Ceritasilat Novel Online

Pendekar Mata Keranjang 35


Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 35



Batin harus kosong, bebas dan berdiri sendiri, tidak bersandar atau bergantung, juga tidak disandari atau digantungi. Pengamatan penuh kewaspadaan ini membuat Hay Hay sudah gembira kembali ketika dia melanjutkan perjalanannya, menuju ke kota Siang-tan karena dia ingin lebih dulu berkunjung ke tempat tinggal Jaksa Kwan untuk mengembalikan batu giok mustika milik pembesar itu. Kota Siang-tan di Propinsi Hunan merupakan kota yang cukup besar dan ramai. Di sinilah tinggal Kwan-taijin, jaksa yang terkenal jujur dan keras memegang tegaknya hukum dan pembesar ini tidak pernah mau memaafkan perbuatan jahat, menghukum banyak sekali penjahat besar sehingga dia amat dibenci oleh para penjahat.

   Seperti telah diceritakan di bagian depan kisah ini, ketika Kwan-tajjin bersama keluarganya melewatkan waktu libur di Telaga Tung-ting, hampir saja dia tewas di tangan para tokoh sesat yang mendendam kepadanya. Para penyerang itu adalah datuk-datuk sesat yang amat lihai sehingga Kwan-taijin sampai berhasil ditangkap. Namun, berkat pertolongan Hay Hay dan Kok Hui Lian, pembesar itu dapat diselamatkan dan diantar pulang bersama keluarganya oleh Hay Hay. Batu giok mustika terampas penjahat dan akhirnya Hay Hay dan Hui Lian dapat merampasnya kembali. Kini, setelah Hay Hay berpisah dari Hui Lian, Dia harus kembali lagi ke Siang-tan untuk mengembalikan benda yang amat berharga itu kepada pemiliknya. Kedatangan Hay Hay disambut dengan gembira dan ramah oleh Kwan-taijin. Melalui penjagaan yang ketat, akhirnya dia bertemu dengan pembesar itu di kamar tamu.

   "Aih, kiranya Taihiap yang datang berkunjung!"

   Kata pembesar itu menyongsong kedatangan Hay Hay yang merasa canggung melihat betapa pembesar yang amat terkenal itu menyebutnya Taihiap (Pendekar Besar).

   Dia membalas penghormatan tuan rumah dan Kwan-taijin segera menggandengnya, diajaknya masuk ke sebelah dalam dan barulah nampak oleh Hay Hay bahwa di dalam ruang yang besar itu terdapat seorang lain yang sedang duduk. Dia memperhatikan. Orang laki-laki itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, tubuhnya sedang saja dan melihat cara dia berpakaian, mudah diduga bahwa dia tentulah seorang pembesar tinggi. Wajahnya halus dan ramah, sepasang matanya membayangkan suatu kecerdikan dan mulut yang selalu tersenyum itu penuh kebijaksanaan. Agaknya, ketika pengawal melaporkan tentang kunjungannya, Jaksa Kwan sedang duduk bercakap-cakap dengan pembesar ini.

   "Kebetulan sekali, kami baru menerima kunjungan Yang-taijin dan kami bahkan sedang bicara tentang dirimu, Taihiap. Mari silakan masuk dan kuperkenalkan kepada Yang-taijin!"

   Hay Hay melangkah masuk dengan sikap hormat, tahu bahwa tentu orang itu pun seorang bangsawan tinggi walaupun sikapnya ramah dan sederhana. Ada kewibawaan besar terpancar dari pandang mata orang itu. Kwan-taijin membungkuk dengan penuh hormat kepada orang itu dan berkata dengan suara gembira,

   "Yang-taijin, sungguh seperti dituntun oleh tangan Thian sendiri bahwa saat ini datang pendekar yang baru saja saya ceritakan kepada Paduka. Taihiap, beliau ini adalah seorang menteri yang amat bijaksana, yaitu Menteri Negara Yang Ting Hoo yang berkedudukan di kota raja dan hari ini melimpahkan kehormatan menjadi tamu kami yang terhormat."

   Bukan main kagetnya rasa hati Hay Hay mendengar disebutnya nama Yang Ting Hoo ini. Dalam perantauannya selama ini, dia mendengar berita bahwa kemakmuran negara di bawah pemerintahan Kaisar Cia Ceng pada saat ini adalah berkat jasa dua orang menteri yang amat bijaksana dan pandai mengurus negara. Yang pertama bernama Menteri Yang Ting Hoo dan yang ke dua adalah Menteri Chang Ku Ceng. Dan kini, tiba-tiba saja dia berhadapan dengan Menteri Yang Ting Hoo ditempat kediaman Jaksa Kwan itu. Pertemuan yang sama sekali tak pernah disangkanya dan cepat dia lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap menteri itu.

   "Hamba Hay Hay, karena tidak tahu telah bersikap tidak hormat kepada Paduka, mohon Paduka sudi memberi maaf yang sebesarnya."

   Menteri Yang Ting Hoo menggerakkan tangannya.

   "Aih, Taihiap, bangkitlah dan mari duduk di sini. Kita bercakap-cakap seenaknya. Percayalah, hanya karena kebiasaan saja aku suka disembah orang, padahal di dalam hati aku merasa muak dengan semua kehormatan yang berlebihan itu. Karena itu, kalau benar engkau ingin menyenangkan hatiku dan ingin bicara dari hati ke hati, bangkitlah dan duduklah di sini!"

   Dia menunjuk ke arah sebuah kursi didepannya, terhalang meja. Jaksa Kwan tertawa, hal yang tidak biasa pula dilakukan oleh seorang pembesar bawahan kepada pembesar atasan yang pangkatnya demikian tinggi. Hal ini juga menunjukkan betapa akrab hubungan antar keduanya.

   "Taihiap, jangan heran akan sikap Yang-taijin. Begitulah beliau, lebih mementingkan hubungan antar manusia daripada antar kedudukan. Silakan duduk, Taihiap."

   Hay Hay merasa kagum bukan main, juga gembira.

   Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang pembesar yang lebih patut dinamakan pemimpin rakyat, karena pembesar itu selalu merasa dirinya lebih besar dari orang biasa, sebaliknya seorang pemimpin akan selalu bersikap sebagai seorang ayah, guru atau pemimpin, tidak merasa dirinya lebih besar. Dia pun menghaturkan terima kasih, bangkit lalu duduk berhadapan dengan kedua orang pejabat yang duduk berdampingan itu. Jaksa Kwan memberi isarat dengan tangannya memanggil seorang pelayan yang segera meletakkan sebuah cawan arak di depan Hay Hay dan juga mengambilkan tambahan seguci arak harum. Hidangan sekedarnya juga ditambah, kemudian Kwan-taijin memberi isarat agar semua pelayan dan pengawal meninggalkan ruangan itu hanya berjaga diluar pintu dan tidak ikut mendengarkan percakapan yang akan terjadi di dalam ruangan tamu itu.

   "Engkau tadi mengaku bernama Hay Hay, Taihiap? Siapakah nama keluargamu?"

   Tanya Menteri Yang Ting Hoo dengan sikap ramah. Hay Hay tersenyum untuk menyembunyikan perasaan tidak enak di hatinya. Tak dapat disangkal lagi, menurut keterangan keluarga Pek, dia bernama keluarga Tang, putera dari seorang she Tang yang terkenal sebagai seorang penjahat keji, seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga, pemerkosa wanita) she Tang! Di dalam hati kecilnya, dia malu dan tidak suka menggunakan nama keluarga itu, akan tetapi kalau kenyataannya memang dia she Tang, mau bagaimana lagi?

   "Hamba she Tang, akan tetapi sejak kecil hamba lebih sering disebut Hay Hay dan hamba lebih senang memakai nama itu saja."

   Jawabannya sederhana. Menteri itu tertawa dan mengangguk-angguk.

