas budi itu, apa yang ingin kau lakukan untukku?"
Ci Kang mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala.
"Locianpwe, walaupun locianpwe telah mengusir orang-orang yang mengeroyokku dan menyelamatkan aku, hendaknya locianpwe ingat bahwa aku tidak pernah minta tolong kepadamu. Jadi aku tidak berhutang budi atau apapun kepada locianpwe."
Orang lain tentu akan merasa penasaran dan marah sekali mendengar jawaban orang yang pernah diselamatkan nyawanya seperti itu, akan tetapi sungguh kakek itu berwatak aneh. Dia malah tertawa senang!
"Ha-ha-ha, cocok! Bagus! Tidak pernah hutang budi, tidak pernah menghutangkan budi, berarti tidak pula pernah mendendam. Ha-ha, orang muda, engkaulah orang yang kucari-cari!"
Ci Kang merasa semakin heran. Kakek ini sungguh luar biasa, tidak saja mengetahui keadaannya, akan tetapi juga omongannya aneh dan sikapnya luar biasa.
"Mengapa locianpwe berkata demikian? Mengapa locianpwe mencari-cari aku?"
"Aku mencari murid dan engkaulah orangnya yang paling cocok. Orang muda, tidak kusangkal bahwa engkau telah memiliki ilmu silat yang tinggi dan jarang ada orang dapat menandingimu. Akan tetapi sayang, ilmu-ilmumu masih mentah. Tadipun andaikata ilmumu sudah matang, tanpa kubantu sekalipun engkau akan menang menghadapi para pengeroyokmu."
Ci Kang menggeleng kepala.
"Tidak mungkin, locianpwe. Mereka itu adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang berilmu tinggi. Bahkan ayah sendiripun agaknya tidak akan kuat kalau menghadapi pengeroyokan mereka."
"Ha-ha, engkau sudah melihat betapa dengan mudah aku menghadapi mereka. Siangkoan Ci Kang, mari kau ikut bersamaku setahun saja dan aku akan mamatangkan ilmumu."
Ci Kang mengerutkan alisnya, mempertimbangkan. Tentu saja dia yang sejak kecil belajar silat, merasa girang kalau sampai dapat menjadi murid kakek yang dia tahu memiliki kepandaian hebat ini. Akan tetapi diapun memiliki watak yang bebas, tidak mau terikat.
"Apakah locianpwe hendak mengambil murid kepadaku sebagai balas budi?"
"Ha-ha-ha, akupun seorang yang suka bebas dari pada segala macam hutang budi seperti engkau. Aku ingin mengambil murid karena kulihat engkau berbakat sekali, dan karena aku merasa cocok dengan watakmu."
Giranglah rasa hati Ci Kang mendengar ucapan ini. Tanpa ragu-ragu lagi diapun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek gembel itu.
"Baiklah, suhu, teecu terima dengan gembira sekali."
Kakek itu juga merasa gembira bukan main.
Sambil tertawa-tawa dia lalu menarik tangan Ci Kang dan diajaklah pemuda itu pergi dari situ untuk mulai menggemblengnya sebagai murid. Kakek itu adalah Ciusian Lokai, tokoh sakti aneh yang tak pernah muncul di dunia kang-ouw dan yang pernah mengunjungi Lembah Naga tempo hari. Seperti kita ketahui, Ciusian Lokai berbeda pendapat dan berbantahan dengan Gobi Sanjin tentang sikap Pendekar Cia Han Tiong mengenai dendam dan ikatan. Dan karena mereka merasa sudah terlalu tua untuk saling gempur, keduanya lalu berjanji untuk mencari murid dan mendidik murid itu menurut pandangan hidup masing-masing, tentu saja dengan maksud untuk kemudian diuji siapa yang lebih berhasil. Gobi Sanjin lalu berhasil membujuk Cia Sun yang sedang dicekam dendam karena kematian ibu dan para suhengnya, sedangkan Ci Kang yang jemu dengan dunia hitam dan kejahatan, kini menjadi murid kakek gembel itu.
Pulau Teratai Merah merupakan sebuah di antara pulau-pulau kecil yang berada di Lautan Tiongkok Timur, beberapa li jauhnya dari pantai. Kalau dilihat dari pantai, hanya nampak bintik-bintik kecil di sebelah timur yang tidak menarik perhatian. Bahkan para nelayan hanya mengenal pulau-pulau kecil itu sebagai pulau-pulau kosong dan sebagian besar hanya merupakan pulau-pulau batu karang yang tiada gunanya karena tidak memiliki tanah subur, tidak memiliki air tawar. Akan tetapi ada beberapa buah pulau yang ditumbuhi pohon-pohon liar dan di antara pulau-pulau inilah yang dinamakan Pulau Teratai Merah. Pulau ini mempunyai tanah yang cukup subur, bahkan ada sumber airnya, dan ada bukit kecilnya. Dahulu, puluhan tahun yang lalu, pulau inipun hanya dilewati saja oleh para nelayan karena hanya terisi pohon-pohon liar dan binatang-binatang berbahaya.
Akan tetapi, pulau ini telah dipilih oleh Pangeran Toan Suong, pangeran pelarian yang meninggalkan kota raja, seorang bangsawan yang menentang keluarga kaisar sendiri, dan seorang ahli silat yang amat pandai. Di pulau inilah Pangeran Toan Suong bersembunyi, hidup bersama isterinya yang tercinta, yang bernama Ouwyang Ci. Isterinya itu memiliki kitab pusaka peninggalan Panglima The Hoo yang terkenal dan di tempat sunyi ini, Pangeran Toan Suong dan Ouwyang Ci yang menjadi isterinya, tekun memperdalam ilmu silat, bahkan berhasil menciptakan Ilmu Hok-mo Sin-kun yang hebat. Di tempat itu pula mereka mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Toan Kim Hong yang kemudian menjadi datuk selatan Lamsin dan akhirnya menjadi isteri Pendekar Sadis (baca cerita Pendekar Sadis).
Pangeran bersama isterinya itu membabat hutan di pulau itu, menanami tanah pulau itu dengan pohon-pohon yang berguna, sayur-sayuran, bahkan akhirnya mereka berdua menanam bunga-bunga, membuat telaga kecil dari air sumber yang dialirkan ke situ dan sebentar saja mereka dapat memperkembang-biakkan bunga teratai merah. Pulau itu berobah menjadi tempat yang indah dan subur dan mereka memberi nama Pulau Teratai Merah. Demikianlah riwayat singkat Anglianto (Pulau Teratai Merah) itu yang kini menjadi tempat tinggal Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya, Lamsin Toan Kim Hong. Setelah Pendekar Sadis dan isterinya yang memang ahli waris pulau itu tinggal di situ, pulau itu menjadi semakin indah dan terawat baik.
