Ceritasilat Novel Online

Pendekar Mata Keranjang 31


Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 31



Belasan orang itu, seperti pelatihnya, hanya mengenakan celana sampai ke bawah lutut dan tubuh bagian atasnya telanjang, memperlihatkan tubuh yang kokoh kuat penuh otot-otot melingka-lingkar. Ah, perguruan silat, pikir Pek Eng. Mungkin di antara mereka itu ada yang mengenal kakaknya atau Hay Hay. Bukankah kakaknya, seperti yang diharapkan oleh keluarganya, memiliki ilmu silat tinggi dan Hay Hay tidak perlu diragukan lagi adalah seorang yang sakti? Orang-orang seperti kakaknya atau Hay Hay memang sepatutnya dikenal oleh golongan persilatan. Dengan pikiran ini, tanpa ragu lagi Pek Eng lalu memasuki pintu gerbang yang terbuka dan tibalah ia dipelataran depan, di mana belasan orang itu sedang melatih gerakan Pukulan sambil mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring.

   Ketika belasan orang yang rata-rata masih muda, berusia antara duapuluh sampai tiga puluh tahun itu melihat betapa tiba-tiba muncul seorang dara yang manis dari depan pintu, tentu saja mereka semua memandang dengan kagum dan gerakan mereka kacau, juga bentakan-bentakan itu tergagap dan tidak nyaring lagi, bahkan kini sebagian dari mereka menghentikan gerakan silat mereka dan berdiri bengong memandang ke arah Pek Eng, dengan senyum-senyum ceriwis! Melihat keadaan para murid itu, pelatihnya terheran dan dia pun menengok. Pelatih itu sudah lebih tua, kurang lebih empat puluh tahun usianya dan dia pun terkejut ketika melihat seorang gadis berdiri di situ, gadis yang tidak di kenal dan cantik manis

   "Aih, pantas kalian menjadi kacau. Kiranya ada seorang bidadari muncul di sini!"

   Kata Si Pelatih yang ternyata lebih ceriwis lagi sikapnya dari para murid itu. Bahkan kini dengan langkah lebar dia menghampiri Pek Eng dan berdiri di depan Pek Eng. Karena pealtih itu berdiri terlalu dekat sehingga bau apak dan tidak enak dari tubuh setengah telanjang berkeringat itu menyerang hidung Pek Eng, gadis ini mundur dua langkah dan hidungnya yang mungil bergerak-gerak lucu.

   "Hai, Nona manis, siapakah engkau dan apa keperluanmu masuk ke tempat latihan kami ini?"

   Tegur Si Pelatih, menyeringai lebar seperti merasa lucu melihat pedang yang tergantung di punggung gadis pengunjung itu.

   "Hati-hati, Toako. Lihat pedang di punggungnya itu! Jangan-jangan ia seorang pendekar pedang yang lihai sekali!"

   Terdengar suara seorang diantara para murid, akan tetapi karena nada suaranya jelas mengandung ejekan, semua orang tertawa dan pekatih yang di sebut Toako (kakak) itu pun tertawa bergelak. Melihat mereka berlagak dan memandang rendah kepadanya, sepasang alis Pek Eng berkerut dan ia sudah merasa menyesal memasuki tempat ini. Tak disangkanya bahwa mereka itu bukanlah calon-calon pendekar seperti para murid di Pek-sim-pang, melainkan sekelompok laki-laki yang ugal-ugalan dan bahkan kurang ajar terhadap wanita yang sama sekali belum mereka kenal.

   "Ha-ha-ha!"

   Pelatih itu tertawa lebar.

   "Nona manis, benarkah engkau seorang pendekar pedang seperti kata ia tadi? Apakah kedatanganmu ini hendak memperlihatkan kepandaianmu atau hendak menguji kami?"

   Karena sudah terlanjur masuk, Pek Eng yang tidak mau melayani kekurangajaran mereka, langsung saja bertanya.

   "Aku tertarik melihat papan nama Hui-houw Bu-koan di luar dan aku masuk untuk bertanya apakah di antara kalian ada yang mengenal dua orang pemuda yang bernama Pek Han Siong dan Hay Hay?"

   Pelatih itu dan para anak buahnya sebenarnya tidak pernah mendengar dua buah nama yang disebut Pek Eng itu, akan tetapi pura-pura sudah mengenalnya.

   "Aahh, kiranya engkau mencari mereka?"

   Bukan main girangnya hati Pek Eng. Tak disangkanya bahwa orang itu mengenal kakaknya dan Hay Hay.

   "Benar, tahukah engku di mana mereka?"

   Pelatih itu mengangguk-angguk.

   "Tentu saja aku tahu, akan tetapi sebelum aku memberitabukan kepadamu, engkau harus memenuhi syarat yang kuajukan."

   Pek Eng mengerutkan alisnya dan memandang penuh selidik.

   "Syarat? Syarat apa itu?"

   Pelatih itu tertawa.

   "Ha-ha-ha, syaratnya engkau harus maju dan main-main dengan aku sebentar. Kalau engkau menang, tentu akan segera kuberitabukan di mana mereka, akan tetapi kalau engkau kalah, engkau harus menemani aku pelesir selama tiga hari tiga malam, baru engkau akan aku pertemukan dengan mereka. Bagaimana?"

   Semua laki-laki yang berlatih silat, tersenyum-senyum mendengar ini, dan semua mata memandang kepada Pek Eng secara kurang ajar sekali. Hati Pek Eng sudah menjadi panas dan kini ia meragukan kebenaran pengakuan pelatih itu bahwa dia tahu di mana adanya dua orang pemuda yang dicarinya. Tentu hanya untuk mencari alasan agar dapat mempermainkannya, pikirnya dengan hati panas dan marah. Akan tetapi, ia tetap tersenyum, bahkan menangguk-angguk. Andaikata ia kalah, ia pun masih mempunyai akal untuk menghindarkan diri dari kekurangajaran orang ini, pikirnya. Akan tetapi melihat gerakan mereka tadi, ia yakin bahwa ia akan mampu mengalahkan orang tinggi besar ini, bahkan tidak merasa gentar untuk menghadapi pengeroyokan belasan orang yang tingkat kepandaiannya masih rendah dan hanya mengandalkan kekuatan otot belaka.

   "Baik, akan tetapi kalau engkau kalah kemudian tidak dapat membawa aku kepada mereka, akan kuhancurkan mulutmu yang lancang itu!"

   Katanya, tetap tenang dan mulutnya dihias senyum, sama sekali tidak kelihatan marah.

   "Toako, biar aku menangkap gadis ini untukmu!"

   Tiba-tiba terdengar seruan seorang di antara anak buah itu dan orang ini, berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, bertubuh kurus dan mukanya pucat seperti orang berpenyakitan, sudah meloncat maju ke depan Pek Eng dan langsung saja dia menubruk untuk merangkul dan menangkap gadis itu.

   Kesempatan yang amat baik, pikir pemuda itu. Dia akan dapat memeluk gadis manis ini, bahkan mungkin dapat mencuri satu dua kali ciuman sebelum menyerahkannya kepada pelatihnya. Tangan kanannya menyambar hendak memukul leher, sedangkan tangan kirinya secara kurang ajar sekali hendak mencengkeram ke arah dada! Pek Eng melihat gerakan serangan yang kurang ajar akan tetapi juga amat lambat dan lemah baginya itu. ia menggerakkan kakinya memutar tubuh setengah lingkaran, membiarkan cengkeraman ke arah dada itu lewat, sedangkan tangan kanannya sendiri bergerak ke atas, menangkap pergelangan tangan kanan lawan yang hendak merangkulnya, kemudian cepat sekali ia menekuk lengan kanannya dan dengan tepat sekali siku kanannya menghantam muka orang itu.

   "Crottt!"

   Ujung siku tepat menghantam hidung pemuda muka pucat itu dan tulang hidung itu patah, hidungnya menjadi hitam membengkak dan darah pun bercucuran keluar. Pek Eng mengangkat kakinya ketika pemuda itu tersentak ke belakang dan perutnya maju ke muka, dan lututnya sudah menghantam perut lawan.