   "Taihiap tentu mengetahui bahwa untuk menilai seseorang, bukan tergantung daripada namanya, kedudukannya, kepintarannya maupun kekayaannya, melainkan dari sepak terjangnya di dalam kehidupan setiap harinya. Karena itu, mengapa risau tentang nama? Keluarga yang namanya Tang di dunia ini banyak, yang baik banyak yang jahat pun banyak, tergantung dari pribadi masing-masing."

   Hay Hay terkejut dan barulah dia tahu mengapa orang ini terkenal sebagai seorang yang bijaksana. Pandangannya yang sederhana itu saja seolah-olah sudah berhasil membuka kedoknya! Dia memang merasa malu mempergunakan she Tang karena ayah kandungnya, orang she Tang itu adalah seorang penjahat. Bagaimana andaikata ayahnya itu seorang yang baik? Tentu dia akan bangga menyandang nama keluarga itu! Betapa palsunya sikap ini!

   "Terima kasih atas peringatan Paduka. Hamba memang bernama Tang Hay,"

   Katanya kemudian dan sekali ini menyebut nama keluarga Tang terdengar ringan saja di lidahnya, seolah tidak ada apa-apanya. Kini Kwan-taijin mempersilakan Hay Hay minum arak. Mereka bertiga minum arak dan makan hidangan dengan sikap terbuka. Hay Hay merasagembira dan juga aneh. Dia duduk berhadapan dengan dua orang pembesar, bahkan yang seorang adalah seorang menteri negara, namun dia sama sekali tidak merasa rikuh atau rendah diri. Hal ini saja membuktikan betapa kedua orang itu memang merupakan orang-orang yang bijaksana dan dia merasa seperti duduk semeja dengan dua orang sahabat saja!

   "Nah, sekarang ceritakan keadaanmu, Tang-taihiap. Bagaimana keadaanmu semenjak kita saling berpisah, setelah engkau menyelamatkan kami di Telaga Tung-ting, dan apakah kedatanganmu ini hanya untuk berkunjung, ataukah ada keperluan lain?"

   Mendengar pertanyaan Jaksa Kwan itu, Hay Hay lalu mengeluarkan batu kemala mustika dari saku bajunya. Dia membuka bungkusan saputangan, mengambil batu giok itu dan menyerahkannya kepada Jaksa Kwan sambil berkata,

   "Saya datang untuk nnenyerahkan batu giok mustika ini kembali kepada Paduka, Kwan-taijin."

   Sepasang mata pembesar itu bersinar dan wajahnya berseri gembira.

   "Ah! Jadi engkau bahkan berhasil merampas kembali mustika ini?"

   Dia menerima batu giok itu dan menyerahkannya kepada Yang-taijin.

   "Lihat, Taijin, pendekar perkasa ini bahkan telah berhasil merampas kembali mustika ini!"

   Menteri Yang menerima batu giok itu dan memandang kagum kepada Hay Hay."

   "Apakah seorang diri saja engkau merampas kembali mustika ini, ataukah dengan pendekar lainnya yang juga lihai itu, eh, siapa lagi namanya? Sayang sekali aku tidak sempat berkenalan dengannya."

   "Ia she Kok..."

   Kata Hay Hay dan dia teringat, lalu menahan kata-katanya karena bukankah pada waktu itu Hui Lian menyamar sebagai seorang pria?

   "She Kok? Ah, mengingatkan aku akan seorang sahabatku yang baik sekali belasan tahun yang lalu, yaitu Gubernur Kok dari San-hai-koan. Kasihan sekali, keluarganya terbasmi oleh gerombolan pemberontak.."

   Mendengar ucapan Menteri Yang itu, diam-diam Hay Hay terkejut sekali sehingga dia mengeluarkan seruan tertahan.

   "Ah, ada apakah, Tang-taihiap? Benarkah masih ada hubungan antara sahabatmu itu dengan mendiang Gubernur Kok di San-hai-koan?"

   Tanya menteri itu dan Jaksa Kwan juga memandang kepadanya. Hay Hay mengangguk-angguk.

   "Mungkin sekali.. ah, ia memang memiliki banyak keanehan yang dirahasiakan. Mungkin. sekali ia puteri gubernur yang Paduka maksudkan itu "

   "Puteri?"

   Jaksa Kwan berteriak kaget.

   "Kau maksudkan ia... ia seorang wanita?"

   Hay Hay mengangguk. Menghadapi dua orang pembesar yang amat bijaksana dan pandai ini, tidak perlu lagi dia berbohong.

   "Memang benar, ia adalah seorang gadis bernama Kok Hui Lian, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang teramat tinggi."

   "Aduh sayang sekali! Kenapa ia tidak ikut bersamamu berkunjung ke sini, Taihiap? Pada saat ini kami membutuhkan orang-orang pandai seperti engkau dan gadis pendekar itu. Makin banyak semakin baik."

   Kata Kwan-taijin.

   "Akan tetapi, ada apakah, Taijin? Ada urusan penting apakah maka Taijin membutuhkan bantuan para pendekar?"

   Hay Hay bertanya, khawatir kalau-kalau para tokoh sesat kembali mengganggu pembesar yang mereka musuhi ini. Kwan-taijin menoleh kepada Menteri Yang, lalu berkata kepada Hay Hay.

   "Sekali ini urusannya lebih gawat dan besar lagi, Tang-taihiap. Sebaiknya kalau engkau mendengar sendiri dari Paduka Menteri Yang, karena beliau inilah yang menangani masalah yang amat penting dan penuh rahasia, Taihiap. Oya, nanti dulu."

   Kata pula jaksa itu sambil menyerahkan batu kemala mustika itu kepada Hay Hay sambil berkata.

   "Batu giok ini kuberikan kepadamu, Taihiap. Engkau seorang pendekar yang banyak merantau dan banyak bertemu dengan para penjahat, maka kiranya mustika seperti ini amat penting bagimu. Aku berada di kota dan dikelilingi banyak tabib, maka mustika seperti ini tidak begitu penting bagiku. Nah, terimalah, aku berikan kepadamu dengan setulus hatiku."

   Tentu saja Hay Hay terkejut dan juga girang. Mustika itu memang amat berguna, dapat menghadapi penyerangan senjata beracun yang banyak dipergunakan orang-orang golongan hitam. Dia pun tidak pura-pura lagi dan menerima benda itu, dibungkusnya dengan saputangan dan disimpannya di dalam saku bajunya.

   "Terima kasih atas budi kebaikan Taijin."

   Katanya singkat, kemudian dia memandang kepada Menteri Yang, siap untuk mendengar tentang masalah yang dihadapi para pejabat tinggi itu.

   "Begini, Tang-taihiap, sebetulnya kami menghadapi usaha pemberontakan yang berbahaya sekali dan kami ingin mengajakmu berbincang-bincang tentang hal ini, bahkan mengharapkan bantuan para pendekar seperti Taihiap."

   Menteri itu mulai. Hay Hay mengerutkan alisnya. Pemberontakan? Bukankah itu merupakan urusan pemerintah, persoalan negara dan sudah banyak pejabat yang berkewajiban untuk menanganinya?"

   Melihat pandang mata ragu dari pendekar itu, Menteri Yang tersenyum maklum.

   "Taihiap, kalau pemberontakan itu merupakan pemberontakan dari pasukan, maka kami pun tidak ingin membicarakannya dengan para pendekar yang hanya merupakan sebagian daripada rakyat jelata. Kami tinggal mengerahkan pasukan besar untuk menumpas dan membasmi, seperti yang sudah sering kami lakukan. Akan tetapi, kami menghadapi pemberontakan berselubung, Taihiap."

   "Pemberontakan berselubung?"

   Hay Hay bertanya, tidak mengerti.

   "Golongan yang menjadi lawan dari golonganmu, yaitu kaum sesat, kini memperlihatkan gejala untuk memperkuat diri, mereka ingin bangkit kembali seperti ketika dunia hitam dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis yang terkenal itu. Untuk menghadapi para datuk sesat, kami tidak banyak berdaya, Taihiap, dan tentu para pendekar lebih mampu menghadapi mereka. Akan tetapi, pembangkitan para tokoh sesat ini, menurut bukti-bukti yang didapatkan para penyelidik kami, ada hubungannya dengan rencana pemberontakan terhadap pemerintah! Inilah yang berbahaya, Taihiap. Oleh karena itu, tadi telah kami bicarakan dengan Kwan taijin agar kami menghimpun dan minta bantuan para pendekar, demi keselamatan negara dan keamanan kehidupan rakyat. Engkau tentu tahu sendiri betapa menderitanya rakyat kalau sampai terjadi pemberontakan dan perang apalagi kalau di antara para pemberontak itu terdapat golongan sesat yang tentu akan selalu memancing di air keruh."

