Ceritasilat Novel Online

Pendekar Mata Keranjang 42


Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 42



Memang, dilihat dari pakaian, wajah dan sikapnya, takkan ada seorang pun menyangka bahwa pemuda ini adalah tangan kanan dari pimpinan persekutuan kaum sesat. Dia lebih pantas menjadi seorang tuan muda bangsawan kaya raya dan terpelajar, atau seorang pendekar muda yang halus dan sopan gerak-geriknya. Akan tetapi, di balik kehalusan ini, dari sepasang matanya berkilat sinar yang membayangkan kecerdikannya ketika Ki Liong dari jarak yang cukup aman dan jauh membayangi pemuda dan gadis yang berjalan seenaknya memasuki kota Wei-ning itu. Hay Hay dan Ling Ling sama sekali tidak mengira bahwa mereka sedang dibayangi orang dari jauh, bahkan dari jarak yang lebih jauh lagi, dalam keadaan berpencaran, lebih banyak lagi orang membayangi mereka, yaitu Min-san Mo-ko Ji Sun Bi, dan masih banyak lagi orang-orang lihai yang menjadi kaki tangan persekutuan di Pegunungan Yunan itu.

   Hay Hay mengajak Ling Ling memasuki rumah makan merangkap penginapan Ban Lok di mana dia pernah makan dan masakan restoran itu cukup lezat. Mereka masuk dan ternyata rumah makan itu penuh sekali. Untung masih ada sebuah meja kosong di sudut belakang. Pelayan lalu mempersilakan mereka duduk menghadapi meja kosong itu dan Hay Hay memesan beberapa macam masakan dan nasi putih, juga anggur dan air teh. Ki Liong yang cerdik melihat kesempatan baik sekali. Sekelebatan saja dia pun sudah melihat bahwa restoran itu penuh. Memang ada beberapa buah meja di mana hanya duduk dua atau tiga orang, akan tetapi dengan sengaja, walaupun nampaknya tidak, dia berjalan di antara meja-meja itu sambil matanya mencari-cari tempat kosong. Seorang pelayan menyambutnya dan dengan sikap menyesal pelayan itu berkata,

   "Maaf, Kongcu. Tempatnya penuh, kalau Kongcu suka menanti sebentar di depan."

   Pada saat itu, Ki Liong sudah tiba di dekat meja Hay Hay yang tentu saja melihat dan mendengar ucapan pelayan itu. Seperti tidak disengaja, Ki Liong menoleh dan memandang ke arah meja Hay Hay. Di situ masih terdapat dua buah bangku kosong, karena meja kecil itu biasanya diperuntukkan empat orang, berbeda dengan meja besar yang biasa dipakai delapan sampai sepuluh orang.

   "Ah, perutku sudah lapar sekali. Sejak kemarin siang aku belum makan, dan sekarang tempat sudah penuh!"

   Dia lalu memandang kepada Hay Hay dan Ling Ling, dengan sikap sopan sekali dia lalu melangkah maju dan bersoja sambil membungkuk kepada Hay Hay dan Ling Ling.

   "Harap Ji-wi (Kalian) sudi memaafkan kalau saya mengganggu. Kalau sekiranya Ji-wi tidak keberatan, bolehkah saya menumpang di meja ini untuk makan? Kalau Ji-wi keberatan, tidak mengapalah."

   Melihat pemuda tampan berpakaian rapi yang bersikap demikian ramah dan sopan, tentu saja Hay Hay dan Ling Ling merasa suka dan mereka pun cepat bangkit membalas penghormatan pemuda itu. Ling Ling lalu memandang kepada Hay Hay seolah hendak menyerahkan keputusannya kepada susioknya itu. Hay Hay tersenyum ramah.

   "Ah, kita sama-sama merupakan tamu di restoran ini. Kalau Saudara suka, tentu saja boleh duduk bersama kami di meja ini. Silakan!"

   "Terima kasih, terima kasih. ah, Ji-wi sungguh baik sekali, tepat seperti apa yang saya duga. Eh, Bung, tolong hidangkan nasi putih semangkok dan buatkan dua tiga macam masakan sayuran. Ingat, tidak memakai daging, ya? Saya sedang Ciak-jai (makan sayur, pantang daging). Dan air teh saja."

   Sambungnya kepada pelayan itu yang segera mengangguk dan meninggalkan meja mereka. Mendengar pemuda yang tampan itu tidak makan daging, Hay Hay dan Ling Ling memandang heran. Mereka saling pandang sambil tersenyum. Begitu pandang mata Ki Liong bertemu dengan Ling Ling gadis ini segera menundukkan mukanya dan kedua pipinya menjadi agak kemerahan. Ia menemukan sesuatu pada pandang mata itu, sesuatu yang membuatnya merasa sungkan dan malu. Ia melihat betapa pandang mata pemuda itu tadi dengan lembut menuju ke arah dadanya, dan ada sesuatu pada pandang mata pemuda itu meraba-raba tubuhnya!

   "Ah, agaknya Saudara tidak suka makan barang berjiwa?"

   Hay Hay bertanya, iseng saja karena tidak tahu apa yang harus dikatakan terhadap orang yang menumpang di mejanya itu. Ki Liong tersenyum.

   "Tidak demikian, Saudara yang baik. Biasanya saya makan apa saja, juga daging, akan tetapi hari ini tidak karena hari ini adalah hari dan tanggal kematian Ayahku, sembilan belas tahun yang lalu."

   "Ahh."

   Hay Hay diam-diam merasa kagum sekali. Ayah orang ini sudah sembilan belas tahun meninggal dunia, akan tetapi agaknya setiap tahun masih diperingati oleh pemuda ini sebagai hari berkabung sehingga dia tidak makan barang berjiwa untuk mengenang dan berkabung atas kematian ayahnya. Sungguh seorang pemuda yang berbakti! Dan memang kesan inilah yang dikehendaki oleh Ki Liong ketika dia berbohong dan berpura-pura ciak-jai untuk mengenang kematian ayahnya.

   "Maaf, bukan maksudku untuk mengetahui keadaan hidupmu, Saudara. Akan tetapi hatiku tertarik sekali. Kalau begitu, agaknya engkau masih kecil sekali ketika Ayahmu meninggal dunia."

   Kata Hay Hay. Ki Liong tersenyum dan mengangguk.

   "Tidak apalah, Saudara. Keramahan Ji-wi yang sudah menerimaku duduk di sini membuktikan bahwa Ji-wi berhati baik dan berarti bahwa kita telah saling bersahabat, bukan? Memang saya masih kecil sekali ketika Ayah saya meninggal, saya baru berusia satu tahun. Maaf, setelah Ji-wi begitu baik menerima saya di meja ini, maukah Ji-wi menerima saya sebagai kenalan? Saya bernama Sim Ki Liong, dan bolehkah saya mengenal nama Ji-wi yang terhormat?"

   Inilah kesalahan Ki Liong. Dia memperkenalkan namanya tanpa ragu karena dia merasa yakin bahwa kedua orang muda di depannya itu belum pernah mendengar namanya dan tidak mengenalnya. Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa Hay Hay pernah mendengar nama ini dari Kui Hong! Maka mendengar nama "Ki Liong"

   Diam-diam Hay Hay terkejut walaupun kemudian dia meragu karena Kui Hong memberitahu kepadanya bahwa murid Pendekar Sadis dan isterinya memiliki nama keturunan Ciang, bukan Sim! Apakah kebetulan namanya saja sama, pikirnya.

   "Ah, engkau sungguh baik sekali, Saudara Sim. Ketahuilah bahwa saya Hay Hay, dan ia ini bernama Ling Ling."

   Hay Hay memperkenalkan diri dan gadis itu. Biarpun dengan sikap sopan, Ki Liong tersenyum dan memandang kepada mereka bergantian.

   "Maaf, walaupun nama Ji-wi itu indah sekali, akan tetapi agaknya Saudara lupa menyebutkan nama keluarga Ji-wi yang mulia."

   Karena pemuda itu pun sudah menyebutkan nama keluarganya, nama keluarga yang membuatnya menduga-duga apakah pemuda ini murid Pendekar Sadis yang dimaksudkan Kui Hong atau bukan, terpaksa Hay Hay memperkenalkan pula nama keluarganya.