   "Ngekkkk!"

   Dan pemuda itu pun terjengkang, kedua tangannya sibuk memegangi hidung dan perut karena dalam keadaan hampir pingsan dia tidak dapat membandingkan mana yang lebih nyeri hidung remuk dan perut mulas itu. Dengan suara bindeng dia mengaduh-aduh sambil berlutut membungkuk-bungkuk. Pelatih itu marah. Sambil berseru keras dia pun menubruk ke depan. Namun Pek Eng tidak mau membuang banyak waktu lagi. Disambutnya serangan lawan itu dengan tamparan dari samping yang tepat mengenai pelipis pelatih tinggi besar itu.

   "Plakkk!"

   Tubuh yang tinggi besar itu terputar karena dia merasa seolah-olah disambar petir, kepalanya nyeri, pandang matanya berkunang dan dia pun meloncat-loncat seperti monyet menari-nari di atas papan yang panas.

   Pek Eng menyusulkan dua kali gerakan kaki, ujung sepatunya menyentuh sambungan lutut dan orang tinggi besar itu pun terpelanting roboh. Kini, belasan orang murid itu maju mengeroyok Pek Eng, bahkan di antara mereka ada yang membawa senjata golok, pedang dan toya. Namun, mereka itu tidak ada artinya bagi Pek Eng. Gadis perkasa ini bergerak cepat seperti seekor burung walet yang menyambar-nyambar di antara sekelompok capung saja. Belasan orang itu pun satu demi satu roboh terpelanting roboh sambil mengaduh-aduh! Pada saat itu, dari pintu tengah muncullah seorang kakek dan seorang nenek. Mereka terkejut sekali melihat betapa ada seorang dara muda merobohkan belasan orang anak murid Hui-houw Bu-koan. Kakek itu lalu memutar tubuhnya, dan berseru ke arah dalam rumah.

   "Ciok Kauwsu (Guru Silat Ciok), keluarlah!"

   Kini muncullah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, perutnya gendut dan kepalanya botak, matanya seperti mata burung elang, tajam dan lincah melirik ke sana-sini, dan sinarnya mengandung kelicikan. Laki-laki ini adalah Ciok Cun, pemilik Hui-houw Bu-koan, juga seorang kepala jagoan yang terkenal di kota Kui-yang dan sekitarnya. Hampir tidak ada orang berani menentang kepala jagoan ini, karena selain dia lihai, banyak anak buahnya, dan seluruh jagoan dan tukang pukul di daerah itu tunduk belaka kepadanya, juga dia terkenal mempunyai hubungan baik dan erat dengan para pembesar setempat. Dia pandai mengambil hati dan mendekati para pejabat yang berwenang dengan cara mengirim hadiah-hadiah barang berharga kepada mereka.

   Pada waktu peristiwa keributan di pekarangan luar terjadi, Ciok Cun sedang menerima tamu yang agaknya amat penting karena tamu kakek dan nenek itu diterima di ruangan paling dalam dan mereka bertiga bicara dalam ruangan tertutup bahkan tak seorang pun pelayan atau murid boleh masuk tanpa di panggil. Dan tepat ketika dua orang tamu itu hendak pergi, mereka melihat kesibukan di luar, di mana belasan orang anak buah Hui-houw Bu-koan telah roboh berserakan oleh seorang gadis muda! Tentu saja Ciok Cun terkejut dan marah bukan main melihat betapa belasan orang muridnya di hajar orang, apalagi pembantunya yang tinggi besar, yang merupakan murid tingkat atas, agaknya sudah tidak mampu bangkit, kedua kakinya seperti lumpuh dan sebelah mukanya matang biru!

   "Heii, siapakah engkau anak perempuan yang datang mengacau? Aku adalah Ciok Cun, Kauwsu (guru silat) dan pemilik bu-koan (tempat belajar silat) ini! Siapakah engkau dan apa maksudmu membikin ribut di sini?"

   Sebagai seorang yang berpengalaman, tentu saja Ciok Cun dapat menduga bahwa gadis ini biarpun masih muda, tentu memiliki kepandaian tinggi, kalau tidak demikian, tak mungkin belasan orang murid itu roboh semua sedangkan gadis itu agaknya kusut pakaiannya pun tidak! Mendengar pengakuan Ciok Cun, Pek Eng memandang tajam. Kalau anak buahnya mengenal kakaknya dan Hay hay, tentu gurunya lebih mengenal mereka lagi. Maka ia pun menjura ke arah laki-laki gendut botak itu.

   "Harap suka maafkan aku, Ciok Kauwsu. Aku bernama Pek Eng dan tadinya aku sama sekali tidak pernah mengira akan berkelahi dengan anak buahmu di tempat ini. Aku kebetulan lewat dan tertarik bahwa di sini adalah sebuah perguruan silat, aku lalu masuk dan kepada mereka ini aku menanyakan nama dua orang pemuda, apakah mereka mengenalnya. Kemudian, orang tinggi besar ini memberitahu bahwa dia mengenal mereka dan akan memberitabukan di mana adanya mereka asal aku mampu mengalahkan dia. Kami bertanding dan semua anak buahmu maju mengeroyokku dan. beginilah jadinya."

   Pek Eng menggerakkan kedua tangannya ke arah mereka yang masih mengaduh-aduh dan sukar untuk bangkit berdiri. Ciok Cun sendiri belum pernah mendengar dua nama itu, maka dia pun memandang kepada muridnya yang menjadi pelatih murid-murid tingkat rendahan dan bertanya,

   "Benarkah engkau mengenal dua orang yang di cari Nona ini?"

   Si Tinggi Kurus terpaksa mengaku.

   "Kami tidak mengenal mereka, kami hanya membohongi Nona ini untuk main-main saja.."

   Mendengar ini, Pek Eng merasa mendongkol bukan main. Dengan alis berkerut dia menyapu bekas lawan yang banyak itu dengan pandang matanya, kemudian ia mengomel.

   "Kalau kalian tidak tahu, kenapa harus pura-pura tahu? Kalau tadi kalian bilang tidak tahu, tidak perlu terjadi keributan ini. Sudahlah, kalau kalian tidak mengenal mereka, barangkali engkau sendiri mengenal mereka, Ciok Kauwsu dan kalau engkau dapat menunjukkan kepadaku di mana mereka,
(Lanjut ke Jilid 29)
Pendekar Mata Keranjang (Seri ke 09 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 29
aku sungguh akan berterima kasih sekali."

   Ciok Cun sudah merasa mendongkol melihat betapa para muridnya di hajar, akan tetapi karena dia maklum betapa lihainya gadis muda ini, diapun bertanya.

   "Siapakah mereka?"

   "Yang seorang bernama Pek Han Siong, dan yang kedua dikenal dengan nama Hay Hay."

   Ciok Cun mengerutkan alisnya mengingat-ingat, akan tetapi dia sendiri belum pernah bertemu dengan dua orang yang namanya seperti itu, maka dia pun menggeleng kepala.

   "Aku tidak mengenal mereka."

   Pek Eng kecewa.

   "Kalau begitu, biar aku pergi saja dan sekali lagi maafkanlah aku!"

   Setelah berkata demikian, Pek Eng membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari pekarangan itu, keluar melalui pintu gerbang.

   "Nona, tunggu dulu!"

   Tiba-tiba terdengar bentakan orang dan Pek Eng membalikkan tubuhnya dan kini ia berhadapan dengan kakek dan nenek itu. melihat betapa kakek itu menghampirinya, maklumlah Pek Eng bahwa yang mengeluarkan suara menahannya tadi adalah kakek itu. Ia memperhatikan mereka sekarang. Kakek itu usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar dan pandang matanya mencorong tajam. Ada pun nenek itu hanya beberapa tahun lebih muda, kurang lebih enam puluh tahun, namun masih nampak cantik dan pesolek karena pipi dan bibirnya masih memakai pemerah kulit, bahkan mukanya yang bentuknya cantik itu dipulas bedak yang cukup tebal. Karena mereka adalah orang-orang tua. Pek Eng menghadapi mereka dengan sikap tenang dan hormat.

