Suling Naga 34
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 34
Agaknya saling menceritakan bahwa mereka berdua menjadi bingung dan tidak tahu jalan mana yang akan dapat membawa mereka ke rumah kecil mungil yang tadi nampak dari kaki gunung. Tiba-tiba mereka terkejut dan membalikkan tubuh. Tiga orang wanita pelayan itu, masing-masing menyeret tubuh seorang lawan yang sudah mati, muncul dari balik pohon dan berada di depan mereka! Tentu saja dua orang laki-laki itu menjadi terkejut setengah mati melihat betapa tiga orang kawan mereka tahu-tahu telah menjadi mayat diseret oleh tiga orang wanita cantik itu. Agaknya merekapun tahu bahwa mereka berada dalam keadaan berbahaya sekali. Tiga orang kawan mereka sudah tewas oleh tiga orang wanita ini, dan tentu mereka seperti menyerahkan nyawa saja kalau melawan. Tanpa dikomando lagi, dua orang itu membalikkan tubuh melarikan diri turun gunung.
"Hik-hik!"
Hong Li mendengar suara subonya terkekeh.
"Mereka kira akan dapat lolos begitu saja? Bodoh!"
Hong Li memandang kepada dua orang itu yang melarikan diri cerai berai karena lorong itu sempit dan banyak sekali cabang-cabangnya. Ia yang sudah mempelajari rahasia lorong itu segera tahu bahwa mereka berdua mngambil jalan yang keliru! Mereka bukan menuju turun gunung, melainkan akan terputar-putar saja melalui tempat-tempat yang amat berbahaya. Tentu mereka berdua itu akhirnya akan terperangkap di tempat berbahaya, tak mungkin lolos seperti kata-kata subonya tadi, pikirnya. Dugaannya memang tepat karena tak lama kemudian terdengar seorang di antara mereka mengeluarkan teriakan mengerikan, walaupun hanya terdengar lapat-lapat dari tempat Hong Li berdiri itu. Ia cepat memandang dan Hong Li mengerutkan alis, jantungnya berdebar tegang penuh kengerian.
Kiranya seorang di antara dua laki-laki yang melarikan diri tadi, kini salah langkah menginjak padang rumput dan segera tubuhnya tersedot karena di bawah rumput yang hijau subur dan indah itu terdapat lumpur yang dapat menyedot mahluk yang bergerak, dan yang terjatuh ke tempat itu. Dan walaupun dari tempat ia menonton tidak nampak, Hong Li tahu bahwa tentu nampak di permukaan padang rumput itu ekor-ekor ular yang seperti belut, yang tentu kini sudah mengeroyok orang yang terjatuh ke situ. Teriakan-teriakan itu masih susul-menyusul, kemudian sunyi dan padang rumput itu sudah nampak hijau dan indah kembali. Orang itu sudah tenggelam dan kalau digali, agaknya hanya akan ditemukan tulang rangkanya saja! Hong Li bergidik. Ia sudah melihat kedahsyatan tempat itu ketika ia mempelajari tempat itu dan rahasianya,
Diberi petunjuk oleh tiga orang pelayan, dan Ang Nio melempar seekor kelenci ke tempat itu. Ia melihat betapa kelenci itu yang bergerak mencoba untuk lari, disedot semakin dalam dan iapun melihat pula ekor-ekor ular tersembul ketika mereka memperebutkan kelenci yang disedot ke bawah dan lenyap! Kini Hong Li yang wajahnya menjadi agak pucat karena merasa ngeri, mengikuti larinya orang ke dua dengan pandang matanya. Jantungnya berdebar penuh ketegangan. Ia merasa kasihan kepada orang itu dan diam diam ia mengharapkan agar orang terakhir itu akan berhasil menyelamatkan diri turun gunung. Kalau saja saat itu ia berada di bawah dan dekat dengan orang itu, tentu, tanpa ragu-ragu lagi ia akan meneriakkan petunjuk agar orang itu dapat menemukan jalan yang benar dan dapat meninggalkan tempat itu dengan selamat.
Dengan jantung berdebar penuh kekhawatiran dan ketegangan, Hong Li memandang ke arah orang terakhir yang tersaruk-saruk mencari jalan keluar itu. Terdengar pula suara gurunya menahan ketawa. Mau tak mau Hong Li merasa tak senang dan melirik. Dilihatnya betapa wajah cantik gurunya itu tampak berseri, matanya penuh kegembiraan mengikuti gerakan orang terakhir itu dan tiba-tiba Hong Li merasa ngeri. Sikap gurunya ini tiada bedanya sikap seekor kucing yang menanti dan melihat seekor tikus yang sudah tersudut! Iapun kembali menujukan pandang matanya ke bawah. Orang yang berlari-larian itu kini tubuhnya sudah penuh keringat karena beberapa kali dia menghapus keringat dari muka dan lehernya, memandang ke kanan kiri mencari jalan keluar, lalu lari lagi setelah memilih satu di antara lorong yang bercabang-cabang itu.
"Jangan ke sana....!"
Tiba-tiba Hong Li berseru, akan tetapi seruannya tentu saja tidak terdengar orang itu. Dan orang itupun sudah sampai di tempat yang amat berbahaya itu. Tak lama kemudian, orang itu sudah mengeluarkan suara jeritan menyayat hati dan tubuhnya sudah tenggelam sampai ke pinggang di pasir maut! Pasir maut itu adalah sebuah kolam pasir, akan tetapi pasir itu dapat berputar dan menyedot seperti lumpur tadi. Pasirnya licin dan mudah bergerak, sedangkan kolam itu dalam sekali. Sedikit saja orang yang terjatuh ke situ bergerak, maka tubuhnya akan tenggelam semakin dalam! Hong Li merayap turun melalui tihang-tihang yang menyangga menara itu, tihang-tihang bambu yang besar.
"Hong Li, hendak ke mana engkau?"
Gurunya menegur heran.
"Subo, aku harus menolong orang itu!"
Kata Hong Li dan ia merasa heran bahwa gurunya diam saja, tidak menghalangi dan juga tidak menegurnya lagi. Ia terus merayap turun dan setelah tiba setengah lebih tinggi menara itu, iapun berani meloncat turun, kemudian ia lari menuju ke tempat orang itu tenggelam di pasir maut.
"Diam, jangan bergerak sedikitpun!"
Hong Li berseru setelah tiba di tepi kolam.
"Aku akan menolongmu, jangan bergerak sedikitpun. Makin engkau bergerak, tubuhmu akan semakin tenggelam!"
Laki-laki itu berusia empat puluh tahun lebih. Setelah dekat, kini Hong Li melihat betapa wajah itu kasar dan buruk, sepasang matanya liar akan tetapi pada saat itu, dia berada dalam keadaan putus asa dan ketakutan. Melihat munculnya seorang gadis cilik yang usianya baru belasan tahun di tepi kolam dan mendengar bahwa gadis itu akan menolongnya, laki-laki itu memandang dengan penuh harapan.
"Tolonglah aku.... ah, selamatkanlah aku...."
Suaranya lirih dan gemetar penuh rasa takut. Ngeri dia membayangkan kematian di depan matanya, kematian yang mengerikan. Ketika tadi dia menginjak pasir, kakinya terjeblos sebatas lutut. Dia berusaha untuk mengangkat kakinya, akan tetapi semakin dia berusaha, semakin dalam tubuhnya tenggelam sampai kini dia tenggelam sebatas dada, hanya kedua lengannya saja yang mampu bergerak. Begitu mendengar peringatan Hong Li, diapun tidak berani bergerak dan benar saja. Setelah dia tidak bergerak sama sekali, tubuhnya berhenti tenggelam semakin dalam. Akan tetapi, napasnya sesak dan tubuhnya dari dada ke bawah yang tertanam di pasir itu terasa panas bukan main.