   "Nama keluarga saya Tang, dan ia ini.. eh, Ling Ling, lupa lagi, siapa nama keluargamu?"

   Hay Hay berpura-pura, bermaksud untuk menyerahkan kepada Ling Ling sendiri hendak mengaku nama keluarganya ataukah tidak karena bagaimanapun juga, nama keluarga Cia sudah terkenal di dunia kang-ouw dan dapat segera menimbulkan dugaan orang bahwa ada hubungan antara gadis ini dengan keluarga Cia di Cin-ling-pai. Ling Ling adalah seorang gadis yang lembut dan jujur, tanpa prasangka, maka biarpun sinar mata pemuda yang baru dikenalnya itu tidak menyamankan hatinya, mendengar pertanyaan Hay Hay ia memandang pemuda itu dengan heran.

   "Susiok, sungguh heran sekali. Apakah Susiok sudah lupa lagi nama keluargaku? Aku she (bernama keluarga) Cia!"

   "Aih, kiranya Ji-wi adalah seorang Susiok dan murid keponakannya? Kalau begitu, Ji-wi adalah dua orang pendekar!"

   Ki Liong berseru. Hay Hay tersenyum.

   "Kami adalah orang-orang biasa, dan maaf, saya tadi lupa nama keluarganya karena biarpun kami masih paman dan keponakan, namun baru pagi tadi kami saling bertemu."

   Hay Hay tertawa, tidak khawatir lagi karena Ling Ling sudah berterus terang.

   "Akan tetapi jangan mengira bahwa kami adalah pendekar!"

   Kemudian disambungnya, seperti sambil lalu saja.

   "Saudara Sim menyangka kami pendekar, apakah Saudara sendiri juga seorang ahli silat yang lihai?"

   Ki Liong tertawa dan nampak wajahnya semakin tampan menarik ketika dia tertawa, dan sepasang matanya yang jernih dan tajam itu menyambar ke arah Ling Ling. Kembali gadis ini merasa betapa sinar mata itu memandang kepadanya tidak sewajarnya, maka ia pun cepat menundukkan pandang matanya.

   "Ha-ha, saya ingin berterus terang saja. Memang pernah saya mempelajari ilmu silat, akan tetapi hanya iseng-iseng saja dan sama sekali tidak dapat dikata bahwa saya lihai."

   Pada saat itu, dua orang pelayan datang membawa pesanan makanan dan minuman mereka. Agaknya karena tiga orang itu duduk semeja, maka pesanan Hay Hay dan Ki Liong dikeluarkan berbareng. Ki Liong menghadapi nasi dan tiga mangkok masakan sayur tanpa daging, sedangkan Hay Hay dan Ling Ling menghadapi nasi dengan lima macam masakan. Hay Hay menawarkan anggurnya, akan tetapi Ki Liong menolak dengan halus.

   "Hari ini, hanya sayur dan air teh saja untuk saya."

   Katanya. Kemudian dia berkata.

   "Sebelum kita mulai makan, saya ingin menghaturkan terima kasih dan hormat saya kepada Ji-wi dengan air teh di poci saya. Harap Ji-wi suka menerimanya!"

   Tanpa memberi kesempatan kepada dua orang itu untuk menjawab. Ki Liong sudah mengambil cawan di depan Hay Hay dan menuangkan poci di tangan kanannya ke dalam cawan yang dipegang di tangan kirinya. Sambil tersenyum Hay Hay memandang, akan tetapi senyumnya segera menghilang ketika dia melihat betapa cawannya yang dipegang oleh tangan kiri Ki Liong sudah penuh akan tetapi teh dari poci itu masih di tuang terus! Kini cawan itu terlalu penuh, akan tetapi air tehnya tidak sampai meluber, seolah-olah tertahan oleh sesuatu dan air teh itu berada lebih tinggi daripada bibir cawan, membulat seperti telur yang bergoyang-goyang!

   "Silakan, Saudara Tang!"

   Kata Ki Liong sambil menyodorkan cawan itu kepada Hay Hay. Hay Hay tersenyum lagi dan kini makin keras dugaannya bahwa pemuda inilah yang dimaksudkan Kui Hong, yaitu murid dari Pendekar Sadis. Pemuda ini telah memperlihatkan kepandaiannya, dan menggunakan sin-kangnya (hawa sakti) untuk menahan air teh di atas cawan itu sehingga tidak sampai meluber dan tumpah. Kalau yang menerimanya tidak memiliki tenaga sin-kang yang cukup kuat, ketika menerima cawan itu, tentu air tehnya yang terlalu penuh melebihi ukuran itu akan tumpah.

   "Saudara Sim, engkau sungguh terlalu sungkan!"

   Katanya sambil menerima cawan yang penuh air teh itu sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.

   "Aih, air tehmu masih panas!"

   Katanya tersenyum dan ketika Ki Liong memandang, dia kagum. Bukan saja air teh itu tidak meluber dan tumpah, bahkan kini air teh itu mengepulkan uap karena panas! Padahal, biarpun air teh itu masih hangat, ketika dia tuangkan ke dalam cawan. tidak mengeluarkan uap panas! Tahulah dia bahwa benar seperti laporan Ji Sun Bi dan Min-san Mo-ko, pemuda ini benar-benar lihai sekali, dan dia harus berhati-hati menghadapinya. Dia tersenyum kagum melihat Hay Hay minum air teh dalam cawan itu sampai habis.

   "Sekarang harap Nona sudi menerima penghormatan saya dengan secawan air teh!"

   Kata Ki Liong sambil menuangkan poci air teh itu ke dalam cawan yang diambilnya dari depan gadis itu. Seperti tadi, juga sekali ini dia menyodorkan cawan yang terisi air teh terlalu penuh.

   "Terima kasih!"

   Kata Ling Ling dan dengan sikap tenang ia pun menerima cawan itu sambil mengerahkan tenaganya. Dan ternyata air teh itu sama sekali tidak meluber atau tumpah, bahkan ketika gadis itu mengangkat cawannya dan menuangkan isinya ke mulut, air teh itu tidak dapat turun atau tumpah, tetap melekat pada cawan seolah-olah sudah berubah membeku dan melekat pada cawannya!"

   "Aih, air tehmu membeku dan biarlah dikembalikan ke poci agar mencair lebih dulu!"

   Kata Ling Ling dan dengan tenang ia membuka tutup poci air teh Ki Liong dan menuangkan isi cawannya ke dalam poci. Demikianlah, sambil mendemonstrasikan kepandaiannya, gadis itu menolak pemberian air teh oleh pemuda itu secara halus! Melihat ini Ki Liong yang cerdik lalu bangkit berdiri dan bersoja dengan hormat.

   "Aih, sungguh saya bermata akan tetapi seperti buta, tidak melihat bahwa saya berhadapan dengan dua orang yang memiliki kesaktian!"

   Pemuda ini bicara dengan lirih sehingga tidak terdengar oleh para tamu lainnya.

   "Saudara Sim, kiranya bukan tempat yang tepat bagi kita untuk bersungkan-sungkan!"

   Kata Hay Hay. Ki Liong mengangguk.

   "Saudara. Tang benar, mari kita makan hidangan kita dan nanti saja kita bicara di tempat yang lebih layak."

   Mereka bertiga lalu mulai makan minum dan tidak banyak cakap lagi. Diam-diam Hay Hay merasa hampir yakin bahwa tentu inilah pemuda murid Pendekar Sadis itu dan dia menduga-duga apa hubunganya pemuda ini dengan gerakan para tokoh sesat. Dan apa pula maksud pemuda ini menghubungi dia dan Ling Ling, karena dia tidak percaya bahwa pertemuan ini hanya kebetulan saja.