   "Engkaukah yang menahan aku pergi tadi, Paman Tua? Ada urusan apakah?"

   Tanyanya sambil memandang kepada kakek itu.

   "Benarkah yang kau cari itu adalah Pek Han Siong dan Hay Hay?"

   Tanya kakek itu.

   "Benar, apakah engkau mengenal mereka?"

   Kakek itu saling pandang dengan Si Nenek dan mereka pun mengangguk, bahkan kakek itu berseru.

   "Mengenal mereka? Ah, mengenal baik sekali!"

   Pek Eng memandang dengan penuh curiga.

   "Sekarang aku tidak akan mudah percaya kalau ada orang mengaku kenal dengan mereka, karena tadi pun aku sudah dibohongi orang,"

   Katanya sambil melirik ke arah pelatih silat tadi.

   "Akan tetapi aku tidak berbohong!"

   Kata pula kakek itu.

   "Bukankah yang bernama Hay Hay itu seorang pemuda berusia dua puluh satu tahun, lincah dan gembira, tubuhnya sedang dan dadanya bidang, matanya bersinar-sinar, mulutnya selalu tersenyum, dia memiliki ilmu silat yang amat lihai dan juga pandai sihir? Dan bukankah yang bernama Pek Han Siong itu adalah putera Ketua Pek-sim-pang, dan dahulu ketika kecil di sebut Sin-tong (Anak Ajaib)?"

   Pek Eng hampir bersorak kegirangan. Wajahnya seketika berubah, berseri-seri dan sinar matanya penuh harapan di tujukan kepada orang tua itu.

   "Aih, benar sekali, Paman. Benar sekali, aku adalah adik dari Pek Han Siong!"

   "Bagus!"

   Tiba-tiba nenek itu yang sejak tadi hanya memandang wajah Pek Eng dengan penuh perhatian, kini membentak.

   "Nah, sekarang katakan di mana adanya Pek Han Siong itu!"

   Nenek itu bersikap mengancam sehingga diam-diam Pek Eng terkejut, juga merasa heran dan kecewa. Sialan, pikirnya. Ia tadi sudah kegirangan karena kakek dan nenek itu mengenal kakaknya dan Hay Hay, akan tetapi siapa kira mereka malah bertanya kepadanya di mana adanya kakaknya!

   "Hemm, jadi kalian kakek dan nenek ini mengenal kakakku akan tetapi tidak tahu dimana dia berada? Kalau begitu, kalian pun tidak ada gunanya bagiku. Selamat tinggal!"

   Setelah berkata demikian, Pek Eng yang tidak mau lebih lama lagi tinggal di tempat itu, bergerak cepat hendak lari keluar dari pintu gerbang. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat di sampingnya dan tahu-tahu nenek itu telah menghadang di ambang pintu gerbang, ke dua tangannya di palangkan seolah-oleh hendak melarang dan mencegah ia keluar! Diam-diam Pek Eng terkejut. Dari gerakan itu tadi saja ia sudah tahu bahwa nenek itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat.

   Ia menoleh dan kakek itu pun menghampirinya. Ia telah di kepung depan dan belakang oleh kakek dan nenek itu. Pek Eng mengambil keputusan cepat. Ia harus keluar dari situ sebelum di kepung oleh lebih banyak orang lagi. Maka tiba-tiba, tanpa mengeluarkan suara, tubuhnya sudah meloncat ke depan dan menerjang nenek yang menghadang di ambang pintu. Kedua tangannya mendorong dengan maksud untuk mendorong nenek itu kesamping agar ia dapat menerobos keluar! Akan tetapi, nenek itu tidak mengelak, melainka menyambut dorongan kedua tangan gadis itu dengan kedua tangannya sendiri. Dua tenaga bertemu dan akibatnya, tubuh Pek Eng terdorong mundur kembali ke dalam pekarangan! Gadis itu terkejut, merasa betapa kuatnya tenaga dorongan nenek itu.

   "Engkau tidak boleh pergi sebelum menunjukkan kepada kami di mana adanya Sin-tong!"

   Kata kakek itu dan tiba-tiba saja tubuh kakek itu meloncat tinggi dan dari atas dia menubruk dengan kedua tangan membentuk cakar seperti seekor burung garuda yang menyambar kelinci! Melihat ini, Pek Eng mengelak dengan loncatan ke samping sambil siap untuk membalas, akan tetapi, lengan kakek tinggi besar itu mengejarnya dari atas. Terpaksa Pek Eng menangkis dengan lengan kirinya dan membarengi dengan Pukulan tangan kanan ke arah leher kakek itu.

   "Dukk!"

   Pukulan itu mengenai leher yang terasa keras seperti baja, akan tetapi cengkeraman tangan kakek itu sudah dapat menangkap pundak Pek Eng dan gadis itu lalu roboh dengan kaki tangan terasa lemas kehilangan tenaga. Ternyata jalan darahnya telah dapat dicengkeram dan ia pun tidak mampu bangkit lagi. Biarpun kaki tangannya sudah tidak dapat digerakkan lagi, namun Pek Eng yang roboh telentang itu memandang kepada kakek itu dengan kedua mata melotot, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut. Nenek itu sekali loncat sudah di dekat Pek Eng.

   "Hayo cepat katakan di mana adanya Pek Han Siong. Kalau engkau tidak mau mengaku, terpaksa aku akan menyiksamu dengan jarum beracun!"

   Sementara itu, Ciok Cun yang sejak tadi menjadi penonton bersama anak buahnya, terbelalak kagum melihat betapa kakek dan nenek itu, dalam beberapa gebrakan saja telah mampu menangkap agdis gadis yang amat lihai itu!

   "Hebat. hebat sekali. kepandaian Ji-wi sungguh seperti dewa!"

   Dia memuji.

   "Ah, tak dapat aku membayangkan betapa tinggi tingkat kepandaian Locianpwe Lam-hai Giam-lo, melihat betapa utusannya saja seperti Ji-wi memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!"

   Nenek itu mendengus tak menjawab dan kakek itu berkata,

   "Tingkat kepandaian Lam-hai Giam-lo tak dapat di ukur, karena itu, jangan engkau main-main, Ciok-kauwsu dan engkau harus mentaati semua yang telah diperintahkan."

   "Kami taat. tentu saja kami taat, apalagi setelah Locianpwe itu demikian royal memberi pengganti biaya kami melalui kedatangan Ji-wi."

   Nenek itu kini mengeluarkan sebatang jarum hitam dari kantung kecil di pinggangnya dan memeprlihatkan kepada Pek Eng.

   "Nona, kau lihat jarum ini. Karena benda inilah maka aku dijuluki orang kang-ouw sebagai Tok-ciam (Jarum Beracun). Jarum ini bukan hanya dapat membunuh, akan tetapi juga mampu mendatangkan siksaan yang amat hebat. Kalau engkau tidak mau menunjukkan kepada kami di mana adanya Sin-tong, engkau akan mednerita siksaan yang akan membuat engkau rindu akan kematian yang tak kunjung tiba. Lihat!"

   Kebetulan seekor anjing lewat tak jauh dari mereka. Sekali menggerakkan tangannya, jarum itu meluncur dan terdengar anjing itu berkuik lalu roboh dn selanjutnya anjing itu melolong-lolong berkelojotan. Jarum itu mengenai kaki depan kanan dan kini jelas nampak betapa kaki yang terkena jarum itu membengkak dan menghitam dan agaknya mendatangkan rasa nyeri yang amat hebat melihat betapa anjing itu melolong-lolong amat menyedihkan. Diam-diam Pek Eng merasa ngeri juga melihat kekejaman itu dan maklum bahwa ancaman nenek itu bukanlah gertak kosong belaka. Ia maklim bahwa nenek dan kakek itu lihai bukan main dan ia tidak akan mampu mengalahkan mereka, maka kalau oa nekat melawan pun takkan ada gunanya.