"Tenanglah dan jangan bergerak,"
Kata pula Hong Li. Ia lalu melepaskan ikat pinggangnya yang panjang, hanya meninggalkan sedikit saja secukupnya untuk mengikat celananya dan mempergunakan ikat pinggang itu untuk menyelamatkan orang itu. Ujung ikat pinggang itu diganduli sebuah batu dan dilemparnya ke arah orang yang tenggelam.
"Tangkap ujung ikat pinggang ini dan jangan bergerak, biar aku yang akan menarikmu keluar! Ingat, jangan bergerak agar tubuhmu tidak tenggelam semakin dalam!"
Orang itu menangkap ujung ikat pinggang, akan tetapi karena dia terlalu bergairah untuk segera dapat keluar, dia menarik ikat pinggang itu dan tubuhnya bergerak maka tubuh itu segera tersedot semakin dalam sampai ke leher!
"Tolol, jangan bergerak kataku!"
Hong Li membentak marah dan mulailah ia mengerahkan tenaga-nya untuk menarik orang itu keluar dari pasir.
Laki-laki itu kini sudah terlampau takut sehingga tidak berani berkutik, bahkan bersuarapun dia tidak berani lagi. Pasir sudah sampai ke dagunya dan turun beberapa sentimeter lagi, tentu mulut dan hidungnya tertutup dan berarti kematian baginya. Akan tetapi diam-diam hatinya girang dan juga kagum bukan main melihat betapa anak perempuan yang baru belasan tahun usianya itu memiliki kekuatan yang demikian hebat sehingga dia merasa betapa tubuhnya sedikit demi sedikit mulai tertarik keluar! Dia tadi melibat-libatkan ujung tali itu pada pinggang dan lengannya sehingga biarpun kini kedua lengannya sebagian sudah tenggelam pula, ketika tali itu ditarik, tubuhnya terbetot keluar. Sedikit demi sedikit sampai akhirnya tubuhnya keluar sebatas pinggang!
"Tariklah lagi, nona yang baik, tarik terus....!"
Laki-laki itu terengah-engah, penuh ketegangan dan harapan. Dan Hong Li menarik terus, keringat membasahi dahi dan lehernya.
"Prattt....!"
Tiba-tiba ikat pinggang itu putus tengahnya dan tubuh orang yang sudah naik sampai ke pinggul itu tenggelam kembali sampai ke pinggang di mana dia mengeluh panjang pendek dan tidak berani bergerak sama sekali!
"Jangan bergerak, aku akan mencari alat lain untuk menarikmu keluar,"
Kata Hong Li.
Gadis ini lalu menggunakan tenaganya untuk merobohkan sebatang pohon kecil yang panjangnya ada tiga meter. Ia mengguncang-guncang pohon kecil itu sampai akarnya jebol dan akhirnya berhasil menumbangkannya. Setelah membuangi cabang, ranting dan daunnya, ia menggunakan batang pohon yang besarnya hanya sebetis kakinya itu untuk menolong orang itu. Batang pohon itu cukup panjang dan ujungnya dapat dipegang oleh orang itu dengan kedua tangan. Lalu Hong Li mulai menarik lagi, perlahan-lahan dan akhirnya ia berhasil menarik tubuh orang itu sampai keluar dari kolam pasir. Orang itu menjatuhkan diri di atas tanah, terengah-engah dan mukanya yang tadi pucat sekali, sekarang berubah agak merah. Dia mengeluarkan suara seperti setengah menangis dan setengah tertawa. Kemudian dia bangkit duduk memandang Hong Li dan matanya terbelalak.
"Nona, sungguh engkau hebat sekali!"
Hong Li cemberut. Baru teringat ia bahwa ia telah menolong musuh gurunya, merasa seperti seorana pengkhianat.
"Kenapa engkau melanggar wilayah kami? Engkau memang bersalah dan sepatutnya dihukum. Akan tetapi aku kasihan padamu, tidak tega melihat orang terjatuh ke kolam pasir maut. Nah, sekarang pergilah, akan kutunjukkan jalan keluar untukmu."
Tiba-tiba orang itu menggerakkan tubuhnya dan tahu-tahu Hong Li sudah ditangkapnya. Gadis cilik terkejut, meronta dan hendak melawan, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas karena laki-laki itu sudah menotoknya, menotok jalan darahnya yang membuat ia tidak mampu berkutik lagi. Hong Li terkejut dan marah bukan main.
"Apa yang kau lakukan ini?"
Bentaknya. Laki-laki itu menyeringai dan secara kurang ajar mengelus dagu Hong Li.
"Engkau cantik dan manis sekali! Sekarang engkau menjadi tawananku dan engkau harus menunjukkan jalan keluar yang akan menyelamatkan diriku. Kalau tidak, aku akan mencekikmu sampai mampus!"
Hong Li terbelalak. Kalau saja ia tadi bercuriga, kiranya tidak akan demikian mudahnya ia tertawan dan tertotok. Ia sama sekali tidak mengira bahwa orang yang baru saja diselamatkannya dari ancaman maut mengerikan berbalik malah bertindak curang dan jahat kepadanya. Akan tetapi ia tidak mempunyai waktu lagi untuk berheran dan penasaran karena kini laki-laki itu telah mengikat kedua tangannya ke belakang tubuhnya, menotok jalan darah yang membuat ia tidak mampu mengeluarkan suara, akan tetapi kini tubuhnya dapat bergerak lagi.
"Hayo cepat tunjukkan jalan itu kepadaku, kalau engkau menipuku, tentu engkau akan kusiksa sampai mampus!"
Kata laki-laki itu sambil mencengkeram pundak Hong Li. Gadis cilik ini merasa penasaran dan marah sekali sampai kedua matanya mengeluarkan air mata. Bukan air mata karena takut, melainkan karena marah dan penasaran sekali.
"Sudah, jangan menangis dan cepat tunjukkan jalannya!"
Laki-laki itu mengira bahwa anak perempuan itu menangis karena takut. Dia mendorong tubuh Hong Li dan anak perempuan ini terpaksa melangkah maju. Ia tahu bahwa dalam keadaan kedua tangannya terbelenggu, melawan-pun tidak akan ada gunanya. Dan iapun tidak dapat mengeluarkan suara. Sesungguhnya hal ini tidak perlu dilakukan orang itu. Walaupun tidak ditotok, iapun tidak mau mengeluarkan suara. Untuk apa? Minta tolong kepada suhunya dan tiga orang pelayan? Ia telah mengkhianati mereka, dan ia yakin bahwa gurunya yang berada di menara itu tentu melihat semua peristiwa yang dialaminya ini.
Perlu apa minta tolong? Memalukan saja. Biarlah, ia sudah bersalah, dan biarlah kini ia menerima hukumannya. Ia melangkah terus, pundaknya masih dicengkeram laki-laki yang mengikutinya dari belakang. Hong Li tidak membawa laki-laki itu melalui jalan yang akan menyelamatkannya. Sama sekali tidak. Di dalam dadanya kini membawa api kemarahan yang membuat ia ingin membalas perbuatan laki-laki ini yang dianggapnya terlalu jahat. Mudah saja baginya untuk menjerumuskan laki-laki ini ke dalam perangkap-perangkap maut, akan tetapi iapun tentu akan ikut terjebak dan mati bersama laki-laki ini. Dan ia tidak takut mati, hanya ia tidak sudi kalau harus mati bersama laki-laki ini. Tidak mau melakukan perjalanan ke alam baka berbareng dengan dia, bahkan dari tempat yang sama. Tidak, dia harus dapat mencari perangkap yang lebih baik.
Akhirnya tibalah Hong Li di jalan buntu! Di depan nampak jurang yang amat curam, yang tidak mungkin dilalui. Di situ terdapat dua jalan bercabang ke kiri dan ke kanan. Kedua lorong ke kanan dan ke kiri ini tertutup daun-daun kering, nampaknya aman dan mudah dilewati. Namun, Hong Li yang sudah hafal akan rahasia lorong-lorong itu, maklum bahwa melangkah ke kiri berarti akan membawa mereka terjatuh ke dalam sumur yang di dasarnya tidak kurang dari limabelas meter dalamnya, terdapat batu-batu meruncing yang akan menyambut tubuh mereka! Di balik daun-daun kering yang ke kiri itu terdapat lubang sumur itu. Kalau melangkah ke kanan, mereka akan terjatuh ke dalam kolam lumpur yang juga berbahaya sekali karena tubuh akan terus tenggelam semakin dalam dan akhirnya akan tewas pula.