   Hay Hay mengangguk-angguk. Kalau demikian halnya, tentu saja dia siap untuk menentang kaum sesat yang hendak bersekutu dengan para pemberontak itu.

   "Siapakah datuk sesat yang memimpin gerakan gelap itu, Taijin?"

   Tanyanya.

   "Menurut penyelidikan, pemimpinnya ada beberapa orang di antaranya yang terpenting adalah seorang yang berjuluk Lam-hai Giam-lo. Dia bermarkas di Lembah Yang-ce, sekitar Pegunungan Yunan. Kabarnya dia mempunyai banyak sekali teman dari dunia hitam yang merupakan tokoh-tokoh yang berilmu tinggi, dan lebih berbahaya lagi, kabarnya dia pun bersekutu dengan tokoh Birma. Juga kabarnya gerombolan sesat Kui-kok-pang dari Lembah Iblis di Pegunungan Hong-san, dan entah siapa lagi namanya aku tidak tahu. Hebatnya, mereka itu berhasil menarik Pek-lian-kauw sebagai sekutu dan kini tengah membangun pasukan yang kuat."

   Mendengar ini, Hay Hay mengangguk-angguk dan dia melihat betapa berbahaya gerakan seperti itu.

   "Dan banyak di antara sekutu mereka yang sudah kau kenal, Taihiap."

   Kini Jaksa Kwan berkata.

   "Mereka yang pernah mencoba untuk menculik aku di Telaga Tung-ting.."

   "Ah, mereka pun terlibat?"

   Hay Hay berseru, teringat ada dua pasang suami isteri iblis yang lihai, juga Min-san Mo-ko dan muridnya, Ji Sun Bi, juga pemuda tampan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu.

   "Kalau begitu, lebih berbahaya lagi. Mereka adalah orang-orang yang amat lihai dan curang! Lalu apakah yang dapat saya lakukan untuk membantu Paduka?"

   "Taihiap amat kami harapkan bantuannya untuk melakukan penyelidikan ke sarang mereka, seperti telah kami minta pula kepada beberapa orang pendekar yang mau membantu kami. Dan untuk semua biayanya, kami siap untuk menyediakan bagi Taihiap. Pendeknya, kami menawarkan kerja sama dengan Taihiap. Bagian kami tentu saja mempersiapkan pasukan untuk melawan pasukan pemberontak, dan bagi para pendekar untuk menghadapi para tokoh sesat itu. Bagaimana pendapatmu, Tang-taihiap?"

   "Taijin, sudah menjadi tugas seorang yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan untuk selalu menghadapi dan menentang kejahatan, melawan yang jahat dan melindungi yang lemah dari penindasan. Oleh karena itu, tanpa diminta sekalipun, saya akan suka pergi menyelidiki mereka itu. Dan saya pun tidak mengharapkan upah. Saya akan mengusahakan sekuat kemampuan saya, Taijin. Sekali lagi terima kasih atas pemberian batu giok oleh Kwan-taijin, dan atas kepercayaan dan penyambutan yang amat terhormat ini. Sekarang saya mohon diri untuk segera memulai dengan tugas saya."

   "Nanti dulu, Tang-taihiap."

   Tiba-tiba Menteri Yang Ting Hoo berkata dan dia mengeluarkan sebuah benda bundar dari perak yang diberi tanda nama dan pangkat dari menteri itu.

   "Ini sebuah Tek-pai dari perak, merupakan tanda kuasa. Kalau engkau berada dalam kesulitan karena tidak dipercaya oleh petugas pemerintah, maka semua pembesar sipil atau militer akan mengenalnya dan engkau akan dianggap sebagai utusan pribadiku yang mempunyai tanda kuasa. Terimalah ini."

   Hay Hay menerima benda itu dan memasukkannya ke dalam saku bajunya.

   "Masih ada satu hal lagi, Taihiap. Di antara beberapa orang gagah yang telah menyanggupi membantu kami, ada satu orang yang keadaannya sungguh masih meragukan sekali. Dia seorang pendekar yang berwatak aneh, Taihiap, dan kami ingin agar engkau lebih dahulu berkenalan dan menyelidikinya. Kalau sampai engkau dapat mengajaknya pergi bersama melakukan penyelidikan ke sarang Lam-hai Giam-lo, sungguh baik sekali karena dia adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, karena dia orang kota Siang-tan ini, agaknya Kwan-tajin akan lebih banyak mengetahui dan dapat memberi penjelasan kepadamu."

   Kwan-taijin tersenyum.

   "Memang apa yang dikatakan Yang-taijin itu benar sekali, Tang-taihiap. Di kota ini tinggal seorang pemuda yang aneh dan menurut berita, dia memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Hanya wataknya amat aneh dan sukar sekali didekati. Bahkan dia tidak mau sama sekali mencampuri urusan pemerintah, ketika diberitahu tentang usaha pemberontakan kaum sesat, dia pun acuh saja. Pernah kami mempergunakan siasat memancing harimau keluar dari sarangnya, membiarkan seorang gadis cantik diganggu orang-orang jahat dan dia memang keluar menolong gadis itu. Agaknya sekarang dia bahkan bersahabat dengan gadis itu, akan tetapi selanjutnya, tetap saja dia acuh dan tidak mempedulikan permintaan yang pernah kami ajukan agar dia membantu kami menghadapi para datuk sesat. Bagaimana kalau engkau berkenalan dengan dia, Taihiap? Siapa tahu, pandanganmu dan perkenalannya denganmu akan mampu mengubah sikapnya itu."

   Hay Hay tertarik sekali.

   "Siapakah dia, Taijin?"

   "Dia sebenarnya keturunan bangsawan tinggi, masih putera pangeran. Kini tinggal menyendiri di istana tua warisan orang tuanya. Namanya Can Sun Hok, mungkin dua tiga tahun lebih tua darimu."

   Jaksa Kwan lalu memberitahu di mana tinggalnya pendekar bernama Can Sun Hok itu.

   Hay Hay lalu berpamit dan dia berjanji akan menghubungi pendekar itu sebelum berangkat dengan penyelidikannya ke Lembah Yang-ce, di mana Lam-hai Giam-lo bersarang dan menghimpun kekuatan untuk memberontak. Yang disinggung dalam percakapan antara Hay Hay dan kedua orang pejabat tinggi itu bukan lain adalah Can Sun Hok, pendekar muda yang pernah kita kenal ketika terjadi keributan di telaga Tung-ting. Dialah pemuda yang suka berperahu seorang diri, memainkan suling dan yang-kim. Kemudian dia bertemu dengan pendekar wanita Ceng Sui Cin dan puterinya, Cia Kui Hong, bahkan kemudian ibu dan anakini bentrok dengan Nenek Wa Wa Lobo yang menjadi pengasuh dan guru Can Sun Hok sampai Nenek Wa Wa Lobo meninggal dunia.

   Dua puluh tahun lebih yang lalu, nama Gui Siang Hwa yang berjuluk Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Harum) amat terkenal di dunia sesat karena ia adalah murid tunggal dari Raja dan Ratu Iblis! Ilmu kepandaiannya amat tinggi dan wataknya juga amat kejam dan jahat walaupun wajahnya cantik jelita dan menarik. Wanita itu adalah seorang ahli silat dan ahli mempergunakan segala macam racun. Akan tetapi wataknya cabul dan sudah banyak sekali pria yang terjatuh ke dalam tangannya, dibunuhnya setelah ia puas mempermainkannya. Di dalam petualangannya itulah, Gui Siang Hwa bertemu dengan Can Koan Ti, seorang pangeran. Can Koan Ti ini putera seorang pangeran istana bernama Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur di Ning-po. Terjadilah hubungan antara pangeran yang kaya raya dan tinggi kedudukannya ini dengan Gui Siang Hwa. Dan terlahirlah Can Sun Hok.