   Diam-diam ia menduga-duga siapa adanya kakek dan nenek yang amat lihai ini dan siapa pula pimpinan mereka yang tadi di sebut berjuluk lAm-hai Giam-lo. Kalau saja Pek Eng mengenal kakek dan nenek itu, tentu ia akan menjadi semakin kaget dan ngeri. Kakek dan nenek itu adalah suami isteri yang terkenal sebagai Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan)! Kita telah mengenalnya sebagai datuk-datuk sesat yang amat kejam dan lihai. Kakek itu bernama Siangkoan Leng dan nenek itu adalah isterinya yang bernama Ma Kim Li. Seperti telah diceritakan di bagian depan, suami isteri ini menculik bayi dari keluarga Pek dan mengira bahwa bayi yang bukan lain adalah Hay Hay itu sebagai Sin-tong (Anak Ajaib). Mereka kecelik karena ternya bayi keluarga Pek yang mereka culikitu bukan Sin-tong.

   Suami isteri ini sekarang telah bergabung dengan para datuk sesat lainnya, menjadi pembantu-pembantu yang diandalkan oleh Lam-hai Giam-lo, kakek sakti yang ingin menghimpun para datuk sesat dan memperkuat kembali golongan hitam. Untuk memperkuat kedudukannya dan memperluas pengaruhnya. Lam-hai Giam-lo mengutus para pembantunya untuk mempengaruhi kaum sesat di daerah selatan, mengajak mereka untuk bergabung di bawah pimpinan Lam-hai Giam-lo dan untuk keperluan itu, Lam-hai Giam-lo tidak sayang untuk menyebarkan uang secara royal sekali. Suami isteri itu kini berada di Kui-yang juga dalam rangka membujuk Ciok Cun yang dianggap sebagai kepala jagoan di kota itu untuk mengumpulkan kawan-kawannya dan bergabung di bawah pimpinan Lam-hai Giam-lo.

   "Nah, bagaimana, Nona?"

   Kata Ma Kim Li sambil tersnyum dingin.

   "Engkau memilih selamat dan menunjukkan kepada kami di mana adanya kakakmu, atau engkau ingin melolong-lolong seperti anjing itu dalam keadaan hidup tidak mati pun tidak?"

   "Hemm, nenek yang berhati kejam! Kau kira aku seorang gila yang tak dapat memilih mana yang menguntungkan? Tentu saja aku memilih yang pertama. Akan tetapi sebelum kita bicara, aku ingin dibebaskan dari totokan ini, dan ingin mengenal siapa adanya kalian berdua."

   Girang sekali hati suami isteri itu mendengar kesanggupan ini. Kalau mereka dapat menguasai Sin-tong dan menyerahkannya kepada Lam-hai Giam-lo, tentu mereka akan berjasa besar. Pemuda yang dulu diperebutkan itu tentu masih berharga sekali bagi para pendeta Lama di Tibet yang tentu akan suka menukarnya dengan emas permata yang banyak terdapat di negeri penuh rahasia itu. Siangkoan Leng tentu saja tidak merasa khawatir gadis itu akan melarikan diri. Di bawah pengamatan dia dan isterinya, gadis itu tidak akan mampu melarikan diri. Maka dia pun melangkah maju dan dengan beberapa kali totokan pada pundak, dia sudah membebaskan Pek Eng. Gadis itu bangkit berdiri dan memijit-mijit pundaknya yang terasa nyeri dan kaku, kemudian memandang suami isteri itu sambil tersenyum.

   "Terima kasih, kalian sungguh merupakan kakek dan nenek yang amat lihai dan membuat aku merasa kagum. Siapakah sebenarnya kalian?"

   "Namaku Siangkoan Leng dan ini isteriku Ma Kim Li. Kami berdua di dunia kang-ouw di kenal sebagai Lam-hai Siang-mo,"

   Kata Siangkoan Leng, diam-diam dia pun kagum karena gadis itu, biarpun masih muda dan berada dalam kekuasaan atau tawanan mereka masih saja bersikap demikian tenangnya dan sedikit pun tidak memperlihatkan kekhawatiran.

   "Sekarang katakanlah di mana kakakmu itu!"

   Ma Kim Li kembali mendesak. Sejak tadi Pek Eng sudah memutar otak mencari akal untuk menjawab desakan ini dan ia lalu memandang ke kanan kiri seperti orang yang merasa rikuh untuk bicara. Ia lalu memandang wajah nenek itu dan berkata dengan suara lirih.

   "Sudah tepatkah kalau kita bicara tentang itu di depan banyak orang?"

   Suami isteri itu sadar bahwa mereka maish berada di antara Ciok Cun dan anak buahnya. Ma Kim Li lalu memegang tangan Pek Eng dan berkata kepada suaminya.

   "Mari kita berangkat!"

   Dengan diantar oleh Ciok Cun sampai ke depan pintu gerbang, suami isteri itu keluar dan ternyata kini beberapa orang anak buah Ciok Cun telah mengeluarkan sebuah kereta berkuda dua yang tadinya di simpan di sebelah rumah, dan Ma Kim Li lalu mengajak Pek Eng masuk ke dalam kereta. Siangkoan Leng duduk di depan dan menjadi kusir. Kereta bergerak meninggalkan rumah itu, bahkan segera keluar dari pintu gerbang kota Kui-yang sebelah selatan. Kereta berhenti di tempat sunyi di luar kota itu dan kembali suami isteri itu mendesak kepada Pek eng.

   "Hayo, katakan sekarang dimana adanya kakakmu Pek Han Siong itu!"

   Pek Eng tersenyum memandang kepada mereka.

   "Kalian ini adalah dua orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga melihat usia kalian tentu telah memiliki banyak pengalaman, akan tetapi bagaimana dapat mengajukan pertanyaan yang demikian bodoh?"

   "Apa kau bilang?"

   Siangkoan Leng membentak, heran melihat keberanian anak perempuan itu yang dalam keadaan tertawan bahkan berani mengatakan mereka bodoh!

   "Hati-hati dengan mulutmu atau jarumku akan menyiksamu!"

   Nenek itu pun mengancam. Akan tetapi Pek Eng yang cerdik itu hanya tersenyum menghadapi kemarahan mereka. Ia sudah memperhitungkan benar semua sikap dan kata-katanya. Ia maklum bahwa dua orang ini merupakan orang-orang yang dahulu memperebutkan kakaknya sebagai Sin-tong, seperti yang sering di dengar dari orang tuanya. Mereka ingin sekali menemukan kakaknya, mereka hanya mengenal kakaknya dari namanya saja dan tidak tahu di mana kakaknya berada.

   "Lam-hai Siang-mo,"

   Katanya dengan sikap seperti bicara dengan orang-orang yang setingkat saja.

   "Aku tidak bermaksud menghina kalian, akan tetapi kalian sendiri melihat bahwa aku datang ke persilatan Macan Terbang itu untuk menanyakan mereka kalau-kalau mereka melihat kakakku Pek Han Siong. Jelas bahwa aku datang untuk mencari Kakakku, dan sekarang kalian memaksa aku mengaku di mana adanya Kakakku itu. Bukankah itu pertanyaan yang amat bodoh? Kalau aku mencari-cari Kakakku, jelas bahwa aku tidak tahu di mana saat ini dia berada."

   Kakek dan nenek itu saling pandang sejenak.

   "Hemm, ceritakan bagaimana engkau berpisah dari Kakakmu itu agar kami dapat membantumu mencarinya!"

   
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Siangkoan Leng. Pek Eng memang sudah mempersiapkan diri sejak tadi.

   "Aku dan Kakakku itu sedang melakukan perjalanan pesiar ke selatan. Ketika kami tiba di luar kota Kui-yang, muncul tiga orang pendeta berkepala gundul yang hendak menangkap Kakakku. Karena tiga orang pendeta itu lihai sekali, Kakakku menyuruh aku menyingkir. Mereka lalu berkelahi dengan seru dan berkejar-kejaran. Ketika aku mengejar, ternyata aku tertinggal jauh dan mereka semua telah menghilang. Aku lalu mencari-cari sampai ke kota Kui-yang dan bertanya di Hui-houw Bu-koan."

   Ia berhenti sebentar kemudian bertanya.

   "Apakah kalian mengenal Kakakku itu? Apa perlunya kalian hendak bertemu dengan dia?"

   Suami isteri itu saling pandang.