Akan tetapi, tidaklah secepat kalau terjatuh ke dalam sumur itu matinya. Hanya adanya ular-ular lumpur yang sebetulnya semacam belut yang suka makan daging manusia, yang membuat ia bergidik ngeri membayangkan betapa tubuhnya bagian bawah akan digerogoti binatang-binatang itu sebelum ia mati. Ia tahu bahwa jalan satu-satunya adalah melompati sumur di sebelah kiri. Sumur itu tidak lebar, paling lebar satu setengah meter saja. Sekali melompat juga akan melampauinya dan selamat. Tidak, ia tidak boleh membawa laki-laki itu melompat, karena begitu melompat, laki-laki itu tentu akan mudah turun dan keluar dari daerah berbahaya. Melihat anak perempuan itu berdiri termangu-mangu dan ragu-ragu, laki-laki itu mengguncang pundaknya dan membentaknya dengan nyaring,
"Hayo cepat tunjukkan jalan!"
Diapun bingung melihat betapa jalan itu yang bagian depan buntu, menuju ke jurang yang amat curam, sedangkan jalan kanan dan kiri sama saja tertutup daun-daun kering. Dia tahu betapa berbahayanya lorong-lorong di situ dan dia tidak tahu mana jalan yang benar, yang kanan ataukah kiri. Tanpa ragu-ragu Hong Li menudingkan telunjuknya ke kanan! Laki-laki itu nampak lega dan diapun memperkuat cengkeramannya di pundak Hong Li mendorong tubuh anak itu membelok ke kanan dan menghardik,
"Hayo jalan!"
Hong Li sudah hafal benar akan rahasia tempat itu. Paling banyak lima langkah mereka akan terjeblos. Ia memperhitungkan langkahnya dan setelah empat langkah, tiba-tiba saja ia membalikkan tubuhnya, meloncat ke belakang dan menendang dengan cepat sekali. Laki-laki itu terkejut, melangkah ke samping akan tetapi ketika cengkeraman tangannya terlepas, dia masih sempat menangkap lagi pundak itu, maka begitu tubuhnya terjeblos, dia membawa Hong Li ikut pula terpelanting dan terjeblos ke dalam kolam lumpur!
"Auhhhhh, toloonggg....!"
Laki-laki yang merasa ngeri dan ketakutan itu, perasaan takut yang sudah sejak tadi menghantuinya, tidak dapat menahan lagi mulutnya dan berteriak minta tolong. Dalam kekagetannya tadi, dia melepaskan cengkeramannya dan tubuh Hong Li terpelanting dan terjeblos sejauh dua depa di sebelah depannya. Kalau laki-laki itu yang tadi meronta tenggelam sampai dada,
Hong Li tenggelam sampai ke pinggang dan mereka kini saling berpandangan. Dan laki-laki yang terbelalak dengan muka pucat dan berkaok-kaok minta tolong itu melihat betapa tubuh anak perempuan itu nampak tenang-tenang saja, bahkan tersenyum mengejek memandangnya! Biarpun Hong Li tidak mampu mengeluarkan suara, namun pandang matanya mengejek sepenuhnya dan rasa puas membayang di sepasang matanya. Gadis cilik ini kehilangan rasa takutnya, lupa akan adanya ular-ular di dalam lumpur, karena girangnya dapat membuat laki-laki yang jahat itu kini tidak berdaya. Hong Li teringat ketika tiba-tiba ia melihat benda yang mengkilap bermunculan di permukaan lumpur yang tertutup daun-daun kering itu. Ular atau belut lumpur! Matanya terbelalak dan hampir saja ia menjerit saking ngeri dan jijiknya,
Apalagi ketika ada seekor ular atau belut itu yang muncul tak jauh dari hidungnya, seolah-olah binatang itu ingin berkenalan dulu dengan wajah-wajah para calon korbannya. Akan tetapi ia menahan perasaan ngeri ini dan menggigit bibir. Tidak demikian dengan laki-laki itu. Dia mengeluarkan pekik yang mengerikan karena memang pada saat itu, ada bagian bawah tubuhnya yang mulai dijilati atau digigit. Berbareng dengan dengan jeritan laki-laki itu, nampak bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu tubuh Hong Li telah terlibat kain hitam dan tubuh itu lalu terbetot naik oleh kain yang melilitnya, kemudian tubuh Hong Li ditarik keluar dari lumpur oleh tangan Sin-kiam Mo-li yang sudah berdiri di tepi kolam lumpur itu, menggunakan sabuk hitam menolong muridnya. Begitu tiba di tepi kolam, Hong Li menubruk kaki gurunya.
"Subo, maafkan aku.... tidak.... hukumlah aku, subo...."
Katanya setengah menangis saking kesal dan marahnya terhadap laki-laki jahat itu. Sin-kiam Mo-li tersenyum.
"Engkau sudah cukup terhukum, Hong Li."
Pada saat itu, kembali terdengar teriakan-teriakan mengerikan. Hong Li menengok dan melihat betapa laki-laki itu dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali, menjerit-jerit dan meronta-ronta, akan tetapi karena dia keras meronta,
Maka tubuhnya cepat sekali tersedot semakin dalam dan lumpur sudah mencapai lehernya! Hong Li tidak dapat melihat lebih lanjut dan diapun menyembunyikan mukanya di balik kedua tangannya. Akan tetapi telinganya masih mendengar jeritan-jeritan itu, kemudian pekik itupun terhenti tiba-tiba seolah-olah orang itu tiba-tiba dicekik. Ia tahu apa yang terjadi. Tentu mulut yang berteriak itu kini telah terbenam kedalam lumpur. Ia tidak berani menengok. Baru setelah tidak ada lagi suara terdengar dari belakangnya, ia berani menengok dan kolam lumpur itu telah tenang, tidak ada suara apa-apa lagi, tidak ada gerakan apa-apa lagi dan lumpur telah tertutup kembali oleh daun-daun kering, Hong Li bergidik dan ia tetap berlutut. Tubuhnya agak menggigil, bukan hanya karena kedinginan. Sebuah tangan lembut menyentuh kepalanya dan terdengar suara Sin-kiam Mo-li.
"Hong Li, sejak tadi aku melihat keadaanmu, dan kalau aku menghendaki, sejak tadi tentu aku dapat membebaskanmu dari cengkeraman jahanam itu. Akan tetapi aku sengaja membiarkan saja, hanya membayangi agar engkau memperoleh pengalaman. Ketika engkau menipunya masuk lumpur, aku tahu bahwa engkau tentu sudah merasa menyesal dan mendapat kenyataan betapa jahatnya orang ini. Nah, pelajaran ini agar kau ingat selalu, muridku. Jangan percaya kepada orang lain begitu saja, dan bersikaplah hati-hati selalu terhadap orang lain, apa lagi yang belum kau ketahui benar bagaimana wataknya."
"Akan tetapi, subo. Aku sungguh tak dapat membayangkan bagaimana ada orang sejahat itu. Ditolong malah membalas dengan kekejaman dan kejahatan!"
Sin-kiam Mo-li tertawa, kemudian berkata dengan suara tegas,
"Semua orang di dunia ini juga begitu, Hong Li. Setiap orang bertindak demi kebaikan dan keuntungan diri sendiri, karena itu, siapa kalah cerdik, siapa kalah kuat, dia menjadi korban. Engkau harus kuat dan cerdik, dan kalau perlu mendahului lawan sebelum engkau yang menjadi korban. Yang ada bukan baik dan jahat, melainkan cerdik dan bodoh, muridku."