   Akan tetapi wanita seperti Gui Siang Hwa bukankah wanita yang suka terikat menjadi seorang ibu rumah tangga. Ia seorang petualang dan akhirnya ia pun berpisah dari Pangeran Can Koan Ti. Ketika Can Sun Hok masih belum dewasa, ayahnya, Pangeran Can Koan Ti meninggal dunia karena sakit. Ibunya, Siang-tok Sian-li Gui Siang Hwa tidak suka repot-repot mengurus puteranya, bahkan ia pun melanjutkan petualangannya sampai akhirnya ia tewas. dalam pertempuran ketika ia membantu gerakan para pemberontak. Kematian Siang Hwa adalah ketika ia bertanding melawan Ceng Sui Cin, roboh terluka dan tubuhnya hancur oleh pengeroyokan para perajurit. Puteranya, Can Sun Hok, sudah dititipkannya kepada seorang pelayan, yaitu bekas pelayan Raja dan Ratu Iblis, guru-guru Gui Siang Hwa.

   Nenek ini, Wa Wa Lobo, tidak ikut dalam gerakan pemberontakan para majikannya, melainkan pergi menyelamatkan Can Sun Hok yang dirawatnya seperti cucu sendiri dan digemblengnya dengan ilmu-ilmu yang pernah diperolehnya dari Raja dan Ratu Iblis. Nenek Wa wa Lobo ini lihai bukan main, juga ahli dalam hal racun, walaupun kelihaiannya tidak sampai setingkat dengan kelihaian mendiang Gui Siang Hwa yang langsung menjadi murid terkasih Raja dan Ratu Iblis. Dan akhirnya, seperti telah diceritakan di bagian depan, Nenek Wa Wa Lobo ini dapat berhadapan muka dengan Ceng Sui Cin, yang dianggap musuh besar dan pembunuh Gui Siang Hwa. Setelah Wa Wa Lobo tewas karena kalah oleh Ceng Sui Cin kemudian membunuh diri. Can Sun Hok menangisi mayat nenek itu yang dianggapnya sebagai pengganti ayah ibu, nenek dan juga pengasuh dan gurunya.

   Akan tetapi, agaknya darah yang jahat dari Gui Siang Hwa tidak mengalir ke dalam tubuh Can Sun Hok. Dia menjadi dewasa dengan watak yang gagah, walaupun kadang-kadang dia dapat bersikap keras dan dingin. Namun, sikap ini sama sekali bukan mencerminkan watak yang kejam dan jahat. Dia tidak suka mengganggu siapapun juga asalkan dia tidak diganggu. Dia tidak pernah pula memamerkan kepandaiannya, bahkan suka menyembunyikan kenyataan bahwa dia pandai ilmu silat. Karena ketika dilarikan oleh Wa Wa Lobo, nenek itu, membawa pula bekal harta benda yang amat banyak berupa emas permata dari ayahnya, maka kini Can Sun Hok menjadi seorang pemuda yang kaya raya dan tinggal di gedung besar di Siang-tan yang pernah menjadi tempat tinggal ayahnya.

   Setelah nenek Wa Wa Lobo meninggal, dia tinggal sendirian saja di dalam rumah itu, dengan hanya beberapa orang pelayan. Dia lebih suka merantau, membawa suling dan yang-kim, dua alat musik yang amat disukanya. Memang dia berbakat sekali dengan pemainan musik ini. Can Sun Hok kini telah menjadi seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tiga tahun. Sudah tiga tahun nenek Wa Wa Lobo tewas membunuh diri ketika kalah bertanding melawan pendekar wanita Ceng Sui Cin dan selama tiga tahun ini, Can Sun Hok juga memperdalam ilmunya dengan tekun berlatih. Ada dua buah kitab peninggalan Raja dan Ratu Iblis yang disimpan neneknya, dan akhirnya, dengan bantuan seorang kakek ahli sastra kuno, dia pun dapat mengerti arti dari pelajaran itu dan dia berlatih diri dengan tekun.

   Maka, dia pun kini memperoleh kemajuan yang amat pesat. Biarpun dia kaya raya, namun hidupnya sederhana, wajahnya tampan, tubuhnya tegap dan sepasang matanya mencorong, wajahnya cerah akan tetapi ada bayangan dingin dan keras pada mata dan dagunya. Beberapa bulan yang lalu, Jaksa Kwan yang dulu pernah mengenal ayahnya, datang berkunjung. Jaksa ini bukan orang asing bagi can Sun Hok, walaupun dia jarang mengadakan hubungan. Tentu saja kunjungan itu mengejutkan hati Sun Hok, apalagi ketika jaksa jtu dengan terus terang mengharapkan bantuannya untuk ikut bersama para pendekar melakukan penyelidikan tentang gerakan para tokoh sesat yang kabarnya menghimpun tenaga untuk memperkuat diri dan membangun pasukan dengan maksud memberontak terhadap pemerintah.

   "Kami tahu bahwa Can Kongcu (Tuan Muda Can) adalah seorang pemuda gagah perkasa yang berkepandaian tinggi. Oleh karena itu, mengingat bahwa mendiang Ayahmu adalah seorang pangeran, bahkan mendiang Kakekmu pernah menjadi seorang gubernur di Ning-po, maka kami mengharapkan bantuan Kongcu untuk berbakti kepada nusa dan bangsa."

   Mendengar uluran tangan ini, Can Sun Hok mengerutkan alisnya. Selama ini dia tidak pernah mencampuri urusan orang lain, apalagi urusan pemerintah. Tentu saja penduduk Siang-tan, termasuk jaksanya ini, tahu bahwa dia pandai ilmu silat karena sudah sering kali dia menghajar orang-orang jahat yang hendak menjagoi di kota itu dan malang melintang dengan perbuatan mereka yang sewenang-wenang. Bahkan pernah dia seorang diri menghajar kocar-kacir dan membasmi sebuah perkumpulan orang jahat yang dipimpin oleh seorang perampok yang amat lihai. Akan tetapi, dia tidak pernah minta. Diakui sebagai jagoan atau pendekar, bahkan tidak ingin bicara dengan orang lain tentang apa yang telah dilakukannya. Dan kini, karena sudah mendengar akan kepandaiannya itu Jaksa Kwan ini agaknya datang membujuknya untuk membantu pemerintah dalam menghadapi para tokoh sesat yang hendak memberontak!

   "Kwan-taijin."

   Katanya dengan sikap hormat karena dia pun sudah mengenal siapa ini Kwan-taijin, seorang jaksa yang amat adil dan bijaksana, dicinta rakyat jelata karena dia berani menentang para penjahat dan melindungi keamanan rakyat dalam kedudukannya sebagai jaksa.

   "Tidak saya sangkal bahwa saya pernah belajar ilmu silat. Akan tetapi apakah artinya tenaga seorang seperti saya kalau
(Lanjut ke Jilid 33)
Pendekar Mata Keranjang (Seri ke 09 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 33
menghadapi para tokoh sesat yang bersekutu dan bergabung hendak melakukan pemberontakan? Kirim saja pasukan besar di bawah pimpinan panglima yang pandai dan persekutuan itu dapat ditumpas habis."

   Kwan-taijin tersenyum.

   "Apa yang kau ucapkan itu memang tepat, Can Kongcu. Akan tetapi, ketahuilah bahwa pasukan pemerintah hanya dilatih untuk berjuang dalam pertempuran melawan pasukan lain. Kalau sudah terjadi pemberontakan bersenjata, tentu pasukan pemerintah yang akan menanggulanginya. Akan tetapi keadaannya sekarang lain lagi. Para datuk kaum sesat, yang kabarnya dikepalai oleh seorang manusia iblis berjuluk Lam-hai Giam-lo, mengadakan persekutuan, mengumpulkan para datuk persilatan yang sesat untuk membangun kekuatan. Mereka bersarang di Lembah Yang-ce di Pegunungan Yunan. Dan ini berbahaya sekali. Kami tahu bahwa hanya para pendekar saja yang akan mampu menentang orang-orang seperti itu, maka saya sengaja datang mengharapkan bantuan Kongcu."