Apalagi karena pendekar ini mempergunakan belasan orang pelayan untuk merawat pulau, tempat itu menjadi sebuah pulau yang mewah. Ceng Thian Sin telah menjadi seorang yang kaya raya, memiliki sebuah bangunan gedung seperti istana di atas pulau. Para pembaca cerita serial Pendekar Sadis tentu maklum, betapa suami isteri pendekar ini telah memperoleh harta karun Jenghis Khan yang amat besar nilainya dan yang membuat suami isteri itu menjadi kaya raya. Biarpun sudah lama suami isteri pendekar ini tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw, melainkan hidup makmur dan tenteram di Pulau Teratai Merah, namun hal ini bukan berarti mereka mengasingkan diri dari pergaulan.
Sama sekali tidak, karena keluarga Ceng ini mengadakan hubungan dengan kota Ningpo, kota pelabuhan terbesar di daratan yang terdekat dengan Pulau Teratai Merah. Para penghuni kota Ningpo, dari pembesar sampai kepada para pelayannya, tahu di mana letaknya pulau itu dan siapa keluarga yang tinggal di sana. Bahkan Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur di Propinsi Cekiang dan daerah selatan, berkenan datang berkunjung beberapa hari ke pulau indah itu dan menjadi tamu kehormatan keluarga Ceng. Terjalin persahabatan antara keluarga Ceng dan keluarga Can, apalagi setelah pangeran yang masih berdarah keluarga kaisar di kota raja itu mengetahui bahwa isteri Pendekar Sadis adalah keturunan Pangeran Toan Suong yang amat terkenal itu.
Bagaimanapun juga, masih ada hubungan keluarga, biarpun jauh, antara keluarga Can Seng Ong dan isteri Pendekar Sadis. Selain itu, sudah beberapa kali suami isteri majikan Pulau Teratai Merah itu berjasa dengan beberapa kali mengusir dan membasmi penjahat-penjahat yang berani merajalela di Ningpo dan sekitarnya, yang tidak dapat ditanggulangi oleh para petugas keamanan. Pada suatu siang yang panas, sebuah perahu kecil meluncur meninggalkan Pantai Ningpo menuju ke timur, ke arah pulau-pulau kecil yang nampak seperti titik-titik hitam itu. Perahu itu didayung gadis berpakaian sederhana dan setelah agak ke tengah, gadis itu mengembangkan layar yang segera menangkap angin dan meluncurlah perahu itu dengan lajunya, dikemudikan tangantangan kecil halus dengan sikap cekatan.
Jelaslah bahwa gadis ini tidak asing dengan lautan dan perahu. Hal ini bukanlah aneh kalau diketahui bahwa gadis itu lahir dan dibesarkan di Pulau Teratai Merah. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin! Setelah peristiwa pembongkaran rahasia Liu-thaikam di istana selesai dan pembesar korup itu tertangkap dan dihukum mati, Sui Cin bersama Cia Hui Song meninggalkan kota raja. Tadinya Hui Song hendak mengantar Sui Cin sampai ke Pulau Teratai Merah karena pemuda yang sudah jatuh cinta ini selain ingin memperpanjang perjalanannya bersama dara itu, juga ingin berkunjung ke pulau itu bertemu dengan Pendekar Sadis dan isterinya yang sudah lama dia kagumi namanya itu. Akan tetapi Sui Cin mencegahnya.
"Twako, harap kau jangan dulu berkunjung ke rumah kami. Ayah ibuku akan marah kepadaku kalau membawa teman tanpa memberi tahu lebih dahulu. Tidak begitu mudah untuk mendatangi Pulau Teratai Merah tanpa mendapat perkenan ayah ibu. Aku sudah lama merantau meninggalkan mereka. Kalau aku pulang membawa teman tanpa lebih dahulu mendapat ijin, aku tentu akan kena marah. Lain kali saja engkau datang kalau aku sudah menceritakan tentang dirimu kepada mereka."
Hui Song merasa kecewa akan tetapi tidak berani memaksa.
"Cin-moi, akupun tidak berani lancang mengunjungi Pulau Teratai Merah tanpa ijin orang tuamu. Biarlah aku mengantarmu sampai ke pantai dan engkau lebih dahulu menyeberang ke pulau dan melaporkan kepada orang tuamu. Kalau mereka setuju, baru aku akan ke sana. Bagaimana?"
Tentu saja tidak ada alasan bagi Sui Cin untuk menolak. Apalagi ia memang suka kepada pemuda yang jenaka dan lincah akan tetapi gagah perkasa dan berbudi ini. Ia tahu benar bahwa Hui Song mencintanya dan hal ini mendatangkan rasa senang di dalam hatinya, walaupun ia sendiri tidak tahu pasti apakah iapun mencinta pemuda ini. Ia suka kepada Hui Song, sebagai seorang sahabat, hal ini sudah jelas. Senang bekerja sama dengan pemuda yang gagah perkasa itu, melakukan perjalanan bersama, bersenda-gurau dan bicara tentang ilmu silat. Dan bagaimanapun juga harus diakuinya bahwa cintanya pemuda itu kepadanya mendatangkan semacam rasa bangga dalam hatinya. Mereka lalu melakukan perjalanan ke selatan dan setelah mereka tiba di kota Ningpo, Sui Cin berkata,
"Song-twako, harap engkau suka menanti di kota ini lebih dulu. Paling lambat tiga hari aku pasti akan memberi kabar kepadamu, entah aku datang sendiri atau menyuruh pelayan, mengabarkan kepadamu apakah engkau sudah boleh menyeberang ke pulau ataukah tidak."
"Baik, Cin-moi. Aku menanti di penginapan ini, mudah-mudahan orang tuamu berkenan menerima kunjunganku. Selamat jalan, Cin-moi."
"Selamat tinggal, sampai jumpa kembali."
Sui Cin meninggalkan pemuda itu dan berlayar seorang diri menuju ke Pulau Teratai Merah. Wajahnya gembira sekali, berseri-seri dan senyum menghias bibirnya. Hatinya terasa nyaman dan gembira karena begitu ia berlayar menuju ke pulaunya, barulah terasa betapa sebetulnya ia merasa amat rindu kepada ayah bundanya, kepada pulaunya, bahkan rindu kepada air laut di mana ia biasa bermain-main semenjak ia kecil. Kini, setelah ia mangemudikan perahunya yang ngebut menuju ke timur, hatinya riang sekali. Dalam keriangannya itu teringatlah ia akan sajak yang dibuat ibunya dan yang dihafalnya ketika ia masih kecil. Kini, tak terasa lagi bibirnya bergerak dan terdengarlah alunan suaranya yang nyaring merdu di antara suara percikan air pecah dibelah ujung perahunya.
Laut! Hidupmu penuh rahasia
Airmu luas tak terjangkau mata
Bergerak berobah tiada hentinya
tak berdaya namun penuh kuasa!
Kadang marah liar mengganas
Kadang lembut halus dan lemas
Kadang riang gembira penuh tawa
Kadang meraung menangis penuh duka!
Laut! Penuh sgala
Kemungkinan rahasia
Cermin batin setiap manusia!