Diam-diam Hong Li merasa tidak setuju dan heran sekali mendengar nasihat gurunya ini, akan tetapi ia tidak mau membantah. Alangkah bedanya nasihat gurunya ini dari nasihat ayah ibunya! Ayah ibunya selalu mengajarkan agar ia mempergunakan kepandaiannya untuk menolong sesama manusia yang menderita, untuk membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Akan tetapi, gurunya ini agaknya hanya mengajarkan agar ia selalu bersikap cerdik dan tidak mempercaya semua orang, bahkan turun tangan lebih dahulu sebelum menjadi korban kejahatan orang lain. Gurunya lalu mengajaknya pulang untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.
Ketika ia memperoleh kesempatan bicara dengan tiga orang pelayan itu, ia memperoleh keterangan bahwa tiga orang penyerbu yang lain, yang telah tewas di tangan mereka, mayatnya tidak mereka kubur melainkan mereka lemparkan begitu saja ke dalam kolam lumpur! Hong Li hanya menyimpan rasa ngeri dan tidak setujunya, dan mulai saat itu ia lebih banyak menutup mulut, walaupun diam-diam ia merasa heran akan keadaan guru dan tiga orang pelayan itu. Namun ia memang pandai mempergunakan kesempatan dan sejak ia mengetahui bahwa tiga orang pelayan wanita itu lihai, ia mulai mengajak mereka untuk menemaninya berlatih silat. Dan ternyata memang mereka itu lihai sekali dan merupakan teman berlatih yang baik, walaupun dari mereka ia tidak dapat memperoleh ilmu baru. Setidaknya, setiap orang dari mereka itu dapat melayaninya dalam latihan silat.
Mulai hari itu, gurunya seringkali mengajak Hong Li naik ke menara dan menganjurkan muridnya untuk berlatih siu-lian di dalam panggung tertutup di puncak menara. Dan anak itu memang suka naik ke menara karena dari situ ia dapat melihat pemandangan yang luas, dan dapat melihat apa yang terjadi di sekeliling tempat tinggal gurunya. Kadang-kadang biarpun baru beberapa hari tinggal di situ, kalau sedang berdiri melamun di puncak menara dan memandang gunung-gunung yang jauh, timbul perasaan rindu kepada ayah ibunya. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali ketika matahari sudah naik dan menebarkan cahayanya yang keemasan dan masih lembut ke permukaan bumi, Hong Li sudah berlatih silat seorang diri di bawah menara. Kemudian ia naik ke atas menara. Ia masih belum mampu dengan sekali meloncat naik ke atas, melainkan hanya meloncat sampai setengah tihang, menyambar tihang dan memanjat naik.
Kini ia berdiri di puncak, di depan pondok, memandang ke arah timur di mana matahari membuat angkasa di timur cemerlang dan indah bukan main. Beberapa kelompok awan membentuk raksasa-raksasa aneh, akan tetapi warnanya yang biru keabuan itu mulai memudar tertimpa cahaya matahari. Tiba-tiba perhatian Hong Li tertarik oleh sesosok tubuh yang mendaki kaki gunung dan menuju ke arah rumah gurunya. Orang itu berjalan perlahan dan kini sudah tiba di luar daerah berbahaya yang mengelilingi rumah gurunya. Tadinya disangka oleh Hong Li bahwa orang itu hanya kebetulan lewat saja dan tidak akan memasuki daerah berbahaya, akan tetapi ketika orang itu mulai memasuki lorong yang menuju ke daerah yang penuh bahaya, iapun terkejut dan merasa khawatir sekali. Siapakah orang itu, pikirnya. Lawan ataukah kawan?
Dan ia merasa ngeri membayangkan betapa akan jatuh korban lagi di tempat berbahaya itu. Bagaimanapun juga, hatinya tidak setuju dengan adanya daerah rahasia yang penuh dengan bahaya maut itu. Betapapun jahatnya lima orang yang menyerbu tempo hari, cara mereka menemui kematian sungguh amat mengerikan dan terlalu kejam. Akan tetapi, perasaan khawatirnya segera berubah menjadi perasaan heran dan kagum. Orang yang baru datang itu, biarpun hanya dengan langkah-langkah yang perlahan, namun ternyata orang itu selalu mengambil jalan yang benar! Dari tempat tinggi itu Hong Li dapat melihat dengan mudah. Dari situ ia dapat melihat keadaan lorong-lorong rahasia itu seperti melihat peta dan iapun sudah hafal mana yang benar dan mana yang menyesatkan dan berbahaya. Dan orang itu selalu membelok melalui lorong yang benar,
Seolah-olah telah mengenal dengan baik jalan-jalan yang penuh dengan rahasia itu. Langkah-langkahnya teratur dan kakinya seperti telah mengenal tempat berbahaya, selalu berjalan melalui tempat aman dan menghindarkan jebakan-jebakan rahasia yang banyak terdapat di situ. Kalau begitu, tentu seorang sahabat baik gurunya yang sudah sering da-tang ke sini, pikir Hong Li. Hatinya tertarik sekali dan cepat ia turun dari menara untuk melihat dari dekat siapa adanya orang yang baru datang itu. Ia berlari menuju ke rumah dan heranlah ia melihat bahwa orang yang tadi dilihatnya dari menara itu ternyata kini sudah tiba di depan rumah. Dari atas nampaknya dia berjalan perlahan, akan tetapi ternyata sudah tiba di depan rumah dengan selamat, berarti bahwa orang itu benar-benar telah mampu melalui lorong-lorong rahasia yang amat berbahaya itu.
Dan kini orang itu telah berhadapan dengan gurunya. Juga tiga orang pelayan wanita berada di situ, akan tetapi mereka berdiri agak jauh sambil memandang dengan sikap khawatir. Hong Li lari mendekati tiga orang pelayan itu dan kini ia dapat melihat wajah pendatang itu dengan jelas. Begitu melihatnya, Hong Li terbelalak dan merasa terkejut bukan main ketika ia mengenal bahwa pendatang itu bukan lain adalah Ang I Lama, orang yang dahulu menculiknya dari kebun rumah orang tuanya! Tidak salah lagi. Ia mengenal wajah itu, mengenal tubuh tinggi kurus yang memakai jubah pendeta berwarna merah itu Melihat munculnya kakek ini, kemarahan muncul dalam hati Hong Li. Agaknya kakek itu tahu pula akan kehadiran Hong Li dan dia memandang dengan penuh perhatian.
"Omitohud, agaknya inilah anak itu. Eh, anak baik, ke sinilah dan mari engkau ikut pinceng pulang ke rumah orang tuamu. Ke sinilah....!"
Kakek itu melambaikan tangan ke arah Hong Li. Anak perempuan ini terkejut bukan main karena biarpun hatinya tidak menghendaki, namun kedua kakinya di luar kehendaknya sudah melangkah menghampiri kakek itu! Melihat ini, gurunya membentak.
"Hong Li, kembali ke tempatmu!"
Dan dalam bentakan ini terkandung kekuatan yang agaknya membuyarkan pengaruh panggilan kakek itu. Hong Li seperti baru dapat menguasai kedua kakinya sendiri dan ia berhenti melangkah, terkejut melihat keadaan dirinya dan iapun berlari kembali mendekati tiga orang pelayan yang segera merangkulnya.
"Siocia, engkau di sini saja dan jangan bergerak,"
Bisik Ang Nio. Hong Li mengangguk dan melepaskan diri dari rangkulan mereka. Ingin ia melihat bagaimana gurunya menghadapi kakek aneh itu. Ia tidak merasa khawatir karena bukankah gurunya pernah menang dari kakek itu ketika merampas dirinya dari tangan kakek itu yang, dikalahkannya di dalam kuil tua dahulu? Sementara itu, Ang I Lama sudah menghadapi Sin-kiam Mo-li dan terdengar suaranya yang lemah lembut,
"Sekali lagi, Sin-kiam Mo-li, pinceng minta dengan hormat dan sangat agar engkau suka menyerahkan anak itu kepada pinceng."