   Lebih tepat kalau semua ini telah direncanakan orang! Akan tetapi apa maksudnya? Bagaimanapun juga, dia harus bersikap hati-hati karena maklum bahwa pemuda ini bukanlah orang sembarangan. Bukan hanya ilmu silatnya yang tinggi, namun mungkin sekali juga amat cerdik dan sikapnya ini merupakan satu di antara siasat yang cerdik. Dia tidak perlu mengisaratkan Ling Ling untuk berhati-hati, karena penolakan suguhan air teh tadi saja sudah menunjukkan bahwa Ling Ling sudah bersikap hati-hati sekali dan tidak mau minum air teh yang disuguhkan berarti bahwa gadis itu tidak begitu percaya kepada pemuda itu. Tiga orang pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa ada sepasang mata dengan diam-diam mengamati mereka dari sudut lain ruangan rumah makan itu. Sepasang mata ini milik seorang laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun,

   Seorang laki-laki yang gagah perkasa, dengan tubuh yang sedang namun padat dan tegak, nampak kuat. Pakaiannya sederhana namun rapi dan wajahnya memiliki wibawa. Wajah itu gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara baik-baik, wajahnya berkulit segar kemerahan, sepasang matanya bersinar tajam dan lincah membayangkan kecerdikan dan keberanian. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum penuh kejantanan dan daya pikat. Dagunya persegi menambah kegagahannya. Sejak tadi, diam-diam pria ini mengamati tiga orang muda itu dan ketika Ki Liong menawarkan minuman dari poci, matanya yang tajam itu mengeluarkan sinar dan mulutnya yang dibayangi senyum itu bergerak memperlebar senyumnya, bahkan dia mengangguk-angguk seorang diri sambil minum araknya. Hay Hay, Ling Ling, dan Ki Liong sudah selesai makan.

   "Saya mempunyai urusan penting untuk dibicarakan dengan Ji-wi, akan tetapi tentu saja tidak di tempat ini. Maukah Ji-wi menemui saya di luar pintu gerbang kota sebelah barat? Atau sekarang juga ikut dengan saya ke sana agar kita lebih leluasa bicara?"

   "Kalau memang ada keperluan penting, baiklah Saudara Sim, kami akan menemuimu di sana. Berangkatlah dulu, kami masih ada urusan lain dan sebentar lagi kami menyusul."

   Kata Hay Hay sebelum Ling Ling yang sudah mengerutkan alisnya itu sempat menolak.

   "Terima kasih, Saudara Tang dan Nona Cia."

   Kata Ki Liong dan cepat-cepat dia meninggalkan mereka, agaknya khawatir kalau-kalau Hay Hay menarik kembali kesanggupannya. Setelah Ki Liong pergi, Ling Ling yang berjalan keluar setelah Hay Hay membayar harga makanan mereka, segera menegur Hay Hay.

   "Susiok, mengapa kita harus melayani orang itu? Kita baru saja berkenalan dengan dia, kita tidak tahu dia itu orang macam apa. Terus terang saja, ada sesuatu pada pandang matanya yang membuat aku merasa curiga dan tidak suka."

   "Justeru itulah, Ling Ling. Aku pun curiga melihat bahwa dia seorang yang berilmu tinggi. Kalau dugaanku benar, kalau dia itu merupakan seorang di antara tokoh sesat yang mengadakan gerakan, kebetulan sekali! Ketika makan tadi, aku telah mendapatkan sesuatu siasat yang baik sekali."

   Hilang penasaran yang tadi membayang di wajah gadis itu mendengar ucapan ini.

   "Bagaimana siasat itu, Susiok?"

   "Agaknya dia ingin menghubungi kita dan kalau benar dia tokoh pergerakan, agaknya dia hendak membujuk kita untuk bersekutu. Nah, kesempatan ini akan kupergunakan sebaiknya. Aku akan pura-puta setuju sehingga dengan demikian aku akan dapat memasuki sarang mereka dengan mudah. Kalau aku diterima sebagai kawan, tentu aku akan dapat dengan mudah menyelidiki keadaan mereka dari dalam."

   Gadis itu membelalakkan matanya, memandang penuh kekhawatiran. Melihat mata itu terbelalak indah, seperti bintang kembar bercahaya, Hay Hay kagum.

   "Ah, matamu indah sekali, Ling Ling!"

   Katanya. Ling Ling mengerutkan alisnya dan kedua pipinya berubah merah, akan tetapi ia tidak marah, bahkan tersenyum malu.

   "Ihh, Susiok. Orang bicara dengan serius, ditanggapi dengan sendau-gurau!"

   "Aku tidak bergurau, Ling Ling. Memang matamu tadi nampak indah bukan main. Jangan engkau khawatir, kalau aku dapat melakukan penyelidikan dari dalam berarti tugasku akan lebih berhasil."

   "Tapi... tapi... masuk ke dalam sarang mereka? Sungguh berbahaya sekali, Susiok!"

   "Aku dapat membela diri, Ling Ling. Akan tetapi engkau tidak perlu ikut masuk ke sarang mereka. Engkau menyelidiki dari luar saja. Coba engkau mengadakan kontak dengan para pendekar yang aku yakin banyak terdapat di sekitar daerah ini."

   "Tapi... tapi, bagaimana kita akan dapat saling bertemu lagi, Susiok? Kalau engkau hendak masuk ke sarang mereka, biar aku ikut. Aku pun tidak takut!"

   "Ah, jangan, Ling Ling. Biar aku saja. Begini sajalah, dalam waktu tiga hari, aku pasti akan mencarimu di tepi telaga itu. Tempat itu menjadi tempat pertemuan kita... ssttt"

   Hay Hay memberi isarat dan menghentikan kata-katanya ketika seorang laki-laki lewat di dekat mereka. Laki-laki setengah tua yang ganteng dan gagah, yang tadi memperhatikan mereka di dalam rumah makan. Akan tetapi orang itu lewat begitu saja, menunduk dan sama sekali tidak melirik ke arah mereka sehingga baik Hay Hay maupun Ling Ling sama sekali tidak menaruh curiga karena didepan restoran itu memang merupakan jalan raya di mana terdapat lalu lintas yang cukup ramai.

   "Nah, kiranya cukup pesanku, Ling Ling. Pula, semua itu hanya kalau benar dugaanku bahwa dia mempunyai hubungan dengan persekutuan itu. Kalau tidak, tentu saja akan lain lagi jadinya. Kita lihat saja nanti. Hayo, kita menuju ke pintu gerbang sebelah barat."

   Dua orang muda itu lalu berangkat, tidak tahu betapa sepasang mata yang tajam mengikuti mereka. Laki-laki setengah tua tadi tersenyum dan mengelus jenggotnya, dan dari jauh dia membayangi, menuju ke pintu gerbang sebelah barat. Hay Hay dan Ling Ling berjalan menuju ke pintu gerbang sebelah barat, berjalan seenaknya. Tiba-tiba Hay Hay menyentuh tangan Ling Ling dan berbisik sampai menoleh,

   "Ling Ling, jangan menengok dan berjalan biasa saja. Di belakang kita terdapat tujuh orang yang mencurigakan, agaknya mereka membayangi kita."

   Ling Ling mengangguk dan jantungnya berdebar. Sebagai seorang gadis yang baru saja meninggalkan tempat tinggal orang tuanya dan merantau, memang sudah beberapa kali ia menghadapi gangguan dan dapat mengatasinya.

   Akan tetapi baru sekarang ia menyadari bahwa ia berada di daerah yang berbahaya, di mana terdapat banyak orang pandai yang belum dikenalnya dan tidak diketahuinya apakah mereka itu kawan ataukah lawan. Keadaan pemuda bernama Sim Ki Liong itu saja sudah menimbulkan banyak kecurigaan dan rahasia, dan sekarang sebelum rahasia itu terpecahkan, muncul lagi tujuh orang membayangi mereka! Ia ingin sekali melihat siapakah mereka, orang-orang macam apa, akan tetapi ia tidak boleh menengok ke belakang. Tiba-tiba saputangan yang tadi dipegang oleh tangan kiri gadis itu terlepas dan ia pun dengan gerakan seperti tanpa disengaja membungkuk dan berjongkok mengambil saputangannya. Kesempatan ini dipergunakannya untuk melirik ke belakang dan sekejap saja cukuplah baginya.