Dahulu, di waktu ia masih kecil, biarpun ia hafal akan kata-kata nyanyian itu, namun ia tidak mengerti apa yang termaksud dalam sajak itu. Memang penggambaran lautan itu dapat dimengerti. Lautan selalu berobah. Kalau sedang tenang halus, amat mentakjubkan karena indahnya, bagaikan sutera biru terhampar, atau bagaikan padang rumput segar tertiup angin, seolah-olah melambai mengajak orang menikmati keindahannya. Akan tetapi ada kalanya laut membuat ia berlari menjauh, bersembunyi aman di dalam rumah karena laut mengamuk, mengganas, mengeluarkan suara yang mengerikan, gelombang menderu meraungraung, Kadang-kadang menangis mendesisdesis, menggelegar menghantam batu karang di pantai, demikian perkasa dan menyeramkan.
Akan tetapi hanya sampai di situ saja batas kemampuannya untuk menyelami arti sajak buatan ibunya itu. Bahkan setahun yang lalu ketika ia meninggalkan pulau, ia masih tidak perduli akan isi sajak itu, tidak berminat untuk menyelami artinya lebih mendalam. Akan tetapi sekarang, pada saat ia bernyanyi, artinya meresap ke dalam kalbu dan ia mengerti sepenuhnya akan isi kalimat terakhir dari sajak itu.
"Laut! Penuh segala kemungkinan rahasia, cermin batin setiap manusia!"
Baru saja Sui Cin menghentikan nyanyiannya, perhatiannya tertarik oleh beberapa buah perahu yang agaknya baru saja meninggalkan Pulau Teratai Merah. Sebuah perahu besar mewah dikawal oleh empat buah perahu kecil.
Begitu melihat perahu besar itu, Sui Cin tersenyum. Tentu saja ia mengenal perahu mewah yang berbendera besar itu. Perahu siapa lagi kalau bukan perahu Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur atau Raja Muda dan mempunyai rumah di Ningpo itu! Ia mengenal keluarga itu, juga mengenal putera tunggal raja muda itu, seorang yang usianya lima enam tahun lebih tua dari pada usianya dan yang disukainya karena pemuda bangsawan yang bernama Can Koan Ti itu wataknya ceriwis, suka menggodanya dengan sikap yang kurang ajar! Akan tetapi dalam pergaulan biasa, tentu saja ia tidak menyatakan sikap tidak senang itu, karena ia maklum bahwa orang tuanya adalah sahabat baik keluarga Can. Agaknya yang membuat ia tidak suka adalah kemewahan yang terlalu berlebihan itu.
Ibunya sendiri seorang wanita cantik jelita yang pesolek dan suka mengenakan pakaian-pakaian indah, demikian pula ayahnya. Dan keluarga Can itu seolah-olah berlomba dalam menonjolkan kekayaan mereka. Hal-hal inilah yang tidak disukai Sui Cin. Entah bagaimana, ia tidak suka bersolek, tidak suka menonjolkan kekayaan dan Kadang-kadang selagi ia kecil, ia ngambek kalau oleh ibunya dipaksa mengenakan pakaian-pakaian indah. Ia lebih mengutamakan keenakan pakaian yang menempel di tubuh dari pada keindahannya. Karena inilah maka Sui Cin seringkali memakai pakaian yang aneh-aneh dan nyentrik, semata-mata dilakukan bukan untuk menarik perhatian, melainkan karena ia mengutamakan keenakan pada pakaian yang dipakainya itu.
"Haiii... Ceng Siocia..."
Tiba-tiba terdengar seruan dari perahu besar dan seorang laki-laki menjenguk dari atas pagar besi di tepi geladak perahu. Orang itu berusia kurang lebih dua puluh dua tahun. Wajahnya tidak berapa tampang akan tetapi karena dia pesolek, dengan kulit muka biasa dibedaki, rambut tersisir rapi dan mengkilat karena minyak, pakaiannya mewah sekali, maka dia nampak sebagai seorang pria yang ganteng. Sui Cin segera mengenalnya karena pemuda itu bukan lain adalah Can Koan Ti, putera tunggal Raja Muda Can Seng Ong atau gubernur Cekiang itu. Bertemu dengan orang yang sudah dikenalnya setelah lebih dari setahun berpisah mendatangkan kegembiraan. Sui Cin segera melupakan sifatsifat yang tidak disukanya pada diri putera pembesar itu dan iapun melambaikan tangan.
"Heiii, Cong-kongcu... selamat berjumpa!"
Teriaknya riang. Pemuda itu melambaikan tangan dengan gembira, lalu terdengar suaranya nyaring dan sengaja dinyaringkan karena perahu mereka sudah meluncur berpapasan,
"Haiii... engkau semakin cantik saja..."
Sui Cin cemberut. Kiranya belum sembuh juga penyakit laki-laki itu, pikirnya. Ia hendak memaki dan sudah mengerahkan khikang untuk berteriak agar terdengar dari perahu besar yang sudah jauh, akan tetapi pada saat itu, banyak kepala nongol di tepi perahu itu sehingga ia melirihkan suaranya agar tidak terdengar banyak orang,
"Engkau... ceriwis dan brengsek..."
Karena gadis itu tidak mempergunakan khikang ketika berteriak, tentu saja suaranya tidak dapat mencapai perahu besar yang sudah lewat agak jauh. Can Koan Ti merasa penasaran tidak mendengar apa yang diucapkan dara jelita itu, maka diapun berteriak,
"Apaaaa...? Kau bicara apa, nona...?"
Akan tetapi Sui Cin hanya memoncongkan mulut mencibirkan bibir saja. Melihat ini, pemuda bangsawan itu menjadi gemas. Awas kau, pikirnya, kalau sudah menjadi milikku, kugigit bibirmu itu! Sui Cin tertawa-tawa kecil, senang hatinya sudah dapat menggoda pemuda bangsawan itu. Aneh, kenapa aku menjadi marah karena dipuji cantik? Ah, bukan pujiannya yang membuatnya marah, melainkan sikap pemuda itu, dan mungkin juga tergantung dari siapa yang memujinya. Kalau memang hati sudah tidak suka, biar dipujipun mungkin saja dianggap melakukan kekurang-ajaran. Sebaliknya kalau hati suka, biar dikurang-ajari sekalipun mungkin akan dianggap sebagai pujian yang menyenangkan!
Sui Cin sengaja memutar perahunya dan menghampiri Pulau Teratai Merah dari arah selatan karena di bagian selatan dari pulau itu terdapat sebuah taman laut yang amat indah. Di waktu air laut sedang tenang, dari atas perahu dapat nampak ikan-ikan di bawah permukaan air yang tidak begitu dalam dan dasar laut itupun penuh dengan batu dan bunga karang yang amat indah dan beraneka warna. Ketika tiba di tempat ini, Sui Cin tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk menikmati tempat itu. Ia menoleh ke kanan kiri. Sunyi. Memang tidak ada nelayan berani mendekat Pulau Teratai Merah tanpa seijin orang tuanya, dan ayah bundanya melarang para nelayan mendatangi taman laut itu.