"Ang I Lama, tidak malukah engkau mengeluarkan kata-kata seperti itu? Lupakah engkau akan nasib Sai-cu Lama yang menjadi suhengmu? Hemm, tak kusangka bahwa engkau yang dianggap sebagai seorang pertapa yang memiliki kesaktian, ternyata sama sekali tidak mengenal budi antara saudara, dan tidak setia, bahkan ingin mengkhianati golongan sendiri. Pergilah dan jangan mencampuri urusan pribadiku!"
Sikap Sin-kiam Mo-li ketus dan tegas.
"Omitohud.... untuk kembali ke jalan benar masih belum terlambat. Kenapa engkau tidak mau melihat kenyataan? Sadarlah dan serahkan anak itu kepada pinceng."
"Kakek tua bangka! Ia telah menjadi murid dan anak angkatku! Dengar baik-baik, ia telah menjadi anakku! Lihatlah, aku adalah seekor harimau betina, mana sudi melepaskan anaknya?"
Tiba-tiba Hong Li terkejut bukan main melihat bahwa gurunya telah berubah menjadi seekor harimau yang besar. Harimau itu mengeluarkan auman yang menggetarkan tanah di mana ia berdiri. Hong Li melirik ke arah tiga orang pelayan wanita itu. Mereka juga berdiri dengan mata terbelalak memandang, akan tetapi mereka bersikap tenang saja, agaknya tidak merasa heran melihat betapa majikan mereka telah berubah menjadi seekor harimau besar dan buas!
Kao Hong Li bukanlah anak sembarangan. Ia keturunan dua orang keluarga besar yang amat terkenal di dunia persilatan, yaitu ayahnya adalah keturunan keluarga Istana Gurun Pasir sedangkan ibunya keturunan keluarga Pulau Es, gudangnya orang-orang sakti. Tentu saja ia, biarpun usianya baru tigabelas tahun, tahu benar bahwa gurunya berubah menjadi harimau hanya merupakan hasil ilmu sihir belaka, bukan sungguh-sungguh menjadi harimau! Betapapun juga, ia masih belum kuat untuk menembus pengaruh sihir ini, maka dalam penglihatannya, gurunya berubah menjadi harimau, sesuai dengan ucapannya tadi! Dan kini "harimau betina"
Yang hendak mempertahankan anaknya itu dengan buasnya, sambil mengeluarkan suara mengaum dahsyat, menyerbu, menerjang dan menubruk ke arah Ang I Lama!
"Omitohud, engkau semakin jauh tersesat!"
Ang I Lama menggerakkan tubuhnya, jubah merahnya berkibar ketika dia meloncat ke belakang dan menghindarkan diri dari tubrukan harimau. Ketika harimau itu membalik dan hendak menubruk lagi, Ang I Lama yang telah menyambar segenggam tanah, menyambitkan tanah itu ke arah harimau.
"Siancai, kembalilah kepada keaselianmu, Sin-kiam Mo-li!"
Harimau itu hendak mengelak, namun terlambat dan ketika ada tanah menyentuh tubuhnya, terdengar suara ledakan keras dan harimau itu mengaum, akan tetapi segera lenyap dan berubah kembali menjadi Sin-kiam Mo-li yang nampak terhuyung. Wanita ini marah sekali. Ia mengangkat kedua tangan ke atas dan dari tubuhnya keluarlah asap hitam bergulung-gulung yang segera menutupi tubuhnya dan membuat keadaan di situ menjadi gelap. Diam-diam Hong Li merasa ngeri menyaksikan ini. Sungguh hebat ilmu sihir gurunya, akan tetapi kakek itupun memiliki ilmu kepandaian tinggi yang ternyata sanggup menaklukkan harimau jadi-jadian tadi. Akan tetapi kembali Ang I Lama tidak nampak gugup,
"Omitohud....!"
Serunya berkali-kali dan diapun merangkap kedua tangan di depan dada, kemudian mulutnya meniup dan buyarlah asap hitam itu, makin lama semakin menipis dan akhirnya nampaklah kembali Sin-kiam Mo-li yang menjadi semakin penasaran. Wanita cantik ahli sihir ini maklum bahwa agaknya ia tidak akan mampu mengalahkan kakek itu kalau mempergunakan sihir, maka ia segera menerjang maju, sekali ini menyerang dengan pukulan tangan terbuka. Bukan main hebatnya pukulan yang dilontarkan oleh dua tangan wanita itu. Angin menyambar dahsyat dan terdengar bunyi bercuitan ketika kedua tangan itu menyambar. Kembali kakek itu mengelak ke samping dan kedua lengannya digerakkan untuk menangkis dari samping.
"Dukkk!"
Kedua pasang lengan itu bertemu di udara dan seperti ada halilintar saja yang menyambar terasa oleh Hong Li akibat dari adu kekuatan dahsyat itu.
Angin pukulan membuat ia mundur dua langkah sambil terbelalak memandang. Ia melihat gurunya terhuyung, sedangkan kakek itu tetap berdiri tegak sambil tersenyum. Senyum lembut itu sejak tadi tak pernah meninggalkan wajah Ang I Lama. Sin-kiam Mo-li menjadi semakin marah dan ia menyerang lagi dengan pukulan bertubi-tubi. Pendeta Lama itu dengan tenang menyambut dan terjadilah perkelahian yang hebat. Gerakan Sin-kiam Mo-Ii amat cepat, berloncatan menyambar-nyambar bagaikan seekor burung yang menyerang seekor ular, akan tetapi pendeta itu bagaikan seekor ular melingkar, dengan gerakan tenang namun mantap menyambut setiap serangan dari manapun juga datangnya, menangkis sambil balas menyerang.
Walaupun dia hanya membalas dengan tamparan-tamparan atau cengkeraman, namun serangannya mengandung kekuatan yang membuat lawannya harus cepat menghindarkan diri. Bi-arpun gerakan gurunya itu amat cepatnya, namun Hong Li yang sudah menguasai dasar ilmu silat tinggi, dapat mengikuti gerakannya sehingga ia dapat melihat betapa tangguhnya kakek yang bernama Ang I Lama itu. Kalau ia tidak salah menduga, gurunya kalah dalam hal tenaga oleh kakek itu. Hal ini terbukti betapa gurunya selalu menghindarkan bentrokan lengan kalau serangannya ditangkis lawan, dan setiap kali terpaksa kedua lengan bertemu, tentu tubuh gurunya terdorong ke belakang atau terhuyung. Dugaan anak perempuan itu memang tepat.
Sin-kiam Mo-li merasa betapa dahsyatnya tenaga lawan dan ia maklum bahwa kalau ia harus selalu menghindarkan bentrokan, maka akhirnya ia akan terdesak. Cepat kedua tangannya bergerak ke balik bajunya dan di lain saat, tangan kiri wanita itu telah memegang sebuah kebutan bergagang emas dengan bulu merah, sedangkan tangan kanannya memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Kiranya Sin-kiam Mo-li memiliki sepasang senjata yang amat hebat, yaitu kebutan dan pedang. Nama julukannya, Sin-kiam (Pedang Sakti) saja sudah menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli pedang yang pandai, sedangkan kebutan di tangan kirinya itupun sama sekali tak boleh dipandang ringan, karena ujung setiap lembar bulu kebutan itu telah dicelup racun sehingga orang yang terkena sabetan ujung kebutan itu tentu akan keracunan!
"Sing-sing....wuuuuttt....!"
Nampak gulungan sinar putih dan merah dari pedang dan kebutan ketika wanita itu menyerang dengan cepatnya ke arah lawan.
"Siancai....!"
Ang I Lama berseru dan cepat dia membuat langkah-langkah yang aneh untuk menghindarkan diri. Beberapa kali dia berhasil mengelak, kemudian tiba-tiba tangannya memegang seuntai tasbeh dan dengan benda ini yang diputar-putar, dia berhasil menangkis kebutan dan pedang.