   Enam orang yang berpakaian ringkas dipimpin oleh seorang yang berpakaian tosu (Pendeta To!). Hay Hay tersenyum geli. Tentu saja dia tahu mengapa saputangan Ling Ling terjatuh. Cerdik juga gadis ini, pikirnya. Memang amat tidak enak kalau mengerti bahwa dirinya dibayangi orang akan tetapi tidak boleh melihat siapa orang itu. Tadi pun dia tidak sengaja menoleh dan melihat mereka. Ketika mereka keluar dari pintu gerbang, dari tempat itu sudah kelihatan seorang pemuda berdiri di tempat agak jauh, tempat yang sunyi karena keluar dari pintu gerbang barat itu, yang nampak hanya hutan-hutan pegunungan.Hanya sedikit orang yang lewat, dan kalaupun ada, mereka itu adalah orang-orang suku bangsa Hui dan Miao. Dua suku bangsa ini mudah saja dikenalnya dari pakaian mereka.

   Orang suku bangsa Hui, pikirnya, selalu memakai sorban putih yang dibelit-belitkan di kepala. Mereka adalah orang-orang beragama Islam. Orang-orang suku bangsa Hui ini terkenal sebagai peternak-peternak, terutama kambing, pejagal dan juga pandai masak sehingga banyak di antara mereka membuka rumah makan di kota-kota. Orang-orang Hui sesungguhnya adalah orang-orang Han juga, perbedaannya antara mereka adalah bahwa orang Hui beragama Islam sedangkan orang Han memiliki banyak macam agama, terutama sekali mereka adalah penganut Agama Buddha, Tao, dan Khong-hucu, walaupun ada pula orang Han dalam jumlah kecil yang menjadi pengikut Agama Islam atau Kristen. Adapun suku bangsa Miao sudah dikenal dari pakaian mereka yang serba hitam, orang-orangnya pendiam dan kasar.

   Wanitanya mengenakan anting-anting yang khas, seperti gelang yang besar sehingga daun telinga mereka tertarik ke bawah dan memanjang. Suku bangsa Miao yang terdesak oleh orang-orang Han itu kini banyak hidup di pegunungan bagian selatan, bercocok tanam dan juga berternak, dan mereka pun terkenal sebagai pemburu yang pandai. Dengan langkah seenaknya tanpa tergesa-gesa, Hay Hay dan Ling Ling berjalan terus keluar dari pintu gerbang menuju ke arah pemuda yang telah berdiri menanti mereka itu. Diam-diam Hay Hay mengerling ke arah belakang sambil menengok ke kanan seolah-olah bicara dengan Ling Ling dan dia melihat betapa tujuh orang itu telah tiba di pintu gerbang pula, kemudian mereka menyelinap ke kiri dan lenyap di dalam hutan kecil. Ki Liong menyambut mereka dengan senyum ramah.

   "Terima kasih, ternyata Ji-wi memenuhi janji dengan cepatnya. Marilah, Ji-wi. Kita memasuki hutan ini agar tidak terganggu percakapan kita, karena di jalan ini ada saja orang lewat."

   Tanpa menanti jawaban, Ki Liong melangkah memasuki hutan, diikuti oleh Hay Hay dan Ling Ling yang masih mengerutkan alisnya karena bagaimanapun juga, gadis ini sama sekali tidak percaya akan kebaikan iktikad pemuda kenalan baru itu. Akhirnya Ki Liong berhenti di bawah sebatang pohon besar. Tempat itu memang enak untuk bercakap-cakap. Tempatnya teduh, terlindung dari terik matahari siang, dan di atas tanah terhampar permadani hijau dari rumput tebal yang segar. Akar-akar pohon yang menonjol keluar dari permukaan tanah menjadi bangku-bangku yang enak diduduki. Mereka bertiga duduk di atas akar pohon, saling berhadapan.

   "Maafkan kalau saya bersikap seperti ini, karena Ji-wi jluga maklum bahwa untuk dapat membicarakan urusan penting, kita harus mencari tempat yang sunyi agar tidak terdengar orang lain."

   "Saudara Sim, kami sudah datang memenuhi undanganmu. Nah, katakanlah apa yang ingin kaubicarakan dengan kami?"

   Kata Hay Hay sambil memandang tajam penuh selidik ke arah wajah yang tampan dan penuh senyum manis dan kelembutan itu. Sim Ki Liong memandang Hay Hay dan Ling Ling, dan nampak dia agak gelisah, nampaknya sukar baginya untuk menyatakan kehendak hatinya. Kemudian, dia pun berkata dengan suara yang lembut,

   "Begitu bertemu dengan Ji-wi, hati saya sudah amat tertarik. Apalagi setelah mendapat keyakinan bahwa Ji-wi memiliki ilmu kepandaian tinggi, saya merasa kagum bukan main. Maka timbullah rasa sayang dan alangkah penasaran rasa hati ini melihat Ji-wi tetap menjadi orang biasa saja, padahal, orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian seperti Ji-wi ini sepatutnya menduduki pangkat yang tinggi dan kemuliaan."

   "Kami tidak mengerti apa maksudmu, Saudara Sim."

   Kata Hay Hay, berpura-pura karena hatinya berdebar tegang melihat betapa tepatnya apa yang diduganya semula.

   "Maksudku, Ji-wi pantas sekali untuk menjabat pangkat tinggi di kerajaan, sesuai dengan kepandaian Ji-wi."

   Hay Hay dan Ling Ling saling pandang, kemudian Hay Hay tertawa.

   "Ha-ha, harap engkau tidak main-main, Saudara Sim! Orang seperti kami ini, mana mungkin menjabat pangkat tinggi?"

   "Kenapa tidak mungkin? Memang, pemerintah sekarang hanya memilih orang-orang yang menjadi antek mereka! Kedudukan tinggi diberikan kepada orang-orang yang tidak becus dan jahat! Karena itu, saya mengajak Ji-wi untuk bekerja sama dengan kami yang sedang mempersiapkan perjuangan"

   Tiba-tiba Sim Ki Liong berhenti bicara dan menoleh ke kiri. Hay Hay dan Ling Ling juga sudah mendengar suara jejak kaki dari arah kiri. Dan tiba-tiba saja, dengan berloncatan, muncullah tujuh orang laki-laki setengah tua, dipimpin oleh seorang di antara mereka, yaitu seorang tosu yang berjubah kuning dan memegang sebatang tongkat setinggi tubuhnya. Tosu ini berusia lima puluh tahun lebih, wajahnya angker dan berwibawa, sedangkan enam orang lainnya adalah orang-orang berusia antara empat puluh tahun dan di punggung mereka terdapat sebatang pedang bersarung. Sikap mereka juga keren dan berwibawa. Tiba -tiba tosu itu menudingkan tongkat panjangnya ke arah Hay Hay sambil membentak.

   "Ang-hong-cu! Menyerahlah engkau sebelum pinto terpaksa mempergunakan kekerasan!"

   Hay Hay terkejut mendengar seruan itu. Juga Sim Ki Liong memandang dengan heran dan jelas nampak betapa dia terkejut dan kini memandang kepada Hay Hay dengan mata penuh selidik.

   Tak disangkanya bahwa pemuda lihai ini ternyata adalah Ang-hong-cu! Tentu saja dia sudah mendengar nama Ang-hong-cu ini, nama seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga, pemerkosa wanita) yang amat tersohor, akan tetapi yang belum pernah diketahui bagaimana wajahnya itu! Gerak-gerik jai-hwa-cat itu penuh rahasia sehingga kabarnya banyak pendekar yang gagal ketika berusaha menangkapnya. Kabarnya lihai seperti setan dan kiranya pemuda ini orangnya! Juga Ling Ling memandang kepada Hay Hay dengan alis berkerut. Susioknya ini Ang-hong-cu? Ia pun sudah mendengar berita tentang penjahat perherkosa wanita yang amat keji itu, akan tetapi sungguh sukar dapat dipercaya bahwa susioknya ini orangnya! Hay Hay sendiri bersikap tenang.

   "Totiang, harap totiang jangan sembarangan saja menuduh orang. Siapakah Totiang dan apa sebabnya Totiang begitu datang lalu menyebut aku Ang-hong-cu dan minta agar aku menyerah? Apa artinya semua ini?"