Setelah merasa yakin bahwa di situ tidak terdapat orang lain, Sui Cin lalu membuang jangkar, menggulung layar, menanggalkan pakaian luarnya kemudian juga pakaian dalamnya. Dengan bertelanjang bulat ia mengikat rambutnya di atas kepala dan terjunlah ia ke dalam air. Ia menyelam dan segera ia memasuki keadaan yang hanya dapat dibayangkan dalam mimpi. Sebuah alam yang amat indah, beraneka warna, ada bintang-bintang berwarna, ada bunga-bunga raksasa dengan warna menyolok, ada ikan-ikan yang warnanya berkilauan dan bentuknya beraneka macam, ada yang teramat aneh dan menyeramkan. Ia menyelam, hanya timbul untuk berganti napas dan menyedot hawa murni sebanyaknya, menyelam lagi dan tanpa dirasakan telah satu jam lebih ia bermain-main di tempat itu, suatu kebiasaan yang dahulu menjadi kesukaannya sebelum ia pergi merantau.
Setelah ia merasa lelah dan puas, baru ia naik ke perahunya, mengeringkan tubuh dan rambut, lalu mengenakan lagi pakaiannya. Dan hatinya kini menjadi semakin riang, wajahnya semakin cerah ketika ia mengemudikan perahunya menuju ke Pulau Teratai Merah. Biarpun Pulau Teratai Merah tidak pernah dijaga ketat karena keluarga Ceng tidak takut akan ancaman bahaya, namun para pelayan mereka yang rata-rata memiliki kepandaian silat lumayan itu selalu bersikap waspada. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila mereka sudah tahu akan kedatanan nona mereka dan hal ini segera mereka laporkan kepada majikan mereka. Itulah sebabnya ketika Sui Cin muncul di ruangan depan rumah gedung keluarganya, ayah ibunya telah berdiri menyambut dengan senyum gembira.
"Ayah..."
Sui Cin berlari dan memeluk ayahnya, sejenak menempelkan mukanya di dada yang bidang itu. Jari-jari tangan ayahnya mengelus rambutnya, mendatangkan rasa senang dan tenteram di hati. Ia lalu mengangkat mukanya, memandang wajah ayahnya yang masih ganteng itu sambil tersenyum.
"Engkau baik saja, bukan?"
Ayahnya bertanya halus. Sui Cin mengangguk, lalu melepaskan dirinya dan menghampiri ibunya, terus merangkulnya,
"Ibu..."
Toan Kim Hong memeluk anaknya dan menciumi pipinya.
"Anak bengal, terlalu lama kau pergi, membuat kami merasa rindu sekali."
Sui Cin juga menciumi muka ibunya yang amat cantik itu.
"Ihh, rambutmu basah! Bau air laut pula! Dan pakaianmu... hemm, kenapa engkau memakai pakaian seperti... seperti gembel..."
Wanita itu menegur dan alisnya berkerut. Sebagai seorang ibu yang suka akan pakaian indah, tentu saja hati nyonya ini merasa kecewa melihat puteri tunggalnya berpakaian yang dianggapnya jorok dan terlalu sederhana, pantasnya pakaian wanita petani miskin. Sui Cin melepaskan rangkulannya, melangkah mundur tiga tindak dan memandang ayah ibunya. Baru sekarang ia melihat betapa pakaian orang tuanya amat mewah, lebih indah dari pada biasanya dan teringatlah ia bahwa tentu ayah ibunya belum berganti pakaian setelah tadi menerima tamu agung, yaitu keluarga Raja Muda Can itu. Timbul rasa tidak senangnya akan kemewahan ayah bundanya dan ia berkata dengan nada mengejek dan senyum dibuat-buat.
"Wah, pakaian ibu dan ayah indah sekali, baru dan mewah seperti pakaian kaum bangsawan saja!"
Memang pakaian yang dikenakan suami isteri itu indah dan mewah. Ceng Thian Sin yang telah berusia empat puluh enam tahun itu masih nampak muda dan gagah, tubuhnya tegap dan sehat, wajahnya berseri dan kepalanya memakai sebuah topi yang bagus, dihias bulu. Pakaiannya dari sutera halus biru dan putih, rapi dan mewah seperti pakaian seorang hartawan aseli, sepatunya mengkilap dan baru.
Toan Kim Hong lebih mewah lagi. Rambutnya disanggul di atas, dihias emas dan permata berbentuk sebuah mainan naga kecil, kedua telinganya dihias antinganting mutiara besar, juga kalung batu-batu permata tergantung di luar bejunya yang amat indah. Gaun itu disulam gambar seekor burung hong dari benang emas, sesuai dengan namanya "Kim Hong! yang berarti burung hong emas! Wajah wanita yang sebetulnya dua tahun lebih tua dari suaminya ini masih nampak seperti wanita tiga puluh tahunan saja, cantik manis dan kulitnya putih halus. Sungguh sukar dipercaya bahwa wanita yang begini cantik jelita pernah menjadi Lamsin, datuk selatan yang ditakuti semua golongan hitam. Toan Kim Hong merasakan nada suara mengandung ejekan itu. Sepasang alisnya berkerut ketika ia berkata,
"Sui Cin! Tidak pantas engkau mengejek orang tuamu! Tidak pantas pula engkau mengenakan pakaian semacam ini! Engkau tentu tahu siapa ayahmu, dan dari mana datangnya nama keluarga Ceng. Ayahmu masih berdarah keluarga kaisar! Kakek ayahmu adalah mendiang Kaisar Ceng Tung, maka memang sudah sepatutnya kalau keluarga kita adalah keluarga bangsawan. Dan ayahku sendiri adalah seorang pangeran yang tidak rendah kedudukannya. Keluarga Toan adalah keluarga bangsawan pula. Maka, tidak perlu engkau mengejek."
Thian Sin memegang lengan isterinya dan merangkul pundak puterinya.
"Sudahlah, masa anak baru datang dimarahi. Dan engkau, Cin, tidak baik bersikap seperti itu kepada ibumu. Mari kita bicara di dalam. Kami ingin menyampaikan berita penting sekali mengenai dirimu."
Mereka bertiga lalu berjalan masuk dan suasana antara ibu dan anak itu sudah pulih kembali. Mereka masuk ke ruangan dalam di mana tidak ada pelayan yang berani masuk tanpa dipanggil dan duduklah keluarga yang terdiri dari tiga orang itu.
"Dalam perjalanan pulang tadi, di tengah lautan aku bertemu dengan perahu Raja Muda Can. Agaknya dia berkunjung ke sini, benarkah, ayah?"
Sui Cin bertanya, teringat akan perjalanannya tadi.
"Benar,"
Jawab ayahnya.
"Memang keluarga Can tadi berkunjung ke sini dan justeru urusan dengan mereka itu yang ingin kami ceritakan kepadamu!"
Sui Cin mengerutkan alis.
"Tadi ayah bilang akan menyampaikan berita penting mengenai diriku...?"
"Ada hubungannya dengan kunjungan keluarga Raja Muda Can..."
Kata ibunya. Sui Cin memandang kepada ayah ibunya yang kelihatannya ragu-ragu untuk bicara.