   Can Sun Hok tersenyum, sebentar saja, senyum sinis.

   "Mungkin para pendekar, akan tetapi saya bukan pendekar,Taijin."

   "Ah, tidak perlu merendahkan diri, Kongcu. Siapa pun di siang-tan ini tahu belaka siapa adanya Kongcu. Kongcu memiliki ilmu silat yang amat lihai, juga sudah terlalu sering mengulurkan tangan membela kebenaran dan menentang para penjahat yang keji dan berbahaya. Sekali ini, terdapat pekerjaan yang lebih penting dan mulia, saya harap Kongcu dapat mempertimbangkan permintaan kami ini, atas nama pemerintah dan atas nama rakyat."

   Jaksa Kwan akhirnya pulang setelah meninggalkan pesan dan permintaannya dan pemuda ini menjawab hendak berpikir-pikir tentang hal itu.

   "Harap Taijin suka bersabar dan memberi waktu kepada saya untuk mengambil keputusan. Percayalah, Taijin, pada dasarnya saya suka sekali membantu karena memang sudah menjadi kewajiban saya untuk menentang kejahatan, akan tetapi saya belum pernah bekerja secara berkelompok, dan bekerja sama dengan para pendekar itu sungguh membuat saya berkecil hati dan malu."

   Jaksa Kwan adalah seorang yang amat cerdik. Beberapa hari kemudian, dia menguji sikap dan watak Can Sun Hok, ingin melihat apakah benar pemuda itu berjiwa pendekar seperti yang diduganya. Didatangkannya seorang gadis cantik manis dari kota raja. Gadis ini sebenarnya adalah seorang dayang keluarga pangeran.

   Karena cantiknya, dia digauli oleh majikannya. Akan tetapi hal ini tidak disetujui isteri pangeran yang merasa cemburu karena gadis itu terlalu cantik sehingga terpaksa gadis itu dijual keluar. Karena kepandaiannya bermain musik, menari dan menyanyi, gadis itu lalu terkenal sebagai seorang gadis penari dan penyanyi yang amat disuka oleh para pembesar. Di dalam pergaulan dan pekerjaan seperti itu, tak dapat dihindarkan lagi bahwa gadis itu kadang-kadang tak dapat menahan diri lagi menjual diri dengan bayaran yang luar biasa tingginya, dari para pembesar yang mata keranjang dan yang uangnya sudah berlebihan. Dengan bantuan para rekannya yang berada di kota raja, Jaksa Kwan dapat menugaskan gadis ini untuk niatnya "memancing keluar harimau dari sarangnya"

   Yaitu menguji sikap dan watak Can Sun Hok sebagai seorang pendekar.

   Demikianlah, beberapa pekan semenjak Jaksa Kwan datang berkunjung, pada suatu senja yang cerah, Sun Hok pergi seorang diri ke tepi Sungai Yang-ce yang sunyi. Dia duduk di atas batu besar di tepi sungai itu, sunyi sepi tempat itu karena jauh dari dusun. Dia membawa sebatang tangkai pancing karena sore itu dia merasa iseng ingin menangkap ikan dengan pancingnya. Pada waktu itu sedang musim ikan lee moncong putih yang banyak terdapat di dalam air di sekitar tempat itu dan daging ikan ini lezat bukan main. Dia duduk memegangi tangkai pancingnya, seperti telah berubah menjadi arca, bersatu dengan batu yang didudukinya dan seluruh perhatiannya berpusat pada tali yang ujungnya dipasangi pancing dan umpannya.

   Tali itu terbawa air dan agak bergoyang-goyang, akan tetapi bukan bergoyang karena disambar ikan. Kalau saatnya tiba, kalau umpannya itu disambar ikan, akan terasa oleh tangannya. Penantian sambaran ikan yang tidak nampak inilah yang mengasyikkan bagi seorang pengail, di situ terdapat suatu kejutan yang menggembirakan, disusul perjuangan untuk berhasil menaikkan ikan yang sudah berani menyambar umpan di pancingnya. Akan tetapi Sun Hok bukanlah seorang ahli pengail ikan yang pandai. Kalau dia ahli tentu bukan di waktu senja itu dia mengail, melainkan malam nanti atau besok pagi-pagi. Pada waktu senja seperti itu, di waktu sinar matahari senja yang merah menimpa permukaan air menyilaukan mata, agaknya ikan-ikan bersembunyi di sarang masing-masing, atau masih merasa malas untuk mencari makan.

   Sudah sejam lebih dia duduk, namun tak seekor pun ikan mencium umpan di pancingnya. Sun Hok menancapkan gagang tangkai pancingnya di atas tanah, lalu dia mencabut suling yang selalu berada di ikat pinggangnya. Sekali ini, dia tidak membawa alat musik yang-kim karena terlalu berabe, apalagi memang kepergiannya adalah untuk mengail ikan. Untuk menghilangkan kekesalan hatinya karena sejak tadi tak pernah berhasil, dia pun kini menempelkan lubang suling pada mulutnya dan tak lama kemudian, terdengarlah bunyi lagu merdu keluar dari sulingnya. Suara yang merdu itu mengalun naik turun, lirih saja karena dia tidak mau mengejutkan ikan-ikan, bahkan seolah-olah hendak mengundang ikan-ikan agar datang dan makan umpan di pancingnya dengan lagu yang ditiup dengan sulingnya.

   "Tolooonggg...!"

   Tiba-tiba dia mendengar jerit seorang wanita. Seketika Sun Hok menghentikan tiupan sulingnya, lalu memandang ke depan.

   Sebuah perahu meluncur lewat di tengah, dan ada seorang wanita muda dipegangi kedua tangannya oleh beberapa orang laki-laki secara kasar. Ada lima orang laki-laki di perahu itu. Tiba-tiba tali pancingnya bergerak. Sun Hok menyambar tangkai pancingnya, menarik dengan kejutan dan seekor ikan lee moncong putih sebesar lengannya tergantung di ujung tali pancingnya! Kalau saja tidak ada perahu di mana dia melihat seorang gadis agaknya ditawan oleh lima orang laki-laki itu, tentu saja Sun Hok akan merasa gembira sekali dengan hasil tangkapannya. Akan tetapi kini ada gangguan dan dia pun melepaskan pancing dan ikan itu menggelepar di atas tanah, kemudian dia berjalan mengikuti arah perahu sambil memperhatikan keadaan perahu itu. Ketika dia melihat sebuah perahu nelayan kecil, ditumpangi seorang nelayan tua, dia cepat memanggilnya.

   "Paman Tua tukang perahu, boleh aku menyewa perahumu sebentar? Akan kuberi engkau uang ini!"

   Katanya sambil mengacungkan. sepotong perak yang beratnya satu tail. Tentu sajanelayan tua itu girang sekali. Uang sekian itu amat besat untuk menyewa perahunya, apalagi hanya sebentar. Dia pun sedang mengail ikan dan sejak tadi pun hasilnya baru beberapa ekor ikan yang kecil saja. Dia cepat meminggirkan perahunya.

   "Ah, kiranya Can Kongcu!"

   Kata tukang perahu girang ketika mengenal pemuda yang kaya raya ini.

   "Baiklah, kalau Kongcu hendak memakai perahu saya, marilah!"

   Sun Hok menyuruh pemilik perahu turun dan dia pun cepat meloncat ke atas perahu kecil itu, dan mendayung perahu dengan amat cepatnya meluncur dan mengejar perahu besar yang ditumpangi lima orang pria itu.