   "Hemm, engkau masih mencoba untuk berpura-pura alim? Ang-hong-cu, ketahuilah bahwa pinto adalah Tiong Gi Cinjin, wakil Ketua Bu-tong-pai dan mereka adalah Bu-tong Liok-eng, murid-murid keponakan pinto. Nah, setelah kami memperkenalkan diri, tidaklah sepatutnya kalau engkau segera berlutut menyerahkan diri, Ang-hong-cu?"

   Tosu itu berkata lagi, agaknya ingin menyelesaikan urusan itu dengan jalan damai.

   "Kami akan menghadapkan engkau kepada ketua kami agar beliau dapat mengambil keputusan mengenai hukuman atas dosamu terhadap Bu-tong-pai."

   Hay Hay teringat akan pengalamannya kurang lebih setahun yang lalu. Pernah dia diserang oleh tiga orang pendekar Bu-tong-pai. Mereka menuduhnya sebagai Ang-hong-cu dan tanpa memberi kesempatan baginya untuk membantahnya, mereka telah menyerangnya kalang kabut sehingga terpaksa dia mempergunakan ilmu sihirnya untuk menghilangkan dari penglihatan mereka. Kini tahulah dia bahwa wakil ketua Bu-tong-pai ini keluar sendiri untuk menangkapnya. Wah, gawatlah keadaannya kalau begitu. Akan tetapi karena dia masih tetap penasaran, dia pun segera bertanya.

   "Maaf, Totiang. Sesungguhnya, aku tidak pernah merasa melakukan kesalahan terhadap Bu-tong-pai. Kenapa sekarang Totiang, sebagai wakil ketua, dan enam orang saudara ini ingin menangkapku? Jelaskan dulu apa kesalahanku!"

   Sepasang mata pendeta itu mencorong penuh kemarahan. Sikap yang tidak bertanggung jawab dianggapnya sikap seorang pengecut yang membuat dia marah sekali.

   "Ang-hong-cu, lupakah engkau akan peristiwa kurang lebih setahun yang lalu ketika engkau diserang oleh tiga orang murid pinto?"

   Menjemukan, pikir Hay Hay. Dia bukan Ang-hong-cu (Si Tawon Merah), dan julukan Ang-hong cu ini selalu membuat dadanya terasa panas dan kepalanya pening karena itu adalah julukan dari seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat besar yang bukan lain adalah. ayah kandungnya! Dia sudah dapat menduga apa yang telan terjadi antara penjahat itu dengan Bu-tong-pai, akan tetapi dia ingin jelas dan yakin.

   "Aku tidak lupa, Totiang, akan tetapi sampai sekarang pun aku masih bingung dan tidak mengerti mengapa tiga orang murid Bu-tong-pai itu menyerangku mati-matian."

   Tiong Gi Cinjin menoleh kepada enam orang tokoh Bu-tong-pai yang sejak tadi memandang dan mendengarkan saja, dia lalu menyuruh seorang di antara mereka untuk memberi penjelasan. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi kurus dan berkumis tipis, melangkah maju menghadapi Hay Hay.

   "Orang muda, kami bukanlah orang-orang yang suka menuduh membabi-buta saja tanpa bukti. Sepak terjang Ang-hong-cu sudah lama kami kenal, dan pada suatu hari, seorang Sumoi kami menjadi korban! Sebelum tewas, Sumoi telah mengaku bahwa ia menjadi korban Ang-hong-cu. Tentu saja hal ini merupakan penghinaan bagi kami dan kami menyebar murid-murid untuk mencari sampai dapat penjahat yang telah merusak nama dan kehormatan kami. Kurang lebih setahun yang lalu, tiga orang Sute kami telah berhasil menemukanmu dan menyerangmu. Engkaulah jai-hwa-cat Ang-hong-cu jahanam itu!"

   "Hemm, apa buktinya?"

   Hay Hay membantah.

   "Buktinya? Tiga orang Sute kami melihat betapa engkau memegang sebuah tanda perhiasan berbentuk tawon merah, persis seperti yang diterima oleh Sumoi kami! Engkaulah Ang-hong-cu, dan harap engkau cukup jantan untuk mempertanggung-jawabkan perbuatanmu!"

   "Tapi... tapi... aku bukan Ang-hong-cu."

   Bantah Hay Hay.

   "Dan perhiasan tawon merah yang ada padamu itu?"

   Bentak Tiong Gi Cinjin penasaran.

   "Aku... aku hanya kebetulan menemukan benda itu"

   
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Hay Hay agak gagap karena tentu saja dia tidak mau mengaku dari mana dia memperoleh perhiasan itu dan mengaku bahwa Ang-hong-cu adalah ayah kandungnya!

   "Susiok, benarkah engkau bukan Ang-hong-cu?"

   Tiba-tiba Ling Ling yang sejak tadi memandang dan mendengarkan dengan alis berkerut dan wajah agak pucat, kini tiba-tiba bertanya. Mendengar ini, Hay Hay memandang gadis itu dan menggelengkan kepalanya.

   "Bukan, Ling Ling, percayalah!"

   Kini Ling Ling menghadapi Tiong Gi Cinjin dan berkata.

   "Totiang, rasanya ada kekeliruan dalam hal ini. Kalau tidak salah, nama Ang-hong-cu sudah tersohor sejak belasan tahun! Bagaimana mungkin Susiokku ini yang menjadi Ang-hong-cu, padahal usia Susiok ini baru dua puluh lebih?"

   Tujuh orang Bu-tong-pai ini saling pandang, akan tetapi Tiong Gi Cinjin segera berkata,

   "Kalau dia ini bukan Ang-hong-cu, tentulah keturunannya atau muridnya! Ang-hong-cu tidak pernah memperlihatkan mukanya, hanya meninggalkan perhiasan tawon merah. Dan pemuda ini memiliki perhiasan itu, dan sikapnya jelas menunjukkan bahwa dialah Ang-hong-cu. Gerak-geriknya sudah lama dibayangi oleh para murid Bu-tong-pai dan dia seorang pemuda mata keranjang yang suka menggoda wanita!"

   "Ahh..!"

   Ling Ling melangkah mundur dan memandang kepada Hay Hay dengan sinar mata penuh keraguan.

   "Ling Ling! Engkau... tidak percaya padaku?"

   "Aku.. aku tidak tahu."

   Gadis itu menjawab dan melangkah mundur lagi sampai lima langkah.

   "Sudahlah, orang muda. Menyerahlah saja dan nanti di depan ketua kami, boleh engkau membela diri sesukamu!"

   Kata Tiong Gi Cinjin sambil melangkah maju.

   "Tidak, Totiang, aku tidak mau menyerah karena aku tidak merasa bersalah terhadap Bu-tong-pai!"

   Kata Hay Hay yang menjadi tidak sabar lagi, terutama sekali melihat betapa Ling Ling agaknya juga mulai bercuriga kepadanya, mengira bahwa dia benar-benar Ang-hong-cu!

   "Kalau begitu, terpaksa pinto menggunakan kekerasan!"

   Kata tosu itu dan enam orang murid keponakannya juga sudah mencabut pedang dari punggung masing-masing. Cara mereka mencabut pedang saja sudah menunjukkan bahwa mereka telah menguasai Ilmu Pedang Bu-tong-kiam-sut yang terkenal indah dan ampuh. Tiba-tiba Sim Ki Liong tertawa dan dia pun melangkah maju.

   "Nanti dulu, Totiang. Saudara ini adalah tamuku, dan akulah yang mengajak mereka berdua datang ke tempat ini. Oleh karena itu, kalau Totiang dan para murid Bu-tong-pai hendak menyerang Saudara Tang ini, berarti menyerang tamuku. Sebagai seorang tuan rumah, tentu saja saya tidak dapat membiarkan tamu saya diganggu!"

   Tiong Gi Cinjin memandang wajah Ki Liong dengan alis berkerut. Dia bertindak atas nama Bu-tong-pai dan dia tidak mau kalau sampai perkumpulannya terlibat dalam permusuhan dengan golongan lain.

   "Orang muda, siapakah engkau? Di antara kita tidak ada persoalan sesuatu, karena itu, harap engkau orang muda jangan mencampuri urusan kami dengan Ang-hong-cu."