"Apakah yang terjadi? Apa hubunganku dengan keluarga Can? Ayah, katakanlah!"
Suami isteri itu saling pandang dan dalam pertemuan pandang mata itu tahulah Pendekar Sadis bahwa isterinya dalam keadaan terharu dan menghendaki agar dia yang menyampaikan berita itu kepada anak mereka.
"Anakku, tahukah engkau berapa usiamu tahun ini?"
Tanyanya, ingin menyampaikan berita itu secara halus dan memutar.
"Usiaku?"
Sui Cin memandang heran.
"Ayah tentu tahu, usiaku hampir enam belas tahun..."
"Hemm, sudah dewasa anakku sekarang,"
Toan Kim Hong berkata.
"Apa hubungannya aku dan usiaku dengan keluarga Raja Muda Can? Ahhh... aku tahu... ahh, si keparat, agaknya mereka datang untuk meminang aku, begitukah ayah dan ibu?"
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sui Cin, hati-hati dengan mulutmu itu!"
Ibunya menghardik.
"Keluarga Can adalah keluarga bangsawan dan pembesar yang terhormat dan mereka datang meminangmu merupakan suatu kehormatan besar bagi kita, bagaimana engkau berani mengeluarkan kata makian?"
"Sui Cin, bersikaplah tenang dan hadapi segalanya dengan pikiran yang matang, jangan terlalu mudah menurutkan perasaan suka atau tidak suka dan dengarkan kata-kata kami."
Suara Pendekar Sadis terdengar tegas dan Sui Cin menunduk.
"Maafkan, ayah."
Iapun insyaf bahwa sikapnya memang tidak sepatutnya. Ia sudah dewasa, bukan anak kecil lagi dan ia harus dapat menghadapi segala sesuatu dengan tenang seperti yang dimaksudkan ayahnya.
"Sui Cin, keluarga Can memang datang berkunjung untuk mengajukan pinangan atas dirimu. Engkau tahu bahwa keluarga itu adalah keluarga yang terhormat, seorang wakil kaisar untuk daerah selatan, seorang pangeran yang menjadi raja muda, selain berdarah bangsawan tinggi, juga kaya raya dan kedudukannya tinggi terhormat. Dan puteranya, Can-kongcu adalah seorang pemuda yang terpelajar dan halus budi. Tak perlu kuceritakan banyak karena engkau pun sudah mengenalnya."
"Dan ayah ibu sudah menerimanya?"
Tanya Sui Cin, jantungnya berdebar tegang.
"Kami menyambutnya dengan baik dan biarpun di dalam hati kami merasa setuju sekali, akan tetapi kami ingin menanti sampai engkau pulang, jadi kami belum mengambil keputusan menerimanya. Keluarga Can yang bijaksana mengerti keadaan kami karena engkau tidak berada di rumah dan mereka menanti sampai engkau pulang."
"Terima kasih, ayah dan ibu, dan memang tidak perlu diterima pinangan itu karena aku tidak mau."
"Apa?"
Ceng Thian Sin bangkit berdiri.
"Engkau tidak mau? Mengapa?"
Sui Cin menentang pandang mata ayahnya yang kelihatan tidak senang.
"Tidak apa-apa, hanya aku tidak suka dan tidak suka menjadi isteri Can Koan Ti yang ceriwis itu!"
"Sui Cin, jangan sesombong itu engkau!"
Kini ibunya bangkit berdiri dengan sikap marah.
"Can-kongcu orangnya baik hati dan ramah, dan engkau memakinya ceriwis! Kami hendak mengangkatmu menjadi seorang yang terhormat dan mulia, akan tetapi engkau menolaknya mentah-mentah! Apakah engkau ingin menjadi perawan tua? Apakah engkau ingin membikin malu orang tua dengan penolakan ini, padahal kami sudah bersikap menerima dan setuju terhadap mereka?"
Melihat ayah ibunya bangkit berdiri dengan sikap marah, Sui Cin juga bangkit berdiri menghadapi mereka. Hatinya terasa panas dan ia merasa dipojokkan.
"Ibu sekarang sudah berusia empat puluh tahun lebih dan aku baru enam belas tahun, berarti bahwa ibupun tentu bukan berusia muda ketika menikah dengan ayah. Mengapa hendak memaksa menikah dalam usia enam belas tahun dan khawatir aku menjadi perawan tua?"
"Jangan bawa-bawa masa muda ibumu!"
Kini Toan Kim Hong menudingkan telunjuknya dengan sikap marah.
"Memang aku telah berusia dua puluh tiga tahun ketika menjadi isteri ayahmu, akan tetapi justeru kami tidak ingin melihat engkau seperti kami di masa muda. Kami ingin melihat engkau kembali kepada kedudukan yang wajar dan pantas bagi seorang keturunan bangsawan seperti engkau, menjadi orang terhormat dan mulia. Dan menjadi mantu Raja Muda Can adalah kedudukan yang paling baik yang akan pernah dapat kau miliki, kecuali kalau engkau dapat menjadi mantu kaisar yang takkan mungkin terjadi!"
Sui Cin menjadi semakin tak senang. Perut dan dadanya terasa panas dan darahnya bergolak. Iapun bertolak pinggang dan alisnya berkerut ketika ia memandang ayah ibunya.
"Jadi... ayah dan ibu hendak memaksaku?"
Melihat ketegangan memuncak, Thian Sin melerai.
"Bukan sekali-kali kami hendak memaksamu, anakku. Kami hanya minta agar engkau suka memikirkan secara mendalam semua kata-kataku dan kata-kata ibumu. Engkau tentu tahu betapa besar cinta kami terhadap dirimu, dan kami hanya berusaha untuk membuatmu berbahagia,"
Kata-katanya halus menghibur, membuat Sui Cin rasanya ingin menangis.
"Kalau ayah dan ibu ingin melihat aku berbahagia, janganlah memaksaku kawin dengan siapapun juga. Tunggu sampai aku berusia dua puluh tahun lebih, seperti ibu dahulu. Aku tidak suka, ayah, aku tidak mau menikah dengan orang she Can itu. Pendeknya, aku tidak suka menikah dengan orang bangsawan."
"Ehh...?"
Toan Kim Hong berseru marah. Ia sendiri adalah puteri seorang pangeran, walaupun pangeran buangan atau pengasingan, dan sejak kecil ia sudah merindukan kemuliaan itu yang kini hampir tercapai kalau puterinya menjadi mantu Raja Muda Can. Dan kini puterinya itu malah mengatakan tidak suka menikah dengan orang bangsawan! "Kenapa engkau tidak suka menikah dengan orang bangsawan? Kenapa? Hayo jawab, tentu ada alasannya."
"Karena aku benci! Aku benci pada orang-orang bangsawan. Mereka itu tinggi hati, sombong dan korup! Aku benci kepada pembesar-pembesar yang korup, macam Liu-thaikam sehingga aku membantu para penentangnya sampai akhirnya dia jatuh."