"Trik! Trik! Tranggg....!"
Nampak api berpijar ketika pedang bertemu dengan biji-biji tasbeh itu. Dan kembali pertemuan tenaga melalui senjata itu membuat Sin-kiam Mo-li terdorong ke belakang.
Perkelahian berlangsung semakin seru. Kadang-kadang tubuh kedua orang itu lenyap terbungkus gulungan sinar senjata mereka yang menjadi satu. Agaknya tingkat kepandaian mereka memang seimbang, hanya kakek pendeta itu memiliki tenaga yang lebih kuat walaupun mungkin dia kalah dalam hal kecepatan gerakan. Juga di antara mereka terdapat perbedaan besar dalam hal serangan. Kalau Sin-kiam Mo-li menyerang dengan hebat, setiap serangannya merupakan serangan maut yang mengarah nyawa, sebaliknya pendeta itu selalu berhati-hati dalam serangannya dan jelas bahwa dia banyak mengalah dan tidak bermaksud membunuh lawan. Betapapun juga, karena kalah tenaga, nampaknya Sin-kiam Mo-li terdesak dan terhimpit, dan kadang-kadang terhuyung ke belakang. Hal ini membuat Hong Li memandang khawatir.
"Majulah, bantulah subo,"
Desaknya berulang-ulang kepada tiga orang pelayan itu. Tiga orang pelayan itu semua memegang sebatang pedang, akan tetapi mereka tidak berani maju, merasa betapa ilmu kepandaian mereka masih terlampau rendah untuk membantu majikan mereka mengeroyok pendeta Lama yang demikian saktinya. Melihat ini, Hong Li menjadi tidak sabar lagi. Dirampasnya pedang dari tangan Ang Nio dan iapun berkata,
"Kalau begitu, biarlah aku yang membantu subo!"
Ia pun meloncat ke depan. Tiga orang pelayan itu terkejut.
"Siocia.... mereka berseru, akan tetapi karena anak perempuan itu sudah menerjang maju dan masuk ke dalam arena perkelahian merekapun tak dapat mencegah lagi.
"Lama jahat!"
Hong Li membentak dan pedangnya menusuk ke arah lambung pendeta itu. Ang I Lama terkejut melihat anak perempuan itu menyerangnya dengan pedang. Dia tidak mengelak, membiarkan pedang itu mengenai lambungnya dan berkata,
"Omitohud, anak baik, pinceng datang untuk membebaskanmu!"
"Takk!"
Pedang itu membalik dan Hong Li merasa tangannya nyeri karena pedangnya seperti menusuk baja saja. Sebelum ia mampu mengelak, tiba-tiba tangan kiri pendeta Lama itu telah menangkap pundaknya.
"Mari ikut bersama pinceng, anak baik!"
Kata pula Ang I Lama. Akan tetapi Hong Li menjadi marah dan meronta.
"Lepaskan aku, pendeta jahat!"
Dan kembali pedangnya menusuk, kini mengarah dada kakek itu.
"Trakkk!"
Pedangnya patah menjadi dua potong! Dan sekali Ang I Lama menggerakkan tangan kirinya, tubuh Hong Li telah terlempar ke atas dan berada dalam podongan kakek itu.
"Lepaskan anakku!"
Sin-kiam Mo-li membentak dan pedangnya membacok ke arah kepala Ang I Lama.
"Tranggg....!"
Tasbeh itu menyambar dan menangkis pedang, membuat pedang terpental. Tiba-tiba Sin-kiam Mo-li membentak dan kebutannya kini menyambar ke arah.... kepala Hong Li yang dipondong pendeta itu. Tentu saja Ang I Lama terkejut bukan main, sama sekali tidak menyangka bahwa wanita itu akan menyerang anak yang dipondongnya. Dengan agak tergesa-gesa diapun menggerakkan tasbehnya melindungi Hong Li dan menangkis kebutan.
"Prattt!"
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bulu-bulu kebutan itu kini melibat tasbeh dan terjadi tarik menarik. Pada saat itu, Hong Li yang tidak tahu bahwa baru saja nyawanya terancam maut ketika wanita itu menyerangnya dengan kebutan, kini ingin mem-bantu gurunya. Melihat betapa mereka saling tarik senjata masing-masing, Hong Li menggunakan tangannya, mencengkeram ke arah mata Ang I Lama!
"Siancai....!"
Ang I Lama terkejut bukan main. Anggauta tubuhnya tidak akan takut menghadapi serangan seorang anak kecil seperti Hong Li, akan tetapi kalau yang diserang itu matanya, tentu saja mata itu tidak dapat dibuat kebal! Untuk mempergunakan sihir mempengaruhi anak itu, sudah tidak keburu lagi. Terpaksa dia menarik kepalanya ke belakang untuk mengelak dan pada saat itu, pedang di tangan kanan Sin-kiam Mo-li sudah menyambar dan menusuk lambung pendeta Lama itu. Demikian cepat gerakan ini, dilakukan pada saat yang tepat, mempergunakan kesempatan selagi pendeta itu repot mengelak dari cengkeraman tangan Hong Li sehingga tak mungkin dapat dihindarkan lagi.
"Cappp....!"
Biarpun pendeta itu mempergunakan sin-kang, namun sudah tidak keburu dan pedang itu menancap sampai dalam dan ketika dicabut, darahpun muncrat dan pada saat itu, Sin-kiam Mo-li telah berhasil merampas kembali Hong Li dari pondongan Ang I Lama.
"Omitohud....!"
Ang I Lama menggunakan tangan kiri mendekap luka di lambungnya, lalu membalik-kan diri dan lari meninggalkan tempat itu, membawa luka yang dalam di lambungnya!
Sin-kiam Mo-li tidak berani mengejar. Ia tahu bahwa pendeta itu lihai bukan main dan kalau ia tidak memperoleh kesempatan baik tadi, belum tentu ia akan keluar sebagai pemenang. Ia tadi telah bertindak cerdik bukan main dengan menyerang kepala Hong Li. Memang, ia, membahayakan keselamatan nyawa anak itu tadi. Akan tetapi akal itu bagus sekali. Serangan yang mematikan itu tentu saja membuat Ang I Lama yang ingin menyelamatkan Hong Li, menjadi kaget dan melindungi dan terbukalah kesempatan baginya untuk menyerang. Apa lagi di bantu oleh Hong Li. Ia puas dengan dirinya sendiri dan juga girang bahwa ternyata anak angkat dan muridnya itu setia kepadanya. Ia tidak berani mengejar karena ia tidak yakin apakah Lama itu menderita luka yang cukup parah. Dirangkulnya Hong Li dan diciuminya pipi anak itu.
"Hong Li, bagus sekali, engkau telah membantu-ku mengalahkan Lama yang jahat itu!"
"Akan tetapi, subo. Hampir saja aku celaka olehnya. Dia sungguh lihai dan jahat sekali!"
Kata Hong Li.
"Memang dia lihai dan jahat, maka engkau harus berlatih dengan baik agar kelak dapat mengalahkan orang-orang seperti dia ini."
"Di bawah bimbingan subo, tentu aku akan dapat menguasai ilmu-ilmu yang hebat, dan sekarang di dalam perlindungan subo aku merasa aman. Subo, jangan lupa mengajarkan ilmu sihir kepadaku."
Sin-kiam Mo-Ii tertawa dan menggandeng anak itu, diajak masuk ke dalam rumah untuk beristirahat. Hong Li merasa girang dan puas pula, sama sekali ia tidak tahu bahwa baru saja ia kehilangan seorang penolong yang akan mampu membawanya kembali kepada orang tuanya dan bahkan membebaskan-nya dari cengkeraman seorang wanita iblis yang sesungguhnya merupakan musuh besar keluarganya! Sin-kiam Mo-li tidaklah sebaik hati seperti yang dibayangkan oleh Hong Li.