   "Namaku Sim Ki Liong, Totiang. Dan memang benar di antara kita tidak pernah terjadi bentrokan atau ada persoalan, akan tetapi kalau hari ini pihak Bu-tong-pai hendak mengganggu tamu-tamuku dan tidak dapat kuminta agar tidak melanjutkan kehendaknya itu, berarti bahwa Bu-tong-pai sengaja hendak mencari gara-gara dan urusan dengan aku."

   Jawaban ini tenang akan tetapi juga mengandung peringatan dan ancaman.

   "Orang she Sim!"

   Bentak seorang di antara Bu-tong Liok-eng (Enam Pendekar Bu-tong-pai) yang kurus tadi.

   "Ini adalah hutan raya, tempat umum. Bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa Ahg-hong-cu ini tamumu? Kalau engkau hendak melindunginya, berarti bahwa engkau pun bukan manusia baik-baik! Yang melindungi penjahat, berarti dia penjahat pula! Susiok harap jangan melayani bocah ini dan biarlah kami yang akan menghabiskannya!"

   Berkata demikian, Si Kurus ini lalu memberi isarat kepada lima orang temannya dan mereka berenam sudah mengepung Ki Liong dengan pedang di tangan! Akan tetapi, Ki Liong hanya tersenyum dan berdiri tenang.

   "Sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin bermusuhan, akan tetapi kalau kalian orang-orang Bu-tong-pai mengganggu tamuku dan aku, apa boleh buat, jangan dikira aku takut terhadap kalian!"

   Tangan kanannya bergerak dan nampak sinar berkelebat. Tahu-tahu di tangan kanannya sudah terdapat sebatang pedang putih karena pedang itu terbuat dari perak! Melihat ini, jantung Hay Hay berdebar tegang. Kini dia sudah yakin benar. Sim Ki Liong ini sama dengan Ciang Ki Liong yang pernah didengarnya dari Kui Hong, yaitu murid Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah, murid murtad yang minggat meninggalkan pulau itu tanpa pamit sambil membawa pusaka-pusaka pulau itu,

   Termasuk sebatang pedang yang dia masih ingat ketika Kui Hong bercerita, yaitu pedang yang namanya Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak). Melihat pemuda itu mengeluarkan sebatang pedang, enam orang pengepungnya segera menerjang dari berbagai penjuru. Nampak sinar perak menyilaukan mata dan disusul suara nyaring berdencingan ketika Ki Liong memutar pedangnya menangkis dan enam orang itu berloncatan ke belakang dengan kaget. Pertemuan ntara pedang itu telah membuat mereka terkejut karena tangan mereka tergetar hebat, tanda bahwa orang muda itu sungguh lihai! Mereka pun mengepung dengan hati-hati dan maklum bahwa mereka tidak boleh mengadu senjata secara langsung dengan lawan itu. Sementara itu, Tiong Gi Cinjin sudah melintangkan tongkatnya dan membentak kepada Hay Hay,

   "Orang muda, engkau tidak mau menyerah dan memaksakan perkelahian. Baiklah, keluarkan senjatamu dan lawanlah tongkat pinto!"

   Hay Hay yang memperhatikan gerakan pedang perak di tangan Ki Liong, kini tersenyum dan menggeleng kepala kepada tosu itu.

   "Totiang, aku tidak pernah mempersiapkan senjata untuk berkelahi. Kalau Totiang masih penasaran dan hendak memaksaku untuk menyerah, dan hendak menyerang dengan tongkat itu, silakan!"

   Ucapan dan sikap tenang Hay Hay itu dianggap suatu tantangan oleh Tiong Gi Cinjin dan mukanya menjadi merah. Dia seorang wakil Ketua Bu-tong-pai, kini menghadapi seorang pemuda dengan tongkatnya yang terkenal di tangan, dan pemuda itu sama sekali tidak mau melawannya dengan senjata, melainkan dengan tangan kosong saja! Maka dia pun cepat menancapkan tongkatnya ke atas tanah sambil mengerahkan tenaganya.

   "Cappp!"

   Tongkat panjang itu masuk ke dalam tanah sampai sepertiganya, dan dia pun menghadapi Hay Hay dengan tangan kosong!

   "Ang-hong-cu, engkau selain jahat juga sombong sekali! Nah, pinto juga bertangan kosong. Bersiaplah untuk menerima serangan."

   "Haiiiitt!"

   Tosu itu sudah menerjang setelah mengeluarkan teriakan itu dan Hay Hay cepat mengelak dari sambaran tangan kakek itu.

   Dia merasa betapa ada angin Pukulan yang amat kuat dan diam-diam dia pun maklum bahwa sekali ini dia menghadapi seorang lawan yang amat tangguh. Dia tidak mau mempergunakan ilmu sihir. Tentu para murid Bu-tong-pai yang pernah dipermainkannya dengan ilmu sihir itu telah melapor, dan kalau kakek ini berani datang melawannya, tentulah kakek ini sudah yakin bahwa dia akan mampu menghadapi kekuatan sihir, kalau pemuda lawannya itu mempergunakannya. Bagaimanapun juga, Hay Hay maklum bahwa para tokoh Bu-tong-pai ini hanya salah sangka. Mereka datang untuk membalas atas kematian murid wanita Bu-tong-pai yang menjadi korban Ang-hong-cu dan karena mereka mengira bahwa dialah Ang-hong-cu, dengan bukti perhiasan tawon merah yang dimilikinya, maka kini mereka rnati-matian berusaha menangkapnya.

   Jadi, dalam hal ini orang-orang Bu-tong-pai tidak melakukan kejahatan terhadap dirinya dan kalau diipikir secara mendalam, yang bersalah adalah Ang-hong-cu, sedangkan dia adalah putera kandung Ang-hong-cu! karena ini maka dia pun selalu mengalah dan biarpun tosu itu menyerang secara bertubi, dengan dahsyat sekali, namun Hay Hay selalu mengelak dan menangkis tanpa pernah membalas. Dia hanya mengandalkan kelincahan gerakannya untuk menghindarkan diri dari terjangan tosu yang lihai itu. Betapapun juga, karena tosu yang menjadi wakil perkumpulan Bu-tong-pai itu memang memiliki tingkat kepandaian yang sudah tinggi, Hay Hay kelihatan sibuk sekali dan terdesak. Keadaan Sim Ki Liong masih lebih baik daripada Hay Hay yang terdesak terus. Pemuda yang memegang Gin-hwa-kiam itu mengerahkan kepandaiannya dan tidak mengalah seperti yang dilakukan Hay Hay.

   Pedangnya membentuk gulungan sinar putih yang menyilaukan dan yang dahsyat sekali sehingga enam orang pengeroyoknya bahkan kewalahan untuk menjaga diri dari sinar pedang yang menyambar-nyambar itu. Kalau mereka itu bukan murid-murid utama dari Bu-tong-pai, tentu sejak tadi mereka sudah roboh terluka. Bu-tong-pai memang terkenal dengan ilmu pedangnya sehingga enam orang itu dapat memainkan pedang mereka dengan gaya yang bagus dan walaupun menghadapi Ki Liong mereka kalah tingkat, namun permainan pedang mereka dapat dipusatkan untuk pertahanan yang amat ketat. Selagi ramai-ramainya dua pihak itu berkelahi di tempat sunyi itu, tiba-tiba muncul seorang laki-laki setegah tua yang menggiring puluhan ekor kambing. Dia seorang suku bangsa Hui, mengenakan sorban putih di kepalanya, dan tangannya memegang sebatang tongkat, penggembala. Entah bagaimana,

   Agaknya kambing-kambing yang jumlahnya mendekati seratus ekor itu, berlari-lari kacau menuju ke tempat perkelahian, dan penggembala setengah tua itu mengejar di belakang sambil memaki-maki dalam bahasa Hui, mengayun-ayun tongkatnya, sehingga kambing-kambing itu menjadi semakin ketakutan. Karena berada dalam keadaan panik, gerombolan binatang itu lari kacau-balau menyerbu tempat perkelahian sehingga mereka yang berkelahi menjadi kacau pula. Melihat ada segerombolan kambing menyerbu, orang-orang Bu-tong-pai menjadi marah dan para pengeroyok Ki Liong menggunakan kaki mereka menendangi beberapa ekor kambing yang terlempar dan terbanting. Makin riuh suara kambing-kambing itu mengembik dan suasana menjadi semakin kacau. Penggembala itu menjadi marah. Dengan mata melotot dia lalu menghampiri orang-orang Bu-tong-pai itu dan memaki-maki.