   "Apakah tiga orang pendeta berkepala gundul itu mengenakan jubah mantel lebar berwarna merah dan kotak-kotak?"

   Tanya Siangkoan Leng.

   "Benar sekali!"

   Jawab Pek Eng yang teringat akan para pendeta Lama yang pernah menyerbu rumah keluarganya. Kembali suami isteri itu saling pandang.

   "Mereka adalah para pendeta Lama dari Tibet!"

   Kata Ma Kim Li dengan hati khawatir, takut kalau-kalau ia dan suaminya kalah dulu oleh para pendeta itu.

   "Apakah Kakakmu itu kalah lalu ditangkao dan di bawa pergi?"

   "Tidak mungkin Kakakku kalah!"

   Pek Eng berteriak seperti orang marah.

   "Tiga orang pendeta itu yang lari dan dikejar-kejar Kakakku. Sayang ginkang mereka terlampau tinggi sehingga aku tertinggal jauh, dan kehilangan mereka."

   Ketika dua orang itu saling pandang, ia melanjutkan.

   "Akan tetapi aku yakin bahwa Kakakku tentu akan mengalahkan mereka dan dia akan mencari aku sampai dapat."

   "Lihai sekalikah Pek Han Siong itu?"

   Ma Kim Li bertanya.

   "Kakakku? Wah, ilmu kepandaiannya seperti dewa! Karena itu, kalau kalian mengenalnya, harap jangan mengganggu aku agar dia tidak menjadi marah."

   "Kami tidak menggangumu,"

   Kata Siangkoan Leng sambil tersenyum mengejek.

   "Sudah lama kami ingin bertemu dengan Kakakmu, ada urusan penting yang ingin kami bicarakan dengan dia."

   "Wah kalau begitu, biarlah aku yang akan memberitabukan dia kalau kami sudah saling bertemu. Katakan saja kemana dia harus pergi mencari kalian, bukankah itu mudah sekali?"

   Berkata demikian Pek Eng tersenyum manis sekali kepada mereka. Ia sengaja tersenyum untuk membuat dua orang itu lengah karena pada saat itu, ia mendengar derap kaki kuda menuju ke arah kereta yang dihentikan di tepi jalan itu. Siapa pun adanya para pemunggang kuda itu, ia akan mempergunakan kesempatan ini untuk melarikan diri dengan harapan para penunggang kuda itu akan membantunya kalau melihat seorang gadis diserang dan dikejar kakek dan nenek itu.

   Pek Eng sama sekali tidak tahu bahwa sepasang iblis itu bukan tidak mendengar derap kaki kuda, bahkan mereka dapat menduga siapa adanya para penunggang kuda itu tanpa menengok. Tempat ini memang menjadi tempat yang sudah menjanjikan untuk menanti datangnya dua orang kawan mereka! Ketika dua orang penunggang kuda sudah tiga dekat dengan kereta itu, dan sepasang suami isteri itu nampaknya masih termenung mendengar perkataan Pek Eng tadi, tiba-tiba gadis itu meloncat ke luar dari dalam kereta! Ia melihat bahwa dua orang penunggang kuda itu berpakaian hitam-hitam dan ia bermaksud untuk merampas seekor kuda mereka agar ia dapat melarikan diri menunggang kuda. Dengan beberapa kali lompatan saja ia telah tiba dekat dengan dua orang penunggang kuda iru.

   "Tangkap gadis itu!"

   Terdengar suara Siangkoan Leng berseru di belakangnya. Mendengar ini dua orang yang berpakaian serba hitam itu meloncat turun dari kudanya. Pek Eng melihat bahwa mereka adalah dua orang kakek dan nenek juga, akan tetapi keadaan mereka membuat ia merasa terkejut dan ngeri. Kakek berpakaian hitam itu tinggi kurus dan biarpun mukanya nampak tampan akan tetapi muka itu seperti kedok mati saja. Juga nenek berpakaian hitam yang cantik itu mukanya seperti mayat.

   Pakaian hitam mereka membuat kepucatan wajah mereka semakin nyata dan Pek Eng merasa bulu tengkuknya meremang. Akan tetapi, karena ia tahu bahwa melawan dua orang kakek nenek yang berada di kereta ia takkan menang, maka ia lalu nekat dan cepat ia menubruk ke depan dan menerjang nenek pakaian hitam itu. Kalau ia dapat merampas seekor kuda, ia akan melarikan diri, pikirnya dan diantara kakek dan nenek berpakaian hitam itu, ia memilih Si Nenek. Serangannya cepat sekali dan ia mengerahkan kedua tangannya ke arah dada nenek itu. Pek Eng tidak mengenal kedua orang itu dan kalau ia mengenal mereka tentu ia tidak akan nekat menyerang nenek itu. Kakek dan nenek itu bukan lain adalah suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan! Dalam hal ilmu kepandaian silat, sepasang iblis ini tidak kalah lihainya dibandingkan Lam-hai Siang-mo!

   Melihat serangan gadis itu dan mendengar teriakan Siangkoan Leng, nenek yang bukan lain adalah Tong Ci Ki itu cepat menyambutnya. Ia pun menangkis dengan dorongan kedua tangannya dengan gerakan memutar dan akibatnya, tubuh Pek Eng terpelanting dan terpaksa ia mundur kembali sambil terhuyung karena ia harus mempertahankan diri agar tidak sampai jatuh! Kagetlah Pek Eng dan dengan mata terbalalak ia memandang kepada kakek dan nenek yang berdiri di depannya itu, Kwee Siong, kakek berpakaian hitam itu, mengeluarkan suara mendengus akan tetapi wajahnya sama sekali tidak bergerak. Pek Eng membalikkan tubuhnya dan ia melihat Lam-hai Siang-mo sudah keluar dari kereta dan kini juga berdiri menghadangnya. Ia telah di kepung dua pasang kakek dan nenek yang amat lihai itu! Pikirannya bekerja cepat dan ia pun tersenyum menghadapi Siangkoan Leng dan Ma Kim Li.

   "Apa lagi perlunya kalian menahan aku? Sudah kuceritakan dengan terus terang bahwa kau tidak tahu di mana adanya Kakakku Pek Han Siong, akan tetapi aku akan mencarinya dan akan kusampaikan kepadanya bahwa kalian mencarinya karena urusan penting. Kenapa kalian masih belum mau melepaskan aku, dan siapa pula kakek dan nenek ini yang juga menghalangi aku pergi?"

   Mendengar disebutnya nama Pek Han Siong, suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan itu terkejut, dan juga girang sekali.

   "Ah, Nona kecil. Kakakkmu bernama Pek Han Siong, apakah Sin-tong putera Ketua Pek-sim-pang?"

   Tanya Kwee Siong. Diam-diam Pek Eng merasa semakin heran. Agaknya dua orang yang baru datang ini pun tertarik sekali mendengar nama kakaknya! Apakah mereka juga trmasuk orang yang dahulu pernah memperebutkan Sin-tong, kakaknya yang dianggap anak ajaib oleh para pendeta Lama di Tibet itu? Ia membalikkan tubuhnya dan menghadapi Kwee Siong dan Tong Ci Ki.

   "Benar."

   Katanya.

   "Apakah kalian juga ingin bertemu dengan Kakak Pek Han Siong?"

   "Orang she Kwee!"

   Terdengar Siangkoan Leng berseru.

   "Ingat, ia adalah tawanan kami!"

   Mendengar ucapan itu, Pek Eng mendapat akal dan ia pun melangkah maju mendekati kakek dan nenek yang baru datang.

   "Bohong! Aku bukan tawanannya, buktinya sekarang aku bebas, dan akulah yang menentukan dengan siapa Kakakku dapat bertemu. Kakakku adalah seorang gagah perkasa yang sakti, oleh karena itu tidak dapat bertemu dengan orang sembarangan. Siapa diantara kalian yang lebih lihai, barulah pantas kupertemukan dengan Kakakku!"

   Perlu diingat bahwa dua pasang suami isteri ini sejak belasan tahun yang lalu pernah bermusuhan. Dengan mati-matian mereka memperebutkan Sin-tong yang dianggap akan mendatangkan keuntungan besar. Biarpun kemudian mereka bersatu dan bekerja sama, namun kini mereka dihadapkan pada perebutan kembali.