Anak perempuan ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak ia diculik dari kebun rumah orang tuanya, terdapat rahasia besar di balik semua peristiwa itu. Yang melakukan penculikan terhadap dirinya sama sekali bukanlah Ang I Lama yang pada waktu itu masih tekun bertapa di dalam guha pertapaannya. Lalu siapakah yang melakukan penculikan itu? Bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li sendiri! Wanita cantik yang tinggi semampai inilah yang menyamar sebagai Ang I Lama dan melakukan penculikan dengan mempergunakan nama Ang I Lama! Hal ini dapat dilakukannya dengan amat mudah karena selain pandai ilmu silat, iapun pandai ilmu sihir dan pandai melakukan penyamaran. Akan tetapi, mengapa Sin-kiam Mo-li melakukan hal itu dan siapakah ia sebenarnya? Sin-kiam Mo-li adalah anak angkat dari Kim Hwa Nio-nio! Ketika Kim Hwa Nio-nio bersekongkol dengan Sai-cu Lama,
Sin-Kiam Mo-li sedang melakukan perantauan ke daerah pantai selatan dan ia tidak tahu akan persekutuan itu, juga tidak mencampurinya. Ketika ia pulang ke utara, baru ia mendengar bahwa ibu angkatnya, juga gurunya itu, ternyata telah tewas bersama Sam Kwi dan Sai-cu Lama dalam sebuah komplotan yang dihancurkan oleh para pendekar, terutama keturunan keluarga Pulau Es dan keluarga Istana Gurun Pasir. Tentu saja ia terkejut dan berduka, juga sakit hati. Akan tetapi iapun maklum siapa itu keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Ia merasa tidak mampu menandingi mereka itu dengan berterang, maka ia lalu melakukan balas dendam dengan cara lain. Setelah melakukan penyelidikan, iapun menjatuhkan pilihannya kepada Kao Hong Li, satu-satunya anak yang menjadi keturunan dari kedua pihak, keturunan keluarga Pulau Es, juga keturunan keluarga Gurun Pasir.
Dan terjadilah penculikan itu. Ia sengaja mempergunakan nama Ang I Lama yang mahir dalam ilmu sihir dan mudah dipalsu, dengan maksud untuk mengadu domba. Ia harus membangkitkan Ang I Lama sebagai sute dari Sai-cu Lama agar suka menentang dua keluarga pendekar yang menjadi musuh mereka berdua itu. Akan tetapi ia cukup mengenal watak Ang I Lama yang saleh dan tidak mau menggunakan kekerasan, melainkan hanya bertapa dengan tekun dan tidak pernah mencampuri urusan dunia ramai. Maka ia mempergunakan siasatnya, menyamar sebagai Ang I Lama untuk mengadu domba. Tadinya, niatnya hanya selain mengadu domba, juga menimbulkan duka kepada keluarga itu yang kehilangan puterinya.
Mungkin puteri mereka itu akan ia bunuh untuk membalas dendam. Akan tetapi setelah ia melihat Hong Li yang demikian manis dan tabah, hatinya tertarik dan timbul pikirannya untuk memanfaatkan rasa sukanya itu demi dua keuntungan. Pertama, ia akan merasa puas memiliki murid dan anak angkat yang amat baik dan berbakat, memenuhi kerinduannya akan seorang keturunan, dan ke dua, ia akan mendidik anak itu agar kelak mengikuti jejaknya yang berlawanan dengan jalan hidup musuh-musuhnya, yaitu kedua keluarga pendekar itu! Hong Li tidak tahu akan semua itu. Ia hanya mengenal gurunya sebagai seorang wanita berilmu tinggi dan pandai sihir yang telah menyelamatkannya dari tangan Ang I Lama! Walaupun pada hari-hari terakhir ini ia mendapat kenyataan bahwa gurunya dapat berwatak keras dan kejam terhadap musuh-musuhnya,
Seperti yang diperlihatkannya ketika menghadapi lima orang penyerbu dari Cin-sa-pang itu, namun
(Lanjut ke Jilid 33)
Suling Naga (Seri ke 13 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 33
ia menganggap gurunya seorang gagah yang baik hati, terutama terhadap dirinya. Dan iapun dengan penuh ketekunan mempelajari ilmu-ilmu dari Sin-kiam Mo-li, seorang wanita cantik yang dalam hal tingkat kepandaian, tidak berada di bawah tingkat mendiang gurunya, yaitu Kim Hwa Nio-nio. Dua orang pendeta Lama yang sedang bertapa itu terkejut sekali ketika melihat seorang pendeta Lama lain roboh terpelanting di depan guha mereka, kemudian terdengar suara orang itu mengerang kesakitan. Dua orang pendeta Lama itu cepat keluar dari guha tempat pertapaan mereka dan alangkah kaget hati mereka ketika mereka mengenal bahwa yang roboh itu adalah Ang I Lama, seorang tokoh Lama yang amat mereka kenal dan masih terhitung paman seperguruan mereka.
"Susiok...."
Keduanya berlutut dan dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri rasa hati mereka melihat bahwa paman guru mereka itu terluka pada lambungnya, luka yang kini membengkak besar sekali, tanda bahwa selain luka itu parah, juga bahwa luka itu tidak terawat selama beberapa hari sehingga membengkak. Melihat keadaan luka itu dan wajah paman guru mereka yang membiru, dua orang pendeta ini dengan sedih mengetahui bahwa keadaan paman guru mereka sudah payah dan sukar untuk dapat diselamatkan nyawanya.
"Susiok, apa yang telah terjadi? Mengapa susiok terluka seperti ini?"
Tanya pendeta pertama.
"Susiok, siapa yang melakukan ini?"
Tanya pendeta ke dua. Akan tetapi keadaan Ang I Lama sudah demikian payah.
Napasnya tinggal satu-satu dan sukar sekali baginya untuk mengeluarkan suara walaupun mulutnya bergerak-gerak. Akan tetapi, di dalam batin Ang I Lama, sedikitpun tidak ada rasa dendam terhadap Sin-kiam Mo-li, maka tidak ada sedikitpun niat di hatinya untuk memberi tahu kepada orang lain siapa yang telah melukainya. Yang menjadi keinginan hatinya adalah untuk memberi tahu kepada Kao Cin Liong dan Suma Hui di mana adanya anak mereka yang diculik orang itu. Akan tetapi sukar sekali mulutnya mengeluarkan kata-kata dan dengan pengerahan tenaga terakhir diapun memaksa diri untuk menyampaikan isi hatinya itu kepada dua orang pendeta Lama ini. Akhirnya dapat juga dia mengeluarkan suara lirih sehingga dua orang pendeta Lama itu harus mendekatkan telinga mereka agar dapat menangkap lebih jelas.
"....Kao Cin Liong dan isterinya.... mereka.... cepat.... ouhhh...."
Kakek itu terkulai dan napasnya-pun terhenti. Dia mengerahkan tenaga terlalu banyak namun tidak kuat melanjutkan kata-katanya. Dua orang pendeta Lama itu saling pandang dengan mata terbelalak. Merekapun tentu saja mengenal siapa yang bernama Kao Cin Liong itu, seorang yang dikenal baik oleh para pendeta Lama karena pernah memimpin pasukan pemerintah untuk menumpas pemberontakan di barat.
Panglima Kao amat terkenal dan tentu saja mereka kini terkejut dan heran mendengar disebutnya nama panglima itu dan isterinya sebagai pembunuh Ang I Lama! Dua orang pendeta itu merasa betapa penting dan gawatnya urusan, maka setelah menyempurnakan jenazah Ang I Lama dengan membakarnya, lalu membawa abu jenazah itu, pergi meninggalkan tempat pertapaan mereka dan cepat mereka menuju ke Tibet. Dan di depan para pimpinan Lama, mereka lalu menceritakan pengalaman mereka ketika menemukan Ang I Lama dalam keadaan sekarat sampai meninggal dunia karena luka parah di lambungnya. Ketika para pimpinan Lama mendengar bahwa pesan terakhir dari Ang I Lama adalah nama Kao Cin Liong dan isterinya, para pimpinan Lama itu saling pandang.