   "Kalian orang-orang kurang ajar, kenapa menendangi kambing-kambingku?"

   Sambil memaki-maki dalam bahasa Hui,

   Penggembala itu kini mengobat-abitkan tongkat gembalanya, mengamuk dan menyerang enam orang Bu-tong-pai itu dan kalang-kabut! Orang-orang Bu-tong-pai itu bukanlah orang-orang kejam. Tentu saja mereka tidak ingin memusuhi seorang penggembala bangsa Hui, maka melihat kemarahan penggembala itu yang menyerang mereka dengan tongkat panjang, mereka itu hanya menangkis dengan pedang mereka. Terdengar bunyi nyaring enam kali dan enam orang Bu-tong-pai itu terkejut bukan main. Tongkat Si Penggembala itu bergerak cepat dan secara bertubi-tubi dapat menyambar ke arah mereka walaupun sudah di tangkis, dan bukan i tu saja, juga mereka berenam merasa betapa tangan mereka tergetar hebat, tanda bahwa tongkat itu digerakkan dengan tenaga yang dahsyat!

   Dan kakek penggembala berusia sekitar lima puluh tahun itu masih terus menyerang kalang-kabut, nampaknya dengan gerakan kacau, namun ternyata ujung tongkatnya menyambar-nyambar dengan tepat ke arah enam orangBu-tong-pai. Mereka segera berloncatan mundur. Kakek bangsa Hui itu kini memutar tongkatnya dan menyerang dengan hantaman ke arah kepala Tiong Gi Cinjin yang masih bertanding dengan serunya, atau lebih tepat, mendesak hebat kepada Hay Hay! Dan wakil Ketua Bu-tong-pai ini pun terkejut karena tongkat itu menyambar dengan amat kuatnya, didahului oleh angin Pukulan yang ganas! Tiong Gi Cinjin cepat mengelak dan menggerakkan lengannya menangkis sambil mengerahkan tenaga, dengan maksud mematahkan tongkat penggembala itu.

   "Dukk!"

   Tongkat itu tidak patah, bahkan Tiong Gi Cinjin dapat merasakan melalui tangannya yang tergetar betapa kuatnya tenaga yang terkandung dalam tongkat itu! Maklumlah dia bahwa penggembala Hui ini pun seorang yang memiliki kepandaian tinggi! Padahal, tadi pun dia sudah merasa bingung melihat kenyataan betapa pemuda yang disangkanya Ang-hong-cu itu sama sekali tidak pemah membalas serangannya dan hanya mempertahankan diri, namun sebegitu jauh dia belum juga dapat merobohkannya! Bahkan satu kali pun belum ada serangannya yang mengenai sasaran! Juga dia melihat betapa enam orang anak buahnya sama sekali tidak mampu menandingi kehebatan pemuda yang menggunakan sebatang pedang yang sinarnya seperti perak itu.

   "Hayo, siapa yang berani mengganggu kambingku, akan kupukul dengan tongkat ini!"

   Penggembala Hui itu berteriak-teriak sambil mengobat-abitkan tongkatnya yang panjang. Tiong Gi Cinjin segera berkata sambil mencabut tongkatnya sendiri, suaranya lembut,

   "Sobat, tidak ada yang mengganggu kambingmu. Karena kambing-kambingmu memasuki tempat perkelahian ini, maka ada yang kena tendangan. Hitung saja berapa yang tewas dan kami akan menggantinya."

   Penggembala itu menghitung kambingnya, akan tetapi tidak ada yang tewas karena para murid Bu-tong-pai tadi pun menendang kambing yang hanya untuk mengusir mereka saja, tanpa niat membunuh. Setelah melihat betapa kambingnya masih utuh, penggembala itu bersungut-sungut dan meneriaki kambing-kambing yang agak menjauh, tanpa mempedulikan lagi mereka yang kini menghentikan perkelahian.

   "Ang-hong-cu, biarlah sekali ini pinto melepaskanmu, akan tetapi lain kali pinto akan mencarimu dengan kekuatan yang lebih besar. Bagaimanapun juga, engkau harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu terhadap murid wanita kami!"

   Setelah berkata demikian, Tiong Gi Cinjin memberi isarat kepada anak buahnya untuk pergi dari tempat itu. Penggembala itu dengan sikap acuh, juga menggiring pergi kambing-kambingnya, teriakan-teriakannya terdengar sampai jauh dan bahkan ketika dia dan kambing-kambingnya sudah tidak nampak, masih terdengar teriakannya. Diam-diam Hay Hay merasa heran. Dia tahu bahwa penggembala, kambing bangsa Hui tadi bukan orang sembarangan sehingga tosu Bu-tong-pai dan anak buahnya mundur begitu penggembala itu datang mengacau dengan karnbing-kambingnya. Sim Ki Liong juga merasa heran dan kagum. Timbul suatu niat di dalam hatinya untuk. membujuk orang Hui itu agar suka bekerja sama dengan persekutuan di mana dia menjadi pembantu pimpinan.

   "Saudara Tang Hay, nanti dulu, aku ingin mengejar dan bicara dengan penggembala Hui itu!"

   Setelah berkata demikian, Ki Liong meloncat dan berlari cepat mengejar ke arah menghilahgnya Si Penggembala bersama kambing-kambingnya. Kini Hay Hay berdiri memandang kepada Ling Ling yang sejak tadi berdiri mematung. Gadis ini terlalu bingung untuk mencampuri perkelahian tadi. Mendengar tuduhan tosu Bu-tong-pai dan para muridnya tadi bahwa Hay Hay adalah Ang-hong-cu, hatinya menjadi bimbang sekali.

   Ia merasa tertarik kepada Hay Hay yang dianggap susioknya itu, bahkan gadis ini mulai merasa yakin bahwa hatinya bukan hanya tertarik, melainkan ada perasaan cinta terhadap pemuda itu. Akan tetapi, kini wakil Ketua Bu-tong-pai menuduh pemuda itu sebagai Ang-hong-cu, penjahat pemerkosa wanita yang terkenal kejam dan amat jahat! Dan dia merasa ragu-ragu. Hay Hay adalah seorang pemuda yang amat pandai merayu wanita, memuji-muji dan mudah menundukkan hati wanita, jadi tuduhan itu pun bukan tidak masuk akal. Apalagi para tokoh Bu-tong-pai ter:kenal sebagai perdekar-pendekar gagah, pasti tidak menuduh sembarangan saja, dan bukankah ada buktinya, yaitu Hay Hay mempunyai sebuah benda perhiasan tawon merah yang menjadi tanda khas dari penjahat Ang-hong-cu?

   "Ling Ling, jangan engkau memandang padaku seperti itu!"

   Hay Hay berkata.

   "Percayalah, aku bukanlah Ang-hong-cu, penjahat itu!"

   Ling Ling menggeleng kepala, matanya masih terbelalak dan mukanya agak pucat.

   "Aku... tidak tahu... aku tidak... tahu..."

   Katanya ragu dan bingung, kemudian ia membalikkan tubuhnya.

   "Lebih baik aku pergi saja."

   "Ling Ling, ingat akan pesanku. Tiga hari kemudian aku akan mencarimu di tepi telaga...!"

   Hay Hay mengingatkan gadis itu. Dia sudah mengambil keputusan untuk melakukan siasat mendekati Ki Liong dan pura-pura mau bekerja sama agar dia dapat langsung masuk ke dalam sarang persekutuan itu.

   Dengan demikian, akan mudah baginya untuk melakukan penyelidikan, mengetahui siapa saja anggauta pimpinan persekutuan itu. Tidak perlu terlalu lama, tiga hari pun cukuplah dan dia akan melarikan diri keluar dan menemui Ling Ling. Dia harus meyakinkan hati gadis itu bahwa dia bukan Ang-hong-cu, sungguhpun dia belum tahu bagaimana dia akan dapat meyakinkannya tanpa membuka rahasianya bahwa Ang-hong-cu adalah ayah kandungnya. Ling Ling tidak menjawab, melainkan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Tempat yang tadinya menjadi medan perkelahian itu kini menjadi sunyi, Hay Hay lalu duduk, menanti kembalinya Ki Liong. Tak lama kemudian, pemuda itu pun datang berlari cepat, dan begitu tiba di situ Ki Liong memandang ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya karena dia tidak melihat Ling Ling disitu.