   "Hemm, Lam-hai Siang-mo selalu tamak!"

   Kata Tong Ci Ki marah.

   "Kalian mendengar sendiri kata-kata adik dari Sin-tong ini. Kamilah yang lebih pantas bertemu dengan kakaknya!"

   "Tong Ci Ki perempuan iblis bermuka mayat! Engkau lebih percaya kepada bocah ini dan berani menghina kami?"

   Bentak Ma Kim Li dengan marah.

   "Gadis itu kami yang tangkap, ia milik kami dan kalian tidak boleh mencampuri!"

   "Enak saja engkau membuka mulut, Ma Kim Li. Perlu diselidiki lebih dulu siapa diantara kita yang lebih patut bertemu dengan Sin-tong, seperti yang diucapkan gadis itu."

   "Benar begitu!"

   Pek Eng berseru.

   "Lam-hai Siang-mo memang pengecut, beraninya hanya kepada aku, seorang yang masih amat muda, sekali berhadapan dengan pasangan yang lebih lihai, nyali mereka mengecil dan mereka hanya berani mengandalkan lebarnya mulut saja!"

   Lam-hai Siang-mo marah sekali mendengar ucapan itu. mereka berdua mengeluarkan gerengan seperti dua ekor binatang buas, kemudian mereka menerjang ke depan untuk menyerang dan membunuh Pek Eng. Gadis itu cepat meloncat dan menyelinap ke belakang Kwee Siong dan Tong Ci Ki dan suami isteri ini maju menyambut serangan Lam-hai Siang-mo!

   "Lam-hai Siang-mo, gadis ini berada dalam lindungan kami!"

   Kata Kwee Siong.

   "Bagus! Kalian hendak merampas tawanan kami!"

   Bentak Siangkoan Leng dan dua pasang suami isteri itu sudah saling terjang dan saling serang dengan hebatnya.

   Tingkat kepandaian mereka memang tidak banyak selisihnya, maka segera terjadi perkelahian yang seru sekali, yang membuat debu mengepul tinggi dan empat ekor kuda meringkik ketakutan. Melihat betapa siasatnya mengadu domba berhasil dengan baik, Pek Eng lalu melompat dan melarikan diri. Ia tidak berani mempergunakan kuda, karena selain hal ini memakan banyak waktu dan akan lebih mudah mereka lihat, juga di situ masih terdapat tiga ekor kuda lainnya sehingga mereka tetap saja akan dapat mengejarnya dengan berkuda. Akan tetapi perasaan girang di hati Pek Eng hanya sebentar saja. Belum ada satu li ia melarikan diri, tiba-tiba empat bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu dua pasang suami isteri yang tadinya saling serang itu telah berdiri di depannya! Hal ini amat mengejutkan hati Pek Eng dan dengan mata terbelalak ia memandang mereka, lalu berkata gagap.

   "Eh. lalu bagaimana hasilnya? Siapa diantara kalian yang. menang..?"

   Empat orang itu cemberut! Untuk mereka tadi menyadari bahwa mereka telah diadu domba ketika mereka melihat betapa gadis itu melarikan diri. Betapa mereka telah dibodohi oleh seorang gadis muda!

   "Bocah setan! Kalau tidak mengingat bahwa engkau adik Sin-tong, sekarang juga engkau sudah kusiksa dan kucabut nyawamu!"

   Bentak Ma Kim Li, marah sekali. Pek Eng adalah seorang gadis yang tidak saja tabah, akan tetapi juga cerdik sekali. Kini ia yakin bahwa empat orang itu tidak akan membunuhnya, maka ia pun tersenyum dan berkata,

   "Kalau kalian hendak membunuh pun, aku tidak menyesal. Mati di tangan empat orang kakek nenek yang amat lihai, tidak menjadi penasaran. Akan tetapi, kalian yang akan menyesal karena tanpa aku, jangan harap dapat bertemu dengan Sin-tong!"

   "Sudahlah, Lam-hai Siang-mo, tidak perlu banyak cakap dengan bocah setan ini. Kita bawa saja ia menghadap Lam-hai Giam-lo!"

   Kata Tong Ci Ki.

   "Menghadap Lam-hai Giam-lo?"

   Pek Eng berseru dengan wajah menunjukkan kegembiraan.

   "Bagus sekali! Semenjak mendengar namanya, aku sudah ingin sekali bertemu dengan orang tua itu. Agaknya hanya dia seoranglah yang cukup berharga untuk bertemu dengan Kakakku!"

   Ia lalu melangkah untuk kembali ke kereta sambil berkata.

   "Nah, marilah kita berangkat sekarang juga. Mau tunggu apa lagi?"

   Empat orang itu saling pandang, tak tahu harus berbuat apa terhadap gadis ini. Kalau saja bukan adik Sin-tong, tentu mereka sudah membunuhnya. Perlu apa susah-susah membawanya menghadap Lam-hai Giam-lo? Akan tetapi, kalau mereka mempersembahkan gadis ini kepada Lam-hai Giam-lo, tentu pimpinan itu akan girang sekali dan mereka akan mendapat pujian dan dianggap berjasa.

   Kini, tidak perlu lagi mempergunakan kekerasan karena kalau gadis ini mengadukan perlakuan yang tidak patut terhadap dirinya kepada Lam-hai Giam-lo, siapa tahu orang tua itu akan marah kepada mereka dan hal ini sungguh mengerikan. Demikianlah, Pek Eng tertolong dan terbebas dari siksaan dan perlakuan kasar oleh sikapnya yang penuh ketabahan dan kecerdikan itu. Ia duduk di dalam kereta bersama Ma Kim Li karena Siangkoan Leng mengusiri kereta, sedangkan kakek dan nenek berpakaian hitam itu mengawasi di belakang kereta, di atas kuda mereka. Sungai Yang-ce merupakan sungai ke dua sesudah Huang-go yang mengalir jauh dari barat ke timur, melalui puluhan ribu li dan makin lama menjadi semakin lebar. Air sungai Yang-ce membuat lembah Yang-ce, apalagi di bagian timur, menjadi daerah yang subur sekali. Akan tetapi air sungai itu pula yang kadang-kadang mengamuk dengan hebat,

   Membanjiri sawah ladang dan perkampungan merenggut banyak nyawa manusia dan menghancurkan banyak pertanian. Di dataran tinggi Yunan, di antara bukit-bukit yang tak terhitung banyaknya, Sungai Yang-ce mengalir dengan tenang dan indahnya. Airnya masih belum begitu keruh, juga belum terlalu banyak, melalui celah-celah antara bukit, kadang-kadang melalui jurang-jurang yang amat curam. Di lereng sebuah bukit di Lembah Yang-ce inilah tinggal Lam-hai Giam-lo yang terkenal sebagai seorang di antara datuk-datuk besar kaum sesat. Seperti telah kita ketahui di bagian depan kisah ini. Lam-hai Giam-lo pernah terpaksa harus melarikan diri dan bersembunyi, menyamar sebagai seorang hwesio di dalam kuil Siauw-lim-si karena dia dikejar-kejar dua orang musuhnya yang amat ditakuti, yaitu Ciang Su Kiat Si Pendekar Buntung lengan kirinya dan Kok Hui Lian.

   Kedua orang yang pernah nyaris dibunuhnya itu kemudian muncul dengan kepandaian yang mengejutkan dan beberapa kali hampir saja Lam-hai Giam-lo tewas di tangan mereka. Namun, penyamarannya di kuil itu ketahuan oleh sepasang pendekar Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu sehingga terpaksa dia melarikan diri lagi. Lam-hai Giam-lo adalah seorang datuk sesat yang banyak pengalamannya di dunia kang-ouw, dan memiliki banyak sahabat di dunia golongan hitam. Maka dia pun cepat dapat berhubungan bahkan menarik kaum sesat untuk bersekutu dengan dia. Setelah mengumpulkan banyak harta dari hasi pencurian-pencurian yang dilakukannya sendiri di dalam gedung-gedung para bangsawan di kota raja, Lam-hai Giam-lo lalu tinggal di lembah Yang-ce-kiang ini, di mana dia membangun sebuah rumah besar dan hidup sebagai seorang hartawan dan juga pimpinan golongan hitam.