   Perahu itu sudah meluncur agak jauh, akan tetapi masih nampak dan jeritan itu tidak terdengar lagi, agaknya lima orang itu tentu membungkam mulut gadis tadi. Dengan tenaganya yang luar biasa, tidak lumrah orang biasa, Sun Hok mendayung perahunya, yang lebih kecil. Perahu meluncur cepat sekali sehingga tak lama kemudian dia pun sudah berhasil menyusul perahu di depan itu. Kini nampaklah olehnya bahwa gadis itu memang telah diikat kaki tangannya dan diikat saputangan pada mulutnya sehingga tidak mampu berkutik atau berteriak. Sedangkan lima orang itu agaknya sedang bersukaria sambil minum arak. Mereka nampak kaget ketika tiba-tiba ada perahu kecil menempel di perahu mereka dan seorang di antara mereka membentak kepada pemilik perahu kecil yang mereka kira seorang nelayan itu.

   "Heiii! Apa engkau sudah bosan hidup berani menempel perahu kami?"

   Empat orang kawannya juga marah dan mereka berlima menghunus golok dan dengan sikap mengancam mereka hendak menyerang Sun Hok. Akan tetapi, pemuda itu tidak menjadi takut, bahkan sekali tubuhnya bergerak, dia telah meloncat ke atas kepala perahu, bertolak pinggang dan menghardik mereka dengan suara nyaring.

   
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hemm, kalian ini lima orang laki-laki menangkap seorang gadis, ada urusan apakah? Apa kesalahannya dan apa yang hendak kau lakukan dengannya?"

   "Hei, orang muda, jangan mencampuri urusan kami! Kami adalah orang-orang yang diutus oleh Bengcu. Pergilah engkau sebelum kami turun tangan membunuhmu di sini juga!"

   Sun Hok tertarik.

   "Bengcu? Siapakah Bengcu kalian itu?"

   Seorang di antara mereka yang bertubuh gendut membelalakkan matanya dan memaki.

   "Engkau tikus kecil mana mengenal Bengcu kami? Bengcu adalah Lam-hai Giam-lo.."

   "Sudah, hajar saja dia!"

   Teriak seorang temannya dan lima orang itu kini menerjang dengan golok mereka. Melihat gerakan mereka itu, Sun Hok dapat melihat bahwa mereka bukanlah orang sembarangan dan memiliki ilmu golok yang cukup tangguh, maka dia pun cepat mengeluarkan sulingnya. Tubuhnya bergerak cepat sekali, didahului sulingnya dan terdengarlah suara nyaring berkali-kali disusul tamparan tangan kiri atau tendangan yang membuat lima orang itu satu demi satu terjungkal ke dalam air!

   Tanpa banyak cakap lagi, Sun Hok menyambar tubuh gadis itu, dibawanya meloncat ke dalam perahu sewaannya dan ia pun mendayung perahu itu meninggalkan lima orang yang masih gelagapan di air dan mencoba untuk berenang ke perahu mereka kembali. Dengan sebelah tangannya, Sun Hok membikin putus tali yang mengikat kaki dan tangan gadis itu, juga sekali renggut, saputangan yang menutupi mulut dan sebagian muka gadis itu terlepas. Senja masih cukup cerah sehingga dia dapat melihait wajah itu dengan jelas. Dan Sun Hok terpesona. Tak disangkanya bahwa gadis yang ditolongnya dari tangan lima orang penjahat itu ternyata adalah seorang yang luar biasa cantik manisnya! Sepasang mata yang lebar dan jeli itu memandang kepadanya, agak basah air mata, dan gadis itu pun segera berlutut di dalam perahu menghadap Sun Hok.

   "Sungguh saya telah berhutang budi yang teramat besar kepada Kongcu. Kalau tidak ada Kongcu yang menolongku, entah apa yang akan terjadi dengan diriku, tentu lebih hebat daripada kematian. Aku tak mungkin dapat membalas budi kebaikan itu, maka biarlah setiap malam aku akan bersembahyang kepada Thian agar Kongcu diberi berkah selama hidupnya dan biarlah kelak dalam penjelmaan mendatang saya akan menjadi kuda atau anjing peliharaan Kongcu untuk membalas budi ini."

   Ucapan itu dilakukan dengan kata-kata yang merdu dan halus, menggetar bercampur tangis tertahan. Sun Hok mengerutkan alisnya. memandang penuh perhatian, lalu berkata dengan halus.

   "Nona, tidak perlu bicara seperti itu. Yang penting, ceritakan siapa engkau, di mana rumahmu dan bagaimana engkau tadi terjatuh ke dalam tangan lima orang penjahat itu."

   Gadis itu kini menangis dan menutupi muka dengan kedua tangannya, tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Sun Hok merasa iba sekali, akan tetapi dia membiarkan gadis itu menangis. Perahu mereka telah tiba kembali di tempat di mana nelayan tua tadi menunggu.

   "Kita turun di sini, Nona dan nanti kuantar engkau pulang. Perahu ini harus dikembalikan kepada pemiliknya."

   Tukang perahu itu merasa heran melihat penyewa perahunya kembali dengan seorang gadis cantik, akan tetapi dia mengenal Can Sun Hok sebagai seorang pemuda kaya raya yang mendiami istana tua dan yang seringkali mengail di sungai, maka dia pun tidak banyak bertanya melainkan menerima setail perak dengan girang. Dia menghaturkan terima kasih, lalu meluncurlah perahunya meninggalkan sepasang orang muda itu berada di pantai. Sun Hok mengajak gadis itu mengambil pancing dan ikan yang tadi ditangkapnya. Ikan itu sudah mati, akan tetapi masih segar.

   "Aih, engkau mendapatkan ikan lee moncong putih yang besar dan segar Kongcu!"

   Gadis itu berseru dan agaknya sudah lupa akan kesedihannya. Melihat ini, Sun Hok menahan senyumnya. Gadis ini agaknya bukan seorang pemurung dan dia pun ikut bersenang hati.

   "Bagaimana kalau kupanggang ikan ini untukmu, Kongcu? Aku pandai memanggang ikan, akan tetapi sayang, tidak ada garam dan bumbu..."

   "Aku selalu membawanya."

   Kata Sun Hok dan dia pun mengeluarkan bungkusan garam, bawang dan bumbu yang lain.

   "Aih, bagus sekali, Pernahkah engkau makan ikan panggang yang terbungkus tanah liat?"

   Gadis itu bertanya. Sun Hok menggeleng kepalanya dan gadis itu cepat menyingsingkan lengan bajunya sehingga nampak kedua lengannya yang halus dan putih mulus.

   "Kongcu, apakah engkau mempunyai pisau? Aku memerlukannya untuk membersihkan ikan ini, membuang isi perutnya.."

   Sun Hok tersenyum dan menggeleng kepala.

   "Mana kubantu engkau."

   Katanya dan dia pun mengambil ikan itu, dengan sepotong batu kecil yang runcing tajam dia membuka perut ikan itu, lalu menyerahkannya kembali kepada gadis itu.

   Kemudian, dia memasangkan umpan cacing kepada mata kailnya dan duduk lagi memancing, kini penuh perhatian dan harapan untuk menangkap sedikitnya seekor lagi yang agak besar agar cukup untuk mereka berdua. Entah mengapa, tiba-tiba saja bagi Sun Hok dunia ini seperti terjadi suatu perubahan luar biasa, dia merasa gembira dan penuh gairah. Senja yang mulai remang-remang itu nampak indah bukan main, dan tempat yang sunyi itu, di mana hanya ada mereka berdua, kelihatannya sama sekali tidak sepi lagi. Tak lama kemudian, kembali umpannya disambar ikan, Sun Hok menariknya dan sekali ini dia benar-benar bersorak gembira ketika melihat seekor ikan yang lebih besar dari tadi tergantung di ujung pancingnya.

   "Horeee...!"

   Dia berseru gembira dan seperti seorang anak kecil dia membawa tangkai pancing dengan ikan yang masih meronta-ronta itu kepada gadis yang sudah selesai membersihkan ikan pertama tadi. Gadis itu pun kini sama sekali tidak kelihatan murung lagi, ikut pula tertawa dan gembira, sehingga untuk kedua kalinya Sun Hok terpesona. Gadis ini ketika tertawa, nampak deretan gigi seperti mutiara dan di kedua ujung bibirnya nampak lesung pipit yang manis bukan kepalang

   "Wah, malam ini kita akan kekenyangan ikan!"