"Hemm, jadi engkau kah satu di antara mereka yang berhasil menjatuhkan orang she Liu itu?"
Toan Kim Hong yang tadinya marah-marah kini berkata lunak karena hatinya merasa girang dan bangga sekali. Berita tentang kejatuhan Liu-thaikam sudah mereka dengar dari keluarga Can yang memuji-muji para pendekar yang membantu pemerintah membongkar persekutuan jahat yang dipimpin Liu-thaikam dan kini ternyata bahwa satu di antara orang-orang gagah itu adalah Sui Cin.
"Sui Cin, tidak semua bangsawan tinggi hati dan sombong. Engkau tidak boleh menilai orang dari keadaan atau kedudukannya. Keadaan apapun juga tentu ada kecualinya. Banyak saja bangsawan tinggi yang rendah hati dan orang-orang biasa yang tinggi hati. Juga banyak orang-orang hartawan yang berwatak pendekar sebaliknya orang-orang miskin yang berwatak penjahat. Sudahlah, nanti kita bicarakan lagi. Engkau baru saja pulang dari kepergianmu yang setahun lebih itu."
"Benar ayahmu, Cin. Mari kita beristirahat dulu dan berganti pakaian. Engkau harus ceritakan semua pengalamanmu, terutama perjuanganmu meruntuhkan Liu-thaikam yang menggemparkan itu,"
Kata Toan Kim Hong yang kini sudah memperoleh kembali kesabarannya, merangkul puterinya dan mengajaknya maauk ke dalam kamar. Kepada ayah ibunya Sui Cin menceritakan semua pengalamannya, juga pertemuannya dengan tokoh-tokoh sesat Cap-sha-kui, dengan Cia Sun dan Cia Hui Song. Semua diceritakan dengan jelas kecuali bahwa saat ini Hui Song menanti di kota Ningpo, menanti "lampu hijau"
Darinya agar pemuda itu diperbolehkan mengunjungi Pulau Teratai Merah untuk berkenalan dengan orang tuanya. Ketika Sui Cin bercerita tentang murid Cin-Ling-Pai yang bernama Tan Siang Wi yang tinggi hati, angkuh dan galak, ibunya mengerutkan alis.
"Ah, ketua Cin-Ling-Pai itu bernama Cia Kong Liang dan memang wataknya angkuh dan memandang rendah semua orang. Pantas kalau dia memiliki seorang murid seperti itu. Terus terang saja, aku tidak suka kepada Cin-Ling-Pai!"
"Memang wataknya agak tinggi hati, akan tetapi harus diakui bahwa keluarga Cin-Ling-Pai adalah keluarga gagah perkasa yang selalu menjunjung tinggi kebenaran. Bagaimanapun juga, aku sendiripun terhitung murid Cin-Ling-Pai."
"Memang benar ayah,"
Kata Sui Cin.
"Biarpun Tan Siang Wi itu berwatak angkuh, akan tetapi Cia Hui Song, putera ketua Cin-Ling-Pai itu sama sekali tidak sombong, bahkan ramah dan baik sekali di samping ilmu silatnya yang tinggi. Dialah yang berkeras menentang kelaliman Liu-thaikam dan aku membantunya."
Lalu diceritakannya semua tentang pemuda itu, tentu saja sambil mencari jalan untuk menyampaikan keinginan pemuda itu yang masih menanti di Ningpo.
"Cia Hui Song juga menyatakan kekagumannya terhadap ayah, dan dia ingin sekali menghadap dan berkenalan dengan ayah dan ibu."
Akhirnya ia memancing.
"Hemm, tidak usah ke sini... aku sudah merasa tidak suka kepada keluarga itu, lebih baik tidak ada hubungan sama sekali,"
Kata Kim Hong dan mendengar ucapan ibunya itu, tentu saja Sui Cin tidak berani lagi mendesak.
Munculnya urusan dengan keluarga Can tentu saja merupakan halangan besar baginya untuk memperkenalkan Hui Song. Ia menolak pinangan keluarga Can dan hal itu tentu mengesalkan hati ayah ibunya yang sudah setuju menerima, maka kalau ia membawa Hui Song ke pulau tentu hanya akan makin menjengkelkan hati orang tuanya. Tidak, saatnya tidak tepat bagi Hui Song untuk datang berkunjung dan ia harus segera memberi tahu kepada pemuda itu agar tidak menunggu dengan sia-sia di Ningpo. Pada keesokan harinya, selagi Sui Cin termenung di taman belakang gedung, masih bingung memikirkan tentang Hui Song yang menantinya di seberang, ibunya datang menghampiri, memeluk dan duduk di sampingnya, di atas sebuah bangku batu di taman itu.
"Anakku, maafkan sikap ibu kemarin. Aku telah marah-marah kepadamu, aku menyesal sekali menyambut pulangmu yang sudah amat kurindukan dengan kemarahan."
Ibu itu dengan sikap lembut dan sayang mencium pipi anaknya. Sui Cin balas mencium dan merangkul ibunya.
"Tidak, ibu. Akulah yang minta maaf karena setelah lama meninggalkan ibu, aku pulang tidak membawa oleh-oleh yang menyenangkan, malah mendatangkan kejengkelan di hati ibu dan ayah saja. Kalau aku tahu begini, aku tidak akan pulang dulu dan melanjutkan perantauanku."
"Hushhh, sudahlah. Kita lupakan saja peristiwa kemarin dan mari kita bicara dengan hati terbuka. Sui Cin, katakanlah terus terang, engkau menolak keras lamaran putera Raja Muda Can, apakah dalam perantauanmu itu engkau bertemu dengan pemuda yang telah menjatuhkan hatimu?"
Dara itu memandang wajah ibunya dengan mata terbelalak. Kim Hong menatap sepasang mata yang bening itu, penuh selidik, akan tetapi ia tidak melihat sesuatu pada sepasang mata itu dan memang anaknya benar-benar heran dan terkejut, tidak menyembunyikan sesuatu. Kim Hong adalah seorang wanita yang amat tinggi ilmunya, luas pengalamannya dan amat cerdik, maka andaikata Sui Cin menyembunyikan sesuatu perasaan tertentu sudah pasti ibunya akan dapat mengetahuinya atau setidaknya mencurigainya.
"Ibu, apa yang kau maksudkan? Menjatuhkan hatiku?"
Pertanyaan yang polos dan jujur karena memang Sui Cin belum paham akan lika-liku dan istilah tentang cinta.
"Maksudku, apakah ada pemuda yang menarik hatimu dan kau suka?"
Sui Cin masih bersikap biasa saja dan keheranan pada pandang matanya lenyap setelah ia mengerti pengertian yang tanpa diketahuinya keliru.
"Ah, itukah yang ibu maksudkan? Tentu saja ada dan banyak. Banyak kujumpai orang-orang pandai dan lihai, gagah perkasa dan menyenangkan. Terutama sekali Cia Sun dan Cia Hui Song. Mereka adalah pemuda-pemuda gagah perkasa yang mengagumkan sekali."
"Bukan begitu maksudku."
"Lalu bagaimana?"