   Banyak sudah orang-orang golongan sesat yang berkepandaian tinggi bergabung dengannya, bahkan menjadi pembantu-pembantunya. Di antara mereka itu terdapat suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, suami isteri Lam-hai Siang-mo, bahkan juga Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi yang amat lihai telah menjadi pembantunya pula. Kemudian bahkan Sim Ki Liong yang pernah menyelundup menjadi murid Pendekar Sadis, dibawa oleh Ji Sun Bi dan menggabungkan diri dengan Lam-hai Giam-lo, menjadi tangan kanannya yang dipercaya! Belum lagi datuk-datuk lain, termasuk tokoh-tokoh perkumpulan Pek-lian-kauw. Pengaruh Lam-hai Giam-lo semakin luas bahkan dia mulai mempengaruhi para pembesar di daerah selatan karena setelah menjadi seorang yang menuntut di sebut "bengcu" (pemimpin rakyat), kakek ini bercita-cita untuk menentang kekuasaan kerajaan!

   Lam-hai Giam-lo, murid mendiang Lam-kwi-ong, seorang diantara datuk yang terkenal dengan sebutan Empat Setan, kini bercita-cita untuk menjadi pimpinan golongan sesat, membangun dunia hitam kembali seperti yang pernah dilakukan Cap-sha-kwi (Tiga Belas Setan) yang kemudian kekuasaannya di rebut oleh Raja Iblis dan Ratu Iblis (baca Asmara Berdarah). Dia ingin mengikuti jejak Empat Setan, yaitu empat orang datuk sesat di empat penjuru, dan dengan kekuatan baru dari kaum sesat ini dia bercita-cita untuk bersekutu dengan para pemberontak, menjatuhkan kaisar dan cita-citanya yang paling muluk adalah mengangkat dirinya sebagai kaisar baru untuk memperluas kekuasaan dan pengaruhnya,

   Lam-hai Giam-lo mengutus para datuk yang menjadi pembantunya untuk membujuk tokoh-tokoh dunia kang-ouw agar suka datang menggabungkan diri atau setidaknya mengakui kepemimpinannya. Dia tidak sayang menghamburkan uang untuk menarik hati para tokoh itu, seperti yang dilakukan oleh dua pasang suami isteri iblis dari selatan dengan hasil baik. Para utusan lainnya belum kembali ketika Sepasang Iblis Laut Selatan dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan tiba bersama Pek Eng di tempat tinggal Lam-hai Giam-lo. Pek Eng diam-diam memperhatikan keadaan rumah besar itu dan sekelilingnya. Rumah itu berdiri di lereng bukit, di tepi Sungai Yang-ce-kiang dengan aman karena berada jauh di atas sungai itu sehingga tidak khawatir dilanda banjir. Rumah besar itu berdiri sendiri tanpa tetangga, di tengah hutan dan pemandangan di daerah itu sungguh indah.

   Ketika dengan halus namun memerintah para penawannya menyuruh ia turun dan mengikuti mereka memasuki beranda rumah, Pek Eng melihat betapa rumah itu dilengkapi dengan perabot-perabot rumah yang serba mewah, dan ketika mereka memasuki pintu gerbang depan tadi, ia melihat belasan orang penjaga yang nampaknya galak dan kuat, akan tetapi yang segera memberi hormat ketika dua pasang suami isteri iblis itu masuk. Kini, di beranda depan mereka disambut oleh lima orang gadis pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik. Dian-diam Pek Eng merasa kagum dan heran. Melihat para penjaga itu, perabot rumah yang mewah, dan para pelayan ini, sepantasnya orang yang berjuluk Lam-hai Giam-lo adalah seorang bangsawan tinggi, seorang pembesar tinggi atau seorang yang kaya raya!

   "Ngo-wi, (Anda Berlima) diminta untuk menanti Bengcu di kamar tunggu."

   Kata seorang di antara lima gadis pelayan itu. Lam-hai Giam-lo memang cerdik.

   Diam menyuruh semua pelayan dan anak buahnya untuk menyebut bengcu (pemimpin rakyat) kepadanya agar sebutan ini melekat pada dirinya dan siap pun akan menganggap dia seorang pemimpin besar rakyat yang kelak tentu saja pantas kalau menjadi kaisar apabila gerakannya berhasil. Dua pasang suami isteri iblis itu tidak merasa heran mendengar ucapan gadis pelayan itu, akan tetapi Pek Eng merasa kagum. Hebat juga orang yang menjadi pimpinan itu, lebih dahulu sudah mengetahui akan kedatangan mereka berlima. Ia tidak tahu bahwa memang Lam-hai Giam-lo memasang banyak sekali mata-mata dan penyelidik sehingga begitu memasuki daerah itu, mereka berlima telah diketahui orang dan telah dilaporkan kepada Lam-hai Giam-lo bahwa dua pasang suami isteri iblis yang menjadi pembantu-pembantunya itu datang berkunjung bersama seorang gadis yang tidak dikenal.

   Ruangan tamu itu luas sekali. Terdapat banyak kursi di situ, mepet di dinding yang dihiasi lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan indah. Di sudut ruangan itu terdapat pot-pot tanaman yang menyegarkan. Ruangan tamu itu tentu akan dapat menampung ratusan orang tamu. Dua orang pelayan wanita keluar membawa arak dan air teh, dihidangkan di atas meja depan lima orang tamu yang menunggu itu. Dari gerakan mereka yang cekatan dan gesit, Pek Eng dapat menduga bahwa para pelayan itu tentu memiliki ilmu silat yang cukup baik. Mereka menghidangkan minuman tanpa kata, lalu pergi lagi meninggalkan ruangan yang kembali menjadi sunyi. Tak lama kemudian, muncul seorang pelayan lain di pintu tembusan dan berseru dengan suaranya yang halus.

   "Bengcu datang!"

   Dan dengan sikap hormat pelayan itu berdiri di samping sambil membungkuk. Dua pasang suami isteri bengkit berdiri dan melihat ini, tanpa disuruh lagi Pek Eng juga bangkit berdiri. Bukan sekedar ikut menghormat, akan tetapi terutama sekali untuk dapat melihat dengan jelas bagaimana keadaan orang yang agaknya amat penting dan berkuasa itu.

   Ketika Lam-hai Giam-lo muncul di pintu tembusan itu, Pek Eng memandang penuh perhatian dan ia tidak dapat menahan ketawanya karena hatinya merasa geli sekali, seperti digelitik. Orang yang disebut Malaikat Elmaut Laut Selatan itu, yang demikian ditakuti dan dihormati oleh orang-orang sakti seperti dua pasang suami isteri iblis ini, yang memiliki rumah besar seperti istana pembesar tinggi, ternyata hanyalah seorang kakek yang lucu sekali. Usianya tentu kurang lebih enam puluh tahun, mukanya lucu seperti muka kuda, dan matanya sipit seperti terpejam telinganya berdaun lebar dan tubuhnya tinggi kurus, ditambah lagi ketika melangkah, kakinya agak terpincang! Melihat bentuk wajah dan tubuhnya orang ini lebih pantas menjadi seorang pengemis yang cacat tubuhnya.

   Akan tetapi pakaiannya mewah sekali, berkembang-kembang, dan kepalanya yang rambut hanya sedikit itu memaki sebuah topi sutera yang berhias bulu burung amat indahnya. Melihat gadis yang tidak dikenalnya itu tertawa walaupun ditahannya, Lam hai Giam-lo yang sudah berjalan menghampiri itu tiba-tiba menggerakkan tangan kanannya dan. lengan itu mulur dan sekali jari tangannya bergerak, dia sudah menangkap leher baju Pek Eng di bagian tengkuk dan gadis itu tiba-tiba merasa betapa tubuhnya terangkat ke atas! Pek Eng yang tadinya tertawa geli itu terkejut bukan main. Orang yang wajahnya seperti kuda itu dapat menangkapnya semudah itu, hanya ibu jari dan jari telunjuk menjepit leher bajunya di tengkuk dan mengangkatnya, padahal orang itu berdiri dalam jarak dua meter darinya. Lengan itu dapat mulur panjang!