Mereka ingat bahwa belum lama ini, suami isteri itu memang datang kepada mereka dan menanyakan di mana adanya Ang I Lama! Dan mereka melihat sikap isteri pendekar bekas panglima itu jauh dari pada lembut, bahkan agaknya nyonya itu marah sekali terhadap Ang I Lama. Dan kini muncul dua orang pendeta Lama yang menceritakan bahwa Ang I Lama tewas dengan luka di lambungnya. Pada hal, Ang I Lama adalah seorang pendeta Lama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Tidak sembarang orang akan dapat melukainya, dan pula, pendeta itu adalah seorang yang halus budi dan tidak pernah bermusuhan dengan siapapun juga. Siapa lagi kalau bukan suami isteri pendekar itu yang telah membunuhnya? Mungkin karena Ang I Lama masih sute dari Sai-cu Lama seperti yang ditanyakan oleh isteri pendekar itu.
"Hemm, kita tidak boleh tinggal diam saja. Tanpa sebab mereka telah membunuh seorang yang hidup bersih dan suci seperti Ang I Lama. Kalau hal ini kita diamkan saja, bukankah semua orang lalu memandang rendah kepada kita, para Lama? Kita dapat membiarkan seorang Lama seperti Sai-cu Lama dibasmi dan dibunuh sekalipun tanpa sedikit juga campur tangan. Akan tetapi kalau sampai seorang seperti saudara Ang I Lama dibunuh tanpa dosa, sungguh merupakan hal yang penuh dengan penasaran. Kita harus bertindak terhadap mereka!"
"Akan tetapi mereka adalah pendekar-pendekar yang terkenal sakti dan budiman! Apa lagi kita semua mengenal siapa adanya Kao Cin Liong, bekas panglima yang gagah perkasa!"
Kata Lama ke dua.
"Kita tidak perlu takut demi membela kebenaran!"
Kata Lama ke tiga. Ketua para Lama menarik napas panjang mendengar pendapat para pembantunya.
"Omitohud, semoga Sang Buddha menerima saudara Ang I Lama sesuai engan amal kebaikannya sewaktu dia hidup. Kita memang tidak boleh tinggal diam, juga kita tidak perlu merasa takut untuk menghadapi ketidakadilan, akan tetapi bagaimanapun juga, kita harus bertindak dengan hati-hati dan tidak menurutkan nafsu amarah. Kita harus ingat bahwa kita berhadapan dengan keturunan orang-orang besar. Kao-taihiap adalah keturunan dari keluarga Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, sedangkan isterinya adalah keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es. Kita sama sekali tidak menghendaki kalau kita sampai menanam permusuhan dengan kedua keluarga itu. Maka, jalan satu-satunya hanyalah mencari seorang perantara untuk menuntut keadilan kepada keluarga mereka, terutama sekali keluarga Gurun Pasir mengingat bahwa Kao-taihiap adalah putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir."
Mendengar ucapan ketua mereka ini, para pendeta Lama merasa setuju. Bagaimanapun juga, mereka percaya bahwa keluarga para pendekar itu adalah orang-orang yang selalu menunjukkan kebenaran dan keadilan. Kalau sampai peristiwa pembunuhan terhadap diri Ang I Lama yang tidak berdosa ini sampai dilaporkan kepada Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir,
Tentu orang sakti itu akan bertindak adil walau terhadap puteranya sendiri sekalipun. Mereka lalu mengadakan perundingan dan mengingat bahwa mungkin sekali urusan yang timbul antara Ang I Lama dan Kao Cin Liong berdua itu ada hubungannya dengan mendiang Sai-cu Lama, maka semua pendeta Lama setuju untuk kedua kalinya minta bantuan sahahat mereka, yaitu Tiong Khi Hwesio. Bukankah Tiong Khi Hwesio yang bersama para pendekar membasmi komplotan Sai-cu Lama? Karena agaknya urusan kematian Ang I Lama ini merupakan lanjutan dari pembasmian komplotan Sai-cu Lama, maka orang perantara yang mereka anggap paling tepat adalah Tiong Khi Hwesio. Apa lagi ketua Lama mengetahui bahwa antara Tiong Khi Hwesio dan keluarga Gurun Pasir masih terdapat ikatan yang amat erat.
"Kalau tidak keliru, ikatan keluarga antara Tiong Khi Hwesio dan isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir,"
Demikian katanya. Kenyataan ini mempertebal kepercayaan para pendeta Lama bahwa Tiong Khi Hwesio memang merupakan orang yang paling tepat untuk menjadi perantara menuntut keadilan ke Gurun Pasir. Tiong Khi Hwesio lalu dihubungi. Pendeta ini semenjak kembali dari menunaikan tugasnya yang berhasil baik, telah kembali ke tempat pertapaannya, di dalam sebuah pondok sederhana di puncak sebuah bukit di Pegunungan Himalaya. Dia merasa heran akan tetapi juga tidak menolak ketika seorang pendeta Lama menyadarkannya dari pertapaan dan menyampaikan undangan para pimpinan Lama agar dia suka datang ke Lhasa karena ada urusan yang amat penting.
Setelah hwesio tua ini tiba di depan para pendeta Lama, dia disambut dengan amat ramah. Melihat wajah yang penuh kedamaian dari pendeta ini, para pimpinan Lama merasa tidak enak hati sendiri. Akan tetapi urusan yang mereka hadapi teramat penting maka mereka mengesampingkan semua perasaan tidak enak dan pimpinan para Lama segera menceritakan kepada Tiong Khi Hwesio tentang peristiwa yang terjadi. Tentang kematian Ang I Lama terbunuh orang, tentang suami isteri Kao Cin Liong yang sebelumnya datang minta keterangan dari para Lama tentang Ang I Lama, kemudian para pimpinan Lama menyatakan pendapat mereka yang juga merupakan tuduhan mereka bahwa suami isteri pendekar itulah yang membunuh Ang I Lama.
"Saudara Tiong Khi Hwesio tentu sudah mengenal siapa adanya Ang I Lama, yang sudah sejak puluhan tahun hidup bertapa dan tidak pernah mencampuri urusan dunia sehingga tidak mungkin menanam permusuhan dengan siapapun juga. Akan tetapi, beberapa hari sebelum dia terbunuh, pendekar Kao Cin Liong dan isterinya datang ke sini minta keterangan tentang Ang I Lama, dan melihat sikap mereka, terutama sekali isteri Kao-taihiap, jelas bahwa mereka sedang marah atau tidak suka kepada Ang I Lama yang mereka ketahui adalah sute dari Sai-cu Lama. Tak lama setelah mereka berdua pergi mencari Ang I Lama, dia ternyata dibunuh orang dan sebelum menghembuskan napas terakhir, Ang I Lama hanya dapat menyebutkan nama Kao Cin Liong dan isterinya. Semua ini kami anggap sudah cukup kuat untuk menjadi bukti kebenaran pendapat kami bahwa mereka berdua yang membunuh Ang I Lama. Terutama harus diingat bahwa Ang I Lama memiliki kepandaian yang tinggi, dan hanya orang-orang seperti suami isteri itu sajalah yang kiranya akan mampu membunuhnya,"
Tiong Khi Hwesio mengerutkan alisnya. Tak disangkanya bahwa dia akan menghadapi urusan seperti itu. Memang semua alasan para pimpinan Lama ini masuk di akal, dan bagaimanapun juga, Kao Cin Liong masih terhitung keponakannya. Ibu kandung pendekar itu, Wan Ceng, adalah adik tirinya seayah berlainan ibu. Dengan sikap tenang Tiong Khi Hwesio menanti sampai keterangan para Lama itu selesai, barulah dia bicara, sikapnya masih tenang, suaranya halus.
Kisah Pendekar Pulau Es Eps 43 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 29 Suling Emas Naga Siluman Eps 44