Kembali keheranan membayang di mata dara itu.
"Maksudku, apakah ada pemuda yang... eh, kepada siapa engkau jatuh cinta?"
"Ohh..."
Wajah Sui Cin berobah merah dan sejenak ia termangu-mangu, akan tetapi ia segera menggeleng kepala.
"Aku tidak mengerti apa yang ibu maksudkan. Aku... aku tidak tahu apakah aku mencinta seseorang, kurasa aku hanya suka saja, ibu, suka bersahabat, terutama kepada... Cia Hui Song."
"Hemm, terutama kepada putera ketua Cin-Ling-Pai itu? Hati-hati, Sui Cin, jangan kau jatuh cinta kepadanya. Aku tidak suka mempunyai mantu putera Cin-Ling-Pai!"
Sudah menjadi watak Sui Cin tidak bisa dikeras. Kalau dihadapi dengan kekerasan, ia akan menentang. Maka kini mendengar ucapan ibunya, ia berkata,
"Ibu, terus terang saja, aku suka kepada Hui Song, akan tetapi aku tidak tahu apakah aku mencintanya. Andaikata aku mencinta, siapapun juga tidak akan dapat melarangku!"
Wajah ibunya berubah dan matanya terbelalak, akan tetapi melihat sikap puterinya yang begitu tegas dan keras, tiba-tiba nyonya ini tersenyum, teringat akan kekerasan hatinya sendiri. Ia mengangguk dan merangkul puterinya.
"Baiklah, akan tetapi engkau tidak cinta kepadanya, bukan?"
Sui Cin menggeleng kepala.
"Aku suka kepadanya karena dia gagah perkasa, ramah dan baik budi, ibu. Akan tetapi aku... aku tidak tahu apakah aku cinta kepadanya atau kepada siapapun juga. Aku masih suka hidup bersama ayah ibu, atau hidup seorang diri, merantau dan memperluas pengalaman. Aku tidak ingin terikat oleh pernikahan dan menggantungkan hidupku pada seseorang, mengurung diriku dalam sebuah rumah tangga. Ngeri aku membayangkan betapa aku menjadl nyonya rumah yang tidak pernah meninggalkan rumahnya, seperti seekor anjing yang dirantai di dalam kandangnya. Aku masih ingin bebas, ibu, seperti burung di udara..."
Ibunya mengangguk.
"Aku mengerti perasaanmu, anakku. Agaknya, jiwa petualangan ayah ibu menurun kepadamu. Akan tetapi ingat, anakku. Usiamu sudah enam belas tahun dan sudah sepatutnya engkau mempunyai ikatan dengan seseorang yang kelak akan menjadi suamimu. Kulihat Can-kongcu merupakan calon yang paling baik dan tepat untukmu. Kelak dia tentu akan menduduki pangkat yang tinggi dan hidupmu terjamin, mulia, terhormat dan bahagia. Soal pernikahan dapat saja diundur, akan tetapi asal engkau setuju, ikatan perjodohan dapat diadakan lebih dulu."
"Tidak, ibu, aku tidak mau! Aku tidak cinta pada orang itu, aku tidak suka, bahkan aku benci padanya!"
Wajah Toan Kim Hong menjadi keruh dan ia bangkit berdiri.
"Engkau hanya mengecewakan hati orang tua saja, Sui Cin."
Dan ibu yang kecewa ini meninggalkan anaknya yang duduk termenung dengan muka berubah merah dan hampir menangis. Akan tetapi Sui Cin tidak menangis, walaupun ingin ia melepaskan kemarahan dan kejengkelan hatinya melalui tumpahan air mata. Tidak, ia tidak akan menangis. Ia akan menentang kalau harus dijodohkan dengan pemuda bangsawan she Can yang ceriwis itu! Ia sudah dapat membayangkan kalau menjadi isteri bangsawan. Mengenakan pakaian indah-indah dan tebal tidak enak dipakai, harus bersikap agung-agungan menerima penghormatan orang, harus bersopan-sopan dan berpatut-patut di depan orang banyak,
Kemudian akan merenungi nasib sendiri di dalam kamar karena suaminya sang bangsawan pergi ke kamar selir-selir yang tak terhitung banyaknya! Tidak, ia tidak mau. Kalau ia menjadi isteri bangsawan, tentu ia akan menjadi pembunuh, membunuh suaminya dan selir-selir suaminya. Ia ingin bebas, biarpun bersuami, akan tetapi bebas bersama suaminya menjelajahi hutan dan gunung, tidak menjadi bonekaboneka hidup di dalam gedung besar dan pengap! Dan ia teringat akan kesenangan ketika melakukan perjalanan bersama Hui Song. Menentang orang-orang jahat, menggoda dan menumpas mereka, menghadapi bahaya-bahaya yang menegangkan, mengatasi ancaman-ancaman bahaya maut, tidur di alam terbuka. Bebas! Alangkah senangnya. Itulah hidup dan itulah kehidupan yang disenanginya. Bukan menjadi boneka hidup di samping seorang bangsawan yang menjadi suaminya, juga majikannya.
Hui Song! Dia masih menanti di Ningpo. Sui Cin lalu bangkit berdiri dan meninggalkan taman itu, menuju ke pantai dan tak lama kemudian iapun sudah melayarkan perahu kecil itu menuju ke seberang, ke daratan besar. Hari telah senja ketika ia meninggalkan pulau tanpa setahu ayah ibunya dan ketika perahunya mendarat di pantai, cuaca sudah mulai gelap. Akan tetapi ketika ia meloncat ke daratan dan menarik pcrahunya, tiba-tiba muncul sesosok bayangan hitam menghampirinya.
"Cin-moi..."
Ah, betapa girang hatiku melihatmu!"
"Song-twako, engkau di sini?"
Tanya Sui Cin ketika mendengar suara pemuda itu.
"Aku tidak pernah meninggalkan pantai ini sejak kita saling berpisah..."
"Eh? Engkau... tidak kembali ke penginapan?"
Pemuda itu membantunya menarik perahu ke darat dan mengikatkan tali pada tonggak. Wajahnya berseri dan nampaknya gembira bukan main dapat melihat kembali gadis itu.
"Tidak, Cin-moi. Aku... aku tidak berani meninggalkan pantai ini, takut kalau-kalau tidak melihat engkau kembali."
Ui Cin menahan tawanya.
"Ihh, engkau ini aneh sekali, twako. Seperti anak kecil. Masa aku tidak kembali? Bukankah aku sudah berjanji akan memberi kabar kepadamu?"
"Lalu bagaimana, Cin-moi? Bolehkah aku menyeberang? Apakah engkau datang ini untuk mengabarkan bahwa aku boleh menghadap orang tuamu?"
Wajah yang cantik manis itu berubah muram dan ia menggeleng kepala.
"Ah, orang tuamu... menolak kunjunganku?"