   Teriak gadis itu. Sun Hok lalu mengambil ikan itu, membuka perutnya dan menyerahkannya kepada Si Gadis yang dengan jari-jari tangan cekatan lalu membersihkan isi perutnya. Sun Hok melihat betapa dengan gerakan tangan seorang ahli, gadis itu menaruhkan bumbu setelah mencuci daging ikan, lalu menutupi ikan itu seluruhnya dengan tanah liat. Belum pernah selamanya dia melihat orang memanggang ikan seperti itu.

   "Kita butuh api unggun!"

   Kata gadis itu dan tanpa diperintah lagi, Sun Hok lalu mencari kayu kering, dan membuat api. Sebentar saja tempat itu menjadi terang dengan api unggun. Dengan dua tangkai kayu yang dipergunakan sebagai sepasang sumpit besar, gadis itu lalu memanggang dua ekor ikan yang kini sudah berada di dalam tanah liat. Mereka duduk menghadapi api unggun, saling berhadapan, terhalang api unggun, akan tetapi bahkan dapat saling pandang karena wajah masing-masing tertimpa sinar api kemerahan.

   Beberapa kali sinar mata mereka bertaut dan selalu Sun Hok yang menundukkan pandang mata lebih dahulu. Biarpun usianya sudah dua puluh tiga, selama ini Sun Hok tidak pernah bergaul dengan wanita. Kesenangannya hanyalah memperdalam ilmu silat, menjelajah ke gunung-gunung dan sungai-sungai, mencari kesibukan dalam kesepian. Semenjak Wa Wa Lobo meninggal dunia, dia seperti kehilangan pegangan dan kadang-kadang terjadi perang di dalam batinnya. Apakah dia harus membalaskan kematian ibu kandungnya, juga kematian Wa Wa Lobo, kepada Ceng Sui Cin? Akan tetapi, kalau dia teringat kepada Ceng Sui Cin, apalagi kepada puterinya, Cia Kui Hong, dia merasa kagum dan bahkan semua petuah yang pernah didengarnya dari Ceng Sui Cin, tak pernah dapat dilupakannya. Menurut ajuran Wa Wa Lobo, sebagai seorang anak berbakti dia harus membalaskan kematian ibunya.

   Akan tetapi, menurut nasihat Ceng Sui Cin, ibu kandungnya pernah melakukan penyelewengan, menjadi tokoh sesat dan memberontak dan bahwa satu-satunya cara baginya untuk berbakti kepada ibunya adalah dengan perbuatan-perbuatan baik untuk menebus semua dosa ibunya yang lalu! Kini, dia bertemu dengan seorang wanita lagi yang secara mendadak telah menyita seluruh perhatiannya, membuat dia terpesona, padahal dia sama sekali tidak mengenal siapa wanita ini dan orang macam apa! Kecantikannya yang khas itukah yang membangkitkan rangsangan dalam hati mudanya? Ataukah sikap gadis itu demikian gembira? Juga, biar nampak masih amat muda, namun demikian pandai membawa diri, dapat menguasai diri, tenang dan yakin akan kemampuan diri sendiri? Tanah liat yang membungkus dua ekor ikan itu sudah mulai kering dan tidak tercium bau gurih seperti kalau Sun Hok memanggang ikan itu tanpa dibungkus tanah liat.

   "Kenapa harus dibungkus tanah liat?"

   Akhirnya Sun Hok bertanya karena sejak tadi, setiap kali beradu pandang, mereka hanya senyum-senyum saja, seolah-olah merasa canggung dan malu untuk bicara, seolah-olah tidak ada apa-apa lagi untuk dibicarakan karena kalau sampai mereka bicara, suasana yang demikian aneh dan menggembirakan itu akan terganggu. Gadis itu memandang dan menyembunyikan senyum, lalu menunduk dan menggunakan sumpit besar itu membalikkan ikan dalam tanah liat itu.

   "Kalau dipanggang begitu saja, ikannya akan bau asap, juga bisa gosong. Akan tetapi kalau dibungkus tanah liat, tidak berbau asap, tidak gosong dan panasnya lebih meresap, bumbunya akan terasa benar dan biarpun dagingnya masih nampak putih kemerahan seperti mentah, namun sesungguhnya sudah lunak dan matang. Memanggang seperti ini merupakan cara memanggang istimewa yang biasanya dihidangkan kepada para bangsawan di istana."

   Sun Hok mengerutkan alisnya. Gadis ini tahu akan kebiasaan memasak di istana bangsawan? Apakah ia seorang puteri? Melihat pakaiannya, walaupun cukup indah, namun tidaklah terlalu mewah. Juga perhiasan di leher, telinga dan lengannya bukan dari emas murni berhiaskan permata mahal, hanya perhiasan sederhana saja. Akan tetapi cara bicaranya demikian halus, seperti seorang terpelajar, dan gerak-geriknya pun lembut, suaranya merdu dan mengerti akan cara memasak hidangan para bangsawan! Makin tertariklah hatinya, seperti menghadapi sebuah rahasia yang harus dipecahkan. Setelah tanah liat itu nampak kemerahan, gadis itu mengetuk-ngetuknya dengan sepasang sumpit ranting dan berkata girang.

   "Sekarang sudah matang, siap untuk dimakan setelah agak dingin."

   Ia pun mengambil dua batang ikan itu dengan sumpitnya, dikeluarkannya dari api unggun yang dibiarkan hidup terus untuk menerangi tempat itu, juga untuk mengusir nyamuk. Malam mulai masuk ldan cuaca mulai menjadi gelap. Dengan gerakan yang lincah dan cekatan, gadis itu memukul-mukulkan batu sehingga tanah liat yang sudah kering itu menjadi pecah dan nampaklah daging ikan yang putih kemerahan karena sisik-sisik ikan itu melekat pada tanah liat. Dan terciumlah bau yang sedap dan membuat Sun Hok tiba-tiba merasa lapar! Dia menggunakan dua batang kayu sebagai sumpit, mengambil daging ikan dan memakannya. Bukan main enaknya! Begitu gurih, sedap dan benar saja, sedikit pun tidak ada bau asap atau gosong!

   "Wah, lezat sekali!"

   Dia memuji dan gadis itu tersenyum girang.

   "Sayang bumbunya kurang lengkap, kalau lengkap lebih enak lagi. Biarlah lain kali kalau ada kesempatan, kalau ada bumbu-bumbu lengkap, akan kubuatkan engkau masakan-masakan yang lebih enak lagi, Kongcu"

   Tiba-tiba ia menghentikan kata-katanya, seperti teringat akan sesuatu, matanya terbelalak dan ia pun berseru.

   "Ah, apa yang kau katakan tadi? Aku telah lupa diri, lupa akan keadaanku dan lupa bahwa baru saja engkau telah menyelamatkan aku, dan... dan aku tidak tahu siapa Kongcu, engkau pun tidak tahu siapa aku.."

   Melihat kegugupan gadis itu, Sun Hok tersenyum. Dia tidak merasa seperti itu. Dia merasa seolah-olah dia telah mengenal gadis ini selama bertahun-tahun, seolah-olah mereka adalah sepasang sahabat yang akrab dan tidak asing.

   "Tenanglah, Nona. Ikan sudah dipanggang matang. Mari kita makan dulu, baru kita bicara tentang hal lain. Belum terlambat, bukan?"

   Melihat sikap pemuda itu, gadis tadi dapat menguasai dirinya kembali. Ia tersenyum, mengangguk dan mulai pula menyumpit daging ikan. Mereka berdua makan tanpa bicara, hanya kadang-kadang saling pandang melalui sinar api unggun yang selalu ditambah kayu bakarnya oleh Sun Hok. Bagi kedua orang itu, belum pernah mereka merasakan suasana yang demikian santai, damai dan juga makan demikian enaknya, walaupun tidak ada nasi dan hanya makan daging ikan saja. Tanpa malu-malu keduanya makan sampai dua ekor ikan itu tinggal tulangnya saja. Barulah Sun Hok mengeluarkan seguci anggur dari dalam buntalannya.