   "Mengapa engkau tertawa?"

   Terdengar suara Lam-hai Giam-lo dan Pek Eng yang sudah terkejut itu menjadi semakin ngeri mendengar suara kakek ini seperti ringkik kuda, pecah dan parau! Pek Eng memang cerdik. Walaupun ia terkejut bukan main dan merasa ngeri ketika tubuhnya yang diangkat itu kini didekatkan sehingga ia dapat memandang wajah aneh itu dari jarak dekat, namun ia dapat menekan rasa takutnya dan ia malah tesenyum.

   "Kakek yang baik, engkaukah bengcu yang dijuluki Lam-hai Giam-lo? Ketika dua pasang suami isteri iblis itu membawaku ke sini dan mendengar namamu, aku merasa takut setengah mati, mengira bahwa sesuai dengan julukanmu, engkau tentulah seorang kakek yang bertubuh raksasa dan berwajah menakutkan dan kejam sekali. Akan tetapi, apa yang kulihat? Engkau sama sekali tidak menakutkan, tidak kelihatan kejam, bahkan kelihatan berhati baik walaupun berbeda dengan orang-orang biasa, aku tertawa karena hatiku lega."

   Mendegar ini Lam-hai Giam-lo tersenyum dan lenyaplah sinar mencorong dari matanya. Kalau saja Pek Eng keliru bicara sedikit saja, tentu sekali banting gadis itu akan tewas seketika! Lengan itu mulur kembali dan Pek Eng mendapatkan dirinya diturunkan di tempat tadi, diantara dua pasang suami istri yang masih berdiri dengan ikap hormat itu.

   "Siapa yang membawa gadis ini ke sini dan siapa ia?"

   Suaranya yang parau dan pecah itu pendek-pendek saja namun mengandung wibawa menakutkan. Kini Siangkoan Leng yang menjawab dan sungguh aneh sekali terdengar oleh Pek Eng karena suara kakek yang amat lihai ini terdengar agak gemetar dan sikapnya seperti orang yang ketakutan.

   "Kami berdua yang membawanya ke sini. Harap Bengcu ketahui bahwa gadis ini adalah adik dari Pek Han Siong, dan ia bernama Pek Eng.."

   "Aku tidak mengenai dan tidak peduli akan nama-nama itu!"

   Lam-hai Giam-lo memotong singkat dan ketus. Memang, beberapa tahun yang lalu dia adalah seorang laki-laki yang memiliki kelemahan terhadap wania muda dan cantik, akan tetapi sekarang, setelah dia memiliki ambisi yang lebih tinggi dan setiap hari dikelilingi para pelayan wanita yang muda dan cantik dan setiap saat siap untuk melayani dan menyenangkan hatinya, dia tidak tertarik kepada Pek Eng wapaupun gadis ini cukup muda dan cukup cantik manis. Mendengar ucapan ini dan melihat sikap pemimpin mereka yang nampak kurang senang, Siangkoan Leng menjadi semakin geliasah. Isterinya, Ma Kim Li lalu menyambung untuk membantu suaminya.

   "Bengcu, tadinya kami juga hendak membunuh gadis ini, akan tetapi kami dicegah oleh suami isteri Guha Iblis, dan mereka menganjurkan agar gadis ini kami haturkan kepada Bengcu."

   Dengan matanya yang sipit akan tetapi kadang-kadang dari garis yang sempit itu keluar sinar mencorong seperti mata kucing di kegelapan, Lam-hai Giam-lo kini memandang kepada suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan. Tanpa bertanya pun sikapnya sudah jelas, minta penjelasan dari Mereka. Tong Ci Ki mewakili suaminya berkata,

   "Harap Bengcu tidak mendengarkan ucapan Ma Kim Li yang hendak menimpakan kesalahan kepada kami. Adalah menjadi keinginan kami berempat bahwa gadis ini dihadapkan kepada Bengcu, gadis ini dihadapkan kepada Bengcu, walaupun yang menangkapnya adalah Lam-hai Siang-mo. Kami mengira bahwa Bengcu tentu akan tertarik, mengingat bahwa gadis ini adalah adik dari Pek Han Siong yang terkenal sebagai Sintog yang pernah diperebutkan, bahkan dicari oleh para pendeta Lama di Tibet."

   Lam-hai Giam-lo mengerukan alisnya dan sepasang matanya agak melebar sehingga makin nampak biji mata yang mengeluarkan sinar kehijauan itu,

   "Kita bukan anak-anak kecil yang mempercayai ketahyulan para pendeta Lama. Kita memiliki cita-cita yang lebih tinggi! Aku tidak peduli dengan segala macam Sin-tong!"

   "Bagus sekali!"

   Tiba-tiba Pek Eng berseru sambil mengangkat kedua tangan ke atas.

   "Sudah kuduga bahwa Bengcu adalah seorang yang bijaksana, pandai dan tidak tahyul atau bodoh seperti dua pasang suami isteri iblis ini! Kakakku Pek Han Siong adalah orang biasa, bagaimana disebut Sin-tong? Sin-tong atau orang-orang besar lainnya adalah orang-orang yang diciptakan Tuhan untuk menjadi lain daripada orang biasa, maka tentu juga memiliki kelainan dalam bentuknya. Akan tetapi Kakakku orang biasa saja pemuda biasa yang tida bedanya dengan orang lain. Berbeda dengan Bengcu misalnya Bengcu telah diciptakan oleh Tuhan dalam bentuk yang lain dari pada manusia umumnya, oleh karena itu dapat menjadi Bengcu, bahkan pantas untuk menjadi kaisar sekalipun!"

   Gadis ini memang asal bicara saja untuk menyenangkan hati pemimpin kaum sesat yang mengerikan itu, juga agar kakek itu tidak tertarik kepada kakaknya. Ia pun kagum sekali akan kepandaian Lam-hai Giam-lo yang luar biasa. Walaupun belum melihat seluruh kepandaiannya, baru melihat cara kakek itu tadi menangkapnya saja sudah membuktikan bahwa kakek itu memang sakti bukan main. Juga sikap empat orang datuk itu membuktikan bahwa Bengcu itu amat ditakuti, maka dapat dibayangkan betapa hebat kepandaiannya. Mendadak saja timbul suatu keinginan di hati Pek Eng. Kalau saja ia dapat menjadi murid kakek sakti ini! Ucapan yang hanya ngawur itu ternyata amat mengena di hati Lam-hai Giam-lo. Dia amat terkesan ketika mendengar bahwa gadis itu menganggap dia seorang manusia luar biasa, yang secara istimewa diciptakan Tuhan untuk menjadi kaisar!

   "Nona kecil, siapakah namamu tadi?"

   Tiba-tiba Bengcu itu bertanya, suaranya terdengar ramah sehingga dua pasang suami isteri itu terkejut, heran dan juga merasa lega. Suara itu menunjukkan bahwa pemimpin mereka itu tidak merah lagi.

   "Bengcu, namaku adalah Pek Eng."

   "Pek Eng, keberanianmu menyenangkan hatiku. Sekarang engkau telah berada di sini, sebelum engkau kubebaskan dan boleh pergi, engkau dapat mengajukan sebuah permintaan kepadaku, tentu akan kupenuhi."

   Mendengar ini, dua pasang suami isteri itu terkejut dan heran. Mereka memang merasa lega, akan tetapi terheran-heran karena belum pernah mereka melihat Lam-hai Giam-lo begini ramah dan pemurah terhadap seorang yang sama sekali asing, kecuali terhadap para pembantunya. Pertanyaan yang tidak diduga-duga oleh Pek Eng itu membuat gadis ini merasa terkejut dan heran pula. Akan tetapi tanpa ragu-ragu lagi ia pun lalu menjawab,

   

Harta Karun Jenghis Khan Eps 8 Asmara Berdarah Eps 12 Asmara Berdarah Eps 10

Cari Blog Ini