   "Eh, di mana Nona Cia..?"

   Tanyanya. Hay Hay menarik napas panjang. Dia tidak perlu berpura-pura karena dia tidak perlu membohong pula.

   "Ia telah pergi, marah karena menduga bahwa aku adalah Ang-hong-cu, tentu ia merasa malu mempunyai seorang Susiok yang menjadi jai-hwa-cat tersohor itu."

   Ki Liong tersenyum.

   "Saudara Tang, apakah engkau bukan Ang-hong-cu? Tokoh-tokoh Bu-tong-pai itu kelihatan begitu yakin.

   "

   "Hemm, Saudara Sim Ki Liong, seperti yang dikatakan oleh Ling Ling tadi, Ang-hong-cu terkenal sebagai seorang jai-hwa-cat sejak puluhan tahun yang lalu. Bagaimana mungkin aku yang baru berusia dua puluh satu tahun dituduh sebagai Ang-hong cu yang tentu usianya Sudah jauh lebih tua?"

   Lalu, dengan muka menunjukkan penasaran dan kemarahan, Hay Hay bertanya.

   "Saudara Sim, apakah engkau juga ikut-ikut menuduh aku Ang-hog-cu?"

   Sim Ki Liong tertawa.

   "Sama sekali tidak, Saudara Tang. Dan andai kata betul sekalipun, aku tidak akan mencampuri urusan pribadimu. Memang para pendekar itu kadang-kadang terlalu memandang rendah orang lain seolah-olah diri mereka saja yang baik, bersih dan gagah. Engkau pun telah mereka musuhi dan mereka tuduh semena-mena. Nah, mereka sama sekali tidak menghargaimu. Akan tetapi aku, maksud kami, akan dapat menghargaimu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan kalau engkau suka bergabung dengan kami, membantu perjuangan kami sehingga berhasil, kelak engkau pun akan menjadi seorang berpangkat tinggi dan manusia-manusia macam mereka itu tidak akan berani lagi memandang rendah dan meremehkanmu, apalagi menghina seperti yang mereka lakukan tadi."

   "Hemm, engkau tadi pun bicara tentang perjuangan. Apa yang sebenarnya Kau maksudkan?"

   Hay (Lanjut ke Jilid 40)
Pendekar Mata Keranjang (Seri ke 09 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 40
Hay memancing.

   "Kami sedang menghimpun kekuatan dalam suatu persekutuan, memperjuangkan nasib kita dari tekanan pemerintah yang lalim. Kaisar dan para menteri sekarang ini kurang bijaksana, banyak pembesar melakukan korup, banyak terjadi kelaliman, oleh karena itu kami berusaha untuk melakukan suatu perjuangan "

   "Maksudmu pemberontakan terhadap pemerintah?"

   Ki Liong tersenyum.

   "Bagi kami, bukan pemberontakan melainkan perjuangan, Saudara Tang! Memberontak terhadap kelaliman adalah suatu perjuangan yang mulia. Karena itu, marilah engkau bergabung dengan kami agar kepandaianmu tidak akan sia-sia."

   Hay Hay pura-pura mengerutkan alisnya dan berpikir. Akan tetapi, aku tidak tahu siapa pemimpin kalian, dan orang macam apa dia, dan siapa pula yang menjadi anggauta pimpinan.

   "Jangan khawatir, Saudara Tang, Pemimpin kami adalah seorang yang berilmu tinggi sekali. Bengcu kami adalah, seorang yang bijaksana dan aku sendiri diangkat menjadi pembantu utamanya. Banyak orang kang-ouw yang sudah menggabungkan diri dan jangan engkau heran kalau di antara mereka terdapat tokoh-tokoh dari golongan hitam. Dalam suatu perjuangan, urusan pribadi ditinggalkan, dan kami menghimpun tenaga dari manapun juga asal dapat membantu gerakan kami. Marilah engkau kuperkenalkan dengan Bengcu dan para anggauta pimpinan."

   "Di mana pusat persekutuan kalian itu?

   "Di Pegunungan Yunan. Marilah engkau ikut bersamaku, Saudara Tang. Hanya sayang bahwa Nona Cia tidak dapat ikut ke sana."

   "la sedang marah tak perlu dihubungi lagi, dan baiklah, aku akan ikut denganmu, Saudara Sim. Akan tetapi, bagaimana dengan penggembala Hui tadi? Siapakah dia dan sudahkah engkau tadi bertemu dengan dia, Saudara Sim?"

   "Wah, orang itu memang aneh dan mencurigakan, juga agaknya dia lihai sekali. Tadi, melihat kelihainnya, aku ingin menghubunginya dan melakukan pengejaran. Akan tetapi ketika aku tiba di luar hutan ini, yang kutemulkan hanyalah segerombolan kambing yang digembala oleh seorang anak kecil suku bangsa Hui. Kutanya dia tentang laki-laki setengah tua tadi dia hanya bilang bahwa laki-laki itu meminjam kambing-kambingnya itu dan baru saja dikembalikan. Anak itu diberi beberapa potong uang perak dan dia tidak mengenal siapa adanya laki-laki itu yang telah pergi dengan cepat setelah mengembalikan kambing-kambingnya dan memberinya beberapa potong uang perak.

   "Aneh sekali."

   Kata Hay Hay, heran.

   "Memang aneh. Jelas bahwa laki-laki itu sengaja menyamar sebagai penggembala untuk membubarkan perkelahian, atau kalau tidak keliru dugaanku, dia sengaja hendak membantu kami menghadapi orang-orang Bu-tong-pai. Akan tetapi sudahlah, dia sudah pergi. Mari engkau ikut bersamaku menemui Bengcu kami, Saudara Tang."

   Hay Hay mengangguk-angguk dan mengikuti pemuda tampan itu meninggalkan tempat itu, menuju ke barat. Diam-diam dia masih membayangkan keanehan laki-laki penggembala bangsa Hui itu.

   Siapakah dia dan apa maksudnya dengan berpura-pura menggembala kambing dan menyerbu ke tempat perkelahian? Melihat betapa penggembala palsu itu tadi membuat gentar orang-orang Bu-tong-pai, membuktikanl bahwa orang itu memang lihai sekali, padahal baru melakukan penyerangan beberapa kali saja dengan tongkat gembalanya! Akan tetapi karena dia pun menduga bahwa di tempat itu banyak berkeliaran orang pandai, Hay Hay menduga bahwa tentu laki-laki setengah tua tadi seorang di antara para pendekar yang menurut Menteri Yang Ting Hoo, banyak berdatangan ke tempat itu untuk melakukan penyelidikan terhadap persekutuan orang sesat yang dipimpin oleh Lam-Hai Giam-lo itu. Dan kini dia dibawa Sim Ki Liong menghadap Lam-hai Giam-lo!

   "Hay-ko. Engkau ini.? Pek Eng berseru dengan gembira sekali ketika ia mengenal Hay Hay. Pemuda itu masuk bersama Ki Liong untuk menghadap Lam hai Giam-lo dan karena para pengawal mengatakan bahwa bengcu sedang berlatih silat dengan murid atau puteri angkatnya di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat), maka Ki Liong yang memiliki kebebasan di tempat itu sebagai pembantu utama dan terpercaya dari bengcu, langsung saja mengajak Hay Hay untuk memasuki ruangan itu. Begitu mereka masuk, Hay Hay melihat dan mengenal seorang gadis yang sedang berlatih silat dan jantungnya berdebar penuh ketegangan. Gadis itu bukan lain adalah Pek Eng! Keraguannya lenyap seketika setelah gadis itu menoleh dan matanya terbelalak, lalu memanggilnya dengan gembira.

   

Asmara Berdarah Eps 12 Asmara Berdarah Eps 21 Harta Karun Jenghis Khan Eps 3

Cari Blog Ini