   "Aku... aku tidak suka minum arak, takut mabok...!"

   Kata gadis itu. Sun Hok menggeleng kepalanya.

   "Bukan arak yang keras, Nona, melainkan anggur yang halus dan enak. Engkau takkan mabok biar habis sepuluh cawan sekalipun. Hanya sayang, aku tidak biasa membawa cawan. Maklum biasa aku minum sendirian, cukup meneguk dari guci. Nah, silakan, Nona. Engkau perlu minum setelah makan daging ikan."

   Sun Hok menyerahkan guci anggurnya kepada nona itu sambil membuka sumbatnya. Tercium bau yang harum dan sama sekali tidak keras seperti bau arak. Kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali. Biarpun sinar api unggun itu sudah membuat wajahnya nampak merah, akan tetapi kini menjadi semakin merah dan mudah dilihat oleh Sun Hok. Dengan kedua tangannya nona itu menolak dan berkata,

   "Aih, Kongcu. Bagaimana aku berani? Engkau sendiri belum minum, bagaimana aku berani minum lebih dulu dan mengotori mulut guci?"

   Sun Hok tertawa.

   "Ha-ha, engkau lucu, Nona. Bagaimana mulut guci ini bisa kotor kalau engkau menenggak isinya? Mungkin terbalik, mulut guci inilah yang akan mengotori bibirmu, Nona. Akan tetapi jangan khawatir, guci ini selalu kucuci sampai bersih sebelum diisi anggur. Nah, minumlah, Nona."

   Akan tetapi gadis itu tetap menolak.

   "Tidak Kongcu. Aku tidak berani. Sepantasnya... engkau yang minum lebih dulu, baru... baru aku akan mencobanya."

   "Eh, kenapa begitu?"

   "Pertama, karena engkaulah pemilik guci itu, dan ke dua, karena engkaulah tuan rumahnya, dan ke tiga karena... engkau pria dan aku wanita."

   Sun Hok melebarkan matanya dan tersenyum lagi. Heran, belum pernah dia merasa segembira itu, belum pernah dia sebanyak itu tertawa dan tersenyum dalam waktu demikian singkat!

   "Baiklah, aku akan minum lebih dulu, baru engkau!"

   Dan dia pun meneguk beberapa teguk anggur dari dalam guci. Enak bukan main, lebih enak daripada yang sudah-sudah. Setelah merasa cukup, dia menyerahkan guci itu kepada gadis yang sejak tadi memandangnya penuh kagum. Sekali ini, gadis itu tidak menolak. Dengan hati-hati ditempelkannya bibir guci ke bibirnya yang merah basah itu dan ia pun meneguk anggur dari dalam guci. Apa yang dikhawatlrkan tidak terjadi. Ia tidak tersedak, dan ternyata isi guci itu sama sekali tidak keras. Anggur yang manis, ada asamnya sedikit, sedap dan harum. Enak sekali!

   "Wah, terima kasih, Kongcu. Anggur ini memang enak sekali dan segar!"

   Katanya memuji. Kini mereka duduk berhadapan, terhalang api unggun.

   "Sekarang bagaimana, Nona. Apakah aku harus mengantarmu pulang?"

   "Pulang...?"

   Dan tiba-tiba gadis itu kelihatan gelisah dan ketakutan.

   "Pulang ke mana? Ah, Kongcu, aku... aku tidak mempunyai tempat tinggal lagi.."

   "Ehh?"

   Sun Hok terkejut dan heran.

   "Engkau, seorang gadis seperti engkau ini tidak mempunyai tempat tinggal? Habis bagaimana dengan keluargamu? Orang tuamu atau... suamimu barangkali?"

   Gadis itu menggeleng kepalanya.

   "Aku tidak punya siapa-siapa lagi, aku tidak mempunyai orang tua, aku tidak mempunyai suami atau saudara.."

   "Tapi... tapi bagaimana mungkin itu? Dan engkau tadi tertangkap oleh lima orang jahat. Apakah yang telah terjadi. Nona?"

   Gadis itu menarik napas panjang,

   "Cerita tentang diriku amat panjang, Kongcu. Setelah aku berhutang budi dan nyawa, aku tidak ingin membikin susah Kongcu lebih lanjut lagi. Biarlah aku pergi, Kongcu, membawa nasib diriku yang malang. Dan sekali lagi terima kasih, semoga Thian yang membalas semua budi kebaikan Kongcu kepadaku."

   Gadis itu lalu bangkit dan melangkah hendak pergi meninggalkan Sun Hok. Pemuda itu terkejut dan sekali melompat dia telah menghadang di depan gadis itu.

   "Nona! Kau mengatakan tidak mempunyai tempat tinggal, akan tetapi engkau akan pergi begitu saja? Lalu ke mana engkau hendak pergi?"

   "Ke mana saja. Mungkin masih ada bekas kenalan yang sudi menampung diriku yang tidak berharga ini."

   "Ah, Nona. Bukankah kita sudah berkenalan, bahkan... eh, kita sudah makan bersama seperti sahabat? Kalau begitu, marilah menjadi tamu di rumahku, Nona. Jangan khawatir, aku menjamin bahwa Nona akan aman berada di dalam rumahku."

   "Aku hanya mengganggu dan menyusahkanniu saja, Kongcu."

   "Tidak sama sekali! Marilah, mari, Nona. Aku mengundangmu menjadi tamuku yang terhormat dan di rumah nanti kita bicara."

   Gadis itu hanya dapat mengangguk dan pergilah mereka meninggalkan tepi sungai itu setelah Sun Hok memadamkan api unggun. Untung bahwa langit penuh bintang sehingga perjalanan menuju ke kota Siang-tan itu tidaklah begitu gelap. Sun Hok terpaksa berjalan seenaknya, santai dan tidak mempergunakan ilmu berlari cepat seperti biasanya karena dia harus mengiringi seorang gadis yang lemah lembut. Ketika mereka tiba di istana kuno itu, Si Gadis terbelalak dan menahan langkahnya di depan pintu gerbang.

   "Aih, kiranya engkau seorang bangsawan besar, mendiami sebuah istana, Kongcu! Mana aku.. berani.. Mengganggumu?"

   "Ih, jangan berlebihan, Nona. Aku tinggal seorang diri di sini. Memang istana ini peninggalan mendiang orang tuaku. Aku pun sebatang kara, yatim piatu dan tinggal di sini hanya dengan tiga orang pelayan tua. Mari, masuklah dan jangan khawatir."

   Seorang kakek tukang kebun, seorang kakek dan nenek penjaga rumah dan merangkap tukang masak, menyambut kedatangan kongcu mereka. Biarpun mereka merasa heran melihat majikan mereka pulang bersama seorang gadis muda yang cantik, namun mereka tidak berani bertanya sesuatu. Sun Hok berkata kepada nenek yang menjadi pengurus rumah tangga di rumahnya.

   "Nek, harap antarkan Nona ini ke dalam kamar tamu dan layani ia baik-baik. Kemudian, persiapkan makan malam untuk kami berdua di ruangan makan."

   Kepada gadis itu Sun Hok berkata.

   "Nona, silakan Nona mengikuti nenek ini ke kamar Nona, dan Nona dapat mandi dan beristirahat sebelum kita makan malam."

   Gadis itu berkata.

   "Aku akan membantu Nenek masak."

   Ketika makan malam telah dihidangkan di ruangan makan, Sun Hok melihat gadis itu sama sekali bukan sebagai tamu, melainkan sebagai pelayan karena nona inilah yang membantu nenek masak dan menghidangkan semua masakan di atas meja. Nenek itu pun dengan gembira berkata,

   "Kongcu, Nona inilah yang memasak semuanya. Ia pandai masak! Dan ia yang memaksa diri untuk membantu mempersiapkan makanan ini."

   

Pendekar Sadis Eps 41 Pendekar Sadis Eps 40 Pendekar Sadis Eps 34

Cari Blog Ini