Sui Cin merasa rikuh dan serba salah. Ia adalah seorang gadis yang sejak kecil biasa bersikap terbuka, jujur. Akan tetapi kini ia merasa serba salah untuk mengaku bahwa ayah ibunya tidak suka kepada Cin-Ling-Pai, dan bukan hanya berkeberatan menerima putera ketua Cin-Ling-Pai datang berkunjung, bahkan tidak suka kalau ia bergaul dengan pemuda itu.
"Maafkan, twako. Pada waktu ini, ayah dan ibu tidak suka menerima tamu, jadi... lebih baik lain kali saja kalau engkau ingin berkenalan dengan mereka."
"Ah, sayang sekali..."
Pemuda itu kelihatan kecewa bukan main. Sesungguhnya, dia ingin sekali berkenalan dengan orang tua gadis ini, Pendekas Sadis yang sudah sejak kecil dia dengar namanya itu. Bukan hanya sekedar berkenalan biasa, akan tetapi dia sudah yakin akan cintanya terhadap Sui Cin dan pada suatu hari dia tentu akan datang bersama orang tuanya untuk meminang gadis itu. Alangkah baiknya kalau sebelumnya dia sudah berkenalan dengan orang tua Sui Cin. Melihat betapa Hui Song nampak kecewa bukan main, Sui Cin merasa kasihan dan cepat ia berkata,
"Bagaimanapun juga, aku sendiri tidak akan kembali ke sana, twako."
Tentu saja perkataan ini mengherankan hati Hui Song.
"Apa? Apa maksudmu? Engkau tidak akan pulang?"
Sui Cin menggeleng.
"Tidak, aku akan pergi lagi merantau."
Hui Song mengerutkan alisnya.
"Eh, kenapa begitu, Cin-moi? Bukankah engkau baru saja pulang dari perantauan? Baru dua hari pulang, masa hendak pergi lagi? Tentu orang tuamu akan melarangmu."
"Aku tidak perlu minta ijin mereka, aku memang pergi tanpa pamit!"
Kata Sui Cin dengan nada suara tak senang. Hui Song memandang khawatir.
"Cin-moi... maaf, bukan aku ingin mencampuri urusan keluargamu, akan tetapi apakah yang telah terjadi? Engkau nampaknya tidak senang dan marah. Kalau hanya karena aku tidak boleh menyeberang, hal itu tidak ada artinya, Cin-moi dan membuatmu marah, apalagi kepada orang tuamu sendiri."
"Bukan hanya itu, twako. Yang membuat hatiku kesal dan mendorongku pergi lagi meninggalkan rumah adalah karena aku... mau dijodohkan dengan putera gubernur!"
Hati Hui Song berdebar setelah terasa nyeri seperti tertusuk. Dia memaksa senyum dan menjura.
"Wah, selamat, Cin-moi."
"Selamat hidungmu!"
Sui Cin membentak jengkel.
"Engkau malah ingin menambah kejengkelan hatiku? Aku tidak sudi! Aku tidak sudi menjadi isteri bangsawan ceriwis itu!"
Hui Song merasa betapa suatu kelegaan dan kegembiraan luar biasa menyelinap di hatinya mendengar kata-kata setengah teriakan dari gadis itu. Akan tetapi dia pura-pura terkejut dan bersikap serius.
"Ah, kalau begitu maafkan aku, Cin-moi. Akan tetapi... mengapa engkau begitu marah dan menolak? Bukankah putera seorang gubernur itu merupakan calon suami yang amat baik, terpelajar, kaya raya dan berkedudukan tinggi? Hemm, aku tahu, Cin-moi. Aku tahu mengapa engkau menolaknya."
Sui Cin memang mudah marah dan mudah bergembira. Orang seperti ia tidak dapat marah terlalu lama. Wataknya terlalu lincah gembira untuk dapat bertahan marah terlalu lama. Kini ia memandang pemuda itu dengan wajah berseri dan mulut tersenyum.
"Hemm, engkau seperti peramal saja, twako. Coba ingin kudengar tebakanmu, kalau memang engkau tahu mengapa aku menolaknya."
"Apalagi kalau bukan karena engkau sudah mempunyai pilihan hati sendiri? Engkau tentu sudah mempunyai seorang calon dalam hatimu."
Wajah yang manis itu menjadi merah, akan tetapi bibirnya berjebi mengejek.
"Ihh, engkau hanya ngawur saja! Tidak, aku tidak mempunyai calon seperti yang kau terka itu. Sedikitpun aku belum memikirkan tentang itu. Cih, memalukan saja! Aku menolak karena memang aku tidak suka kepada pemuda bangsawan yang ceriwis itu, dan juga karena aku sama sekali belum mau terikat menjadi isteri orarg. Aku masih ingin bebas seperti burung di udara, merdeka beterbangan ke manapun yang kukehendaki."
Sui Cin tidak menyadari betapa Hui Song telah memancing untuk mengetahui isi hatinya dan tentu saja pemuda ini merasa girang sekali karena kini dia tahu bahwa gadis ini masih kosong hatinya dan dia mengharapkan untuk mengisinya.
"Kalau engkau tidak mau pulang, lalu engkau hendak pergi ke mana, Cin-moi?"
(Lanjut ke Jilid 14)
Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 14
"Ke mana saja asal tidak pulang, asal tidak mendengarkan bujukan orang tuaku untuk menerima tikus itu sebagai calon suamiku!"
"Kalau begitu, marilah ikut bersamaku, Cin-moi. Aku hendak pulang ke Cin-Ling-Pai dan mari kuperkenalkan engkau kepada orang tuaku."
Sui Cin mengangguk.
"Aku tidak mempunyai tujuan tertentu, boleh saja kalau pergi ke sana. Sudah lama aku mendengar tentang Cin-Ling-Pai dan akupun ingin berkunjung ke Pegunungan Cin-ling-san yang katanya amat indah. Akan tetapi, jangan mengambil jalan darat. Lebih baik mempergunakan perahu menyusuri pantai ke utara dan mendarat di Hangcouw, baru kita melanjutkan perjalanan melalui daratan."
"Kenapa begitu?"
"Engkau tidak tahu kelihaian orang tuaku. Kalau mereka tahu aku pergi, tentu mereka akan melakukan pengejaran dan kalau aku mengambil jalan darat, jangan harap dapat lolos dari kejaran mereka. Akan tetapi kalau mengambil jalan laut dari sini, tentu tidak meninggalkan jejak dan betapapun lihainya ayah, tentu dia tidak akan dapat mengikuti kepergianku."
Hui Song menyetujui dengan kagum dan tak lama kemudian merekapun sudah berlayar lagi menempuh gelombang menuju ke utara. Sementara itu, malam telah tiba dan pelayaran mereka diterangi bintang-bintang di langit.
"Song-twako, sekali ini aku benar-benar menjadi seorang kelana miskin. Aku pergi tanpa pamit, tidak membawa bekal pakaian, apalagi uang. Perantauanku yang dahulu direstui orang tuaku dan aku membawa bekal banyak emas. Akan tetapi sekarang... aku benar-benar miskin."
Siluman Gua Tengkorak Eps 4 Pendekar Sadis Eps 39 Pendekar Lembah Naga Eps 58